• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN PERKAWINAN WANITA HAMIL

A. Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-

1. Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.41

Disamping kata nikah digunakan juga kata Alzawaj secara etimologi Zawaj berasal dari bahasa Azzawa’ju artinya (genap), lawan kata dari alfarda (sendiri, ganjil), dipergunakan untuk beragam maksud. Diantaranya, Asynfu walnaw’u (jenis atau ragam ). Setiap dua jenis , dua bentuk,atau model yang saling brekaitan disebut Al Zawjani. Maka dikatakan bagi laki-laki dan wanita (yang menikah). Sebagai Al zawjani (sepasang). Masing-masing pihak menjadi pasangan bagi pihak lainnya. Sebagaimana firman Allah yang artinya:42 “Dan bahwasannya Dia-lah yang menciptakan (sesuatu) berpasang-pasangan, yaitu laki-laki dan perempuan. “(An- Najam:45).

Selain itu ada juga kata alnikahu (pernikahan) secara etimologi mengandung pengertian Aldhammu waltadakhulu (penggabungan dan saling mengisi) dikatakan dalam sebuah ungkapan, tanakahati al zara-u, maksudnya sebagai pohon menyatu dan

41Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam

menyelinap (masuk), karena memuat unsur penyatuan antara salah satu pasangan suami istri dengan pasangannya berdasarkan aturan agama Islam, baik melalui persetubuhan atau akad nikah, sehingga dua pihak tersebut menjelma bak dua sisi pintu, dan sepasang sepatu. Kata nikah ini, bisa dipergunakan untuk makna akad nikah, sehingga bermakna pernikahan atau juga diarahkan pada pengertian alwath’u (hubungan badan).43

Pengertian Al zawju (pernikahan) secara termonologi kata Al zawju seperti yang telah disampaikan, merupakan bentuk sinonim kata alnikahu (nikah).

Para ahli fikih mendefenisikannya dengan beragam defenisi. Hal ini karena, setiap mazhab memiliki defenisi khusus yang berbeda-beda. yaitu :

1. Ulama Hanafiyah mengatakan, perkawinan adalah perjanjian yang diselenggarakan untuk tujuan memperoleh kenikmatan dari wanita dengan disengaja. Maksudnya, untuk menghalalkan seorang lelaki memperoleh kesenangan (istimta’) dari seorang wanita. Defenisi ini menghindari keracuan dari akad jual beli (wanita), yang bermakna sebuah akad perjanjian yang dilakukan untuk memiliki budak wanita.44

2. Ulama Malikiyah mendefenisikan, “Pernikahan adalah akad perjanjian untuk menghalalkan meraih kenikmatan dengan wanita yang bukan mahram, wanita ahli kitab melalui subuah ikrar.

3. Ulama Syafi’iyah mendefenisikan, pernikahan merupakan akad perjanjian

43Ibid. hal.16. 44Ibid.hal.17

yang mengandung unsur memperbolehkan persetubuhan dengan menggunakan lafazh inkahu ( aku menikahimu wahai fulan dengan fulana) atau tazawwajtu ( aku mengawinkan engkau wahai fulan dengan fulanah).45 4. Ulama Hanabilah berkata, akad pekawinan maksudnya sebuah perjanjian

yang didalamnya, terdapat lafazh nikah atau tazwij atau terjemahan (dalam bahasa lain ) nya yang dijadikanh sebagai pedoman.46

Defenisi yang terbaik untuk perkawinan adalah sebagai berikut: perjanjian yang bersifat syar’i yang berdampak pada halalnya seseorang (lelaki atau perempuan), memperoleh kenikmatan dengan pasangan berupa bersetubuh badan dan cara-cara dalam bentuk yang disyaratkan, dengan ikrar tertentu secara disengaja, begitu akad nikah usai, maka menjadi halal bagi masing-masing pihak untuk mendapatkan kenikmatan dari pasangannya dalam bingkai yang diperbolehkan oleh syariat.47

Islam mengatur masalah perkawinan dengan sangat teperinci, untuk membawa umat manusia hidup terhormat, sesuai dengan kedudukannya yang amat mulia di tengah-tengah mahluk Allah yang lain. Hubungan manusia laki-laki dengan perempuan ditentukan agar didasarkan pada rasa pengabdian kepada Allah sebagai al- Khaliq dan kebaktian kepada kemanusiaan guna melangsungkan kehidupan jenisnya.

Syarat Dan Rukun Nikah Menurut Hukum Islam:

45Ibid. 46Ibid. hal.18. 47Ibid

Bagi umat Islam diisyaratkan beberapa hal yang berkenaan dengan akad nikah untuk mencapai sahnya perkawinan yaitu harus memenuhi syarat dan rukun nikah. Menurut M. Idris Ramulyo, bahwa bagi golongan muslim diberlakukan hukum perkwainan Islam seperti yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum, yang memerlukan syarat dan rukun agar dapat dipandang sah menurut hukum. Yang dimaksud dengan syarat disini ialah syarat perkawinan,48yaitu yang berkaitan dengan rukun-rukun perkawinan itu sendiri, diantaranya syarat bagi calon mempelai pria yang bukan merupakan mahram dari mempelai wanita, atas kemauan sendiri, jelas orangnya dan tidak sedang menjalani ihram. Syarat bagi wanita diantaranya tidak berhalangan syar’i, jelas orangnya dan tidak sedang melaksanakan ihram. Syarat bagi wali diantaranya laki- laki, baligh, berakal sehat, adil dan tidak sedang melaksanakan ihram. Sedangkan saksi haruslah laki-laki, baligh, sehat akalnya, adil, dapat mendengar dan melihat, tidak mengerjakan ihram dan memahami bahasa yang digunakan dalam ijab – Kabul.

Adapun rukun-rukun nikah sebagai berikut : a. Lafadz Ijab dan Qabul,

b. Calon Suami, c. Calon Istri. d. Dua Saksi,

48H.S.A. Alhamdani,Risalah Nikah, terjemahaan Drs. Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Amani,

e. Wali.

Ijab Qabul merupakan lafadz yang diucapkan oleh wali mempelai perempuan kepada calon mempelai pria. Lapadz yang mengikuti antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam ikatan perkawinan. Ijab Qabul merupakan unsur yang paling penting antara yang mengakadkan, yaitu wali, dengan yang menerima akad. Berkaitan artinya: tidak sah nikah kecuali dengan wali.

Dalam pembahasan fiqh wali dibagi 3 (tiga) macam: 1. Wali Nasab,

2. Wali Hakim’ 3. Wali Tahkim,

Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 20 Ayat (1) yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, aqil dan baligh, Ayat (2) Wali nikah terdiri dari (a) wali nasab, (b) wali hakim.49

Syarat-syarat sahnya perkawinan adalah:

1. Mempelai perempuan halal dinikahi oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya, 2. Dihadiri dua orang saksi laki-laki,

3. Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad. Syarat ketiga ini dianut Kaum muslimin di Indonesia dan merupakan pendapat Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Hasan Basari, Ibn Abi Layla dan Ibn Syubrumah.50

49Pasal 20 ayat 1 Kompilasi hukum Islam.

50A. Hamid Sarong,Hukum perkawinan Islam di Indonesia, (Banda Aceh: Pena, 2010)

Perkawinan menurut ajaran Islam ditandai dengan prinsip-prinsip sebagai berikut51:

1. Pilihan jodoh yang tepat,

2. Perkawinan didahului dengan peminangan,

3. Ada ketentuan tentang larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan, 4. Perkawinan didasarkan atas suka rela antara pihak-pihak yang bersangkutan, 5. Ada persaksian dalam akad nikah,

6. Perkawinan tidak ditentukan untuk waktu tertentu, 7. Ada kewajiban pembayaran mahar oleh suami,

8. Ada kebebasan mengajukan syarat atau perjanjian dalam akad nikah, 9. Tanggung jawab pimpinan keluarga adalah suami,

10. Ada kewajiban bergaul dengan baik dalam kehidupan rumah tangga.

Akad nikah adalah perikatan hubungan perkawinan antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan yang dilakukan didepan dua orang saksi laki-laki dengan menggunakan kata-kata ijab qabul. Ijab di ucapkan pihak wali perempuan, yang menurut kebanyakan para fuqaha’ dilakukan oleh walinya (wakilnya) dan qabul adalah pernyataan menerima dari pihak mempelai laki-laki. Mas kawin tidak mesti ada dalam akad nikah, meskipun biasanya disebut dalam akad dan disertakan pula barangnya.52Karena mas kawin adalah kewajiban suami bukan syarat sah perkawinan.

51Ibid. hal.38. 52Ibid. hal.50.

Dari pengertian akad nikah tersebut kita ketahui adanya empat unsur akad nikah yaitu:

1. Mempelai laki-laki dan perempuan, 2. Wali mempelai perempuan,

3. Dua orang saksi laki-laki, 4. Ijab dan qabul.

Seperti halnya pada akad umumnya, pihak-pihak yang melakukan akad (mempelai laki-laki dan perempuan) di syaratkan mempunyai kecakapan sempurna, yaitu telah baliqh, berakal sehat dan tidak terpaksa. Orang yang kehilangan kecakapan karena gila, rusak akal atau dibawah umur tidak sah melakukan akad. Anak umur 7 tahun sampai sebelum baliqh dipandang berkecakapan tak sempurna dan apabila mengadakan akad diserahkan pada izin walinya, menurut pendapat kebanyakan fuqaha’, mempelai perempuan tidak boleh melakukan akad sendiri dan harus dilakukan oleh walinya. Selain itu ada syarat yang perlu ditambahkan, yaitu masing-masing pihak yang melakukan akad harus mendengar dan mengerti arti ucapan atau perkataan masing-masing.53

Perkawinan yang mubah, adalah bahwa syarat kecakapan sempurna bagi calon mempelai diperlukan, umur yang melampaui umur baligh (15 tahun ) seperti ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 bahwa calon mempelai laki-laki sekurang-kurangnya mencapai umur 16 tahun (pasal 7 ayat 1).54

53Ibid.hal 50. 54Ibidhal .51

Objek dalam akad nikah bukan orang yang terikat dalam perjanjian, tetapi orang yang menjadi persetujuan bersama, yaitu halal melakukan hubungan timbal balik antara suami dan istri. Hal ini berarti dengan adanya akad nikah itu tidak terjadi penguasaan suami terhadap pribadi istri atau sebaliknya. Oleh karena itu diperlukan adanya syarat bahwa calon mempelai perempuan tidak haram dinikahi oleh calon suami, atau dengan kata lain tidak terdapat larangan perkawinan antara calon-calon suami dan istri.55

Pada dasarnya akad nikah dapat terjadi dengan menggunakan bahasa apapun yang dapat menunjukan keinginan serta dapat dimengerti pihak-pihak bersangkutan dan dapat dipahami pula oleh para saksi. Di Indonesia sering di pergunakan bahasa Arab dikalangan mereka yang memahaminya dengan menggunakan kata nikah. Mempergunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Daerah semuanya dipandang sah bila dipergunakan kata nikah. Sealain itu pada dasarnya ijab kqabul dilakukan secara lisan. Dalam hal secara lisan tidak mungkin dapat diganti dengan cara tertulis. Dalam hal secara tertulis tidak mungkin dilakukan karena salah satu pihak buta huruf misalnya, dapat dilakukan dengan isyarat.56

Antara ijab dan qabul diisyaratkan terjadi dalam satu majelis, tidak disela dengan pembicaraan lain atau perbuatan-perbuatan yang menurut adat kebiasaan dipandang mengalihkan akad yang sedang dilakukan tapi tidak diisyaratkan antara ijab dan qabul harus berhubungan langsung, andai kata setelah ijab dinyatakan oleh

551bid. 56Ibid.hal.52.

wali mempelai perempuan atau wakilnya, tiba-tiba mempelai laki-laki berdiam beberapa saat tidak segera menyatakan qabul, baru setelah itu menyatakan qabulnya, maka ijab qabul dipandang sah. Imam Malik berpendapat bahwa qabul hanya boleh terlambat dalam waktu amat pendek dari ijab. Ulama-Ulama Madzhab Syafi’I mensyaratkan harus langsung, yaitu setelah wali mempelai perempuan menyatakan ijab mempelai laki-laki harus segera menyatakan qabul tanpa berselang waktu. Pendapat yang terakhir ini yang diperaktekkan di kalangan kebanyakan kaum muslim di Indonesia. Dalam masalah ini, pendapat Ulama-Ulama Madzhab Hanafi dan Hanbali sudah memenuhi syarat sahnya ijab qabul tanpa menentukan majelis dan interval waktu.57

Ada syarat ijab qabul yang perlu disebutkan, yaitu tidak boleh digantungkan

kepada suatu syarat, disandarkan pada waktu yang akan datang atau dibatasi dengan jangka waktu tertentu. Akad bersyarat yang dipandang tidak sah ini ialah apabila syarat dimaksud tidak terjadi seketika, misalnya wali mengatakan kepada calon mempelai laki-laki: “ Apabila engkau telah mendapat pekerjaan nanti, aku nikahkan engkau dengan anakku fulanah dengan mahar lima ribu rupiah.” Ijab seperti ini tidak sah, sebab syaratnya yaitu mendapat pekerjaan, belum tentu terpenuhi dalam waktu mendatang. Akad bersandar pada waktu yang akan datang, misalnya wali mempelai perempuan mengatakan kepada calon suami: “ aku nikahkan anakku fulana besok pagi, dengan mahar mushhaf al-Qur’an ini.” Akad nikah seperti itu tidak sah baik untuk hari diucapkan maupun untuk waktu yang disebutkan dalam akad.

Selain itu akad yang dibatasi untuk waktu tertentu, misalnya selama sebulan atau lebih, atau kurang, tidak dibolehkan, karena bertentangan dengan prinsip

Dokumen terkait