• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN PERKAWINAN WANITA HAMIL

A. Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-

2. Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor

(nikah senang-senang) dan “ nikah muqathi “ ( nikah terputus ). Kebanyakan fuqaha’ berpendapat bahwa nikah mut’ah itu haram, dengan berdasarkan antara lain hadist nabi riwayat Ibnu Majah yang mengajarkan: “wahai umat manusia, dulu aku mengijinkan kamu kawin mut’ah, tetapi ketahuilah, Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat. “Ulama-Ulama Madzhab Syi’ah sampai sekarang masih membolehkan kawin mut’ah itu dengan beberapa persyaratan yang ketat. Tetapi Ulama-Ulama Madzhab lain tidak dapat menyetujuinya.58

2. Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Di Indonesia peraturan tentang perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Bab 1 Dasar Perkawinan Pasal 1 Undang-Undang ini memberi pengertian perkawinan /Pernikahan sebagai berikut59:

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

Jadi menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara 2 (dua) orang yaitu antara pria dan wanita, sebagai ikatan lahir,

58Ibid.

perkawinan merupakan hubungan hukum antara pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Ikatan lahir ini merupakan hubungan yang formal yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat. Sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri.60Perkawinan barulah sah apabila dilakukan antara seorang pria dan seorang wanita.61

Dari pengertian tersebut unsur-unsur perkawinan adalah : 1. Adanya seorang pria dan wanita;

2. Ikatan lahir batin;

3. Adanya tujuan tertentu yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal; 4. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dari rumusan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahaun 1974 tercantum tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputuskan begitu saja.62Dalam rumusan perkawinan itu dinyatakan dengan tegas bahwa pembentukan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini

60Tan Kamelo,Hukum Perdata: Hukum Orang Dan Keluarga, (Medan, USU Press

2011),hal.42.

61Mega Magdalena,fungsi Pencatatan perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974, ( Medan : Tesis Pascasarjana USU, 2005) hal.15.

berarti bahwa perkawinan harus didasarkan pada agama dan kepercayaan. Dalam agama Islam, perintah religius merupakan sunnah Rasulullah. Keberadaan unsur ketuhanan dalam sebuah perkawinan bukan saja peristiwa itu merupakan perjanjian yang sakral melainkan sifat pertanggungjawaban hukumnya jauh lebih penting yaitu pertanggungjawaban kepada Tuhan sang pencipta (Allah SWT). Dengan adanya unsur ketuhanan, maka hilanglah pandangan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah urusan manusia semata-mata.63

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dalam pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa hukum Islam sebagai rujukan sah atau tidaknya suatu pernikahan, ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terlihat bahwa perkawinan merujuk paham relegius. Tujuan perkawinan bukan bersifat sementara, melainkan untuk kekal dan abadi, hidup bahagia kecuali putus hubungan karena kematian.

Syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 meliputi syarat-syarat materil dan formil. Syarat-syarat materil yaitu syarat-syarat mengenai pribadi calon mempelai, sedangkan syarat –syarat formil menyangkut formalitas-formalitas atau cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat dilangsungkannya perkawinan, syarat-syarat materil dan formil dalam perkawinan secara terperinci, yaitu:64

a. Syarat Materil

Syarat-syarat yang termasuk dalam kelompok syarat materil adalah:

63 Ibid. hal 64Ibid.hal.16

1). Harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai (pasal 6 ayat (1) Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.65 Dimaksudkan agar supaya setiap orang dengan bebas memilih pasangannya untuk hidup berumah tangga dalam perkawinan. Munculnya syarat persetujuan dalam Undang-Undang perkawinan, dapat dihubungkan dalam system perkawinan zaman dulu, yaitu seorang anak yang hidup patuh pada orang tuanya. Sebagai anak harus mau dan tidak dapat menolak kehendak orang tuanya, walaupun kehendak anak tidak demikian. Untuk menanggulangi kawin paksa, Undang-Undang perkawinan telah memberikan jalan keluarnya, yaitu suami atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan dengan menunjuk pasal 27 ayat (1) apabila paksaan untuk itu dibawah ancaman yang melanggar hukum.

2). Usia calon mempelai pria harus mencapai umur 19 tahun dan wanita harus sudah mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat (1))66. Ayat (2) menetapkan tentang kemungkinan penyimpangan terhadap ketentuan tersebut di atas`dengan jalan meminta terlebih dahulu pengecualian kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjukan oleh kedua orang tua meninggal dunia, maka pengecualian dapat dimintakan kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjukan oleh orang tua yang masih hidup atau wali/orang yang memelihara/datuk (kakek dan nenek) dari pihak-pihak yang akan melakukan perkawinan dengan ketentuan bahwa segala

65Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

sesuatunya sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Izin kedua orang tua mereka yang belum mencapai umur 21 tahun. Bila salah satu orang tua telah meninggal dunia, maka izin dapat diperoleh dari orang tua yang masih hidup. Bila itupun tidak ada, dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas atau bisa juga izin dari pengadilan, bila orang-orang tersebut juga tidak ada atau tidak mungkin diminta izinnya (pasal 6 ayat 2,3,4, dan 5).67

Mengenai syarat-syarat persetujuan kedua calon mempelai dan syarat harus adanya izin kedua orang tua bagi mereka yang belum berusia 21 tahun sebagaimana diatur dalam pasal 6 Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974, berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

b. Syarat Formil meliputi

1).Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan,

2).Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan,

3).Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaan masing-masing, 4).Pencatat perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.68

67Ibidhal. 20.

Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan di langsungkan, dilakukan secara lisan oleh calaon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan nama istri/suami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin (pasal 3,4,,5 peraturan pemerintah nomor 9 Tahun 1975).69

Pengumuman tentang pemberitahuan kehendak nikah dilakukan oleh pegawai pencatat nikah/perkawinan apabila telah cukup meneliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan. Pengumuman dilakukan dengan suatu formil khusus untuk itu, ditempelkan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum dan ditandatangani oleh pegawai pencatat perkawinan. Pengumuman data pribadi calon mempelai dan orang tua calon mempelai serta hari ini, tanggal, jam dan tempat dilangsungkannya perkawinan (pasal 8 jo pasal 6,7 dan 9 peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975). B. Hal-Hal Yang Memotivasi Seseorang Mau Menikahi Wanita Hamil Karena

Zina.

Hukum perkawinan mempunyai kedudukan amat penting dalam Islam, sebab hukum perkawinan mengatur tata cara kehidupan keluarga yang merupakan inti kehidupan masyarakat sejalan dengan kedudukan manusia sebagai mahkluk yang terhormat melebihi mahkluk-mahkluk yang lain. Hukum perkawinan Islam yang dikenal dengan fiqh munakahat merupakan bagian dari ajaran agama Islam yang

wajib ditaati dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah.70

Manusia adalah mahkluk yang lebih dimuliakan dan diutamakan allah dibanding dengan mahkluk –mahkluk lainnya. Allah telah menetapkan adanya aturan tentang perkawinan bagi manusia dengan aturan –aturan yang tidak boleh dilanggar, manusia tidak boleh berbuat semaunya. Allah Swt tidak membiarkan manusia berbuat semaunya seperti binatang, kawin dengan lawan jenis semaunya tanpa adanya ikatan perkawinan.

Melihat fakta sekarang, banyak wanita hamil diluar perkawinan, karena terlalu bebasnya pergaulan antara laki-laki dan wanita, tanpa berpikir, bagaimana jika sekiranya kehamilan sampai terjadi.71

Dalam hukum Islam, orang yang melakukan hubungan seksual antara pria dan wanita tanpa ikatan perkawinan yang sah disebut zina. Hubungan seksual tersebut tidak dibedakan apakah pelakunya gadis, bersuami atau janda, jejaka, beristri atau duda sebagaimana yang berlaku pada hukum perdata.72

Dalam hukum Islam Zina terbagi 2(dua),yaitu:73

a. Zina Muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah menikah.

70

A. Hamid Sarong, Op Cit, hal. 2

71Gatot Supramono,Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, (Jakarta: Jambatan, 1998), hal. 77

72Abdul Manan,Op Cit, hal 82

73Abd.Aziz Dahlan,Ensiklopedia Hukum Islam,(Jakarta:PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999),

b. Zina Ghairu Muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah, mereka berstatus perjaka atau gadis. Hukum Islam tidak menganggap bahwa zina ghairu muhson sebagai perbuatan biasa, melainkan tetap dianggap sebagai perbuatan zina yang harus dikenakan hukuman.

Hanya saja hukuman itu kuantitasnya berbeda, bagi pezina muhson dirajam sampai mati, sedangkan bagi pezina ghairu muhson dicambuk 100 kali. Anak yang dilahirkan sebagai akibat zina tersebut disebut anak luar kawin.74

Dalam hukum Islam, pembuktian perbuatan berupa perzinaan bisa dilakukan melalui tiga cara:75

1. Pengakuan dari Pelaku. Dengan syarat (pelaku saat menyatakan pengakuannya): sudah baligh, tidak gila, tidak mabuk, dan tidak dalam paksaan.

2. Persaksian 4 (empat) orang saksi laki-laki. (atau 8 (delapan) orang perempuan/ dua orang laki-laki dan empat perempuan/ satu org laki-laki dan enam perempuan/ tiga org laki-laki dan dua perempuan).

3. Kehamilan. dengan syarat: wanita yg hamil tdk diperkosa, sadar dalam melakukannya

74Ibid, hal 23

75 www.kompasiana.com/2014/04/14/ Hukum Berzina Dan Pembuktiannya Dalam Islam/

Hamil diluar nikah adalah sesuatu yang sangat tabu di Indonesia dan merupakan hal yang masuk kategori zina dalam Islam. Hamil di luar nikah merupakan perbuatan zina yang seharusnya dihukum dengan kriteria Islam. Ketika hamil diluar nikah telah terjadi maka akan muncul masalah yaitu aib bagi keluarga. Dengan terjadinya hamil diluar nikah, maka pasangan tersebut diharuskan untuk segera menikah demi melindungi keluarga dari aib yang lebih besar.

Menikah sesungguhnya merupakan hal yang biasa dilakukan oleh seorang yang sudah dewasa. Hal ini terbukti dengan adanya ketentuan undang- undang yang memperbolehkan seorang menikah ketika dia sudah mampu mengemban tanggung jawabnya dengan baik. Sebuah hal yang berbeda ketika pernikahan tersebut dilakukan oleh seseorang yang didahului dengan perbuatan tidak halal misalnya melakukan persetubuhan antara dua jenis kelamin yang berbeda diluar ketentuan undang-undang perkawinan yang berlaku. Pernikahan ini bisaanya dinamakan perkawinan akibat perzinaan.76

Hal- hal yang memotivasi seorang laki-laki mau menikahi wanita hamil karena zina adalah:

1. Untuk menutup aib, karena sebelum terjadi kehamilan laki-laki ini sudah bolak-balik mengajak wanita yang dihamilinya untuk menikah tetapi siwanita tidak mau dengan berbagai macam alasan diantaranya, belum mau direpoti dengan anak dan suami, mau berkarir dulu,malah wanita yang dihamili berkata mana tau masih ada pilihan yang lebih baik ( jodoh yang lebih baik),

sebenarnya waktu siwanita ini hamil, pada mulanya si laki-laki tidak mau bertanggung jawab karena kesal atas penolakan –penolakan si wanita selama ini dan sempat menghilang tapi karena untuk menutup aib dan mungkin masih cinta dia kembali lagi dan mau menikahi wanita yang dihamilinya tersebut.77 2. Harus bertanggung Jawab dengan perbuatan yang dilakukannya, karena telah

menghamili wanita tersebut, walaupun pada awalnya mereka tidak ingin sampai kehamilan ini terjadi, mungkin karena seringnya bersama sehingga hal-hal yang tidak diinginkan pun terjadi, jadi setelah terjadi kehamilan si laki-laki harus bertanggung jawab dengan menikahi wanita tersebut, karena kalau silaki-laki tidak bertanggung jawab bagaimana si wanita dan keluarganya harus menanggung malu, dan bagaimana nanti anak yang akan dilahirkannya tidak punya ayah, secara jelas-jelas yang menghamilinya adalah laki-laki tersebut dan karena laki-laki tersebut juga mencintainya dan keluarga si laki-laki dan perempuan juga merestui hubungan mereka selama ini.78

3. Untuk menutup malu karena merupakan aib bagi keluarga, baik bagi keluarga laki-laki apalagi bagi keluarga perempuan, karena telah menghamili seorang wanita sebelum adanya perkawinan, jadi untuk menutup malu supaya keluarga tidak menjadi lebih malu lagi harus menikahi wanita tersebut,

77Hasil Wawancara Dengan Bambang,Pelaku Yang Menikahi Wanita Hamil Karena zina ,

Pada Hari Selasa,Tanggal 25 November 2014, Pukul 20.00 WIB

78Hasil Wawancara Dengan Anto, Pelaku Yang Menikahin Perempuan hamil Karena zina,

walaupun umur kami masih tergolong muda (laki-laki dan wanita berumur 20 Tahun ).79

Yang paling mendasar yang dijadikan alasan bagi seseorang menikahi wanita hamil karena zina adalah semata-mata untuk menutupi aib wanita tersebut dan keluarganya, bila aib sudah tertutupi melalui perkawinan yang sah, secara tidak langsung akan menimbulkan kebaikan-kebaikan tertentu, anak akan jelas statusnya dan ibu akan terlindungi nama baiknya.

Adalah kehidupan free sex yang semakin meningkat dan dilakukan secara terbuka serta dengan penuh rasaa bangga. Akibat dari semua itu maka banyak terjadi kehamilan diluar nikah yang menimbulkan kepanikan, baik bagi wanita yang bersangkutan maupun keluarga. Untuk mennghindari perasaan malu kepada masyarakat, maka mereka cepat-cepat dinikahkan dalam keadaan hamil .80

Dari Hal- hal yang memotifasi seseorang mau melakukan perkawinan dengan seorang wanita yang hamil diatas kembali lagi pada manusianya masing-masing, jika mereka merasa siap dengan segala konsekuensi yang akan terjadi, baik konsekuensi pada diri sendiri atau konsekuesi sosial yang ada dimasyarakat maka mereka harus siap dengan segala dampak buruknya, seperti tindak kekerasan hingga kemungkinan terburuknya ialah kematian.Resiko tersebut harus dapat ditanggung oleh pelakunya masing-masing contohnya jika terjadi kehamilan, pihak laki-laki dapat pergi

79Hasil Wawancara Dengan Toni, Pelaku Yang Menikahi Wanita Hamil Karena Zina,Pada

Hari Rabu, Tanggal 26 November 2014. Pukul 18.00, WIB

80 M.Hamdan Rasyid, Fiqih Indonesia Himpunan Fatwa-Fatwa Aktual, (Jakarta: PT. Al

meninggalkan wanitanya begitu saja, tetapi jika ada kekerasan atau pencemaran nama baik, hal tersebut bisa saja dipidanakan.Maka seks pranikah sebaiknya tidak dilakukan karena ada beberapa dampak yangsangat merugikan, di sini pihak yang akan sangat dirugikan adalah pihak wanita. Maka sebaiknya para wanita harus pintar menjaga diri dengan tidak mudah percaya dengan orang lain terutama pria dan harus punya sikap agar pria menghormati wanita tersebut.81

C. Pengaturan Perkawinan Wanita Hamil Karena Zina 1. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Menurut Kompilasi Hukum Islam bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina bila yang menikahi wanita itu laki-laki yang menghamilinya. Bila yang menikahinya bukan laki-laki yang menghamilinya, hukumnya menjadi tidak sah karena pasal 53 ayat 1 KHI tidak memberikan peluang untuk itu.82

Secara lengkap, isi pasal 53 KHI itu adalah sebagai berikut:

(1). Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang

menghamilinya.

(2). Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.

(3). Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

81 Akrizz.blogspot.com/2012/07/beberapa factor pentebab sex bebas:html/diakses tanggal1

Agustus 2014.

Ketentuan ini adalah sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nur ayat (3), “dimana dikemukakan bahwa laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin.”

Ketentuan ini dapat dipahami bahwa kebolehan kawin dengan perkawinan hamil bagi laki-laki yang menghamilinya adalah merupakan pengecualian, karena laki-laki yang menghamilinya itu yang tepat menjadi jodoh mereka sedangkan laki- laki yang mukmin tidak pantas bagi mereka. Dengan demikian, selain laki-laki yang menghamili perempuan yang hamil itu diharamkan untuk menikahinya.83

Sebagaimana yang tertuang pada Pasal 53 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam membatasi pernikahan wanita hamil hanya dengan pria yang menghamilinya, tidak memberi peluang kepada laki-laki lain bukan yang menghamilinya. Karena itu, kawin darurat yang selama ini masih terjadi di Indonesia, yaitu kawin dengan sembarang laki-laki, yang dilakukannya hanya untuk menutupi malu (karena sudah terlanjur hamil), baik istilahnya kawin “Tambelan”, “Pattongkogsi sirig”, atau orang sunda menyebutnya kawin “Nutupan kawirang”84 menurut Kompilasi Hukum Islam hukumnya tidak sah untuk dilakukan.85Hal ini karena akibat hukum yang ditimbulkan seakan-akan kebolehan tersebut memeberikan peluang kepada orang-

83Abdul Manan,Op cit, hal .38

84 “ Tambelan”, Pattongkogsi Sirig”, “Nutupan Kawirang” adalah nama lain dari kawin

darurat atau kawin dengan sembarang laki-laki.

85 Gozlan-ade.Blogspot.com/2014/02/Perkawinan-karena-hamil-di-luar-nikah.html/diakses

orang yang kurang atau tidak kokoh agamanya akan dengan gampang menyalurkan kebutuhan seksualnya dilluar nikah. Padahal akibatnya jelas dapat merusak tatanan moral dan juga kehidupan keluarga serta sendi-sendi kehidupan masyarakat.86

Persoalan menikahkan wanita hamil apabila dilihat dari Kompilasi Hukum Isalm, penyelesaiaanya jelas dan sederhana cukup dengan satu pasal dan tiga ayat. yang menikahi wanita hamil adalah pria yang menghamilinya, Pembolehan pernikahan wanita hamil ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada anak yang ada dalam kandungan, dan logikanya untuk mengakhiri status anak zina. Menurut Fiqih Islam

Tentang hamil diluar nikah sendiri sudah di ketahui sebagai perbuatan zina baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu merupakan dosa besar. Persoalannya adalah bolehkah menikahkan wanita yang hamil karena zina? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang secara ketat tidak memperbolehkan, ada pula yang menekankan pada penyelesaian masalah tanpa mengurangi kehati-hatian mereka. Sejalan dengan sikap para ulama itu, ketentuan hukum Islam menjaga batas-batas pergaulan masyarakat yang sopan dan memberikan ketenangan dan rasa aman. Patuh terhadap ketentuan hukum Islam, insya Allah akan mengujudkan kemaslahatan dalam masyarakat. Yang dimaksud dengan “kawin hamil” disini ialah kawin dengan seorang wanita yang hamil di luar nikah, baik

dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki bukan yang menghamilinya.87

Hukum kawin dengan wanita yang hamil diluar nikah, para ulama berbeda pendapat, sebagai berikut :

1. Ulama Syafi’iah berpendapat, hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina, baik yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya maupun bukan yang menghamilinya. Alasanya karena wanita hamil akibat zina tidak termasuk golongan wanita yang diharamkan untuk dinikahi. Mereka juga berpendapat karena akad nikah yang dilakukan itu hukumnya sah, wanita yang dinikahi tersebut halal untuk disetubuhi walaupun ia dalam keadaan hamil.88

2. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hukumnya sah menikahi wanita hamil bila yang menikahinya laki-laki yang menghamilinya, alasannya wanita hamil akibat zina tidak termasuk kedalam golongan wanita-wanita yang haram untuk dinikahi sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. An-Nisa:22,23,24.yang artinya :

‘Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu,kecuali (kejadian) pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu sangat keji dan dibenci dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). “(Q.S An-Nisa (22)

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu

87Abdul Rahman Ghozali,Fiqh Munkahat( Jakarta : Perdana Media Group, Kencana,2008)

hal.124.

yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,”(Q.S An-Nisa (23) )

“Dan (diharamkan juga atas kalian untuk menikahi) perempuan-perempuan yang telah bersuami, kecuali perempuan yang menjadi budak kalian. (Ini adalah) ketetapan dari Allah atas kalian. Dan dihalalkan bagi kalian perempuan-perempuan selain yang telah disebutkan tadi dengan memberikan harta kalian untuk menikahi mereka dan tidak untuk berzina. Maka karena kalian menikmati mereka, berikanlah mahar kepada mereka, dan hal itu adalah kewajiban kalian. Dan tidak mengapa apabila kalian telah saling rela sesudah terjadinya kesepakatan. Sesungguhnya Allah itu maha mengetahui dan maha

Dokumen terkait