• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III STATUS HUKUM ANAK YANG DILAHIRKAN DAR

A. Pengertian Anak

2. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Menurut pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

90Memed Hamaedillah,Status Hukum Akad Nikah Wanita Hamil dan Anaknya( Jakarta: Gema

Insani Press, 2002), hal 37

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Dari rumusan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tercantum tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputuskan begitu saja.92

Dalam rumusan perkawinan itu dinyatakan dengan tegas bahwa pembentukan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini berarti bahwa perkawinan harus didasarkan pada agama dan kepercayaan. Dalam agama Islam, perintah religius merupakan sunnah Rasulullah. Keberadaan unsur ketuhanan dalam sebuah perkawinan bukan saja peristiwa itu merupakan perjanjian yang sakral melainkan sifat pertanggungjawaban hukumnya jauh lebih penting yaitu pertanggungjawaban kepada Tuhan sang pencipta (Allah SWT). Dengan adanya unsur ketuhanan, maka hilanglah pandangan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah urusan manusia semata-mata.93

Pada dasarnya apa yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam yang berhubungan dengan perkawinan semuanya telah dimuat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo.Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang. Hanya saja dalam Kompilasi hukum Islam muatanya lebih terperinci, larangan lebih dipertegas, dan menambah beberapa poin sebagai aplikasi dari peraturan perundang-undangan yang telah ada. Adapun hal-

92Mega MagdalenaOp Cit, hal. 43. 93 Ibid.

hal yang menjadi perhatian Kompilasi Hukum Islam dan mempertegas hal-hal kembali yang telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975 antara lain adalah tentang perkawinan wanita hamil.94

Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara eksplisit95tidak ada mengatur tentang perkawinan wanita hamil tetapi secara implisit96ada yaitu dalam Pasal 2 ayat (1) bawha : “ perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.97

Jadi Perkawinan wanita hamil karena zina sah sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perakwinan Nomor 1 Tahun 1974 dan juga harus memenuhi syarat- syarat sahnya suatu perkawinan seperti yang telah diuraikan diatas.

94Abdul Manan,Op Cit, hal 27

95 Ekplisit artinya Tegas, terus terang, tidak berbelit-belit,( sehingga seseorang dapat

menangkap maksudnya dengan mudah dan tidak mempunyai gambaran yang kabur atau salah

96Implisit artinya Termasuk (terkandung) didalamnya meskipun tidak dinyatakan secara jelas

atau terang-terangan, tersimpil didalamnya, terkandung halus, tersirat.

BAB III

STATUS HUKUM ANAK YANG DILAHIRKAN DARI PERKAWINAN WANITA HAMIL KARENA ZINA

A. Pengertian Anak

1. Menurut Kompilasi Hukum Islam

“Dalam Hukum Islam seorang anak masih belum dewasa ( minderjaring) apabila dia belum berumur 15 (lima belas ) tahun, kecuali ia sebelumnya itu sudah memperlihatkan telah matang untuk bersetubuh (geslachtsrijp), tetapi tidak kurang dari usia 9 (Sembilan) tahun. Orang yang belum dewasa ini dalam hukum Islam biasanya disebut saghir atau sabi, sedangkan orang yang sudah dewasa dinamakan baligh.98

Didalam hukum agama Islam tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tentang kedudukan anak dalam ikatan perkawinan. Namun dari tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi perintah Allah swt agar memperoleh keturunan yang sah, maka yang dikatakan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari akad nikah yang sah. Islam menghendaki terpeliharanya keturunan dengan baik dan terang diketahui sanak kerabat tetangga, dilarang terjadi perkawinan diam-diam (kawin gelap) dan setiap anak harus kenal siapa bapak dan ibunya. Ketika anak-anak masih kecil dijaga dan dipelihara oleh ayah dan ibunya setelah dewasa dimana orang tuanya

98 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center

sudah lemah dan tidak mampu lagi, maka dengan kemampuanya ia wajib mengurus dan memelihara orang tuanya.99

Setiap anak yang belum dewasa(baligh) atau juga sudah baligh tetapi keadaan hidupnya miskin tidak mempunyai harta berhak untuk mendapatkan nafkah dari orang tuanya yang mampu. Menurut Imam Hanafi anak yang belum dewasa dan masih menuntut ilmu pengetahuan wajib mendapatkan nafkah dari bapaknya. Anak wanita walaupun sudah dewasa tetapi belum kawin dan tidak mampu berhak mendapat nafkah dari orang tuanya yang mampu.Begitu juga sebaliknya anak-anak yang sudah dewasa dan mampu wajib member nafkah kepada ayah ibunya yang tidak mampu. Menurut imam Syafi”I, Hanafi dan Maliki kewajiban anak terhadap ayah dan ibu tidak saja terbatas pada yang beragama Islam tetapi juga bagi ayah dan ibu yang tidak beragama Islam.100

Menurut Kompilasi Hukum Islam anak adalah orang yang belum genap berumur 21 (dua puluh satu ) tahun dan belum pernah menikah dan karenanya belum mampu untuk berdiri sendiri.101

Ketentuan ini berlaku sepanjang anak tidak mempunyai cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Oleh karena itu segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh anak diwakili oleh kedua orang tuanya, baik didalam maupun diluar pengadilan. Dalam hal kedua orang tuanya tidak mampu

99Ibid

100Abdur Rozak Husein, Hak Anak Dalam Islam, (Jakarta: Fikahati Aneska, 1992) hal 11 101Pasal 98, Kompilasi Hukum Islam

menunaikan kewajiban tersebut, maka pengadilan Agama dapat menunjuk seseorang kerabat terdekat untuk melaksanakannya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam status anak dibedakan sebagai anak sah dan anak luar perkawinan. Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah dan hasil pembuahan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.102dan anak anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya103

2. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti. Anak memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Anak sebagai penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran dikala usia senja. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan dengan orang tuanya, termasuk ciri khas, baik maupun buruk.104

Dalam bahasa Indonesia kata anak mengandung beberapa pengertian. Secara umum kata anak dalam hukum keluarga mengandung 2 (dua) pengertian dasar, yaitu : anak dalam pengertian orang yang belum dewasa dan anak dalam pengertian orang yang memiliki hubungan hukum dengan ibu atau kedua orang tuanya baik karena dilahirkan olehnya atau karena memperoleh status sebagai anak.

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, mengenai pengertian anak juga belum terdapat keseragaman. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun

102Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam 103Pasal 100 Kompilasi hukum Islam.

2002 Tentang Perlindungan Anak, Pengertian anak sebagai mana diatur dalam pasal 1 ayat (1) adalah “ Seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun) termasuk anak yang masih dalam kandungan” . Batasan umur 18 (delapan belas) tahun pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 berbeda dengan batasan yang ditetapkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang kesejahteraan Anak yang menyatakan bahwa “ Anak adalah seorang yang belum mencapai umur 21 (dua\ satu) tahun dan belum pernah kawin”. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa batas umur 21 (dua puluh satu) tahun ditetapkann oleh karena berdasarkan pertimbangan kepentinga usaha Kesejahteraan Sosial, tahap kematangan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada umur tersebut. Batas umur 21 (dua puluh satu ) tahun tidak mengurangi ketentuan batas umur dalam peraturan perundang-undangan lainnya ,dan tidak pula mengurangi kemungkinan anak melakukan perbuatan sejauh ini mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan hukum yang belaku.

Dalam pengertian hukum Perkawinan Indonesia anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.105 Pengertian ini bersandar pada kemampuan anak, jika anak telah mencapai umur 18 tahun namun belum mampu menghidupi dirinya sendiri, maka ia termasuk katagori anak namun berbeda apabila ia telah melakukan perbuatan hukum, maka ia telah dikenai peraturan hukum atau perUndang-Undangan.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, status anak dibedakan menjadi 2(dua) yaitu anak sah dan anak luar kawin. Anak sah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 42 adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan tidak secara tegas memberikan pengertian tentang istilah “anak luar nikah” tetapi hanya menjelaskan penegertian anak sah dan kedudukan anak luar nikah” tetapi . Hal ini sebagaimana bunyi Pasal 42-43 yang pada pokoknya menyatakan: “ Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat pernikahan yang sah. Anak yang dilahirkan diluar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya .

Dilihat dari bunyi pasal tersebut dapat ditarik pengertian bahwa anak luar nikah adalah anak yg dilahirkan diluar pernikahan dan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya saja.

Sebagaimana diketahui, Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan melarang perkawinan antara dua orang yang :106

1). Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas; 2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara

saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

3).Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantudan ibu/bapak tiri; 4).Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan,anak susuan,saudara susuan

dan bibi/paman susuan;

5).Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari Isteri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;

6).Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang Berlaku, dilarang nikah.

Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bila mana ia dapat membuktikan bahwa isterinya berzina dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut (pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

Dengan demikian dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan anak yang sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Jadi kalau seorang wanita yang telah mengandung karena berbuat zina dengan orang lain, kemudian ia kawin sah dengan bukan pria yang bukan pemberi benih kandungan wanita itu, maka jika anak itu lahir, anak itu adalah anak sah dari perkawinan dari wanita itu dengan pria itu. Dalam hukum adat perkawinan seperti ini disebut “kawin tekap malu” (Jawa: nikah tambelan) agar si anak lahir mempunyai bapak.107

Anak-anak dalam hubungannya dengan orang tua dapat dibedakan antara lain: a. Anak kandung, adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat

perkawinan yang sah.108Apabila perkawinan ayah dan ibunya sah, maka anaknya adalah anak kandung yang sah, apabila perkawinan ayah dan ibunya tidak sah, maka anaknya menjadi anak kandung yang tidak sah.109

107 Soedaryono Soimin, Hukum Orang Dan Keluarga Persektif Hukum Perdata Barat/Bw,

Hukum Islam Dan Hukum Adat, (Jakarta:Sinar Grafika 1992), hal,124

108Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

109Hilman Hadikusuma, I,Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat dan Upacara

b. Anak tiri, adalah anak kandung yang dibawa suami atau istri kedalam perkawinan sehingga salah seorang dari mereka menyebut anak itu sebagai anak tiri.110

c. Anak Piara, atau disebut juga “anak titip” adalah anak yang diserahkan orang lain untuk dipelihara sehingga orang yang dititipi merasa berkewajiban untuk memelihara anak itu.111

d. Anak akuan, atau disebut “anak semang” (Minangkabau), “anak popun” atau “anak pungut” (Jawa), ialah anak orang lain yang diakui anak oleh orang tua yang mengakui karena belas kasihan atau juga dikarenakan keinginan mendapatkan tenaga pembantu tanpa membayar upah.112

e. Anak angkat, adalah anak orang lain yang diangkat oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan/atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga .113

B. Status Anak Yang Lahir Dari Perkawinan Wanita Hamil Karena Zina

Dokumen terkait