• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menikahi Wanita Hamil Karena Zina Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Menikahi Wanita Hamil Karena Zina Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan bagian terpentingyang mengikatkan dua insan

manusia dalam menjalani kehidupan. Ikatan ini bukan hanya memperkuat hubungan

individu dan kekerabatannya, tetapi sekaligus memperluas hubungan umat manusia

dalam interaksi sosial dan budayanya. Perkawinan juga merupakan cerminan dari rasa

tanggung jawab antara kedua individu untuk secara bersama-sama mengarungi

bahtera kehidupan dengan berbagai konsekuensi yang dihadapi.Setiap pasangan

dalam perkawinan juga menyadari akan tugas dan tanggung jawab masing-masing

berdasarkan nilai-nilai keagamaan dan undang-undang positif yang berlaku.

Dalam kehidupan sosial dan budaya kita saat ini, terjadinya sebuah

perkawinan diawalidari berbagai proses yang sangat beragam. Ada proses

perkawinan yang dilalui dengan cara yang sesuai dengan norma-norma hukum yang

berlaku dalam kehidupan sosial dan bernegara. Pada sisi yang lain, adapula

perkawinan yang diakibatkan dari proses yang tidak sah dan melanggar nilai-nilai

agama sertaaturan hukum positifyang berlaku di Indonesia. Di samping itu, di antara

masyarakatmasih juga ditemukan pandanganbahwa perkawinan hanya sekedar

legalitas untuk menjalin hubungan biologis semata, sehingga lahirlah berbagai

(2)

Pemahaman yang sempit dan keliru tentang perkawinan juga diperparah

dengan semakin menguatnya budaya yang mengarah pada pergaulan bebas di antara

kehidupan-kehidupan kaum muda saat ini.Kebebasan ini memberikan dampak negatif

lainnya pada prilaku hubungan antara lelaki dan perempuan yang berujung pada

hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma adat, agama dan hukum positif yang sah.

Dari sekian banyak kasus yang terjadi akibat kebebasan tersebut, salah satunya adalah

hubungan tanpa nikah yang menimbulkan masalah lainnya berupa terjadinya

kehamilan, status anak hasil hubungan tersebut dan tanggung jawab masing-masing

mereka saat wanita melahirkan anak tersebut. Termasuk pula status menikahi wanita

hamil karena perbuatan zina yang dilakukan.

Di Indonesia, banyakfakta yang telah mengungkapkan praktik kebebasan

pergaulan yang mengakibatkan hamil di luar nikah.1Fenomena menyimpang tersebut telah mengurangi kesakralan pernikahan yang seharusnya menjadi sesuatu yang suci

dan melalui berbagai tahapan yang butuh perhatian dan keseriusan. Perkawinan

bukan hanya sekedar untuk kepentingan biologis semata, tetapi juga memperoleh

keturunan dalam rangka membentuk keluarga adalah tujuan utama dan pertama dari

sebuah perjanjian perkawinan.2 Keturunan diharapkan dapat melanjutkan misi dan impian orang tuanya yang belum terealisasi dalam hidupnya.

1 Berdasarkan penelitian dari Australian National University, bersama Pusat Penelitian

Kesehatan Universitas Indonesia (UI), Tahun 2010/2011, menyimpulkan bahwa dari 3006 responden yang diteliti menunjukkan bahwa 20.9 % (persen) remaja mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah. Sementara 38,7 % (persen) yang mengalami kehamilan sebelum menikah dan kelahiran setelah menikah. Di samping itu, data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKB) tahun 2002 juga mencatat bahwa 4,8 % (persen) kehamilan terjadi pada anak usia 10 sampai 11 tahun. Sedangkan pada usia produktif usia 15 sampai 19 tahun sebanyak 48,1 % (persen) terutama pada usia 17 tahun. Jelia Karlina Rachmawati, Penerimaan Diri Remaja Hamil Pra Nikah, (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2014), hlm. 2. Diakses melalui repository.upi.edu.

2Muhammad Amin Summa,Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, edisi revisi-2, (Jakarta:

(3)

Islam merupakan agama yang sangat menghormati kedudukan manusia yang

dibuktikan dalam berbagai hukum yang diterapkan. Penghormatan ini adalah untuk

merealisir kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini, menarik keuntungan untuk

mereka, dan melenyapkan bahaya dari mereka.3

Jika disadari secara lebih mendalam, selain memperoleh dan memelihara

keturunan yang sah, perkawinan juga bertujuan untuk memenuhi tuntutan naluriah

hidup kemanusiaan, memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.Termasuk

pula membentuk dan mengatur keluarga yang menjadi basis pertama dari masyarakat

yang besar atas dasar kecintaan dan kasih sayang, serta menumbuhkan kesungguhan

berusaha mencari rizki penghidupan yang halal dan memperbesar rasa tanggung

jawab.4

Perkawinan sesunguhnya mengandung tiga hal penting yang sangat mendasar.

Pertama, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami isteri.Kedua, ikatan lahir batin itu ditujukan untuk

membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia, kekal dan sejahtera.Ketiga,

dasar ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal ituberdasarkan keimanan.5 Dalam memelihara keturunan, ajaran Islam melarang perzinahan dan segala

bentuk perbuatan yang dapat menghantarkan pada perzinahan. Perbuatan zina yang

dilarang dalam Islam, bukan hanya mencakup tindakan kriminal pemerkosaan, tetapi

3 Abdul WahhabKhallaf, Kaidah-KaidahHukum Islam,alihbahasaNoerIskandar al- Barsany,

Moh. TolchahMansoer, cet. ke-6, (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 19960, hlm. 331. 4Imam al Ghazali,Ihya' Ulumuddin, Juz I, (Semarang: Toha Putra, t.tp.), hlm. 25.

5M. YahyaHarahap,HukumperkawinanNasionalBerdasarkanUndang-undang No. 9Tahun

(4)

juga hubungan seksual di luar nikah, meskipun didasarkan atas suka sama

suka.6Meskipun rasa cintadan hasrat berhubungan seks kepada lawan jenis adalah fitrah manusia, namun agama Islam mengharamkan hubungan tanpa nikah atau zina.

Sebagaimana disebutkan dalam Alquran yang berbunyi:

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu

perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.(QS. Al-Isra: 32)7 Pelarangan perzinahan merupakan bagian dari memelihara keturunan dan

kehormatan seseorang.Perzinaan juga merupakan tindakan di luar nikah yang

berdampak pada status pernikahan yang dilakukan akibat perzinahan tersebut. Ini

bermakna pula bahwa menikahi wanita hamil karena zina, bukan hanya memiliki

implikasi sosial dalam kehidupan para pelaku tersebut dalam interaksi sosialnya,

tetapi juga implikasi hukum, baik Hukum Islam maupun undang-undang perkawinan.

Dalam system perundang-undangan di Indonesia, ketentuan perkawinan telah

diatur dalam beberapa aturan yang khusus berlaku bagi warga negara Indonesia.

Aturan perkawinan dalam bentuk undang-undang, yaitu Undang-undang No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Undang-undang ini merupakan hukum materiil dari

perkawinan dan hukum formalnya ditetapkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun

1989. Sedangkan sebagai aturan pelengkap yang akan menjadi pedoman bagi hakim

di lembaga peradilan agama adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia

6 Zamakhsyari, Teori-teori Hukum Islam dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bandung:

Citapustaka Media Perintis, 2013), hlm. 24.

(5)

yang telah ditetapkan dan disebarluaskan melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun

1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.8

Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan aturan perkawinan yang bersifat

operasional dan diikuti oleh penegak hukum dalam bidang perkawinan itu. Aturan ini

telah merumuskan beberapa hal penting yang bertujuan untuk membangun sebuah

perkawinan yang memiliki nilai-nilai humanis dan agamis yang digali berdasarkan

ramuan dari fiqih munakahat menurut apa adanya dalam kitab-kitab fiqih klasik. Di

samping itu, produk hukum ini disertai sedikit ulasan dari pemikiran kontemporer

tentang perkawinan dengan hukum perundang-undangan negara yang berlaku di

Indonesia tentang perkawinan.9

Nilai-nilai humanis dan agamis dari Kompilasi Hukum Islam (KHI), salah

satunya tercermin dari isi Pasal 2 yang menyebutkan definisi pernikahan menurut

Hukum Islam, yaitu:

“Pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk

mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

Dalam Pasal 3 dan 4 dari Kompilasi Hukum Islam juga menyebutkan secara

jelas tujuan dari pernikahan, yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang

aman dan tenteram (sakinah),saling mencintai(mawaddah), dansaling menyantuni

(rahmah). Status perkawinan dapat dikatakan sah, apabila dilakukan menurut Hukum

8 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan

(6)

Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1)Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan.

Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara jelas

mendefenisikan tentang perkawinan yang bertujuan untuk membangun kehidupan

keluarga yang memiliki nilai bahagia dan keagamaan. Sebagaimana disebutkan dalam

Pasal 1 yang berbunyi:

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suatu ikatan suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah-tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkanTuhan Yang Maha Esa.”10 Dari rumusan hukum tersebut dapat dikatakan bahwa tujuan perkawinan

adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan nilai-nilai

keagamaan. Ini berarti pula suami istri harus saling membantu di antara keduanya,

agar mereka dapat mengembangkan kepribadiannya dan mencapai kesejahteraan

spritual maupun material.

Dalam penjelasan umum Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan juga menyebutkan bahwa tujuan materil yang akan diperjuangkan oleh

sebuah perkawinan mempunyai hubungan yang kuat dengan nilai-nilai agama,

sehingga bukan hanya berhubungan dengan unsur lahiriah atau jasmani, tetapi juga

terkait erat dengan unsur bathiniah atau rohani.

Terjalinnya sebuah perkawinan juga tidak terlepas dari syarat sahnya sebuah

perkawinan. Berdasarkan Hukum Islam, keabsahan perkawinan tersebut ditentukan

(7)

setelah terpenuhinya syarat dan rukun yang telah diatur dalam Islam.11Ketentuan Hukum Islam yang tercantum di dalam Kompilasi Hukum Islam, telah secara jelas

mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun

perkawinan, sehingga umat Islam di Indonesia khususnya dapat memedomani

syarat-syarat dan rukun-rukun ini dalam melakukan penetapan perkawinan, baik yang terjadi

secara normal maupun akibat dari perbuatan zina yang mengharuskan pasangan

tersebut melakukan pernikahan.12

Begitu pula syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-undang No.

1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Ketentuan yang ada dalam undang-undang ini

juga telah menitik beratkan bahwa sahnya sebuah perkawinan harus dilaksanakan

sesuai dengan syarat danproseduryang ditentukan oleh undang-undang atau hukum

negara dan hukumagama.13Syarat dan prosedur tersebut juga harus menjadi landasan bagi persoalan hukum yang terkait dengan praktik pernikahan yang terjadi sebagai

akibat dari perbuatan zina atau menikahi wanita yang dalam keadaan hamil.

Persoalan menikahi wanita hamil karena zina bukan hanya menyisakan aspek

status dan keabsahan dari pernikahan yang terjadi oleh pelaku atau bukan pelakunya

saja, tetapi implikasi lainnya yang terkait dengan anak yang dikandung oleh

perempuan yang berzina tersebut manakala lahir dan menjalani kehidupan layaknya

anak-anak lainnya. Ini bermakna pula bahwa menikahi wanita hamil karena zina,

11SayutiThalib,Hukum Kekeluargaan Indonesia,(Jakarta: UI Press, 1974), hlm. 125.

12Zahri Ahmad,Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan di

Indonesia,(Jakarta: Bina Cipta, t.tp.), hlm. 24.

13Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

(8)

pada dasarnya telah terikat sebuah keluarga yang memiliki ikatan hukum yang sah.

Namun pernikahan ini membawa persoalan bawaan yang terkait dengan tanggung

jawab terhadap anak zina tersebut dan aspek-aspek kewarisan yang secara biologis

melekat pada anak tersebut.

Secara umum, menikahi wanita hamil setidaknya memiliki dua kemungkinan

yang akan terjadi.Pertama,pria yang menikahi wanita hamil merupakan orang yang

menghamilinya. Hal ini sering terjadi dalam masyarakat kita akibat si pria tersebut

dituntut untuk bertanggung jawab atas perbuatannya melakukan hubungan seks

dengan seorang wanita sebelum adanya akad nikah. Kedua, pria yang menikahi

wanita hamil tersebut bukanlah orang yang menghamilinya. Fenomena ini juga terjadi

dalam masyarakat kita dan umumnya karena untuk menutupi rasa malu keluarga si

wanita. Artinya, akibat pria yang menghamili wanita tersebut tidak bertanggung

jawab, maka dicarikan pria lain untuk mengawini wanita tersebut.14

Kehamilan seorang wanita disebabkan zina adalah kehamilan yang tidak

diinginkan oleh semua orang. Saat dihadapkan pada situasi ini, seringkali wanita

menjadi pihak yang paling merasakan tekanan psikologis yang sangat kuat. Jika

kondisi seperti itu dibiarkan berlarut-larut dan tidak segera dilangsungkan perkawinan

dengan laki-laki yang menghamilinya, maka dikhawatirkan situasi lebih buruk akan

terjadi. Kasus bunuh diri dan aborsi adalah contoh yang biasanya didominasi oleh

tekanan psikologis akibat kehamilan di luar nikah. Kedua kasus tersebut dapat terjadi

14M. Ali Hasan,MasailulFiqhiyah Al-Haditsah, Cet. II, (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada,

(9)

karena wanita merasa hidupnya tidak nyaman, selalu dihantui rasa malu, rendah diri,

perasaan berdosa, depresi, dan pesimis.15

Banyak kasus penyelesaian wanita hamil yang berzina atau di luar nikah

biasanya menggunakan penyelesaian dengan cara melangsungkan perkawinan antara

wanita hamil tersebut dengan laki-laki yang menghamilinya, tanpa menunggu

kelahiran anak yang dikandung.16Cara ini dianggap dapat menutup aib keluarga agar tidak diketahui masyarakat luas. Masyarakat dalam menanggapipraktik perzinaan,

biasanya juga dengan melakukan pengasingan atau pengisolasian terhadap pelaku

zina, keturunan, dan bahkan kepada keluarganya sekalipun.Pemahaman dan tindakan

masyarakat seperti ini menandakan bahwa persoalan zina dalam kehidupan

masyarakat adalah suatu hal yang sensitif, tabu dan jauh dari nilai-nilai budaya

masyarakat.

Secara faktual, ada beberapa gejala (symtom) terjadinya pernikahan atau

perkawinan dengan wanita hamil karena zina yang timbul di tengah masyarakat.

Pertama, pergaulan bebas, yaitu para pasangan terpaksa dinikahkan di Kantor Urusan

Agama (KUA) berdasarkan persyaratan yang ada, karena orang tua dari anak

perempuan telah hamil akibat pergaulan bebas yang dilakukan bersama

pasangannya.17 Kedua, ketidak setujuan orang tua, yaitu pernikahan akibat hamil terjadi agar orang tua terpaksa menyetujui untuk menikahkan anaknya dengan

15 Zein, Asmar Yetti dan Suryani, Eko. Psikologi Ibu dan anak, (Yogjakarta: Fitramaya,

2005), hlm. 114.

16Berita Kendal, 25 Januari 2014. “114 pasangan hamil di luar nikah selama 2014”. Diakses

melalui http://www.beritakendal.com/2015/01/25/114-pasangan-hamil-di-luar-nikah/

17Wawancara dengan Muhadin, Riska, Nursyiah, Yunita, Novia, dan Andika di Banda Aceh,

(10)

kekasih pilihannya. Hal ini terjadi karena orang tua dianggap tidak menyetujui

anaknya berpacaran dengan pilihannya, sehingga atas dasar cinta, mereka sampai

melakukan perbuatan zina yang berakibat si perempuan tersebut hamil. Akibat

kehamilan inilah, akhirnya orang tua si perempuan tersebut terpaksa menyetujui

keduanya dinikahkan untuk menutupi aib dan tanggungjawab pada pria tersebut.18 Ketiga, ketakutan akan kehilangan kekasih, yaitu terjadinya hubungan yang

mengakibatkan hamil di luar nikah karena takut akan kehilangan pasangannya,

sehingga dengan kehamilan tersebut, seorang pria tidak akan berpaling ke orang lain

dan akhirnya dipaksakan untuk menikahi perempuan yang telah

dihamilinya.19Keempat, seringnya bertemu, yaitu terjadinya hubungan yang mengakibatkan hamil di luar nikah karena seringnya bertemu antara seorang laki-laki

dengan mantan istrinya untuk keperluan pemberian nafkah untuk anak-anaknya yang

berada di bawah pengasuhan mantan istrinya.20Kelima, menutupi aib, yaitu menikahi wanita hamil karena zina dengan sukarela sebagai upaya untuk menutupi aib si

wanita tersebut, karena laki-laki yang telah menghamilinya telah meninggal dunia

dalam suatu kecelakaan.21Keenam, sering berpergian bersama, yaitu terjadinya hubungan yang mengakibatkan hamil di luar nikah karena seringnya berpergian

bersama dalam sebuah pekerjaan yang dilakukan bersama-sama.22

18Wawancara dengan Mardina di Banda Aceh, tanggal 11 April 2015.

19Wawancara dengan Nasriah di Banda Aceh, tanggal 5 April 2015.

20Wawancara dengan Muhtar di Banda Aceh, tanggal 22 April 2015.

21Wawancara dengan Heru di Banda Aceh, tanggal 6 April 2015.

(11)

Fakta-fakta yang dijelaskan di atas merupakan kenyataan yang banyak terjadi

di berbagai wilayah di Indonesia. Dalam konteks Aceh, terjadinya perbuatan zina

tersebut disebabkan oleh pergaulan kaum muda yang sangat bebas dan lemahnya

pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam. Dalam memberikan pemahaman yang

benar terhadap Islam, khususnya yang berkaitan dengan perzinahan, Majelis

Permusyawaratan Aceh telah melakukan sosialisasi tentang pemahaman tentang

hukum nikah dan status anak luar nikah kepada masyarakat.23Solusi lainnya juga merekomendasikan pemberlakukan Qanun Jinayat di Aceh pada tahun 2015 sebagai

sumber hukum bagi hakim di Aceh dalam memutuskan perkara-perkara pidana Islam

bagi warga muslim di Aceh, salah satunya perbuatan zina.

Gejala-gejala sosial dari pernikahan wanita hamil karena zina yang disebutkan

di atas, juga tanpa disadari oleh pelaku perzinahan atau bukan pelaku perzinahan,

telah berdampak pada akibat hukum yang ditimbulkan dari ikatan pernikahan yang

dilakukan. Akibat hukum pernikahan ini terkait dengan orang yang menikahi,

perempuan yang dinikahi dan anak yang dilahirkan. Di samping itu, akibat hukum

bawaan lainnya sangat terkait keberlangsungan hidup anak tersebut, baik yang terkait

dengan hubungan nasab dan kewarisannya, maupun persoalan keabsahan perwalian

dan nafkah anak zina tersebut.

Dalam rangka menjawab semua persoalan hukum yang berhubungan dengan

status pernikahan dan akibat hukum dari menikahi wanita hamil tersebut, maka

23

(12)

pemahaman dan kejelasan hukum sangatlah penting. Dengan pemahaman dan

kejelasan hukum inilah, maka segala solusi-solusi hukum,terutama yang berasal dari

Hukum Islam dan hukum perkawinan di Indonesia, dapat menjawab persoalan ini. Di

samping itu, melalui kajian-kajian hukum ini akan diperoleh beberapa alternatif

hukum lainnya yang dapat dijadikan sandaran untuk menjawab persoalan menikahi

wanita hamil karena zina, baik aspek status hukum pernikahan tersebut, maupun

akibat hukum yang dihasilkan dari pernikahan ini.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini mengkaji tentang

“Menikahi Wanita Hamil Karena Zina Dalam Perspektif Hukum Islam dan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”.

B. Masalah Penelitian

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan zina dalam perspektif Hukum Islam dan

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?

2. Bagaimana status hukum menikahi wanita hamil karena zina dalam perspektif

Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?

3. Bagaimana akibat hukum dari menikahi wanita hamil karena zina dalam

perspektif Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974tentang

Perkawinan?

C. Tujuan Penelitian

(13)

1. Untuk mengetahui pengaturan tentang zina dan aturan-aturan yang terkait

dengan hukuman bagi pelaku zina dalam perspektif Hukum Islam dan

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

2. Untuk mengetahui dan menganalisis status hukum menikahi wanita hamil

karena zina berdasarkan aturan-aturan yang terdapat dalam Hukum Islam dan

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum menikahi wanita hamil

karena zina berdasarkan Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan manfaat teoritis dan praktis, di antaranya:

1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat dalam mengembangkan kajian ilmu

hukum dan memberikan pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan

hukum menikahi wanita hamil karena zina berdasarkan sistem Hukum Islam

dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

2. Secara praktis, hasil dari penelitian ini bermanfaat dalam beberapa hal, yaitu:

a. Mendapatkan penjelasan-penjelasan normatif tentang statushukum dan

akibat hukum menikahi wanita hamil karena zina dari sumber Hukum

(14)

b. Memberikan masukan dan solusi terhadap kasus-kasus pra-perkawinan

dan pasca-perkawinan yang berhubungan dengan status setiap pasangan

dalam kehidupan kita saat ini.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang perkawinan atau pernikahan, merupakan penelitian yang

banyak dilakukan oleh para sarjana, khususnya bidang hukum. Namun, aspek status

hukum menikahi wanita hamil karena zina merupakan penelitian yang jarang

dilakukan. Penelitian yang berkaitan pernikahan dan wanita hamil selama ini, lebih

menekankan pada aspek anak yang dikandung wanita tersebut. Seperti penelitian

tentang “Analisis Yuridis Kedudukan Anak Luar Nikah Berdasarkan Kompilasi

Hukum Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, yang dilakukan oleh Ayu

Yulia Sari.24 Hasil penelitian ini menyimpulkan adanya perbedaan prinsip atau kriteria terhadap anak luar nikah, antara Kompilasi Hukum Islam dan Kitab

Undang-undang Hukum Perdata.Anak luar nikah dalam Kompilasi Hukum Islam meliputi; (a)

Anak zina, (b) Anak mula’nah, dan (c) Anak syubhat. Anak luar kawin dalam

KUHPerdata meliputi; (a) Anak zina, (b) Anak sumbang, dan (c) Anak luar kawin

yang lain. Di samping itu, terdapat pula perbedaan kedudukan terhadap anak luar

nikah antara Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

24 Ayu Yulia Sari, “Analisis Yuridis Kedudukan Anak Luar Nikah Berdasarkan Kompilasi

(15)

Penelitian lain yang memfokuskan pada aspek status anak yang dan wanita

yang hamil di luar nikah, juga pernah dilakukan oleh Farida Hanum, tentang “Status

Anak yang Dilahirkan dari Perkawinan Wanita Hamil Karena Zina Menurut

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan”. Dari hasil penelitian Farida disimpulkan bahwa pengaturan perkawinan

wanita hamil karena zina tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang

perkawinan. Sementara dalam KHI, pengaturan perkawinan wanita hamil karena zina

terdapat pada Pasal 53 dan mengenai anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan

wanita hamil karena zina adalah anak sah apabila perkawinan tersebut dilakukan oleh

laki-laki yang menghamilinya.25

Begitu pula penelitian tentang “Perbandingan Status Hak Waris Anak Luar

Kawin Antara Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dengan Hukum Perdata BW”, yang

ditulis oleh Fitri Zakiyah.26Penelitian ini menyimpulkan bahwa adanya perbedan dan persamaan mengenai status hak waris anak luar kawin tersebut. Kompilasi Hukum

Islam (KHI) maupun Hukum Perdata (BW) masing-masing memiliki kelebihan dan

kekurangan dalam hal pengaturan status hak waris terhadap anak luar kawin ini.

Kelebihan dan kekurangan tersebut berasal dari sumber hukum yang digali dari

proses legislasi kedua aturan perundang-undangan tersebut.

25Farida Hanum, “Status Anak yang

DilahirkandariPerkawinanWanitaHamilKarenaZinaMenurutKompilasiHukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 tentangPerkawinan.”Tesis,Universitas Sumatera Utara, Prodi Magister Kenotarian, 2014.

26 FitriZakiyah, “Perbandingan Status HakWarisAnakLuarKawinAntaraKompilasiHukum

(16)

Dari hasil-hasil penelitian sebelumnya secara jelas adanya perbedaan dengan

penelitian yang akan diteliti ini. Penelitian sebelumnya lebih menggali aspek-aspek

status anak dari hubungan di luar nikah dengan menggunakan tinjauan hukum yang

ada. Namun, penelitian ini akan meneliti aspek-aspek normatif status perkawinan

yang terjadi jika perempuan yang dinikahi sedang mengandung anak dari hubungan

perzinaan atau hubungan di luar nikah, berdasarkan tinjauan Hukum Islam dan

Undang-undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Ilmu hukum merupakan sebuah produk yang berisikan teori-teori yang berasal

dari pemikiran atau penalaran intelektual, sehingga ilmu hukum disebut pula sebagai

disiplin hukum. Disiplin adalah sistem ajaran yang berhubungan dengan kenyataan

yang mencakup disiplin preskriptif dan disiplin analitis. 27 Disiplin preskriptif menyorot sesuatu (objek) yang dicita-citakan atau yang seharusnya. Sementara

disiplin analitis menyorot sesuatu (objek) sebagai kenyataan. Ini bermakna pula

bahwa hukum yang dirumuskan dalam undang-undang adalah hukum dalam norma

atau kaedah yang memuat sesuatu yang dicita-citakan. Sebaliknya, hukum adat

merupakan bentuk kebiasaan yang hidup di dalam masyarakat, merupakan kenyataan

atau realitas hukum.28

27Soerjono Soekanto dan Sri Maudji,Penelitian Hukum Normatif,(Jakarta: Rajawali Press,

(17)

Dalam sebuah penelitian, landasan teori merupakan kerangka pemikiran,

termasuk pendapat, teori dan tesis tentang suatu kasus atau permasalahan yang

dijadikan sebagai bahan perbandingan dan pegangan teoritis yang dapat disetujui atau

tidak disetujui sebagai masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam sebuah

penulisan.29 Ini berarti pula bahwa teori sangatlah penting untuk menjadi alat dalam melakukan analisis sebuah kasus atau peristiwa hukum.

Penelitian ini menggunakan teoriMaqashid Al-syari'ah,salah satu teorihukum

Islam dalam menjelaskan tujuan atau maksud dari penetapan hukum atau syariat. Inti

dari teori maqashid al-syari'ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus

menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak madharat. Istilah

lainnya yang sepadan dengan inti dari maqashid al-syari'ah, yaitu maslahat, karena

penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat.IbnuQayyim

al-Jauziyah, sebagaimana dikutip oleh Khairul Umam,30menyebutkan bahwa tujuan syari'at adalah kemaslahatan hamba di dunia dandi akhirat. Syari'at semuanya

mengandung keadilan, rahmat, dan hikmah. Setiap masalah yang menyimpang dari

keadilan, rahmat, maslahat, dan hikmah, bukanlah ketentuan syari'at.

Secara bahasa, maqashid al-syari'ah terdiri dari dua kata, maqashid dan

syari'ah. Kata maqashid adalah bentuk jama' dari maqshad, berarti maksud dan

tujuan. Sementara syari'ah, berarti hukum-hukum Allah yang ditetapkan bagi

manusia untuk dipedomani, agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di

29M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80.

(18)

akhirat. Dari makna kebahasaan tersebut, dapat simpulkan bahwa maqashid

al-syari'ah berarti kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyariatan hukum. Artinya,

maqashid al-syari'ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan

hukum.31

Dalam pandangan Satria Effendi,32maqashid al-syari'ah memiliki pengertian umum dan pengertian khusus. Pengertian yang bersifat umum mengacu pada apa

yang dimaksud oleh ayat-ayat hukum atau hadits-hadits hukum, baik yang

ditunjukkan oleh pengertian kebahasaannya atau tujuan yang terkandung di

dalamnya. Pengertian yang bersifat umum ini, identikdengan pengertian istilah

maqashid al-syari' (maksud Allah dalam menurunkan ayat hukum, atau maksud

Rasulullah dalam mengeluarkanhadits hukum). Sedangkan pengertian yang bersifat

khusus adalah substansi atau tujuan yang hendak dicapai oleh suatu rumusan hukum.

Secara umum, kajian tentang hukum Islam, menurut Muhammad Yusuf

Musa,33terdapat enam karakteristik dasar, yaitu:

1) Dasar-dasarnya yang umum berasal dari wahyu Allah;

2) Aturan-aturan hukum Islam yang dibuat dengan dorongan agama dan moral;

3) Balasan hukum Islam didapatkan di dunia dan akhirat;

4) Kecenderungan hukum Islam komunal;

31Asafri Jaya,Konsep Maqashid al-Syari'ah Menurut al-Syathibi, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1996), hlm. 5.

32SatriaEffendi M. Zein,UshulFiqh,Pendidikan Kader UlamaAngkatan ke-8 MUI, (Jakarta:

tp.,1998), hlm. 14.

33Muhammad Yusuf Musa, Al-Islam wa al-Hajah al-InsaniyyahIlaih, Terj. oleh A. Malik

(19)

5) Dapat berkembang sesuai dengan lingkungan, waktu, dan tempat;

6) Tujuan hukum Islam mengatur dan memberikan kemudahan bagi kehidupan

privat dan publik dan membahagiakan dunia seluruhnya.

Di samping itu, hukum Islam juga memiliki lima sifat dan karakteristiknya,

yaitu: 1) sempurna; 2) elastis; 3) universal dandinamis; 4) sistematis; dan 5)

bersifatta’aqqulidanta’abbudi.34Dilihat dari sisi objeknya, Muhammad Thahir dalam tulisan Zamakhsyari35, memilahmaqashid al-Syari’ahdalam tiga klasifikasi, yaitu:

1. Al-Maqashid al-Ammah (tujuan-tujuan umum), yaitu sesuatu yang dipelihara

syara’ dan diusahakan untuk diusahakan dalam berbagai bidang syariat,

seperti menegakkan dan mempertahankan agama dari ancaman pihak musuh.

2. Al-Maqashid al-Khassah (tujuan-tujuan khusus), yaitu tujuan yang hendak

dicapai syara’ dalam topik bab tertentu, seperti tujuan yang hendak dicapai

syara’ dalam masalah perkawinan dan keluarga.

3. Al-Maqahis al-Juz’iyyah, yaitu tujuan yang hendak dicapai syara’ dalam

menetapkan hukum syara’, yaitu hukum wajib, sunnah, haram, makruh, dan

mubah terhadap sesuatu, atau menetapkan sesuatu menjadi sebab, syarat, dan

penghalang. Misalnya, nikah itu disyariatkan untuk memelihara keturunan dan

menjaga kehormatan, dan jual-beli diperbolehkan untuk memudahkan

manusia memenuhi kebutuhan mereka masing-masing.

34FathurrahmanDjamil,FilsafatHukum Islam,(Jakarta: Logos, 1997), hlm. 46-53.

(20)

Dalam hukum Islam juga terdapat lima prinsip-prinsip pokok yang harus

diwujudkan dan dipelihara manusia, sehingga didatangkan syariat yang mengandung

perintah, larangan, dan keizinan yang harus dipatuhi. Kelima prinsip tersebut disebut

dengan ‘al Kulliyat al-Khamsah, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa,

memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta.36

Dalam kaitannya dengan penetapan hukum, kelima unsur pokok tersebut

dibedakan menjadi tiga peringkat, yaitudaruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat.Kelima

unsur pokok sangat penting dikaitkan dengan ketiga peringkat ini, sehingga

penetapan hukum akan sesuai dengan porsi dan kepentingannya.37 Menurut As-Syatibi, seperti dikutip Zamakhsyari38, daruriyyat adalah kemaslahatan mendasar yang mencakup dalam mewujudkan dan melindungi eksistensi kelima pokok di atas,

yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Seandainya kemaslahatan tersebut

hilang, maka kehidupan manusia dapat hancur dan tidak selamat, baik di dunia dan di

akhirat. Adapun hajiyyat adalah kemasalahatan dalam rangka perwujudan dan

perlindungan yang diperlukan dalam melestarikan agama, jiwa, akal, keturunan dan

harta. Hajiyyat merupakan aspek-aspek hukum yang dibutuhkan untuk meringankan

beban yang teramat berat, sehingga hukum dapat dilaksanakan tanpa rasa tertekan

dan terkekang. Sementara tahsiniyyat dimaksudkan untuk mewujudkan dan

memelihara hal-hal yang menunjang peningkatan kualitas kelima pokok kebutuhan

mendasar di atas dan menyangkut hal-hal yang terkait dengan akhlak mulia.

36Ibid,hlm. 13-26.

37FathurrahmanDjamil,Op. Cit.,hlm.126.

(21)

Dalam pemahaman Abdul Wahab Khalaf, tujuan syara’ dalam pembentukan

hukumnya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan menjamin

kebutuhan pokoknya (daruriyyat),memenuhi kebutuhan sekunder (hajiyyat) dan

kebutuhan pelengkap (tahsiniyyat) mereka.39Adapun hal yang bersifat daruri merupakan sesuatu yang menjadi pokok kebutuhan dari kehidupan manusia dan wajib

adanya untuk menegakkan kemaslahatan bagi manusia itu (primer).

Sedangkan hal yang bersifat haji (sekunder) adalah sesuatu yang diperlukan

oleh manusia dengan maksud untuk membuat ringan dan lapang. Termasuk juga

untuk menanggulangi kesulitan-kesulitan beban yang harus dipikul dan

kepayahan-kepayahan dalam mengarungi kehidupan..40 Sementara tahsini merupakan sesuatu yang dituntut oleh norma dan tatanan hidup, serta berprilaku menurut jalan yang

lurus. Hal-hal yang bersifat membuat elok manusia (tahsini) dalam pengertian ini

adalah berpangkal kepada akhlak mulia, tradisi yang baik dan segala tujuan

perikehidupan manusia menurut jalan yang paling baik.

Hal-hal yang bersifat primer manusia, seperti yang telah diuraikan, adalah

bertitik tolak kepada lima perkara: agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta. Islam

telah mensyariatkan bagi masing-masing lima perkara itu, hukum yang menjamin

pewujudan dan pemeliharaannya. Lantaran dua jaminan hukum ini, terpenuhilah bagi

manusia kebutuhan primernya.

39 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, alih bahasa, Noer Iskandar

(22)

Agama merupakan persatuan akidah, ibadah, hukum dan undang-undang yang

telah disyariatkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah

SWT (hubungan vertikal) dan hubungan antara sesama manusa (hubungan

horisontal). Dalam hubungannya dengan jiwa, Islam mensyariatkan perkawinan

untuk beranak-pinak dan melangsungkan keturunan serta melanggengkan jenis

(manusia) pada keadaan yang paling sempurna.Untuk memelihara jiwa dan menjamin

kelangsungan hidupnya, syariat Islam juga mewajibkan memperoleh sesuatu yang

dapat menegakkan jiwa tersebut, berupa makanan pokok, minuman, pakaian dan

tempat tinggal. Di samping itu, Islam juga mengharamkan manusia menggunakan

jiwa untuk kerusakan dan mewajibkan mempertahankan jiwa manusia dari bahaya.41 Dalam upaya memelihara akal, Islam mensyariatkan pengharamankhamar

atauminuman keras dan setiap minuman yang memabukkan. Termasuk pula

memidana orang yang meminumnya atau menggunakan jenis apapun yang dapat

merusak akal. Untuk memelihara kehormatan (al-‘irdh), Islam mensyariatkan had

atau dera bagi lelaki atau perempuan yang berzina dan dera bagi penuduh berbuat

zina (al-qodzif). Begitu pula dengan harta, Islam mensyariatkan kewajiban usaha

mencari rezeki dan membolehkan hubungan usaha(muamalah), barter(mubadalah),

perdagangan(tijarah)dan berniagara dengan harta orang lain(mudharabah).42

Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam mensyariatkan beberapa hukum

dalam berbagai dimensi, baik ibadah, muamalah dan pidana (uqubah), dengan tujuan

41Ibid.,hlm. 324.

(23)

untuk menjamin keperluan pokok manusia dengan cara mewujudkan, memelihara dan

menjaganya.Keberadaan lima prinsip-prinsip pokok yang harus dipelihara manusia

sebagai bagian dari makna didatangkan syariat Islam, yaitu agama, jiwa, akal,

keturunan dan harta, kemudian dihubungkan dengan kelompok peringkatdaruriyyat,

hajiyyat dan tahsiniyyat, akan dijadikan analisis dari keberlakukan hukum yang

terdapat dalam penelitian ini, khususnya yang terkait dengan zina dan hubungan

dengan status dan akibat hukum dari menikahi wanita hamil karena zina.

2. Konsepsi

Dalam penelitian ini, ada beberapa konsepsi penting yang harus didefinisikan

secara jelas sebagai intisari dari objek penelitian, yaitu:

a. Pernikahan adalah kata lain dari perkawinan yang berarti ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang perempuan sebagai suami istri, yang bertujuan

untuk membentuk sebuah keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan keimanan.43

Menurut Ramulyo,44 pernikahan menurut kata asalnya berarti aqad atau perjanjian yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara

seorang pria dengan seorang wanita. Asal hukum melakukan perkawinan

menurut pandangan sebagian besar para ahli fikih atau fuqaha adalah mubah atau

ibahah (halal atau kebolehan). Namun demikian, dasar hukum melakukan

43Zainuddin Ali,Hukum Perdata di Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 7. 44Mohd Idris Ramulyo,HukumPerkawinan Islam, SuatuAnalisisdariUndang-undangNomor 1

(24)

perkawinan yang mubah dapat berubah-rubah berdasarkan sebab-sebab kasusnya

dapat beralih menjadi makruh, sunat, wajib dan haram.

b. Zina adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan tanpa memiliki

ikatan perkawinan yang sah. Menurut Ibnu Rusyd, dalam tulisan Abdul Azis

Dahlan,45 menyebutkan bahwa zina terbagi dalam dua kategorisasi. Pertama, Zina Muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh seseorang yang telah atau pernah

menikah. Kedua, Zina Ghairu Muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang

yang belum pernah melakukan pernikahan atau masih berstatus perjaka atau

perawan. Kedua bentuk zina tersebut, menurut hukum Islam, merupakan

pelanggaran yang bertentangan dengan Alquran dan Hadis Nabi dan memiliki

hukuman masing-masing.

c. Wanita hamil karena zina adalah seorang wanita yang hamil akibat zina, sebelum

melangsungkan akad nikah, kemudian dinikahi oleh pria yang menghamilinya.46 d. Anak zina adalah anak yang lahir dari sebuah hubungan yang tidak sah

berdasarkan hukum agama Islam. Hasanain Muhammad Makhluf, dalam tulisan

Abd. Aziz Dahlan47 mengistilahkan anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat dari hubungan suami isteri yang tidak sah. Hubungan tidak sah

tersebut merupakan hubungan badan atau senggama (wathi’) antara dua orang

45 Abd. Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,

1999), hlm. 23.

46Mohd Idris Ramulyo,Op.Cit.,hlm. 45.

(25)

yang tidak terikat pernikahan yang memenuhi unsur-unsur rukun dan syarat

nikah yang telah ditentukan.

Menurut J. Satrio,48 anak zina merupakan anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, dimana

salah satu atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain. Di samping

itu, adapula istilah anak luar kawin, yaitu anak yang dilahirkan dari hasil

hubungan antara seorang laki-laki dengan perempuan, yang kedua-duanya tidak

memiliki ikatan perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan menikah.

Dalam sistem hukum Indonesia, terdapat pula istilah anak sumbang, yaitu anak

yang dilahirkan dari hubungan di antara laki-laki dan seorang perempuan, yang

diantara kedua-duanya ada larangan menikah.

Istilah anak zina dalam literatur primer Hukum Islam memiliki istilah yang

jelas dan dikenal di tengah kehidupan masyarakat. Namun, dalam rujukan

perundang-undangan Indonesia, yaitu Kompilasi Hukum Islam, tidak

menyebutkan istilah anak zina sebagai istilah yang baku atau tekstual. Istilah yang

menunjukkan anak zina dalam Kompilasi Hukum Islam adalah “anak yang lahir

di luar pernikahan yang sah”. Hal tersebut, sebagaimana tertulis pada Pasal 100

Kompilasi Hukum Islam, bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya

mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Dalam

Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Pasal 43 ayat (1), disebutkan pula bahwa anak

48J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, (Bandung:

(26)

yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya

dan keluarga ibunya.

Dengan demikian, anak zina yang dimaksud dalam penelitian ini adalah anak

yang janin, yang pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, atau anak

yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah sebagai akibat dari perbuatan zina

tersebut.

e. Hukum Islam adalahkaidah yang dijadikan sebagai patokan perbuatan manusia,

baik beribadah dan bermuamalah. Dalam hukum Islam dibagi menjadi lima

kaidah, yaituwajib, sunah, mubah, makruh dan haram.49 Menurut Amir Syarifuddin, dalam konteks hukum perkawinan Islam di Indonesia, maka Hukum

Islam yang bersifat operasional dan diikuti oleh penegak hukum dalam bidang

perkawinan adalah Instruksi Presiden No. InstruksiPresiden No. 1 Tahun 1991

tentangKompilasiHukum Islam(KHI). KHI ini merupakan ramuan dari fiqih

munakahatmenurut apa adanya dalam kitab-kitab fiqh klasik, disertai ulasan dari

pemikiran kontemporer tentang perkawinan dengan hukum perundang-undangan

perkawinan yang berlaku di Indonesia.50

f. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah peraturan

perundangan Indonesiayang berhubungan dengan perkawinan menurut hukum

perkawinan Islam dan berlaku secara khusus di negara Republik Indonesia.51

49Muchsin,Masa Depan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: BP Iblam, 2004), hlm. 1. 50Amir Syarifuddin,Op.Cit., hlm. 1.

(27)

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian merupakan pencarian atas sesuatu(inqury)secara sistematis dengan

menekankan bahwa pencarian tersebut dilakukan terhadap masalah-masalah yang

dapat dipecahkan.52 Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian hukum doktriner yang mengacu kepada norma-norma hukum.53 Dengan kata lain, penelitian yuridis normatif yaitu dengan menggunakan metode pendekatan

perundang-undangan (statue approach) yang mengacu pada peraturan

perundang-undangan, khususnya hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan.

Selanjutnya menganalisis hukum tersebut, baik yang tertulis didalam buku,

melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

pengaturan hukum dan implikasi pelaksanaannya di Indonesia.54

Menurut Soekanto, penelitian yuridis normatif merupakan penelitian hukum

yang dilakukan dengan mengutamakan meneliti bahan pustaka atau dokumen yang

disebut data sekunder, berupa bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier.55 Bahan hukum primer diperoleh dari hukum Islam, termasuk Kompilasi Hukum Islam,

dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan. Sementara bahan

hukum sekunder diperoleh melalui sumber-sumber yang berasal dari penelitian

kepustakaan (library research). Adapun bahan hukum tertier, berasal dari bahan

52

Mohd. Nazir,Metode Penelitian,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 10.

53BambangWaluyo, MetodePenelitianHukum, (Semarang: PT. Grafika Indonesia, 1996),hlm. 13.

54Mohd. Nazir,Op.Cit.,hlm. 15.

55 Soerjono Seokanto dan Sri Maudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Kajian Singkat,

(28)

hukum yang berisikan penjelasan terhadap data primer dan data sekunder, yaitu

kamus, ensiklopedia, jurnal-jurnal, serta laporan-laporan ilmiah yang akan

mendukung analisis penelitian ini.

Adapun sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu menguraikan dan

menganalisis tentang persoalan hukum menikahi wanita hamil karena zina menurut

hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Penelitian ini merupakan

kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu

yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan

jalan menganalisanya.56

2. Sumber Data

Berdasarkan sifat penelitian tersebut di atas, maka data yang

dikumpulkanberasal dari data sekunder. Menurut Amirudin dan Zainal Asikin, data

sekunder terbagi dalam tiga katagori, yaitu:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan

mengikat. Dalam penelitian, maka bahan hukum primer dalah hukum Islam,

termasuk Kompilasi Hukum Islam, dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan.Data primer juga berasal dari sumber wawancara dari

informan penelitian ini.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang menjelaskan bahan

hukum primer seperti; buku-buku, artikel, pendapat pakar hukum maupun

makalah yang berhubungan dengan topik penulisan ini.

(29)

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang membantu dalam

memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, dan kamus bahasa.57

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti,

dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat normatif, maka teknik

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian

kepustakaan (Library Research), yakni upaya untuk memperoleh data dari

penelusuranliteratur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, majalah, koran,

artikel dan sumber lainnya yang relevan dengan penelitian.58 Teknik ini merupakan cara pengumpulan data dengan membaca,mempelajari, mengkaji, dan menganalisis

serta membuat catatan dari bukuliteratur, peraturan perundang-undangan, dokumen

dan hal-hal lain yangberhubungan dengan masalah yang diteliti.

Di samping itu, pengambilan data juga berasal dari penelitian lapangan (field

research) dengan melakukan wawancara terhadap informan penelitian. Wawancara

merupakan percakapan yang dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara

(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang

memberikan jawaban atas pertanyaan.59 Dalam penelitian ini, informan yang diwawancarai berasal Majelis Ulama Indonesia dan Kantor Urusan Agama atau P3N.

57Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2006), hlm. 31.

58 Sumandi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998),

hlm. 19.

59 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002),

(30)

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah secara kualitatif. Kualitatif diartikan

sebagai kegiatan menganalisis data secara komprehensif, yaitu data sekunder dari

berbagai kepustakaan dan literatur, baik yang berupa buku, peraturan perundangan,

tesis, disertasi, dan hasil penelitian lainnya maupun informasi dari media massa.

Analisis data ini dilakukan setelah setelah terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan,

pengelompokkan, pengolahan dan evaluasi, sehingga diketahui reliabilitas data

tersebut, lalu dianalisis secara kualitatif untuk menyelesaikan permasalahan yang

ada.60 Selanjutnya, ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif berdasarkan tinjauan teori maqashid syariah yang dijadikan sebagai alat

analisis dari permasalahan yang dikaji.

Dalam arti yang lain, analisis data penelitian berisikan uraian tentang

cara-cara analisis dengan menggambarkan bagaimana suatu data dianalisis dan apa

manfaat data yang terkumpul untuk selanjutnya digunakan untuk memecahkan

masalah yang dijadikan objek penelitian.61

60Lexy Moleong,Metode

Referensi

Dokumen terkait

U radu su obrađene: osnove fiziologije boli, djelovanje opioidnih analgetika na staničnoj razini, regulatorni zahtjevi za razvoj novih neparenteralnih oblika

Masih ada pula beberapa karya ilmiah yang salah dalam penulisan kata, ejaan serta aturan atau kaidah yang baku sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Saat ini, aplikasi

Hal ini diduga karena pemberian pupuk N yang dikandung dalam pupuk kimia dapat membantu pembentukan jumlah daun pada tanaman, sehingga apabila dikombinasikan dengan

Penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Rini Raharti (2003) memperlihatkan dampak dari pertumbuhan pengeluaran publik bidang pendidikan serta pertumbuhan investasi

Kombinasi spektrum ultraviolet dan model kalibrasi multivariat telah dikembangkan untuk penentuan simultan kadar kafein, vitamin B1, B2, dan B6 dalam contoh minuman berenergi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan dan potensi senyawa utama dalam minyak atsiri buah kemukus (Piper cubeba L.f.) yang diukur dengan besar afinitas terhadap

Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Media Masa Harian Pagi Riau Pos memiliki program dan alat-alat yang baik dan canggih dalam mendukung

yang mempunyai nilai PPW terbesar di kecamatan ini adalah jahe. Di Kecamatan Jatiyoso ini terdapat jenis tanah litosol coklat merah yang potensial untuk