`
ii Prosiding
KONFERENSI NASIONAL SOSIOLOGI VII Asosiasi Program Studi Sosiologi
Indonesia Mataram, 07–09 Mei 2018
TANTANGAN KEBHINEKAAN DI ERA DIGITAL
Tim Editor:
Syafruddin (Universitas Mataram) Sutina (Universitas Airlangga) Ida Ruwaida (Universitas Indonesia) Hamidsyukrie (Universitas Mataram)
Herlan (Universitas Tanjung Pura) Jendrius (Universitas Andalas) Ridho Taqwa (Universitas Sriwijaya) Siti Nurbayani (Universitas Pendidikan Indonesia)
Kerjasama:
APSSI dan Prodi Sosiologi dan Prodi Pendidikan Sosiologi FKIP Universitas Mataram
DiterbitkanOleh:
Penerbit FKIP Universitas Mataram Jl. Majapahit No.62 Mataram NTB Tlp: 0370-623873 Fax: 0370-634751
Cetakan Pertama, Mei 2018 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
All Rights Reserved vi + 1400. 21 x 29,7 cm.
ISBN: 978.602.1570.65.4
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah Subhanahuwataala, berkat limpahan karunia dan rahmat-Nya penyusunan prosiding Konferensi Nasional Sosiologi VII berhasil diselesaikan. Konferensi yang mengambil tema Tantangan Kebhinekaan di Era Digital akan berlangsung daritgl 07 –10 Mei 2018, melingkupi 9 sub-tema yang cukup luas dan beragam. Karena itu penyusunan prosiding ini juga disesuaikan dengan sub- tema yang ada dalam konferensi tersebut.
Prosiding ini mencakup beberapa sub-tema, yakni:
1. Tantangan Kebhinekaan di Aras Demokrasi Lokal 2. Manajemen Konflik dalam Kebhinekaan
3. Pendidikan Kebhinekaan di Era Digital
4. Kearifan Lokal dalam Mengelola Kebhinekaan 5. Peran Media dalam Merawat Kebhinekaana
6. Perubahan Relasi Gender dan Seksualitas di Era Digital
7. Komodifikasi Kebhinekaan Budaya Indonesia Untuk Pariwisata 8. Tantangan Relasi Keberagamaan di Era Digital
9. Tantangan Etika dan Moralitas Politik di Era Digital
Atas selesainya penyusunan prosiding ini, terima kasih tak terhingga diucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung mulai dari pelaksanaan konferensi sampai penyusunan prosiding ini. Kepada pengurus pusat Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia (APSSI), Rektor Universitas Mataram, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unram, paraeditor, panitia pelaksana serta semua pihak yang telah ikut berpartisipasi dalam membantu pelaksaan Konferensi Nasional Sosiologi VII dan penyusunan prosiding ini yang namanya tidak mungkin disebutkan satu-persatu, diucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.
Mataram, 18 Mei 2018
Tim Editor
iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
DaftarIsi ii
Ngejunjong Mi: Kearifan Lokal dalam Tradisi Nemui Nyimah Marga Legun Way Urang Oleh Bartoven Vivit Nurdin dan Yuni Ratnasari……….2
Mengindonesia Tantangan Etnisitas dan Identitas Bangsa Hari Ini
Oleh Gede Kamajaya...25
Kearifan Lokal dan Kohesi Sosial dalam Masyarakat Multietnik
Oleh Haslinda B dkk...37
Membaca Kearifan Lokal Bali dalam Panggung Kehidupan Berbhineka
Oleh Ni Luh Nyoman Kebayantini………...52
“Dukun”: Penjaga Tradisi dan Harmonisasi Antar Umat Beragama pada Masyarakat Adat Suku Tengger
Oleh Okta Hadi Nurcahyono………...………....70
Membangun Kebhinekaan dan Pluralitas Berbasis Kearifan Lokal Melalui Produksi Kultural Di Kampung Islam Kepaon Denpasar
Oleh Riza Wulandari………..………..………86
Kearifan Lokal Sebagai Integritas Kebhinekaan Umat Beragama Di Indonesia
Oleh Suparman Jayadi, Argyo Demartoto,Drajat Tri Kartono…………..………..…110
v Tradisi “Peraq Api” dalam Tinjauan Teologis-Sosiologis: Kajian Fenomenologi Ritual Pasca Persalinan Suku Sasak Di Lombok Tengah)
Oleh Nuruddin…………...…………120
Kearifan Lokal Laut Aceh Sebagai Praktik Merawat Kebhinekaan Indonesia
Oleh Nurkhalis... 137
Kearifan Lokal Gotong Royong: Penguatan Integrasi Sosial Berbasis Dimensi Struktural Masyarakat
Oleh Supriyadi...167
Menghidupkan Pendidikan Kebhinekaan Untuk Kemerdekaan Berfikir
Oleh Ignatius Bayu Sudibyo………...……185
Med-Medan: Antara Tradisi dan Pertunjukan
Oleh Ni Made Anggita Sastri Mahadewi………...………206
Kearifan Lokal dalam Mengelola Kebhinekaan Di Tanjung Pinang
Oleh Sri Wahyuni, M.Si. dan Marisa Elsera, M.Si ..………...…226
Kearifan Lokal Masyarakat Pandalungan dalam Merajut Kebhinekaan (Agama)
Oleh Abdus Sair, Azizah Alie………...………...………238
Wanna Peringga: Kearifan Lokal Untuk Merawat Kebhinekaan dan Lingkungan Pada Marga Ratu Keratuan Darah Putih Lampung
Oleh Yuni Ratnasari dan Bartoven Vivit Nurdin……….243
Pendidikan Kebhinekaan Untuk Mengembangkan Kecerdasan Sosial
Oleh Sigit Pranawa dan Rahesli Humsona……….…………...……..………...266
vi Peran Media dalam Sosialisasi Internalisasi Norma Sosial Berlalulintas Remaja Pengguna Sepeda Motor Di Kota Padang
Oleh dwiyanti Hanandini, Wahyu Pramono, Indraddin, Nini Anggraini………...284
Mencegah Tindak Kekerasan Anak Melalui Pemberdayaan Stakeholders Pendidikan:
Sebuah Model Konseptual Oleh Wahyu Pramono, Dwiyanti Hanandini, Elfitra, Nini Annggraini……….………..………...308
Pendidikan Nilai Kebhinekaan pada Kalangan Mahasiswa Di Era Digital
Oleh Bagus Haryono dan Ahmad Zuber………...………...………..330
Permainan Tradisional Sebagai Pemupuk Kebinekaan Di Kalangan Anak
Oleh Sri Hilmi Pujihartati dan Mahendra Wijay...……...………...…….347
Pemahaman Nilai-Nilai Multikultural Untuk Penguatan Karakter Siswa Melalui Penerapan Model Pembelajaran Inovatif.
Oleh Hamid Syukrie Zm………...………..359
Urgensi Pemahaman Mahasiswa Tentang Multikulturalisme: Refleksi Atas Realitas Kemajemukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Nkri)
Oleh Dr. Yunindyawati, S.Sos Msi………...………...372
Memperkuat Karakter Toleransi dan Cinta Damai Melalui Pembelajaran Multikultural Penerapan Kolaborasi Model Pap dan Tsts
Oleh Hairil Wadi, Hamidsyukrie, Zm………....………378
Pengembangan Materi Sosiologi Berbasis Kearifan Lokal: Ke arah Pembelajaran Kontekstual
Oleh Masyhuri………...………...396
vii Penggunaan Media Interaktif dalam Peningkatan Pemahaman Mahasiswa Terhadap Konsep Mukltikultural Di Eradigital
Oleh Yanti Sri Wahyuni………...……….……….407
Millennial dan Kebhinekaan: Tantangan Keberagaman Etnis Di Era Digital
Oleh Siti Nurbayani, Leni Anggraeni, Fajar Nugraha Asyahidda………..………428
Multikultural dan Toleransi Antar Etnis Masyarakat Minangkabau Di Sumatera Barat Oleh Nilda Elfemi……….………..447
Tantangan Relasi Keberagamaan Di Era Digital: Refleksi Dari Sleman dan Prambanan Oleh Suryo Adi Pramono dan Fx Bambang K. Prihandono, Gitowiratmo, Al. Wisnubro...461
Peran Strategis PKK dalam Merawat Kebinekaan dalam Aras Demokrasi Lokal
Oleh Thomas Aquinas Gutama………………….………501
Nasionalisme dalam Gempuran Kosmopolitanisme Globalisasi
Oleh Wahyu Budi Nugroho………..………..………514
Kemandirian Pangan Berbasis Kebhinekaan: Studi Atas Fungsi dan Peran Media Massa Di Kota Malang
Oleh Astrida Fitri Nuryani, Mondry...520
Wali Nanggroe: Institusi Kepemimpinan Adat Aceh dan Tantangan Aras Demokrasi Lokal.
Oleh Siti Ikramatoun...544
Tantangan Integrasi Sosial dalam Merawat Keberagaman Etnis Di Era Modernisasi Oleh Suharty Roslan, Sarpin. Juhaepas…...560
viii Tantangan Relasi Keberagamaan Di Era Digital: Refleksi Dari Sleman dan Prambanan Oleh Suryo Adi Pramono dan Fx Bambang K. Prihandono, Gitowiratmo, Al. Wisnubroto..461
Rekontekstualisasi Ajeg Bali: Sintesa Antara Konservasi Budaya dan Developmentasi Di Bali.
Oleh I Gusti Made Arya Suta Wirawan……...……….583
Komodifikasi Kebhinekaan Budaya Warga dalam Pengembangan Pariwisata Sungai Di Kota Surakarta.
Oleh Siti Zunariyah…………...………...614
Relasi Sosial Antara Etnis Tionghoa dan Masyarakat Pesisir Di Kelurahan Malabero Kota Bengkulu.
Oleh ika Pasca Himawati, heni Nopianti, ………...……….634
Manajemen Konflik pada Masyarakat Multietnik (Studi Kasus Di Daerah Pemukiman Transmigrasi)
Oleh Jamaluddin Hos………...………...648
Mitigasi Konflik Di Lingkar Tambang: Studi Tentang Kontribusi Program Tanggung Jawab Sosial (Csr) Pt. Vale Indonesia Di Sorowako
Oleh Sawedi Muhammad, Mansyur Radjab,Rahmat Muhammad,,,,……….……666
Penanggulangan Kemiskinan Masyarakat Pedesaan Melalui Manajemen Konflik Reformasi Agraria
Oleh Ahmad Zuber………...………...681
Manajemen Konflik dalam Pengelolaan Kawasan Kaombo Laut pada masyarakat Adat Wabula Kabupaten Buton
Oleh Dewi Anggraini, .………...…………...692
ix Belajar Manajemen Konflik Pembangunan Kembali Pasar Di Surakarta
Oleh Eva Agustinawati….…..………………719
Upaya Kelompok Tani Perempuan dalam Managemen Konflik Lingkungan
Oleh Isnaini……………..………...…739
Modal Sosial, Unity Symbol Awareness, dan Kapasitas Deteksi Dini Konflik pada Komunitas Pasca Konflik Komunal Di Provinsi Lampung.
Oleh Sindung Haryanto………..………751
Resolusi Konflik dalam Sengketa Tambang Emas Di Tumpang Pitu Banyuwangi Oleh Joharotul Jamilah………..………………..…..781
Pemanfaatan Media Komunikasi pada Penyelesaian Konflik Antar Kelompok Di Gunung Jati Kota Kendari
Oleh Megawati Asrul Tawulo Dan Bakri Yusuf………...………806
Pemberdayaan Keluarga Luas dan Institusi Lokal dalam Pencegahan Perceraian
Oleh Fachrina, Maihasni, Sri Meiyenti………….………..……..826
Merajud Keharmonisan dalam Keberagaman Di Era Digital.
Oleh Ign. Suksmadi Sutoyo………...………844
Kebhinnekaan dan Segmetasi Kewilayahan NKRI: Isu-Isu Seputar Keberagaman Bahasa, Konflik Sosial, dan Disintegrasi Bangsa.
Oleh Mahsun………..……….……861
Kearifan Lokal: To Parenge Sebagai Manajemen Konflik (Kasus Penyelesaian Konflik Lahan Di Tana Toraja).
Oleh Suparman Abdullah, Sultan, Rano Saputra Matande……..………...………897
x Manajemen Konflik pada Masyarakat Adat Lindu dalam Pelaksanaan Pembangunan Oleh Ferdinand Kerebungu……….…..914
Rekonsiliasi Sintuwu Maroso Untuk Pembangunan Perdamaian Di Poso.
Oleh Tony Tampak………..……….………………...930
Relasi Gender dan Seksualitas dalam Kasus Tindakan Aborsi Di Tanjungpinang.
Oleh Marisa Elsera, Emmy Solina…….………..………...955
Analisis Gender Model Moser: Kebutuhan Ibu Rumah Tangga dalam Penanggulangan HIV/AIDS.
Oleh Argyo Demartoto, Bhisma Murti, Siti Zunariyah…...……………....966
Kesenjangan Gender dalam Karir Akademik Studi Refleksifitas Atas Relasi Gender dalam Keluarga Di Kalangan Akademisi Perempuan Di Jakarta.
Oleh Dzuriyatun Toyibah………………...988
Perubahan Relasi Gender dan Seksualitas Di Era Digital: Kajian Tentang Prostitusi Di Kota Surakarta.
Oleh Rahesli Humsona,Mahendra Wijaya, Sri Yuliani,Sigit Pranawa………....1008
Wanita Pemecah Batu; Antara Komplementer Peran Gender dan Adaptasi Ekonomi Oleh Dwi Setiawan Chaniago dan Anisa Puspa Rani………1022
Perempuan Senaru dan Pemanfaatan Sumber Daya Lokal dalam Pengembangan Sektor Informal Di Kawasan Wisata Taman Nasional Gunung Rinjani (Tngr).
Oleh Ika Wijayanti, dkk………..……….….1044
Pergeseran Relasi Gender dalam Keluarga Migran Indonesia Di Era Digital
Oleh Ria Renita Abbas, Mansyur Radjab, Sakaria Toa Anwar………...…………1054
xi Penguatan Modal Sosial dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Era Digital Oleh Sudirah…….……….………..….1116
Pemahaman Politik Generasi Milenial.
Oleh Agnes Yovani Br Depari,dkk………...………..1129
Anak Muda dan Neo Sufisme: Membangun Identitas Sosial Kelompok Agama Di Era Digital
Oleh Ahmad Abrori…….…...………..….1142
Peran Media Sosial Instagram Terhadap Eksistensi dan Sosialisasi Keberagaman Budaya Di Indonesia.
Oleh Ahmad Khoirur Roziq,dkk……...………...1159
Pembangunan Agribisnis, Hak-Hak Komunitas Tempatan dan Upaya Mitigasi
Oleh Rspo : Suatu Telaah Literatur Oleh Zuldesni, Afrizal, Elfitra…...……………1170
Etnis Peranakan Tionghoa Di Negeri Syariat Islam1 (Suatu Kajian Adaptasi Dengan Masyarakat Meulaboh)
Oleh Triyanto………...……...………1190
Peran Media Baru dalam Membentuk Komunitas Virtual Di Kalangan Mahasiswa Fisip Universitas Halu Oleo
Oleh Joko. Masrul, Muh.Arsyad, ..………...….1216
Penanggulangan Anak Jalanan Untuk Keberlanjutan Kehidupan Berbangsa (Studi Di Kota Padang, Payakumbuh dan Bukittinggi Sumatera Barat)
Oleh Alfan Miko dan Indraddin......1228
xii Konteks Penggunaan Simbol Komunikasi Masyarakat Transmigran Jawa Dengan Masyarakat Lokal Di Desa Alebo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara.
Oleh Sutiyana Fachruddin, Bakri Yusuf, Sarpin...………1260
The Evaluation Examination Systems Online (Suo) On Open University Jakarta
Oleh Heri Wahyudi………..……….1276
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 120 TRADISI “PERAQ API” DALAM TINJAUAN TEOLOGIS-SOSIOLOGIS:
KAJIAN FENOMENOLOGI RITUAL PASCA PERSALINAN SUKU SASAK DI LOMBOK TENGAH)
Nuruddin
Fakakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram Jurusan Sosiologi Agama
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menggali sikap, status, pandangan teologis dan hukuman sosial masyarakat Sasak pada tradisi pasca melahirkan, kewajiban dan pantangan dalam mensosialisasikan tradisi. Hingga era miineal, status dan stratifikasi sosial masih terjadi. Penelitian ini merupakan penelitian fenomenologi yang mencoba menjelaskan realitas kondisi masyarakat dalam menjalankan tradisi. Pengumpulan data dilakukan dengan triangulasi dengan keluarga pelaksana tradisi sebagai instrumen utama. Hasil penelitian menggambarkan bahwa: (1) ritual peraq api wajib dilakukan oleh etnis Sasak setelah persalinan, (2) tradisi ini tidak membatasi status sosial masyarakat, baik yang kaya miskin. (3) tidak ada hukuman sosial yang disepakati untuk tradisi bagi masyarakat yang menjalankan tradisi sesuai kaedah yang biasa dilakukan, tetapi menjadi beban moral secara individual di masyarakat. (4) ritual ini juga dijadikan sebagai pemutus hubungan dan layanan antara "belian", ibu dan anak. Inilah yang mendorong prestise sosial keluarga dalam menjalankan tradisi meskipun secara finansial tidak memadai. Dalam pandangan Islam tidak bertentangan karena beberapa hal diantaranya; (1) motif orang tua bukan meyakini bahwa ritual menyebabkan terhindarnya anak dari gangguan roh jahat, melainkan tradisi ini hanya mediasi yang dipercayai sebagai jembatan kesyukuran kepada Allah SWT; (2) ritual secara umum tidak bermaksud mendatangkan makhluk halus atau melakukan kontak dengannya melainkan meyakini bahwa bahan-bahan di atas hanyalah simbol dari setiap harapan; (3) kepercayaan bukanlah keyakinan sehingga terhindar dari menduakan Allah SWT.
Kata kunci: Tradisi, peraq api, sosiologis, teologis, sasak etnis, teologis, fenomenologi
PENDAHULUAN
Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dewasa ini telah berdampak pada kehidupan manusia yang mengalami perubahan pesat. Kemajuan ini berimplikasi pada model interaksi manusia dengan dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat. Masyarakat yang tanggap terhadap kemajuan dapat dengan segera melakukan adaptasi perubahan yang mungkin dimunculkannya, namun bagi masyarakat yang lambat menerima perubahan bahkan tidak mungkin berpartisipasi dalam perubahan itu sendiri atau mengalami keterlambatan.
Salah satu dampak dari kemajuan IPTEK adalah pergeseran nilai-nilai kebudayaan masyarakat. Kebudayaan adalah warisan dari peninggalan nenek
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 121 moyang. Kebudayaan diartikan sebagai buah dari cipta, rasa dan karsa manusia.
Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1985: 180)
Kebudayaan adalah produk yang bersifat fleksibel. Kebudayaan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, maka kebudayaan masyarakatpun berkembang. Perkembangan kebudayaan terjadi secara mutualistik-integratif seiring dengan perubahan sosial masyarakat. Timbal balik antara kebudayaan dengan teori praksis mencoba mengungkap perbedaan tajam tentang kebudayaan sebagai tindakan konvensional dan kebudayaan sebagai praksis kulturalisme modern.
Kebudayaan dan perubahan sosial tidak dapat diceraikan. Kebudayaan memiliki kedekatan genitas dengan agama, sehingga dialektika agama dengan kebudayaan memiliki sinergisitas yang intim. Dialektika keduanya melahirkan sikap keagamaan yang beragam, mulai agama dijadikan hal yang diyakini, difahami, dan dipraktekkan. Pentahapan tersebut tidak saja muncul pada tataran keyakinan saja, tetapi pada setiap ketiga tahapan di atas melahirkan perbedaan ekspresi keagamaan yang cukup signifikan (Roibin, 2013: 35).
Agama diyakini sebagai firman tuhan yang memiliki kekuatan dan memiliki energi perubahan pada dimensi sosial dan kultural masyarakat. Keyakinan akan hakikat beragama melahirkan sikap keagamaan yang berbeda terhadap komunitas beragama lainnya. Sebagai komunitas muslim tentu melihat purifikasi agama sebagai praktisi percampuran kebudayaan. Islam yang diyakini oleh umat beragama bukan buatan manusia, melainkan Islam adalah agama langit yang tuhan turunkan sebagai pedoman umat manusia. Namun diyakini atau tidak sinkretisasi dan akulturasi agama dan kebudayaan melekat dalam pengamalan kehidupan masyarakat beragama.
Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa aktivitas masyarakat yang berkembang tidak bisa tidak sedikit dipengaruhi oleh pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang konsep beragama. Secara teologis agama mempengaruhi sikap berbudaya yang muncul dan kebudayaan muncul dari efek tradisi lokal masyarakat.
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 122 Dalam hal ini, agama dan budaya tidak lagi dapat dikatakan mana yang lebih dominan, budaya sebagai produk agama atau agama sebagai produk budaya. Ini merupakan potret relasi yang saling berkelindan dan saling mempengaruhi (Roibin, 2013: 35).
Keragaman antara prilaku budaya yang dibungkus atas nama adat dan ditelurkan dalam sebuah ritual tradisi lama kelamaan mengalami transformasi, bukan karena mengakui keyakinannya secara brutal akan tetapi karena mengalami pergeseran paradigma. Masyarakat cenderung kesulitan memahami tentang prilakunya sendiri antara agama mempengaruhi budaya atau budaya mempengaruhi agama. Pergeseran paradigma ini dapat menjadi pencerahan tentang Bagaimana masyarakat memahami agama hingga bagaimana peran-peran lokal mempengaruhi perilaku sosial keberagamaan mereka.
Suku Sasak sebagai Suku terbesar di Pulau Lombok memiliki beragam kebudayaan. Mulai dari tradisi “merarik, begawe, jogetan, nyongkolan, maling senine” dan tradisi lainnya. Tradisi-tradisi ini memiliki landasan historisitas dan sosiologisitas yang tinggi. Tradisi dan kebiasaan masyarakat muncul dari keyakinan atas makna yang tersurat dan tersirat dalam tradisi. Sebagian masyarakat Sasak meyakini bahwa tradisi di atas merupakan bagian dari tradisi syukuran dan sebagian lagi berpandangan bahwa tradisi di atas adalah bagian dari warisan dari kebudayaan yang perlu dilestarikan.
Hasil studi pendahuluan pada masyarakat Suku Sasak di Desa Batujai tentang bagaimana sebuah tradisi diaktualisasikan dalam kehidupan beragama dan bersosial masyarakat adalah tradisi “Peraq Api”. Tradisi “Peraq Api” merupakan tradisi merupakan tradisi pemberian nama pada bayi yang baru lahir. Tradisi tersebut sudah menjadi kebiasaan masyarakat Sasak. Pada prakteknya tradisi ini banyak menimbulkan persepsi, sebagian masyarakat meyakini bahwa tradisi ini wajib dilakukan dan tidak boleh ditinggalkan karena manakala tradisi ini tidak dilakukan akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.
Dalam pelaksanaannya, tradisi peraq api membutuhkan persiapan-persiapan baik berupa bahan-bahan maupun jumlah hari kelahiran dan pertimbangan lainnya.
Bahan-bahan harus dipersiapkan dengan lengkap guna membebaskan anak dari
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 123 pantangan-pantangan di masa depannya. Dalam tradisi, masyarakat tinggal memilih dua alternatif antara tradisi “peraq api katak atau masaq”. Keduanya memiliki perbedaan dan konsekuensi mistis dan logis yang diyakininya.
Fenomena upacara adat di atas dengan segala persiapannya tentu perlu dikaji secara teologis-sosiologis pelaksanaannya. Kajian semacam ini penting dilakukan untuk membedah dimensi agamis, melanggar atau sudah sesuai dengan syariat agama. Penjelasan secara teologis memberikan pencerahan yang sesuai dengan pemahaman agama yang diakui. Demikian pula, praktek sebuah ritual tradisi memiliki konsekuensi secara sosiologis. Perlu dipahami lebih mendalam bahwa efek dari keyakinan beragama dan dimensi bermasyarakat memiliki efek sosiologis dalam implementasinya walaupun tanpa menyadarinya.
Berdasarkan uraian studi pendahuluan di atas, dianggap perlu mengkaji lebih mendalam tentang fenomena yang sering dijumpai dimasyarakat. Oleh karena itu, dalam kajian penelitian berikut ini membahas tentang “Tradisi“peraq api” dalam tinjauan teologis-sosiologis (Kajian fenomenologi ritual pasca persalinan masyarakat Suku Sasak di Lombok Tengah).
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Suku Sasak di Pulau Lombok
Indonesia terdiri atas keberagaman Suku, bangsa, ras dan wilayah.
Keberagaman adalah hadiah paling indah dibandingkan hadiah-hadiah lainnya dibandingkan Negara-negaralainnya. Salah satunya adalah Lombok.
Lombok merupakan salah satu tujuan wisata terdekat dengan Bali, sehingga dikenal pelancong dari penjuru dunia. Lombok terkenal dengan pantainya yang indah, bahkan lebih indah dari Bali. Banyak wisatawan asing yang menjadikan Lombok satu paket dengan liburannya ke Bali. Pulau Lombok adalah sebuah pulau di kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara yang terpisahkan oleh Laut Jawa di sebelah Utara dan Samudera Hindia di sebelah selatan. Secara geografis Lombok terletak antara 115o - 119o Bujur Timur dan 8o -9o Lintang Selatan.
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 124 Lombok sebagai salah satu pulau dan daerah terindah di Indonesia dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Sekitar 80 % warga lombok adalah Suku Sasak, dan 20 % adalah penduduk asal Bali dan selebihnya adalah penduduk asal Cina, Jawa, dan Arab. Walaupun persentase Suku Sasak lebih besar dibandingkan dengan yang lainnya, pola kehidupan masyarakat masih dipengaruhi oleh kultur Bali karena dahulu Lombok lama berada di bawah kekuasaan raja Bali (Solichin, 13).
Suku Sasak hidup dan mengembangkan kebudayaannya di Pulau Lombok yang wujud dalam pembangunan fisik. Salah satunya adalah pembangunan tempat tinggalnya. Rumah tinggal SukuSasak di sebut bale.
Pengertian bale memiliki dua konstruksi makna yaitu sebagai tempat berteduh, melindungi diri dari bahaya, cuaca dingin, panas, dan binatang buas.
Adapun makna kedua yaitu keselamatan jiwa dan kebahagiaan (Mantra, 1977:
84). Jadi rumah atau bale sebagai peninggalan Suku Sasak memiliki makna penting dan menunjukkan eksistensinya sebagai Suku yang ada di Pulau Lombok.
Adapun asal-usul Suku Sasakadalah ras Mongoloid. Ras Mongoloid adalah supras Melayu-Indonesia tersebar di sebagian besarwilayah Indonesia terutama yang terletak di bagian barat dan selatan antara lain; Sumatera, Jawa, Bali,dan Lombok (Budiwanti, 2000: 6).
Ada juga dugaan bahwa leluhur orang Sasak adalah orang Jawa, hal ini dapat dibuktikan dengantulisan Sasak yang disebut Jejawen. Kedatangan orang Jawa ke Lombok diperkirakan pada zaman Medang, saat pengembangan Agama Islam oleh parawali-wali dari Jawa sekitar abad XV dan XVI. Dasar pemikiran ini menyimpulkan bahwa yang menjadi dasar pikiran orang-orang Sasak pada masa- masa perkembangannya adalah kebudayaan Jawa sebelum dan sejaman dengan Majapahit dan kemudian Agama Islam (Tim Peneliti Depdikbud, 2016: 158).
Tradisi, kulturdanrelasisosial
Secara epistimologi, tradisi adalah sesuatu kebiasaan yang berkembang di masyarakat baik, yang menjadi adat kebiasaan, atau yang diasimilasikan dengan
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 125 ritual adat atau agama. Dalam pengertian di atas, tradisi sudah menjadi warisan nenek moyang yang sudah dipraktekkan semenjaksebuah pelaku tradisi ada.
Menurut Funk dan Wagnalls seperti yang dikutip oleh Muhaimin tentang istilah tradisi di maknai sebagai pengatahuan, doktrin, kebiasaan, praktek dan lain- lain yang dipahami sebagai pengatahuan yang telah diwariskan secara turun- temurun termasuk cara penyampai doktrin dan praktek tersebut (Muhaimin, 2001:
11). Dari pendapat Funk dapat disederhanakan bahwa sebuah tradisi adalah perilaku sosial yang difaktori oleh pengalaman, pengetahuan dan kesinambungan pengetahuan dari peletak tradisis ampai pelestari tradisi.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi merupakan sistem sosial yang tertata dan terkelola dari masa ke masa melalui adat kebiasaan yang di percayai dan diyakini oleh masyarakat sebagai peninggalan peradaban.
Tradisi sebagai bagian dari kearifan lokal yang terbentuk berdasarkan kesepakatan antar warga masyarakat.
Sistem kultur sosial masyarakat Sasak
Posisi sosial masyarakat dari masa kemasa selalu mengalami kemajuan.
Diawal keberadaannya, kehidupan masyarakat Sasak selalu berpindah-pindah karena bergantung pada alam. Sistem berburu atau bercocok tanam masyarakat Sasak diabadikan dalam bentuk hak milik, sehingga setiap warga masyarakat mengelola tanah perkebunannya berdasarkan hak miliknya tersebut.
Begitu banyak sistem sosial-budaya yang masih berkembang dalam kehidupan masyarakat. Beberapa keunikan masyarakat dari kultur social dapat dilihat dari kekompakan. Dalam hal ini masyarakat Sasak mengenal istilah gotong- royong. Kegiatan ini bias any adilakukan saat membuat rumah, mengerjakan sawah, kematiandan lain sebagainya. Namun seiring dengan pergeseran zaman, kebiasaan in imula imemudar dan pola hidupnyapun berubah. Salah satunya adalah ritual peraq api
Ritual merupakan upacara atau upacara adat yang dilakukan berhubungan dengan kepercayaan atau agama yang dianut oleh seseorang dan merupakan aktivitas suci. Upacara mampu menimbulkan gairah kebersamaan, melestarikan
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 126 kepercayaan nenek moyang walaupun dalam praktiknya tidak diadopsi secara keseluruhan. Ritual diharapkan menstimulasi energi positif yang dapat memetik motivasi kuat bagi segenap elemen untuk bangkit. Namun upacara yang dirasakan saat ini terkesan lebihsering dipertontonkan sebagai instrument mitologisasi agar kekuasaansenantiasa tampil mengkilap dan tak tersentuh (Safrinal, 2007: 28-29).
Tradisi Peraq Api merupakan sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Sasak pascapersalinan. Tradisi ini dibumbui oleh berbagai macam ritual yang harusdipersiapkan. Akhir dari tradisi ini adalah pemberian nama pada anak. Praktik tradisi ini dilakukan dengan melibatkan berbagai elemen termasuk diantaranya adalah peran Belian.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi digunakan untuk merumuskan ilmu sosial yang mampu menafsirkan dan menjelaskan tindakan dan pemikiran manusia dengan cara menggambarkan struktur-struktur dasar atau realita yang tampak nyata dimata setiap orang yang berpegang teguh pada sikap alamiah (Denzin, 2000: 337).
Namun dalam perjalanannya, penelitian ini juga akan menggunakan pendekatan etnografi yang mencoba melakukan pengumpulan data, pengklasifikasiannya terhadap budaya tradisi masyarakat Sasak, khususnya dalam praktisi peraq api.
Sumber data dalampenelitianiniterdiriatassumber data primer dansekunder.
Sumber data primer yaitu ketua lembaga adat desa batujai, Belian beranak dan sejumlah tokoh agama di Desa Batujai. Adapun sumber data primer terdiri atas masyarakat yang ada di Desa Batujai. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan tiga teknik, yaitu: (1) obsevasi partisipan (participant obsevation);
(2) wawancara mendalam (in depth interview); (3) dan studi dokumentasi (study of documents). analisis data dilakukan melalui kegiatan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 127 TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Konstruksi, Makna dan Nilai Tradisi Peraq Api
Masyarakat sasak memiliki kebudayaan sendiri dalam melaksanakan sebuah peninggalan masa lalu, karena itu merupakan bagian dari perilaku masyarakatnya. Kebudayaan dapat memuat tata pamong masayarakat, aktivitas perlakuan masyarakat, bahasa atau budaya dari masyarakat yang secara fisik dapat dilihat oleh mata manusia itu sendiri. Termasuk kepercayaan-kepercayaan yang mengiringi kehidupan manusia karena faktor kepercayaan. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Taylor dalam Budiwanti (2000: 182) bahwa ritus peralihan merupakan respon kultural langsung terhadap faktor-faktor biologis, perubahan psikologis dan tahapan kehidupan manusia.
Tradisi peraq api pada awalnya merupakan ekspreimentasi masyarakat tentang sesuatu. Hasil eksperimentasi tersebut melalui beragama pengalaman diantaranya adalah orang yang melakukan eksperimentasi memperoleh mimpi agar apa yang dilakukan tidaklah lengkap jika tidak ada tambahan-tambahan bahan yang pada waktu itu dianggap sulit untuk memperolehnya. Hubungan interaksi antara dunia nyata dengan dunia maya diyakini dapat dimediasi oleh bahan-bahan yang dianggap tidak mengganggu keharmonisan di dunia maya. Hal ini juga tidak terlepas dengan bantuan orang yang melek terhadap agama. Tradisi pada mulanya merupakan musabab, namun akhirnya menjadi konklusi dan premis, isi dan bentuk, efek dan aksi pengaruh dan mempengaruhi (Hanafi, 2003: 2).
Tradisimempengaruhisistem, kultur, danrelasisosialditengahmasyarakat.
Oleh karena itu, untuk menguatkan tradisi, dibuatkanlah eksperimentasi- eksperimentasi yang secara universal dapat dipatenkan sebagai rangkaian dari tradisi. Tradisi-tradisi yang ada pada masyarakat Suku Sasak ini sebagai upacara keagamaan untuk mencari hubungan antara manusia dengan Tuhan dan mahluk yang mendiami alam ghaib yang dilambangkan dalam bentuk kepercayaan orang Sasak pada waktu upacara berdoa dan melakukan sesaji. Setiap melakukan upacara adat masyarakat Suku Sasak tidak terlepas dengan pemanjatan doa kepada Tuhan dan penggunaan sesaji disetiap prosesi adat (Suhupawati, 2011: 5)
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 128 Upacara adat kelahiran sebagai ritual yang sangat menegangkan dan menakutkan bagi sebagian masyarakat sasak. Peristiwa kelahiran ini disebut sebagai peristiwa yang suci. Bagi masayarakat, peristiwa kelahiran ini harus disambut dengan pengalaman kultural dan religius. Artinya, secara kultural, karena ini merupakan peninggalan sejarah masa lalu, jadi pelaksanaannya berdasarkan apa yang telah dicontohkan dan membudaya dikalangan masyarakat. Adapun aspek religiusitasnya dilakukan dengan melaksanakan zikiran, mesetulak dan lain sebagainya.
Melalui siklus ritual yang telah dilakukan di atas, masyarakat percaya bahwa tuhan dan roh nenek moyangnya akan dapat membantu sang anak yang dilahirkan agar terhindar dari bahaya yang sewaktu-waktu dapat mengancamnya.
Sehingga apabila sang istri yang hendak melahirkan, maka dengan sendirinya akan mencari belian, yang bertugas untuk membantu persalinan istrinya. Seringkali akibat dari keyakinan yang mengkristal terhadap budaya, sebagai misal;
masyarakat masih meyakini bahwa jika ternyata ibu yang melahirkan mengalami kesulitan, maka dapat diyakini disebabkan bahwa secara kasatmata telah mengalami gangguan oleh roh-roh jahat sehingga perlu ada penanganan khusus, melalui ritual lainnya. Ritual ini memang pelik, Hal tersebut biasanya ditafsirkan akibat berlaku kasar terhadap ibu atau suaminya. Untuk itu diadakan upacara, seperti menginjak ubun-ubun, meminum air bekas cuci tangan suami dan ibunya ini dilakukan agar mempercepat kelahiran sang bayi. Setelah bayi tersebut lahir masyarakat menganggap bahwa rambut yang dibawa lahir oleh bayi disebut bulu panas. Oleh karena itu rambut tersebut dihilangkan dengan mengadakan selamatan, doa atau upacara sederhana yang disebut ngrusiang. Orang pertama yang memotong rambut bayi tersebut adalah seorang kiyai (Suhupawati, 2011: 6).
Pelaksanaan tradisi peraq api juga memiliki nilai sosial yang tinggi. Melalui tradisi ini masyarakat dapat membangun interaksi sosial yang baik. Satu masyarakat berkunjung kemasyarakat lainnya, keluarga yang satu berkunjung kekeluarga lainnya. Hal ini sangat dimungkinkan pada saat melaksanakan tradisi.
Dengan adanya proses sosialisasi tersebut, hubungan antar keluarga semakin harmonis Keluarga merupakan institusi yang paling penting pengaruhnya terhadap
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 129 proses sosialisasi manusia. Keluarga merupakan kelompok primer yang selalu terjadi tatap muka dan mengikuti perkembangan anggota-anggotanya. Kedua, orang tua mempunyai kondisi yang kuat untuk mendidik anak-anaknya sehingga menimbulkan hubungan emosional dimana hubungan ini sangat diperlukan dalam proses sosialisasi. ketika, adanya hubungan sosial yang tetap, maka dengan sendirinya orang tua mempunyai peranan yang penting terhadap proses sosialisasi anak.
Punish dan Inharmoniasi Sosial Masyarakat
Secara umum, pelaksanaan tradisi tidak mengalami persoalan secara sosial, karena ini menyangkut keyakinan. Ada sebagian masyarakat yang tetap pada pendiriannya untuk mempertahankan tradisi ini dengan berbagai dinamikanya, dan ada sebagian masyarakat yang sudah mulai memodifikasi alur pelaksanaan tradisi tersebut. Modifikasi dalam hal ini adalah jika beberapa item persiapan tidak ada, maka dapat diganti dengan intem lainnya. Namun bagi yang fanatik, bahwa apa yang telah dipraktekkan oleh nenek moyangnya harus dipraktekkan seperti itu juga. Seringkali persoalan semacam ini menjadi alasan inharmonisasi sosial.
Dari penyebab perbedaan di atas tidak jarang masyarakat juga memberikan hukuman sosial. Maksudnya adalah bagi masyarakat yang memodifikasi atau atau memfinalkan alur sesuai kaedah peninggalan masalalu, funish sosial yang muncul adalah adanya upaya salaing membicarakan keburukan-keburukan atau adanya pantangan-pantangan yang dapat mengakibatkan ketidaknyamanan tersebut.
Dengan itu, terjadi ketidaknyamanan antar masyarakat secara sosial. Untuk mencegah inharmonisasi tersebut perlu diberikan pencerahan, bahwa praktek kebudayaan bukan keyakinan.
Prosedur Pelaksanaan Tradisi Peraq Api
Sebelum menjalankan tradisi, peraq api memiliki ritual-ritual. Apa yang dimaksud dengan ritual ? Menurut ilmu Sosiologi, arti ritual adalahaturan-aturan tertentu yang digunakan dalam pelaksanaan agama yang melambangkan ajaran dan yang mengingatkan manusia pada ajaran tersebut. Ritual peraq api adalah sebuah
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 130 praktek budaya yang dilakukan masyarakat sasak setelah melahirkan. Ritual ini pada intinya bertujuan untuk memperkenalkan dan memberikan nama kepada anak yang dilahirkan.
Pelaksanaan ritual dilaksanakan dengan bantuan Belian. Belianmerupakan orang yang membantu ibu melahirkan. Mulai dari sejak hamil sampai pemberian nama pada anak. Hubungan antara anak, keluarga dan Belian senantiasa bertalian sebelum anak dinamai oleh Belian tersebut melalui saran dari orang tuanya. Di bawah ini ditampilkan prosedur pelaksanaan tradisi peraq api.
Di dalam melaksanakan upacara adat biasanya tidak terlepas dengan sesaji- sesaji yang harus disiapkan. Sesaji-sesaji tersebut berupa makanan, jajanan tradisonal dan pembakaran kemenyan yang dilakukan pada saat upacara akan dilakukan. Kelengkapan sesaji sudah menjadi kesepakatan bersama yang tidak boleh ditinggalkan karena sesaji ini merupakan sarana pokok dalam ritual. Adapun tradisi peraq api disiapkan sesaji akan tetapi tidak membakar kemenyan. Semua ini dilakukan sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kepada leluhur mereka yang sudah meninggal dunia. Adapun alur pelaksanaan tradisi peraq api adalah sebagai berikut;
Pertama adalah persiapan. Pada tahap ini Belian mempersiapkan bahan- bahan yang dibutuhkan untuk perayaan ritual. Beberapa bahan yang perlu disiapkan pada tahap ini diantaranya kembang merah, kembang Bikan,keliong, Tepak dan koin rupiah. Bahan-bahan yang telah disiapkan tersebut diberikan mantra kemudian di letakkan di atas tepak tersebutkemudianditambahdan air danLogam.
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 131 Penyiapan bahan di atas memiliki makna tersirat dalam keyakina nmasyarakat Sasak. Kembang menandakan bahwa anak senantiasa menjadi bunga di dalam keluarganya. Menebarkan aura kebaikan, sebagaimana orang senang terhadap bunga. Adapun pemanfaatan koin bermakna tentang keyakinan masyarakat bahwa harta sangat dibutuhkan untuk kemaslahatan. Sedangka pencampurannya dengan air dimaknai sebagai penyuci agar anak senantiasa terhindar dari barang-barang yang tidak baik.
Adapun bera sdisiapkan untuk membuat montong siong. Makanan ini dibuat melalui proses penggorengan, setelah tu dicampur dengan parutan kelapa.
Makanan ini diberikan pada masyarakat yang hadir pada saat ritual atau membawa pulang. Berikut fotonya:
Kedua, memandikan anak. Hal ini bertujuan untuk membersihkan anak dari kotoran secara fisik dan non fisik. Secara fisik membersihkan kotoran yang menempel pada tubuh anak itu sendiri dan secara non fisik berkeyakinan untuk membersihkan jiwa anak dari memulai kehidupan yang baru.
Ketiga, membakar serabut kelapa dan meletakkan anak di atas asapnya.
Langkah ini diyakini sebagai proses untuk mengenalkan anak tentang dunia ini sendiri. Bahwa setiap masalah selalu ad asumber masalah itu sendiri. Salah satu keyakinan masyarakat sasak dari prosedur ini adalah bahwa anak dimasa
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 132 mendatang akan mendapat tantangan kehidupan yang besar. Tumbuh dan berkembang sesuai dengan zamannya. Oleh karena itu, anak tidak boleh gentar terhadap setiap persoalan yang dihadapi. Pada langkah ini, anak diletakkan di atas keliong kemudian digoyang-goyang di atas asap yang diyakini bahwa dengan ini anak dikenalkan dengan goyangan tersebut.
Ritual tahap tiga di atas juga diyakini masyarakat sasak memiliki makna.
Masyarakat yang menghadiri ritual secara langsung mengusapkan asapnya kemata masing-masing. Mereka meyakini bahwa dengan cara tersebut akan menjernihkan matanya. Ritual ini juga diyakini sebagai salah satu prosedur ritual yang ditunggu masyarakat. Karena kesempatan ini diyakini sebagai kesempatan yang langka dan harus dimanfaatkan.
Keempat adalah membuang air bekas mandi di atas keliong. Kegiatan ini diyakini sebagai masyarakat yang hadir bahwa dengan mencuci mata dengan air tersebut dapat mencuci mata yang diyakini sebagai cara untuk menjauhkan diri dari rabun mata. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat yang hadir pada saat proses ritual.
Kelima, adalah memberikan nam aanak. Langkah ini diyakini sebagai langkah terakhir. Para orang tua menyiapkan lebih dari satu daftar nama yang
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 133 ditulis di atas kertas, kemudian kertas tersebut diletakkan di tangan anak.
Masyarakat meyakini bahwa nama yang paling disukai anak adalah nama yang paling kuat digenggam oleh anak, dan diyakini bahwa anak tersebutlah yang paling diinginkan oleh anak.
Pandangan Islam tentang tradisi
Banyak pandangan yang menyatakan agama merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi tak sedikit pula yang menyatakan kebudayaan merupakan hasil dari agama. Hal ini seringkali membingungkan ketika kita harus meletakan agama (Islam) dalam konteks kehidupan kita sehari-hari.Sedangkan budaya membentuk cara kita melihat dunia. Oleh karena itu, kapasitas untuk membawa perubahan sikap diperlukan untuk memastikan perdamaian dan pembangunan berkelanjutan yang, kita tahu, membentuk satu-satunya jalan menuju kehidupan di Bumi
Agama adalah kumpulan gagasan, praktik, nilai, dan cerita yang semuanya tertanam dalam budaya dan tidak dapat dipisahkan darinya. Sama seperti agama tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks budaya (termasuk politik), tidak mungkin memahami budaya tanpa mempertimbangkan dimensi agamanya. Dengan cara yang sama seperti ras, etnisitas, gender, seksualitas, dan kelas sosial ekonomi selalu menjadi faktor dalam interpretasi budaya dan pemahaman, demikian juga agama.
Budaya mendefinisikan kekuatan sosial di dalam sebuah komunitas yang melibatkan konvensi untuk perilaku. Agama mendefinisikan bagaimana anggota masyarakat menafsirkan peran mereka di alam semesta, dengan ajaran ini didasarkan pada budaya lokal, maka agama yang berbeda bangkit dari budaya yang
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 134 berbeda. Demikian pula ketika anggota satu agama mengubah anggota budaya asing, seringkali agama yang dihasilkan di wilayah tersebut dipengaruhi oleh budaya tuan rumah.
Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi budaya. Karena Islamsebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan denganagama-agama lain.
Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas:Islam sebagai konsepsi sosial budaya, dan Islam sebagai realitas budaya.
Islam sebagai konsepsi budaya inioleh para ahli sering disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budayadisebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi lokal) bidang-bidang yang
“Islamik”, yang dipengaruhi Islam.
Tentang kepercayaan, memahami kepercayaan masyarakat Sasak sulit untuk dilakukan kajian. Kepercayaan masyarakat Sasak sampai saat ini masih dapat dilihat dari perkembangan dan pelestrarian kebudayaan. Salah satu adat istiadat yang sampai sekarang ini masih dipegang teguh oleh masyarakat Sasak adalah kawin lari. Dalam Suku Sasak pernikahan dengan cara kawin lari ini disebut dengan merari’.
Sebagaimana kawin lari, tradisi lainnya adalah Peraq Api sebagai produk budaya produk budaya. Tradisi ini sudah berkembang sangat lama, bahkan semenjak Islam ada di tanah sasak ini. Lalu apa pandangan Islam tentang perkembangan sebuah produk budaya. Dinul-Islam sangat menitik beratkan pengarahan para pemeluknya menuju prinsip kemanusiaan yang universal, menoreh sejarah yang mulia dan memecah tradisi dan budaya yang membelenggu manusia, serta mengambil intisari dari peradaban dunia modern untuk kemaslahatan masyarakat Islami. Allah berfirman:
“Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, ‘Isa dan para nabi dari Rabb mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri”. Barang siapa mencari agama selain dari
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 135 agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (Ali ‘Imran/3:84-85)
Kebudayaan dalam perpspektif Islam tidak mengalami gap yang mempengaruhi eksistensinya. Kebudayaan diperbolehkan asalkan sistem budaya tersebut tidak menimbulkan kesyirikan atau menduakan tuhan. Tidak ada masalah selama kepercayaan tidak menjadi keyakinan yang dapat mengganggu keimanan dan ketakwaan.
Sebelum memutuskan boleh atau tidak boleh melaksanankan tradisi dan bagaimana pandangan Islam, terlebih dahulu dipahami tentang apa motif masyarakat melaksanakan tradisi tersebut, kepada siapa meyakininya dan bagaimana statusnya dibandingkan dengan keyakinan kepada Allah tuhan semesta alam. Berdasarkan hasil field research Bahwa praktek ini tidaklah bertentangan dengan agama Islam karena tidak melanggar syariat. Masyarakat menjalankan tradisi tapi tidak meyakini tradisi sebagai penyebab hal yang diinginkan atau tidak diinginkan terjadi. Semuanya karena campur tangan Allah SWT.
KESIMPULAN
Tradisi peraq api merupakan tradisi yang selalu dilaksanakan sebagai upacara pasca melahirkan. Tradisi ini dilaksanakan melalui persiapan bahan seperti dedaunan tertentu, koin, dan lainnya. Konsekuensi sosial bagi masyarakat yang tidak menjalankan tradisi diantaranya adalah sewaktu-waktu dapat menjadi penyebab terganggunya sang anak dari roh jahat. Oleh hal demikian, yang patut disalahkan adalah orang tua yang belum melaksanakan ritual upacaranya, selain itu orang tua tersebut terkucil secara sosial. Adapun dalam pandangan Islam tidak bertentangan karena beberapa hal diantaranya; (1) motif orang tua bukan meyakini bahwa ritual menyebabkan terhindarnya anak dari gangguan roh jahat, melainkan tradisi ini hanya mediasi yang dipercayai sebagai jembatan kesyukuran kepada Allah SWT; (2) ritual secara umum tidak bermaksud mendatangkan makhluk halus atau melakukan kontak dengannya melainkan meyakini bahwa bahan-bahan di atas hanyalah simbol dari setiap harapan; (3) kepercayaan bukanlah keyakinan sehingga terhindar dari menduakan Allah SWT.
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 136 DAFTAR PUSTAKA
Erni Budiwanti. 2000. Islam Sasak WetuTelu Versus Waktu Lima,LKIS, Yogyakarta, 2000.
https://www.kompasiana.com/penalaran/kepercayaan-suku-sasak-terhadap- belian_5842aa838723bd240aee93c5.
http://www.cultureandreligion.com/ diakses tanggal 08/03/2018 jam 14.00 WITA I. B. Mantra. 1977. Bunga Rampai Adat Istiadat IV. Jakarta: Pusat Penelitian
Sejarah dan Budaya.
Norman K. Denzin&Yvonna S. Lincoln, Handbook Of Qualitative Research. 2000.
(diterjemahkan oleh; Dariyatno, dik). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Katimin, Hubungan Agama dan Budaya dalam Islam, https://a410080100.files.wordpress.com/2012/01/budaya-dalam-agama- islam.pdf, diakses tanggal 28/09/2017 jam 14.00 WITA
Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Lubis, Muhammad Safrinal. 2007. Upacara Dalam: Jagat Upacara (CetakanPertama, Oktober 2007). Yogyakarta: EKSPRESI. Universitas Negeri Yogyakarta.
Hasan Hanafi. 2003. Oposisi Pasca Tradisi. Yogyakarta: Sarikat, 2003.
Muhaimin AG, 2001. Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret Dari Cerebon, Terj.Suganda(Ciputat: PT. Logos wacana ilmu, 2001.
Roibin. 2013. Dialektika Agama Dan Budaya Dalam Tradisi Selamatan Pernikahan Adat Jawa Di Ngajum, Malang, el Harakah Vol.15 No.1 Tahun 2013.
Tim peneliti Depdikbud dalam Haq, Perkawinan Adat Merariq Dan Tradisi Selabar di Masyarakat Suku Sasak, PERSPEKTIF, Volume XXI No. 3 Tahun 2016 Edisi September.
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 120 TRADISI “PERAQ API” DALAM TINJAUAN TEOLOGIS-SOSIOLOGIS:
KAJIAN FENOMENOLOGI RITUAL PASCA PERSALINAN SUKU SASAK DI LOMBOK TENGAH)
Nuruddin
Fakakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram Jurusan Sosiologi Agama
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menggali sikap, status, pandangan teologis dan hukuman sosial masyarakat Sasak pada tradisi pasca melahirkan, kewajiban dan pantangan dalam mensosialisasikan tradisi. Hingga era miineal, status dan stratifikasi sosial masih terjadi. Penelitian ini merupakan penelitian fenomenologi yang mencoba menjelaskan realitas kondisi masyarakat dalam menjalankan tradisi. Pengumpulan data dilakukan dengan triangulasi dengan keluarga pelaksana tradisi sebagai instrumen utama. Hasil penelitian menggambarkan bahwa: (1) ritual peraq api wajib dilakukan oleh etnis Sasak setelah persalinan, (2) tradisi ini tidak membatasi status sosial masyarakat, baik yang kaya miskin. (3) tidak ada hukuman sosial yang disepakati untuk tradisi bagi masyarakat yang menjalankan tradisi sesuai kaedah yang biasa dilakukan, tetapi menjadi beban moral secara individual di masyarakat. (4) ritual ini juga dijadikan sebagai pemutus hubungan dan layanan antara "belian", ibu dan anak. Inilah yang mendorong prestise sosial keluarga dalam menjalankan tradisi meskipun secara finansial tidak memadai. Dalam pandangan Islam tidak bertentangan karena beberapa hal diantaranya; (1) motif orang tua bukan meyakini bahwa ritual menyebabkan terhindarnya anak dari gangguan roh jahat, melainkan tradisi ini hanya mediasi yang dipercayai sebagai jembatan kesyukuran kepada Allah SWT; (2) ritual secara umum tidak bermaksud mendatangkan makhluk halus atau melakukan kontak dengannya melainkan meyakini bahwa bahan-bahan di atas hanyalah simbol dari setiap harapan; (3) kepercayaan bukanlah keyakinan sehingga terhindar dari menduakan Allah SWT.
Kata kunci: Tradisi, peraq api, sosiologis, teologis, sasak etnis, teologis, fenomenologi
PENDAHULUAN
Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dewasa ini telah berdampak pada kehidupan manusia yang mengalami perubahan pesat. Kemajuan ini berimplikasi pada model interaksi manusia dengan dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat. Masyarakat yang tanggap terhadap kemajuan dapat dengan segera melakukan adaptasi perubahan yang mungkin dimunculkannya, namun bagi masyarakat yang lambat menerima perubahan bahkan tidak mungkin berpartisipasi dalam perubahan itu sendiri atau mengalami keterlambatan.
Salah satu dampak dari kemajuan IPTEK adalah pergeseran nilai-nilai kebudayaan masyarakat. Kebudayaan adalah warisan dari peninggalan nenek
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 121 moyang. Kebudayaan diartikan sebagai buah dari cipta, rasa dan karsa manusia.
Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1985: 180)
Kebudayaan adalah produk yang bersifat fleksibel. Kebudayaan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, maka kebudayaan masyarakatpun berkembang. Perkembangan kebudayaan terjadi secara mutualistik-integratif seiring dengan perubahan sosial masyarakat. Timbal balik antara kebudayaan dengan teori praksis mencoba mengungkap perbedaan tajam tentang kebudayaan sebagai tindakan konvensional dan kebudayaan sebagai praksis kulturalisme modern.
Kebudayaan dan perubahan sosial tidak dapat diceraikan. Kebudayaan memiliki kedekatan genitas dengan agama, sehingga dialektika agama dengan kebudayaan memiliki sinergisitas yang intim. Dialektika keduanya melahirkan sikap keagamaan yang beragam, mulai agama dijadikan hal yang diyakini, difahami, dan dipraktekkan. Pentahapan tersebut tidak saja muncul pada tataran keyakinan saja, tetapi pada setiap ketiga tahapan di atas melahirkan perbedaan ekspresi keagamaan yang cukup signifikan (Roibin, 2013: 35).
Agama diyakini sebagai firman tuhan yang memiliki kekuatan dan memiliki energi perubahan pada dimensi sosial dan kultural masyarakat. Keyakinan akan hakikat beragama melahirkan sikap keagamaan yang berbeda terhadap komunitas beragama lainnya. Sebagai komunitas muslim tentu melihat purifikasi agama sebagai praktisi percampuran kebudayaan. Islam yang diyakini oleh umat beragama bukan buatan manusia, melainkan Islam adalah agama langit yang tuhan turunkan sebagai pedoman umat manusia. Namun diyakini atau tidak sinkretisasi dan akulturasi agama dan kebudayaan melekat dalam pengamalan kehidupan masyarakat beragama.
Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa aktivitas masyarakat yang berkembang tidak bisa tidak sedikit dipengaruhi oleh pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang konsep beragama. Secara teologis agama mempengaruhi sikap berbudaya yang muncul dan kebudayaan muncul dari efek tradisi lokal masyarakat.
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 122 Dalam hal ini, agama dan budaya tidak lagi dapat dikatakan mana yang lebih dominan, budaya sebagai produk agama atau agama sebagai produk budaya. Ini merupakan potret relasi yang saling berkelindan dan saling mempengaruhi (Roibin, 2013: 35).
Keragaman antara prilaku budaya yang dibungkus atas nama adat dan ditelurkan dalam sebuah ritual tradisi lama kelamaan mengalami transformasi, bukan karena mengakui keyakinannya secara brutal akan tetapi karena mengalami pergeseran paradigma. Masyarakat cenderung kesulitan memahami tentang prilakunya sendiri antara agama mempengaruhi budaya atau budaya mempengaruhi agama. Pergeseran paradigma ini dapat menjadi pencerahan tentang Bagaimana masyarakat memahami agama hingga bagaimana peran-peran lokal mempengaruhi perilaku sosial keberagamaan mereka.
Suku Sasak sebagai Suku terbesar di Pulau Lombok memiliki beragam kebudayaan. Mulai dari tradisi “merarik, begawe, jogetan, nyongkolan, maling senine” dan tradisi lainnya. Tradisi-tradisi ini memiliki landasan historisitas dan sosiologisitas yang tinggi. Tradisi dan kebiasaan masyarakat muncul dari keyakinan atas makna yang tersurat dan tersirat dalam tradisi. Sebagian masyarakat Sasak meyakini bahwa tradisi di atas merupakan bagian dari tradisi syukuran dan sebagian lagi berpandangan bahwa tradisi di atas adalah bagian dari warisan dari kebudayaan yang perlu dilestarikan.
Hasil studi pendahuluan pada masyarakat Suku Sasak di Desa Batujai tentang bagaimana sebuah tradisi diaktualisasikan dalam kehidupan beragama dan bersosial masyarakat adalah tradisi “Peraq Api”. Tradisi “Peraq Api” merupakan tradisi merupakan tradisi pemberian nama pada bayi yang baru lahir. Tradisi tersebut sudah menjadi kebiasaan masyarakat Sasak. Pada prakteknya tradisi ini banyak menimbulkan persepsi, sebagian masyarakat meyakini bahwa tradisi ini wajib dilakukan dan tidak boleh ditinggalkan karena manakala tradisi ini tidak dilakukan akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.
Dalam pelaksanaannya, tradisi peraq api membutuhkan persiapan-persiapan baik berupa bahan-bahan maupun jumlah hari kelahiran dan pertimbangan lainnya.
Bahan-bahan harus dipersiapkan dengan lengkap guna membebaskan anak dari
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 123 pantangan-pantangan di masa depannya. Dalam tradisi, masyarakat tinggal memilih dua alternatif antara tradisi “peraq api katak atau masaq”. Keduanya memiliki perbedaan dan konsekuensi mistis dan logis yang diyakininya.
Fenomena upacara adat di atas dengan segala persiapannya tentu perlu dikaji secara teologis-sosiologis pelaksanaannya. Kajian semacam ini penting dilakukan untuk membedah dimensi agamis, melanggar atau sudah sesuai dengan syariat agama. Penjelasan secara teologis memberikan pencerahan yang sesuai dengan pemahaman agama yang diakui. Demikian pula, praktek sebuah ritual tradisi memiliki konsekuensi secara sosiologis. Perlu dipahami lebih mendalam bahwa efek dari keyakinan beragama dan dimensi bermasyarakat memiliki efek sosiologis dalam implementasinya walaupun tanpa menyadarinya.
Berdasarkan uraian studi pendahuluan di atas, dianggap perlu mengkaji lebih mendalam tentang fenomena yang sering dijumpai dimasyarakat. Oleh karena itu, dalam kajian penelitian berikut ini membahas tentang “Tradisi“peraq api” dalam tinjauan teologis-sosiologis (Kajian fenomenologi ritual pasca persalinan masyarakat Suku Sasak di Lombok Tengah).
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Suku Sasak di Pulau Lombok
Indonesia terdiri atas keberagaman Suku, bangsa, ras dan wilayah.
Keberagaman adalah hadiah paling indah dibandingkan hadiah-hadiah lainnya dibandingkan Negara-negaralainnya. Salah satunya adalah Lombok.
Lombok merupakan salah satu tujuan wisata terdekat dengan Bali, sehingga dikenal pelancong dari penjuru dunia. Lombok terkenal dengan pantainya yang indah, bahkan lebih indah dari Bali. Banyak wisatawan asing yang menjadikan Lombok satu paket dengan liburannya ke Bali. Pulau Lombok adalah sebuah pulau di kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara yang terpisahkan oleh Laut Jawa di sebelah Utara dan Samudera Hindia di sebelah selatan. Secara geografis Lombok terletak antara 115o - 119o Bujur Timur dan 8o -9o Lintang Selatan.
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 124 Lombok sebagai salah satu pulau dan daerah terindah di Indonesia dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Sekitar 80 % warga lombok adalah Suku Sasak, dan 20 % adalah penduduk asal Bali dan selebihnya adalah penduduk asal Cina, Jawa, dan Arab. Walaupun persentase Suku Sasak lebih besar dibandingkan dengan yang lainnya, pola kehidupan masyarakat masih dipengaruhi oleh kultur Bali karena dahulu Lombok lama berada di bawah kekuasaan raja Bali (Solichin, 13).
Suku Sasak hidup dan mengembangkan kebudayaannya di Pulau Lombok yang wujud dalam pembangunan fisik. Salah satunya adalah pembangunan tempat tinggalnya. Rumah tinggal SukuSasak di sebut bale.
Pengertian bale memiliki dua konstruksi makna yaitu sebagai tempat berteduh, melindungi diri dari bahaya, cuaca dingin, panas, dan binatang buas.
Adapun makna kedua yaitu keselamatan jiwa dan kebahagiaan (Mantra, 1977:
84). Jadi rumah atau bale sebagai peninggalan Suku Sasak memiliki makna penting dan menunjukkan eksistensinya sebagai Suku yang ada di Pulau Lombok.
Adapun asal-usul Suku Sasakadalah ras Mongoloid. Ras Mongoloid adalah supras Melayu-Indonesia tersebar di sebagian besarwilayah Indonesia terutama yang terletak di bagian barat dan selatan antara lain; Sumatera, Jawa, Bali,dan Lombok (Budiwanti, 2000: 6).
Ada juga dugaan bahwa leluhur orang Sasak adalah orang Jawa, hal ini dapat dibuktikan dengantulisan Sasak yang disebut Jejawen. Kedatangan orang Jawa ke Lombok diperkirakan pada zaman Medang, saat pengembangan Agama Islam oleh parawali-wali dari Jawa sekitar abad XV dan XVI. Dasar pemikiran ini menyimpulkan bahwa yang menjadi dasar pikiran orang-orang Sasak pada masa- masa perkembangannya adalah kebudayaan Jawa sebelum dan sejaman dengan Majapahit dan kemudian Agama Islam (Tim Peneliti Depdikbud, 2016: 158).
Tradisi, kulturdanrelasisosial
Secara epistimologi, tradisi adalah sesuatu kebiasaan yang berkembang di masyarakat baik, yang menjadi adat kebiasaan, atau yang diasimilasikan dengan
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 125 ritual adat atau agama. Dalam pengertian di atas, tradisi sudah menjadi warisan nenek moyang yang sudah dipraktekkan semenjaksebuah pelaku tradisi ada.
Menurut Funk dan Wagnalls seperti yang dikutip oleh Muhaimin tentang istilah tradisi di maknai sebagai pengatahuan, doktrin, kebiasaan, praktek dan lain- lain yang dipahami sebagai pengatahuan yang telah diwariskan secara turun- temurun termasuk cara penyampai doktrin dan praktek tersebut (Muhaimin, 2001:
11). Dari pendapat Funk dapat disederhanakan bahwa sebuah tradisi adalah perilaku sosial yang difaktori oleh pengalaman, pengetahuan dan kesinambungan pengetahuan dari peletak tradisis ampai pelestari tradisi.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi merupakan sistem sosial yang tertata dan terkelola dari masa ke masa melalui adat kebiasaan yang di percayai dan diyakini oleh masyarakat sebagai peninggalan peradaban.
Tradisi sebagai bagian dari kearifan lokal yang terbentuk berdasarkan kesepakatan antar warga masyarakat.
Sistem kultur sosial masyarakat Sasak
Posisi sosial masyarakat dari masa kemasa selalu mengalami kemajuan.
Diawal keberadaannya, kehidupan masyarakat Sasak selalu berpindah-pindah karena bergantung pada alam. Sistem berburu atau bercocok tanam masyarakat Sasak diabadikan dalam bentuk hak milik, sehingga setiap warga masyarakat mengelola tanah perkebunannya berdasarkan hak miliknya tersebut.
Begitu banyak sistem sosial-budaya yang masih berkembang dalam kehidupan masyarakat. Beberapa keunikan masyarakat dari kultur social dapat dilihat dari kekompakan. Dalam hal ini masyarakat Sasak mengenal istilah gotong- royong. Kegiatan ini bias any adilakukan saat membuat rumah, mengerjakan sawah, kematiandan lain sebagainya. Namun seiring dengan pergeseran zaman, kebiasaan in imula imemudar dan pola hidupnyapun berubah. Salah satunya adalah ritual peraq api
Ritual merupakan upacara atau upacara adat yang dilakukan berhubungan dengan kepercayaan atau agama yang dianut oleh seseorang dan merupakan aktivitas suci. Upacara mampu menimbulkan gairah kebersamaan, melestarikan
Prosiding : Seminar dan Simposium Nasional / UNRAM / ISI / APSSI 126 kepercayaan nenek moyang walaupun dalam praktiknya tidak diadopsi secara keseluruhan. Ritual diharapkan menstimulasi energi positif yang dapat memetik motivasi kuat bagi segenap elemen untuk bangkit. Namun upacara yang dirasakan saat ini terkesan lebihsering dipertontonkan sebagai instrument mitologisasi agar kekuasaansenantiasa tampil mengkilap dan tak tersentuh (Safrinal, 2007: 28-29).
Tradisi Peraq Api merupakan sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Sasak pascapersalinan. Tradisi ini dibumbui oleh berbagai macam ritual yang harusdipersiapkan. Akhir dari tradisi ini adalah pemberian nama pada anak. Praktik tradisi ini dilakukan dengan melibatkan berbagai elemen termasuk diantaranya adalah peran Belian.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi digunakan untuk merumuskan ilmu sosial yang mampu menafsirkan dan menjelaskan tindakan dan pemikiran manusia dengan cara menggambarkan struktur-struktur dasar atau realita yang tampak nyata dimata setiap orang yang berpegang teguh pada sikap alamiah (Denzin, 2000: 337).
Namun dalam perjalanannya, penelitian ini juga akan menggunakan pendekatan etnografi yang mencoba melakukan pengumpulan data, pengklasifikasiannya terhadap budaya tradisi masyarakat Sasak, khususnya dalam praktisi peraq api.
Sumber data dalampenelitianiniterdiriatassumber data primer dansekunder.
Sumber data primer yaitu ketua lembaga adat desa batujai, Belian beranak dan sejumlah tokoh agama di Desa Batujai. Adapun sumber data primer terdiri atas masyarakat yang ada di Desa Batujai. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan tiga teknik, yaitu: (1) obsevasi partisipan (participant obsevation);
(2) wawancara mendalam (in depth interview); (3) dan studi dokumentasi (study of documents). analisis data dilakukan melalui kegiatan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.