Buku Ajar
Patologi Veteriner Sistemik:
Sistema Pernafasan
Prof. drh. A.A.Ayu Mirah Adi, MSi.,Ph.D .
Patologi Veteriner Sistemik:
Sistema Pernafasan
Oleh:
Prof. drh. Anak Agung Ayu Mirah Adi, MSi. PhD.
Editor
Dr. drh. I Gusti Agung Arta Putra, MSi.
Diterbitkan oleh: Swasta Nulus
Design/tata letak: Mandra Ketut (MDR)
Cetakan : I Tahun 2014
Hal, viii + 86 hal; 15x21cm; font TNR 12
I would like to dedicate this book to:
- my beloved husband, our beloved daughters (Ratih and Keswari) and son (Bramardipa).
- my students at Faculty of Veterinary Medicine-Udayana University.
T U
TBC 32, 40, 46, 48, 49 Uremik 7, 53
Tonsil 33 Uterus 49
Turberkel 62, 74 Trakeobronkus 33 Trombosis 39, 49, 50 Toksemia 32, 56
X
Xenobiotic 3
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya-lah buku ajar Patologi Veteriner Sistemik: Sistema Pernafasan berhasil diselesaikan di awal semester gasal 2014/2015. Buku ajar ini merupakan penyempurnaan dari bahan ajar sebelumnya.
Tujuan dari penulisan buku ini agar mahasiswa memahami patologi sistema pernafasan melalui pengamatan makroskopik dan mikroskopik, serta mampu membuat diagnosa morfologik pada kasus kematian hewan yang melibatkan sistem pernafasan. Buku ini diharapkan dapat menjadi pegangan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan baik yang sedang dan akan menempuh mata kuliah Patologi Veteriner Sistemik maupun yang mengikuti Pendidikan Profesi Dokter Hewan.
Materi buku ini sebagian besar disarikan dari buku teks
“Special Veterinary Pathology” terutama dalam hal klasifikasi dan tata nama lesi (kerusakan) dan dikombinasikan dengan informasi pendukung berupa contoh kasus yang diambil dari jurnal ilmiah international. Beberapa gambar lesi spesifik diambil dari jurnal dan laman patologi veteriner serta dokumentasi pribadi penulis. Buku ini disajikan dalam beberapa bab. Bab I mengulas tentang pengertian umum untuk menyamakan persepsi serta mengulas secara ringkas fisiologi, anatomi dan histologi sistem pernafasan pada mamalia dan unggas serta kaidah penatanamaan lesi. Pada Bab II, dipaparkan tentang mekanisme pertahanan yang melindungi parenkim alveolar. Pada Bab III,IV,V dan VI diuraikan secara berturut-turut patologi rongga hidung dan sinus, faring, laring dan trakea, bronkus dan bronkiolus serta paru-paru. Pada bagian akhir (Bab VII) dibahas tentang pneumonia spesifik yang disebabkan oleh virus dan bakteri yang umum ditemukan.
Sebagian besar penamaan lesi belum diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia untuk memudahkan pemahaman.
Penulisan buku ini akan terus disempurnakan dengan lebih menekankan pada contoh-contoh kasus. Penulis menyadari buku ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, kritik dan saran sangat diharapkan guna perbaikan pada edisi mendatang. Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak utamanya teman-teman yang telah membantu mencarikan dan mengirimkan jurnal ilmiah yang tidak bisa kami dapatkan di Indonesia. Akhir kata, semoga buku ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya.
Denpasar, September 2014 Penulis
Lobularis 10 Langhans 74
M N
Makrofag 74
Malleus 25 ND 31, 17, 68
Melioidosis 27 Necroforum 31
Metaplasia 37 Necrobasilosis 31 Mukosiliaris 12, 14, 18 Nekrotik 31 Mukus 12, 19
Mineralisasi 67 Mesobronkus 41
O P
Oculonasal 28 Parabronkus 41
Oestrus ovis 24 Paranasal 23
Osleu 23 Pasteurellosis 72, 73
Putrefon 4 Pneumosit 5, 71 Pneumothorax 64 Pleuropneumoni 52
R S
Rhinitis 22 Saprofit 64
Roar 27, 28 Seluler 9, 13, 56
Retrofaringeal 27 Sequelae 24, 38, 40
Retikulum 64 Serus 12
Resolusi Sinusitis 23
Splenisasi 44
E F
Epiteloid 61 Fibrin 9, 51
Embolik 63 Fibroblast 9, 58, 75
Endokarditis 49 Fibrinosa 9, 52, 73
Embolik 60 Fibrovascular 58
Empyema 64 Fever 52
G H
Gangren 64 Haemophilus 25, 57
Gangrenosa 64 Haemolitika 71, 72
Goblet 2, 4 Hepatisasi 51
Granuloma 21 Heaves 40
Granulomatosa 54, 55, 62,63 Hidroperikard 45, 46 Gumboro 10, 36
I J
IBR 24 Jaringan 37
Imunodefisiensi 7, 15 Jejas 28, 75 Infark 50
Interstitialis 52 Intrinsik 1 Interlobuler 59
K L
Kortikosteroid 53 Laring 27 Kranioventral 10, 52 Lateral 10
Kupffer 6 Limfogen 67
Kalsifikasi 43
Kosolidasi 51, 52 Lober 10
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR . ... vii
BAB I. Pengertian Umum ... 1
BAB II. Mekanisme Pertahanan ... 11
BAB III. Patologi Rongga Hidung dan Sinus ... 19
BAB IV. Patologi Faring, Laring dan Trakea ... 29
BAB V. Patologi Bronkus dan Bronkiolus ... 35
BAB VI. Patologi Paru-Paru ... 41
BAB VII. Pneumonia Infeksius dan Spesifik ... 68
DAFTAR PUSTAKA ... 76
GLOSARIUM ... 79
INDEKS ... 82
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Partikel asing yang umum terdapat
di udara ... 6 Tabel 6.1. Tipe pneumonia pada hewan domestik ... 54
INDEKS
A B
Adenovirus 3, 17, 28, 69 BALT 13, 56 Aerobiologi 11
Bordetella 22, 25 Bronchiseptica 22, 25 Airbone 5 Bronkiektasi 38, 39, 40 Airogen 5, 6 Bronkiolitis 40, 60, 70 Alveoli 4, 14, 15, 52, 67 Bronkitis 36
Amiloid 20, 21
Bronkointerstitial/
pneumonia 52
Amiloidosis 20, 21, 49 Bronkopneumonia 32, 52
Asbestos 11 Bronkus 13, 39
Asbestosis 11 Burlkholderia mallei 25 Asfixia 31
Aspergilus 21, 35 Aspirasi 52, 65 Atelektasis 44 AV (Air vesicle) 42
C D
Cuffing 52, 56 Debris 51
Clara 3 Degeneratif 29
Cryptococcus 21, 62 Deposisi 11, 12 Crycoarytenoid 29 Desiliasi 2, 24
Cyanosis 34 Difteri 31, 37
Coriza 23 Dirofillaria 50
Dispnea 31, 46, 34 Distemper 28, 17 Dorsal 10
berbentuk granuler, lebih resisten dibandingkan pnemosit tipe 1 Sequelae (jamak),
Sequela (tunggal)
Gejala sisa , kelanjutan penyakit, atau kondisi patologi pasca infeksi,trauma maupun terapi.
Splenisasi Aspek paru menyerupai limpa.
Sreptokokus Bakteri bentuk kokus Xenobiotics Partikel asing
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.1 Gambaran mikroskopik trakea ayam, sel
epitel bersilia dengan silia mengarah kelumen kelenjar submukosa dan sel goblet yang berperan dalam mekanisme
pertahanan mukosiliaris ... 4
Gambar 1.2 Struktur alveoli dengan komponen penyusunnya berupa : pneumosit tipe I (bersifat membranous), pneumosit tipe II (bersifat granular ) serta sel makrofag alveolar. ... 5
Gambar 2.1 Skema bangun histologi sistem penyalur dan sistem pertukaran gas yang erat kaitannya dengan fungsi pertahanan. .... 13
Gambar 2.2 Diagram mekanisme pertahanan pada sistema pernafasan ... 15
Gambar 2.3 Gambar mikroskopik trakea ayam ... 16
Gambar 3.1 Amiloidosis pada kuda... 21
Gambar 4.1 Hemiplegia laringeal pada kuda ... 30
Gambar 5.1 Bronkus paru-paru tikus normal dan yang mengalami metaplasia) ... 37
Gambar 5.2 Gambaran makroskopik dan mikroskopik dari bronkiektasi ... 38
Gambar 6.1 Perbandingan struktur histologi paru-paru mamalia dan unggas. ... 42
Gambar 6.2 Gambaran makroskopik dan mikroskopik emfisema paru-paru ... 47 Gambar 6.4 Gambaran patologi paru-paru akibat
infeksi Pasteurela multocida ... 59 Gambar 6.5 Gambaran patologi paru anjing penderita
distemper ... 60 Gambar 6.6 Gambaran histopatologi pneumonia
granulomatosa ... 61 Gambar 6.7 Tuberkel berbagai ukuran pada
permukaan dan parenkim paru ... 62 Gambar 6.8 Perubahan mikroskopik dari P.aspirasi ... 65 Gambar 7.1 Bronkiolitis nekrotikan disertai dengan
infiltrasi netrofil dan makrofag yang memenuhi lumen bronkiolus ... 69 Gambar 7.2. Bronkiolitis nekrotikan dengan eksudat
neutrofilik. ... 70 Gambar 7.3. Gambaran makroskopik paru-paru sapi
pada kasus infeksi Pasteurella
multocida... ... 72
IHK Imunohistokimia.teknik deteksi antigen, dengan menggunakan antibodi.
Konsolidasi Pemadatan jaringan paru Kupffer Makrofag stasioner Metaplasia-
Squamous
perubahan bentuk epitel dari yang tidak skuamosa (pipih) menjadi skuamosa, bisa akibat iritasi yang terus menerus , defisiensi atau kelebihan vit A.
Mesokbronkus Bronkus pada unggas
Micrococcus genus dari bacteria yang termasuk familia Micrococcaceae
Mononuklir Berinti tunggal
Noxious Toksik,/merusak/berbahaya, untuk kesehatan.
Parabronkus Brokus tertier pada bangsa unggas Pnemosit Sel epitel pada dinding alveoli Pnemosit tipe 1 Sel epitel pada dinding alveoli
berbentuk membranus dan sifatnya mudah rusak
Pnemosit tipe 2 Sel epitel pada dinding alveoli
Glosarium
Airborne Agen penyakit yang ditularkan lewat udara
Amiloid Sejenis protein Asfixia Sesak nafas
AV Tempat terjadinya pertukaran gas pada paru unggas
BALT Jaringan limfoid pada lamina propria trakea, bronkus dan bronkiolus
Clara cells Sel pertahanan pada bronkiolus Cyanosis/sianosis Warna kebiruan pada kulit karena
berkurangnya kandungan oksigen pada darah.
Debris Reruntuhan sel yang mati Dyspnea Sulit bernafas
Hematogen Agen penyakit yang ditularkan lewat aliran darah.
Hepatisasi Tekstur paru menyerupai hati Hiperplasia Pertambahan jumlah sel
BAB I
PENGERTIAN UMUM
Sistema pernafasan (sistem respiratorius) yang tersusun dari saluran/traktus respiratorius merupakan alat tubuh yang mudah terserang penyakit karena adanya hubungan langsung antara udara luar, rongga hidung dan rongga mulut dengan alveoli di dalam paru-paru. Agen penyakit yang ditularkan melalui udara (airborne) sangat mudah mencapai paru-paru dan mengakibatkan parenkimnya juga mudah terpapar agen penyakit dari luar. Agen penyakit juga dapat mencapai paru-paru secara hematogen mengingat paru-paru merupakan salah satu organ yang didalamnya banyak mengalir darah melalui jaringan kapiler di setiap dinding alveoli. Tuberculosis (TB) miliaris sering ditemukan pada paru-paru ketika dalam darah ditemukan basil TB. Demikian juga, anak sebar tumor sering ditemukan pada paru-paru.
Agen penyakit yang sering menimbulkan kelainan pada sistema pernafasan bisa berasal dari: mikroorganisme yang ada di udara, flora pada orofaring, partikel-partikel toksik, gas berbahaya yang terdapat pada udara maupun toksin ekstrinsik dan intrinsik yang berasal dari sirkulasi pulmoner.
Penyakit pada sistema respiratorius merupakan salah satu penyebab kematian pada hewan pangan (food animal) yang menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat tinggi. Sementara itu, pada hewan kesayangan (companion animal) gangguan
pada sistema ini tidak menimbulkan dampak ekonomi yang nyata namun tetap harus mendapat perhatian.
Struktur dan Fungsi
Untuk mempermudah pemahaman tentang struktur dan fungsi dari sistema respiratorius, sistema ini dikelompokkan menjadi tiga yaitu: sistem penyalur (conductive system), sistem peralihan (transitional system) dan sistem pertukaran gas (gas exchange system).
Sistem penyalur meliputi rongga hidung, faring, laring, trakea dan bronkus, yang seluruhnya dilapisi oleh sel epitel silindris bertingkat (pseudostratified columnar ephitelium) dan di beberapa tempat ditemukan sel mangkok (goblet cells) (Gambar 1.1). Silia bersama sama dengan mukus yang dihasilkan oleh kelenjar submukosa dan sel mangkok memegang peranan penting sebagai pertahanan mekanis terhadap parenkim paru-paru. Epitel bersilia pada sistem ini sangat sensitif mudah cedera jika terpapar inhalan gas beracun, infeksi virus dan trauma. Jika mendapat paparan benda asing sel epitel ini akan membengkak,lepas dari membran basal ataupun kehilangan silia (desiliasi). Proses ini akan cepat sembuh jika penyebabnya dihilangkan. Namun jika proses berlangsung kronis maka akan terjadi hiperplasia dan metaplasia dari epitel tersebut.
Praveena Pe, Periasamy S, Kumar Aa, Singh N., 2014 Pathology Of Experimental Infection By Pasteurella Multocida Serotype A 1 In Buffalo Calves. Vet. Pathol., Doi: 10.1177/0300985813516647.
Rad M, Movassaghi Ar,Sharifi K, Naseri Z, Seifi Ha. 2009.
Two Outbreaks Of Pasteurella Multocida Septicemia In Neonatal Lambs. Comp. Clin. Path. 20:57-59.
Roy S. 2009. Http://Www.Histopathology-India.Net/Bron.Htm.
Diakses Juli 2014
Thomson Rg, Benson Ml, Savan M. 1969. Pneumonic Pasteurellosis Of Cattle:Microbiology And Immunology.
Can. J. Comp. Med. 33:194-206.
Tigga M,Ghosh Rc, Malik P, Choudhary Bk,Tigga P,Nagar Dk.2014. Isolation, Characterization, Antibiogram And Pathology Of Pasteurell Multocida Isolated From Pigs.Veterinary World. 7(5):363-368.
Tovar Le, Romero Rr, Nava Yv, Garza Am, Ramos Jj, Alfonsolópez A. 2007. Combined Distemper-Adenoviral Pneumonia In A Dog. Can Vet J. 48:632–634.
Zamri-Saad M, Effendy Wa, Maswati Ma, Salim N, Sheikh-Omar Ar. 1996. The Goat As A Model For Studies Of Pneumonic Pasteurellosis Caused By Pasteurella Multocida. Brit. Vet. J. 152:453-458.
Hussain R, Mahmood F, Khan A, Khan Mz, Siddique Ab. 2014.
Pathological And Molecular Based Study Of Pneumonic Pasteurellosis In Cattle And Buffalo (Bubalus Bubalis).
Pak. J. Agri. Sci. 51(1):235-240.
Johnson Lk, Liebana E,Nunez A, Spencer Y, Clifton-Hadley R, Jahans K, Ward A, Barlow A, Delahay R.2008.
Histological Observations Of Bovine Tuberculosis In Lung And Lymph Node Tissues From British Deer. The Vet. Journal. 175(3)409-412.
Kumar H. Mahajan V, Sharma S. 2007. Concurrent Pasteurellosis And Classical Swine Fever In Indian Pigs.
J. Swine Health Prod.15: 279–283.
Mase M, Tanimura N, Imada T, Okamatsu M,Tsukamoto K, Yamaguchi S. 2006. Recent H5n1 Avian Influenza A Virus Increases Rapidly In Virulence To Mice After A Single Passage In Mice.J Gen.Virol.87:3655–3659.
Nishimura H, Itamura S, Iwasaki T, Kurata T, Tashiro M.2000:
Characterization Of Human Influenza A (H5n1) Virus Infection In Mice: Neuro-,Pneumo- And Adipotropic Infection. J Gen.Virol. 81:2503–2510.
Oie.2010.Http://Www.Oie.Int/Fileadmin/Home/Eng/Health_St andards/Tahm/2.05.11_
Pandher K,Podell B, Gould Dh, Johnson Bj,Thompson S.2006.
Interstitial Pneumonia In Neonatal Canine Pups With Evidence Of Canine Distemper Virus Infection. J Vet Diagn Invest. 18:201–20.
Pneumonia - Pathophysiology Of Pneumonia - Alveoli, Lung, Pneumonias, And Fluid - Jrank Articles Http://Science.Jrank.Org/Pages/5358/Pneumonia-Pathop hysiology-Pneumonia.Html#Ixzz37fisvjgy
Portela Ra, Dantas Afm, De Melo Db, Marinho Jm , Neto Pim, Corea Fr. 2012. Nasal Amyloidosis In A Horse.
Braz J Vet Pathol. 5(2):86 - 88
Virus berikut ini merupakan jenis virus yang bereplikasi pada epitel mukosa hidung, trakea dan bronkus: rhinoviruses (human colds), bovine hervervirus (BHV) 1 (penyebab infectious bovine rhinotrahetitis), feline herpesvirus 1 (penyebab feline rhinotrahetitis), canine adenovirus 2 dan canine parainfluenza 2 (penyebab canine infectious tracheobronchitis)
Sistem peralihan meliputi bronkiolus, bagian ini merupakan peralihan antara sistem penyalur yang bersilia dan sistem pertukaran gas yang tidak bersilia. Selain tidak memiliki sel yang bersilia, bronkiolus juga tidak memiliki sel goblet. Sebagai gantinya memiliki sel Clara, yang memegang peranan penting pada proses detoksifikasi partikel asing (xenobiotics).
Gambar 1.1 Gambaran mikroskopik trakea ayam, sel epitel bersilia dengan silia mengarah ke lumen kelenjar submukosa dan sel goblet yang berperan dalam mekanisme pertahanan mukosiliaris.
(Dok.Pribadi)
Sistem pertukaran gas tcrdiri dari jutaan alveoli yang pcrmukaannya dilapisi oleh sejenis sel epitel yang disebut dengan pneumosit tipe I (sel ini bersifat membranous), pneumosit tipe II yang bersifat granular serta sel makrofag alveolar yang merupakan benteng pertahanan terakhir pada sistem pernafasan (Gambar 1.2).
Septa alveoli merupakan pembatas aleveoli satu dengan yang lainnya dilewati oleh kapiler darah, yang akan mengambil oksigen dari alveoli serta membuang CO2 kedalam alveoli pada proses respirasi.
Ketiga sistem (sistem penyalur, peralihan dan pertukaran gas) mudah cedera sehingga menimbulkan penyakit akibat
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar M, Mansoor M, Arshed Mj. 2012. Bovine Brucellosis: Old And New Concepts With Pakistan Perspective. Pak. Vet. J. 32:147-155.
Abubakar Ms, Zamri-Saad M, Jasni S. 2013. Ultrastructural Changes And Bacterial Localization In Buffalo Calves Following Oral Exposure To Pasteurella Multocida B: 2. Pak.Vet. J. 33:101-106.
Banjar,H. 2003.Lipid Pneumonia: A Review . Bahrain Med Bull. 25(1):36-39.
Barrett T: 1999, Morbillivirus Infections, With Special Emphasis On Morbilliviruses Of Carnivores. Vet Microbiol. 69:3–13.
Caceci T. 2006.Mesobronchus & Air Passages Http://Www.Vetmed.Vt.Edu/Education/Curriculum/Vm8 054/Labs/Lab26/Examples/Exmsbrnc.Htm
Dungworth Dl: 1993, The Respiratory System.In Jubb Kvf, Kennedy Pc, Palmer N(Eds). Pathology Of Domestic Animals., 4th Ed. Academic Press, San Diego, Ca. Pp.
539–598.
Laryngeal
Hemiplagia.Http://Cal.Vet.Upenn.Edu/Projects/Grossana t/Largemenu/Hheadlrxroar.Htm
Lee Ma, Wang D, Yap Eh. 2005. Detection And Differentiation Of Burkholderia Pseudomallei, Burkholderia Mallei And Burkholderia Thailandensis By Multiplex Pcr. Fems Immunol Med Microbiol.
43(3):413-7.
Lopez,A. 2001.Respiratory System. In. Mcgavin Md, Carlton W, Zachary Jf, Thomson Rg (Eds).Thomson’s Special Veterinary Pathology. 3rd Ed St. Louis : Mosby.
Pp:116-174. .
perkejuan secara cepat. Tipe ini terjadi apabila kuman berada dalam jumlah banyak pada individu yang hipersensitif.
Kedua macam jejas ini bisa terjadi bersamaan pada bagian paru yang berbeda.
dedahan benda asing atau agen penyakit (mikroba, partikel, serat, gas toksik dan asap) secara aerogen (airborne disease) dalam jumlah besar secara terus menerus.
Gambar 1.2. Struktur alveoli dengan komponen penyusunnya berupa : pneumosit tipe I (bersifat membranous), pneumosit tipe II (bersifat granular ) serta sel makrofag alveolar.
Kerentanan dari sistem pernafasan ini terhadap agen airborne , disebabkan oleh ;
(1) Luasnya permukaan sistem pernafasan. Sebagai gambaran untuk manusia diperkirakan total luas permukaan sistem pernafasan adalah 200 m2 sedangkan kuda 2000 m2
(2) Besarnya volume udara yang melewati paru-paru secara terus menerus (diperkirakan volume udara yang melewati paru-paru manusia 10.000 liter).
(3) Tingginya kandungan elemen-elemen berbahaya yang bisa terdapat di udara (Tabel1).
Tabel 1.1. Partikel asing yang umum terdapat di udara Mikroba Virus, bakteri, jamur,protozoa
Debu tanamam Biji-bijian, tepung, kapas, kayu,serbuk sari
Produk hewani Ketombe, bulu, tungau, kitin serangga Gas beracun Amonia, Asam sulfida, Nitrogen
dioksida, sulfur dioksida, Chlorine.
Baham kimia Herbisida, asbestos, timah hitam, nikel dan lain lain.
Sumber:Lopez,2001
Selain secara aerogen, paru-paru juga mudah terkena mikroba, toksin dan embolus secara hematogen karena panjangnya keseluruhan kapiler paru-paru. Panjang kapiler paru-paru orang dewasa adalah sekitar 24.000 km, dan 1 ml darah akan menggenangi kapiler sepanjang 16 km. Pada anjing, rodentia dan manusia, dalam kondisi normal sel Kupffer dan markrofag pada limpa merupakan mekanisme pertahanan primer untuk mengeleminir mikroba dan benda asing lainnya dari peredaran darah. Sementara itu pada hewan ruminansia, kucing dan babi, makrofag intravaskular (populasi makrofag spesifik pada kapiler paru-paru) bertugas membersihkan darah dari benda asing.
tertarik ke makrofag yang mati karena adanya kuman yang terbebaskan, dan juga karena adanya reruntuhan sel.
Makrofag yang berasal dari sirkulasi akan bertanggung jawab terhadap kelanjutan lesi awal yang baru terbentuk. Jadi terbentuk atau tidaknya jejas tergantung pada dua hal, yaitu kekuatan kuman untuk berkembang secara intraselluar dan kekuatan makrofag alveolar yang mula-mula menelan dan menghambat pertumbuhan kuman tersebut. Jejas TBC biasanya mempunyai pusat nekrose perkejuan yang dikelilingi oleh jaringan granulasi, tuberkel yang mengandung makrofag, limfosit, granulosit, fibroblast, kapiler dan pembuluh limfe (Lih.
Bab VI.Gambar 6.6 ).
Pada tipe proliferatif sel-sel mononuklir berada disekitar pusat perkejuan dan menghambat serta menghancurkan sejumlah kuman yang terbebas dari pusat perkejuan. Pada jejas ini akan dijumpai sel-sel epiteloid dewasa dan kadang-kadang juga sel raksasa tipe Langhans (Langhans giant cells), yang merupakan hasil fusi sel epiteloid. Lesi proliferatif akan berkembang dengan lambat dan menjadi stabil dengan adanya fibroblast yang menyelaputinya dan kemudian diikuti dengan deposisi kalsium. Pada jejas tipe eksudatif, sel-sel mononuklir berkumpul di ruang alveolar sebagai pusat
pasteurellosis berbentuk khas yaitu pneumonia fibrinus atau pneumonia fibrinonekrotik. Derajat kehebatan pneumonia tcrgantung dari kecepatan proliferasi bakteri dan toksin yang dihasilkan yang semuanya ini tergantung dari virulensi masing-masing strain serta daya tahan host. Secara umum, P.
haemolytica lebih sering menyebabkan bronkopneumonia atau pneummonia lobar yang akut sedangkan P. multocida menyebabkan bronkopneumonia fibrinopurulent yang kurang akut.
Tuberkulosis. Merupakan penyakit yang kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Tiga tipe mikobakterium yang sering menginfeksi hewan adalah:
Mycobacterium tuberculosis (human), M bovis (bovine) dan M avium (avian). M tuberculosis dan M bovis sangat erat hubungannya dan keduanya sangat patogen bagi mamalia.
Proses TBC paru-paru dimulai dari terhirupnya kuman ke dalam alveoli yang kemudian ditelan oleh makrofag alveolar.
Dalam makrofag ini kuman dapat dihancurkan atau ditelan atau dapat juga berkembang biak secara intaseluler. Jika kuman berkembangbiak maka makrofag akanmati dan kemudian akan ditelan oleh makrofag alveolar yang lain dan oleh makrofag yang berasal dari monosit. Kedua jenis makrofag tersebut
Mikroflora Normal dari Sistem Penafasan
Sistem pernafasan memiliki bakteri yang merupakan mikroflora normal sama halnya dengan sistem lainnya pada tubuh yang ada kontak langsung dengan lingkungan luar.
Berbagai variasi spesies bakteri dapat diidentifikasi dari usapan rongga hidung hewan sehat. Populasi bakteri yang merupakan flora normal umumnya ditemukan pada bagian proksimal dari sistem penyalur seperti pada rongga hidung, faring dan laring. Sedangkan untuk trakea di bagian thoraks, serta bronkus dan paru-paru diyakini tidak memiliki flora normal atau steril.
Bakteri yang ditemukan sebagai flora normal spesiesnya sangat bervariasi tergantung dari spesies hewannya.
Beberapa bakteri yang merupakan flora normal di rongga hidung bisa menyebabkan penyakit pernafasan yang fatal pada hewan. Contohnya: Pasteurella haemolytica merupakan salah satu bakteri flora normal pada rongga hidung, namun bakteri ini dapat menyebabkan penyakit radang paru-paru yang merugikan pada sapi yang dikenal dengan sebutan shipping fever pneumonia atau pasteurellosis. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa mikroba yang merupakan flora normal dari rongga hidung secara terus menerus mengalir ke paru-paru melaui trakea. Walaupun paru-paru dialiri secara
terus menerus oleh bakteri yang merupakan flora normal pada rongga hidung dan patogen yang mencemari namun paru-paru tetap steril. Hal ini akibat adanya mekanisme sistem pertahanan yang sangat efektif dan secara sempurna melindungi parenkim paru-paru. Dalam kondisi normal, mekanisme pertahanan secara sempurna melindungi parenkim paru-paru sehingga hewan yang terpapar aerosol maupun udara yang mengandung sejumlah besar bakteri tidak menjadi sakit. Sebaliknya kalau mekanisme pertahanan buruk maka bakteri flora normal yang terhirup dapat berkumpul, berkembang dan menimbulkan pneumonia.
Kaidah Penatanamaan Lesi pada Patologi Sistema Pernafasan
Untuk membuat diagnosa morfologik pada proses pemeriksaan patologi antomi sistema pernafasan kaidah umum yang diikuti adalah: Pertama-tama menginterpretasi proses yang terjadi.
Apakah lesi yang ditemukan akibat proses;
(1) Degenerasi atau sudah sampai tahap nekrosis. Misal yang umum dijumpai adalah: degenerasi sampai nekrosis sel epitel mukosa trakea, mukosa bronkus dan nekrosis sel pneumosit.
Gambar 7.3 Gambaran makroskopik paru-paru sapi pada kasus infeksi Pasteurella multocida; Hepatisasi paru-paru, pleuritis berfibrin dan perlekatan pleura ke permukaan costae. Sumber Hussain et al., 2014.
Wabah pasteurellosis dapat terjadi jika pertahanan tubuh lokal dan sistemik menurun, strain yang virulen menginvasi ke dalam mukosa atau dalam jumlah besar terhirup ke dalam paru-paru. Faktor predisposisi seperti: Stres akibat transportasi, perubahan cuaca, managemen pemeliharaan yang buruk dan ada kerusakan akibat infeksi virus sangat berpengaruh terhadap munculnya wabah ini. Pneumonia yang diakibatkan oleh
Pneumotropic bacterial agent.
Bakteri yang bersifat patogen terhadap paru-paru yang umum ditemukan pada hewan adalah dari spesies pasteurella dan mycobacterium. Untuk infeksi pasteurella lebih dikenal dengan nama pasteurellosis.
Ada tiga spesies yang sering mengakibatkan pasteurellosis, yaitu: P. multocida, P. haemolytica dan P.
pneumotropica. P multocida dapat diisolasi dari : sapi, domba, kerbau, babi, kelinci dan dari unggas. Sedangkan P.
pneumotrica ditemukan pada kucing. P. multocida dan P.
haemolytica terdiri atas beberapa serotipe yang keganasannya berbeda-beda. P. haemolytica dan P. multocida merupakan flora normal dari mukosa nasofaring dan mulut.
(2) Gangguan sirkulasi misalnya: Edema pulmonum, hemoragi pulmonum
(3) Proses radang. Contoh proses radang misalnya rhinitis, trakeitis, pneomonia.
(4) Gangguan pertumbuhan non neoplasitc.
(5) Gangguan pertumbuhan neoplastic (lih. Buku ajar patologi umum).
Setelah membuat interpretasi proses yang terjadi langkah selanjutnya adalah melengkapi penjelasan berupa perkiraan;
(1) Durasi proses: akut-kronis. Untuk menentukan bahwa sebuah proses radang berdurasi akut atau kronis maka ada beberapa lesi yang bisa diamati:
x Fibrin bersifat kemotaksis bagi neutrofil, sehingga jenis leukosit ini selalu ada pada setiap peradangan yang bersifat fibrinosa.
x Seiring dengan waktu maka cairan eksudat mulai secara bertahap digantikan oleh eksudat fibrinoseluler yang terdiri atas fibrin, neutrofil, makrofag dan debris.
x Pada kasus kronis,maka fibroblast akan menginfiltrasi daerah yang meradang pada paru-paru maupun pleura membentuk plak jaringan fibrovaskular.
(2) Distribusi lesi (fokal, multifokal, miliary, lobuler, pseudolober, lober). Khusus untuk paru-paru, jika lesi seluas ¼ bagian dari total luas paru-paru disebut lobuler, jika ¾ bagian disebut pseudolober dan jika lebih dari ¾ sampai seluruh paru-paru disebut dengan lober.
(3) Keparahan/severerity: ringan (mild), sedang (moderate) berat (severe);
(4) Lokasi :cranioventral, sinistra/dekstra, distal, unilateral.
Contoh 1. Paru-paru anjing bengkak dan berwarna kemerahan, disertai perdarahan subpleural di bagian apex lobus cranial. Kesimpulannya adalah pneumonia hemoragika akut yang bersifat lobuler.
Contoh 2. Pada saat nekropsi seekor kuda ditemukan radang paru- paru yang bersifat granulomatosa pada ¾ bagian lobus paru-paru kiri dan kanan.
Diagnosa morfologiknya: Pneumonia granulomatosa pseudolobar sinistra et dekstra, mengingat radang granulomatosa merupakan peristiwa kronis maka keterangan durasi (dalam hal ini prosesnya pasti kronis) sudah tidak diperlukan lagi.
Infeksi sekunder oleh bakteri umum ditemukan pasca infeksi oleh virus CDV yang bersifat imunosupresif. Bakteri yang paling umum meng infeksi adalah Bordetella bronchiseptica. Infeksi sekunder oleh Bordetella bronchi septica ini menimbulkan bronkopneumonia supurativa.
Infeksi sekunder oleh parasit. Toxoplasma gondii merupakan salah satu parasit yang umum dijumpai pada kasus infeksi virus CD. Host definitif dari T gondii adalah kucing dan famili felidae lainnya, mamalia termasuk anjing dapat menjadi host intermediate setelah menelan ookista fertil yang berasal dari feses kucing. Gejala klinis tidak nampak walaupun parasit ini sebenarnya dapat menginfeksi berbagai sel. Kejadian infeksi T gondii pada hewan yang sedan dalam kondisi imunosupresif akibat infeksi virus distemper dapat mengakibatkan pulmonary toxoplasmosis.
Perubahan pada paru-paru yang menonjol adalah pneumonia interstitialis nekrotikan yang bersifat fokal disertai dengan proliferasi sel pnemosit tipe II yang sangat nyata.
Secara mikroskopik parasit dapat ditemukan bebas dalam jaringan terinfeksi ataupun di dalam sitoplasma sel epitel dan makrofag, berwarna basofilik berukuran 3-6 Pm.
dengan pewarnaan IHK dan dengan elektron mikroskop.
Dengan pewarnaan IHK sel yang positif mengandung antigen akan mengambil warna sesuai dengan jenis enzim dan substrat yang digunakan, sementara itu dengan elektron mikroskop, dapat ditentukan diameter dari virus. Pada kasus infeksi ikutan oleh CAV-2, partikel virus teridentifikasi memiliki dimater 50 + 2,0 nm, sesuai dengan diameter dari virus tersebut (Gambar 7.2).
Gambar 7.2. Bronkiolitis nekrotikan dengan eksudat neutrofilik. Serta badan inklusi pada epitel bronkiolus(tanda panah) HE bar=100mm. Inset kiri: Sel positif antigen CAV-2 pada dinding bronkiolus. IHK avidin biotin peroksidase.Inset kanan: partikel virus dengan mikroskop elektron (transmission electron microscopy).
Sumber:Tovar et al.,2007
BAB II
MEKANISME PERTAHANAN
Struktur anatomi dari sistem penyalur (rongga hidung dan bronkus) memegang peranan penting dalam mencegah penetrasi benda asing ke dalam paru-paru terutama ke bagian yang paling sensitif yakni bagian alveolar. Partikel dengan ukuran lebih besar dari 10 Pm akan terperangkap pada mukosa rongga hidung, sementara partikel yang berukuran 2-10 Pm yang dapat lolos dari rongga hidung akan terperangkap pada bagian percabangan (bifurkasio) trakea dan bronkus.
Sebagian partikel yang berukuran lebih kecil dari 2 Pm bisa terdeposisi pada bronkiolus dan bagian alveolar. Disamping faktor ukuran, bentuk, kelembaban, muatan listrik juga memegang peranan penting pada proses deposisi. Seperti serat asbes yang panjangnya lebih dari 200Pm merupakan contoh partikel berukuran besar yang sangat langsing sehingga dapat mencapai saluran pernafasan bawah yang berdiameter 1 Pm. Serat asbes yang terdeposisi pada paru-paru menimbulkan penyakit yang disebut asbestosis. Karakteristik dari ukuran, bentuk dan distribusi partikel yang terdapat pada udara yang terinhalasi dipelajari pada ilmu aerobiologi.
Prinsip utama dari mekanisme pertahanan pada sistem
kerusakan dengan jalan menyingkirkan agen berbahaya secepat mungkin. Deposisi adalah proses terperangkapnya partikel dengan ukuran dan bentuk tertentu pada sistem pernafasan.
Clearance adalah proses pemusnahan, penetralan, dan penyingkiran partikel terdeposisi dari permukaan mukosa. Ada beberapa mekanisme yang memegang peranan pada proses clearance yakni; bersin, batuk, adsorpsi, transpor mukosiliaris dan fagositosis. Ketidakmampuan tubuh untuk menjalankan mekanisme di atas dengan baik akan memicu munculnya penyakit pada sistem pernafasan.
Ada dua jenis mekanisme pertahanan pada sistem pernafasan yakni mekanisme pertahanan mukosilisaris dan mekanisme pertahanan fagositik.
Mekanisme pertahanan mukosilliaris merupakan mekanisme pertahanan utama pada sistem penyalur. Cairan serus dan mukus disekresikan ke atas permukaan mukosa kemudian digerakan oleh gerakan silia. Mucocilliary clearence adalah proses penyingkiran partikel terdisposisi dan gas terlarut dari traktus respiratorius secara fisik yang dilaksanakan oleh selubung mukosiliaris (mucocilliary escalator).
limfoid. Oleh karena itu infeksi dengan virus CD ini selalu disertai dengan infeksi sekunder. Infeksi sekunder oleh virus adeno (canine adeno virus type 2/CAV-2) pada kasus penyakit distemper anjing sering dijumpai. Kasus infeksi virusganda pada anjing dapat dibuktikan dengan ditemukannya dua tipe badan inklusi (inclusion bodies) (Gambar 7.1).
Gambar.7.1. Bronkiolitis nekrotikan disertai dengan infiltrasi netrofil dan makrofag yang memenuhi lumen bronkiolus. Badan inklusi intranuklir khas CAV-2, ditemukan pada dinding bronkiolus (tanda kepala panah) dan badan inklusi eosinofilik khas CDV ditemukan di sitoplasma (tanda panah). Inset: Sel positif antigen CDV pada sel epitel. IHK avidin biotin. Bar(_)=100 Pm.Sumber:Tovar et al.,2007
Selain dengan melihat adanya badan inklusi Keberadaan kedua jenis virus pada paru-paru dapat dibuktikan dengan
BAB VII
PNEUMONIA INFEKSIUS SPESIFIK
Beberapa agen penyakit mempunyai target predileksi pada paru-paru, namun kedua jenis agen penyakit ini yakni virus yang bersifat pneumotropik (Pneumotropic viral agent) dan bakteri yang bersifat pneumotropik (Pneumotropic bacterial agent) merupakan dua agen penyakit yang umum ditemukan.
Pneumotropic viral agent.
Kebanyakan virus yang patogen terhadap paru-paru mempunyai jalan masuk secara aerogen. Berkembang biak di jalan udara, sel epitel dan alveoli mengakibatkan inflamasi paru-paru pada jalan udara dan bronkointerstitial pneumonia.
Jika virus berkembang biak di dalam makrofag serta bersifat imunosupresif maka akan terjadi pneumonia interstitial yang bersifat difusa. Contoh virus yang bersifat pneumotropik diantaranya adalah virus Newcastle disease (NDV), virus avian influenza (AI), virus canine distemper (CD).
Virus Distemper Anjing
Virus ini mengakibatkan efek imunosupresif sebab salah satu tempat perkembang-biakan primernya adalah jaringan
Gambar 2.1 Skema bangun histologi sistem penyalur dan sistem pertukaran gas yang erat kaitannya dengan fungsi pertahanan. Pada sistem penyalur mekanisme pertahanan bersifat mekanis sementara itu pada sistem pertukaran gas bersifat kimiawi.
Sumber:Lopez,2001
Makin besar ukuran partikel makin mudah dibersihkan oleh gerakan mukosilliaris. Selain itu pada sistem ini juga ada mekanisme pertahanan seluler yang dilaksanakan oleh jaringan limfoid yang disebut BALT (bronchus ascociated lymphoid tissue). Jaringan limfoid ini tersebar pada daerah lamina propria dan submukosa trakea, bronkus dan bronkiolus.
Mekanisme pertahanan fagositik merupakan mekanisme pertahanan kedua pada sistem respiratorius.
Mekanisme ini menyingkirkan partikel-partikel yang sangat
kecil ukurannya yang tidak dapat disingkirkan oleh pergerakan mukosiliaris. Mekanisme ini merupakan mekanisme pertahanan utama pada daerah alveolar yang dilaksanakan oleh sel yang sangat tinggi daya fagositosisnya yaitu sel makrofag alveolar (pulmonary alveolar machrophages). Makrofag ini bisa berasal dari monosit darah dan sebagian kecil dari makrofag interstitial. Sel makrofag alveolar mampu menangkap dan mencerna bakteri atau partikel lainnya yang mampu mencapai daerah alveolar. Jumlah makrofag pada alveoli sangat erat hubungannya dengan jumlah partikel yang mampu mencapai paru-paru. Tidak seperti makrofag jaringan, makrofag alveolar sangat pendek umurnya yaitu hanya beberapa hari.
Bakteri yang mampu mencapai paru-paru dengan cepat diingesti oleh makrofag kecuali bakteri yang bersifat fakultatif seperti Mycobacterium tuberculosis dan Listeria monocytogenes. Partikel terinhalasi lainnya serta eritrosit yang berasal dari perdarahan interalveolar dengan cepat difagositosis dan dikeluarkan oleh makrofag alveolar dari alveoli. Makrofag alveolar keluar dari alveoli menuju bronkiolus sampai mencapai selubung mukosiliaris dan kemudian secara mekanis akan digerakan oleh gerakan
Pneumonia Uremik
Uremia yang hebat menyebabkan peningkatan permeabilitas dari alveolar air-blood barrier sehingga terjadi edema pulmonum. Selain edema jcjas khas yang ditemukan adalah degenerasi dan klasifikasi dari otot dan jaringan ikat pada dinding bronkioli respiratorius. Dalam kejadian yang parah ditemukan mineralisasi septa alveoli.
Tumor
Tumor primer pada paru-paru hewan lebih jarang dibandingkan dengan tumor primer pada orang. Tumor paru-paru hewan kebanyakan akibat metastase dari tempat lain.
Metastase ke paru-paru dari tempat lain, bisa secara limfogen, hematogen, transplantasi dan lain-lain.
Pneumonia lemak
Bentuk khas dari pneumonia aspirasi akibat terjadinya inhalasi droplet minyak. Sering terjadi pada kucing dan spesies lainnya yang diberikan minyak mineral atau susu.
Reaksi yang muncul sangat khas yaitu reaksi proliferatif dan makrofagik yang tingkatannya berbeda-beda tergantung dari sifat minyak penyebabnya. Umumnya minyak nabati tidak bersifat mengiritasi dan biasanya mudah diserap sedangkan minyak hewani bersifat mengiritasi dan mengakibatkan eksudasi yang bersifat serofibrinus disertai dengan infiltrasi makrofag dan sel raksasa/giant sel pada daerah alveoli.
Dinding alveol menebal akibat adanya infiltrasi sel mononuklear dan fibrosis. Jika tidak diikuti dengan infeksi bakteri, biasanya jejasnya berwarna kckuningan dan bersifat homogen. Secara mikroskopik didalam alveol akan terlihat makrofag yang berisi droplet lemak. Akumulasi makrofag yang berisi droplet lemak (lipid laden makrophages) juga ditemukan pada pembuluh darah limfatik disekitar pembuluh darah dan bronkhi.
mukosiliaris sampai ke faring dan akhirnya tertelan atau dibatukkan.
Mengingat pentingnya peran makrofag alveolar yakni sebagai benteng pertahanan terakhir dalam melindungi alveoli maka penelitian yang bertujuan untuk mengeksplorasi sifat dari makrofag ini banyak dilakukan. Diagram di bawah ini menyimpulkan mekanisme pertahanan pada sistem pernafasan
Gambar 2.2. Diagram mekanisme pertahanan pada sistem pernafasan
Disfungsi Mekanisme Pertahanan
Beberapa faktor yang dapat menurunkan fungsi mekanisme pertahanan adalah: faktor infeksi virus, gas beracun, imunodefisiensi, stres dan faktor lainnya.
Infeksi virus.
Infeksi virus akan mengakibatkan rentannya paru-paru terkena infeksi sekunder oleh bakteri. Mekanisme yang dapat menyebabkan adanya infeksi sekunder oleh bakteri ini antara lain (1) terganggunya mekanisme pertahanan mukosiliaris karena infeksi virus cenderung menyebabkan hilangnya silia atau disebut juga desiliasi dari epitel mukosa sistem penyalur (Gambar 2.3). (2) menurunnya kemampuan fagositosis makrofag alveolar. Pada hari ke-5 - 7 pasca infeksi virus kemampuan fagositosis makrofag alveolar akan menurun.
Mekanisme kenapa infeksi virus dapat mempengaruhi penurunan fungsi fagositosis nya belum sepenuhnya dimengerti.
Gambar 2.3. Gambar mikroskopik trakea ayam.A Epitel bersilia dengan silia yang mengarahke lumen trakea dan kelenjar submukosa nampak jelas. Sampel diambil pada hari ke -7 pasca inokulasi (pi) dengan larutan phospate buffer saline B. Desialiasi dan hiperplasia epitel mukosa trakea ditemukan pada hari ke-7 pi Avian paramyvovirus tipe-1.Sumber:Dok. pribadi
Pneumonia Aspirasi
Pneumonia yang disebabkan oleh aspirasi benda asing, biasanya dalam bentuk cair yang mencapai paru-paru melalui jalan udara.
Gambar 6.8. Perubahan mikroskopik dari P.aspirasi. Dalam aveoli nampak material yang teraspirasi serta sel raksasa tipe benda asing /foreign body giant cell (tanda panah). Sumber: http://quizlet.
com/7808283/respiratory-system-session-7-lung- pathology-flash-cards/
Reaksi terhadap benda asing yang yang terhirup tergantung pada tiga faktor yaitu: sifat dari material, bakteri yang ikut terbawa dan distribusi material pada paru-paru.
Perubahan makroskopik tidak jelas dan secara mikroskopik terlihat bronkiolitis akut yang disertai dengan peradangan akut dari alveoli dan benda asing seperti lemak atau material lainnya biasanya terlihat di daerah yang berubah (Gambar 6.8).
akan nampak fokus putih berukuran 1mm, yang dikelilingi oleh halo hemoragik berwarna kemerahan. Umunya jenis p ini jarang yang fatal kecuali lesi akut berkembang dengan cepat menjadi abses pulmonum.
Bentuk-Bentuk Pneumonia yang Khas
Pneumonia Gangrenosa
Merupakan komplikasi dari paru-paru dimana terjadi nekrosis yang sangat hebat dari parenkim paru-paru.
Biasanya dapat dilihat pada sapi sebagai akibat adanya penetrasi benda asing dari retikulum. Kejadian ini bisa juga diakibatkan oleh adanya aspirasi benda asing yang disertai dengan bakteri yang bersifat saprofit dan putrefaktive (bakteri yang mempunyai kemapuan melarutkan jaringan yang sudah mati). Paru-paru berwarna kekuningan sampai hijau kehitaman yang disertai dengan bau yang khas. Rongga-rongga terbentuk dengan cepat dan dapat meluas sampai ke pleura. Jika rongga gangrene meluas sampai ke pleura maka akan terjadi empisema dengan pneumothorax.
Gas beracun
Beberapa gas mengakibatkan gangguan pada mekanisme pertahanan seperti gas hidrogen sulfida dan amonia yang umum ditemukan pada peternakan yang buruk ventilasinya dapat mempengaruhi pembersihan bakteri dari paru-paru.
Imunodefisiensi
Imunodefisiensi bisa didapatkan atau bisa merupakan gangguan kongenital. Kondisi ini mengakibatkan meningkatnya kerentanan terhadap radang paru-paru akibat bakteri, virus dan protozoa. Contoh yang mudah ditemukan saat ini adalah pneumonia akibat proliferasi dari Pneumocystis carinii, organisme ini dalam kondisi normal sebenarnya tidak patogen. Mikroorganisme yang dalam kondisi normal tidak patogen namun menjadi patogen dalam kondisi imunosupresif, dapat ditemukan pada babi, anjing, anak kuda dan hewan pengerat. Kondisi imunodefisiensi biasa ditemukan pada anak kuda yang terkena infeksi adeno virus.
Pada unggas, infeksi virus gumboro, virus ND dan virus flu burung cenderung mengembangkan kondisi imunodefisiensi. Pada anjing infeksi virus distemper juga memunculkan radang paru-paru akibat bakteri yang merupakan flora normal pada saluran pernafasan.
Stres dan faktor lainnya
Banyak faktor yang mengakibatkan menurunnya fungsi pertahanan yang mekanismenya belum sepenuhnya dipahami.
Stres karena cekaman udara dingin dinyatakan menurunkan kemampuan fagositosis makrofag alveolar. Edema pulmonum dan hipoksia juga menurunkan aktivitas fagostik dari makrofag alveolar. Stres karena udara panas yang mengakibatkan dehidrasi yang meningkatkan kekentalan mukus sehingga menurunkan bahkan menghentikan fungsi pembersihan (clearence) dari mukosiliaris. Kelaparan yang menurunkan respons imun humoral dan selular juga berpengaruh langsung terhadap menurunnya fungsi mekanisme pertahanan.
ditemukan pula pada organ lain seperti: limfonodus, limpa dan hati (Gambar 6.7 A dan B).
Kasus p granulomatosa yang disebabkan oleh Fasciola hepatica secara sporadis juga ditemukan pada sapi. Sangat sedikit infeksi virus yang menyebabkan p. granulomatosa.
Salah satu contoh adalah virus Feline infectious peritonitis pada kucing. Lesi terbentuk akibat deposisi antigen antibodi komplek pada vasculature berbagai organ termasuk paru-paru.
P. embolik,
Ditandai oleh lesi yang bersifat multifokal dan tersebar secara acak pada semua lobus paru-paru, yang disebabkan oleh terperangkapnya septic emboli. Mengingat paru-paru dapat bertindak sebagai filter bagi partikel halus yang ada dalam sirkulasi darah. Trombus yang tidak terlalu besar secara cepat akan dilarutkan dan dikeluarkan dari sistem vaskuler paru-paru dengan cara fibrinolisis dan hanya akan menimbulkan sedikit efek, namun jika bakteri yang ada dalam sirkulasi darah terperangkap pada vaskuler paru-paru, dan mampu menghindar dari mekanisme fagositosis oleh makrofag dan lekosit maka akan terjadi pneumonia. Bakteri akan menyebar dari pembuluh darah ke interstisium, dan kemudian ke jaringan paru-paru disekitranya. Lesi awal dari p. embolik, secara makroskopik
Agen penyebab pneumonia granulomatosa resisten terhadap fagositosis dan respons peradangan akut sehingga agen bertahan pada jaringan untuk waktu yang lama. Agen yang umum ditemukan pada hewan adalah: penyakit yang disebabkan oleh ifenfeksi jamur seperti blastomycosis yang disebabkan oleh Blastomyces dermatitidis, cryptococcosis (crytopcoccus neoformans) coccidioidomycosis (Coccidioides immitis), histoplasmosis (Histoplasma capsulatum) dan penyakit bakteri sperti TBC yang disebabkan oleh
mycobacterium bovis.
Gambar 6.7. Tuberkel berbagai ukuran pada permukaan dan parenkim paru-paru (A) dan pada hati dan limpa(B) . Sumber : dirangkum dari berbagai sumber.
Mengingat infeksi dari agen penyakit tersebut umumnya bersifat sistemik maka granuloma biasanya
BAB III
PATOLOGI RONGGA HIDUNG DAN SINUS
Sistem pernafasan dimulai dari hidung yang terdiri atas hidung bagian luar, rongga hidung dan sinus. Disamping berfungsi sebagai indra pencium, organ ini memegang peranan penting untuk menyalurkan udara ke sistem pernafasan di bagian bawah. Rongga hidung pada hewan sangat bervariasi;
pada domba, vaskularisasi rongga hidungnya sangat tinggi, sehingga jika terjadi sedikit saja kerusakan pada lapisan epitelnya akan menyebabkan perdarahan hebat. Rongga hidung sapi lebih sempit dibandingkan rongga hidung kuda, rongga hidung unggas variasinya sangat tinggi. Histologi rongga hidung mamalia secara umum sama dengan unggas, yakni sama- sama memiliki epitel respisratorius yang bersilia.
Fungsi rongga hidung selain sebagai indera penciuman adalah untuk memodifikasi udara sebelum disalurkan ke sistem pernafasan selanjutnya. Udara dihangatkan ketika melewati permukaan mukosa rongga hidung yang vaskularisasinya sangat tinggi. Udara juga dilembabkan ketika melewati rongga hidung dan dibersihkan ketika kontak dengan mukus yang disekresikan oleh kelenjar mukus pada rongga hidung.
Partikel-partikel yang terdapat dalam udara yang terinhalasi akan terperangkap pada mukus kemudian akan digerakan oleh
silia ke faring dan selanjutnya tertelan, proses ini disebut dengan mucociliary escalator. Pertahanan lain yang dimiliki oleh rongga hidung adalah reflek bersin.
Ada beberapa kondisi yang mengakibatkan disfungsi dari rongga hidung dan sinus, diantaranya adalah:
Gangguan Metabolisme.
Gangguan metabolisme pada rongga hidung umumnya jarang pada hewan peliharaan. Namun amiloidosis sistemik biasa ditemukan pada kuda yang diambil serumnya secara terus menerus. Amiloidosis adalah gangguan metabolisme protein yang ditandai dengan deposisi protein amiliod pada berbagai jaringan. Pada kuda, pengumpulan amiloid pada daerah submukosa hidung ini bisa merupakan bagian dari amiloidosis umum atau suatu keadaan yang berdiri sendiri. Deposit amiloid ini bisa sampai ke laring. Adanya amiloid dalam bentuk nodul atau difus ini dapat menyebabkan penyumbatan hidung.
Nodul amiloid secara makroskopik akan nampak merah mengkilat, licin dan tidak bersifat ulseratif (Gambar 3.1 A) Secara mikroskopik akan nampak masa amiloid berupa masa pucat eosinofilik yang bentuknya tidak beraturan (amorfus) dengan pewarnaan rutin HE. (Gambar 3.1 B). Makrofag, limfosit dan sel raksasa (giant cells) sering ditemukan
post mortem sering dikelirukan degan neoplasma. Patogensis p.granulomatosa mirip dengan p. interstitialis dan p. embolik.
Pneumonia granulomatosa bisa disebabkan oleh : Actinobacillus, actinomyces atau nocardiosis. Selain itu TBC dan infeksi jamur pada paru-paru juga menyebabkan pneumonia granulomatosa. Aspirasi atau inhalasi partikel yang tidak dapat larut seperti debu silikon atau partikel makanan dapat juga menyebabkan multifokal granuloma. Pneumonia ini sangat khas yang ditandai dengan bentukan granuloma dengan berbagai ukuran dapat dilihat secara mikroskopik (Gambar 6.6 A). Secara mikroskopik granuloma terdiri dari jaringan nerksosi di pusat dikelilingi makrofag (sel epiteloid) dan sel raksasa (gamb 6.6 B)
Gambar 6.6. Gambaran histopatologi P granulomatosa. A. P. granulomatosa dengan dengan berbagai ukuran granuloma (tanda bintang), B.Granuloma dengan pembesaran kuat daerah nekrosis di bagian tengah (bintang) dikelilingi oleh sel epiteloid dan sel raksasa(tanda panah): Sumber: dirangkum dari berbagai sumber.
infiltrasi sel radang, penambahan jaringan ikat pada daerah septa interalveolar dan septa interlobuler dan proliferasi epitel alveoli Pnumonia Interstitialis akut sering ditemukan pada penyakit distemper (Gambar 6.4), salmonellosis dan pada parasitisme akut oleh cacing paru-paru atau migrasi larva ascaris. Pneumonia interstitialis yang kronis sering ditemukan pada penyakit TBC dan Histoplasmosis.
Gambar 6.5 Gambaran patologi paru-paru anjing penderita distemper.A. P interstitialis ditandai oleh menebalnya septa alveoli (bintang) akibat infiltrasi sel radang mononuklear. B. Sel positif antigen canine disetemper virus/CDV (panah) pada epitel bronkiolus, teknik pewarnaan imunohistokimia(IHK) menggunakan enzim horseradish peroksidase.Sumber:Pandher et al.,2006
Pneumonia granulomatosa, ditandai oleh adanya granuloma kaseosa dan bukan kaseosa pada paru-paru. Pada saat dipalpasi paru-paru akan terasa bernodul dengan tekstur padat dengan berbagai ukuran. Biasanya pada pemeriksaan
mengelilingi nodul-nodul amiloid tersebut. Guna kepentingan konfirmasi diagnostik amiloid dapat ditunjukan dengan pewarnaan khusus yakni Congo red, dan amiloid akan terwarnai menjadi oranye kemerahan.
Gambar 3.1. Amiloidosis pada kuda. Pada mukosa hidung ada masa amiloid yang berbentuk multinodul berwarna kemerahan permukaan licin mengkilap tidak ulceratif (A). Pada lamina propira rongga hidung nampak masa eosinofilik amorfus, yang dikelilingi oleh sel raksasa dan eksudat limpoplasmasitik (B). Sumber:Portela et al., 2012
Diagnosa banding amiloidosis adalah granuloma rongga hidung yang disebabkan oleh jamur Aspergillus spp., Cryptococcus spp., Rhinosporidium spp. and Conidiobollus spp, polip hidung, glanders, tumor rongga hidung dan fibrosarcoma
Gangguan sirkulasi
Kongesti dan hiperemi. Kongesti pada mukosa hidung merupakan jejas/lesi yang tidak spesifik, umum ditemukan pada pemeriksaan post mortem dan bisa dikaitkan dengan
gagal jantung serta bloat pada ruminansia. Sedangkan hiperrmi umumnya dikaitkan dengan tahap awal dari peradangan.
Perdarahan. Epistaksis adalah istilah umum untuk perdarahan hidung. Darah bisa berasal dari nasofaring atau dari alat pernafasan yang lebih dalam. Pada kuda, epistaksis ada hubungan dengan olahraga yang berat, dalam hal ini darah berasal dari paru-paru. Pada kadaver domba sering ditemukan darah berbusa dari lubang hidung yang disebabkan oleh adanya kongesti pulmonum,edema dan hemoragi. Perdarahan yang berasal dari rongga hidung umumnya disebabkan oleh trauma, peradangan dan neoplasia yang memecahkan pembuluh darah.
Peradangan
Peradangan pada hidung disebut rhinitis. Berdasarkan atas penyebabnya rhinitis dapat digolongkan menjadi rhinitis primer dan rhinitis sekunder, sedangkan berdasarkan waktu kejadian rhinitis dapat dibedakan menjadi rhinitis akut dan kronis/menahun
Rhinitis primer dapat disebabkan oleh debu, benda-benda asing, zat-zat kimia, gas, parasit dan oleh kuman seperti: Bordetella bronchiseptica, streptococus dan micrococus. Rhinitis juga ditemukan pada beberapa penyakit menular seperti malleus, distemper anjing, influenza kuda dan coryza.
tahap yang lebih kronis fibroblast juga ikut menginfiltrasi membentuk plak fibrovascular.
Gambar 6.4 Gambaran patologi paru-paru akibat infeksi Pasteurela multocida A. Konsolidasi pada paru-paru. B. Gambaran mikroskopik dari paru-paru, eksudat fibrinus dan sel PMN memenuhi alveoli. Sumber: Tigga et al. 2014
Jika dibandingkan dengan bronkopneumonia supurativa yang dapat sembuh total, bronkopneumonia fibrinosa jarang bisa sembuh sempurna namun selalu meninggalkan gejala sisa.
Sequelae yang umum terjadi adalah gangren, fibrosis pulmonum, sequester paru-paru, a bses dan pleuritis kronis.
Pneumonia Interstitialis
Adanya peradangan pada daerah septa alveolar dan di dalam jaringan ikat peribronkial dari paru-paru, yang disertai dengan respons eksudatif dan proliferatif dari dinding alveolus.
Secara PA perubahan tidak jelas terlihat, uji apung negatif.
Secara mikroskopik terlihat penebalan septa alveoli akibat
supurativa. Kematian yang ditimbulkan biasanya disertai dengan pleuritis dan kadang-kadang disertai dengan pericarditis. Peritonitis bisa muncul akibat adanya penyebaran penyakit secara hematogen. Komplikasi lain yang sering ditemukan adalah endokarditis, polyartritis fibrinosa, meningitis dan ikterus hemolitika.
Secara makroskopik perubahan yang umum adalah kongesti berat dan perdarahan, sehingga paru-paru nampak kemerahan. Akumulasi eksudat berfibrin pada pleura mengakibatkan terbentuknya lapisan kekuningan yang tebal.
Mengingat ada kecenderungan lapisan fibrin ditemukan pada pleura maka ahli patologi juga menggunakan istilah pleuropneumonia sebagai sinonim dari bronkopneumonia fibrinosa
Karakteristik mikroskopik dari bronkopneumonia fibrinosa adalah adanya eksudasi plasma protein ke dalam bronkiolus dan alveoli sehinggga kebanyakan rongga udara berisi fibrin. Fibrin bersifat kemotaksis terhadap netrofil, sehingga netrofil selalu ditemukan pada daerah yang mengalami perdangan fibrinosa (Gambar 6.3). Jika infeksi melanjut maka eksudat menjadi fibrinocellular dimana selain fibrin dan netrofil ditemukan juga makrofag dan debris. Pada
Rhinitis sekunder. Defisiensi vitamin A dapat menyebabkan rhinitis sekunder pada unggas. Pada kejadian defisiensi vitamin A dapat menyebabkan metaplasia dan proliferasi mukosa hidung yang mempermudah inflitrasi kuman.
Rhinitis menahun biasanya merupakan kelanjutan dari rhinitis akut. Hal ini sering dijumpai pada penyakit ingus ganas. Jamur dan kuman seperti Mycobacterium tuberculosis, Pseudomonas aeroginosa dan Spherophorus necrophorus juga dapat menyebabkan rhinitis menahun.
Rhinitis atrofik disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh Pasteurela multocida, sering ditemukan pada babi. Pada penyakit ini terlihat deskuamasi epitel selaput lendir hidung dan atrofi turbinat hidung yang hebat sehingga pembentukan tulang hidung babi menjadi terganggu. Hidung babi menjadi salah bentuk, yaitu melekuk ke kiri atau ke kanan.
Sinusitis
Peradangan pada sinus paranasal sering tidak teramati kecuali jika sampai menyebabkan deformitas pada muka atau fistula. Sinusitis sering terjadi pada kuda karena kerumitan struktur sinus paranasalnya. Pada domba sinusitis sering terjadi akibat adanya larva Oestrus ovis.
Penyakit Spesifik pada Rongga Hidung dan Sinus
Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR)
Penyakit ini disebabkan oleh BHV-1 merupakan penyakit penting pada industri peternakan sapi, karena adanya sinergisme antara infeksi virus IBR dengan Pasteurella haemolitica untuk menimbulkan pneumonia serta ada hubungannya dengan abortus sapi, infeksi sistemik pada pedet dan infectious pustular vulvovaginitis (IPV). Bentuk respirasi dari IBR dicirikan oleh hiperemi hebat dan nekrosis fokal dari hidung faring, laring, trakea dan kadang-kadang mukosa bronkus. Gambaran mikroskopik berupa desialiasi epitel serta nekrosis mukosa saluran pernafasan merupakan perubahan yang umum ditemukan dan bisa diikuti dengan persembuhan, sama seperti infeksi virus lainnya. Gejala sisa (sequela) dari penyakit ini adalah pneumonia sebagai akibat langsung dari aspirasi eksudat dari jalan nafas atau sebagai akibat dari kegagalan mekanisme pertahan melindungi paru-paru disertai dengan infeksi sekunder dari bakteri P.
haemolytica
Atrophic rhinitis pada babi
Etiopatogenesis atrofik rinitis pada babi sangat kompleks.
Agen penyakit yang telah berhasil diisolasi dari kasus ini
Bronkopneumonia fibrinosa (P. lobaris)
Peradangan yang terjadi pada seluruh lobus paru-paru atau hampir sebagian besar dari lobus. Karena distribusi lesi yang mencapai sebagian besar lobus maka bronkopneummonia fibrinosa juga disebut p. lobaris. Distribusi Lesi yang meluas adalah akibat proses radang yang sangat hebat dan biasanya disebabkan mikroorganisme yang sangat virulen pada hewan yang sangat buruk mekanisme pertahanan paru-parunya.
Salah satu contohnya pada hewan adalah bronkopneumonia fibrinosa yang disebabkan oleh Pasteurella haemolytica, pada sapi yang stres karena transportasi dan sering juga karena punya predisposisi infeksi virus pada saluran pernafasan.
Selain akibat infeksi P. haemolytica, kadang-kadang bisa juga disebabkan oleh Haemophilus somnus pada ruminansia, Haemophilus spp dan Actinobacillus pleuropneumonia (porcine pleuropneumonia) pada babi. Pada kucing dan babi kadang-kadang bronkopneumonia fibrinosa bisa juga disebabkan oleh P. multocida Penyebab lain pada hampir seluruh spesies hewan adalah aspirasi dari cairan asing atau kandungan lambung ke dalam paru-paru. Komplikasi yang ditimbulkan oleh bronkopneumonia fibrinosa lebih sering terjadi dan lebih serius dibandingkan dengan bronkopneumonia
hiperemi, pada fase sub akut eksudat purulen dan kolapnya alveoli mengakibatkan paru-paru berwarna pink keabu-abu an dan pada fase kronis warnanya akan menjadi abu-abu.
Secara mikroskopik pada tahap awal ditemukan sel neutrofil, berbagai sel seperti: debris, mukus, fibrin dan makrofag pada daerah bronkiolus dan alveoli yang terdekat, epitel bonkiolus bervariasi dari nekrotik sampai hiperplastik.
Bronkopneumonia yang parah menyebabkan kematian akibat kombinasi hipoksemia dan toksemia. Resolusi yang sempurna dapat terjadi, jika agen penyebab dihilangkan, dimana dalam kurun waktu 7-10 hari eksudat seluler dapat dihilangkan dari paru-paru oleh mekanisme mucocilliary escalator sehingga persembuhan secara sempurna akan terjadi dalam waktu 4 minggu. Pada infeksi bersifat persisten bronkopneumonia supurativa akan menjadi kronis dan terjadi hiperplasia sel goblet disertai dengan hiperplasi BALT di sekitar dinding bronkus, yang disebut juga dengan cuffing pneumonia .
Jika bronkopneumonia supurativa dibiarkan berlarut-larut akan terjadi sequelae berupa atelektasis, emfisema, bronkiektasi yang menjadi asbes atau sequester dan adhesi pleura.
adalah: Bordetella bronchiseptica, Pasteurella multocida, Haemophilus parasuis dan porcine cytomegalovirus. Dan akhirnya kombinasi infeksi B bronchiseptica dan P multocida strain toksigenik yakni tipe D dan A. Yang dinyatakan paling banyak ditemukan pada kejadian ini. Gejala klinis dari penyakit ini adalah bersin, batuk dan eksudasi rongga hidung. Pada kasus yang hebat atrofi dari conchae/turbinates menyebabkan perubahan bentuk wajah (deformitas facial).
Glanders atau malleus (ingus ganas)
Penyakit ini merupakan penyakit yang sangat infeksius dan kontagius pada kuda disebabkan oleh bakteri Burkholderia mallei . Bakteri ini tergolong bakteri Gram negatif, berbentuk basil yang bersifat non motil, tidak berspora dan aerob yang sebelumnya sempat memiliki banyak nama seperti:
Actinobacillus mallei, Pseudomonas mallei dan Malleomyces mallei. Penyakit glanders bentuk akut selalu bersifat fatal sementara yang kronis mortalitasnya 50%. Penyakit ini sangat kontagius pada kuda dan perjalanan penyakitnya cenderung menjadi kronis, sedangkan pada keledai penyakit ini bersifat akut dan mematikan. Penyakit ini dapat ditularkan ke karnivora yang mengkonsumsi daging kuda terinfeksi. Penyakit ini bersifat zoonosis dan infeksi B. mallei pada manusia
mengakibatkan infeksi yang hebat dan selalu fatal jika tidak mendapat penanganan yang tepat. Penyakit ini sesungguhnya sudah dieradikasi di USA, Canada dan Eropa, tetapi penyakit ini masih ada di Asia dan Amerika Selatan. Tidak tertutup kemungkinan penyakit ini menjadi re-emeerging infectious disease di negara-negara yang sudah bebas glanders, sehingga diagnostik cepat berbasis molekuler digunakan untuk membedakan infeksi B.mallei dengan B pseudomallei penyebab penyakit pseudoglanders (Lee, 2005). Glanders juga harus dibedakan dengan penyakit kronis pada mukosa hidung dan sinus seperti strangles yang disebabkan oleh Streptococcus equi.
Ada tiga predileksi utama dari infeksi B. mallei yaitu mukosa hidung, saluran pernafasan atas, paru-paru dan kulit.
Jejas yang menonjol pada rongga hidung adalah pyogranuloma pada daerah submukosa yang bisa melanjut menjadi tukak (ulcer). Tidak ada pengobatan yang efektif untuk penyakit glander dan hewan terinfeksi harus dimusnahkan untuk mencegah penyebaran penyakit. Glanders termasuk kategori penyakit yang harus dilaporkan (notifiable disease) ke OIE (OIE, 2010) dan apabila ada hewan penderita sesegera mungkin di musnahkan (di-stamping out).
Bronkopneumonia supurativa: Umumnya disebabkan oleh patogen yakni bakteri, dan mikoplasma, walaupun bisa juga akibat bronko-aspirasi dari makan atau isi lambung.
Bakteri merupakan penyebab utama dari bronkopneumonia dan umumnya terjadi setelah mekanisme pertahanan paru-paru menurun akibat infeksi virus, stress atau predisposisi lainnya.
Pada domba dan sapi bakteri yang umumnya menyebabkan keadaan ini adalah: Pasteurella spp dan Actinomyces pyogenes sedangkan pada babi adalah: Pasteurella multocida dan Actinobacillus pleuropneumonia. Selain itu ada beberapa spesies bakteri seperti B. bronchiseptica, Streptococus spp, E coli dan beberapa spesies mycoplasma, sebagai penyebab infeksi sekunder.
Bronkopneumonia supurativa juga disebut pneumonia lobularis karena distribusi lesi pada bronkopneumonia supurativa tipikal pada lobulus, pola ini sangat jelas nampak pada sapi dan babi, karena kedua jenis hewan tersebut sangat jelas lobulasi paru-parunya. Secara makroskopik perubahan yang dapat diamati adalah konsolidasi irregular pada bagian kranioventral. Konsolidasi ini warnanya bervariasi dari merah kehitaman sampai abu-abu tergantung pada tingkat kekronisan dari lesinya. Pada fase akut paru-paru berwarna merah akibat
Melioidosis (pseudoglanders)
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Gram negatif Burkholderia pseudomallei. (bakteri berbentuk basil dan bersifat motil, aerob, tidak membentuk spora) . Bakteri ini sangat patogen dan bisa bertahan lama pada tanah dan air.
Melioidosis atau pseudoglanders merupakan penyakit penting pada kuda, sapi, domba, kambing, anjing, kucing, rodentia dan manusia. Gambaran patologi dan gejala klinis penyakit ini pada kuda sangat mirip dengan glanders.
Strangles
Merupakan penyakit infeksi saluran pernafasan bagian atas yang bersifat kontagius pada kuda, disebabkan oleh Streptococcus equi. Penyakit ini dicirikan oleh rhinitis dan limfadenitis (limfoglandula mandibular dan retrofaringeal).
Tanda klinis yang teramati adalah: lubang hidung yang kotor, konjungtivitis dan pembengkakan limfoglandula. Dampak yang ditimbulkan oleh strangles adalah bronkopneumoni karena aspirasi eksudat, hemiplegia laring (roaring) akibat tertekannya saraf pada laring oleh limfoglandula retrofaringeal yang membesar, serta paralisis facial.
Infeksi Virus pada Anjing
Sebenarnya anjing tidak memiliki penyakit yang predileksi primernya pada rongga hidung dan sinus. Penyakit rinitis akut umumnya merupakan bagian dari gejala penyakit pernafasan yang disebabkan oleh infeksi virus seperti:
distemper, adenovirus 1 dan 2, parainfluensa, reovirus dan herves virus. Jejas infeksi virus pada sitem pernafasan umumnya bersifat sementara, namun efek virus ini pada organ lain bisa berakibat fatal. Misalnya munculnya gejala encephalitis pada infeksi distemper anjing.
Infeksi Virus pada Kucing.
Ada dua spesies virus yang umum menyerang saluran pernafasan kucing yaitu feline herversirus (FHV-1) dan Feline calicivirus (FCV).
Infeksi FHV-1 menyebabkan penyakit feline viral rinotracheitis (FVR). Gambaran klinis dari penyakit ini adalah adanya rhinitis hebat, konjungtivitis dan oculonasal discharge.
Penyakit ini dapat melemahkan mekanisme pertahanan paru-paru sehingga menjadi predisposisi infeksi sekunder oleh bakteri P multocida, B bronchiseptica, Streptococus sp dan Mycoplasama felis. Gambaran klinis dan patologi infeksi FCV hampir sama dengan infeksi FHV-1.
semestinya berisi udara terisi oleh eksudat ataupun mengalami atalektasis. Hepatisasi merah adalah kondisi konsolidasi akut dimana terjadi hiperemia dan eksudasi dari netrofil, selanjutnya akan menjadi hepatisasi kelabu dimana hiperemi sudah tidak nampak dan netrofil digantikan oleh makrofag
Bronkopneumonia biasanya berkembang pada saat terjadinya ketidakseimbangan antara jumlah bakteri yang merupakan flora normal dengan jumlah bakteri patogen.
sehingga bakteri yang patogen mampu mencapai daerah bronkoalveolar. Bakteri yang mencapai daerah bronkoalveolar ini akan bertambah banyak sehubungan dengan tidak berfungsinya makrofag alveolar. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan menurunnya fungsi makrofag alveolar adalah:
suhu yang terlalu dingin, kelaparan, infeksi virus, gas-gas beracun, kelainan metabolisme seperti: uremia dan asidosis dan imunosupresif yang diakibatkan oleh penggunaan kortikosteroid.
Bronkopneumonia dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan jenis eksudatnya yakni Bronkopneumonia supurativa, jika eksudatnya didominasi oleh sel radang netrofil dan Bronkopneumonia fibrinosa jika eksudat yang dominan adalah fibrin.
eksudat yang bersifat katar, fibrinosa, supuratif atau hemoragik pada alveoli. Pneumonia proliferatif, bila perubahan yang menonjol adalah proliferasi scl alveolar tipe II, fibroblast dan makrofag. Berdasarkan pola penyebaran lesi dikenal bronkopneumonia, pneumonia lobaris dan pneumonia interstitial. Berdasarkan atas epidemiologi dikenal enzootik pneumonia, contagious bovine pleuropneumonia, shipping fever pneumonia. Beberapa jenis pneumonia yang tidak bisa dikategorikan pada salah satu pembagian di atas antara lain:
pneumonia atipikal, cuffing pneumonia, pneumonia progresif.
pneumonia aspirasi, dan farmers lung.
Berdasarkan atas perubahan morfologik meliputi distribusi lesi, tekstur, warna dan penampakan dari paru-paru, pneumonia digolongkan menjadi 4, yakni: bronkopneumonia, pneumonia(p) interstitialis, p. granulomatosa dan p. embolik,.
(Tabel 6.1),
Bronkopneuomonia. Bronkopneumonia adalah peradangan pada daerah bronkoalveolar sebagai akibat perluasan dari peradangan di bronkus. Biasanya bagian paru-paru yang terserang adalah bagian kranioventral sehingga terjadi konsolidasi pada daerah kranioventral. Konsolidasi atau disebut juga hepatisasi adalah mengeras dan memadatnya tekstur paru-paru menyerupai tekstur hati. Akibat alveoli yang
BAB IV
PATOLOGI FARING, LARING DAN TRAKEA
Faring, laring dan trakea mamalia memiliki fungsi dan gambaran histologi yang mirip dengan unggas. Perbedaan nyata yang dapat dilihat adalah cincin tulang rawan hyalin pada trakea unggas berbentuk lingkaran utuh. Secara histologi, trakea, bronkus primer dan mesobronkus pada unggas dilapisi oleh lapisan sel epitel pernafasan yang khas sama halnya dengan mamalia. Umumnya jaringan limfatika ditemukan pada lamina propria dari bronkus dan di bagian luar dikelilingi oleh otot polos
Penyakit Degeneratif
Hemiplegia laringeal pada kuda. Penyakit ini disebut dengan roaring, merupakan penyakit yang umum pada kuda yang ditandai oleh atrofi dari muskulus cricoarytenoid di bagian dorsal dan lateral, terutama di bagian kiri (Gambar 4.1).
Atrofi otot disebabkan oleh adanya gangguan inervasi saraf.
Terjadi perubahan pada suara pada kuda seperti bergemuruh (roar) akibat paralisis dari otot sehingga terjadi dilatasi tidak lengkap (inkomplit) pada laring dan penyumbatan saluran nafas.