• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelecehan Seksual di Tempat Kerja Terhadap Buruh Wanita: Tantangan dalam Penerapan Politik Hukum

N/A
N/A
putri meila

Academic year: 2024

Membagikan "Pelecehan Seksual di Tempat Kerja Terhadap Buruh Wanita: Tantangan dalam Penerapan Politik Hukum"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Pendahuluan

Dunia kerja yang idealnya menjadi ruang produktivitas dan pemberdayaan, kenyataannya tak jarang menyimpan sisi kelam. Buruh wanita, sebagai salah satu pilar penting dalam dunia kerja, kerap menghadapi ancaman laten berupa pelecehan seksual. Realitas ini menjadi sorotan tajam terhadap efektivitas politik hukum yang seharusnya melindungi mereka. Indonesia sebagai negara hukum, memiliki berbagai regulasi yang bertujuan melindungi buruh wanita.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja merupakan salah satu acuan tidak adanya diskriminasi atau kekerasan terhadap wanita. Namun, dalam praktiknya penerapan regulasi tersebut masih menemui banyak tantangan. Kasus-kasus yang mencuat ke permukaan, seperti pelecehan seksual di pabrik, perkantoran, bahkan institusi pendidikan, menjadi bukti nyata belum optimalnya perlindungan hukum. Kultur permisif yang sering kali enggan bersuara, membuat para korban terjebak dalam lingkaran ketakutan dan ketidakadilan.1

Perlindungan terhadap hak-hak buruh wanita merupakan pondasi yang tak terpisahkan dalam sistem hukum yang adil dan inklusif. Namun, realitas yang sering kali menghantui adalah adanya kasus-kasus pelecehan yang menimpa buruh wanita di berbagai sektor, termasuk di lingkungan pendidikan tinggi ataupun di perusahaan. Tak hanya mengenai pelecehan saja, buruh perempuan seringkali diremehkan terkait perpanjangan kontrak dan pemberian upah sehingga perlunya pengkajian atau pembaharuan ulang terkait peraturan yang berlaku.

Pembahasan

Perlindungan hukum terhadap buruh atau pekerja perempuan merupakan salah satu realisasi hak asasi manusia yang senantiasa diakui, dihargai, dan dilindungi. Pasal 76 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan beberapa keringanan kepada pekerja atau buruh perempuan. Keringanan ini diberikan guna melindungi

1 Agus Midah, Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak (Buruh Perempuan di Sector Formal) USAID The Asia Foundation dan Kemitraan

(2)

pekerja atau buruh perempuan yang secara kodrati perempuan memiliki tugas dan fungsi lain yang lebih penting dalam masyarakat, yaitu reproduksi.2

Berikut beberapa bentuk perlindungan hukum terhadap pekerja perempuan yang terdapat dalam UU Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 76, Pasal 81, Pasal 82, Pasal 83, Pasal 84, dan Pasal 93, Kepmenaker dan Transmigrasi No. 224 Tahun 2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Buruh Perempuan yang Lembur, serta Peraturan Perusahaan atau perjanjian kerja bersama perusahaan yang meliputi :3

1. Perlindungan jam kerja

2. Perlindungan dalam masa haid 3. Perlindungan selama cuti hamil 4. Pemberian lokasi menyusui 4. Pengakuan kompetensi kerja

5. Larangan melakukan PHK terhadap pekerja perempuan

6. Hak atas pemeriksaan kesehatan, kehamilan, dan biaya persalinan.

Tujuan adanya perlindungan hukum terhadap pekerja adalah untuk memberikan perlindungan dari kekuasaan perusahaan serta terciptanya suasana yang damai pada suatu perusahaan yang dilakukan sesuai dengan prinsip hubungan industrial.

Politik hukum perlindungan buruh perempuan dapat ditelusuri pertama kali dalam Pancasila sebagai politik hukum ideal bangsa Indonesia dan merupakan nilai dasar bagi setiap pembentukan regulasi yang termaktup dalam impelementasi sila kelima yaitu, bahwa perempuan harus mendapat manfaat keadilan dari sisi pekerjaan, yang berupa perlindungan atas diskriminasi dalam dunia kerja, kekerasan seksual, hak hak reproduksi perempuan dan kesetaraan upah.

2 Abdul Hakim, 2009, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti: Bandung, h. 2

3 Aga Natalis, Budi Ispriyarso, Politik Hukum Perlindungan Pekerja Migran Perempuan di Indonesia, Jurnal Pandecta Vol. 13 bulan Desember 2018, hlm. 113

(3)

Politik hukum perlindungan buruh perempuan di Indonesia juga dapat di lihat pada Batang Tubuh UUD NKRI 1945 yang mengatur terkait perlindungan buruh perempuan diantaranya: Pasal 27 ayat (2): "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan"; Pasal 28 D ayat (1): "setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum"; Pasal 28D ayat (2): "Setiap orang berhak bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Maka dapat dipahami bahwa penting untuk memahami bahwa perlindungan hukum bagi buruh perempuan tidak hanya berkaitan dengan keadilan sosial, tetapi juga memengaruhi dinamika ekonomi dan politik suatu negara.

Selanjutnya politik hukum perlindungan terhadap buruh perempuan, juga dapat ditelusuri berdasarkan beberapa regulasi terkait posisi buruh perempuan yang bersifat rentan terhadap penganiayaan fisik, kekerasan seksual dan diskriminasi,4 misalnya kasus pelecehan yang diduga dilakukan oleh seorang Rektor Universitas Pancasila terhadap staf perempuan di lingkungan kampus.

Kasus pelecehan seksual oleh Rektor Universitas Pancasila merupakan contoh nyata dari pelanggaran hak-hak buruh wanita.5 Penting untuk memperkuat sistem perlindungan buruh wanita dari pelecehan seksual dengan menyempurnakan regulasi, memperkuat mekanisme pelaporan, dan meningkatkan penegakan hukum. Upaya kolektif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, pengusaha, buruh wanita, dan masyarakat sipil, diperlukan untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan bermartabat bagi semua.

Kasus pelecehan yang melibatkan seorang rektor menimbulkan pertanyaan tentang etika kepemimpinan, integritas, dan akuntabilitas di kalangan pimpinan universitas. Rektor adalah figur sentral dalam menjaga keamanan, mengayomi, dan menciptakan lingkungan kerja yang sehat bagi semua anggota komunitas universitas. Ketika seorang rektor terlibat dalam perilaku pelecehan, hal ini mengindikasikan kegagalan dalam peran kepemimpinan dan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

4 Rhona K. M Smith, etal. 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Editor), PUSHAM UII: Yogyakarta, h. 269.

5 Tersandung Kasus Pelecehan, Rektor Universitas Pancasila Resmi Dinonaktifkan | Republika Online Mobile (diakses pada tanggal 20 April 2024 pukul 13.25 WIB)

(4)

Untuk menangani kasus pelecehan ini, sangat penting bagi universitas untuk mengambil tindakan serius dan transparan. Proses investigasi yang teliti dan obyektif harus dilakukan untuk mengumpulkan bukti dan mendengarkan semua pihak yang terlibat. Selain itu, langkah-langkah yang efektif harus diambil untuk memberikan perlindungan dan dukungan kepada korban pelecehan serta melibatkan pihak berwenang yang relevan, baik itu internal maupun eksternal, untuk menegakkan keadilan.

Kasus yang serupa berasal dari Karyawati di Cikarang mengaku menjadi korban pelecehan seksual karena beberapa kali diajak jalan berdua di hotel oleh atasannya dan diancam tidak akan mendapat perpanjangan kontrak kerja jika menolak.6 Para buruh di perusahaan tersebut mengatakan banya atasan perusahaan yang mensyaratkan harus StayCation bersama karyawati agar mendapatkan perpanjangan kontrak. Kasus berbeda dari CEO PT Wanita Rejuvenasi Perempuan Indonesia yang mengancam akan melakukan PHK kepada buruh yang akan mengajukan cuti melahirkan.7 Faktanya hak cuti melahirkan merupakan bagian penting dari perlindungan hukum buruh perempuan yang memungkinkan mereka untuk menjaga kesehatan diri dan bayi mereka tanpa takut kehilangan pekerjaan atau pendapatan. Pembentukan undang-undang yang menjamin hak cuti melahirkan yang layak, pembayaran yang setara dengan gaji, dan perlindungan dari diskriminasi atau pemutusan hubungan kerja adalah langkah yang penting dalam mendukung kesetaraan gender di tempat kerja.

Dengan adanya kasus mengenai buruh perempuan tersebut agar politik hukum perlindungan buruh perempuan tidak hanya terbatas pada undang-undang yang sudah ada, tetapi juga mencakup perubahan kebijakan dan pembentukan regulasi baru yang lebih progresif. Meski secara yuridis normatif hak pekerja perempuan telah dijamin dalam berbagai peraturan perundang-undangan, tetapi implementasi berbagai peraturan tersebut perlu mendapat perhatian lebih lanjut.

Kesimpulan

6 Pengakuan AD, Korban Dugaan Pelecehan 'Kontrak Kerja' di Cikarang | Republika Online Mobile (diakses pada tanggal 20 April 2024 pukul 19.04 WIB)

7 https://www.suara.com/lifestyle/2023/11/28/160500/viral-karyawan-cuti-melahirkan-diduga-kena-phk-ceo-wrp- kwik-wan-tien-minta-maaf-saya-menyesal (diakses pada tanggal 21 April 2024 pukul 09.10 WIB

(5)

Meskipun telah ada langkah-langkah positif yang diambil untuk melindungi hak-hak buruh perempuan, masih ada banyak tantangan yang harus diatasi untuk mencapai kesetaraan gender yang sesungguhnya di tempat kerja.

Pertama, implementasi yang efektif dari undang-undang masih menjadi masalah yang serius di banyak negara. Meskipun ada undang-undang yang mengatur perlindungan buruh perempuan, sering kali penegakan hukum tidak konsisten atau bahkan tidak ada sama sekali. Ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kurangnya sumber daya, korupsi, dan ketidaksetaraan akses terhadap sistem peradilan.

Kedua, masih ada budaya yang memperkuat ketidaksetaraan gender di tempat kerja. Meskipun ada undang-undang yang melarang diskriminasi dan pelecehan seksual, budaya organisasi yang tidak mendukung kesetaraan gender dapat menghambat implementasi undang-undang tersebut.

Perubahan budaya yang mendukung kesetaraan gender perlu diupayakan melalui pendidikan, pelatihan, dan kesadaran yang lebih luas di masyarakat.

Ketiga, hak-hak buruh perempuan sering kali diabaikan atau diabaikan dalam politik hukum yang lebih luas. Isu-isu seperti hak cuti melahirkan, perlindungan terhadap pekerja rumah tangga, dan upah yang setara sering kali tidak mendapatkan perhatian yang cukup dalam pembentukan kebijakan publik. Ini menunjukkan perlunya peningkatan kesadaran tentang isu-isu yang memengaruhi buruh perempuan secara khusus.

Dengan demikian, politik hukum perlindungan buruh perempuan memerlukan komitmen yang kuat dari semua pihak untuk menciptakan lingkungan kerja yang adil, aman, dan menghormati hak-hak dasar buruh perempuan. Hanya dengan pendekatan yang holistik, kolaborasi antar sektor, dan kesadaran yang lebih luas tentang isu-isu tersebut, kita dapat memastikan bahwa buruh perempuan mendapatkan perlindungan yang layak dan adil di tempat kerja.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara sikap terhadap pelecehan seksual di tempat kerja dengan

Pada kesempatan ini, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar melakukan langkah awal dengan membuat pedoman pencegahan pelecehan seksual di tempat kerja. Hal

Pelecehan seksual adalah segala tindakan seksual yang tidak diinginkan , permintaan untuk melakukan perbuatan seksual, tindakan lisan atau À sik atau isyarat yang bersifat

Kajian ini menunjukkan 1118 orang dari 1423 orang pekerja wanita pernah mengalami pelecehan seksual pada tahap cukup (moderate) dan tinggi di tempat kerja dan

Berdasarkan uji reli- abilitas, diperoleh hasil bahwa kusioner yang mewakili variabel iklim organisasi, sifat pekerjaan, pelecehan seksual, motivasi kerja, stres kerja,

Berdasarkan Bab 23A dari SDO, merupakan pelanggaran hukum apabila seseorang yang merupakan seorang partisipan tempat kerja melakukan pelecehan seksual terhadap orang lain

Dalam film dokumenter Angka Menjadi Suara adalah salah satu bentuk penolakan terhadap pelecehan seksual di tempat kerja yang diproduksi oleh Federasi Buruh Lintas Pabrik FBLP.. Film ini

Tuy nhiên, trước yêu cầu của hội nhập quốc tế hiện nay, thực tiễn phát triển của làng nghề dệt chiếu Định Yên vẫn còn nhiều bất cập, phải đối mặt với nhiều khó khăn thách thức như: vấn