• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan Nata De Coco dari Air Kelapa Tua Menggunakan Bakteri Acetobacter xylinum

N/A
N/A
Lasja Aquilla

Academic year: 2024

Membagikan "Pembuatan Nata De Coco dari Air Kelapa Tua Menggunakan Bakteri Acetobacter xylinum"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH PROJECT BASED LEARNING (PEMANFAATAN BAKTERI ACETOBACHTER XYLINUM UNTUK PEMBUATAN NATA DE COCO)

Dosen Pengampu : Dr. Ir. Dwina Moentamaria., MT NAMA ANGGOTA KELOMPOK :

1. Dwi Tina Nur Qomariyah (244104020055) 2. Lasja Aquilla Sasongko (244104020017)

JURUSAN TEKNIK KIMIA

PROGRAM STUDI D-IV TEKNOLOGI KIMIA INDUSTRI

POLITEKNIK NEGERI MALANG

2024

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber daya yang melimpah, tak terkecuali dengan sumber daya hayati yang dapat dimanfaatkan sebagai sumbe pangan yang salah satunya adalah kelapa (Cocus nucifera).

Berdasarkan Kurniasih (2020), kelapa merupakan pohon serba guna karena hamper semua bagiannya dapat dimanfaatkan. Menurut Yolanda dan Mulyana (2011), produksi air kelapa di Indonesia sangat melimpah, tetapi pemanfaatannya masih kurang terutama untuk air kelapa tua.

Air kelapa (Cocos nucifera) seringkali terbuang dan menimbulkan masalah akibat aromanya yang kuat setelah beberapa waktu dibuang ke lingkungan.

Jumlah limbah air kelapa setiap hari jauh lebih besar dibanding jumlah yang dimanfaatkan (Djajanegara, 2010). Pengolahan limbah air kelapa dapat dilakukan secara sederhana melalui pembuatan nata de coco. Pembuatan produk ini dapat membantu mengatasi timbulnya pencemaran limbah air kelapa (Oedjijono, 1983). Nata De Coco merupakan hasil fermentasi air kelapa dengan bakteri asam asetat yaitu Acetobacter xylinum. Menurut Pambayun (2002) bakteri Acetobacter xylium dapat membentuk nata jika ditumbuhkan dalam media yang sudah diperkaya karbon(C) dan nitrogen (N) melalui proses yang terkontrol. Bakteri tersebut dapat hidup dalam air kelapa dan juga dalam buah- buahan yang mengandung glukosa, yang kemudian diubah menjadi selulosa dan dikeluarkan pada permukaan sel. Lapisan selulosa terbentuk selapis pada permukaan sari buah, sehingga akhirnya menebal dan itulah yang disebut nata.

Nata De Coco memiliki kandungan serat, vitamin dan gizi yang tinggi. Zat-zat yang terkandung didalamnya seperti air, protein, lemak, gula, vitamin, asam amino, dan hormon pertumbuhan. Jenis nata yang beredar dimasyarakat adalah nata de coco, yaitu nata yang terbuat dari air kelapa. Tetapi ada bahan baku lain untuk membuat nata, misalnya dari sari buah-buahan, air leri (air cucian beras).

Seiring perkembangan teknologi, bahan membuatan nata semakin beragam, dapat dibuat dari ampas tahu, buah jambu mete, lidah buya atau kulit nanas.

(3)

Berbagai kandungan nutrisi yang terkandung di dalam nata de coco membuatnya memiliki peluang yang cukup besar dalam industri pangan. Dalam perkembangannya saat ini pembuatan nata de coco telah menyebar ke berbagai skala industri mulai dari skala rumah tangga sampai industri berskala besar.

Industri nata de coco dapat tumbuh dengan pesat dikarenakan nata de coco merupakan salah satu produk makanan yang banyak disukai masyarakat dan dapat dikonsumsi oleh semua kalangan. Kegemaran masyarakat indonesia mengkonsumsi nata de coco dikarenakan salah satu produk olahan air kelapa yang memiliki kandungan serat tinggi dan kandungan kalori rendah, sehingga cocok untuk makanan diet dan baik untuk sistem pencernaan, serta tidak mengandung kolesterol. Hal tersebut yang menjadikan nata de coco mulai populer dikalangan masyarakat indonesia. Didalam pertumbuhannya, Acetobacter xylinum memerlukan sumber nutrisi C, H, N serta mineral dan dilakukan dalam proses yang terkontrol dalam medium air kelapa. Air kelapa mengandung sebagian sumber nutrisi yang dbutuhkan akan tetapi kebutuhan akan substrat makro seperti sumber C dan N masih harus tetap ditambah agar hasil nata yang dihasilkan optimal, sehinggan kekurangan nutrisi yang diperlukan harus ditambahkan dalam proses fermentasi nata. Sebagai sumber karbon dapat ditambahkan sukrosa, glukosa, fruktosa, dan tepung (Iguchi, 1999). Sedangkan sebagai sumber nitrogen dapat ditambahkan urea, ZA atau ammonium sulfat serta ekstrak kecambah (Iguchi, 1999).

Penelitian ini mengkaji tentang pengaruh fisik nata de coco dengan penambahan sumber nitrogen yang berbeda serta penentuan lama fermentasi yang memberikan hasil yang terbaik. Kondisi fisik yang akan dikaji yaitu ketebalan, berat, pH serta air sisa fermentasi. Lama inkubasi merupakan salah satu faktor yang turut menentukan hasil dari pembuatan nata de coco, selain lama inkubasi pembuatan nata de coco juga menggunakan starte atau biakan bakteri Acetobacter xylinum untuk fermentasi nata. Dalam pembuatan nata de coco pada umumnya selama 1-2 minggu, minggu ke dua dari fermentasi merupakan waktu maksimal produksi nata, yang berarti lebih 2 minggu produksi nata akan menurun. Perbedaan lama wakatu fermentaasi tentunya juga

(4)

akan berpengaruh dalam pemanenan nata de coco yang sudah jadi. Pada pengaruh lama inkubasi yang berbeda kemungkinan mempunyai hasil yang berbeda pula terhadap pamanean nata, kecepatan pembentukan dan sifat fisik yang dihasilkan pada masing-masing nata de coco. Dan ada faktor gagalnya pembuatan nata de coco yaitu dari bibit nata itu sendiri dan tidak bersihnya tempat pembibitan nata de coco. Saat memproduksi nata de coco banyak kendala yang menghambat pembuatan nata yaitu, membersih botol kaca denagn secara manual. Akibatnya kurang bersihnya botol-botol pembibitan nata dan kurang efisien.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah yang melatarbelakangi penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana mekanisme kerja bakteri Acetobacter Xylinum dalam menghasilkan selulosa yang membentuk nata de coco?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi nata de coco oleh bakteri Acetobacter Xylinum?

3. Apa saja manfaat dan potensi pengembangan pemanfaatan nata de coco yang dihasilkan dari bakteri Acetobacter Xylinum?

1.3 TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Menganalisis mekanisme kerja bakteri Acetobacter Xylinum dalam menghasilkan selulosa yang membentuk nata de coco

2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi nata de coco oleh bakteri Acetobacter Xylinum seperti sumber karbon, nitrogen, pH, dan suhu.

3. Mengeksplorasi manfaat dan potensi nata de coco yang dihasilkan dari bakteri Acetobacter Xylinum dalam berbagai bidang.

(5)

1.4 MANFAAT PRAKTIKUM

Adapun manfaat dari kegiatan praktikum

1. Meningkatkan pemahaman tentang proses pembuatan Nata de Coco

& peran penting Acetobachter Xylinum dalam industry pangan 2. Membantu dalam pengembangan Teknik budidaya & optimalisasi

produksi Nata de Coco dengan kualitas lebih baik

3. Membuka peluang baru dalam pemanfaatan Nata de Coco sebagai bahan baku dalam berbagai industri

(6)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 KAJIAN PUSTAKA

Air kelapa merupakan medium yang kaya akan nutrisi dan sangat mendukung pertumbuhan berbagai jenis bakteri, yang dapat tumbuh dalam air kelapa. Salah satunya adalah Lactobacillus spp., yang merupakan bakteri asam laktat. Bakteri ini berperan dalam fermentasi dengan mengubah karbohidrat menjadi asam laktat, sehingga meningkatkan rasa dan umur simpan produk. Lactobacillus spp. bersifat gram positif, berbentuk batang, dan dapat membantu meningkatkan keseimbangan mikrobiota usus ketika dikonsumsi (Portal Spada UNS, 2020).

Bakteri yang dapat ditemukan adalah *Bacillus spp.*, yang juga bersifat gram positif dan berbentuk batang. Bacillus spp. dikenal karena kemampuannya membentuk spora, sehingga dapat bertahan dalam kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Mereka berfungsi dalam fermentasi dengan memecah senyawa organik dan dapat menghasilkan enzim yang bermanfaat untuk proses pembuatan nata de coco (Tutiek Rahayu & Eli Rohaeti, 2014).

Selanjutnya, *Pseudomonas spp.* adalah bakteri gram negatif berbentuk batang yang memiliki kemampuan untuk mendegradasi berbagai senyawa organik. Mereka dapat berkontribusi pada proses fermentasi dengan memecah karbohidrat kompleks menjadi bentuk yang lebih sederhana, meskipun beberapa spesiesnya dapat menyebabkan pembusukan (Desiana Pradiyanti, 2016) (Hasnawati .dkk , 2023). Keberadaan berbagai bakteri ini dalam air kelapa tidak hanya mendukung proses fermentasi tetapi juga mempengaruhi kualitas dan karakteristik akhir dari produk seperti nata de coco.

Dan yang terakhir adalah Acetobacter xylinum, yang terkenal dalam proses pembuatan nata de coco. Dimana Acetobachter Xylinum merupakan bakteri gram negatif yang memiliki beberapa karakteristik unik. Bakteri ini berbentuk batang pendek dengan ukuran sekitar 2 mikron dan dapat

(7)

membentuk rantai pendek yang terdiri dari 6 hingga 8 sel, dikenal sebagai streptobacillus. Selain itu, A. xylinum bersifat aerob obligat, yang berarti ia memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya. Bakteri ini juga memiliki dinding sel yang berlendir, yang berfungsi untuk memproduksi selulosa, suatu polisakarida penting yang digunakan dalam pembuatan nata de coco dan produk lainnya.

Dalam hal pertumbuhan, A. xylinum memiliki pH optimal sekitar 5.4 hingga 6.3 dan suhu optimal inkubasi antara 25 hingga 30 derajat Celsius. Jika kondisi ini tidak terpenuhi, laju pertumbuhan bakteri dapat melambat atau bahkan terhenti[1][2]. Bakteri ini mampu mengubah karbohidrat, seperti sukrosa, menjadi asam asetat dan selulosa, dengan selulosa yang dihasilkan berfungsi sebagai struktur utama dalam pembentukan nata (Amanatun Nur, 2009) (Adelia Putri.dkk, 2022).

Keberadaan oksigen sangat penting bagi bakteri ini karena proses metabolisme mereka menghasilkan energi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan produksi selulosa (Imam Santoso. Dkk, 2000).

Pembuatan nata de coco merupakan salah satu penerapan bioteknologi yang memanfaatkan aktivitas mikroorganisme, khususnya bakteri Acetobacter xylinum. Bakteri ini memiliki kemampuan unik untuk mengubah glukosa menjadi serat selulosa melalui proses fermentasi. Serat selulosa tersebut kemudian membentuk lapisan nata yang bertekstur kenyal dan transparan. Dalam proses ini, starter berupa A. xylinum berperan sebagai agen biokatalis yang memulai reaksi fermentasi. Penggunaan starter tidak hanya membantu proses fermentasi berlangsung lebih cepat, tetapi juga memastikan kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan (Putri,S.N.Y.

2021)

Secara alami, A. xylinum tidak dapat berkembang dengan baik tanpa kondisi lingkungan yang optimal. Pertumbuhan bakteri ini memerlukan kondisi aerobik dengan suhu ideal sekitar 28°C dan pH antara 3,5 hingga 7,5. Kondisi ini memungkinkan bakteri menghasilkan selulosa dengan efisiensi tinggi. Selain itu, medium fermentasi berupa air kelapa kaya akan nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri, seperti glukosa,

(8)

mineral, dan nitrogen. Oleh sebab itu, perancangan medium fermentasi yang tepat merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan produksi nata de coco (Direktorat kredit, BPR & UMKM 2018)

Permintaan pasar terhadap nata de coco terus meningkat seiring dengan popularitasnya sebagai bahan tambahan dalam minuman siap saji maupun makanan penutup. Namun, tantangan dalam produksi skala besar masih sering terjadi, terutama karena faktor-faktor teknis yang memengaruhi keberhasilan fermentasi. Menurut penelitian sebelumnya, kegagalan produksi sering disebabkan oleh sterilitas alat yang tidak terjaga, fluktuasi suhu selama fermentasi, ketidaksesuaian pH medium, serta ketidaktepatan dalam pemilihan jenis dan konsentrasi starter. Selain itu, durasi fermentasi yang tidak optimal juga menjadi salah satu penyebab kualitas produk yang tidak konsisten (Nurhasanah 2017) .

Nursiwi et al. menyebutkan bahwa kurangnya pemahaman dalam pengelolaan starter A. xylinum sering kali menjadi penyebab utama kegagalan produksi nata de coco. Ketidaktepatan konsentrasi starter dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri yang tidak merata, sehingga hasil fermentasi menjadi suboptimal. Lebih lanjut, durasi fermentasi yang terlalu singkat akan menghasilkan produk dengan struktur yang tipis, sedangkan fermentasi yang terlalu lama dapat meningkatkan kandungan air pada rongga antar serat selulosa. Hal ini terjadi karena sekresi metabolit oleh bakteri yang berlebihan, sehingga menurunkan kualitas tekstur dan cita rasa nata. Untuk itu, penelitian mendalam mengenai durasi fermentasi yang tepat diperlukan untuk memastikan produk yang dihasilkan memiliki karakteristik optimal(Nursiwi 2018)

Selain durasi fermentasi, konsentrasi starter juga menjadi variabel penting dalam produksi nata de coco. Konsentrasi starter yang rendah akan memperlambat proses fermentasi dan menghasilkan nata dengan ketebalan rendah, sedangkan konsentrasi yang terlalu tinggi dapat meningkatkan aktivitas mikroba secara berlebihan dan memengaruhi stabilitas medium fermentasi. Oleh karena itu, optimalisasi konsentrasi starter menjadi langkah penting dalam meningkatkan kualitas dan efisiensi produksi.

(9)

Menurut penelitian Asri dan Wisanti(Asri, M.T & Wisanti 2018), produk nata de coco dengan kualitas terbaik biasanya dihasilkan dari kombinasi durasi fermentasi dan konsentrasi starter yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan fermentasi. Dalam penelitian mereka, ditemukan bahwa fermentasi yang berlangsung terlalu lama dapat menyebabkan nata menjadi terlalu lembek karena kandungan air yang tinggi pada rongga antar selulosa, sehingga kualitas organoleptiknya menurun.

Penelitian-penelitian sebelumnya juga menunjukkan adanya hubungan erat antara konsentrasi medium dan parameter kualitas nata de coco. Medium yang kaya nutrisi, seperti air kelapa, memungkinkan pertumbuhan A. xylinum yang lebih optimal. Namun, konsentrasi glukosa yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menghambat produksi selulosa.

Oleh karena itu, selain memperhatikan konsentrasi starter dan durasi fermentasi, perancangan komposisi medium fermentasi juga menjadi aspek krusial dalam proses pembuatan nata de coco. Keseluruhan proses ini menunjukkan bahwa keberhasilan fermentasi tidak hanya bergantung pada satu faktor tunggal, tetapi merupakan hasil dari interaksi kompleks antara berbagai variable(Wisanti 2018).

Di sisi lain, diversifikasi produk berbasis nata de coco menjadi salah satu alasan tingginya permintaan pasar terhadap produk ini. Sebagai bahan tambahan dalam minuman dan makanan, nata de coco memiliki keunggulan tekstur dan rasa yang khas, sehingga memberikan nilai tambah pada produk yang menggunakannya. Namun, kegagalan dalam memproduksi nata de coco yang berkualitas sering kali menjadi kendala utama dalam memenuhi kebutuhan pasar. Faktor-faktor teknis seperti tingkat sterilitas, suhu ruang fermentasi, dan pH medium sering kali diabaikan, padahal semuanya memiliki pengaruh signifikan terhadap hasil fermentasi (Nurhasanah 2017) .

Untuk mengatasi tantangan ini, penelitian yang terfokus pada optimalisasi proses fermentasi sangat diperlukan. Penyesuaian durasi fermentasi, konsentrasi starter, dan kondisi lingkungan fermentasi tidak hanya dapat meningkatkan kualitas produk tetapi juga kuantitasnya. Dengan

(10)

pemahaman yang lebih mendalam mengenai faktor-faktor tersebut, diharapkan produksi nata de coco dapat ditingkatkan secara signifikan untuk memenuhi permintaan pasar domestik yang terus berkembang. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh konsentrasi starter A. xylinum dan lama fermentasi terhadap kualitas produk nata de coco, dengan parameter yang meliputi ketebalan, rendemen, dan karakteristik organoleptik (warna, aroma, tekstur, dan rasa). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi produsen nata de coco dalam meningkatkan efisiensi dan kualitas produksinya (Nurhasanah 2017).

Acetobacter xylinum merupakan salah satu jenis bakteri gram- negatif yang memiliki kemampuan unik dalam memproduksi selulosa secara ekstraseluler. Bakteri ini berperan krusial dalam proses fermentasi yang menghasilkan produk bernilai ekonomis tinggi, seperti nata de coco.

Kemampuan utama bakteri ini adalah mengubah glukosa yang terkandung dalam substrat, seperti larutan gula atau air kelapa, menjadi lapisan selulosa yang terorganisir, yang kemudian dikenal sebagai nata. Selulosa yang dihasilkan oleh A. xylinum memiliki struktur yang sangat teratur dengan ikatan 1,4 β-glikosida, memberikan sifat mekanik dan fisik yang unggul pada produk akhir. Proses ini menjadikan bakteri A. xylinum sebagai subjek utama dalam berbagai penelitian terkait fermentasi dan bioteknologi pangan (Pratiwi et al2005) (Palungkun 1996).

Secara taksonomi, A. xylinum termasuk dalam kelompok bakteri asam asetat yang umumnya ditemukan pada lingkungan alami seperti buah- buahan yang membusuk dan cairan fermentasi. Bakteri ini memiliki sifat aerobik fakultatif, yang berarti memerlukan oksigen untuk pertumbuhan dan sintesis selulosa secara maksimal. Sebagai mikroorganisme gram- negatif, A. xylinum juga memiliki struktur dinding sel yang unik, dengan lapisan luar yang mengandung lipopolisakarida. Struktur ini memberikan daya tahan yang tinggi terhadap kondisi lingkungan tertentu, seperti keasaman medium fermentasi (Ramana et al. 2000).

(11)

Proses fermentasi yang dilakukan oleh A. xylinum melibatkan serangkaian tahapan biokimia yang kompleks. Terdapat tiga tahapan utama dalam pembentukan nata de coco. Tahap pertama adalah hidrolisis sukrosa menjadi fruktosa dan glukosa dengan bantuan enzim sukrase yang dihasilkan oleh bakteri. Reaksi ini merupakan langkah awal yang krusial, karena menyediakan glukosa bebas yang akan digunakan sebagai bahan baku utama untuk sintesis selulosa. Glukosa yang dihasilkan kemudian masuk ke dalam tahap kedua, yaitu konversi intramolekul α-D-glukosa menjadi β-D-glukosa. Transformasi ini terjadi melalui aktivitas enzim isomerase, yang juga dihasilkan oleh A. xylinum (Pratiwi et al2005) (Palungkun 1996).

Tahap ketiga dari mekanisme fermentasi melibatkan polimerisasi glukosa melalui reaksi antarmolekul glukosa dengan ikatan 1,4 β-glikosida.

Dalam proses ini, glukosa dalam bentuk β-D-glukosa diubah menjadi polimer selulosa melalui enzim selulase yang diekspresikan oleh A. xylinum . Proses ini dilakukan secara terus-menerus hingga terbentuk lapisan nata yang cukup tebal di permukaan medium fermentasi. Hasil akhir dari reaksi ini adalah matriks selulosa murni dengan kandungan air yang cukup tinggi, yang dikenal sebagai nata de coco. Matriks selulosa ini tidak hanya memberikan sifat mekanik yang baik tetapi juga memiliki kemampuan untuk menyerap cairan, menjadikannya ideal untuk aplikasi dalam makanan dan minuman (Palungkun 1996) (Ramana et al. 2000).

Produksi nata de coco yang optimal tidak hanya bergantung pada keberadaan bakteri A. xylinum, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan dan komposisi medium fermentasi. Faktor-faktor seperti pH, suhu, dan kadar oksigen terlarut (dissolved oxygen) memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan proses fermentasi.

Secara umum, fermentasi berjalan dengan baik pada pH sekitar 4,0.

Pada pH ini, aktivitas enzim yang terlibat dalam hidrolisis sukrosa dan polimerisasi glukosa mencapai efisiensi maksimum. Selain itu, konsentrasi sukrosa yang optimal, yaitu sekitar 10%, juga diperlukan untuk menyediakan sumber karbon yang cukup bagi bakteri. Penambahan

(12)

amonium sulfat sebanyak 0,5% sering digunakan sebagai sumber nitrogen untuk mendukung pertumbuhan A. xylinum. Suhu fermentasi juga memegang peranan penting, di mana temperatur ideal berkisar antara 28°C hingga 30°C. Pada rentang suhu ini, bakteri menunjukkan laju sintesis selulosa yang maksimal tanpa mengurangi stabilitas struktural nata yang dihasilkan (Putri 2018) (Mahadi 2015).

Ketersediaan oksigen juga menjadi salah satu faktor kunci, mengingat A. xylinum adalah bakteri aerobik. Proses fermentasi yang dilakukan dalam kondisi anaerobik akan menyebabkan penurunan sintesis selulosa, sehingga lapisan nata yang dihasilkan menjadi tipis dan kurang berkualitas. Oleh karena itu, pengadukan atau aerasi medium fermentasi sering dilakukan untuk meningkatkan kadar oksigen terlarut (Palungkun 1996) (Mahadi 2015).

Untuk mendukung pertumbuhan A. xylinum, sumber nutrien tambahan seperti nitrogen menjadi elemen penting. Nitrogen dapat diperoleh dari berbagai bahan, seperti amonium sulfat atau ekstrak tumbuhan. Penelitian menunjukkan bahwa penambahan ekstrak kecambah kacang hijau dalam medium fermentasi dapat meningkatkan kualitas dan ketebalan nata yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh tingginya kandungan nitrogen organik dalam kecambah kacang hijau, yang mendukung pertumbuhan bakteri secara optimal. Selain itu, sumber nitrogen lainnya, seperti pupuk ZA (Zwavelzure Ammoniak), juga sering digunakan dalam skala industri untuk mendukung produksi besar-besaran (Mahadi 2018) (Marsigit 2005).

Keberhasilan isolasi Acetobacter xylinum, bakteri gram-negatif penghasil selulosa, dipengaruhi oleh berbagai faktor krusial yang saling berkaitan. Salah satu faktor utama adalah komposisi media isolasi yang harus mengandung sumber karbon yang cukup, seperti glukosa atau sukrosa, untuk mendukung pertumbuhan mikroba serta sintesis selulosa secara optimal. Sumber karbon ini menyediakan energi yang diperlukan untuk metabolisme bakteri dan bertindak sebagai substrat utama dalam proses polimerisasi glukosa menjadi selulosa. Selain karbon, media isolasi

(13)

juga harus mengandung sumber nitrogen, mineral, dan vitamin yang mendukung sintesis protein dan enzim yang dibutuhkan dalam metabolisme sel. Nitrogen, yang sering kali berasal dari pupuk anorganik seperti ammonium sulfat, memainkan peran penting dalam proses pembelahan sel dan ekspresi enzim kunci, seperti selulase dan sukrase, yang terlibat dalam produksi selulosa (Sari et al., 2021; Haryanto et al., 2020).

Suhu merupakan parameter lain yang sangat memengaruhi keberhasilan isolasi. A. xylinum memiliki suhu optimal pertumbuhan di rentang 28–30°C, di mana aktivitas enzimatik yang terlibat dalam sintesis selulosa mencapai puncaknya. Suhu yang terlalu rendah dapat memperlambat laju metabolisme bakteri, sedangkan suhu yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan denaturasi enzim dan mematikan bakteri.

Selain itu, pH medium yang ideal, yaitu antara 5 hingga 6, juga diperlukan untuk menjaga stabilitas lingkungan mikroba. Pada pH ini, enzim-enzim bakteri bekerja dengan efisiensi maksimum tanpa risiko kerusakan struktur protein. Pengaturan kelembaban juga menjadi faktor yang tidak kalah penting. Kelembaban yang cukup tidak hanya membantu menjaga stabilitas medium fermentasi tetapi juga memastikan mikroba tetap aktif dalam kondisi aerobik. Dengan pengaturan parameter lingkungan yang tepat, isolat A. xylinum yang dihasilkan akan memiliki kualitas tinggi dan dapat digunakan untuk produksi skala besar (Sari et al., 2021).

Setelah proses isolasi selesai dan mikroba diperoleh dalam kondisi murni, A. xylinum dapat diaplikasikan dalam produksi nata de coco yang dilakukan pada berbagai skala, baik laboratorium maupun industri. Pada skala industri, produksi nata dimulai dengan persiapan medium fermentasi yang umumnya menggunakan sirup kelapa atau air kelapa sebagai substrat utama. Air kelapa mengandung sukrosa alami yang menjadi sumber karbon, serta kaya akan mineral seperti kalium, magnesium, dan kalsium, yang semuanya berkontribusi pada pertumbuhan bakteri. Sirup kelapa juga sering diperkaya dengan sumber nitrogen seperti urea atau pupuk ammonium sulfat untuk meningkatkan sintesis protein mikroba. Medium ini disterilkan terlebih dahulu untuk menghindari kontaminasi oleh mikroorganisme lain

(14)

yang dapat bersaing dengan A. xylinum selama proses fermentasi berlangsung (Haryanto et al., 2020).

Fermentasi berlangsung selama 7 hingga 14 hari, tergantung pada kondisi lingkungan seperti suhu, aerasi, dan konsentrasi nutrisi dalam medium. Pada tahap awal fermentasi, A. xylinum memanfaatkan sukrosa dalam medium untuk pertumbuhan dan pembelahan sel. Sukrosa ini dihidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa oleh enzim sukrase yang diproduksi oleh bakteri. Glukosa kemudian diubah menjadi selulosa melalui jalur metabolik yang melibatkan aktivitas enzim isomerase dan selulase.

Proses ini menghasilkan lapisan tipis selulosa di permukaan medium, yang secara bertahap menebal seiring waktu fermentasi. Lapisan selulosa yang terbentuk memiliki struktur nano-fiber yang sangat terorganisir, memberikan sifat mekanik yang baik pada nata, seperti kekuatan tarik yang tinggi dan daya serap air yang optimal (Sari et al., 2021; Haryanto et al., 2020).

Kualitas nata yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh faktor fermentasi, seperti konsentrasi oksigen, komposisi medium, dan durasi fermentasi. A. xylinum merupakan bakteri aerobik obligat, sehingga ketersediaan oksigen sangat penting selama proses fermentasi. Kekurangan oksigen dapat menyebabkan penurunan produksi selulosa dan menghasilkan nata dengan kualitas rendah, seperti lapisan yang tipis atau kurang elastis. Selain itu, durasi fermentasi juga perlu disesuaikan dengan jenis substrat yang digunakan. Fermentasi yang terlalu lama dapat menyebabkan peningkatan kandungan air dalam matriks selulosa, yang membuat nata menjadi terlalu lunak dan kurang diminati di pasar (Asri &

Wisanti, 2020).

Setelah fermentasi selesai, nata yang dihasilkan melalui serangkaian proses pasca-produksi, seperti pencucian, pemotongan, dan pemrosesan lebih lanjut. Pencucian nata bertujuan untuk menghilangkan residu medium fermentasi dan bau asam yang disebabkan oleh produksi asam asetat selama fermentasi. Nata kemudian direndam dalam larutan gula untuk meningkatkan rasa dan tekstur sebelum dikemas menjadi produk akhir.

(15)

Produk nata de coco yang dihasilkan tidak hanya digunakan sebagai bahan tambahan dalam makanan dan minuman, tetapi juga memiliki potensi aplikasi dalam industri kosmetik dan farmasi. Selulosa yang dihasilkan oleh A. xylinum memiliki sifat biokompatibilitas dan biodegradabilitas yang tinggi, sehingga dapat digunakan dalam pembuatan pembalut luka, hidrogel, atau bahkan pelapis antimikroba (Nursiwi et al., 2019).

Penggunaan ekstrak tumbuhan dalam medium fermentasi juga memiliki keuntungan lain, seperti peningkatan kadar mineral dan vitamin dalam medium. Mineral seperti magnesium dan kalsium diketahui dapat meningkatkan aktivitas enzim yang terlibat dalam sintesis selulosa. Oleh karena itu, penggunaan kombinasi bahan organik dan anorganik dalam medium fermentasi sering kali menjadi pendekatan yang efektif untuk meningkatkan hasil produksi nata de coco (Marsigit 2005).

Dengan meningkatnya permintaan pasar terhadap nata de coco sebagai bahan tambahan dalam makanan dan minuman, penelitian terkait optimalisasi produksi menjadi semakin penting. Diversifikasi produk berbasis nata juga memberikan peluang besar bagi industri pangan, baik dalam skala domestik maupun internasional. Namun, keberhasilan produksi nata yang berkualitas memerlukan perhatian terhadap setiap faktor yang memengaruhi proses fermentasi. Kombinasi antara pemilihan substrat yang tepat, pengaturan parameter fermentasi, dan pemanfaatan sumber nutrien tambahan menjadi kunci utama untuk mencapai hasil yang optimal (Pratiwi et al 2005) (Putri 2018) (Mahadi 2015).

Permintaan global terhadap nata de coco terus meningkat seiring dengan diversifikasi penggunaannya dalam berbagai sektor. Produksi nata tidak hanya memberikan manfaat ekonomi tetapi juga menjadi peluang untuk inovasi berbasis bioteknologi. Dengan optimalisasi parameter produksi, seperti pemilihan substrat, pengaturan lingkungan, dan modifikasi medium fermentasi, diharapkan produksi nata de coco dapat memenuhi kebutuhan pasar yang terus berkembang. Penelitian lebih lanjut tentang pengembangan substrat alternatif dan teknik fermentasi modern, seperti fermentasi batch atau continuous fermentation, akan memberikan dampak

(16)

signifikan pada peningkatan efisiensi dan kualitas produksi (Sari et al., 2021; Haryanto et al., 2020)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 WAKTU & TEMPAT Waktu : Semester 1

Tempat : Laboratorium Bioproses Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Malang

3.2 ALAT & BAHAN Alat

1. Panci 2. Nampan 3. Pengaduk 4. Sendok makan 5. Kompor 6. Neraca analitik 7. Spatula

8. Cawan petri 9. Tabung reaksi 10. Autoclave 11. Inkubator

12. Laminar air flow 13. Pipet mikro Bahan

1. Air kelapa 2. Gula pasir 3. Air

4. Starter nata (Acetobacter xylinum) 3.3 SKEMA KERJA

(17)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 DEFINISI DAN KONSEP NATA DE COCO

Nata de coco adalah makanan penutup yang populer di Asia Tenggara, khususnya di Filipina. Makanan ini memiliki bentuk yang mirip dengan jeli, berwarna putih hingga bening, dan teksturnya kenyal. Nata de coco terbuat dari hasil fermentasi air kelapa, yang awalnya ditemukan di Filipina pada tahun 1949. Pada dasarnya, nata de coco dapat dikategorikan sebagai produk fermentasi, yang biasanya memiliki rasa manis dan asam yang segar, serta memberikan sensasi kenyal saat dimakan. Banyak orang menikmati nata de coco sebagai tambahan dalam berbagai hidangan penutup, minuman, atau bahkan dimakan langsung sebagai camilan yang menyegarkan.

Sejarah penemuan nata de coco dimulai pada tahun 1949, ketika seorang ilmuwan asal Filipina, Theodola Kalaw África, menemukan cara untuk mengolah air kelapa menjadi suatu produk yang dapat dimanfaatkan sebagai makanan penutup. Theodola, yang merupakan seorang ahli kimia di Philippine Coconut Authority, bekerja bersama para peneliti lainnya untuk mengembangkan produk alternatif yang dapat dibuat dari kelapa. Mereka awalnya fokus pada penelitian untuk menciptakan nata de piña, yaitu jeli yang terbuat dari sari nanas yang difermentasi. Namun, dalam proses eksperimen mereka, Theodola Kalaw África menemukan bahwa air kelapa, yang melimpah di Filipina, memiliki potensi untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan jeli yang kenyal dan bernilai gizi tinggi (Sanchez, Priscilla C. 2008).

Penemuan ini menjadi terobosan besar, karena kelapa merupakan sumber daya alam yang melimpah di Filipina dan di banyak negara tropis lainnya. Nata de coco yang pertama kali dikembangkan menggunakan air kelapa kemudian menjadi populer dan menyebar ke berbagai negara. Setelah penemuan ini, proses pembuatan nata de coco semakin disempurnakan sehingga produk tersebut dapat diproduksi dalam jumlah besar dan memiliki daya tahan yang lebih lama. Ini menjadikan nata de coco sebagai salah satu makanan yang tidak

(18)

hanya dikenal di Filipina, tetapi juga di berbagai negara Asia Tenggara dan bahkan di luar kawasan tersebut (Sharangi, Amit Baran; Datta, Suchand 2015).

Pada awalnya, nata de coco hanya tersedia di Filipina, namun lambat laun produk ini mulai diekspor ke berbagai negara dan menjadi sangat diminati di pasar internasional. Nata de coco pun kini tidak hanya digunakan sebagai bahan makanan penutup, tetapi juga menjadi bahan campuran dalam minuman, seperti es campur, koktail, atau minuman lainnya yang menyegarkan. Dengan teksturnya yang kenyal dan rasanya yang manis segar, nata de coco mampu memikat hati banyak orang. Selain itu, nata de coco juga memiliki beberapa manfaat kesehatan, seperti kandungan serat yang tinggi, yang baik untuk pencernaan (Tietze, Harald; Echano, Arthur 2006).

Kini, nata de coco telah menjadi bagian penting dalam kuliner Asia Tenggara dan dikenal di banyak negara. Keberadaannya terus berkembang, baik dalam variasi rasa maupun dalam jenis produk turunan yang dibuat dari nata de coco. Produk ini membuktikan bagaimana inovasi dalam memanfaatkan bahan lokal dapat menghasilkan produk yang tidak hanya bergizi, tetapi juga sangat disukai oleh banyak orang di seluruh dunia. Dengan perkembangan teknologi dan meningkatnya kesadaran akan manfaat kesehatan, popularitas nata de coco diperkirakan akan terus meningkat dalam waktu yang akan datang ( Savina, 2024).

4.2 PERAN BAKTERI DALAM PEMBUATAN NATA DE COCO

Acetobacter xylinum, sebuah jenis bakteri asam asetat, memiliki peran yang sangat penting dalam pembuatan nata de coco, terutama dalam proses fermentasi yang menghasilkan selulosa. Bakteri ini, yang termasuk dalam kelompok bakteri probiotik, memiliki kemampuan luar biasa dalam mengubah gula yang terdapat dalam air kelapa menjadi selulosa melalui proses biokimia yang dikenal sebagai polimerisasi. Selulosa yang dihasilkan oleh Acetobacter xylinum kemudian membentuk sebuah matriks yang dikenal dengan nama nata, yang memberikan tekstur kenyal yang sangat khas pada produk akhir.

Proses fermentasi ini dimulai ketika Acetobacter xylinum memanfaatkan gula alami, terutama glukosa yang terkandung dalam air kelapa, sebagai sumber energi. Bakteri ini mengkonsumsi gula tersebut dan menghasilkan asam asetat sebagai produk sampingan. Sebagai bagian dari metabolismenya, bakteri ini

(19)

kemudian memproduksi selulosa yang membentuk lapisan tipis yang melapisi permukaan cairan tempat bakteri tersebut tumbuh, menciptakan tekstur kenyal yang menjadi ciri khas nata de coco. Proses fermentasi ini biasanya berlangsung selama beberapa hari hingga terbentuk lapisan selulosa yang cukup tebal.

Dalam proses ini, Acetobacter xylinum berfungsi tidak hanya sebagai penghasil selulosa, tetapi juga sebagai agen yang mengubah struktur bahan dasar (air kelapa) menjadi bahan yang lebih berguna dan dapat dimanfaatkan dalam konsumsi manusia. Selulosa yang dihasilkan oleh bakteri ini memiliki sifat alami yang sangat bermanfaat bagi tubuh, seperti meningkatkan kesehatan pencernaan karena seratnya yang tinggi. Selain itu, selulosa juga memberikan daya tahan yang cukup lama pada produk nata de coco, menjadikannya lebih mudah disimpan dan didistribusikan.

Proses fermentasi yang melibatkan Acetobacter xylinum ini merupakan bagian dari bioteknologi konvensional yang memanfaatkan mikroorganisme untuk menghasilkan bahan makanan. Ini adalah contoh bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dimanfaatkan untuk mengolah bahan-bahan alami menjadi produk yang memiliki nilai tambah. Penggunaan mikroorganisme dalam produksi pangan seperti ini telah lama dikenal dalam berbagai industri makanan, mulai dari pembuatan roti, keju, hingga pembuatan produk fermentasi lainnya seperti tempe dan yoghurt.

Keberhasilan penggunaan Acetobacter xylinum dalam pembuatan nata de coco juga menunjukkan betapa pentingnya peran mikroorganisme dalam pengembangan produk-produk pangan yang bergizi dan bernilai ekonomi.

Selain memberikan rasa yang unik, tekstur yang kenyal, dan manfaat kesehatan yang tinggi, nata de coco juga menjadi produk yang menguntungkan secara ekonomi bagi negara penghasil kelapa, seperti Filipina. Dengan memanfaatkan proses fermentasi yang melibatkan bakteri ini, industri nata de coco dapat menghasilkan produk yang tidak hanya lezat, tetapi juga bermanfaat bagi kesehatan. Inovasi ini menjadi contoh nyata dari bagaimana penerapan prinsip- prinsip bioteknologi dapat memberikan manfaat besar bagi industri makanan, serta bagi konsumen yang menikmati hasilnya.

(20)

Selain itu, keberadaan Acetobacter xylinum juga mendukung keberlanjutan dalam produksi nata de coco, karena proses fermentasi ini menggunakan bahan dasar yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui, yaitu air kelapa. Dengan terus berkembangnya teknologi fermentasi dan pemahaman lebih mendalam mengenai peran mikroorganisme dalam produksi pangan, kita dapat berharap akan ada inovasi lebih lanjut yang dapat meningkatkan efisiensi produksi nata de coco, serta meningkatkan manfaat kesehatannya (Redaksi Manfaat, 2024).

Selain itu, Acetobacter xylinum adalah bakteri aerob yang membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya. Sebagai bakteri aerob, A. xylinum tidak dapat berkembang dengan baik dalam kondisi kekurangan oksigen. Oleh karena itu, pengaturan lingkungan yang cukup oksigen sangat penting untuk memastikan bakteri ini dapat tumbuh secara optimal dan menghasilkan selulosa yang dibutuhkan dalam pembuatan nata de coco. Dalam proses fermentasi, oksigen digunakan oleh bakteri ini untuk metabolisme gula menjadi energi dan menghasilkan produk sampingan berupa asam asetat dan selulosa.

Bakteri ini tumbuh optimal pada suhu sekitar 28°C, yang merupakan suhu yang cukup hangat namun tidak terlalu tinggi untuk mempengaruhi stabilitas proses fermentasi. Suhu yang lebih rendah atau lebih tinggi dapat menghambat aktivitas bakteri, yang dapat mengurangi efisiensi produksi selulosa. Oleh karena itu, suhu fermentasi yang tepat perlu dipertahankan agar Acetobacter xylinum dapat berkembang biak dengan baik dan memproduksi selulosa dalam jumlah yang optimal. Selain suhu, faktor lain yang sangat mempengaruhi pertumbuhan A. xylinum adalah pH media fermentasi. pH yang sesuai sangat penting karena dapat mempengaruhi aktivitas enzim dan metabolisme bakteri tersebut. Acetobacter xylinum tumbuh dengan baik pada pH yang berkisar antara 3,5 hingga 7,5. Peningkatan atau penurunan pH di luar rentang ini dapat menghambat proses fermentasi atau bahkan membunuh bakteri (Sherly Novia Yuana Putri. Dkk, 2021).

Pengaturan pH yang tepat memungkinkan A. xylinum untuk berkembang dengan baik dan menghasilkan selulosa dalam jumlah yang optimal. Proses pembuatan nata de coco yang melibatkan fermentasi air kelapa sangat bergantung pada keseimbangan pH yang terjaga dengan baik, karena hal ini

(21)

memengaruhi kemampuan bakteri dalam mengolah gula menjadi selulosa. Oleh karena itu, pengontrolan pH selama proses fermentasi sangat penting untuk mencapai kualitas nata de coco yang baik, dengan tekstur kenyal dan mutu yang tinggi.

Dalam proses pembuatan nata de coco, keberadaan sumber karbon seperti gula dan air kelapa sangat mendukung pertumbuhan bakteri ini. Air kelapa kaya akan gula alami, terutama glukosa, yang menjadi sumber utama energi bagi Acetobacter xylinum. Gula ini digunakan oleh bakteri untuk menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya serta untuk menghasilkan produk-produk sampingan yang penting, seperti asam asetat dan selulosa.

Keberadaan sumber karbon yang cukup dan berkualitas akan meningkatkan efisiensi produksi selulosa, karena bakteri akan lebih mudah mendapatkan energi untuk proses polimerisasi gula menjadi selulosa.

Efisiensi produksi selulosa dalam pembuatan nata de coco sangat bergantung pada kondisi lingkungan yang optimal bagi pertumbuhan A.

xylinum. Oleh karena itu, dalam industri pembuatan nata de coco, pengaturan suhu, pH, dan ketersediaan gula dalam air kelapa menjadi faktor yang sangat penting. Dengan memastikan faktor-faktor ini dijaga dengan baik, produksi nata de coco dapat berjalan dengan lancar dan menghasilkan produk dengan kualitas yang tinggi. Proses ini tidak hanya menunjukkan bagaimana bakteri dapat digunakan dalam bioteknologi untuk menghasilkan bahan pangan yang bergizi, tetapi juga menggambarkan pentingnya pengelolaan yang cermat dalam setiap tahap produksi untuk mencapai hasil yang optimal (Admin Bikin Pabrik, 2019).

Proses fermentasi dalam pembuatan nata de coco juga melibatkan penambahan asam asetat untuk mengatur keasaman media, yang sangat diperlukan agar Acetobacter xylinum dapat berfungsi secara maksimal. Sebagai bakteri yang sensitif terhadap perubahan pH, A. xylinum membutuhkan lingkungan yang terkontrol dengan baik agar dapat tumbuh optimal dan menghasilkan selulosa dalam jumlah yang cukup. Penambahan asam asetat ini bertujuan untuk menurunkan pH media fermentasi dan menjaga agar pH tetap berada dalam kisaran yang ideal, yaitu antara 3,5 hingga 7,5. Peningkatan keasaman ini sangat penting karena bakteri tersebut membutuhkan kondisi asam

(22)

untuk aktivitas enzimatik yang efisien, yang memungkinkan bakteri memetabolisme gula menjadi energi dan produk sampingan seperti selulosa dan asam asetat.

Keberadaan asam asetat dalam media juga membantu mengontrol pertumbuhan mikroorganisme lain yang dapat bersaing dengan Acetobacter xylinum, sehingga mencegah terjadinya kontaminasi yang dapat merusak proses fermentasi. Dengan mengatur pH secara hati-hati menggunakan asam asetat, lingkungan fermentasi menjadi lebih stabil dan mendukung bakteri untuk berkembang biak dengan cepat, menghasilkan selulosa yang menjadi bahan utama pembuatan nata de coco. Penjagaan pH yang tepat juga berperan dalam mengoptimalkan pengeluaran selulosa yang memiliki kualitas tinggi, baik dari segi tekstur maupun ketebalannya.

Selain pengaturan pH, proses fermentasi nata de coco juga membutuhkan berbagai nutrisi lain untuk mendukung pertumbuhan optimal Acetobacter xylinum. Salah satu nutrisi penting yang diperlukan adalah nitrogen, yang biasanya diperoleh dari senyawa urea. Nitrogen merupakan komponen utama dalam pembentukan asam amino dan protein yang dibutuhkan oleh bakteri untuk pertumbuhannya. Tanpa cukup nitrogen, bakteri ini akan kesulitan dalam melakukan biosintesis selulosa yang efisien. Dengan adanya tambahan nitrogen dalam bentuk urea, A. xylinum dapat memproduksi protein dan enzim yang dibutuhkan untuk mempercepat proses polimerisasi gula menjadi selulosa. Oleh karena itu, ketersediaan nitrogen dalam media fermentasi memiliki dampak langsung terhadap kualitas dan kuantitas selulosa yang dihasilkan.

Proses biosintesis selulosa itu sendiri melibatkan serangkaian reaksi biokimia yang kompleks, yang membutuhkan sejumlah sumber daya dari media fermentasi, termasuk gula sebagai sumber karbon, asam asetat untuk pengaturan pH, dan nitrogen untuk mendukung pertumbuhan bakteri. Semua faktor ini bekerja bersama-sama untuk memastikan bahwa Acetobacter xylinum dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan nata de coco dengan kualitas yang diinginkan. Dengan adanya asam asetat yang mengatur keasaman dan nitrogen yang mendukung biosintesis selulosa, bakteri ini dapat memanfaatkan sumber daya yang tersedia secara maksimal.

(23)

Secara keseluruhan, proses fermentasi dalam pembuatan nata de coco merupakan contoh penerapan bioteknologi yang sangat bergantung pada pengelolaan lingkungan yang cermat dan pemberian nutrisi yang tepat. Dengan mengoptimalkan faktor-faktor seperti pH, suhu, dan ketersediaan nutrisi, hasil produksi nata de coco dapat ditingkatkan, menghasilkan produk dengan tekstur kenyal yang sempurna dan rasa yang enak. Inovasi dalam proses fermentasi ini juga menjadi bukti pentingnya pengendalian kondisi mikrobiologis dalam industri pangan, di mana mikroorganisme seperti Acetobacter xylinum memainkan peran yang sangat vital dalam menciptakan produk yang bergizi dan bernilai jual tinggi.

Secara keseluruhan, Acetobacter xylinum tidak hanya berperan sebagai agen fermentasi, tetapi juga sebagai penghasil selulosa yang esensial dalam pembuatan nata de coco. Bakteri ini memiliki kemampuan unik untuk mempolimerisasikan glukosa yang terkandung dalam air kelapa menjadi selulosa melalui proses biokimia yang disebut polimerisasi. Polimerisasi glukosa ini memungkinkan bakteri untuk mengubah gula sederhana menjadi struktur yang lebih kompleks, yaitu selulosa, yang membentuk matriks kenyal yang menjadi dasar dari nata de coco. Kemampuan ini sangat penting karena selulosa adalah komponen utama yang menentukan tekstur nata de coco yang kenyal, serta memberikan daya tahan yang cukup lama pada produk akhir.

Selain itu, proses polimerisasi ini juga menunjukkan betapa luar biasanya bakteri ini dalam mengolah sumber daya alam seperti air kelapa. Dengan memanfaatkan gula alami yang terkandung dalam air kelapa, Acetobacter xylinum dapat mengubahnya menjadi produk bernilai tinggi, yang tidak hanya memiliki rasa yang menyegarkan, tetapi juga memiliki kandungan serat yang bermanfaat bagi kesehatan. Keberhasilan bakteri ini dalam memproduksi selulosa merupakan kunci utama dalam menghasilkan produk akhir yang berkualitas tinggi dan bernutrisi. Selulosa yang dihasilkan oleh A. xylinum memiliki sifat alami yang sangat bermanfaat, salah satunya adalah kemampuannya untuk meningkatkan pencernaan karena kandungan seratnya yang tinggi.

(24)

Selulosa yang dihasilkan dalam proses fermentasi juga memberikan tekstur yang sangat khas pada nata de coco. Dengan ketebalan yang bervariasi, selulosa tersebut menciptakan sensasi kenyal yang menjadi ciri khas makanan ini. Tidak hanya itu, selulosa juga berfungsi sebagai pengikat yang menjaga konsistensi produk, menjadikannya lebih mudah diproses, disimpan, dan didistribusikan.

Hal ini penting karena memungkinkan nata de coco untuk bertahan lebih lama dan tetap memiliki kualitas yang baik meskipun telah diproduksi dalam jumlah besar.

Peran Acetobacter xylinum dalam pembuatan nata de coco juga menunjukkan bagaimana mikroorganisme dapat dimanfaatkan dalam bioteknologi untuk menghasilkan bahan makanan yang bernilai tinggi. Dengan kemampuan bakteri ini untuk memanfaatkan bahan dasar alami dan menghasilkan selulosa, proses pembuatan nata de coco menjadi lebih efisien dan ramah lingkungan. Selain itu, penggunaan mikroorganisme dalam proses ini membuka peluang untuk mengembangkan teknologi yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan dalam industri pangan.

Proses fermentasi yang melibatkan A. xylinum juga mengajarkan kita tentang pentingnya pengelolaan mikroorganisme dalam produksi pangan.

Dengan mengatur kondisi seperti suhu, pH, dan ketersediaan sumber karbon serta nitrogen, hasil produksi nata de coco dapat dipastikan memiliki kualitas yang tinggi. Oleh karena itu, peran Acetobacter xylinum tidak hanya terbatas pada tahap fermentasi, tetapi juga pada keseluruhan proses produksi yang memastikan bahwa produk akhir tidak hanya enak dan kenyal, tetapi juga bergizi tinggi.

Dengan kata lain, Acetobacter xylinum bukan hanya bakteri yang berperan dalam fermentasi, tetapi juga berfungsi sebagai agen utama yang mengubah bahan dasar sederhana menjadi produk yang lebih kompleks dan bermanfaat.

Kemampuan bakteri ini dalam menghasilkan selulosa adalah kunci utama dalam menciptakan nata de coco, sebuah produk yang telah menjadi bagian dari kuliner Asia Tenggara dan semakin populer di seluruh dunia. Dengan berbagai manfaat yang ditawarkan, baik dari segi rasa, tekstur, maupun manfaat kesehatan, nata de coco menjadi contoh sempurna dari bagaimana

(25)

mikroorganisme dapat memainkan peran vital dalam industri pangan modern (Redaksi Manfaat, 2024).

4.3 PROSES PRODUKSI NATA DE COCO 4.3.1 Persiapan Bahan Baku

Nata de coco adalah produk fermentasi berbasis selulosa yang dihasilkan oleh bakteri Acetobacter xylinum. Produk ini memiliki tekstur kenyal dan kaya serat, menjadikannya populer sebagai bahan makanan maupun minuman. Proses pembuatan nata de coco melibatkan bahan utama berupa air kelapa, gula, dan nutrisi tambahan yang diproses melalui fermentasi. Kunci keberhasilan produksi nata de coco terletak pada kebersihan bahan baku, alat, dan lingkungan untuk mencegah kontaminasi yang dapat merusak proses fermentasi.

Bahan baku utama seperti air kelapa dipilih karena kandungan nutrisinya yang mendukung pertumbuhan bakteri. Gula pasir digunakan sebagai sumber karbon, sementara nutrisi tambahan seperti asam asetat digunakan untuk menjaga pH media. Penjelasan berikut mencakup langkah-langkah persiapan bahan baku, pengendalian kontaminasi, serta proses fermentasi secara rinci (Sudarmadji, 1997; Kuswandi, 2006).

Air kelapa digunakan sebagai media utama dalam pembuatan nata de coco karena mengandung berbagai senyawa organik penting, seperti glukosa, fruktosa, mineral, dan vitamin. Kandungan nutrisi yang terdapat dalam air kelapa tersebut memberikan lingkungan yang ideal bagi Acetobacter xylinum untuk menghasilkan selulosa. Glukosa, yang menjadi sumber utama energi bagi bakteri, memungkinkan Acetobacter xylinum melakukan proses polimerisasi yang mengubahnya menjadi selulosa, yang pada akhirnya membentuk nata de coco dengan tekstur kenyal. Pemilihan air kelapa segar sangat penting dalam proses ini karena air kelapa yang sudah lama disimpan cenderung terkontaminasi mikroorganisme atau kehilangan sebagian nutrisinya, yang dapat mempengaruhi kualitas fermentasi dan produk yang dihasilkan.

(26)

Sebelum digunakan, air kelapa disaring menggunakan kain kasa bersih atau saringan halus untuk menghilangkan kotoran dan partikel padat yang bisa mencemari media fermentasi. Proses penyaringan ini membantu memastikan bahwa media fermentasi tetap bersih dan bebas dari kontaminan yang dapat mengganggu pertumbuhan Acetobacter xylinum. Setelah proses penyaringan, air kelapa kemudian dipanaskan hingga suhu mendidih (100°C) selama 10 hingga 15 menit. Pemanasan ini berfungsi untuk membunuh mikroorganisme patogen yang dapat mengganggu proses fermentasi, sehingga hanya mikroorganisme yang diinginkan, yaitu Acetobacter xylinum, yang dapat berkembang. Setelah dipanaskan, air kelapa didinginkan hingga suhu kamar untuk mencegah kerusakan nutrisi akibat suhu tinggi yang dapat mengurangi kualitas air kelapa itu sendiri (Rahmawati, 2010; Astuti, 2012).

Selain pengolahan air kelapa, pengendalian kontaminasi juga dilakukan pada alat dan wadah yang digunakan dalam proses fermentasi.

Sterilisasi wadah fermentasi, seperti loyang atau baki, dilakukan dengan merendamnya dalam air mendidih atau mencucinya menggunakan larutan desinfektan. Tujuan dari proses sterilisasi ini adalah untuk mencegah masuknya mikroorganisme liar yang dapat bersaing dengan Acetobacter xylinum dan merusak proses fermentasi yang sedang berlangsung (Sudarmadji, 1997).

Selain air kelapa, gula juga merupakan komponen penting dalam media fermentasi nata de coco. Acetobacter xylinum membutuhkan gula sebagai sumber energi utama untuk membentuk lapisan selulosa. Jenis gula yang biasa digunakan adalah gula pasir putih (sukrosa) karena mudah larut dalam air dan tidak mengandung pengotor. Kadar gula yang ideal dalam media fermentasi berkisar antara 8 hingga 10%, karena konsentrasi yang terlalu tinggi dapat menghambat pertumbuhan bakteri akibat tekanan osmotik yang berlebihan. Gula ditambahkan ke dalam air kelapa yang telah dipanaskan dan disaring. Setelah gula larut, larutan dipanaskan kembali untuk memastikan bahwa larutan tersebut tetap steril. Penting untuk memastikan larutan gula dalam air kelapa tidak

(27)

terlalu pekat atau encer, karena konsistensi media akan memengaruhi pembentukan nata de coco. Pengadukan dilakukan menggunakan alat yang telah disterilkan untuk menghindari kontaminasi (Winarno, 2002;

Suprapti, 2005).

Selain air kelapa dan gula, beberapa nutrisi tambahan sering ditambahkan untuk mempercepat pertumbuhan Acetobacter xylinum dan mendukung proses biosintesis selulosa. Salah satu nutrisi tambahan yang digunakan adalah asam asetat. Asam asetat ditambahkan untuk menurunkan pH media menjadi 4 hingga 4,5, yang merupakan kondisi optimal bagi Acetobacter xylinum untuk berkembang biak. Kondisi pH yang sedikit asam ini juga penting untuk mencegah pertumbuhan bakteri lain yang tidak diinginkan dan mendukung aktivitas enzimatik Acetobacter xylinum dalam memproduksi selulosa. Penyesuaian pH dilakukan secara hati-hati dengan menambahkan asam asetat atau larutan asam sitrat secara bertahap sambil memantau pH menggunakan pH meter untuk memastikan pH tetap berada dalam kisaran yang tepat.

Beberapa produsen juga menambahkan amonium sulfat atau urea sebagai sumber nitrogen dalam media fermentasi. Nitrogen diperlukan oleh bakteri untuk membentuk protein dan enzim yang terlibat dalam sintesis selulosa. Penambahan nutrisi tambahan ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengganggu keseimbangan nutrisi dalam media fermentasi, karena ketidakseimbangan dapat memengaruhi pertumbuhan Acetobacter xylinum dan kualitas produk akhir (Kuswandi, 2006; Astuti, 2012). Untuk memastikan distribusi nutrisi yang merata, semua bahan harus dicampur secara homogen menggunakan pengadukan yang lembut. Proses pengadukan ini dilakukan dalam kondisi steril untuk menghindari kontaminasi dari lingkungan luar yang dapat merusak media fermentasi (Rahmawati, 2010).

Setelah media fermentasi siap, starter kultur Acetobacter xylinum ditambahkan. Starter ini biasanya berupa larutan yang mengandung bakteri aktif dalam konsentrasi tinggi. Starter harus dicampurkan ke dalam media pada suhu kamar, karena suhu yang terlalu tinggi dapat

(28)

membunuh bakteri dan mengurangi efektivitas fermentasi. Fermentasi dilakukan dalam wadah steril yang tertutup kain kasa atau plastik berlubang untuk mencegah masuknya debu dan serangga. Wadah fermentasi disimpan di tempat yang terlindung dari cahaya langsung pada suhu 28 hingga 30°C selama 7 hingga 10 hari. Selama proses fermentasi, lapisan nata akan terbentuk di permukaan media sebagai hasil dari produksi selulosa oleh bakteri (Widyastuti, 2011).

4.3.2 Tahap Inokulasi Bakteri

Inokulasi merupakan tahap penting dalam produksi nata de coco, di mana kultur bakteri Acetobacter xylinum dicampurkan dengan medium fermentasi yang telah disiapkan. Kultur ini biasanya diperoleh dari starter yang sudah diperbanyak sebelumnya. Starter berupa larutan dengan konsentrasi bakteri yang tinggi dan dalam kondisi aktif, yang memiliki peran utama dalam memulai proses fermentasi. Bakteri ini memanfaatkan gula dalam medium fermentasi untuk memproduksi selulosa, yang nantinya akan membentuk lapisan nata de coco di permukaan medium. Proses inokulasi ini merupakan langkah penting dalam memastikan bahwa bakteri yang digunakan cukup banyak dan aktif untuk memulai fermentasi dengan baik.

Pencampuran starter dengan medium fermentasi dilakukan dengan menambahkan starter ke dalam medium yang telah disterilkan dan didinginkan hingga suhu kamar (28–30°C). Penambahan starter biasanya dilakukan sebanyak 10–20% dari volume total medium untuk memastikan pertumbuhan bakteri berlangsung optimal. Penggunaan suhu yang tepat pada tahap ini sangat penting, karena suhu yang terlalu tinggi dapat membunuh bakteri, sementara suhu yang terlalu rendah akan memperlambat aktivitas bakteri dan memperburuk hasil fermentasi (Sudarmadji, 1997). Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa suhu media berada pada kisaran yang sesuai sebelum inokulasi dilakukan.

Setelah starter dicampurkan dengan medium, pengadukan dilakukan secara perlahan untuk memastikan starter tercampur merata di dalam

(29)

medium tanpa merusak struktur bakteri. Hal ini penting agar bakteri dapat tersebar dengan baik dalam medium dan memulai proses fermentasi dengan efektif. Setelah pengadukan, medium fermentasi yang telah dicampur dengan starter dituangkan ke dalam wadah steril, seperti loyang atau baki plastik, dengan ketebalan sekitar 2 hingga 3 cm.

Ketebalan ini ideal untuk memastikan oksigen cukup tersedia di seluruh permukaan medium, karena bakteri membutuhkan oksigen untuk memproduksi selulosa yang membentuk lapisan nata (Rahmawati, 2010).

Penambahan starter yang merata dan ketebalan media yang tepat sangat mempengaruhi kualitas nata de coco yang dihasilkan.

Setelah inokulasi selesai, wadah fermentasi ditutup dengan kain kasa bersih atau plastik berlubang. Penutup ini berfungsi untuk mencegah masuknya debu, serangga, atau mikroorganisme lain yang dapat menyebabkan kontaminasi, tanpa menghambat pertukaran udara yang dibutuhkan oleh bakteri selama fermentasi. Penutup yang digunakan harus cukup longgar agar udara dapat mengalir dengan baik dan bakteri tetap dapat melakukan proses fermentasi dengan optimal (Astuti, 2012).

Pada tahap inokulasi, ada beberapa teknik sterilisasi yang perlu dilakukan untuk mencegah kontaminasi. Yang pertama adalah sterilisasi medium fermentasi. Medium fermentasi yang terbuat dari campuran air kelapa dan gula harus disterilkan dengan cara memanaskan larutan tersebut hingga mendidih (100°C) selama 10 hingga 15 menit. Pemanasan ini bertujuan untuk membunuh mikroorganisme patogen, jamur, dan bakteri liar yang mungkin ada dalam medium fermentasi. Sterilisasi medium harus dilakukan sebelum penambahan starter agar bakteri Acetobacter xylinum dapat berkembang tanpa adanya kompetisi dari mikroorganisme lain. Setelah dipanaskan, medium didinginkan hingga suhu kamar agar tidak merusak starter yang akan ditambahkan (Winarno, 2002).

Yang kedua adalah sterilisasi alat dan wadah yang digunakan selama proses inokulasi. Alat seperti spatula, sendok, loyang, atau baki fermentasi perlu disterilkan agar tidak membawa kontaminan yang dapat mengganggu proses fermentasi. Sterilisasi dapat dilakukan dengan

(30)

beberapa cara, antara lain dengan merendam alat dalam air mendidih selama 10–15 menit untuk membunuh mikroorganisme, atau menggunakan autoklaf pada suhu 121°C dengan tekanan 15 psi selama 15–20 menit untuk hasil yang lebih efektif. Setelah disterilkan, alat dan wadah harus dibiarkan mengering di tempat yang bersih sebelum digunakan untuk menghindari kontaminasi ulang (Kuswandi, 2006).

Penyimpanan alat dalam lingkungan yang steril sangat penting agar alat tidak terkontaminasi lagi sebelum digunakan.

Yang ketiga adalah sterilisasi lingkungan kerja. Lingkungan tempat inokulasi dilakukan harus bersih dan bebas dari sumber kontaminasi.

Idealnya, inokulasi dilakukan di ruang tertutup dengan ventilasi yang baik untuk menjaga kebersihan dan kualitas udara. Permukaan meja kerja harus disterilkan menggunakan alkohol 70% atau larutan desinfektan sebelum digunakan. Selain itu, penggunaan masker, sarung tangan, dan pakaian steril sangat dianjurkan untuk mencegah kontaminasi dari pekerja yang dapat memengaruhi hasil fermentasi (Widyastuti, 2011).

Setelah inokulasi, wadah fermentasi harus disimpan di tempat yang terlindung dari cahaya langsung dengan suhu stabil sekitar 28 hingga 30°C. Suhu ini sangat penting untuk mendukung aktivitas optimal bakteri Acetobacter xylinum dalam menghasilkan selulosa. Proses fermentasi ini berlangsung selama 7 hingga 10 hari, di mana lapisan nata yang kenyal akan terbentuk di permukaan medium. Untuk mencegah kontaminasi selama fermentasi, wadah fermentasi harus diberi penutup yang tepat.

Penutup berupa kain kasa atau plastik berlubang harus dipastikan bersih dan bebas dari debu. Penutup yang terlalu rapat dapat menghambat pasokan oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menghasilkan selulosa (Astuti, 2012). Proses fermentasi yang dilakukan dengan langkah-langkah sterilisasi yang hati-hati dan pengelolaan yang tepat akan menghasilkan nata de coco berkualitas tinggi dan bebas dari kontaminasi mikroorganisme yang tidak diinginkan.

(31)

4.4 STUDI KASUS DAN UJI COBA PEMBUATAN NATA DE COCO 4.4.1 Studi Produksi Skala Laboratorium

Pembuatan Kultur Starter nata de coco Air kelapa = 5.000 ml

Penyusutan 5% = 5/100 x 5.000 ml = 250 ml

Air kelapa yang digunakan = 5.000 ml – 250 ml = 4.750 ml Gula 7,5% = 7,5 g/ 100 ml x 4.750 ml = 356,25 gram = 356 gram Urea 0,5% = 0,5 g/ 100 ml x 4.750 ml = 23,75 gram =24 gram Starter A. Xylinum 10% = 10 g/ 100 ml x 4.750 ml = 475 gram Pembuatan Kultur Antara nata de coco

Air kelapa = 18 L = 18.000 ml

Penyusutan 10% = 10/100 x 18.000 ml = 1.800 ml

Air kelapa yang digunakan = 18.000 ml- 1.800 ml = 16.200 ml Gula 10% = 10 g/ 100 ml x 16.200 ml = 1.620 g

Urea 0,5%= 0,5 g/ 100 ml x 16.200 ml = 81 g

Starter 10% = 10 ml/ 100 ml x 16.200 ml = 1.620 ml

Pengolahan minuman olahan nata de coco Total Nata De Coco

A. Grade A = 5.969 gram B. Grade B = 896 gram

Konsentrasi larutan gula 5% = 5 g gula/ 100 ml air Total larutan awal = Air Gula + Sirup + Nata

= 22000 ml + 1000 ml + 5000 g

= 28000 ml

CMC 0.03 g/L = 0.03g

1000mlx28000ml=0.84g Asam Sitrat 0.08 g/L = 0.08g

1000mlx28000ml=2.24g Natrium Sitrat 0.025 g/L = 0.025g

1000mlx28000ml=0.70g

Total larutan akhir = 28000 ml + 0.84 ml + 2.24 ml + 0.70 ml

(32)

= 28003.78 ml Jumlah kemasan = 127 cup

Isi kemasan = Air :Nata

= 180 ml : 40 g

= 220 ml

Total padatan terlarut dan tingkat kemanisan medium nata = 16 oBrix.

Pembahasan

(33)

DAFTAR PUSTAKA

Baird, C., & Cann, M. (2012). Environmental Chemistry (5th ed.). W.H.

Freeman and Company.

Harris, D. C. (2015). Quantitative Chemical Analysis (9th ed.). W.H.

Freeman and Company.

Mendham, J., Denney, R. C., Barnes, J. D., & Thomas, M. (2000). Vogel's Textbook of Quantitative Chemical Analysis (5th ed.). Pearson Education.

Nabors, L. O., & Swaddle, T. W. (2002). Gravimetric Analysis. In

Quantitative Chemical Analysis (7th ed., pp. 100–120). W. H. Freeman and Company.

Samsuri, A., & Noor, M. (2020). Analysis of Sulfate Ions in Industrial Wastewater: A Gravimetric Method. Journal of Environmental Chemical Engineering, 8(3), 1044-1052.

Skoog, D. A., West, D. M., Holler, F. J., & Crouch, S. R. (2014).

Fundamentals of Analytical Chemistry (9th ed.). Brooks/Cole.

U.S. Environmental Protection Agency (EPA). (2007). Method 9038:

Determination of Sulfate in Water by Turbidimetric Method. EPA.

Wang, H., & Xia, J. (2019). Nickel and its Environmental Toxicology. In Environmental Chemistry Letters, 17(4), 1437-1446.

Referensi

Dokumen terkait

sebagian besar terdiri dari pati sekitar 75%. Dalam pembuatan nata, Acetobacter xylinum membutuhkan gula sebagai sumber karbon. Pati yang ada dalam air cucian beras

4.5 Produk Fermentasi Nata dalam Perspektif Hukum Islam Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh konsentrasi gula kelapa dan starter bakteri Acetobacter xylinum telah

Bakteri Acetobacter xylinum akan dapat membentuk nata jika ditumbuhkan dalam air kelapa yang sudah diperkaya dengan Karbon © dan Nitrogen (N), melalui proses

Program pelatihan pembuatan dan pengemasan nata de coco yang penulis rencanakan adalah kegiatan pelatihan tentang bagaimana pembuatan nata de coco, hal ini dilakukan karena

tugas akhir skripsi yang berjudul “ Penyusunan Modul Pengayaan Bakteri untuk Siswa SMA Kelas X semester Gasal Berdasarkan Pola Pertumbuhan Acetobacter Xylinum pada Pembuatan

Bakteri Acetobacter xylinum akan dapat membentuk nata jika ditumbuhkan dalam air kelapa yang sudah diperkaya dengan Karbon © dan Nitrogen (N), melalui proses

Bio-Lectura: Jurnal Pendidikan Biologi, Vol 6, No 2, Oktober 2019 POTENSI ACETOBACTER XYLINUM DALAM PEMBUATAN NATA DE SYZYGIUM Sri Wahyuni1 Jumiati2, 12Program Studi Pendidikan

Pembuatan nata de coco dengan menggunakan skim dan air kelapa tanpa tambahan