Page 124 of 135
PEMILU SEDERHANA DAN BIAYA RINGAN DENGAN SISTEM PROPORSIONAL TERTUTUP
UNIVERSITAS ANDI DJEMMA Jalan H. Puang Daud, No.04, Kota Palopo
HAEDAR DJIDAR [email protected]
Abstrak.
Penerapan sistem proporsional terbuka ditengah sistem multipartai membuat pelaksanaannya menjadi rumit dan sangat kompleks. Keruwetan dalam teknis pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara memunculkan berbagai macam masalah yang menyedot energi penyelenggara yang tidak sedikit. Pada Pemilu antara tahun 1955 hingga Pemilu 1999, Indonesia sempat menggunakan sistem pemilu proporsional tertutup. Namun, sistem ini berubah pada Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019, yang menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka. Dalam artikel ini, akan menjelaskan sistem proporsional tertutup, kelebihan dan kekurangannya. Penelitian ini di lakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, dengan mengabstrasi bahan-bahan hukum, baik primer, bahan skunder maupun tersier dengan pendekatan kualitatif. Selanjuntnya dianalisis dengan metode inventarisasi, identifikasi, klasifikasi, sistematisasi dan interpretasi. Sehingga diharapkan peneulisan ini nantinya memberikan masukan kritis terhadap kompleksnya pelaksanaan pemilu 2024 jika partai politik peserta pemilu bertambah dengan tetap menggunakan sistem proporsional varian terbuka berbasis suara terbanyak, masih adakah yang mau menjadi petugas KPPS dengan beban kerja yang hampir diluar kapasitas normal, berapa biaya honor yang mesti ditambahkan, berapa banyak anggaran yang mesti disediakan untuk menyelenggarakan pemilu yang kompleks seperti itu. Sedangkan Penghematan anggaran seperti yang banyak diperkirakan dalam pemilu serentak 2019 ternyata tidak terbukti, bahkan jika dibandingkan dengan pemilu 2014, anggaran pemilu 2019 justru mengalami peningkatan yang cukup besar.
Satu-satunya pilihan yang bisa diambil pada pelaksanaan pemilu 2024 adalah menggunakan sistem proporsional tertutup inilah pilihan paling memungkinkan diantara berbagai macam pilihan yang ada untuk mencari model atau sistem pemilu serentak yang lebih efektif.
Kata Kunci; Pemilu, Sederhana, Proporsional Tertutup
1. PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara hukum yang demokratis, hal ini dengan jelas tercantum dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi, “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar.” Dari hal ini, dapat terlihat bagaimana kedaulatan tertinggi Negara Indonesia terletak pada rakyat dan sepatutnya dijalankan berlandaskan UUD. Salah satu syarat dasar sebuah negara hukum demokratis menurut The International Commision of
Page 125 of 135
Yurist adalah adanya pemilihan umum yang bebas. Pemilihan Umum (Pemilu) mencerminkan kedaulatan rakyat untuk berkontribusi dalam memilih pemimpin yang dipercaya untuk menjalankan pemerintahan. Pemilihan Umum atau yang lazim disingkat dengan Pemilu merupakan perwujudan dalam upaya menata pemerintahan yang demokratis. Indonesia sebagai negara demokrasi dengan sistem perwakilan menjadikan pemilu sebagai mekanisme prosedural dalam menciptakan kedaulatan rakyat atas negara. Bahkan di pelbagai negara yang menganut paham demokrasi menganggap pemilu sebagai barometer atau tolok ukur demokrasi itu sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemilihan umum menjadi sarana dalam menyalurkan hak warga negara dan mendapatkan pengakuan dalam
“berdemokrasi”. Hasrat untuk membuat pemilu lebih hemat dan sederhana menjadi buyar, yang terjadi justru sebaliknya, penyelenggaraan pemilu serentak menjadi lebih kompleks dan mahal, pemilu legislatif di Indonesia yang memang dikenal sebagai pemilu paling rumit didunia justru ditambah lagi dengan pemilihan presiden dan wakil presiden.
Pembahasan dalam penulisan ini berfokus menyoroti pemilihan legislatif dengan hubungan antara format pemilu serentak nasional yang dilaksanakan dengan penerapan sistem proporsional terbuka
(open list system)
yang diselenggarakan dalam suasana multipartai dengan daftar calon mencapai ratusan pada setiap jenis atau tingkatan pemilihan legislatif. Kombinasi itu menciptkan peningkatan anggaran pemilu, dan pada tingkat pelaksanaan terutama pada tahapan distribusi logistik dan pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara memunculkan banyak masalah. Di Tahapan ini berbagai masalah yang muncul dan menumpuk yang terkadang melahirkan kepanikan petugas KPPS karena berbagai kebutuhan TPS belum lengkap sedangkan waktu pelaksanaannya sudah dimulai, administrasinya rumit, penghitungan suara yang membutuhkan waktu yang sangat lama, menjenuhkan, melelahkan, dan berbagai macam masalah yang terkait dengan tahapan ini.Pelaksanaan pemilihan umum atau pemilu 2019 berdasar pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 perkara pengujian UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi
(judicial review),
putusan ini menjadi tonggak bagi pelaksanaan pemilu serentak dan merupakan jenis pemilu yang baru dalam sejarah pemilu di Indonesia yaitu melaksanakan pemilu legislatif (memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD) dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara bersamaan.Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa konstitusionalitas dan original intent Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 selama ini telah diimplementasikan secara menyimpang oleh pembentuk Undang-Undang dengan membuat norma yang bertentangan dengan UUD 1945 melalui UU 42/2008 khususnya Pasal 3 ayat (5) yang berbunyi, “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD”. Artinya pemilu yang tidak serentak bertentangan dengan UUD 1945, namun dalam dasar pertimbangan MK bahwa penyelenggaraan Pilpres dan pemilu Anggota legislatif tahun 2009 dan 2014 yang diselenggarakan secara tidak serentak dengan segala akibat hukumnya harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional. Oleh karena itu sesuai dengan amanat
Page 126 of 135
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU- XI/2013 tersebut maka penyelenggaraan Pemilu pada tanggal 17 April 2019 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dilakukan secara serentak menggunakan sistem proporsional terbuka multipartai bagi Pemilu Anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, sedangkan untuk DPD menggunakan sistem distrik berwakil banyak. Pada hari pemilihan tersebut masyarakat pemilih menyalurkan aspirasinya di bilik suara melalui pencoblosan surat suara sebanyak lima kali yaitu untuk Presiden dan Wakil Presiden, DPD, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Sedangkan untuk pemilihan presiden dilakukan dengan sistem mayority run off (sistem putaran kedua) seperti yang tertuang Dalam Pasal 416 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu jo Pasal 6A ayat (3) UUD Tahun 1945 disebutkan pemenang pasangan capres terpilih memperoleh suara lebih dari 50 persen jumlah suara dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1⁄2 jumlah provinsi di Indonesia. Artinya, selain syarat 50 persen jumlah suara, ada syarat 20 persen suara dan melebihi 50 persen jumlah provinsi di Indonesia. Jika tidak ada pasangan capres-cawapres terpilih, pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam pilpres (putaran kedua) dengan mempertimbangkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang. Namun jika hanya terdapat dua pasangan calon maka ketentuan tersebut diatas tidak lagi digunakan.
2. METODE
Berdasarkan permasalahan yang penulis akan teliti, maka penulis menggunakan metode penelitiian hukum Normatif. Metode penelitian hukum normatif merupakan suatu metode penelitian hukum yang dalam penelitian menggunakan data kepustakaan yaitu metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara penelitian bahan Pustaka. Sumber data penelitian ini di dapat dari data data primer dan data sekunder, Data primer penulis dapatkan dari: Wawancara, yaitu cara memperoleh informasi dengan melakukan Tanya jawab secara langsung kepada pihak-pihak yang diwawancarai terutama kepada orang-orang yang berwenang, mengetahui dan terkait dengan masalah yang sedang di teliti, sedangakan data Sekunder yaitu data yang mendukung keterangan atau menunjang kelengkapan data primer, yang di mana bahan hukum sekunder, yaitu bahan- bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, yang terdiri atas hasil-hasil penelitian terdahulu, baik itu media, buku karangan sarjana, dan makalah-makalah dan juga sumber data tertulis lainya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Untuk memperoleh data dan informasi yang di perlukan, maka penulis memilih lokasi penelitian untuk mengetahui secara jelas objek penelitian ini, untuk itu penulis melakukan penelitian di beberapa kantor secretariat Partai Politik yang ada di wilayah Ibu Kota Negara Republik Indonesia.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Banyak pihak yang ingin mengembalikan pemisahan pemilu serentak setelah pelaksanannya dianggap menimbulkan masalah-masalah serta tingkat kerumitannya yang
Page 127 of 135
mempengaruhi kualitas proses pelaksanaan pemilu sehingga berpengaruh pada derajat demokrasi itu sendiri, bahkan wacana itu diusulkan Ketua periode DPR 2018-2019 Bambang Soesatyo dan sejumlah organisasi masyarakat sipil. Usulan itu secara garis besar terdiri dari dua opsi. Opsi pertama, mengembalikan pemilu seperti pada pemilu 2004-2009, dan 2014 dimana pemilihan legislatif terpisah dengan pemilihan presiden dan wakil presiden (pemilu nasional). Opsi kedua, pemilu Lokal yaitu pemilu untuk memilih anggota anggota DPRD Provinsi dan Kabupatan/Kota dan pemilihan kepala daerah Gubernur, bupati/walikota dipisahkan dari pemilihan anggota DPR, DPD dan Presiden dan Wakil Presiden. Olehnya itu mereka mengusulkan revisi Undang Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) bisa mengakomodir dua opsi tersebut untuk dibahas.
Keinginan tersebut tentu sangat wajar mengingat pemilu yang baru saja berlalu dianggap memiliki banyak masalah dalam pelaksanaannya. Ratusan petugas KPPS meninggal dan ribuan petugas sakit saat penyelenggaraan Pemilu 2019 salah satu masalah yang banyak menyita perhatian publik karena masalah yang sama tidak pernah terjadi sepanjang pemilu Indonesia. Namun menurut penulis tidak ada jalan lain untuk kembali ke model pemilu terpisah antara pemilu legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden, maupun pemisahan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu lokal karena kedua opsi tersebut sama- sama inkonstitusional, artinya tidak ada ruang dalam UUD 1945 yang membuka peluang pelaksanaan pemilu seperti itu. Satu-satunya opsi yang tersedia dan konstitusional yang bisa ditempuh adalah mengembalikan sistem pemilu dari varian proporsional terbuka (open list system) ke sistem proporsional tertutup (closed list system). Argument utamanya adalah sistem proporsional tertutup berpengaruh secara langsung dalam upaya menghemat, menyederhanakan serta memudahkan pelaksaan teknis kepemiluan yang dilakukan secara berjenjang. Dengan demikian berbagai permasalahan-permasalahan yang terjadi sepanjang pelaksanaan pemilu serentak 2019 yang lalu akan tereliminasi dengan sendirinya.
Pemilu di Indonesia sejak pemilu 2004 menggunakan sistem proporsional daftar terbuka dengan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak mulai diterapkan pada pemilu 2009 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU/VI/2008 yang menyatakan pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 bertentangan UUD 1945. Sebenarnya untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sesuai dengan putusan No 22- 24/PUU-VI/2008 MK sama sekali tidak memberlakukan atau mengharuskan dilakukan dengan sistem proporsional terbuka. MK hanya membatalkan ambang batas 30% bilangan pembagi pemilih (BPP) tersebut (dalam penentuan calon terpilih karena) karena mengandung ketidakadilan bagi para calon dan ketidakpastian bagi para pemilih. Misalkan disuatu Dapil II di Sulsel dari partai Apel secara berurutan terdiri dari Rahman, Hamzah, Wahid, dan Azis.
Rahman mendapat suara 900, Hamzah mendapat suara 15.000, Wahid mendapat 55.000, Azis mendapat suara 61.000. jika BPP di dapil tersebut 184.000 maka 30 Persen dari BPP adalah 61.333. dalam keadaan begini maka yang harus ditetapkan sebagai calon terpilih dari partai Apel adalah Rahman yang hanya mendapat 900 suara, sedangkan Azis yang mendapat 61.000 suara tidak terpilih karena suaranya kurang dari 30 persen BPP. (Mahfud, 2017 : 4).
Page 128 of 135
Dengan penjelasan tersebut diatas, kemudian dapat kita memahami bahwa MK hanya membatalkan pasal 214 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu legislatif yang menyatakan bahwa calon terpilih ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh sekurang-kurangnya 30 persen dari BPP. Pilihan sistem pemilu berpengaruh pada cara di mana batas-batas daerah pemilihan ditetapkan, bagaimana para pemilih didaftar, desain surat suara, bagaimana suara dihitung, dan banyak sekali aspek-aspek lain dalam proses pemilu, (Reynold, 2016 : 6).
Pilihan atas sistem pemilu adalah salah satu keputusan kelembagaan paling penting bagi demokrasi dimanapun, pilihan sistem dalam kasus Di Indonesia memiliki pengaruh terhadap proses pelaksanaan pemilu
(electoral process)
yaitu prosedur yang dijalankan dalam pemilu seperti pencalonan, cara penghitungan suara, penentuan hasil, dan sebagainya.Pemilu tahun 1999 yang dilaksanakan pada era Pemerintahan Transisi Presiden B.J.
Habibie berhasil dilalui meskipun dilaksanakan dalam suasana politik yang belum stabil. Diikuti 48 Partai Politik, pemilu 1999 berjalan cukup kondusif dan tidak banyak masalah yang muncul mengiringinya. Kesuksesan pemilu tidak terlepas dari sistem pemilu proporsional tertutup yang diterapkan pada saat itu. Namun sejak pemilu 2004 sistem pemilu di Indonesia berubah dari varian tertutup
(closed list system)
menjadi terbuka(open list system)
dimana surat suara tidak hanya berisi nomor, nama, lambang/logo partai politik (parpol) peserta pemilu namun juga berisi daftar nama-nama calon anggota legislatif. Dengan model surat suara seperti itu melahirkan kerumitan dalam operasionalisasi pelaksanaannya yang oleh para pengamat pemilu internasional yang tergabung dalam international observer menyebutnya sebagaithe most complex election system in the world
(sistem pemilu yang paling kompleks di dunia) (subekti, 2015:16)Pelaksanaan pemilu serentak 2019 yang baru saja berlalu yang diikuti 16 partai politik (multipartai ekstrim), semakin kompleks disebabkan oleh karena adanya lima jenis pemilihan sekaligus mulai dari pemilihan Presiden-Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/kota atau. Dalam pelaksanaannya seperti yang diketahui bersama yang diwarnai sejumlah persoalan, mulai dari jatuhnya korban di pihak penyelenggara karena kelelahan saat menjalankan tugasnya yang harus bekerja lebih dari 24 jam sampai penghitungan suara selesai di tempat pemungutan suara (TPS), pemilih kebingungan ketika harus memilih calon anggota legislatif karena jumlah partai berserta daftar calonnya yang terdapat dalam surat suara yang sangat banyak hingga ratusan calon. Distribusi logistik yang terhambat, surat suara yang tertukar, ketersediaan logistik masih terjadi, seperti keterlambatan kedatangan surat suara di TPS melebihi pukul 07.00 dan kekurangan surat suara. kekurangan formulir C1 plano, serta formulir C1 berita acara sertifikat dan tertukarnya C1 plano dan berbagai macam masalahmasalah yang menyelimutinya.
a. Pemilu Sederhana dengan Proporsional Tertutup.
Kerangka kerja kepemiluan, termasuk didalamnya sistem pemilu dan desain penyelenggaraan, menentukan baik hasil maupun kredibilitas proses pemilu, dan, pada gilirannya, akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi. Sistem
Page 129 of 135
pemilu, menurut
Morgenstan and Vazques D’Ella,
yang dikutip Djayadi Hanan, dimaknai seperangkat aturan yang mengelolah akses kepada kompetisi elektoral, sistem pemilu mencakup aspek-aspek seperti formula elektoral, ambang batas, waktu pelaksanaan pemilu (serentak atau tidak), dan sebagainya. (Hanan, 2016 : 4). Sedangkan Pada tingkatan paling dasar, sistem pemilu mengonversi suara dalam sebuah pemilihan umum menjadi kursi-kursi yang dimenangkan oleh partai dan calon. Variabel-variabel kuncinya adalah rumusan pemilu yang digunakan yakni, apakah sistem pluralitas/mayoritas, proporsional, campuran atau sistem lain yang dipakai, dan rumusan matematis apa yang dipakai untuk memperhitungkan alokasi kursi, struktur pemungutan suara yakni, apakah pemberi suara memilih seorang kandidat atau sebuah partai atau keduanya.Penggunaan sistem pemilu proporsional baik varian tertutup
(closed list system)
maupun terbuka(open list system)
adalah pilihan yang konstitusional atau yang secara konseptual disebut sebagai opened legal policy (kebijakan hukum pembuat UU), karena itulah sangat terbuka kesempatan untuk diterapkan kembali pada pemilu 2024 yang akan datang.Pemerintah dan DPR mesti menjadikan pemilu serentak 2019 sebagai pelajaran yang sangat berharga untuk mengevaluasi dan merancang bangun kelembagaan pemilu kedepan. Kita memiliki pengalaman dalam menggunakan sistem pemilu proporsional tertutup meskipun berlangsung dalam suasana multipartai yang sangat ekstrim seperti pada pemilu tahun 1999 yang diikuti 48 partai politik dengan pelaksanaan yang mendapat apresiasi yang tinggi baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri sebagai pemilu yang paling demokratis sejak pemilu tahun 1955.Oleh Karena itu dalam penelitian ini akan memaparkan dampak positif menyebar pada penggunaan sistem proporsional tertutup dalam pemilu serentak. Dikatakan menyebar karena secara otomatis akan berdampak pada unsur-unsur pelaksanaan teknis kepemiluan lainnya yang terkait. Termasuk sangat bisa memperbaiki orientasi pilihan pemilih
(split-ticket- voting)
dan atau bisa juga memperbaiki "efek ekor jas"(coat-tail effect).
Namun dalam makalah ini hanya fokus masalah masalah teknis kepemiluan seperti kebutuhan jumlah TPS yang berpengaruh secara signifikan terhadap anggaran pemilu, proses pemungutan dan penghitungan suara, pengisian jenis-jenis formulir, dan rekapitulasi yang dilakukan secara berjenjang.b. Biaya Ringan dengan Proporsional Tertutup.
Beberapa perbandingan anggaran untuk pemilu 2019 sebesar Rp. 25,59 trilyun dibanding pada pemilu 2014 sebesar Rp. 15,62 trilyun naik hingga 61% (Sakti, 2019 : 5).
Melihat kenaikan anggaran pemilu seperti itu kita segera mengetahui bahwa pelaksanaan pemilu serentak tidak merta membuat pembiayaan pemilu menjadi lebih murah seperti yang banyak diperkirakan oleh sebagian besar pihak. Karena begitu besarnya beban anggaran pemilu yang mesti ditanggung pemerintah, menurut Direktur Jenderal Anggaran Kementrian Keuangan, Askolani penganggarannya dialokasikan secara bertahap yaitu persiapan awal di tahun 2017 sekitar Rp. 465,71 miliar. Kemudian pada 2018 (alokasi) mencapai Rp. 9,33 triliun.
Selanjutnya di 2019, Rp.15,79 triliun. Salah satu komponen pembiayaan yang banyak menyedot anggaran pemilu adalah honor penyelenggara pemilu yaitu Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang bertugas di Tempat Pemungutan Suara (TPS)
Page 130 of 135
dan logistik pemilu. Terjadi lonjakan jumlah TPS yaitu sebanyak 810.329 (dalam Negeri) yang secara otomatis meningkatkan jumlah petugas KPPS yang berjumlah 7 orang per TPS, Sehingga jumlah total seluruh anggota KPPS sebanyak 5.659.500. dengan demikian menambah jumlah anggaran untuk pembayaran honor petugas KPPS, pengamanan/satlinmas, biaya pembuatan TPS dan konsumsi TPS.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor : S-118/MK.- 02/2016 tentang standar Honorarium, masing-masing seperti pada tabel dibawah ini:
Tabel 1. Besaran honor KPPS dan Pengamanan/satlinmas.
No Uraian Satuan Besaran Biaya
1 2 3 4
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)
Ketua Per/Kegiatan Rp. 550.000,-
Anggota Per/Kegiatan Rp. 500.000,-
Pengamanan TPS Per/Kegiatan Rp. 400.000,-
Sumber Data: Lampiran I Surat Menteri Keuangan Nomor : S-118/MK.02/2016
berikut rincian biaya yang dibutuhkan penyelenggara paling tingkat bawah peneyelenggara pemilu, masing-masing komponen pembiyaan adalah untuk ketua KPPS Rp 550.000 X 810.329 = 445.680.950.000 Milyar, untuk anggota KPPS yang berjumlah 6 orang/TPS = 3.000.000 x 810.329 = 2.430.987.000 000 Trilyun, pengamanan TPS/Satlinmas 2 x 400.000 x 810-329 = 648.256.000.000 Milyar, jadi jumlah total 3.524.923.950.000 Trilyun.
Dalam pemilu serentak 2019 berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2019 tentang pemungutan dan penghitungan suara jumlah pemilih pada setiap TPS paling banyak 300 orang, Jika pemilu kedepan menggunakan sistem proporsional tertutup akan terjadi penghematan dalam sejumlah kebutuhan pelaksanaan pemilu yaitu, pertama. jumlah TPS dapat dikurangi secara signifikan hingga bisa mencapai 50 persen karena kuota pemilih untuk setiap TPS bisa ditambah hingga mencapai 600 orang. Kedua. Dengan pengurangan jumlah TPS dengan sendirinya akan mengurangi jumlah petugas KPPS sebanyak jumlah pengurangan TPS dikalikan 7, serta akan memangkas biaya konsumsi yang melekat pada setiap TPS. Ketiga. Dengan pengurangan jumlah TPS berarti akan meniadakan petugas pengaman/satlinmas TPS sebanyak jumlah TPS dikalikan 2. keempat. Mengurangi beban logistik yang melekat pada TPS/KPPS seperti kebutuhan kota dan bilik suara beserta turunannya seperti tinta, spidol, ID card dan berbagai jenis kebutuhan logistik pada setiap TPS/KPPS. Dari sini terbayang komponen-komponen pembiayaan yang akan dihemat.
Page 131 of 135
Sekedar ilustrasi tentang penghematan anggaran untuk biaya pembuatan TPS berdasarkan keputusan KPU nomor 1312 Tentang Standard dan petunjuk Teknis Penyusunan Anggaran kebutuhan barang/jasa dan Honorarium Penyelenggaraan Pemilihan. Untuk pembuatan TPS sebesar Rp. 1.600.000. dan biaya konsumsi sebesar Rp. 1.200.000. jika pengurangan TPS bisa dilakukan hingga 50 persen (405.164) maka Negara akan melakukan penghematan sebesar 648.282.400.000 Milyar dan penghematan biaya konsumsi sebesar Rp.
486.196.800.000. Milyar, sehingga akan terjadi penghematan anggaran untuk dua item pembiayaan tersebut sebesar Rp. 1.134.459.200.000 Trilyun, apabila ditambahkan dengan penghematan dari honor KPPS dan petugas pengamanan/satlinmas, maka terjadi penghematan sebesar Rp. 4.659.383.150.000 Trilyun. Ilustrasi ini sekedar menggambarkan bahwa sistem proporsional tertutup berpengaruh secara riil terhadap penghematan pembiayaan pemilu serentak pada 2024 nantinya, meskipun harus dicatat bahwa penghematan biaya bukanlah tujuan utama pemilu serentak.
Komponen pembiayaan selanjutnya yang mengalami penghematan dengan sistem proporsional tertutup adalah surat suara. Volume surat suara secara signifikan besarannya akan menyusut hingga bisa mencapai 70 persen karena surat suara hanya berisi nama, lambang/logo dan nomor urut partai, dengan penyusutan itu pula akan mengurangi biaya surat suara dan pencetakannya sama dengan nilai penyusutannya. Selain mengurangi biaya surat suara, sistem proporsional tertutup tak lagi memungkinkan amburadulnya manajemen distribusi logistik seperti kekurangan surat suara, surat suara tertukar, dan berbagai jenis logistik lainnya seperti yang terjadi dalam pemilu-pemilu sebelumnya.
Dari sisi pemilih tentu saja akan sangat memudahkan pemilih untuk bisa mengidentifikasi dengan cepat pilihannya, sekarang ini, satu surat suara itu bisa berisi 160 calon yang mesti dipelototi oleh pemilih untuk kemudian menentukan pilihannya, Dari simulasi pemungutan dan penghitungan suara yang dilakukan KPU, didapati bahwa setiap pemilih rata- rata menghabiskan waktu lima menit untuk mencoblos surat suara, mulai dari masuk bilik suara sampai celup tinta. Jika pemilu menggunakan sistem proporsional tertutup maka hanya hanya tanda gambar partai yang akan ditandai oleh pemilih dengan demikian akan lebih mudah bagi pemilih mengidentifikasi pilihannya dan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pencolosan akan jauh lebih cepat.
c. Sistem Penghitungan Suara Lebih Cepat dan Efisien.
Salah satu tahapan yang sangat menguras tenaga dan waktu dalam pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan suara sejak pemilu 2004 sampai pemilu 2019 adalah penghitungan dan rekapitulasi suara. petugas KPPS dalam menghitung setiap surat suara perlu ketelitian dan kehati-hatian mengingat harus memperhatikan secara seksama tanda coblos pada setiap surat suara yang akan dihitung yang berisi seratusan daftar calon, tanda coblos pada partai tapi juga tanda coblos pada calon yang akan dihitung. Ini karena surat suaranya lebih lebar dan lipatannya lebih sulit dibuka. Untuk mengamati bagian mana yang tercoblos, petugas KPPS benar-benar harus teliti melihatnya. bahkan dalam prakteknya
Page 132 of 135
seringkali jika tidak menemukan bagian yang tercoblos, KPPS meminta bantuan saksi untuk ikut mencari sekaligus memastikan apakah memang ada yang tercoblos, atau surat suara itu tetap mulus alias dianggap tidak sah. dengan model surat suara yang memuat nomor urut, tanda gambar dan nama parpol, serta daftar urutan nama caleg masing-masing, membuat waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penghitungan menjadi lebih lama, membosankan dan melelahkan. Proses penghitungan surat suara rata-rata selesai paling cepat pukul 24.00 hingga 02.00 dini hari. Untungnya Mahkamah Konsititusi ( MK) memperpanjang waktu penghitungan suara Pemilu 2019 di tempat pemungutan suara (TPS) maksimal 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara atau hingga pukul 24.00. Sebelumnya, ditentukan bahwa penghitungan harus tuntas pada pukul 24.00 waktu setempat di hari pemungutan suara Ketentuan itu merupakan bagian dari putusan MK pada uji materi terhadap Pasal 383 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, dengan nomor perkara 20/PUU- XVII/2019. Pasal 383 ayat (2) mengatur tentang penghitungan suara yang harus selesai di hari yang sama dengan proses pemungutan. Dengan putusan ini KPU memiliki sandaran hukum untuk menambah waktu penghitungan suara sampai 12 jam seperti perintah dalam putusan MK.
Setelahnya dilanjutkan dengan pengisian hasil ke aneka formulir yang disalin secara manual. Penghitungan surat suara yang membutuhkan waktu cukup lama adalah penghitungan untuk DPR dan DPRD. setelah seluruh jenis surat suara dihitung yang kemudian akan disalin kedalam formulir model C1 yaitu sertifikat hasil penghitungan suara, yang terbagi untuk presiden dan wakil presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota disertai banyaknya form yang harus diisi dan dilengkapi tanda tangan semua anggota KPPS dan saksi yang hadir, dan sangat rumitnya kolomkolom yang harus diisi menyedot banyak energi dan membutuhkan waktu yang sangat lama. Sebagai gambaran, untuk formulir Model C1- DPR RI saja, ada sekitar lima lembar halaman yang masing-masing halaman diisi perolehan suara setiap partai politik dan calon anggota legislatifnya yang telah dihitung dan dicatat pada formulir C1 Plano pada saat penghitungan suara. Setiap halaman tersedia kolom yang berisi perolehan suara partai beserta calonnya yang pengisiannya harus ekstra hati-hati karena menyangkut perolehan suara. Dan setiap halaman tersebut disediakan kolom tandatangan untuk setiap petugas KPPS dan Saksi. Banyaknya halaman tergantung dari banyaknya caleg yang terdaftar dalam surat suara. Formulir ini kemudian harus dibuatkan salinannya sebanyak minimal 4, yaitu 1 untuk PPS Kelurahan, 1 rangkap untuk Panwas, 1 untuk arsip KPPS, 1 rangkap yang berhologram dimasukkan kedalam kotak yang akan dibacakan pada saat rekap Di PPK, jika seluruh saksi parpol hadir maka jumlah salinannya dibuat sebanyak jumlah saksi yang hadir, semakin banyak saksi parpol yang hadir dan menyerahkan surat mandat, semakin bertambah banyak pula salinan yang harus dibuat. Itu baru C1-DPR, belum lagi C1- Presiden dan Wakil Presiden, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kota yang jumlah lembar halamannya juga sama banyaknya. Masih ada pula beberapa formulir lain yang harus ditandatangani setiap halaman dan dibuatkan salinannya beberapa kali. Kedepan tidak ada kepastian jumlah partai politik yang akan menjadi peserta pemilu, bisa berkurang, tapi kemungkinan untuk bertambah juga sangat terbuka, kita sulit membayangkan jika sistem proposional terbuka berbasis suara terbanyak masih diberlakukan
Page 133 of 135
pada pemilu serentak nasional 2024 dengan jumlah partai yang jauh lebih banyak dengan pemilu sebelumnya, tentu akan jauh lebih rumit dan kompleks.
Jika sistem proporsional tertutup meskipun jumlah partai politik peserta pemilu bertambah tapi dapat dipastikan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penghitungan suara jauh lebih cepat untuk menyelesaikannya, begitu juga dengan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan rekapitulasi dan penyelesaian administrasi pemilu di tingkat TPS akan lebih cepat dan lebih mudah. Memindahkan data dari C1 Plano ke form model C1 dan lampirannya akan lebih cepat, dan yang terpenting akan mengurangi tingkat “kesalahan” pencatatan yang dilakukan oleh petugas KPPS, dan dengan itu pula lebih mudah melakukan pengawasan dan pengecekan. Berkaca pada pemilu 2019 yang baru saja berlalu, terlepas dari berbagai macam pendapat dan kontroversi yang menyertainya, kematian sejumlah petugas penyelenggara pemilu terjadi dalam tahapan ini. Harapan untuk menghemat anggaran dengan melaksanakan pemilu serentak justru harus dibayar mahal dengan jatuhnya korban jiwa dalam jumlah yang cukup signifikan.
d. Proses Rekaiptulasi Lebih Mudah dan lebih cepat.
Peraturan komisi pemilihan umum (PKPU) Republik Indonesia nomor 4 tahun 2019 tentang rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan penetapan hasil pemilihan umum Pasal 4 ayat (1) Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara untuk Pemilu di dalam negeri dilakukan secara berjenjang sebagai berikut: a. kecamatan; b. kabupaten/kota;c.
provinsi; dan d. nasional. PKPU ini meniadakan tahapan rekapitulasi ditingkat Panitia Pemungutan Suara yang berbasis desa/kelurahan, tapi petugas PPS melakukan rekapitulasi di PPK. Untuk menyelesaikan rekapitulasi untuk satu TPS dibutuhkan waktu rata-rata 40-60 menit namun terkadang bahkan ada yang bisa sampai satu hari tidak selesai, bila terjadi perbedaan data antara yang dimiliki (Formulir C1 dan lampirannya) oleh masing-masing saksi yang membuat proses rekapitulasi berlangsung alot dan terkadang harus diskorsing atau bahkan harus membuka kotak suara untuk mencocokkan perbedaan data-data tersebut.
kesalahan meliputi salah penulisan angka, salah masukkan data dan angka, lupa menulis data, kesalahan berupa jumlah suara sah dan suara tidak sah penulisan terbalik atau angka yang seharusnya ditulis pada kolom sah, ditulis pada kolom tidak sah, begitu juga sebaliknya hingga saksi menerima form yang bukan asli, dan yang terkadang menjadi perdebatan sangat lama adalah tidak sinkronnya antara jumlah pemilih yang datang memilih dengan jumlah surat suara digunakan dengan jumlah suara sah dan tidak sah. Jika sampai sudah dilakukan berbagai langkah yang procedural namun tetap tidak sinkron maka rekomendasinya adalah penghitungan atau pemungutan suara ulang. Dengan sistem proporsional tertutup masalah- masalah seperti tersebut diatas akan dapat diminimalisir baik dari sisi penggunaan waktu maupun penulisan dan pencatatan setiap formulir-formulir sehingga akan mempercepat proses rekapitulasi pada setiap tingkatan dan hasilnya akan jauh lebih baik sehingga rekapitulasi suara dan penetapan hasil secara nasional tidak harus menunggu sampai satu bulan lamanya yang selama ini membuat seluruh pemangku kepentingan pemilu selalu dilanda kecemasan.
Page 134 of 135
e. Kekurangan (Minus) Sistem Proporsional Tertutup.
Beberapa pendapat yang menyampaikan implikasi jika proporsional tertup diberlakukan, Adapun yang menjadi minus dari sistem proporsional tertutup; pertama, mengurangi interaksi dan intensitas kader partai dengan pemilih. Caleg yang terpilih bakal jarang turun bersosialisasi, menyapa dan menyalami masyarakat secara langsung, sebab caleg yang terpilih bertanggung jawab langsung kepada partainya bukan konstituennya, sumber kekuasaan bukan daulat “rakyat”, tapi daulat
“elite”
parpol. Kedua; cenderung caleg tidak mau bekerja keras untuk mengkampanyekan dirinya dan partai, sebab mereka percaya yang bakal dipilih adalah caleg prioritas nomor urut satu, bukan basis suara terbanyak, itu artinya menurunkan persaingan antarkader internal caleg. Ketiga; kurang sesuai untuk partai baru dan partai kecil yang belum terlalu dikenal. Keempat, belum cocok untuk partai yang populis, yang belum kuat dan belum tumbuh secara merata sistem kaderisasinya. Kelima, menguatnya oligarki di internal partai politik, partai ada kemungkinan lebih mengutamakan kelompok dan golongan tertentu, kekuasaan berada di tangan segelintir orang. Keenam;proporsional tertutup di khawatirkan seperti memilih kucing dalam karung, pemilih banyak
“ngak” kenal dengan daftar list nama calegnya, sebab pemilih tidak merasa dekat dengan pemilihnya.
4. PENUTUP
Berdasarkan penelitian penulis menyimpulkan bahwa pilihan sistem proporsional terbuka yang berkombinasi dengan sistem multi partai ekstrim yang diterapkan dalam empat kali pemilu di Indonesia dalam pelaksaannya sangat rumit dan kompleks, puncaknya pada pelaksanaan pemilu serentak 2019 yang baru saja berlalu yang merenggut ratusan jiwa penyelenggara, waktu penghitungan dan rekapitulasi suara yang melelahkan dan menjenuhkan dan menyedot energi yang mempengaruhi ketahanan fisik dan kesehatan petugas penyelenggara, pembengkakan biaya, manajemen logistik yang masih bermasalah seperti keterlambatan distribusinya, surat suara yang tertukar, surat suara rusak, surat suara yang tidak cukup, dan berbagai masalah yang menyertainya.
Permasalahan-permasalahan tersebut akan dapat ditekan seminimal mungkin jika pemilu dikembalikan dengan menggunakan sistem proporsional tertutup (closed list system), jalan inilah menjadi solusi yang tepat bisa ditempuh menatap pemilu 2024 yang akan datang.
Oleh karena itu perlu sesegera mungkin untuk mendorong dilakukannya revisi Undang- Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu dan dimasukkan kedalam program legislasi nasional (prolegnas) agar bisa diagendakan untuk segera dibahas oleh DPR dan pemerintah.
Mempercepat proses pembahasannya akan memberi banyak waktu melakukan pengkajian yang mendalam dan semestinya melibatkan semua pemangku kepentingan pemilu untuk menghasilkan pengaturan penyelenggaraan pemilu sederhana dan biaya ringan. Serta Dalam jangka panjang, diharapkan dukungan MK mengembalikan sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup agar dapat meningkatkan kualitas demokrasi rakyat Indonesia dan diharapkan good governance dapat dijalankan, karena adanya partisipasi aktif rakyat dalam pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Pemerintah.
Page 135 of 135
5. DAFTAR PUSTAKA
Almond, Gabriel A. dan Sidney Verba. 1984.
Budaya Politik (Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara).
Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 21Aulia, Kharisma dan Agus Riwanto.
“Penerapan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Terbatas pada Pemilu Legislatif 2019 di Kota Salatiga,”
Res Publica 3, no. 1 (2019). Hlm. 91–101.Jimly Asshiddiqie,
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II
. 2006. Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI.Reynolds, Andrew. et.al. (2016).
Desain Sistem Pemilu: Buku Panduan Baru Internasional IDEA
. Terjemahan oleh Perludem.Subekti, Valina Singka (2015
), “Dinamika Konsolidasi Demokrasi, Dari Ide Pembaruan Sistem Politik Hingga Ke Praktek Pemerintahan Demokratis
, Yayasan Obor Indonesia.Artikel
Hanan, Djayadi. Meperkuat Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Pemilu serentak, Sistem Pemilu, dan Sistem Kepartaian. Jurnal Universitas Paramadina Vol. 13 tahun, 2016
Peraturan Perundang-Undangan.
PKPU Nomor 3 Tahun 2019 Tentang Pemungutan Dan Penghitungan Suara
PKPU Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara Dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 Peraturan Menteri Keuangan nomor : S-118/MK.-02/2016 Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Nasional.