• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMILU SERENTAK: DILEMA ANTARA PRAGMATISME DAN EFEKTIFITAS SISTEM

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "PEMILU SERENTAK: DILEMA ANTARA PRAGMATISME DAN EFEKTIFITAS SISTEM "

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PEMILU SERENTAK: DILEMA ANTARA PRAGMATISME DAN EFEKTIFITAS SISTEM

PRESIDENSIAL

Andi Muhfi Zandi1, Juliansyah Rahmat Maulana2, Nada Afra3

Abstract

The electoral system is one of the essential values of democracy. This system was intended to ideally accommodate people needs—Indonesia has been implemented the electoral system in 1955. Over decades, the implementation faces various challenges. In this paper, examine the electoral system that held in 2019 under the threatening circumstances toward democracy itself, such as, overspread of hoax news, and religion- based vote. The existence of coat tail effect in Indonesia’s election also being the highlight of this phenomenon.

Key Words: Coat tail effect, Demokrasi, Indonesia, Pemilihan Umum

Pendahuluan

Ketika masyarakat adalah bagian terpenting dari eksistensi sebuah negara, maka menjadi sebuah konsekuensi logis bagi negara untuk melindungi segenap kepentingan rakyat dan memajukan bangsa ini. Sebuah falsafah ideal yang kemudian menjadi cita-cita masyarakat untuk diwujudkan oleh pemerintah. Ironisnya, era reformasi, masih belum menjawab panggilan masyarakat yang memiliki mimpi memperoleh hakikat demokrasi secara subtansial. Makna demokrasi yang terimolementasi akhirnya hanya sebuah prosedural semu yang tetap marak dibumbui dengan permainan elit oligarki dalam melaggengkan

1 Universitas Brawijaya

2 Universitas Brawijaya

3 Universitas Brawijaya

(2)

kekuasaannya. Pemilu telah berjalan selama kurang lebih 64 tahun dan dimulai sejak tahun 1955, meskipun m0enghadapi berbagai intervensi di era orba, namun pemilu tetap dapat terus berjalan secara survive hingga akhirnya mengalami perbaikan secara berkesenimbungan dalam beberapa tahun belakangan ini, termasuk di pemilu 2019.

Pelaksanaan pemilu 2019 dapat dikatakan sebagai evaluasi akan keefektifan dalam pengimplementasian inovasi pemilu serentak atau lazim juga disebut disebut sebgai pemilu konkuren (concurren elections) , yakni penyelenggaraan pemilu yang meliputi pemilihan beberapa lembaga demokrasi sekaligus pada satu waktu secara bersamaan. Jenis- jenis pemilihan tersebut meliputi pemilihan eksekutif dan legislatif mulai dari tingkat nasional, regional (provinsi), hingga pemilihan di tingkat lokal (kabupaten/kota). Sekalipun pada akhirnya, gambaran fenomena elektoral ini yang kemudian menyisakan berbagai polemik dan tragedi sejak penyelenggaraan pemilu di era reformasi, mulai dari problematika penyelenggaraan pemilu yang memakan korban, konstituen yang menjadi terpolarisasi dengan sekat yang sangat tajam, bentuk koalisi yang tidak memiliki batasan posisi yang pasti sehingga partai menjadi pragmatis, belum lagi dengan berbagai polemik lainnya dalam pembentukan opini di masyarakat, dengan menyebar konten hoax, hate speech, black campaign dan lain sebagainya. Hal ini pun tidak terlepas dari variabel pelaksanaan pemilu yang dieserentakkan di tahun ini.

Sejatinya pelaksanaan pemilu serentak dapat dipandang sebagai suatu strategi dalam memperkuat sistem presidensil, hal ini dilatarbelakangi oleh polemik yang tervalidasi oleh fakta politik bahwa untuk mendapat dukungan untuk memperoleh keterpilihan sebagai

(3)

Presiden dan sokongan DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan, jika terpilih, konsekuensi calon Presiden terpaksa harus melakukan proses negosiasi dan pengutatan kedudukan (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang konsekunsi logisnya sangat berpengaruh akan kestabilan jalannya roda pemerintahan kedepannya. Negosiasi dan tawar-menawar tersebut secara realita lebih mengarah kepada hal yang taktis dan temporar daripada bersifat strategis dan konsisten dalam jangka waktu yang panjang. Oleh karena itu, Presiden secara realita menjadi sangat dependen terhadap partai-partai politik yang akhirnya dapat mereduksi posisi Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan dan perlu banyak menegosiasikan terkait kebiakannya dengan partai, hal ini kemudian dapat dipandang sebagai anomali problematik yang cukup tegas dalam sistem pemerintahan presidensial.

Pada akhirnya Konstitusi mengatur peraturan operasionalisasinya yang dapat memperkuat sistem presidensial, karena Pemilu Serentak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi adalah pemilu yang lebih tepatnya penyelenggaraannya diserentakkan, secara bersamaan dengan mencoblos eksekutif dan legislatif secara bersamaan, dan dari pengimplementasian pemilu yang dikongruenkan antara eksekutif dan legislatif, justru mengakibatkan besarnya pengaruh patriamonialistik akan sosok penokohan dari figur calon presiden terhadap hasil suara yang diperoleh partai dalam pemilihan legislatifi, dan fenomena ini disebut juga sebgai pengaruh ekor jas (coattail effect).

Secara teori, Coattail effect pada dasarnya menggambarkan hubungan denga pola hubungan sequential antara partai yang menjadi pemenang pada pemilu legislatif adalah partai presiden dan wakil presiden terpilih berasal . Secara ideali, pola dari Coattail effect ini akan

(4)

memperkuat evaluasi terhadap taktis kinerja partai sekaligus memberikan peluang besar kepada partai politik untuk bekerja lebih baik lagi agar pemilih memilih calon yang berasal dari partai yang sama (Madariaga & Ozen, 2015: 66-75) (Madariaga & Ozen, 2015) . Disisi lain, terdapat pula beberapa pemikiran yang lebih menekankan pada faktor waktu pemilihan anggota parlemen dan presiden sebagai faktor utama penyebab terjadinya divided government yang akhirnya menjadi fenomena coattail effects. Menurutnya, pemerintahan menjadi terpolarisasi ketika kondisi anggota legislatif dan pejabat eksekutif dipilih pada periode waktu yang berbeda atau cara yang tidak sama.

Perubahan ini dipandang sebagai hal yang dapat mengatasi kelemahan sistem pemilu kita saat ini seperti maraknya politik uang, dan juga konflik internal antar caleg, kecurangan-kecurangan yang dilakukan baik oleh peserta maupun penyelenggara. Sistem proporsional berbasis partai politik ini juga dapat berkesinambungan dengan pola pemerintahan presidensial. Dengan sistem proporsional berbasis partai politik, maka partai politik yang melakukan kampanye dan pemilih hanya memilih partai politik bedasarkan preferensi pilpres yang terpilih, bukan memilih calon anggota legislatif (caleg) secara langsung.

Pada perhelatan elektoral, elite-elite memainkan peran signifikan dalam kontestasi elektoral. Pada saat Pilkada misalnya, para elite yang lazim disebut tokoh masyarakat tersebut pada titik tertentu mampu memengaruhi masyarakat untuk memilih dan tidak memilih calon tertentu. Pada akhirnya kemunculan elite-elite lokal ini ikut menumbuhsuburkan fenomena patrimonialistik dimana elite-elite lokal menciptakan hegemoni kekuasaan melalui politik

(5)

kekerabatan─memanfaatkan kerabat untuk memperluas dan mempertahankan kekuasaan partai politik di tingkat daerah.

Pada perhelatan pemilihan umum, elite-elite lokal memegang peranan penting menciptakan hegemoni kekuasaan di daerahnya. Dalam konteks ini, elite-elite lokal tersebut bukan hanya menjadi “pemain”

yang menciptakan hegemoni, namun mereka “dimainkan” sebagai alat bagi elite politik nasional untuk melakukan hegemoni kekuasaan di daerah-daerah. Hegemoni itu sendiri adalah istilah yang digunakan Antonio Gramsci (1891-1937) untuk menjelaskan dominasi kelas penguasa atas kelas buruh. Dalam politik moderen, istilah hegemoni diartikan sebagai upaya memengaruhi orang untuk dapat mendominasi tatanan sosial politik. Hegemoni pada dasarnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan. Sementara, hegemoni dilakukan dan dipengaruhi oleh kelompok elite, yang didefinisikan oleh Pareto dan Mosca sebagai kelas penguasa yang secara efektif memonopoli pos-pos kunci dalam masyarakat.

Fenomena coattail effect merupakan bukan hal yang baru di dalam kontestasi politik. Coattail effect merupakan istilah politik Amerika yang digunakan untuk menggambarkan dampak dari kandidat yang sangat populer atau tidak populer terhadap kandidat lain dalam pemilihan yang sama . Istilah ini digunakan untuk menggambarkan dampak calon kandidat yang membantu meningkatkan jumlah pemilih, dan lebih banyak pemilih cenderung memilih partai yang popular. Dalam pelaksanaan pemilihan umum, khususnya pemilihan legislatif, elite nasional memanfaatkan coattail effect dari elite-elite lokal untuk kemenangan partai politiknya. Coattail effect adalah istilah yang

(6)

merujuk pada tindakan menimbulkan pengaruh pada tindakan lain.

Dalam terjemahan bebas diartikan sebagai efek kibasan buntut atau kerah jas. Elite-elite lokal yang memiliki pengaruh di daerahnya─dapat berupa pengaruh kekuasaan, kekayaan, dan kharisma mampu memberikan efek buntut jas terhadap elektabilitas partai politik dan juga legislatif dalam pemilu.

Pada Pemilihan Presiden tahun 2019, IT Research and Political Consultant (iPol) Indonesia menilai bahwa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merupakan partai politik yang mendapatkan coattail effect di Jawa Timur. Petrus Haryanto, CEO iPol Indonesia diwawancarai oleh Tribun News mengatakan bahwa prosentase PKB melebihi perolehan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai pengusung utama di Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 01, Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin. Ia menjelaskan bahwa lumbung suara yang dimiliki oleh PKB dari pemilu ke pemilu memang berasal dari Jatim. Jadi, PKB akan semakin besar dengan kemenangan Capres- Cawapres yang diusung merupakan hal yang wajar. Pun, jika Jokowi dan KH Ma’ruf Amin mendapatkan 65 persen angka di Jawa Timur, tentu tidak lepas dari kerja keras dan peran PKB.

Sejatinya, Implikasi yang diharapkan adalah dari adanya pemilu serentak akhirnya terjadi efisiensi pelaksanaan pemilu disertai efektivitas yang mengikutinya, yang dapat menekan pengeluaran anggaran negara dalam pemilu. Dengan pemilu serentak, pada akhirnya partai politik dituntut untuk mereduksi sistem parpol dengan sistem multi partai sederhana, sehingga tingkat relevansinya antara penerapan sistem pemilu dan sistem parpol dapat berjalan beriringan dengan penguatan terhadap sistem presidensial, yang akhirnya berdampak kepada konsepsi

(7)

kebijakan-kebijakan pemerintah yang didukung secara penuh dan solid dalam parlemen terhadap penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.

Selain itu, hasil pemilu dengan sistem serentak dapat dilihat secara relevan antara anggota legislatif terpilih dengan presiden terpilih terhadap dalam kontestasi yang menguatkan sistem presidensial.

Presiden sebagai ujung tombak eksekutif dapat menjalankan fungsinya terhadap sistem presidensial secara sistematis dan korelatif dengan integrasi yang lebih signifikan dalam kerjasama dengan legislatif. DPR dapat menjadi penguat dalam sistem presidensial terhadap kebijakan- kebijakan yang diimplementasikan oleh pemerintah. Presiden dapat menjalankan wewenang presidensialnya dengan dukungan yang sangat kuat di tubuh parlemen sebagai penyangga pemerintahan dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai legislator. Oleh karenanya, sistem pemilu serentak harus didukung juga oleh sistem multipartai sederhana sebagai komponen penting dalam pelaksanaan dalam pemilu.

Pemikiran ini akhirnya tervalidasi dengan tesis Shugart , bahwa jika waktu penyelenggaraan pemilu presiden diserentakkan (simultan) yakni dengan adanya sinergitas antara pemilihan presiden dan pemilu legislatif, akhirnya akan menimbulkan coattail effect, yaitu hasil suara dari pemilihan umum presiden akan mempengaruhi hasil suara pemilihan umum legislatif. Artinya, pemilih akan memilih presiden sekaligus parpol (koalisi parpol) pendukung presiden. Tesis Shugart ini ternyata berlaku di Brasil setelah mereka melakukan perubahan jadwal pemilu, yaitu dengan menyerentakkan waktu penyelenggaraan pemilu presiden dan pemilu anggota legislatif. Tesis coattail effect menunjukkan bahwa faktor waktu penyelenggaraan pemilu kemungkinan dapat

(8)

menjadi faktor untuk mengatasi masalah tidak harmonisnya hubungan eksekutif legislatif.

Jika waktu penyelenggaraan pemilu presiden diserentakan bersama dengan pemilu legislatif, pemilihan umum presiden pada akhirnya akan mempengaruhi pemilihan umum legislatif. Artinya, pemilih akan memilih presiden dan memilih parpol pendukung presiden.

Pemilu serentak dapat juga dirancang untuk memberikan efek tumpah (spill over effect) dari satu pemilihan ke pemilihan lainnya. Biasanya menjadi suatu pertimbangan adalah untuk mempengaruhi hasil dari pemilihan umum presiden dengan menggunakan hasil dari pemilihan legislatif sebagai salah satu faktor dalam penentuan pemenang. Dengan adanya pengaruh perolehan suara partai tertentu dengan syarat akan hasil kemenangan kandidat presiden partai tersebut, pada akhirnya satu jenis pemilihan akan memiliki efek mekanis terhadap hasil pemilihan lainnya dengan background partai yang sama. Partai dengan perolehan suara terbanyak maka dapat mengantarkan kandidat presidennya untuk menduduki kursi kepresidenan meski hasilnya di pemilihan presiden belum tentu yang paling baik. Dalam varian tertentu, efek mekanistis diharapkan terjadi dalam rentang waktu tertentu, seperti halnya yang lazim disebut sebagai coattail effect sebagaimana dijelaskan di atas.

Terlepas dari itu, efek ini pada akhirnya akan menimbulkan suatu problematika baru dalam pengimplemntasian demokrasi, meskipun pemerintahan eksekutif akan berkerja dengan efektif, karena presiden mendapat dukungan penuh dari parlemen. Disisi lain hal ini dapat menjadi suatu jalan terbentuknya rezim yang cendrung otoriter dikarenakan dukungan penuh parpol terhadap kebijakan presiden yang terpilih sehingga menghilangkan esensi check and balance, tidak sampai

(9)

disitu, hal ini diperparah dengan bergabungnya partai opisisi sebelum pemilu yang berdampak pada hilangnya mekanisme kontrol dalam kebijakan presiden, belum lagi dengan politik transaksional yang dilakukan oleh koalisi partai sebagai upaya kompromis dalam mendulang suara, akhirnya kebijakan menjadi sangat instruktif terhadap masyarakat dan konsekuensinya demokrasi mengalami kemunduran.

Secara akademis konsep pemilu serentak ini pelaksanaannya didukung dengan adanya sistem pemerintahan presidensial dan secara ideal eksekutif pada akhirnya mendapat dukungan legislatif sehingga pemerintahan stabil dan efektif. kongruensi dapat tercipta karena dalam pemilu serentak dan akan melahirkan coattail effect, di mana keterpilihan calon presiden akan mempengaruhi keterpilihan calon legislatif. Artinya, orang setelah memilih capres akan cenderung memberikan pilihannya terhadap legislatif yang berasal dari partai yang mengusung presiden.

Pada akhirnya secara realita yang terjadi, pemilu serentak ini justru mendorong lahirnya pragmatisme politik yang kerap menjadi acuan aktor-aktor dan partai-partai politik dalam berkoalisi. Melihat realitas empirik pasca pilpres, justru fenomena yang terhadi adalah terkikisnya nilai demokratis yang selama ini dibangun. Selain itu, pemilu serentak menjadikan caleg dan capres menjadi kongruen justru berdampak pada kenaikan cost yang harus dibayar, mulai dari biaya kampanye yang semakin tinggi yang akhirnya berpotensi pada kenaikan tindak money politics dan korupsi, disisi lain modal tenaga dan fisik yang dipaksakan melebihi kapasitas kemampuan PPS pada akhirnya menyebabkan tragedi yang memakan korban. Namun dibalik semua itu, hal terpenting dari konsekuensi Coattail Effect pada pemilu 2019 ini, menyebabkan kuatnya legitimasi kebijakan yang dikeluarkan oleh

(10)

eksekutif yang pada akhirnya mendegradasi esensi check and balance dikarenakan pragmatisme elit yang haus kekuasaan, ditambah lagi dengan bergabungnya partai oposisi yang mengakibatkan cengkraman oligarki semakin menguat, pada akhirnya masyarakat kembali menjadi korban terulangnya rezim neo otoritarian ini pasca reformasi dan pada akhirnya demokrasi subtansi hanyalah sebuah angan semu bagi masyarakat.

(11)

Daftar Pustaka:

Anonim PKB paling besar memperoleh coattail effect di jawa timur.

Diakses melalui

https://www.tribunnews.com/regional/2019/04/18/ipol-indonesia- pkb-paling-besar-mendapat-coattail effect-dari-pilpres-di-jatim download pada 12 September 2019 pukul 23.00 WIB.

Haryanto. 2017. Konfigurasi Elit dan Demokrasi: Aktor, Sumber Daya, dan Strategi Kontestasi. Prisma Vol. 36, No. 1 tahun 2017.

Kelly, Erin. "House Speaker Paul Ryan says Trump saved GOP majority in House, Senate." USA Today, November 9, 2016.

Madariaga, G. A., & Ozen, H. E. (2015). Looking for two-sided coattail effects: Integrated parties and multilevel elections in the U.S.

Electoral Studies, 40, 66–75. https://doi.org/10.1016/j.

electstud.2015.06.006

Sutiyono. Hegemoni Kekuasaan terhadap Seni Pedalangan. Jurnal Seni dan Pendidikan Seni, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, Vol. 7, No. 2 (2009). Hal 33-34

Wijayanti, S. N., & Purwaningsih, T. (2015). Laporan Akhir Tahun Pertama Penelitian Hibah Bersaing: Desain Pemilihan Umum Nasional Serentak dalam Perspektif Hukum dan Politik.

Yogyakarta. Diakses

darihttp://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/2227 /Laporan Akhir DESAIN PEMILIHAN UMUM NASIONAL SERENTAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN POLITIK.

pdf?sequence=1&isAllowed=y

Yunus, Nur Rohim. Coattail Effect Pada Ajang Pemilihan Umum

Presiden 2019. Diakses melalui

(12)

https://www.researchgate.net/publication/326982581/download pada 14 September 2018 pukul 23.00 WIB.

Referensi

Dokumen terkait

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 Tentang Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Dalam Mengajukan Rancangan Undang-Undang. Peraturan Mahkamah

Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 268 ayat (1) KUHAP yang mengatur peninjauan kembali tidak menangguhkan/menghentikan pelaksanaan putusan. Putusan Mahkamah Konstitusi

Sistem kelembagaan pemilu sudah diakui oleh negara yang bersendikan asas kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2)). 2) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengatur

Dengan adanya ruang yang diberikan konstitusi dan dari ketentuan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 serta dikuatkan juga melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang

Artinya proses inovasi pemilu memiliki arti terikat dengan aturan yang berlaku dalam sistem kepemilikan di Indonesia, daya inovasi di penyelenggaran sampai sejauh

Lihat pasal 57 UU Mahkamah konstitusi 2004 (1)Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang

Spesifik terhadap makna mandiri, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 81/PUU-IX/2011 menegaskan bahwa kemandirian lembaga penyelenggara pemilu tidak hanya meliputi kemandirian

PEMBINAAN PENANGANAN PELANGGARAN TENTANG NETRALITAS APARATUR SIPIL NEGARA ASN DALAM PEMILU SERENTAK TAHUN 2024 DI BAWASLU DKI JAKARTA Didik Suhariyanto1 Program Studi Hukum,