RINGKASAN MATA KULIAH
“SEMIOTIKA”
Disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Pemikiran dan Metodologi Penelitian Non-Positivis
Program Pascasarjana Universitas HasanuddinDisusun oleh :
RIRIN AKHRIANI (A062231013)
MAGISTER AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN 2024
Pengertian Semiotika
Apabila dibahas secara etimologis, kata ―semiotik‖ ini berasal dari Bahasa Yunani, yakni
―simeon‖ yang berarti tanda. Sementara itu, kata ―semiotika‖ juga dapat merupakan penurunan kata Bahasa Inggris, yakni ―semiotics‖. Nama lain dari semiotika adalah semiology. Kemudian, apabila dikaji secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tanda. Tanda itu sendiri dianggap sebagai suatu dasar konvensi sosial dan memiliki sesuatu (makna) tertentu..
Menurut Tinarbuko (2008), semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda supaya dapat mengetahui bagaimana tanda tersebut berfungsi dan menghasilkan suatu makna. Sementara itu, menurut Christomy dan Yuwono (2004), berpendapat bahwa semiotika adalah studi tentang tanda-tanda (sign), fungsi tanda, dan produksi tanda. Dalam hal ini, tanda yang dimaksud nantinya dapat menunjukkan pada makna atau sesuatu hal lainnya yang tersembunyi di balik tanda itu sendiri. Dengan kata lain, keberadaan tanda ini nantinya akan mewakili suatu hal yang berkaitan dengan objek tertentu.
Konsep Dasar Dalam Semiotika
Pada dasarnya, semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang makna dari tanda, dengan menyertakan adanya mitos dan metafora yang bersangkutan dengan tanda tersebut. Konsep- konsep dasar dari semiotika yang dicetuskan oleh Ferdinand de Saussure ini meliputi tanda/simbol, kode, makna, mitos, dan metafora.
1. Tanda
Menurut Saussure, tanda (sign) ini terbagi menjadi tiga komponen, yakni:
Tanda (sign), mencangkup aspek material berupa suara, huruf, gambar, gerak, dan bentuk.
Penanda (signifier), mencangkup aspek material bahasa, yakni apa yang dikatakan atau didengarkan; dan apa yang ditulis atau dibaca.
Petanda (signified), mencakup aspek mental bahasa, yakni gambaran mental, pikiran, dan konsep.
Ketiga komponen tersebut harus memiliki eksistensi yang secara utuh. Apabila salah satu komponennya tidak ada, maka tandanya tidak dapat dibicarakan atau bahkan dibayangkan di benak manusia. Jadi, petanda (signified) adalah konsep yang nantinya akan dipresentasikan
oleh penanda (signifier). Hubungan antara petanda dan penanda ini harus berkaitan satu sama lain supaya dapat menghasilkan makna atas tanda tersebut. Contohnya adalah kata ―Gorden‖
itu juga merupakan sebuah tanda karena memiliki Signifier yang berupa kata itu sendiri;
dan Signified berupa kain untuk menutup jendela. Adanya kesatuan antara kata dengan kenyataan itulah yang membuat ―Gorden‖ menjadi sebuah tanda (Sign).
Dalam kehidupan ini, terdapat banyak sekali tanda yang rata-rata ―diproduksi‖ oleh manusia, antara lain tanda gerak atau isyarat, tanda verbal berupa ucapan kata, dan tanda non verbal berupa bahasa tubuh. Tanda isyarat misalnya lambaian tangan yang berarti memanggil dan anggukan kepala yang berarti pernyataan setuju. Kemudian, tanda verbal yang berupa ucapan biasanya akan diimplementasikan melalui huruf dan angka.
Selain tiga tanda tersebut, ada juga tanda-tanda yang berupa gambar, misalnya ikon, indeks, dan simbol.
Ikon, tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Keberadaan ikon biasanya mirip dengan sesuatu hal yang dimaksudkan. Misalnya: gambar toilet di suatu gedung disitu adalah tempat toilet
Indeks, tanda yang memiliki sebab akibat dengan apa yang diwakilinya. Misalnya, di stiker paket kardus terdapat gambar gelas pecah, itu berarti apabila paket tersebut dibanting maka akan pecah sama halnya dengan gelas tersebut. Contoh lain adalah di sebuah tempat wisata, terdapat tanda berupa jejak kaki yang berarti disitulah tempat titik fotonya.
Simbol , tanda yang didasarkan pada konvensi, peraturan, atau perjanjian atas kesepakatan bersama. Keberadaan simbol ini hanya dapat dipahami artinya apabila seseorang tersebut memang sudah mengerti kesepakatan bersama yang ada. Misalnya tanda hati berwarna merah muda itu diartikan sebagai cinta, yang mana semua orang tanpa sadar telah menyepakati simbol dan arti dari hal tersebut.
2. Kode
Kode adalah cara pengkombinasian tanda yang memang telah disepakati secara sosial, untuk memungkinan pesan tersebut tersampaikan kepada orang tertentu. Menurut Barthes, terdapat lima jenis kode dalam semiotika , yakni:
Kode Hermeneutik yaitu kode yang berupa menyodorkan berbagai pertanyaan, teka-teki, respons, enigma (ucapan misterius), penangguhan jawab, yang pada akhirnya akan menuju pada jawaban pasti. Kode ini berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana. Misalnya pertanyaan-pertanyaan seperti: “Siapakah mereka?”
“Mengapa kamu tidak datang?” “Bagaimana dengan tujuan kita?”. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menunda jawaban yang satu dengan jawaban lain.
Kode Semantik yakni kode yang mengandung adanya konotasi (nilai rasa) pada level penanda. Konotasi atau nilai rasa yang terdapat dalam kode ini misalnya berupa maskulinitas, feminim, kebangsaan, dan lain-lain.
Kode Simbolik yakni kode yang berkaitan dengan psikoanalisis hingga adanya pertentangan dua unsur.
Kode Narasi (Proairetik) yakni kode yang memuat adanya cerita, urutan, dan narasi.
Setiap karya fiksi pasti memiliki kode ini.
Kode Kebudayaan (Kultural) yaitu kode yang bersifat anonim, bawah sadar, mitos, sejarah, moral, dan legenda.
3. Makna
Segala makna yang ada di kehidupan ini secara tidak langsung diciptakan berdasarkan pada simbol-simbol yang menunjuk pada suatu peristiwa atau objek tertentu. Terdapat dua macam makna yakni makna denotatif dan makna konotatif.
Makna denotatif adalah makna sebenarnya, mencangkup hal-hal yang ditunjuk oleh kata- kata atau hubungan secara eksplisit antara tanda dengan referensi yang ada. Misalnya, terdapat gambar manusia itu berarti maknanya memang berhubungan dengan manusia selaku makhluk hidup.
Makna konotatif adalah makna yang tidak sebenarnya, meliputi perasaan, emosi, nilai- nilai kebudayaan, hingga sudut pandang dari suatu kelompok. Misalnya: gambar wajah tersenyum dapat diartikan menjadi dua makna yaitu suatu kebahagiaan atau ekspresi
penghinaan. Menurut Barthes, untuk memahami makna konotatif yang terdapat dalam semiotika, terdapat dua konsep yakni Mitos dan Metafora.
Macam-Macam Semiotik
Berdasarkan pada lingkup pembahasannya, maka semiotika ini dapat dibedakan menjadi tiga macam, yakni:
1. Semiotik Murni (Pure), yakni semiotik yang membahas mengenai filosofis dari semiotika itu sendiri, berkaitan dengan metabahasa.
2. Semiotik Deskriptif (Descriptive), yakni semiotik yang lingkup pembahasannya adalah tentang semiotik tertentu, berupa sistem tanda tertentu dan bahasa tertentu. Kemudian, dijabarkan secara deskriptif.
3. Semiotika Terapan (Applied) yakni semiotic yang membahas mengenai penerapan dari semiotika itu sendiri pada berbagai bidang atau konteks tertentu. Misalnya yang berkaitan dengan sistem tanda sosial, komunikasi, sastra, periklanan, film, dan lain-lain.
Tokoh-Tokoh Dalam Semiotika 1. Charles Sanders Peirce
Charles Sanders Peirce adalah salah seorang filsuf Amerika yang paling orisinal dan multidimensional. Bagi Peirce (Pateda, 2001:44), tanda ―is something which stands to somebody for something in some respect or capacity‖. Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Peirce disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau represantamen) selalu terdapat dalam hubungan triadic, yakni ground, object, dan interpratent. Atas dasar hubungan ini, Peirce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, keras, lemah, lembut, dan merdu. Sinsign adalah eksistensi actual benda atau peristiwa yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang pada dasarnya kata air sungai keruh yang menandakan ada hujan di hulu sungai. Legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu lalu lintas yang menandakan hal- hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia.
Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda menjadi icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Berdasarkan interpretant, tanda (sign, representamen) dibagi atau rheme,
dicent sign atau dicisign dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Misalhnya, orang yang merah matanya dapat saja menandakan bahwa orang itu baru menangis, atau menderita penyakit mata, atau mata dimasuki inteksa, atau baru bangun, atau ingin tidur. Dicent sign atai dicisign adalah tanda sesuai kenyataan. Misalnya, jika pada suatu jalan sering terjadi kecelakaan, maka di tepi jalan dipasang rambu lalu lintas yang menyatakan bahwa di situ sering terjadi kecelakaan.
Argument adalah tanda yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu.
2. Ferdinand de Saussure
Ferdinand de Saussure dikenal sebagai Bapak Semiotika Modern yang membagi membagi relasi antara penanda (signifier) dan petanda (signified) berdasarkan konvensi yang disebut dengan signifikansi. Menurut Saussure, semiotika adalah kajian yang membahas tentang tanda dalam kehidupan sosial dan hukum yang mengaturnya. Beliau sangat menekankan bahwa tanda itu memiliki makna tertentu karena sangat dipengaruhi oleh peran bahasa.
Saussure kemudian membagi konsep semiotik berdasarkan 4 konsep, yakni Significant dan Signifie, Langue dan Parole, Synchronic dan Diachronic, Syntagmatic dan Paradigmatic
Significant dan Signifie , mengungkapkan bahwa significant atau petanda ini merupakan hal-hal yang dapat diterima oleh pikiran manusia, seperti gambaran visual asli dari objek.
Sementara Signifie menjurus pada makna yang dipikirkan oleh manusia setelah mereka menerima sebuah tanda.
Parole dan Langue. Langue adalah suatu sistem tanda dengan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat akan suatu hal tertentu. Sementara itu, Parole adalah tindakan yang dilakukan oleh individu berdasarkan pada kemauan dan kecerdasan berpikir.
Synchronic dan Diachronic yakni konsep yang mempelajari bahasa dalam kurun waktu tertentu. Pada Synchronic adalah penjelasan mengenai kondisi tertentu yang berhubungan dengan suatu masa atau waktu. Kemudian, Diachronic adalah penjelasan tentang perkembangan setelah suatu hal terjadi di suatu masa tertentu.
Syntagmatic dan Paradigmatic yakni hubungan unsur yang memuat susunan atau rangkaian kata dan bunyi dalam suatu konsep. Syntagmatic adalah unsur dari susunan suatu kalimat yang tidak dapat digantikan dengan unsur lainnya. Sementara itu, Paradigmatic adalah unsur kalimat yang dapat digantikan dengan unsur lainnya, dengan catatan harus memiliki makna sama.
3. Roman Jakobson
Roman Jakobson adalah salah satu dari beberapa ahli linguistic adab ke 20 yang pertama kali meneliti secara serius baik pembelajaran bahasa maupun bagaimana fungsi bahasa bias hilang seperti yang berlangsung pada afasia (Lechte, 2001 : 108). Pengaruh Jakobson pada simiotika abad ke 20 sangat besar. Umberto Eco sampai berkomentar ―alasan mengapa Jakobson tidak pernah menulis satu buku khusus tentang semiotika adalah karena seluruh eksistensi keilmuannya merupakan contoh hidup dari pencarian semiotiika‖ (Cobley dan Jansz, 1999:142).
Jakobson mengemukakan bahasa memiliki enam macam fungsi, yaitu : a. Fungsi Referensial, pengacu pesan
b. Fungsi Emotif, pengungkap keadaan pembicara
c. Fungsi Konatif, pengungkap keinginan pembicara yang langsung atau segera dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak
d. Fungsi Metalingual, penerang terhadap sandi atau kode yang digunakan
e. Fungsi Fatis, pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak
f. Fungsi Puitis, penyandian pesan
Setiap fungsi bersejajar dengan factor fundamental tertentu yang memungkinkan bekerjanya bahasa.
a. Fungsi Referensial, sejajar dengan factor konteks atau referen b. Fungsi Emotif, sejajar dengan factor pembicara
c. Fungsi Konatif, sejajar dengan factor pendengar yang diajak bicara d. Fungsi Metalingual, sejajar dengan factor sandi atau kode
e. Fungsi Fatis, sejajar dengan factor kontak (awal komunikasi) f. Fungsi Puitis, sejajar dengan factor amanat dan pesan
Jakobson yakin bahwa fungsi utama dari suara dalam bahasa adalah untuk memungkinkan manusia membedakan unit-unit semantic, unit-unit yang bermakna, dan ini dilakukan dengan mengetahui ciri-ciri pembeda (distinctive features) dari suatu suara yang memisahkannya dengan ciri-ciri suara yang lain. Dalam artikelnya yang terkenal linguistics and poetics, Jakobson menerangkan adanya fungsi bahasa yang berbeda, yang merupakan factor-faktor
pembentuk dalam setiap jenis komunikasi verbal (Segers, 2000:15). Addresser (pengirim) mengirimlam suatu message (pesan) kepada seorang adresse (yang dikirimi). Agar operatif, pesan tersebut memerlukan context (konteks) yang menunjuk pada (…), sehingga dipahami oleh yang dikirimi dan dapat diverbalisasikam; suatu kode secara penuh atau paling tidak sebagian, bagi pengirim dan yang dikirimi (atau dengan kata lain bagi pembuat kode dan pemakna kode); dan akhirnya, suatu kontak, suatu saluran fisik dan hubungan psikologis antara pengirim dan yang dikirim, memungkinkan keduanya memasuki dan berada dalam komunikasi (Jakobson, 1960, dalam segers, 2000:16).
Analisis Jakobson atas bahasa mengambil ide dari Saussure yang mengatakan bahwa bahasa atau struktur bahasa bersifat differensial atau membedakan. Pembedaan atau differensiasi tersebut berlangsung melalui dua sumbu: Sintagmatis dan paradigmatis (Ahimsa – Putra, 2001;54). Memang, didalam linguistic pasca-Saussure, istilah sistagmatik selalu diperlawankan dengan paradigmatik sebuah sistagma merujuk kepada hubungan in prasentia antara satu kata dengan kata-kata yang lain, atau antara suatu satuan gramatikal dengan satuan-satuan yang lain, di dalam ujaran atau tidak tutur tertentu.
4. Charles Sanders Pierce
Menurut Pierce, tanda dalam semiotika akan selalu berkaitan dengan logika, terutama logika manusia untuk menalar adanya tanda-tanda yang muncul di sekitarnya. Pierce membagi tanda atas tiga hal, yakni ikon, indeks, dan simbol.
Menurut Pierce, terdapat sebuah analisis yang berkaitan dengan esensi tanda dan mengarah pada pembuktian bahwa setiap tanda akan ditentukan oleh objeknya:
Menjadi tanda yang berupa ikon apabila diikuti oleh sifat objeknya.
Menjadi tanda yang berupa indeks, ketika kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual.
Menjadi tanda yang berupa simbol, ketika sesuatu hal diinterpretasikan sebagai objek denotatif akibat kebiasaan yang berlaku.
Pierce juga membagi tanda menjadi sepuluh jenis berdasarkan segitiga model semiotika, yakni:
a. Qualisign, yakni kualitas yang dimiliki oleh tanda. Contohnya: ―suaranya keras‖, berarti orang itu tengah marah.
b. Iconic Sinsign, yakni tanda yang diperlihatkan kemiripannya. Contoh: foto, diagram, peta, dan lain-lain.
c. Rhematic Indexical Sinsign, yakni tanda yang didasarkan pada pengalaman langsung.
yang secara langsung menarik perhatian karena kehadirannya disebabkan oleh sesuatu.
Contoh: sebuah pantai dipasang bendera bergambar tengkorak, berarti sebelumnya telah ada yang nyawa yang terenggut di lokasi tersebut.
d. Dicent Sinsign, yakni tanda yang memberikan informasi tentang sesuatu. Contoh: tanda larangan masuk di pintu ruangan kantor.
e. Iconic Legisign, yakni tanda yang memberikan informasi akan norma atau hukum.
Contoh: rambu lalu lintas.
f. Rhematic Indexical Legisign, yakni tanda yang mengacu pada objek tertentu disertai kata ganti penunjuk. Contoh: “Mana cerminku?” dan kemudian dijawab ―Itu!‖
g. Dicent Indexical Legisign, yakni tanda yang bermakna akan informasi dan menunjuk pada subjek informasi. Contoh: lampu merah yang ada di atas mobil ambulance berputar- putar, menandakan bahwa di dalam mobil tersebut ada seseorang yang sakit dan harus segera dilarikan ke rumah sakit.
h. Rhematic Symbol, yakni tanda yang dihubungkan dengan objeknya melalui asosiasi ide umum.
i. Dicent Symbol, yakni tanda yang langsung menghubungkan dengan objek melalui adanya asosiasi di dalam otak. Contoh: seseorang berkata ―Pergi!‖. Ketika mendengar hal tersebut yang padahal hanya berupa suara, tetapi otak kita menafsirkan apabila dituliskan maka akan membentuk kalimat yang memiliki tanda baca seru.
j. Argument, yakni tanda yang mereferensikan atas sesuatu berdasarkan alasan tertentu.
5. Roland Barthes
Barthes juga termasuk dalam jajaran tokoh besar di dunia semiotika. Menurutnya, semiotika adalah ilmu yang digunakan untuk memaknai suatu tanda, yang mana bahasa juga merupakan susunan atas tanda-tanda yang memiliki pesan tertentu dari masyarakat. Tanda di sini juga dapat berupa lagu, dialog, not musik, logo, gambar, mimik wajah, hingga gerak tubuh. Beliau mencetuskan model analisis tanda signifikansi menjadi dua tahap atau biasanya disebut dengan two order of signification. Kemudian, membaginya kembali menjadi denotasi dan konotasi.
Dalam signifikansi tahap pertama, berupa hubungan antara petanda dan penanda dalam bentuk nyata alias denotasi, yakni makna asli yang dipahami oleh kebanyakan orang.
Misalnya kata ―ayam‖ memiliki makna denotasi sebagai ―unggas yang menghasilkan telur dan berkotek‖.
Kemudian dalam signifikansi tahap kedua, terdapat konotasi yang menggambarkan hubungan ketika tanda tersebut bercampur dengan perasaan atau emosi. Meskipun makna denotasi dan konotasi ini memiliki perbedaan, tetapi seringkali orang tidak menyadari perbedaan tersebut, sehingga membutuhkan analisis semiotika untuk menyelidikinya.
6. Jacques Derrida
Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda (siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip.
Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.
Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak hal.
Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung ‗sesat‘ atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya.
Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai ‗klasik‘ yang menandakan kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya dianggap bernilai tinggi,
‗berpengalaman‘, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya temporer.Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan sebagai ‗fokus ke atas‘ yang memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut menawarkan kekhidmatan yang indah yang ‗mempertemukan‘ jemaat dan Tuhan-nya secara khusuk, semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa.
Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan (―menghancurkan‖ atau mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas.Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut.
7. Umberto Eco
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer.
Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006).
Berkaitan dengan semiotika, belakangan ini, semiotika menunjukkan perhatian besar dalam produksi tanda yang dihasilkan oleh masyarakat linguistic dan budaya. Berbeda dengan konsep yang lebih statis yang diajukan Ferdinand de Saussure tentang tanda dan pendekatan
taksonimis semiotika, serta pendekatan semiotika Charles Sanders Peirce yang bersifat taksonimis, Eco memastikan diri untuk menyelidiki sifat – sifat dinamis tanda.
Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimpulkan bahwa ―satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean‖. Eco menggunakan ―kode-s‖ untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik.
Kode-s bisa bersifat ―denotatif‖ (bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau
―konotatif‖ (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini.
8. M.A.K Halliday
Akar pandangan Halliday yang pertama adalah bahasa sebagai semiotika sosial. Hal ini berarti bahwa bentuk-bentuk bahasa mengodekan (encode) representasi dunia yang dikonstruksikan secara sosial. Halliday memberi tekanan pada keberadaan konteks sosial bahasa, yakni fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa dan bagaimana perkembangannya (Halliday, 1977, 1978; Halliday & Hasan, 1985). Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang lain seperti tradisi, sistem mata pencarian, dan sistem sopan santun secara bersamasama membentuk budaya manusia. Halliday mencoba menghubungkan bahasa terutama dengan satu segi yang penting bagi pengalaman manusia, yakni segi struktur sosial.
Dalam berbagai tulisannya, Halliday selalu menegaskan bahwa bahasa adalah produk proses sosial. Seorang anak yang belajar bahasa dalam waktu yang sama belajar sesuatu yang lain melalui bahasa, yakni membangun gambaran realitas di sekitar dan di dalamnya. Tidak ada fenomena bahasa yang vakum sosial, tetapi ia selalu berhubungan erat dengan aspek-aspek social.
Semiotika Sosial dari M.A.K. Halliday dalam analisis isi media, adalah untuk menemukan hal terkait dengan tiga komponen Semiotika Sosial, yaitu: Medan Wacana (field of discourse); Pelibat Wacana (tenor of discourse); dan Sarana Wacana (mode of discourse).
Dari segi Medan Wacana (field of discourse) maka tujuannya untuk mengetahui apa yang dijadikan wacana media massa mengenai sesuatu yang terjadi di lapangan.
Terkait Pelibat Wacana (tenor of discourse), maka untuk megetahui orang-orang yang dicantumkan dalam teks (seperti berita, editorial, dan lain-lain); sifat orang-orang itu, kedudukan dan peranan mereka.
Sementara dari segi Sarana Wacana (mode of discourse), untuk mengetahui bagian yang diperankan oleh bahasa: bagaimana komunikator (media massa) menggunakan gaya bahasa untuk menggambarkan medan (situasi) dan pelibat (orang-orang yang dikutip).