• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN DEVELOPMENTALISME MOH. SJAFEI: MEMBANGUN KONSEP PENDIDIKAN BERKEBUDAYAAN DI INS KAYUTANAM (1928-1969)

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "PENDIDIKAN DEVELOPMENTALISME MOH. SJAFEI: MEMBANGUN KONSEP PENDIDIKAN BERKEBUDAYAAN DI INS KAYUTANAM (1928-1969)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Dipublikasikan Oleh :

UPT Publikasi dan Pengelolaan Jurnal

Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari Banjarmasin 130 PENDIDIKAN DEVELOPMENTALISME MOH. SJAFEI:

MEMBANGUN KONSEP PENDIDIKAN BERKEBUDAYAAN DI INS KAYUTANAM (1928-1969)

Afdhal1, Feky Manuputty2, Rizki Muhammad Ramdhan3

1,2,3

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pattimura E-mail: [email protected] /081387940750

ABSTRAK

Pada artikel ini, penulis berangkat dari masalah kemerosotan moral, mental dan intelektual pada realitas pendidikan di Indonesia. Menurut penulis, permasalahan tersebut dapat diselesaikan melalui developmentalisme pendidikan yang telah dilaksanakan oleh Moh. Sjafei di Sekolah INS Kayutanam. Sehingga tujuan dari penulisan artikel ini adalah menganalisis pemikiran Moh. Sjafei dalam kerangka konsep pendidikan developmentalisme yang diaktualisasikannya pada sekolah INS Kayu Tanam. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian studi pustaka. Penelitian ini menemukan bahwa konsep pendidikan developmentalisme Moh. Sjafei memiliki sebagai pengajaran nilai-nilai nasionalisme, pendidikan karakter, pendidikan aktif-kreatif, dan kesadaran kritis kepada siswanya. Moh. Sjafei menggunakan pendidikan sebagai sarana yang ideal bagi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia yang saat itu mayoritas penduduknya masih buta huruf.

Pendidikan yang digunakan oleh Moh. Sjafei tidak menekankan kepada guru sebagai pusat pembelajaran, tetapi siswa sebagai pusat pembelajaran. Metode pembelajarannya hampir sama dengan metode yang dikemukakan oleh Howard Gardner, yaitu metode pembelajaran multiple intelligences. Kesimpulan dari artikel ini adalah kerangka konsep pendidikan developmentalisme mampu menanamkan nilai-nilai kebudayaan sekaligus kesadaran kritis siswanya di INS Kayutanam.

Kata Kunci: Moh. Sjafei, Pendidikan Developmentalisme, Pendidikan Budaya, INS Kayutanam

ABSTRACT

In this article, the author departs from the problem of moral, mental and intellectual decline in the reality of education in Indonesia. According to the author, these problems can be solved through educational developmentalism that has been implemented by Moh Sjafei at the INS Kayutanam School. So the purpose of writing this article is to analyze Moh Sjafei's thoughts in the framework of the concept of developmentalism education which he actualized at the INS Kayu Tanam school. The research method used is a quantitative research method with the type of literature study. This study found that Moh Sjafei's concept of developmentalism education has as a teaching the values of nationalism, character education, active-creative education, and critical awareness to his students.

Moh Sjafei used education as an ideal tool for the struggle for independence of the Indonesian people, at that time the majority of the population was still illiterate. The education used by Moh Sjafei does not emphasize the teacher as the center of learning, but students as the center of learning. The learning method is almost the same as the method proposed by Howard Gardner, namely the multiple intelligences learning method. The conclusion of this article is that the conceptual framework of developmentalism education is able to instill cultural values as well as students' critical awareness at INS Kayutanam.

Keywords: Moh. Sjafei, Developmentalism Education, Cultural Education, INS Kayutanam School

(2)

Dipublikasikan Oleh :

UPT Publikasi dan Pengelolaan Jurnal

Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari Banjarmasin 131

PENDAHULUAN

Dewasa ini pendidikan Indonesia dihadapkan dengan dekandensi moral dan mental. Hal itu dapat dilihat dengan kejahatan dan kriminalitas di lingkungan sekolah, baik itu pelakunya guru ataupun siswa itu sendiri. Ragam kejahatan mulai dari kekerasan seksual (Wahyuni, 2014), bullying yang menyebabkan stress &

kematian (Khairunisa, Firman, et al., 2022; Khairunisa, Neviyarni, et al., 2022), diskriminasi terhadap agama dan etnis tertentu (Rachmawati et al., 2014; Walujono, 2014), menjamurnya paham radikalisme (Lim, 2015;

Maulana, 2017), dan lain-lain. Bahkan realitas pendidikan saat ini sudah jatuh ke dalam jurang pemerkosaan intelektual siswa. Siswa dipaksa seperti robot untuk menelan semua pelajaran yang diajarkan oleh guru, terlepas dari minat atau tidak minatnya siswa terhadap pelajaran tersebut. Hal inilah yang membuat siswa mengekspresikan kekecewaannya terhadap struktur pendidikan dengan bersikap “nakal” di luar maupun di dalam sekolah. Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia pada 2014 mencanangkan gerakan revolusi mental demi memperbaiki moral dan mental, khusunya terhadap siswa. Padahal Indonesia telah mempunyai tokoh untuk menjawab permasalahan dekandensi moral tersebut, yakni Moh. Sjafei.

Moh. Sjafei merupakan salah seorang tokoh pendidikan Indonesia pada masa pergerakan nasional.

Ia tidak hanya sekedar berteori tentang betapa pentingnya suatu pendidikan, melainkan mempraktekkan teori-teori pendidikan yang dicanangkannya dengan mendirikan sebuah sekolah di Kayutanam, yang kemudian diberi nama dengan INS (Indonesisch Nederland School) Kayutanam. Pada sekolah inilah Moh. Sjafei menerapkan konsep pendidikan developmentalisme, suatu konsep pendidikan dengan menanamkan semangat nasionalisme serta nilai-nilai kebudayaan kepada siswaannya. Konsep ini bertujuan untuk meningkatkan moral dan membagun mental yang merdeka (Afdhal, 2016).

Sejak pertama kali sekolah INS Kayutanam didirikan, Moh. Sjafei telah menanamkan kesadaran kepada siswanya tentang pentingnya pendidikan, pengajaran yang aktif dan kreatif, totalitas dalam berjuang, pendidikan kaum terjajah, dan filsafat naturalisme yang memandang alam sebagai ranah untuk belajar. Baginya, pendidikan adalah satu jalan untuk mencapai kemerdekaan yang seutuhnya. Dengan kata

lain, ketika pengajaran yang memerdekakan jiwa siswa maka kemerdekaan bukanlah hanya omong kosong belaka. Untuk pencapaian itu, maka Moh. Sjafei mempraktikkan pendidikan kritis yang berbasis pada konsep developmentalisme. Dengan tegas dikatakan bahwa mencapai kemerdekaan itu harus berlandaskan pada pendidikan yang memerdekakan jiwa siswa. Guru harus menumbuhkan kesadaran kritis pada siswa dan mendorongnya untuk menjadi lebih aktif dan kreatif.

Kemerdekaan akan tercapai ketika bangsa sudah tercerdaskan (Sjafei, 1968; Zed, 2012).

Secara garis besar artikel ini ingin memaparkan tentang konsepsi pendidikan Moh. Sjafei yang disusun dari praktik pendidikan di INS Kayutanam sejak tahun 1928-1969. Pada tahun itu, Moh. Sjafei berperan sentral sebagai pendidik sekaligus pimpinan sekolah INS Kayutanam. Pada masa ini pula ia menuangkan ide dan gagasannya tentang pendidikan, kemudian dipraktikkan melalui kurikulum sekolah tersebut. Menurut gagasan penulis, Ia telah melakukan pembelajaran developmentalisme, yaitu pembelajaran yang membangun moral dan mental siswanya sehingga benar-benar menjadi manusia yang merdeka. Konsep pendidikan developmentalisme ini telah dikembangkan oleh Dewey (Schecter, 2011) dan Kerschentainer (de Winter, 2003; Koops, 2003). Namun konsep pendidikan developmentalisme Moh. Sjafei berbeda dengan konsep pendidikan developmentalisme Jonh Dewey atau George Kerschentainer. Hal yang membuat perbedaan konsepsinya adalah filsafat pendidikan, kritiknya terhadap model pendidikan, pendekatan pembelajaran yang digunakan, serta model pembelajaran yang diterapkannya di INS Kayutanam.

Oleh karena itu, mengkaji pemikiran pendidikan Moh. Sjafei ini sangat menarik untuk dilakukan. Hal ini karena, pertama, Ia adalah salah seseorang diantara sedikit tokoh pemikir besar serta praktisi pada bidang pendidikan yang sudah menampilkan reputasinya sejak masa lalu melalui

“ruang pembelajaran INS Kayutanam” yang dibinanya semenjak tahun 1926. Kedua, hasil dari INS Kayutanam ini tidak hanya melahirkan orang-orang berkeahlian pada bidangnya, melainkan menelorkan generasi terpelajar yang sudah tercerahkan serta mencerahkan pemahaman kebangsaan di era penjajahan. Ketiga, buah pembelajaran Moh. Sjafei pada gilirannya sudah jadi bagian dari mata-rantai center of excellence (pusat keunggulan) yang

(3)

Dipublikasikan Oleh :

UPT Publikasi dan Pengelolaan Jurnal

Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari Banjarmasin 132

dibutuhkan bangsa Indonesia dalam membangun harga diri bangsa melalui pembelajaran yang memerdekakan.

METODE

Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian studi pustaka pada pada ini. Idri (2015) mengatakan bahwa penelitian pustaka dapat dilakukan dengan mengambil dan mengkaji teori yang sejalan dengan permasalahan dalam penelitian yang dilakukan. Peneliti kepustakaan dapat pula mengumpulkan data informasi bantuan berbagai macam materi yang terdapat dalam studi-studi sebelumnya (Brassington, 2017). Studi-studi tersebut dapat berupa buku, jurnal, majalah, surat kabar, internet sources, hasil penelitian yang tidak diterbitkan, dan beberapa karya tulis yang relevan lainnya.

Sementara itu, analisis dalam artikel ini menggunakan pendekatan hemeneutik. Analisis ini dilakukan dengan menafsirkan suatu teks atau kata untuk pemahaman terhadap makna yang relevan dengan objek penelitian (Dowling, 2004; Mohr et al., 2015).

Dalam hal ini, penulis menggunakan analisis hermeneutik terhadap karya Moh. Sjafei, khususnya buku yang berjudul Dasar-Dasar Pendidikan INS Kayutanam (1968) sebagai sumber utama dalam artikel ini. Hasil analsisis ini akan memudahkan penulis dalam pemetaan pemikiran pendidikan Moh. Sjafei, baik dalam kerangka teoritis maupun dalam kerangka praktisnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN Jejak Sosio-Intelektual Moh. Sjafei

Sosio-intelektual Moh. Sjafei tidak terlepas dari pengaruh didikan kedua orang tua angkatnya, yaitu Inyik Ibrahim Marah Sutan dan Andung Chalijah. Moh.

Sjafei mendapatkan ide-ide tentang pendidikan dari nasehat-nasehat yang diberikan oleh Marah Sutan.

Sedangkan ibu angkatnya, Andung Chalijah berperan besar dalam membentuk membentuk prbadi yang disiplin, suka bekerja keras, dan bekerja tanpa pamrih.

Hal itu dapat diartikan bahwa Moh. Sjafei telah mendapatkan dasar pembelajaran moral sejak belia dari kolaborasi kedua orang tua angkatnya. Di sini dapat pula dilihat bahwa kedua orang tua angkatnya merupakan sosok pendidik yang ideal, seperti yang dikatakan Ki Hadjar Dewantara bahwa seorang guru harus bertindak ing ngarso sung tulodo, ing madyo

mangunkarso, dan tut wuri handayani (Tsuchiya et al., 1987).

Navis (1996) menyebutkan bahwa kisah pengangkatan Moh. Sjafei sebagai anak oleh Marah Sutan terbilang sangat dramatis. Kisah bermula dengan pertemuan mereka pada tahun 1905 di Pontianak. Pada saat itu, Marah Sutan ditugaskan mengajar pada salah satu sekolah di Pontianak setelah perpindahannya dari Idi, Aceh. Dalam menjalankan tugasnya sebagai guru, Marah Sutan melihat anak kecil yang mengintip pembelajaran di balik jendela kelasnya. Kepala anak kecil yang mengintip tersebut sedang menjunjung nampan kue hasil buatan ibunya untuk dijajakan, kenang Marah Sutan. Di saat pembelajaran di kelas, anak kecil yang bernama Moh. Sjafei tersebut ikut terbuai dengan pengajaran Marah Sutan, terutama ketika ia menjelaskan pelajaran sejarah. Bahkan Moh.

Sjafei kecil juga ikut bernyanyi ketika Marah Sutan mengajarkan materi menyanyi dari balik jendela.

Melihat keinginan dan semangat belajar Moh. Sjafei kecil, timbullah empati dari Marah Sutan untuk menanyai tentang asal usulnya. Dari percakapan tersebut, diketahui bahwa Moh. Sjafei tidak mengenal ayahnya karena sudah ditinggal sejak bayi.

Selain itu, dalam catatan biografi kelahiran Moh. Sjafei diketahui bahwa ia dilahirkan tanggal 31 Oktober 1893. Namun, tanggal tersebut bukanlah tanggal yang pasti karena Ibu kandungnya tidak dapat mengetahui tanggal kelahiran anaknya dengan tepat.

Hal itu disebabkan karena Sjafiah – Ibu Kandung Moh.

Sjafei – diketahui buta huruf. Namun yang pasti, Marah Sutan sebagai orang tua angkat dapat memperkirakan tahun kelahiran Moh. Sjafei berdasarkan keterangan dari ibu beserta sanak keluarganya, yaitu tahun 1893.Sedangkan tanggal kelahirannya tersebut ditulis berdasarkan tanggal pengangkatannya sebagai anak oleh Marah Sutan (Navis, 1996).

Kisah pertemuan antara Marah Sutan dan Moh. Sjafei merupakan hubungan timbal balik yang saling bersambut. Keduanya memaknai pertemuan ini sebagai hal istimewa yang membawa kebaikan bagi kedua belah pihak. Bagi Marah Sutan, ia tidak lagi merasa kesepian setelah mengangkat Moh. Sjafei sebagai anaknya. Terlepas dari kenyataan bahwa Marah Sutan telah memiliki dua orang anak angkat sebelumnya, kehadiran Moh. Sjafei ini memberikan kebahagiaan dalam hidupnya. Sedangkan bagi Moh.

Sjafei, tentulah suatu hal luar biasa dapat mengubah

(4)

Dipublikasikan Oleh :

UPT Publikasi dan Pengelolaan Jurnal

Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari Banjarmasin 133

statusnya yang semula sebagai anak yatim yang tak mengetahui sama sekali tentang ayah kandungnya, menjadi anak yang memiliki sosok ayah dalam hidupnya. Bersama ayah angkatnya inilah Moh. Sjafei berkembang menjadi anak yang berbakat. Selain sebagai ayah, Marah Sutan juga berperan sebagai guru baginya. Selain karena telah memiliki darah seni dalam dirinya, dengan bimbingan dari Marah Sutan, Moh.

Sjafei mengembangkan minat bakatnya dalam melukis dan bermain biola. Kemampuannya dalam berseni juga dapat dilihat dari keterampilannya bersastra. Berkat keterampilan berbahasanya yang baik, ia pun dapat menghasilkan karya sastra berupa sebuah novel. Novel berjudul Istanbul yang ia tulis ini bercerita tentang perjuangan seorang pemuda Turki.

Adapun anekdot yang menceritakan tentang betapa Moh. Sjafei begitu menyayangi orang tua angkatnya. Ia memperlakukan kedua orang tua angkatnya, Marah Sutan dan Chalijah sudah seperti orang tuanya kandungnya sendiri. Hal yang sama pun dilakukan oleh kedua orang tua angkatnya. Mereka merawat dan membesarkan Moh. Sjafei seperti anak kandung mereka sendiri. Karena sikap tauladan inilah, muncul anekdot-anekdot yang banyak dibicarakan orang pada masa itu tentang betapa penurutnya Moh.

Sjafei terhadap kedua orang tua angkatnya. Salah satunya yang paling terkenal saat itu, yaitu pada masa pendudukan Jepang ialah anekdot yang berbunyi

“ketika Moh. Sjafei diminta Andung Chalijah untuk menghidupkan lampu semprong di rumah dikala sore datang, Moh. Sjafei mau melakukannya walaupun dia sedang rapat besar dengan keresidenan Jepang. Moh.

Sjafei akan pulang dengan tergesa-gesa seperti mobil ambulans yang lewat di jalan raya (Navis, 1996).”

Kariernya dalam dunia pendidikan bermula dari keikutsertaan Moh. Sjafei pada organisasi politik.

Ia mulai tertarik untuk berorganisasi setelah banyak membaca karya para tokoh tiga serangkai pendiri Indische Partij, yakni Soewardi Surya Diningrat (Ki Hajar), Tjipto Mangunkusumo, dan Dowes Dekker.

Tulisan karya tokoh-tokoh ini dikirimkan oleh Marah Sutan ketikan Moh. Sjafei tengah mengenyam pendidikan menengah atasnya di Sekolah Raja. Pada masa itu, Indische Partij sangat populer di kalangan masyarakat karena berani secara terang-terangan mendesak pemerintah Belanda untuk segera menyatakan kemerdekaan Indonesia. Di samping itu, keanggotaan partai yang multikultural juga menjadi

daya tarik. Partai ini terdiri mulai dari pribumi, kaum timur asing, hingga peranakan. Mereka berbaur menjadi satu untuk tujuan yang sama.

Setelah menamatkan pendidikannya di Sekolah Raja Bukittinggi, Moh. Sjafei melanjutkan pendidikan ke Jakarta. Ia bersekolah di Kartini School dan di sinilah ia sering berdiskusi dengan dr. Sutomo, pendiri organisasi Budi Utomo. Kemudian Sutomo menawarkan kepada Moh. Sjafei untuk menjadi redaktur di Balai Pustaka (Isnaini, 2012) meski pada akhirnya ditolak olehnya. Ia kemudian pergi ke Belanda yang pada saat itu tengah mengalami krisis ekonomi yang dikenal dengan “zaman beras mahal”. Di sana ia berperan aktif dalam sebuah organisasi pelajar yang didirikan oleh Moh. Hatta yaitu “Indonesisch Vereeniging” dan menjadi redaktur rubrik pendidikan organisasi tersebut (Navis, 1996).

Di Indonesia sendiri, gerakan Indische Partij yang radikal terhadap pemerintahan Belanda yang berkuasa pada masa itu, mengakibatkan tokoh pendiri gerakan itu ditangkap dan diasingkan. Partai itu pun menjadi limbung karena kehilangan pemimpinnya.

Akhirnya terbentuklah partai jelmaan yang menamakan diri sebagai Partai Insulinde. Partai ini beranggotakan para pengurus partai Indische Partij, sehingga ideologi dan tujuan partai tetap sama. Bentuk perjuangannya pun sama, yaitu secara radikal memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Maka, sekembalinya Moh. Sjafei dari Belanda, ia pun bersama Marah Sutan mengambil peran dalam partai tersebut. Moh. Sjafei menjadi koordinator partai seluruh cabang di luar Pulau Jawa, sedangkan Marah Sutan menjadi pimpinan cabang wilayah Jakarta.

Setelah berkecimpung langsung dalam dunia perpolitikan, pada akhirnya Moh. Sjafei tersadar bahwa pergerakan yang ia tempuh tidak lantas memberikan jalan keluar atas kondisi yang terjadi saat itu, tetapi justru menimbulkan masalah lain seperti konflik internal partai yang pada akhirnya menjadikan kemerdekaan itu sendiri hanya angan-angan belaka.

Moh. Sjafei pun beralih haluan. Ia mengambil jalan perjuangan melalui pendiidkan. Melalui pendidikan inilah cita-cita kemerdekaan bangsa dapat tercapai.

Moh. Sjafei juga pernah menjabat sebagai Menteri Pengajaran pada masa kabinet Sjahril II dalam periode 12 Maret – 12 Oktober 1946.

(5)

Dipublikasikan Oleh :

UPT Publikasi dan Pengelolaan Jurnal

Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari Banjarmasin 134

Pendidikan Developmentalisme: Konsep Sosiologi Pendidikan Moh. Sjafei

Pemikiran Moh. Sjafei dalam konsep pendidikan, sedikit banyak dipengaruhi oleh seorang tokoh yakni John Dewey. Konsep pemikiran Dewey ini diperkenalkan kepada Moh. Sjafei dari seorang Dewan Pendidikan yang giat memperjuangkan pendidikan untuk Bumiputera, yaitu Dr. Nieuwebhuis. Dikutip dari G. J. Nieuwebhuis dalam Lilih Kurniasih bahwa ia memperkenalkan pemikiran-pemikiran Montessori dan John Dewey kepada Moh. Sjafei (Kurniasih, 1990).

John Dewey adalah seorang filsuf sekaligus kritikus sosial dari Amerika yang banyak memberikan pengaruh dalam sejarah pendidikan Amerika Serikat. Ia lahir pada tanggal 20 Oktober 1859 dari pasangan Archibald Dewey dan Lucina Rich di Burlington.

Dewey memulai sejarah intelektualnya sejak kuliah di Universitas Vermont pada 1875. Ketika itu, ia mulai menekuni filsafat setelah membaca teks fisiologi Huxley. Setelah lulus, Dewey bekerja sebagai guru dan ikut program Pascasarjana di Universitas John Hopkins.

Di sana ia bertemu dengan Morris, seorang dosen yang gencar mengajarkan Dewey tentang filsafat idealism dari Hegel. Dari sinilah Dewey mendapat pengaruh yang besar dari filsafat Hegel (Dewey, 1966, 1986).

Pendidikan bagi John Dewey ialah suatu tujuan tanpa akhir, yang artinya pendidikan adalah sesuatu yang terus bergerak menghasilkan pengetahuan yang terus bertambah. Diibaratkan seperti cakrawala yang terus-menerus dikejar namun tak pernah terjangkau. Begitulah tujuan pendidikan yang dinyatakan oleh John Dewey, rekonstruksi pengalaman kita harus diarahkan untuk mencapai efesiensi sosial, dengan demikian pendidikan sudah semestinya terdiri atas jalinan proses sosial. Sekolah yang aktif, dinamis, dan terus berkembang akan menjadi fasilitator bagi anak untuk belajar melalui pengalamannya dalam hubungan dengan orang lain. John Dewey memaparkan bahwa pendidikan anak merupakan hidupnya sendiri.

Seorang anak akan terus tumbuh dan mencapai sesuatu.

Pencapaian-pencapaian ini adalah titian menuju perkembangan selanjutnya. Maka dari itu, proses pendidikan adalah bentuk penyesuaian diri individu yang akan terus berlangsung selama seseorang itu hidup. Dalam proses itu, berlangsung juga proses

psikologis (perubahan tingkah laku yang tertuju pada tingkah laku yang canggih, terencana dan bertujuan) dalam proses sosiologis (perubahan adat istiadat, sikap kebiasaan dan lembaga) yang tidak terpisahkan (Dewey, 1966).

Dewey dikenal sebagai kritikus sosial yang tajam. Ia sering menyinggung tentang kesenjangan pendidikan tradisional dan pendidikan progresif.

Menurut pandangannya, kesenjangan pendidikan tradisional dengan pendidikan progresif terjadi berkat pembaharuan yang dilakukan akibat rasa tidak puas terhadap pendidikan tradisional. Dapat dibilang bahwa pendidikan progresif adalah bentuk kritik terhadap pendidikan tradisional, yang kritiknya mengenai berbedaan mendasar skema pendidikan sehingga mempengaruhi hasil dari pendidikan tersebut (Dewey, 1986). Inilah pandangan John Dewey yang memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran Moh. Sjafei, yakni (1) pendidikan harus tertuju pada efesiensi sosial, atau kemanfaatan pada kehidupan sosial; (2) belajar berbuat atau belajar melalui pengalaman langsung yang lebih dikenal dengan sebutan learning by doing.

Dari sinilah pemikiran filosofi pragmatis yang dimiliki oleh Moh. Sjafei terbentuk. Ia mengatakan bahwa tanaman yang harus dipupuk itu adalah tanaman yang hidup saja, tidak untuk tanaman yang mati.

Kalimat ini bermakna, pendidikan harus ditujukan menurut minat dan bakat siswa saja, untuk pelajaran yang tidak sesuai dengan minat dan bakat siswa, tidak perlu dipaksakan. Ajarilah anak didik itu sesuai dengan minat dan bakat mereka (Ibrahim, 1978).

Teori Dewey tentang sekolah yang lebih dikenal dengan teori progressivisme, yaitu sekolah lebih menekankan pada anak didik dan minat anak tersebut pada mata pelajaran tertentu, dalam istilahnya disebut dengan student center(Padmo, 2007). Hal terkait dikatakan oleh Moh. Sjafei dalam penuturannya sebagai berikut:

“Menurut pandangan baru dalam pendidikan, murid haruslah ikut serta dalam menentukan nasibnya.

Pengertiannya, anak-anak tidak boleh pasif saja.

Mereka harus bersikap aktif pula sebanyak mungkin.

Keaktifan guru harus dikurangi. Dan keaktifan murid sangat perlu dikembangkan. Yang berlaku kini, lebih- lebih di Indonesia gurulah yang banyak keaktifannya dan murid tenggelam dalam kepasifan (Ibrahim, 1978).”

(6)

Dipublikasikan Oleh :

UPT Publikasi dan Pengelolaan Jurnal

Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari Banjarmasin 135

Dari pernyataan di atas, dapat dilihat pengaruh pemikiran pendidikan Dewey, yaitu anak di dalam kelas akan berpartisipasi dalam kegiatan fisik, yang tercermin dari kegiatan lari, melompat, dan berbagai macam gerakan atau aktivitas. Dalam kegiatan ini anak memulai proses pendidikan dan mengembangkan minatnya ke bidang lain (Reich, 2007).

Selain John Dewey, Moh. Sjafei juga memperoleh pengaruh dari Kerschentainer yang makin memperkuat ide-ide yang dimilikinya. Ia membaca karya-karya Kerschentainer semasa bersekolah di Belanda (Navis, 1996). Pengaruh Kerschentainer yang menitik beratkan tentang sekolah kerja atau sekolah kejuruan ini mendorong Moh. Sjafei untuk mendirikan sekolah kejuruan. Pada masa itu memang telah banyak sekolah-sekolah kejuruan yang didirikan oleh Kolonial, mulai dari Akademi Pelayaran (Academie der Marine) yang didirikan pada 1755, Sekolah Pertukangan Surabaya (Ambachts School van Soerabaja) pada tahun 1853, hingga terbitnya Surat Mentri Jajahan pada awal abad 20 tentang sekolah teknik kejuruan (Supriadi, 2015). Di luar semua itu, sekolah kejuruan yang didirikan Moh. Sjafei merupakan sekolah kejuruan pertama yang diperuntukkan bagi masyarakat Indonesia sekaligus didirikan oleh anak bangsa itu sendiri.

Pandangan pendidikan Kerschentainer adalah jelmaan dari tradisi pendidikan progresivisme yang mengarah pada kegiatan praksis. Gagasan yang diuraikan Kerschentainer terfokus pada peran kerja, yaitu pengembangan karakter melalui 'kebajikan borjuis' yang di kembangkannya di sekolah Munich.

Kerschensteiner menyatakan bahwa sejatinya tujuan dari pendidikan adalah untuk mempersiapkan siswanya

dalam dunia kerja, sehingga pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang memberikan pengalaman kerja kepada siswanya. Dengan gagasan itu, ia mendidikan Sekolah Kerja atau Sekolah Kejuruan sebagai sekolah yang ideal untuk masa depan. Pada sekolah ini, siswa tidak hanya diajarkan tentang pelajaran yang khusus untuk dunia kerja, tetapi juga diajarkan tentang semangat nasionalisme (Winch, 2006). Dipaparkan oleh Emanuele Balduzzi tentang pandangan Kerschentainer, bahwa konsep pembelajaran kejuruan dari Kerschentainer memberikan kontribusi besar baik secara teoritis maupun praksis. Konsep yang digunakan Kerschentainer ialah konsep pendidikan pengamatan eksternal, yaitu metode yang menunjang siswa untuk mengekspos segala pengetahuan melalui jalannya sendiri (Balduzzi, 2009).

Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian komprehensif dua peneliti di atas ialah bahwa Kerschentainer adalah tokoh pendidikan progresif yang menitikberatkan pandangannya pada pendidikan kejuruan. Konsep pemikirannya memberikan pengaruh yang cukup besar bagi Moh. Sjafei dalam mendirikan INS Kayutanam. INS Kayutanam sendiri adalah sekolah kejuruan yang diusungkan oleh Moh. Sjafei dalam dasar-dasar pendidikan(Sjafei, 1968). Dengan tegas Moh. Sjafei mengatakan bahwa “kalau sekiranya sekolah gabungan seperti dimaksud di atas tidak bisa dilakukan, maka sifat kerja positif itu dimasukkan ke dalam program ilmu umum biasa, atau sebagian kecil ilmu kejuruan dipakai sebagai alat pendidikan juga ilmu umum(Sjafei, 1968).”

Berikut adalah tabel yang menjabarkan perbandingan konsepsi pendidikan dari Moh. Sjafei, John Dewey dan George Kerschensteiner.

Tabel 1. Perbandingan Pemikiran Pendidikan Moh. Sjafei, John Dewey dan George Kerschensteiner

Perbandingan Moh. Sjafei Jonh Dewey Kerschensteiner Filsafat

pendidikan

Filsafat pendidikan developmentalisme dengan filosofi “Alam takambang jadi guru”

Filsafat pendidikan developmentalisme dengan berakar pada filsafat naturalistik J.J.

Rousseau

Filsafat pendidikan developmentalisme dengan aliran pendidikan

progresivisme Kritikan terhadap

model pendidikan

Model pendidikan tradisional merusak jiwa aktif kreatif siswa, dan melawan indoktrinasi

Model pendidikan tradisional yang tidak memuaskan sehingga tidak terciptanya suasana

Pendidikan yang berdaya guna untuk pembangunan negara

(7)

Dipublikasikan Oleh :

UPT Publikasi dan Pengelolaan Jurnal

Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari Banjarmasin 136

pendidikan kolonial yang demokrasi di dalam kelas

Pendekatan pembeajaran

Murid sebagai subjek belajar

Student center Student center Model

pembelajaran

Pendidikan berdasarkan minat dan bakat

Pendidikan demokrasi Pedidikan kejuruan

Sumber: diolah dari berbagai sumber (2022)

Mengkonstruksi Pendidikan Yang Berkebudayaan di INS Kayutanam

Bermula dari karangan-karangan Tiga Serangkai yang dikirimkan oleh Marah Sutan terhadap Moh. Sjafei semasa duduk di bangku Sekolah Raja.

Karangan tersebut membuka mata Moh. Sjafei bahwa kejamya kolonialisme Belanda. Bahkan pengembaran dan perjalanan menuntut ilmu ke Eropa membuat Moh.

Sjafei semakin sadar dengan bahaya laten kolonialisme.

Apalagi ketika Moh. Sjafei tergabung dalam Perkumpulan Pelajar Indonesia di Belanda. Disitulah tempat ia berdialektika dengan Hatta dan kawan-kawan dalam rangka memikirkan masa depan Indonesia kelak.

Dialektika yang panjang tersebut memunculkan pertanyaan besar dalam pikiran Moh.

Sjafei. Alam Indonesia yang kaya dengan air dan mineral, tanahnya yang subur bukan main. Tongkat di lempar saja bisa tumbuh subur tampa harus bersusah payah untuk memupuk. Namun, dengan segala kekayaan alam tersebut malahan membuat bangsa Indonesia menjadi miskin. Ibarat pepatah, sudah seperti itik yang mati kehausan di lautan, dan seperti ayam mati kelaparan di lumbung padi. Akhirnya, pertanyaan besar ini terjawab juga oleh Moh. Sjafei, bahwa yang membuat miskin itu adalah jiwa manusia Indonesia itu sendiri. Sebagaimana yang disampaikan oleh Moh.

Sjafei bahwa

“Dengan demikian terbukalah mata saya dengan mengalami perbedaan hidup yang sangat tajam antara manusia pribumi dengan manusia Belanda penjajah.

Pertanyaan timbul dalam hati saya, apakah sebabnya bangsa Belanda yang sedikit jumlahnya dapat menguasai bangsa Indonesia yang jauh lebih besar jumlahnya dan mendiami daerah yang luas pula dari negeri Belanda. Teka-teki ini dapat saya pecahkan setelah saya berada dan hidup di tengah-tengah masyarakat bangsa Belanda di negerinya. Jelas

nampaknya faktor alam dan lingkungan masyarakat itu mempengaruhi jiwa manusia. ... untuk mencapai itu, haruslah sistem pendidikan kita ditujukan dan ditumpukan ke arah itu. Dan telah dapat dipastikan, bahwa ketinggalan kita dari bangsa yang telah maju akan dikejar atau kita lampaui kelak di kemudian hari (Ibrahim, 1978).”

Dari kesadaran kesenjangan sosial ekonomi antara pribumi dengan Belanda membuat Moh. Sjafei sadar akan pentingnya pendidikan. Pendidikan yang mengarah kepada kemajuan, bukan pendidikan ala kolonial yang dibuat oleh Belanda. Pendidikan kolonial yang dibuat oleh Belanda akan mengarah kepada pelanggengan kekuasaannya sebagai negara kolonial.

Tidak tanggung-tanggung, Moh. Sjafei mengatakan bahwa sekolah yang dibuat oleh Belanda hanyalah untuk kepentingannya. Bangsa Indonesia hanya diperbolehkan sekolah sampai sekolah rendah. Bahkan untuk belajar berbahasa Belandapun dilarang, karena buku-buku acuan pembelajaran banyak yang berbahasa Belanda. Bangsa Belanda tidak menginginkan bangsa Pribumi untuk pintar, karena nanti kepintarannya tersebut digunakan untuk memberontak terhadap Belanda (Navis, 1996).

Melihat Belanda yang tidak mau membuka kesempatan berpendidikan kepada kaum pribumi tersebut, kemudian rasa cinta Moh. Sjafei semakin besar terhadap bangsa Indonesia ini. Moh. Sjafeiyakin bahwa nilai-nilai budaya Indonesia mengandung unsur pendidikan yang tinggi. Semboyan ataupun petuah- petuah yang diajarkan secara turun menurun tersebut mempunyai dasar pendidikan yang berkebudayaan.

Moh. Sjafei yang dibesarkan di tanah Minangkabau melihat bahwa budaya-budaya dan petuah nenek moyang mempunyai makna dan unsur pendidikan.

Beberapa petuah budaya Minangkabau yang diyakini Moh. Sjafei dan diterapkannya dalam INS Kayutanam

(8)

Dipublikasikan Oleh :

UPT Publikasi dan Pengelolaan Jurnal

Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari Banjarmasin 137

seperti alam takambang jadi guru, serta nasehat dari Marah Sutan “jadilah engkau jadi engkau”.

Alam takambang jadi guru(alam berkembang jadi guru), artinya segala bentuk kejadian yang dialam iin akan dimaknai dan dipelajari. Alam memberikan pelajaran yang berharga terhadap manusia. Filosofis alam takambang jadi guru menjadikan manusia sebagai substansi alam. Manusia dengan alam mempunyai keterhubungan yang dialektis, saling mempengaruhi.

Manusia dengan alam masuk dalam suatu sistem yang saling berhubungan, alam selalu memberikan pelajaran terhadap manusia. Dari sinilah yang dibutuhkan kepekaan manusia terhadap lingkungannya.

Konsep-konsep filosofis alam takambang jadi guru dikembangkan oleh Moh. Sjafei dalam proses belajar dan pembelajaran. Dasar filosofis ini kemudian memunculkan petuah belajar yang terkenal dari Moh.

Sjafei. Petuah tersebut berbunyi “Jangan minta buah mangga pada pohon rambutan tapi jadikanlah setiap pohon itu berbuah manis.” Lebih tegas, Moh. Sjafei mengatakan bahwa

“Meskipun sama-sama pohon, hasil pekerjaannya berlain-lainan. Pohon mangga menghasilkan buah mangga, pohon durian menghasilkan buah durian, dan sebagainya. Dari keadaan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa tiap-tiap macam pohon mempunyai tugas masing-masing.

Dengan lain perkataan bahwa pohon mempunyai bakat sendiri-sendiri (Sjafei, 1968).”

Dari pernyataan Moh. Sjafei tersebut, hampir senada dengan pernyataan Howard Garner tentang pendidikan Multiple Intelligens. Dalam konsep Gardner, setiap manusia mempunyai keunikan dan kecerdasannya sendiri-sendiri. Gardner mengklasifikasikan kecerdasan menjadi Verbal/Linguistic Intelligence, Logical mathematical Intelligence, Visual/Spatial Intelligence, Bodily/kinesthetic Intelligences, Musical/Rhythmic Intelligence, Interpersonal Intelligence, Intrapersonal Intelligence, Naturalist Intelligence (Gardner, 2010).

Agak sedikit berbeda dengan Gardner, Moh.

Sjafei juga membicarakan mengenai watak manusia yang dibentuk oleh alam. Moh. Sjafei menjelaskan mengenai watak budaya bangsa akan dibentuk oleh kondisi alam tempat hidupnya. Misalnya watak orang pantai akan berbeda dengan watak orang pegunungan.

Watak orang gurun pasir juga akan berbeda dengan

watak orang lembah hijau. Artinya Moh. Sjafei sepakat bahwa alam juga mampu membentuk watak dan karakter manusia.

Konsep-Konsep Pokok Pembelajaran di INS Kayutanam

Ada beberapa konsep pokok yang dikembangkan oleh Moh. Sjafei dalam praktek belajar dan pembelajaran di INS Kayutanam. Dengan dasar alam takambang jadi guru, Moh. Sjafei membagi empat konsep pendidikan INS Kayutanam. Keempat konsep ini antara lain pendidikan akademik, pendidikan keterampilan, kerohanian dan kesiswaan. Keempat konsep pokok ini sama pentingnya, tidak ada yang diunggulkan satu sama lain. Berbeda dengan konsep pendidikan yang dikembangkan oleh pemerintah, di mana hanya mementingkan kecerdasan akademik.

Konsep pendidikan yang dicetuskan oleh Moh.

Sjafei hampir senada dengan konsep pendidikan yang dicetuskan oleh Bloom. Ketika Bloom mengklasifikasikan pendidikan dalam tiga ranah, yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik; maka Moh.

Sjafei mengklasifikasikan pendidikan dalam empat ranah yaitu ranah kognitif (otak), ranah afektif (hati), ranah psikomotorik (tangan) dan kesiswaan atau sosial kemasyarakatan (Navis, 1996).

Moh. Sjafei tidak memandang bahwa pintar atau bodohnya seorang anak, tetapi dalam proses belajar pembelajaran yang dipentingkan oleh Moh.

Sjafei adalah seberapa besarnya usaha anak dalam belajar. Baginya setiap anak memiliki kekhasan masing-masing, ada anak yang pintar dalam ilmu logika matematika, ada anak yang pintar dalam bermain musik dan kesenian, ada anak yang pintar dalam olahraga.

Dari segala macam puspa ragam kepintaran yang dimiliki oleh siswa, Moh. Sjafei tidak memaksakan pelajaran yang tidak disenangi oleh siswanya. Dengan melakukan pendidikan seperti tersebut, artinya Moh.

Sjafei telah melakukan revolusi mental yang praksis terhadap siswanya. Mental-mental yang dikembangkannya adalah mental percaya terhadap kemampuan diri sendiri dan mengembangkan potensi diri semaksimal mungkin. Sehingga sikap hipokrit dan enggan bertanggung jawab tidak akan berkembang dalam sistem pendidikan.

(9)

Dipublikasikan Oleh :

UPT Publikasi dan Pengelolaan Jurnal

Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari Banjarmasin 138

Revolusi mental menurut Moh. Sjafei tidak akan lengkap ketika sekolah tersebut tidak mempunyai asrama. Jika sekolah yang dikembangkan oleh pemerintah dengan waktu hanya 8 jam sehari siswanya berada dalam pengawasan sekolah dan guru. Setelah 8 jam tersebut, siswa tidak berinteraksi dengan sekolah lagi. Akibatnya pembelajaran di sekolah tersebut tidak dapat di transformasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Alasan yang kuat dikatakan oleh Moh. Sjafei bahwa di lingkungan tempat tinggal siswa banyak tersebar virus- virus kolonial. Virus tersebut akan melemahkan potensi-potensi yang dimiliki oleh siswa.

Moh. Sjafei mencontohkan pendidikan yang berasrama seperti kesuksesan pendidikan pada bangsa Sparta pada zaman Yunani. Bangsa Sparta yang semula adalah salah satu suku bangsa yang kecil, dan selalu dilanda angkara murka oleh suku-suku yang berada disekitarnya. Oleh karena itu, bangsa Sparta mulai membangun kekuatan besar melalui pendidikan yang berasrama. Anak-anak yang mulai dewasa kemudian dimasukkan ke asrama untuk mendapatkan pendidikan militer secara intensif dengan metode yang sangat disiplin. Alhasil, beberapa tahun kemuadian bangsa Sparta menjadi penguasa semenanjung Yunani dan disegani oleh bangsa-bangsa sekitarnya.

Bagi Moh. Sjafei pendidikan asrama sangat penting, karena dengan asrama ini anak-anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik. Bukan berarti anak yang bercerai dengan orang tua karena tinggal di asrama, orang tua tidak sayang terhadap anak. Justru dengan asrama, seorang anak akan menjadi mandiri dan mampu mengurus dirinya sendiri. Sebagaimana yang dikatakan oleh Moh. Sjafei bahwa

Asrama . . . itu gunanya untuk mengajar anak agar mampu mengurus dirinya sendiri, terbiasa mengatasi kesulitan, tidak enggan bekerja keras, yang nanti akan bermanfaat dalam menempuh hidup dalam masyarakat yang tidak ramah, malahan lebih berupa pertempuran hidup yang dahsyat, di mana siapa yang kuat, yang pintar, yang rajin akan menang (Navis, 1996).

PENUTUP

Konsep pendidikan developmentalisme yang yang digagas oleh Moh. Sjafei di INS Kayutanam merupakan suatu konsep pendidikan yang berusaha memanusiakan manusia dan menanamkan semangat berjuang kepada siswa. Artinya, disini pendidikan

berusaha untuk mengeksistensikan bakat peserta didiknya. Karena setiap peserta didik itu adalah unik, keunikan menjadi bakat tersendiri yang mesti dikembangkan oleh sekolah. Dikaitkan dengan permasalahan pendidikan saat ini yaitu dekadensi moral dan semangat revolusi mental yang digaungkan oleh pemerintah, menunjukkan dekadensi moral terjadi karena sekolah sering kali tidak bisa mengembangkan bakat yang dimiliki oleh peserta didiknya, sehingga mereka dipaksakan mengikuti proses pembelajaran yang tidak sesuai dengan bakatnya. Padahal jauh-jauh hari Moh. Sjafei melalui INS Kayutanam tidak pernah memaksakan peserta didiknya untuk mengikuti proses pembelajaran yang tidak sesuai dengan bakatnya.

Selain itu, melalui sekolah INS Kayutanam Mohn Sjafei menanamkan nilai-nilai moralitas berupa suka bekerja keras serta berwatak kuat. Tidak hanya itu, Moh. Sjafei melalui konsep pendidikan developmentalisme juga menanamkan nilai-nilai kebudayaan dan revolusi mental pada kurikulum sekolah ini. Revolusi mental tidak bisa berjalan dengan baik jika tidak adanya asrama di sekolah, karena asrama ini berkaitan membentuk mental seluruh peserta didik.

Asrama akan membentuk mental mandiri dan penuh tanggung jawab peserta didiknya. Hal inilah yang dikatakan sebagai pendidikan developmentalisme dalam sudut pandang Moh. Sjafei.

REFERENSI

Afdhal. (2016). Pendidikan Developmentalisme Moh.

Sjafei: Mengurai Kembali Simpul-Simpul Pendidikan Berkebudayaan di INS Kayutanam.

Jurnal Scripta, 3(Sociology of education), 1–15.

Balduzzi, E. (2009). En la raíz del activismo: el sentido educativo del actuar en Kerschensteiner, Ferrière y Dévaud.

Brassington, R. (2017). Desk Study (pp. 17–28).

https://doi.org/10.1002/9781118397404.ch2 de Winter, M. (2003). On Infantilization and

Participation: In W. KOOPS & M.

ZUCKERMAN (Eds.), Beyond the Century of the Child (pp. 159–182). University of Pennsylvania Press. http://www.jstor.org/stable/j.ctt3fj4kh.12 Dewey, J. (1966). Democracy and education (1916). Jo

Ann Boydston (Ed.). The Middle Works of John Dewey, 9, 1899–1924.

Dewey, J. (1986). Experience and education. The Educational Forum, 50(3), 241–252.

(10)

Dipublikasikan Oleh :

UPT Publikasi dan Pengelolaan Jurnal

Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjari Banjarmasin 139

Dowling, M. (2004). Hermeneutics: an exploration.

Nurse Researcher, 11(4).

Gardner, H. (2010). Multiple intelligences. New York.- 1993.

Ibrahim, T. (1978). Pendidikan Moh. Sjafei INS Kayutanam. Mahabudi Jakarta.

Idri, N. A. (2015). Social Science Research: From Field to Desk. AWEJ, 6, 420–422.

Isnaini, M. (2012). Moehammad Sjafei: Pemikiran dan Praktik Pendidikan tentang Ruang Pendidik INS Kayu Tanam. Jurnal Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, 1–13.

Khairunisa, K., Firman, F., & Riska, R. (2022).

Implementasi Konseling Multikultur dalam Menanggulangi Bullying. Jurnal Mahasiswa BK An-Nur: Berbeda, Bermakna, Mulia, 8(2), 97–

103.

Khairunisa, K., Neviyarni, N., Marjohan, M., Ifdil, I., &

Afdal, A. (2022). Konseling Kelompok dengan Pendekatan Eklektik untuk Menurunkan Tingkat Stress pada Peserta Didik Korban Bullying.

Jurnal Mahasiswa BK An-Nur: Berbeda, Bermakna, Mulia, 8(2), 104–111.

Koops, W. (2003). Imaging Childhood. In W. KOOPS

& M. ZUCKERMAN (Eds.), Beyond the Century of the Child (pp. 1–18). University of

Pennsylvania Press.

http://www.jstor.org/stable/j.ctt3fj4kh.4

Kurniasih, L. (1990). Indonesich Nederlandsce School (INS) Kayutanam, 1926-1942. Universitas Indonesia.

Lim, M. (2015). Islamic radicalism and anti Americanism in Indonesia: The role of the Internet (Issue 18).

Maulana, D. (2017). The exclusivism of religion teachers: Intolerance and radicalism in Indonesian public schools. Studia Islamika, 24(2), 395–401.

Mohr, J. W., Wagner-Pacifici, R., & Breiger, R. L.

(2015). Toward a computational hermeneutics.

Big Data & Society, 2(2), 2053951715613809.

Navis, A. A. (1996). Filsafat dan Strategi Pendidikan

M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam.

Gramedia Widiasarana Indonesia.

Padmo, S. (2007). Gerakan pembaharuan Islam Indonesia dari masa ke masa: Sebuah pengantar.

Jurnal Humaniora, 19(2), 151–160.

Rachmawati, Y., Pai, Y.-F., & Chen, H.-H. (2014). The necessity of multicultural education in Indonesia.

International Journal of Education and Research, 2(10), 317–328.

Reich, K. (2007). Interactive Constructivism in Education. Education and Culture, 23(1), 7–26.

http://www.jstor.org/stable/42922599

Schecter, B. (2011). “Development as an Aim of Education”: A Reconsideration of Dewey’s Vision. Curriculum Inquiry, 41(2), 250–266.

http://www.jstor.org/stable/41238380

Sjafei, M. (1968). Dasar-Dasar Pendidikan INS Kayutanam. INS Kayutanam.

Supriadi, D. (2015). Sejarah Pendidikan Teknik dan Kejuruan di Indonesia: Membangun Manusia Produktif. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan.

Tsuchiya, K., Sentā, K. D. T. A. K., & Hawkes, P.

(1987). Democracy and Leadership: The Rise of the Taman Siswa Movement in Indonesia.

University of Hawaii Press.

https://books.google.co.id/books?id=V55wAAA AMAAJ

Wahyuni, D. (2014). Kejahatan Seksual Anak dan Gerakan Nasional Anti-Kejahatan Seksual Terhadap Anak. Info Singkat Kesejahteraan Sosial, 6.

Walujono, A. (2014). The discrimination of the ethnic Chinese in Indonesia and perceptions of nationality.

Winch, C. (2006). Georg Kerschensteiner—founding the dual system in Germany. Oxford Review of Education, 32(3), 381–396.

Zed, M. (2012). Engku Mohammad Sjafe’i dan INS Kayutanam: Jejak Pemikiran Pendidikannya.

Tingkap, 8(2), 173–188.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil kegiatan pengabdian Kepada masyarakat mengenai sosialisasi budidaya tanaman porang menunjukkan bahwa para peserta belum mengenal jenis tanaman porang

Demikian berdasarkan keterangan dari hasil wawancara dari beberapa tanggapan tokoh agama dan masyarakat yang menjalani ketentuan adat Mandar mengenai adanya larangan perkawinan antara