Pendidikan Indonesia Apakah Sudah Merata?
Sonia Azzahra Fitria Ramadhani 2210101015
Pendidikan adalah cahaya kehidupan yang mana akan menerangi jalan tiap tiap orang yang mempelajarinya dan pendidikan juga adalah bekal kehidupan. Namun, sayangnya pendidikan yang mana seharusnya menjadi bekal untuk setiap orang itu belum lah tersebar dengan merata. Mendapatkan pendidikan yang layak dan bisa belajar dibangku sekolah juga merupakan suatu nikmat yang luar biasa karena tidak semua orang dapat merasakan duduk untuk belajar dibangku pendidikan.
Jumlah penduduk Indonesia, menduduki posisi keempat terbesar di dunia. Namun, dari jumlah yang besar ini hanya 8,5 persen berhasil lulus pendidikan tinggi. Hal ini, disampaikan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo. Ia menyebut jumlah penduduk Indonesia yang
mengenyam pendidikan tinggi memang masih rendah. Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Reformasi Birokrasi dan Pendidikan, Mohamad Nasir juga mengatakan saat ini jumlah masyarakat yang menempuh jenjang pendidikan tinggi masih rendah. Nasir mengatakan pada 2019, jumlah masyarakat yang masuk perguruan tinggi hanya mencapai 34,58 persen dari keseluruhan warga Indonesia. Menurut Nasir, terdapat dua kemungkinan untuk para lulusan jenjang SMA, yakni tidak lanjut kuliah atau langsung bekerja. Sekitar 65 persen warga Indonesia memutuskan tidak melanjutkan untuk kuliah. Persentase penduduk laki- laki yang lulus dari jenjang SMA/sederajat sebesar 72,43 persen. Sementara itu, hanya 51,76 persen penduduk perempuan yang lulus dari jenjang tersebut.
Untuk analisis alur pendidikan penduduk kelompok umur 21-24 tahun 2020, hasilnya menunjukkan bahwa ada sebesar 67,93 persen pemuda kelompok umur 21-24 tahun yang melanjutkan ke jenjang SMA/sederajat.
Dari 67,93 persen penduduk tersebut, tercatat yang berhasil lulus dari jenjang SMA/sederajat berkurang jumlahnya menjadi 63,43 persen. Kemudian 3,04
persen masih bersekolah saat disurvei. Sementara itu, 1,46 persen lainnya tercatat putus sekolah saat menempuh jenjang SMA/sederajat.
Menurut BPS, semakin tinggi jenjang pendidikan suatu penduduk artinya tingkat penyelesaian sekolahnya juga semakin rendah. Terbukti dari dari 86,86 persen penduduk yang menamatkan jenjang SMP/sederajat, hanya 67,93 persen pemuda yang melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA/sederajat.
Adapun data lengkap mengenai tingkat penyelesaian sekolah jenjang
SMA/sederajat bagi pemuda usia 21-24 tahun di Indonesia adalah sebagai berikut.
Tingkat Penyelesaian Sekolah Pemuda Usia 21-24 Tahun di Indonesia - Tamat SMP/sederajat: 86,86 persen siswa
- Putus sekolah di SMP: 1,68 persen siswa
- Melanjutkan ke SMA/sederajat: 67,93 persen siswa - Tamat SMA/sederajat: 63,43 persen siswa
- Putus sekolah di SMA/sederajat: 1,46 persen siswa - Masih bersekolah di SMA/sederajat: 3,04 persen siswa
BPS juga menyoroti fenomena penduduk yang putus sekolah hingga tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. BPS menyebut hal tersebut dapat disebabkan karena faktor ekonomi, rendahnya kemampuan akademik siswa, atau pun faktor lainnya.
Bukan hal yang awam bahwa faktor ekonomi juga mempengaruhi pendidikan seseorang. Kita semua jelas tau bahwa untuk duduk dibangku sekolah dan
mengenyam pendidikan memerlukan banyak uang, sekolah gratis tidak menjamin seluruh lapisan masyarakat dapat mencicipinya. Faktanya masih banyak
pembayaran pembayaran diluar itu semua. Miris, untuk bangsa yang masih berkembang tetapi generasi mudanya sulit mendapat pendidikan yang layak dan wajar.
Staf Khusus Wakil Presiden Bidang Reformasi Birokrasi dan Pendidikan, Mohamad Nasir juga mengatakan saat ini jumlah masyarakat yang menempuh jenjang pendidikan tinggi masih rendah. Nasir mengatakan pada 2019, jumlah
masyarakat yang masuk perguruan tinggi hanya mencapai 34,58 persen dari keseluruhan warga Indonesia. Kebanyakan dari mereka yang memilih untuk tidak melanjutkan pendidikannya memilih untuk bekerja. Melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi bukan hanya persoalan mau tidak mau, bukan hanya tentang kepintaran ataupun keinginan, tetapi juga faktor keuangan. Pendidikan kian hari semakin mahal, biaya pendidikan tinggi yang semakin tidak terarah, harga UKT yang melambung sampai langit bukanlah hal yang mudah untuk dilalui, beasiswa yang tidak merata dan tidak tepat sasaran juga menjadi pertanyaan besar bagi kita semua. Bagaimana cara pemilihan golongan UKT?
Bagaimana bisa oknum oknum dengan ekonomi lebih dari cukup itu bisa mendapatkan beasiswa?
Banyak dari kawan kawan kita yang memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya, bukan karena tidak mau tetapi karena ekonomi yang tidak
mendukung. Berlari kesana kemari mencari beasiswa, mencari bantuan untuk bisa melanjutkan pendidikan, yang didapatkan hanyalah keringanan cicilan. Tidak sedikit pula mahasiswa mahasiswi yang bekerja paruh waktu untuk bisa terus melanjutkan pendidikannya. Perjuangan para pelajar untuk bisa duduk dibangku mereka sekarang ini bukanlah hal yang mudah. Tetapi perjuangan kawan kawan kita yang melepas bangkunya karena keadaan juga bukanlah hal yang mudah dan baik baik saja untuk mereka.
Bahkan label “kuliah hanya untuk orang yang mampu” atau “tidak usah kuliah, keluarga tidak ada uang” sudah melekat erat kaitannya saat seorang anak ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hal hal seperti ini yang harusnya menjadi perhatian kita semua, ketika memiliki keinginan untuk memajukan suatu bangsa maka disitu lah generasi mudanya dibangkitkan dan diajarkan.
Ini adalah PR penting bagi kita semua, untuk meratakan pendidikan, untuk memberikan pendidikan yang layak dan untuk memajukan generasi bangsa.
Jangan sampai pendidikan yang tidak merata ini menjadi masalah besar
dikemudian hari untuk bangsa kita ini, kita harus lebih siap dan kuat untuk masa yang akan datang.