Nurleli Ramli
Implementasi Pembelajaran IPS Menengah Pertama
PENDIDIKAN KARAKTER
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta
1) Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000.00 (seratus juta rupiah).
2) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan atau huruf h, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
3) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak melakukan pelanggaran ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan atau huruf g, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau dipidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah).
4) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000.00 (empat miliar rupiah)
KARAKTER PENDIDIKAN
Penulis:
Nurleli Ramli Editor:
Sudirman Layout:
Agus Panjuwinata Desain:
Mentari Prima Copyright © 2020
Hak cipta dilindungi undang-undang pada penulis Cetakan Pertama, Desember 2020
viii + 168 halaman; 14,8 x 21 cm ISBN: 9786236622759
Diterbitkan oleh:
IAIN PAREPARE NUSANTARA PRESS Jl. Amal Bakti NO.8 Soreang e-mail: [email protected]
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah dipanjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga buku ajar Pendidikan Karakter Implementasi Pembelajaran IPS Tingkat Menengah Pertama, dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Buku ini merupakan kumpulan materi tentang pendidikan karakter dan cara mengimplementasi- kannya dalam pembelajaran IPS. Materi yang disajikan dalam buku ni menguraikan tentang langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menerapkan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran IPS. Buku ajar ini sebagai pegangan bagi mahasiswa untuk menyelesaikan mata kuliah Pendidikan Karakter dan Pembelajan IPS, sehingga buku ini menguraikan materi secara konseptual dan aplikatif agar mahasiswa memiliki gambaran penerapan pendidikan karakter utamanya dalam pembelajan IPS.
Ucapan terimakasih penulis haturkan kepada Bapak Rektor IAIN Parepare, Dekan Fakultas Tarniyah, panitia pelaksana yang telah memberikan kesemapatan kepada penulis untuk menyusun dan menyelesaikan buku ajar ini.
Tak lupa pula penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat langsung dalam merampungkan buku ajar ini serta motivasi dari teman-teman dan rekan sejawat untuk penulis dalam menyelesaikan buku ajar ini.
Semoga buku ajar ini tidak hanya bermanfaat bagi mahasiswa / mahasiswi yang memprogram mata kuliah pendidikan karakter & pembelajaran IPS, namun penulis berharap materi-materi yang disajikan dalam buku ajar ini dapat dijadikan refrensi bagi mahasiswa lain ataupun bagi
praktisi pendidikan yang membutuhkan informasi terkait dengan konsep pendidikan karakter pada tingkat satuan pendidikan menengah pertama.
Penulis menyadari bahwa buku ajar ini, belum sepenuhnya sempurna dan masih membutuhkan perbaikan.
Saran maupun kritikan dari para pembaca akan sangat berguna untuk perbaikan kualitas buku ini dan menjadi maotivasi bagi penulis untuk terus belajar dan memperbaiki karya-karya berikuntya.
Parepare, 15 Desember 2020
Penulis
DAFTAR ISI
COVER DALAM...i
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
BAB I KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER... 1
A. Urgensi Pendidikan Karakter ... 1
B. Definisi Karakter ... 4
C. Definisi Pendidikan Karakter ... 7
D. Tujuan Pendidikan Karakter ... 9
BAB II WADAH PENDIDIKAN KARAKTER ... 15
A. Prinsip Pendidikan Karakter ... 15
B. Konsep Pendidikan Karakter dalam Kurikulum 2013 ... 19
BAB III NILAI-NILAI KARAKTER A. Elemen-Elemen Karakter ... 27
B. Pembentukan Karakter ... 33
C. Butir-Butir Karakter dalam Pendidikan ... 38
D. Perbedaan dan Keterkaitan Pendidikan Akhlak terhadap Pendidikan Karakter ... 42
BAB IV PENDIDIKAN KARAKTER DAN REVOLUSI MENTAL ... 47
A. Ruang Lingkup Revolusi Mental ... 47
B. Sasaran dan Arah Revolusi Mental ... 58
BAB V PENDIDIKAN KARAKTER PADA
SEKOLAH MENENGAH PERTAMA... 71 A. Nilai-Nilai Karakter untuk SMP ... 71 B. Pendidikan Karakter secara Terpadu di SMP ... 75
BAB VI PENDIDIKAN KARAKTER SECARA
TERPADU DALAM PROSES PEMBELAJARAN ... 83 A. Penyelenggaraan Pendidikan Karakter ... 83 B. Pendidikan Karakter secara Terintegrasi
dalam Proses Pembelajaran... 87 BAB VII IMPLEMENTASI PENDIDIKAN
KARAKTER DALAM PROSES PEMBELAJARAN ... 93 A. Pembelajaran Kontekstual ... 93 B. Integrasi Pendidikan Karakter dalam
Pembelajaran ... 100
BAB VIII PEMBELAJARAN AFEKTIF
BERMUATAN KARAKTER ... 137 A. Konsep Pembelajaran Afektif Bermuatan
Karakter ... 137 B. Nilai-Nilai Karakter dalam Pembelajaran
Afektif ... 141 C. Prosedur Penerapan Pembelajaran
Afektif Bermuatan Karakter... 144 D. Variasi Pengembangan Strategi Pembelajaran
Afektif Bermuaran Karakter ... 153
BAB IX PEMBELAJARAN IPS DALAM
PEMBANGUNAN KARAKTER ... 155 A. Hakekat Pembelajaran Karakter ... 155
B. Pembelajaran IPS dalam Konteks
Pendidikan Karakter ... 158
BIODATA PENULIS ... 167
BAB I
KONSEP
PENDIDIKAN KARAKTER
A. Urgensi Pendidikan Karakter
Peserta didik sebagai generasi penerus bangsa tentunya diharapkan mampu melanjutkan estapet budaya yang menjadi ciri karakter bangsa Indonesa. Masyakarat Indonesia dikenal dengan kemajemukannya namun tetap saling menghormati satu sama lain dengan semangat gotong royongnya. Merawat karakter bangsa tentunya harus senantiasa dilakukan dengan mencontohkan perilaku berkarakter di lingkungan kita masing-masing. Peserta didik di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) tentunya masih membutuhkan dampingan orang tua, guru, dan masyarakat sekitar untuk mereka bisa belajar dan meneladani perilaku-perilaku yang sesuai dengan kaidah pancasila.
Anak akan lebih mudah belajar ketika mereka terlibat langsung dalam melaksanakannnya, oleh karena itu
Tujuan Pembelajaran:
1. Diharapkan mampu memahami urgensi pendidikan karakter.
2. Diharapkan mampu memahami defenisi pendidikan karakter.
3. Diharapkan mampu memahami tujuan pendidikan karakter.
pendampingan orang tua ataukah orang yang lebih dewasa (pengalaman) sangat dibutuhkan untuk mereka bisa langsung mengklarifikasi hal-hal yang tidak sewajarnya.
Pengaruh lingkungan bagi generasi Z saat ini umumnya dipengaruhi oleh perkembangan informasi yang sangat mudah mereka dapatkan melalaui gadget. Perilaku kasar ataupun baik akan mudah mereka serap tergantung dari seringnya mereka mengakses informasi. Filterisasi informasi yang sudah lumayan sulit dilakukan saat ini berujung pada kerja keras untuk menanamkan nilai-nalai kemanusiaan kepada generasi Z agar kelak mereka tidak melupakan jati dirinya sebagai masyarakat Indonesia.
Pendidikan ke arah terbentuknya karakter bangsa para peserta didik merupakan tanggungjawab semua guru, oleh karena itu pembinaannya pun harus oleh guru dengan demikian, kurang tepat jika dikatakan bahwa mendidik para peserta didik agar memiliki karakter bangsa hanya ditimpahkan pada guru mata pelajaran tertentu, misalnya guru PKN atau Guru PAI. Walaupun dapat dipahami bahwa yang dominan untuk mengajarkan pendidikan karakter bangsa adalah para guru yang relevan dengan pendidikan karakter bangsa tanpa terkecuali, semua guru harus menjadikan dirinya sebagai sosok teladan yang berwibawa bagi para peserta didiknya karena tidak akan memiliki makna apapun bila seorang guru PKn mengajarkan menyelesaikan suatu masalah yang bertentangan dengan cara demokrasi, sementara guru lain dengan cara otoriter atau seorang guru pendidikan agama dalam menjawab pertanyaan para peserta didiknya dengan cara yang nalar sementara guru lain hanya mengatakan asal-asalan dalam menjawab.
Pendidikan tidak hanya membangun manusia dari sisi kognitifnya saja tetapi juga sisi lain yang lebih fundamental.
Karakter (budi pekerti) merupakan bagian mendasar dari pendidikan yang perlu mendapatkan perhatian yang lebih intensif. Pendidikan karakter merupakan salah satu opsi yang harus dioptimalkan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Hal yang menjadi dasar adalah bahwa makna pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia.
Artinya, manusia sebagai makhluk Tuhan harus dibekali dengan hal lain selain kemampuan kognitifnya. Hal lain yang dimaksud pada pernyataan tersebut adalah kemampuan afektif atau sikapnya. Manusia tidak hanya diberi keterampilan dan kemampuan yang bersifat eksak yang berbicara pada aspek luar manusia secara biologis tetapi juga perlu pendidikan yang menjamah ranah inner side, mental life, mind affected word, dan geistigewelt.
Kemampuan yang perlu dikembangkan pada pembelajar adalah kemampuan untuk menjadi dirinya sendiri, kemampuan untuk hidup secara harmoni dengan manusia dan makhluk lainnya, dan kemampuan untuk menjadikan dunia ini sebagai wahana bagi kemakmuran dan kesejahteraan bersama (Kesuma, Triatna, & Permana, 2013). Hal tersebut diperlukan agar masyarakat Indonesia tidak menjadi masyrakat yang invidualis dan hanya mementingkan diri atau golongannya saja tapi juga senantiasa harus peduli terhadap masyarakat yang ada disekitarnya.
Hakikat pendidikan karakter adalah proses bimbingan peserta didik agar terjadi perubahan perilaku, perubahan sikap, dan perubahan budaya, yang akhirnya kelak mewujudkan komunitas yang beradab (Aushop, 2014).
Pendidikan karakter adalah pondasi utama dan ruh pendidikan untuk membentuk generasi yang berakhlak dan bertakwal kepada pencipta-Nya.
B. Definisi Karakter
Karakter dianggap sebagai bagian dari elemen psiko- sosial yang terkait dengan konteks sekitarnya (Koesoema, 2007). Karakter juga bisa dianggap sebagai unsur perilaku yang menekankan unsur somatopsikis (keadaan tubuh memengaruhi jiwa) yang dimiliki oleh manusia. Karakter biasanya dilihat dari perspektif psikologis. Hal ini terkait dengan aspek perilaku, sikap, cara dan kualitas yang membedakan satu orang dengan orang lain atau unsur spesifik yang bisa menyebabkan seseorang menjadi lebih menonjol dari orang lain. Karakter adalah bagian dari elemen spesifik manusia yang meliputi kemampuan mereka menghadapi tantangan dan kesulitan (Kemko Kesra 2010).
Hill mengatakan (2005), “karakter menentukan pikiran pribadi seseorang dan tindakan seseorang dilakukan.
Karakter yang baik adalah motivasi batin untuk melakukan apa yang benar, sesuai dengan standar perilaku tertinggi dalam setiap situasi”.
Karakter itu terkait dengan keseluruhan kinerja seseorang dan interaksi mereka di sekitarnya. Dengan demikian, karakter mencakup nilai moral, sikap, dan tingkah laku. Seseorang dianggap memiliki karakter yang baik dari sikap dan tindakan yang dilakukan yang mencerminkan karakter tertentu. Oleh karena itu, karakter terlihat atau tercermin dari kebiasaan seharihari manusia.
Karakter bukanlah akumulasi dari kebiasaan dan gagasan yang terpisah. Karakter adalah aspek dari kepribadian.
Keyakinan, perasaan, dan tindakan saling terkait; Mengubah karakter adalah mengatur ulang kepribadian. Pelajaran kecil tentang prinsip-prinsip perilaku baik tidak akan efektif jika tidak terintegrasi dengan sistem kepercayaan orang tentang dirinya sendiri, tentang orang lain, dan tentang kebaikan masyarakat (Cronbach, 1977).
Karakter, seperti yang disebutkan oleh Cronbach, bukanlah entitas yang memisahkan kebiasaan dan gagasan.
Karakter adalah aspek perilaku, percaya, perasaan, dan tindakan yang saling terkait satu sama lain sehingga jika seseorang menginginkannya untuk mengubah karakter tertentu, mereka perlu mengatur ulang elemen karakter dasar mereka.
Berbeda dengan Cronbach, (Lickona, 1992) melihat karakter dalam tiga elemen terkait; pengetahuan moral, perasaan moral, dan tindakan moral. Berdasarkan ketiga elemen tersebut seseorang dianggap memiliki karakter yang baik jika mereka mengetahui tentang hal-hal baik (pengetahuan moral), memiliki ketertarikan terhadap hal- hal baik (perasaan moral) dan melakukan tindakan baik (tindakan moral). Ketiga elemen tersebut akan membuat seseorang memiliki kebiasaan berpikir, perasaan, dan tindakan yang baik yang menuju Tuhan Yang Maha Esa, wujud individual mereka, orang lain, lingkungan, dan bangsa.
Secara individu, karakter bisa jadi bawaan tapi tidak sesuai karakter bangsa. Karakter bangsa tidak lahir.
Karakter bangsa akan kuat jika karakter individu rakyat juga kuat (Koellhoffer, 2009). Sebagai unsur penting yang menentukan kekuatan bangsa, karakter bangsa harus ditanamkan atau dikembangkan kepada kaum generasi
muda. Generasi muda adalah pemilik dan agen perubahan bangsa. Mereka tidak mengalami prosesnya menumbuhkan karakter bangsa sejak awal seperti yang dilakukan oleh beberapa pemimpin di masa lalu. Tanpa tindakan apapun menginternalisasi dan mensosialisasikan nilai karakter bangsa, dianggap bahwa generasi muda akan lemah dalam membangun bangsa. Dengan demikian, pendidikan karakter sangat penting bagi mereka. Pendidikan karakter bukan program baru. Ini telah menjadi bagian dari kehidupan manusia sejak berabad-abad yang lalu. Memang pendidikan itu sendiri adalah media untuk mencapai pengetahuan dan kebijaksanaan untuk menjalani hidup dan menciptakan kehidupan yang prima bagi manusia. Berkaitan dengan pendidikan karakter, terminologi pendidikan disebut sebagai proses mengumpulkan pengetahuan yang baik, sikap, dan tindakan. Pendidikan dimulai dengan membangun kesadaran, perasaan, perhatian, intensi, pengetahuan, kepercayaan dan membentuk kebiasaan. Oleh karena itu, konsep pendidikan karakter adalah:
1) Karakter tidak diajarkan tetapi ini adalah dibentuk menjadi kebiasaan misalnya menginternalisasi nilai, memilih pilihan yang baik, melakukannya sebagai kebiasaan, dan memberi contoh;
2) Mendidik karakter untuk pemuda harus melibatkan situasi dan kondisi pemuda;
3) Dalam Pendidikan beberapa masalah harus dilakukan dianggap seperti situasi belajar, proses belajar, materi pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran;
4) Pendidikan karakter prosesnya tidak pernah berakhir.
C. Defenisi Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter didefinisikan sebagai pengajaran yang dirancang untuk mendidik dan membantu peserta didik dalam mengembangkan nilai-nilai kewarganegaraan dasar dan karakter, etika pelayanan dan masyarakat sekitarnya, memperbaiki lingkungan sekolah dan prestasi belajar peserta didik. Program ini dapat mencakup pengajaran dan kepercayaan termasuk kejujuran, integritas, keandalan dan kesetiaan, hormat termasuk memerhatikan orang lain, toleransi dan sopan santun, tanggung jawab, termasuk kerja keras, kemandirian ekonomi, akuntabilitas, ketekunan, dan pengendalian diri dan keadilan termasuk keadilan sebagai konsekuensi dari perilaku buruk, prinsip- prinsip nondiskriminasi dan kebebasan dari prasangka;
peduli termasuk kebaikan hati, empati, kasih sayang, pertimbangan, kemurahan hati dan amal; dan kewarga- negaraan termasuk cinta negara, perhatian terhadap kebaikan bersama, rasa hormat kepada ooritas dan hukum dan pola pikir masyarakat (Elkind & Sweet, 2004).
Pendidikan karakter adalah tentang mengajar peserta didik bagaimana mengambil keputusan dengan baik dan bagaimana berperilaku yang sesuai aturan. Pendidikan karakter meningkatkan pengetahuan peserta didik, keterampilan dan kemampuan melalui penyediaannya untuk membuat pilihan yang baik dan bertanggung jawab (Ryan & Bohlin, 1999). Tujuan dari pendidikan karakter adalah menumbuhkan individu yang mampu memahami nilai-nilai moral dan produktif ketika mereka masih anak- anak dan menggunakan kapasitas mereka untuk melakukan yang terbaik dan melakukan hal yang benar, dan hidup dengan pengertian tujuan hidup di masa muda mereka.
Pendidikan karakter merupakan pilar utama dalam menciptakan karakter seseorang melalui pendidikan.
Pendidikan seharusnya menjadi bagian aktif dalam mempersiapkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang berpendidikan dan mampu menghadapi tantangan zaman, karena pendidikan karakter merupakan salah satu sistem penyematan nilai karakter untuk semua warga masyarakat melalui pendidikan formal atau informal, yang mana mencakup pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan keseluruhan nilai (Wibowo, 2012).
Menurut Samani dan Hariyanto (2013:46) ada 18 nilai yang terkandung dalam pendidikan karakter sebagai berikut;
1. Religius; 10. Rasa ingin tahu;
2. Jujur; 11. Persahabaran;
3. Toleransi; 12. Cinta damai;
4. Disiplin; 13. Suka membaca;
5. Kerja keras; 14. Melestarikan Lingkungan;
6. Mandiri; 15. Kepedulian sosial;
7. Kreatif; 16. Mengenali keunggulan;
8. Demokratis; 17. Rasa Hormat 9. Patriotisme; 18. Tanggung Jawab.
Dari nilai-nilai tersebut terdapat, ada empat nilai yang bersinergi dengan nilai multikultural yaitu toleransi, demokrasi, saling menghormati, dan damai.
Pendidikan karakter tidak bisa terlaksana hanya dalam batasan teoritis saja, pelaksanaannya membutuhkan dukungan lingkungan sekolah maupun masyarakat yang kondusif karena sifat anak yang senantiasa mencontoh perilaku-perilaku yang ada di lingkungan sekitarnya.
Pendidikan karakter membutuhkan pembiasaan dalam
berperilaku dan diterapkan secara terus menerus sampai mendarah daging dalam diri dan diperlukan suatu teladan dalam pelaksanaannya. Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai suatu usaha sadar yang dilakukan untuk memanusiakan manusia sesuai dengan jati dirinya agar bisa menyeimbangkan antara iman, ikhsan, dan pengetahuan yang ada dalam dirinya.
D. Tujuan Pendidikan Karakter
Mengacu pada fungsi Pendidikan Nasional UU RI No.
20 Tahun 2003 pasal 3 menyebutkan, bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan membantu watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang bertanggung jawab.
Tujuan dari pendidikan karakter, yaitu:
1. Mengembangkan potensi afektif peserta didik sebagai manusia dan warga Negara yang berbudaya dan karakter bangsa;
2. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji;
3. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab;
4. Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang kreatif, mandiri, dan berwawasan kebangsaan;
5. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas
dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi.
Menurut Handayani dan Indartono (2016:511), tujuan pendidikan karakter adalah untuk mendorong lahirnya anak-anak yang baik. Tumbuh dengan karakter yang baik, anak akan tumbuh dengan kapasitas dan komitmen untuk melakukan yang terbaik. Mereka melakukan banyak hal dengan benar, dan cenderung memiliki tujuan dalam hidup. Pendidikan Karakter yang efektif ditemukan di lingkungan sekolah yang me-mungkinkan semua peserta didik berpotensi men-demonstrasikannya untuk mencapai tujuan yang sangat penting. Tujuan pendidikan karakter lebih difokuskan pada menanamkan nilai dan mereformasi kehidupan, sehingga bisa sepenuhnya menciptakan karakter, dan karakter mulia peserta didik, terpadu dan seimbang, dan bisa dilakukan terus-menerus dalam kehidupan sehari-hari. Ini menjadi sangat penting karena pendidikan karakter memiliki posisi strategis dalam menciptakan manusia dengan karakter yang mulia.
Nilai-nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa merupakan Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa dan diidentifikasi dari sumbersumber Agama, karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama, maka kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaan. Secara politis, kehidupan kenegaraan didasari pada nilai yang berasal dari agama.Dan sumber yang kedua adalah Pancasila, Pancasila: Negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsipprinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut dengan Pancasila.Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD
1945 dan dijabarkan lebih lanjut lagi dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai – nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, ke- masyarakatan, budaya dan seni.
Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi Warga Negara yang lebih baik, yaitu Warga Negara yang memiliki kemampuan, kemauan,dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sebagai Warga Negara.Budaya sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak disadari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat tersebut.Nilai-nilai budaya tersebut dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat tersebut. Posisi budaya yang demikian penting dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
 Setelah membaca materi, silahkan menyelesaikan instruksi berikut agar menguatkan pemahaman kalian.
1. Uraikan kenapa manusia perlu menyeimbangkan antara iman, ikhsan, dan kognitifnya?
2. Uraikan kenapa pendidikan karakter sangat di- butuhkan untuk peserta didik?
3. Uraikan dengan menggunakan contoh, arti pendidikan karakter menurut Anda?
Refrensi:
Aushop, A. Z. (2014). Islamic Character Building:
Membangun Insan Kamil, Cendekia Berakhlak Qurani. Bandung: Grafindo Media Pratama.
Cronbach, Lee J. (1977). Educational Psychology 3rd edition.
New York: Harcourt Brace Jovanovich Inc.
Elkind, D. & Sweet, F. (2004). You are a character educator.
Today’s School. Peter Li Education Group.
Handayani, N., Indartono, S. (2016). The Implementation Of Multicultural Character Education. International Conference on Ethics of Business, Economics, and Social Science , 508-518.
Kesuma, D., Triatna, C., & Permana, J. (2013). Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Kemko Kesra RI. (2010). Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa. Jakarta.
Koellhoffer, Tara Tomczyk. (2009). Character Education Being Fair and Honest. New York: Infobase Publishing.
Koesoema A, Doni. 2007. Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Lickona, Thomas. (2003). My Thought About Character.
Ithaca and London: Cornell University Press.
Ryan, K., & Bohlin, K. E. (1999). Building character in schools:Practical ways to bring moral instruction to life (ERIC Document Reproduction Service No.
ED423501).
Samani, Muchlas., & Hariyanto. (2013). Pendidikan karakter, konsep dan model. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wibowo, Agus. (2012). Pendidikan Karakter: Strategi Membangun Bangsa Berparadigma. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
BAB II
WADAH
PENDIDIKAN KARAKTER
A. Prinsip Pendidikan Karakter
Kemauan untuk menerapkan suatu perilaku positif dalam diri memerlukan komitmen yang kuat dan senantiasa ditunjang oleh pembiasaan secara terus menurus.
Implementasi pendidikan karakter tentunya memerlukan prinsip agar pelaksanaannya dapat dilakukan secara efektif.
Adapun prinsip-prinsip yang diperlukan (Lickona, 2003), sebagai berikut:
1. Pengembangan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai pondasi karakter yang baik;
2. Mendefinisikan karakter secara komperhensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku;
Tujuan Pembelajaran:
1. Diharapkan mampu menguraikan prinsip pendidikan karakter.
2. Diharapkan mampu Diharapkan mampu menguraikan konsep pendidikan karakter dalam kurikulm 2013.
3. Menggunakan pendekatan yang komperhensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter;
4. Menciptakan lingkungan sekolah yang pernuh perhatian dan menyenangkan;
5. Membiasakan peserta didik untuk melakukan tindakan moral;
6. Merancang kurikulum yang bermakna dan menantang untuk menghormati semua peserta didik, pengembangan karakter, dan membantu peserta didik untuk berhasil;
7. Berusaha mendorong motivasi peserta didik;
8. Melibatkan staff sekolah sebagai komunitas pem- belajaran dan moral dengan berbagai tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan berupaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama untuk mem- bimbing pendidikan peserta didik;
9. Menumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter;
10. Melibatkan keluarga dan masyarakat sebagai mitra dalam upaya implementasi pendidikan karakter;
11. Evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekoolah sebagai pendidik karakter dan sejauh mana peserta didik memanifestasikan karakter yang baik.
Menurut Rushworth Kidder dalam How Good People Make Tough Choices, terdapat tujuh kualitas yang diperlukan dalam pendidikan karakter, yaitu pemberdaya -an, efektif, komunitas harus membantu dan mendukung sekolah dalam menanamkan nilai-nilai, integrasikan semua nilai ke dalam kurikulum dan seluruh rangkaian proses pembelajran, melibatkan komunitas dan menampilkan
topik-topik yang cukup esensial, harus ada koherensi antara cara berpikir makna etik dengan upaya yang dilakukan untuk membantu peserta didik menerapkan secara benar, dan evaluasi (Majid & Andayani, 2011).
Pendidikan Nasional menegaskan bahwa prinsip pendidikan karakter adalah:
1. Berkelanjutan
Proses pengembangan nilai-nilai karakter merupakan sebuah proses panjang dan berkelanjutan karena di mulai sejak seorang anak masuk dalam sekolah formal (TK) sampai menyelesaikan pendidikannya pada tingkat pendidikan menengah ataupun perguruan tinggi.
Pendidikan karakter digenjot oleh pendidikan sampai pada tingkat SMA/SMK/MA karena di tingkat perguruan tinggi pendidikan karakter hanya berupa pemantapan dari apa yang telah didapatkan pada tingkat satuan menengah atas.
2. Melalui semua mata pelajaran
Pendidikan karakter sejatinya tidak hanya dikhususukan pada suatu mata pelajaran tertentu akan tetapi mencakup semua mata pelajaran, selain itu pen- gembangan karakter dapat dilakukan pada setiap kegiatan kurikuler, ekstrakurikuler, dan kokurikuler. Hal ini dilaksanakan agar peserta didik terbiasa dengan perilaku yang positif.
3. Nilai tidak diajarkan tetapi dikembangkan melalui proses belajar
Materi nilai-nilai karakter bukanlah bahan ajar biasa karena memerlukan internalisasi dalam proses pembelajaran. Artinya, nilai-nilai tersebut tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika
mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, ataupun fakta seperti dalam mata kuliah ataupun mata pelajaran agama, sejarah, matematika, seni, keterampilan, dan sebagainya. Pendidik hanya perlu memasukkan nilai- nilai katakter dalam setiap mata pelajaran atau dengan kata lain perilaku peserta didik dalam pembelajaran senantiasa diarahkan untuk mengimplementasikan nilai- nilai tersebut. Pendidik juga bisa menyelipkan pengembangan karakter dalam penjelasan materi ajarnya sehingga peserta didik terbiasa.
4. Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan
Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan karakter dilakukan oleh peserta didik bukan oleh pendidik. Pendidik harus menerapkan prinsip “tut wuri handayani” dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik dan melangsungkan pembelajaran secara menyenangkan dan tidak indoktrinatif. Diawali dengan perkenalan terhadap pengertian nilai yang dikembang- kan, maka pendidik menuntut peserta didik agar secara aktif (tanpa mengatakan kepada peserta didik bahwa mereka harus aktif tetapi pendidik merencanakan kegiatan belajar yang menyebabkan peserta didik aktif merumuskan pernyataan, mencari sumber informasi dan mengumpulkan informasi dari sumber, mengolah informasi yang sudah dimiliki, merekonstruski data/
fakta/nilai, menyajikan hasil rekonstrusi/proses pengembangan nilai), menumbuhkan nilai-nilai karakter pada diri peserta didik melalui berbagai kegiatan pembelajaran yang terjadi di kelas maupun di luar kelas.
Penjelasan terkait dengan prinsip pendidikan karakter berdasarkan pendapat beberapa ahli, maka dapat disimpulkan bahwa prinsip pendidikan karakter harus mencakup:
1. Pemahaman yang komperhensif dan mendalam terhadap nilai-nilai dasar etika melalui berbagai mata pelajaran;
2. Desain program dan implementasi pendidikan karakter yang efektif dan berkelanjutan;
3. Pelibatan seluruh steak holder sekolah;
4. Memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk menerapkan dan mempraktikkan nilai-nilai karakter secara benar dalam kehidupan sehari-hari;
5. Melibatkan orang tua dan masyarakat dalam penanaman dan penghayatan nilai-nilai karakter;
6. Senantiasa melakukan evaluasi untuk pembenahan pengembangan pendidikan karakter.
B. Konsep Pendidikan Karakter Dalam Kurikulum 2013 Negara bertanggung jawab atas pemberian modal utama berupa pendidikan kepada setiap individu, oleh sebab itu penyelenggaraan sistem pendidikan nasional hendaknya mampu membentuk karakter dan pribadi setiap anak menjadi generasi penerus yang bertanggung jawab atas tumbuh kembangnya Indonesia menjadi bangsa dan Negara yang berkemajuan, beradab, dan bermartabat sepanjang zaman, serta tetap menjunjung tinggi semangat gotong royong dalam bingkai kemajemukan yang menjadi ciri Bangsa Indonesia. Kurikulum merupakan salah satu unsur yang dapat berkontribusi secara signifikan untuk mewujudkan proses berkembangnya kualitas potensi peserta didik.
Penanaman nilai-nilai karakter dalam pendidikan hendaknya didasarkan pada budaya bangsa, agar peserta didik dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya melalui pendidikan secara sistematis dan terencana mampu tampil sebagai pewaris dan pengembang budaya bangsa.
Kemampuan menjadi pewaris dan pengembang budaya bangsa akan dimiliki peserta didik apabila pengetahuan, kemampuan intelektual, sikap dan kebiasaan, serta keterampilan sosial memberikan dasar untuk secara aktif mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, warga negara, dan anggota umat manusia.
Kemampuan pengembangan diri peserta didik akan dapat terasah dan aktual melalui sistem pendidikan yang memberinya peluang untuk mengenal, mengkaji, mengembangkan, dan menginternalisasikan berbagai nilai budaya yang hidup, dan dipraktikkan di tengah-tengah masyarakat.
Pendidikan juga harus menjadi fondasi bagi kelestarian kehidupan bangsa dengan berbagai aspek kehidupannya yang menjadi indikator karakter bangsa masa kini, oleh karena itu, konten pendidikan yang dapat dipelajari oleh peserta didik tidak selalu berupa prestasi besar bangsa di masa lalu, akan tetapi juga hal-hal yang aktual pada saat kini dan akan berkesinambungan ke masa yang akan datang. Berbagai perkembangan baru dalam sains, teknologi, budaya, ekonomi, sosial, politik yang dihadapi masyarakat, bangsa, dan umat manusia dikemas sebagai konten pendidikan.
Konten pendidikan dari kehidupan bangsa masa kini merupakan dasar argumentasi bagi pendidikan untuk senantiasa terhubung dengan kehidupan masyarakat dalam
berbagai aspek kehidupan, kemampuan berpartisipasi dalam membangun kehidupan bangsa yang lebih baik, dan memposisikan pendidikan yang selalu terkoneksi dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam. Pandangan ini menjadi penting, disebabkan konten pendidikan dari kehidupan bangsa masa kini memberikan makna yang lebih mendalam bagi keunggulan budaya bangsa di masa lalu untuk didayagunakan dan dikembangkan menjadi bagian dari kehidupan masa kini.
Atas dasar pikiran itu, maka konten pendidikan yang dikembangkan dari warisan budaya dan kehidupan masa kini perlu diarahkan untuk memberi kemampuan bagi peserta didik menggunakannya bagi kehidupan masa depan terutama masa dimana dia telah menyelesaikan pendidikan formalnya. Dengan demikian sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang menjadi konten pendidikan harus dapat digunakan untuk kehidupan, dalam artian bahwa konten pendidikan yang dirumuskan dalam Standar Kompetensi Lulusan dan dikembangkan dalam kurikulum harus menjadi dasar bagi peserta didik untuk dikembangkan dan disesuaikan dengan kehidupan mereka sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan warga Negara yang produktif serta bertanggung jawab di masa mendatang.
Sebagai Negara bangsa yang luas dan besar secara geografis, dengan ratusan suku bangsa, dan besarnya potensi ekonomi berupa kekayaan alam serta potensi profesionalisme anak bangsa, dan kemajuan pembangunan dengan gradasi yang bertingkat dari satu daerah ke daerah yang lainnya selalu memberikan ancaman disintegrasi.
Kurikulum harus mampu membentuk manusia Indonesia yang mampu menjaga dan mengedepankan keharmonisan
kebutuhan individu dan masyarakat untuk mengaktualkan jati diri bangsa dan senantiasa berorientasi pada kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.
Secara proses kurikulum merupakan ide dan rancangan pembelajaran yang diimplementasikan dalam suatu kegiatan pembelajaran di mana tenaga pendidik sebagai fasilitator, sehingga pemahaman tenaga pendidik tentang kurikulum menjadi landasan utama dalam menyusun dan menentukan rancangan pembelajaran (RPP) yang kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk kegiatan pembelajaran. Kegiatan proses pembelajaran harus melibatkan peserta didik secara langsung agar mendapatkan pengalaman belajar tidak hanya secara kontekstual, akan tetapi berupa tindakan langsung yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat. Hal ini dilakukan agar tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dalam RPP terimplementasi bagi peserta didik sebagai suatu hasil pembelajaran.
Pemberian pengalaman langsung kepada peserta didik berarti membuka kesempatan yang seluas-luasnya kepada peserta didik untuk berkreasi mengembangkan potensi dirinya menjadi hasil belajar yang sama atau lebih tinggi dari yang dinyatakan dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Kurikulum berbasis kompetensi adalah
“outcomebased curriculum” yang meniscayakan pengembangan kurikulum diorientasikan kepada pencapaian kompetensi yang dirumuskan dari SKL.
Demikian pula, penilaian hasil belajar dan hasil kurikulum diukur dari pencapaian kompetensi. Keberhasilan kurikulum diartikan sebagai pencapaian kompetensi yang
dirancang dalam dokumen kurikulum yang ditujukan kepada seluruh peserta didik.
Berdasarkan pemikiran dan pernyataan di atas, maka diperlukan kurikulum berbasis kompetensi sebagai instrument yang dapat mengarahkan peserta didik menjadi:
1. Manusia berkualitas yang mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah;
2. Manusia terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri;
3. Warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Pengembangan dan pelaksanan kuirkulum berbasis kompetensi merupakan salah satu strategi pembangunan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Karakteristik kurikulum berbasis kompetensi adalah:
1. Isi atau konten kurikulum adalah kompetens yang dinyatakan dalam bentuk Kompetensi Inti (KI) mata pelajaran dan diperinci lebih lanjut ke dalam Kompetensi Dasar (KD);
2. Kompetensi Inti (KI) merupakan gambaran secara kategorial mengenai kompetensi yang harus dipelajari peserta didik untuk suatu jenjang sekolah, kelas, dan mata pelajaran;
3. Kompetensi Dasar (KD) merupakan kompetensi yang dipelajari peserta didik untuk suatu mata pelajaran di kelas tertentu atau mata pelajaran tertentu;
4. Penekanan kompetensi ranah sikap, keterampilan kognitif, keterampilan psikomotorik, dan pengetahuan
untuk suatu satuan pendidikan, dan mata pelajaran ditandai oleh banyaknya KD suatu mata pelajaran;
5. Kompetensi Inti menjadi suatu organisatotis kompetensi bukan konsep, generalisasi, topik atau sesuatu yang berasal dari pendekatan “discipliniary-based curriculum” ; 6. Kompetensi Dasar yang dikembangkan didasarkan pada prinsip akumulatif, saling memperkuat, dan memperkaya antar mata pelajaran ;
7. Proses pembelajaran didasarkan pada upaya menguasai kompetensi pada tingkat yang memuaskan dengan memperhatikan karakteristik konten kompetensi di mana pengetahuan adalah konten yang bersifat tuntas (mastery). Keterampilan kognitif dan psikomotorik adalah kemampuan penguasaan konten yang dapat dilatihkan. Adapun sikap adalah kemampuan pen- guasaan konten yang lebih sulit dikembangkan dan memerlukan proses pendidikan yang tidak langsung;
8. Penilaian hasil belajar mencakup seluruh aspek kompetensi, bersifat formatif dan hasilnya segera diikuti dengan pembelajaran remedial untuk memastikan penguasaan kompetensi pada tingkat memuaskan (Kriteria Ketuntasan Minimum / KMM dapat dijadikan tingkat memuaskan).
Dari paparan diatas, maka dapat dilihat secara jelas konsep pendidikan karakter terintegrasi secara gambling di dalam kurikulum 2013. Kompetensi Inti (KI) terdiri dari, KI 1 yaitu sikap spiritual, KI 2 yaitu sikap sosial, KI 3 yaitu pengetahuan, dan KI 4 yaitu keterampilan. Sikap spiritual dideskripsikan dengan beriman dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa. Sementara sikap sosial dideskripsikan dengan berakhlak mulia, sehat, mandiri, dan demokratis, serta bertanggung jawab. Untuk lebih jelasnya berikuti
ditampilkan contoh RPP pada tingkat SMP yang memuat KI dan KD pada suatu mata pelajaran IPS tingkat SMP kelas VII.
 Setelah membaca materi yang disajikan, silahkan menyelesaikan instruksi berikut ini:
1. Uraikan dengan menggunakan contoh kenapa salah satu prinsip pendidikan karakter harus melibatkan orang tua peserta didik?
2. Uraikan, kenapa penerapan pendidikan karakter di sekolah tidak hanya melibatkan guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran?
3. Uraikan, kenapa penerapan pendidikan karakter harus berakar pada budaya bangsa?
4. Uraikan, kenapa kurikulum dan RPP menjadi suatu wadah terstruktur untuk menerapkan pendidikan karakter?
5. Uraikan, kenapa pendidikan karakter tidak hanya sebatas konseptual dalam pengaplikasiannya dalam kelas?
Refrensi:
Kementerian Pendidikan Nasional. Desain Induk:
Pendidikan Karakter. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. (2012).
Dokumen Kurikulum 2013. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Lickona, Thomas. (2003). My Thought About Character.
Ithaca and London: Cornell University Press.
Majid, Abdul & Andayani, Dian. (2011). Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Undang-Undang, R. I. (2003). No. 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional, 9.
BAB III
NILAI-NILAI KARAKTER
A. Elemen–Elemen Karakter
Perilaku, sikap dan cara berpikir seseorang bersifat unik dan khas yang lahir dari karakter dasar yang dimilikinya. Karakter dasar yang dimiliki manusia terdiri dari berbagai elemen yang merupakan bawaan lahir.
Meskipun merupakan bawaan lahir, karakter dasar harus dilatih, diasah, dan dikembangkan sehingga menjadi kesadaran yang mendalam dan menjadi kepribadian.
Beberapa elemen karakter dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Dorongan-Dorongan (Drivers)
Dorongan-dorongan yang ada dalam diri manusia merupakan bawaan sejak lahir untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup tertentu. Dorongan yang
Tujuan Pembelajaran:
1. Diharapkan mampu memahami elemen-elemen karakter 2. Diharapkan mampu memahami pembentukan karakter
3. Diharapkan mampu memahami butir-butir karakter dalam pendidikan
4. Diharapkan mampu memahami perbedaan dan keterkaitan pendidikan akhlak terhadap pendidikan karakter
dimiliki manusia ada yang bersifat individual ada pula bersifat sosial. Dorongan yang bersifat individual seperti dorongan untuk makan, minum, aktif, bermain, dan lain sebagainya. Adapun dorongan yang bersifat sosial seperti dorongan berhubungan seks, hidup berkawan, meniru, dan lain sebagainya.
2. Insting
Insting merupakan kemampuan yang dimiliki manusia untuk melakukan hal-hal yang kompleks tanpa melalui latihan sebelumnya guna mempertahankan eksistensi kemanusiaannya. Insting merupakan bawaan sejak lahir yang muncul secara mekanistik dan tanpa disadari. Insting bersama dengan dorongan-dorongan menjadi faktor pendukung lahirnya tingkah laku dan aktivitas manusia, dan menjadi tenaga dinamis yang tertanam sangat dalam pada kepribadian manusia.
3. Refleks-Refleks
Refleks-refles merupakan reaksi yang tidak disadari terhadap rangsangan (stimulus) tertentu yang terjadi di luar kesadaran dan kemauan manusia. Ada refleks yang tidak bersyarat yang dibawa sejak lahir, misalnya batuk jika ada cairan yang masuk dalam jalan pernapasan, mata berair, kelopak mata terpejam, dan lain sebagainya. Ada pula refleks bersyarat yang disebabkan pengaruh lingkungan atau sebagai hasil dari latihan dan pendidikan yang disengaja.
4. Sifat Karakter
Sifat karakter berupa kebiasaan yang merupakan ekspresi yang dikondisikan dari tingkah laku manusia.
Kecenderungan-kecenderungan; hasrat atau kesiapan- reaktif yang tertuju pada suatu tujuan tertentu, atau tertuju pada suatu objek yang konkret yang selalu muncul secara berulang -ulang.
5. Organisasi Perasaan, Emosi, dan Sentimen
Perasaan disebut juga dengan rencana emosio atau getaran jiwa. Perasaan yang dihayati oleh seseorang bergantung pada dan erat kaitannya dengan segenap isi kesadaran dan kepada kepribadiannya. Sentiment adalah semacam perasaan atau kesadaran yang mempunyai kedudukan sentral, dan menjadi sifat karakter yang utama atau yang kardinal.
6. Minat
Perhatian dan minat bersama – sama dengan emosi dan kemauan menentukan luasnya kesadaran. Derajat yang meninggi merupakan awal dari lahirnya perhatian.
Perhatian bisa bersifat spontan, langsung atau tidak disengaja tertarik secara langsung. Ada perhatian yang tidak langsung/indirect atau dengan sengaja yang distimulir oleh kemauan, mengarah pada suatu objek.
7. Kebijakan dan Dosa
Kebijakan dan dosa merupakan sentiment pokok yang berisi penilaian positif dan negatif. Kebijakan yang didukung oleh himbauan hati nurani itu membawa manusia kepada kebahagiaan dan ketentraman batin secara trasendensi diri/kenaikan diri. Dosa-dosa yang sifatnya tidak baik anta lain: sombong, tamat, kikir, serakah, cemburu, iri hati, dan lain sebagainya. Semua ini
menarik manusia pada kepedihan, kesengsaraan, dan kehancuran.
8. Kemauan
Kemauan adalah dorongan kehendak yang terarah pada tujuan-tujuan tertentu, dan dikendalikan oleh pertimbangan akal/pikiran. Jadi, pada kemauan ada unsur pertimbangan akal dan tujuan akhir, serta merupakan suatu elemen yang mengatur karakter.
Ada beberapa elemen yang berpengaruh pada pembentukan karakter manusia. Elemen-elemen tersebut adalah sikap, emosi, kemauan, kepercayaan, dan kebiasaan (Mu’in, 2011). Selain itu, terdapat pula beberapa elemen yang juga turut mempengaruhi pembentukan karakter manusia, yaitu emosi, kemauan, kepercayaan, kebiasaan, dan juga konsep diri. Beikut merupakan penjabaran dari elemen karakter tersebut:
a) Sikap
Sikap seseorang biasanya merupakan bagian dari karakternya, bahkan merupakan cerminan karakter seseorang. Sikap seseorang terbentuk dari karakter dasarnya yang membuatnya unik dan berbeda dengan orang lain dalam menanggapi suatu gejala tertentu, sehingga sikap yang ditampilkan oleh seseorang dapat dilacak pada karakter dasar yang dimilikinya.
b) Emosi
Emosi adalah gejala dinamis dalam situasi yang dirasakan manusia, yang disertai dengan efeknya pada kesadaran, perilaku, dan juga merupakan proses fisiologis. Emosi merupakan getaran jiwa seseorang dalam menghadapi atau menanggapi sesuatu peristiwa.
Tinggi rendahnya geteran jiwa seseorang bergantung pada isi kesadaran dan kepribadiannya.
c) Kepercayaan
Kepercayaan merupakan komponen kognitif manusia dari faktor sosiopsikologis. Kepercayaan bahwa sesuatu itu “benar” atau “salah” atas dasar bukti, sugesti otiritas, pengalaman, dan intuisi sangatlah penting untuk membangun watak dan karakter manusia. Jadi, kepercayaan itu memperkukuh eksistensi diri dan memperkukuh hubungan dengan orang lain. Sebab percaya pada eksistensi orang lain membuat seseorang dapat menerima dan merasa nyaman kehadiran orang lain dalam hidupnya, demikian pula sebaliknya. Dalam hal nilai dan perilaku, kepercayaan ini menjadi dasar yang kuat bagi seseorang untuk berpegang pada nilai-nilai tertentu dan melakukan tindakan tertentu. Semakin kuat atau tinggi tingkat kepercayaannya, maka akan semakin kuat pula ia berpegang pada nilai-nilai tersebut dan semakin kuat pula dorongan untuk melakukannya (mengamalkannya).
d) Kebiasaan dan Kemauan
Kebiasaan adalah komponen konatif dari faktor sosiopsikologis. Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang bersifat tetap, terjadi secara serta merta, dan tidak direncanakan. Adapun kemauan merupakan keadaan yang menggambarkan karakter seseorang. Sebagian orang ada yang mempunyai kemauan yang keras, yang mendorongnya untuk keluar dari kebiasaan, namun ada pula orang yang
lemah kemauannya. Kemauan berkaitan erat dengan perbuatan, karena itu ada yang mendefinisikan kemauan sebagai usaha seseorang untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, kemauan merupakan elemen karakter yang sangat penting bagi seseorang untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Kemauan yang kuat, membuat seseorang mampu mengalahkan tantangan dan rintangan yang berat. Kemauan yang dijewantahkan dalam tindakan atau perbuatan yang berulang-ulang dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang akan menjadi kebiasaan.
e) Konsep diri (Self Conception)
Konsep diri merupakan proses totalitas pembentukan citra diri (self image) dalam membentuk karakter seseorang. Biasanya seseorang mengenal dirinya lewat pencitraan yang dibuat orang lain terhadap dirinya. Pencitraan yang diberikan oleh orang lain kepada seseorang menjadi motivasi yang sangat kuat mendorong seseorang untuk bertingkah laku sesuai dengan pencitraan yang diberikan kepadanya.
Pencitraan diri yang positif yang diberikan oleh orang lain kepada seseorang akan sangat membantu untuk melahirkan tindakan-tindakan positif. Sebaliknya, pencitraan negatif dapat berakibat pada frustasi dan kemarahan.
Pendangan kedua ahli tentang elemen-elemen karakter di atas sebenarnya sama. Hanya saja, yang pertama memasukkan elemen-elemen yang bersifat spontan, sedangkan yang kedua mengabaikannya. Tindakan- tindakan spontan manusia yang muncul sebagai respon terhadap stimulus tampak seolah-olah melahirkan gerakan
yang sama, misalnya melompat, berlari, menghindari pukulun, dan lain sebagainya. Namun jika, gerakan-gerakan tersebut dilatih, makan akan melahirkan gerakan yang berbeda dari setiap orang. Hal ini menunjukkan karakter dasar tiap orang berbeda. Inilah yang menjelaskan mengapa olahragawan memiliki gerakan yang berbeda terhadap respon yang sama.
B. Pembentukan Karakter
Pembentukan karakter merupakan suatu usaha yang melibatkan semua pihak, baik orang tua, sekolah, lingkungan sekolah, dan masyarakat luas. Perpaduan keharmonisan dan kesinambungan para pihak berkontribusi secara langsung dalam pembentukan karaktrer seseorang. Dengan kata lain, tanpa keterlibatan para pihak, maka pendidikan karakter akan berjalan tertatih –tatih, lambat dan lemah bahkan terancam gagal. Pada umumnya, para pihak mendambakan peserta didik berkompeten di bidangnya dan mempunyai karakter, oleh karena itu, para pihak harus bersinergi dan mengambil peranannya masing-masing dalam upaya membangun karakter peserta didik.
Menurut Walgito terdapat tiga cara membentuk perilaku menjadi karakter, yaitu: pertama, conditioning atau pembiasaan; kedua, insight atau pengertian; ketiga, modeling atau keteladanan (Walgito, 2004). Secara teoritis pembentukan karakter anak dimulai dari usia 0 – 8 tahun.
pada periode ini karaker anak masih dapat berubah dan amat tergantung pada pengalaman hidup yang dilaluinya.
Hal ini mengisyaratkan agar pembentukan karakter anak dimulai sejak dini, bahkan sejak anak itu dilahirkan, oleh
karena itu, pembentukan karakter pada diri anak harus dirancang secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan (Arismantoro, 2008). Anak merupakan individu yang memiliki rasa ingin tahu dan ingin mencoba sesuatu yang disukainya yang terkadang muncul secara serta merta. Hal ini mendorong anak untuk selalu meniru perilaku orang dewasa tanpa mempertimbangkan baik dan buruknya.
Keunikan dan kekhasan setiap anak menunjukkan bahwa anak merupakan sosok kepribadian yang kompleks yang membuatnya berbeda dengan anak yang lain.
Karakter yang kuat deibentuk melalui penanaman nilai yang menekankan tentang baik dan buruk (Adhin, 2006). Nilai dibangun lewat penghayatan dan pengalaman yang mampu membangkitkan rasa ingin tahu yang sangat kuat, bukan tenggelam dalam kesibukan memperdalam pengetahuan. Karakter yang mapan akan tumbuh pada diri anak jika sejak dini anak telah dimotivasi keinginan untuk mewujudkannya. Dalam konteks ini, pembiasaan menjadi kata kunci yang sangat penting. Bila anak sejak dini telah dibiasakan untuk mengenal dan melakukan karakter positif, maka anak akan tumbuh dengan karakter positif tersebut dan akan menjelma menjadi pribadi yang tangguh yang memiliki rasa percaya diri dan mampu berempati pada orang lain.
Tahapan pembentukan karakter pada anak (Ridwan, 2012), sebagai berikut:
1) Knowing the good (mengetahui kebajikan), berarti anak mengetahui baik dan buruk, mengerti tindakan yang harus diambil dan dapat memprioritaskan hal-hal yang baik. Dalam konteks ini, anak tidak sekedar diinformasikan tentang hal-hal yang baik, tetapi harus
diinternalisasikan lewat penghayatan yang mendalam, sehingga ia dapat memahami mengapa harus dan perlu melakukan tindakan kebajikan.
2) Feeling the Good (merasakan kebajikan), berarti anak dapat merasakan manfaat perbuatan baik, sehingga ia menjadi gemar atau cinta melakukan kebajikan dan enggan atau benci melakukan perbuatan buruk. Pada tahap ini rasa cinta anak untuk melakukan perbuatan baik ditumbuhkan atau dibangkitkan dengan cara merasakan efek perbuatan baik yang ia lakukan, dengan merasakan efek perbuatan baik yang dilakukan akan tumbuh kecintaan untuk terus berbuat baik dan secara bersamaan melahirkan sikap untuk menghindari perbuatan jahat.
3) Active the good (melaksanakan kebajikan), berarti anak dapat dan terbiasa melakukan kebajikan. Pada tahap ini anak dilatih untuk terbiasa melakukan kebajikan. Pada tahap ini anak dilatih untuk terbiasa melakukan perbuatan baik sebab tanpa anak terbiasa melakukan apa yang sudah diketahui atau dirasakan sebagai kebaikan tidak akan ada artinya.
Kaidah pembentukan karakter, menurut (Matta, 2003) sebagai berikut:
1) Kebertahapan, perubahan karakter tidak terjadi seketika, akan tetapi membutuhkan waktu yang panjang.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa pembentukan karakter harus berorientasi pada proses bukan hasil, sehingga pembentukan karakter harus dilakukan secara bertahap dan dilalui dengan penuh kesabaran.
2) Kesinambungan, karakter terbentuk melalui proses pembinaan yang panjang, oleh karena itu dibutuhkan latihan yang berkesinambungan. Proses yang ber-
kesinambungan akan meninggalkan kesan yang kuat pada diri seseorang yang pada akhirnya akan mem- bentuk karakternya.
3) Momentum, memanfaatkan peristiwa tertentu sebagai titik awal menanamkan karakter. Peristiwa itu dapat saja berhubungan dengan hari besar nasional seperti peringatan hari kemerdekaan untuk menanamkan nilai- nilai patriotisme. Dapat pula berkaitan dengan hari-hari besar keagamaan seperti bulan ramadhan untuk menanamkan nilai kebesaran dan kedermawanan. Selain itu, dapat pula dikaitkan dengan kegagalan atau keberhasilan individu, misalnya kegagalan tidak naik kelas atau keberhasilan menjadi juara kelas dapat dimanfaatkan sebagai momentum untuk menanamkan nilai-nilai giat dalam belajar.
4) Motivasi intrinsik, berarti anak mempunyai kemauan sendiri untuk memiliki karakter yang baik. Kemauan anak ini dapat tumbuh melalui tokoh-tokoh yang dikaguminya atau yang diidolakannya, oleh karena itu, anak perlu disuguhi dengan kisah-kisah teladan dan keteladanan orang-orang yang berpengaruh dalam hidupnya. Motivasi intrinsik ini akan menjadi faktor yang sangat kuat dalam membentuk karakter anak, karena hal tersebut lahir dari kemauan sendiri, tanpa paksaan dari pihak mana pun.
5) Pembimbing, sosok penting yang dapat membimbing dang mengarahkan anak untuk memiliki karakter yang baik. Sosok ini, selain dihormati dan dikagumi anak haruslah dapat dijadikan panutan. Pembentukan karakter membutuhkan kehadiaran seorang pendidik untuk mengarahkan dan membimbing serta meng-
evaluasi perkembangan anak. Selain itu, pendidik juga berfungsi sebagai unsur yang membantu anak untuk mengambil keputusan tentang baik dan buruk, tempat keluh kesah dan bertukar pikiran serta menjadi tokoh yang dapat dijadikan tedalan.
Pengembangan karakter harus memperhatikan karakter dasar yang dimiliki individu, jika tidak, maka dipastikan pembentukan karakter akan mengalami jalan buntu. Oleh karena itu, karakter dasar seseorang harus digunakan sebagai pijakan dalam mengembangkan dan membentuk karakternya, karena tanpa karakter dasar, pendidikan karakter akan kehilangan arak dan tidak memiliki tujuan pasti. Indonesia Heritage Foundation (IHF), telah menyusun serangkaian nilai yang selayaknya diajarkan kepada anak-anak, yang kemudian dirangkum menjadi 9 pilar karakter, yaitu:
1) Karakter Cinta Tuhan Yang Maha Esa dan segenap ciptaan-Nya;
2) Kemandirian dan tanggung jawab;
3) Kejujuran/amanah dan bijaksana;
4) Hormat dan santun;
5) Dermawan, suka menolong dan gotong royong;
6) Percaya diri, kreatif, dan pekerja keras;
7) Kepemimpinan dan keadilan;
8) Baik dan rendah hati;
9) Toleransi, kedamaian dan kesatuan (Andrianto, 2011).
Sementara itu, Character Count USA mengemukakan sepuluh karakter dasar manusia yang dapat dikembangkan, yaitu:
1) Dapat dipercaya (trustworthnes);
2) Rasa hormat dan perhatian (respect);
3) Peduli (caring);
4) Jujur (fairness);
5) Tanggungjawab (responsibility);
6) Kewarganegaraan (citizenship);
7) Ketulusan (honesty);
8) Berani (courage);
9) Tekun (delligence);
10) Integrasi (integrity).
Dari uraian tentang pembentukan karakter yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli, maka dapat disimpulkan bahwa karakter dapat terbentuk dari perilaku-perilaku baik yang senantiasa dilakukan secara berulang-ulang atau dengan kata lain kebiasaan seseorang mendapatkan dan menemukan pengaplikasi karakter yang baik di lingkungannya akan mempungaruhi pembentukan karakternya. Karakter terbentuk bukan karena paksaan, akan tetapi karena kesadaran yang disertai dengan kemauan, sehingga karakter yang sudah terbentuk dalam diri akan menjadi pedoman untuk berperilaku dan bertindak terhadap diri sendiri dan orang lain.
C. Butir-Butir Karakter dalam Pendidikan
Pendidikan karakter harus berpijak pada karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut). Nilai moral yang bersifat universal (absolut) bersumber dari agama yang disebut dengan the golden rule. Menurut para psikologi, nilai karakter dasar adalah: cinta kepada Allah dan ciptaan-Nya (alam dengan seisinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli dan kerjasama, kreatif, percaya diri, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta
persatuan. Nilai-nilai ini merupakan nilai yang dapat membantu interaksi bersama orang lain secara lebih baik (learning to live together).
Nilai tersebut mencakup berbagai bidang kehidupan, seperti hubungan dengan sesame (orang lain, keluarga), diri sendiri (learning to be), hidup bernegara, lingkungan, dan Tuhan (Mushlih, 2011). Tentu saja dalam penanaman nilai tersebut membutuhkan tiga aspek, baik kognitif, apektif, psikomotorik. Senada dengan yang diungkapkan oleh Lickonan, yang menekankan tiga komponen karakter yang baik, yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang moral), dan moral action (perbuatan moral), sehingga dengan komponen tersebut, seseorang diharapkan mampu memahami, merasakan, dan mengerjakan nilai-nilai kebajikan.
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter diidentifikasi dari sumber-sumber berikut ini:
1. Agama
Masyarakat Indonesia merupakan masyrakat religius.
Nilai-nilai agama tampak nyata dalam berbagai fenomena kehidupan masyarakat Indonesia, baik pada tingkat individual maupun sosial. Bahkan berbagai fenomena kehidupan kenegaraan pun dibangun diatas dasar nilai-nilai keagamaan dan kepercayaan, oleh karena itu, nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai yang berasal dari agama.
2. Pancasila
Salah satu warisan yang paling berharga dari para pendiri bangsa yang sekaligus sebagai simbol pemersatu bangsa dan menadi sumber segala hukum dan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia adalah pancasila. Dengan demikian, nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Lebih jauh lagi nilai-nilai pancasila harus dijadikan sebagai tata nilai yang mengatur hukum, politik, ekonomi, budaya, dan seni. Sehingga pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan kepada nilai-nilai pancasila.
3. Budaya
Karakter seseorang tidak bisa dilepaskan dari nilai budaya yang hidup ditengah-tengah masyarakat di mana ia berada. Nilai-nilai budaya tersebut dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar-anggota masyarakat.
Kedudukan dan peran budaya yang begitu penting dalam kehidupan masyarakat meniscayakan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
4. Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki setiap warga Negara Indonesia. Sehubungan dengan itu, tujuan pendidikan nasional merupakan sumber yang paling operasional dalam mengembangkan pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Lebih lanjut, Kemendiknas melansir bahwa berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan atau hukum, etika akademik, dan prinsip-prinsip HAM, telah terindentifikasi 80 butir nilai karakter yang dikelompokkan menjadi lima, yaitu:
1) Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa; nilai religius.
2) Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan diri sendiri; (a) bertanggung jawab, (b) bergaya hidup sehat, (c) disiplin, (d) jujur, (e) kerja keras, (f) percaya diri, (g) berpikir logis, kreatif dan mandiri, serta (h) ingin tahu.
3) Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan sesame manusia; (a) sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, (b) patuh pada aturan-aturan sosial, (c) menghargai karya dan prestasi orang lain, (d) santun, dan (e) demokratis.
4) Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan lingkungan; peduli sosial dan ingkungan.
5) Nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan kebangsaan; (a) nilai kebangsaan, (b) nasionalis, dan (c) menghargai keberagaman.
Setelah diketahui nilai-nilai pendidikan karakter tersebut, tampak bahwa pendidikan karakter di Indonesia ingin membangun individu yang mengenal Tuhannya, mampu menghargai diri sendiri dan mengembangkan potensi diri yang dimilikinya, mampu hidup ditengah- tengah masyarakat yang beragam serta dapat menjaga kehormatan dengan alam lingkungan dan mampu membangun kehidupan berbangsa yang bermartabat, berdaulat, dan berbudaya.
Dengan demikian, nilai-nilai karakter yang hendak diinternalisasikan kepada seluruh anak Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:
Manusia Indonesia
Gambar 1. Internalisasi Nilai-Nilai Karakter
D. Perbedaan dan Keterkaitan Pendidikan Akhlak terhadap Pendidikan Karakter
Akhlak sebagai sesuatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, sinergitas kekuatan dan kehendak melahirkan kecenderungan pada pemilihan yang baik (akhlak baik) ataupun pilihan yang buruk (akhlak buruk). Akhlak bisa juga diartikan sebagai keadaan jiwa yang mendorong pemiliknya melakukan sesuatu perbuatan secara mudah, spontan, bahkan melakukannya secara serta-merta.
Perbuatan yang dilakukan dapat merupakan sesuatu yang baik, maka ketika itu ia dinilai memiliki akhlak yang baik (karimah, mulia, terpuji), dan dapat pula sebaliknya, maka
Religius
Sadar akan hak dan kewajiban diri
dan orang lain, patuh pada aturan sosial,menghargai karya & prestasi orang lain, santun,
dan demokratis Bertanggung jawab,
bergaya hidup sehat, disiplin, jujur, kerja keras, percaya diri, berpikir logis, kreatif dan mandiri, serta ingin
tahu
Peduli sosial &
lingkungan
Nilai kebangsaan, nasionalis, dan menghargai
keberagaman
ketika itu ia dinilai memiliki akhlak yang buruk (madzmumah / tercela). Ukuran baik dan buruk didasarkan pada nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat di mana yang bersangkutan berbeda. Kata akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq, mengisyaratkan cakupan yang luas.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa akhlak merupakan aktivitas manusia yang mencakup hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dan dengan alam lingkungannya.
Pendidikan akhlak merupakan usaha yang sungguh- sungguh untuk mewujudkan sikap batin yang sanggup mendorong secara spontan lahirnya perbuatan yang bernilai baik dari seseorang. Dalam pendidikan akhlak, standar atau ukuran benar dan salah dalam menilai perbuatan yang muncul didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber tertinggi ajaran islam. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka pendidikan akhlak dapat dikatakan sebagai pendidikan karakter dalam wacana pendidikan islam (Nata, 2002). Tujuan utama pendidikan akhlak adalah membangun dan membentuk karakter positif dalam perilaku anak didik yang merupakan penjelmaan sifat-sifat mulia Allah SWT dalam kehidupan manusia (Peserta didiknto, 2018).
Dalam hal internalisasi nilai-nilai baik dan mengabaikan atau menjauhi nilai-nilai buruk, maka pendidikan akhlak mempunyai orientasi yang sama dengan pendidikan karakter. Meskipun demikian, akhlak tidak dapat disamakan dengan karakter sebab akhlak bersumber dari ajaran diwahyukan Allah SWT, sedangkan karakter bersumber pada hasil pemikiran manusia dan nilai-nilai kebaikan yang lahir dari kebiasaan masyarakat. Nilai-nilai