• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN BERNILAI KARAKTER PADA MATA PELAJARAN KEWIRAUSAHAAN (STUDI DI SMK NEGERI 16 JAKARTA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PELAKSANAAN PEMBELAJARAN BERNILAI KARAKTER PADA MATA PELAJARAN KEWIRAUSAHAAN (STUDI DI SMK NEGERI 16 JAKARTA)"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN BERNILAI KARAKTER PADA

MATA PELAJARAN KEWIRAUSAHAAN

(STUDI DI SMK NEGERI 16 JAKARTA)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)

Oleh:

Helmi Hermawan

109018200069

PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)

ABSTRAK

Helmi Hermawan, NIM: 109018200069, Pelaksanaan Pembelajaran Bernilai Karakter pada Mata Pelajaran Kewirausahaan Studi di SMK Negeri 16 Jakarta, Skripsi Program Strata 1, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana pelaksanaan pembelajaran bernilai karakter pada mata pelajaran Kewirausahaan. Penelitian ini dilaksanakan di SMK Negeri 16 Jakarta dilaksanakan di bulan April-Agustus 2013. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualititatif.

Dalam penelitian ini hasilnya menunjukkan bahwa pelaksanaan pembelajaran bernilai karakter pada mata pelajaran Kewirausahaan di SMK Negeri 16 Jakarta belum berjalan secara optimal. Berdasarkan hasil penelitian tersebut disarankan kepada guru untuk mengikuti pelatihan khususnya berkaitan dengan bagaimana mengintegrasikan pembelajaran bernilai karakter sehingga melalui pembelajaran di kelas diharapkan penerapan nilai karakter tersebut dapat berjalan lebih baik dan lebih efektif. Selain itu juga perlu mengembangkan pembelajaran bernilai karakter pada semua mata pelajaran, karena keberhasilan pembelajaran berkarakter berasal dari pembiasaan yang dilakukan dalam rangkaian rutinitas secara berkesinambungan dan selalu berkaitan.

(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada berbagai pihak yang telah

membantu dalam penyelesaian skripsi ini, antara lain :

1. Nurlena Rifai, M.A., Ph.D, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

dan seluruh dosen beserta staf karyawan, atas semua ilmu pengetahuan dan

bimbingannya.

2. Dr. Hasyim Asy’ari, M. Pd, Ketua Program Studi Manajemen Pendidikan.

3. Dra. Nurdelima Waruwu, M. Pd, Dosen Penasehat Akademik.

4. Dra. Eri Rosatria, M. Ag, pembimbing I dan Raudhah, M. Pd,

pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran serta

kesabaran meluangkan waktunya dalam penyusunan skripsi ini.

5. Dra. Endri Suryani, MM, Kepala SMK Negeri 16 Jakarta yang telah

memfasilitasi penulis dalam menyusun skripsi berkaitan dengan penyedian

data-data pendukung dalam melakukan penelitian di sekolah tersebut.

6. Ayahanda Lukman Hakim Sidiq dan Ibunda Yanti Suwarni serta Mas

Irwan dan Teh Aci yang telah memberi kasih sayang, dukungan baik

moril maupun materil, nasehat, dan doa sehingga penyusunan skripsi ini

dapat terseleseikan dengan baik.

7. Nitta Yuliana yang telah mengisi hari-hari penulis dengan warnanya, dan

atas dorongan semangat, kesabaran, kasih sayang, dan do’a.

8. Sahabat ‘Kite Aje’ (Muhammad Irfai Muslim, Siti Shofwatunida, Welvy Reda Suryani, dan Neni Heriyani), tempat berbagi informasi, dan

berbagi inspirasi.

(6)

9. Rekan-rekan mahasiswa Manajemen Pendidikan angkatan 2009,

khususnya kelas B yang telah memberikan kenangan dan kesan yang

indah, serta semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak bisa

disebutkan satu-persatu tanpa mengurangi rasa terima kasih.

Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang

telah membantu menyeleseikan skripsi ini dengan melimpahkan rahmat dan

karunia-Nya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena

itu, sangat diharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca agar

skripsi ini dapat disempurnakan.

Jakarta, 15 Oktober 2013

(7)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi... iii

Daftar Lampiran ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah ... 7

D. Perumusan Masalah... 7

E. Tujuan Penelitian... 7

F. Manfaat Penelitian... 7

BAB II KAJIAN TEORI A. Konsep Nilai Karakter 1. Pengertian Nilai Karakter ... 9

2. Macam-Macam Nilai Karakter ... 12

B. Pembelajaran Bernilai Karakter 1. Makna Pembelajaran Bernilai Karakter ... 15

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembelajaran Nilai Karakter ... 20

3. Strategi dan Metode Nilai Pembelajaran Karakter ... 23

4. Prinsip Pembelajaran Nilai Karakter ... 24

5. Model Pembelajaran Nilai Karakter ... 26

C. Pengembangan Nilai Karakter pada Mata Pelajaran Kewirausahaan 1. Mata Pelajaran Kewirausahaan di SMK ... 31

2. Nilai Karakter Pada Mata Pelajaran Kewirausahaan ... 36

3. Pembelajaran Nilai Karakter pada Mata Pelajaran Kewirausahaan ... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 45

(8)

B. Metode Penelitian ... 45

C. Teknik Pengumpulan Data ... 46

D. Kisi-Kisi Instrumen Penelitian ... 47

E. Teknik Analisis Data ... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 49

B. Deskripsi Data dan Analisis Data... 52

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 61

B. Saran ... 62

Daftar Pustaka ... 63

Lampiran ... 66

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Silabus

Lampiran 2 : Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran

Lampiran 3 : Penetapan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) Lampiran 4 : Data Guru SMK Negeri 16 Jakarta

Lampiran 5 : Data Siswa SMK Negeri 16 Jakarta Lampiran 6 : Visi dan Misi SMK Negeri 16 Jakarta Lampiran 7 : Prestasi Siswa SMK Negeri 16 Jakarta Lampiran 8 : Berita Hasil Wawancara

Lampiran 9 : Daftar Referensi

Lampiran 10 : Surat Permohonan Izin Penelitian Lampiran 11 : Surat Keterangan Penelitian

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Akhir-akhir ini gencar sekali diperbincangkan tentang pendidikan karakter.

Pemahaman pendidikan karakter sendiri sebenarnya bukan hal baru, namun sudah

muncul beberapa dekade yang lalu. Dalam GBHN 1973, dikemukakan tentang

pengertian pendidikan bahwa, “pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu usaha yang disadari untuk mengembangkan kepribadian, keterampilan dan kemampuan

manusia yang dilaksanakan di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur

hidup”.1 Ini berarti bahwa pendidikan itu adalah kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menembankan kepribadian seseorang, ketrampilan, dan

kemampuannya yang berguna dalam menjalani kehidupannya.

Hal ini diperkuat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, pasal 3 ayat 2 disebutkan bahwa,

Fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

1

Burhanudin Salam. Pengantar Pedagogik; Dasar-Dasar Ilmu Mendidik. (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997) hlm 4.

(11)

Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.2

Pada dasarnya pendidikan berupaya untuk mengarahkan peserta didik ke

dalam pembentukan karakter dengan menggali segala potensi untuk meningkatkan

kemampuan sumber daya manusia yang mandiri serta dapat berkontribusi terhadap

masyarakat dan bangsanya.

Melacak gagasan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan, beliau menyatakan

bahwa “pendidikan merupakan upaya menumbuhkan budi pekerti (karakter), pikiran (intelektual), dan tubuh anak”.3 Hal ini dapat difahami bahwa sesungguhnya pendidikan itu sendiri merupakan penanaman nilai karakter, dalam arti bahwa

karakter merupakan bagian terpenting yang tidak boleh dipisahkan dalam isi

pendidikan.

Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan

karakter di sekolah adalah mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima

nilai-nilai karakter sebagai milik mereka, dan bertanggungjawab atas keputusan yang

diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian,

dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri.4

Proses pembelajaran harus selalu dibiasakan untuk mengintegrasikan

nilai-nilai karakter, karena dengan pembiasaan proses tersebut akan lebih cepat tertanam

dalam diri peserta didik. Selain itu, diperlukan juga keteladanan dari guru untuk dapat

menempatkan diri sebagai contoh bagi siswa-siswinya.

“Karakter adalah manajemen untuk membangun budaya perilaku yang mulia, bukan bersifat normatif dan basi-basi. Karakter adalah pengawalan untuk

2

UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS Pasal 3 ayat 2

3

Muchlas Samani & Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2011), hlm 33.

4

Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban,

(12)

membangun kebiasaan agar tahu nilai-nilai kebenaran, bisa mengembangkan

kebenaran, dan terbiasa untuk selalu mengamalkan kebenaran yang diyakininya”.5 Oleh karena itu perlu adanya komitmen yang kuat dan terintegrasi antar

seluruh stakeholder pendidikan untuk saling berbagi tanggungjawab serta

bersama-sama mengembangkan nilai-nilai karakter, agar karakter mulia tumbuh berkembang

pada peserta didik.

Namun sayangnya, pendidikan karakter kita saat ini terus mengalami

degradasi. Banyak kenakalan remaja yang dilakukan sehingga membentuk perilaku

yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat. Menurut data

Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2010, di wilayah DKI Jakarta

diperkirakan ada 316.000-335.000 jiwa merupakan penyalahguna narkoba.6 Pada

tahun 2009, Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya juga mengungkapkan, sebanyak 45

persen dari jumlah total pengguna narkoba sekitar 300.000 orang pengguna di DKI

Jakarta merupakan usia belajar. Rata-rata pengguna duduk di bangku sekolah

menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). 7

Kondisi anak di Indonesia juga belum lepas dari tindakan kekerasan. Salah

satu kasus menonjol di tahun 2012 yakni kasus tawuran antar pelajar. Data akhir

tahun 2012 yang dihimpun Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA)

menunjukan angka memprihatinkan. Komnas PA mencatat 147 kasus tawuran, dan

dari 147 kasus tersebut, sebanyak 82 pelajar tewas sepanjang 2012.8

5

Najib Sulhan, Panduan Praktis Pengembangan Karakter dan Budaya Bangsa Sinergi Sekolah dengan Rumah, (Surabaya:Jaring Pena, 2011) cet pertama, hal 21.

6

Anonim. 19 Persen Penduduk Indonesia Pakai Narkoba. KOMPAS. Diakses di

http://kesehatan.kompas.com/read/2010/01/19/03200345/1.9.Persen.Penduduk.Indonesia.Pakai.Narkob a pada tanggal 27 Maret 2013 jam 04:33

7

Ferril Dennys. Wow, 45 Persen Pengguna Narkoba Pelajar. KOMPAS.Diakses dari http://edukasi.kompas.com/read/2010/06/04/15080364/Wow..45.Persen.Pengguna.Narkoba.Pelajar pada tanggal 27 Maret 2013 jam 04:34

8

Fabian Januarius Kuwado. 82 Pelajar Tewas Sia-Sia Karena Tawuran. KOMPAS. Diakses dari http://megapolitan.kompas.com/read/2012/12/21/10534239/82.Pelajar.Tewas.Sia-sia.karena.Tawuran pada tanggal 22 Maret 2013 jam 22:01

(13)

Disadari atau tidak, sekolah mempunyai andil terhadap penyimpangan yang

terjadi di masyarakat tersebut. Sekolah sebagai institusi pendidikan pada dasarnya

bertujuan mempersiapkan peserta didik untuk dapat memecahkan masalah kehidupan

pada masa sekarang dan di masa yang akan datang, dengan mengembangkan segala

potensi-potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, pendidikan mempunyai fungsi

dalam membentuk karakter peserta didik. Dengan kata lain, melalui proses

pendidikan yang profesional akan membentuk karakter peserta didik.

Akan tetapi, perlu disadari bahwa metode pembelajaran di sekolah-sekolah

masih menganut gaya lama. Menurut forum Kompasiana, “metode pembelajaran yang menjadi favorit mungkin hanya satu, yaitu metode ceramah”.9 Meskipun menjadi favorit, metode ini justru menjadi awal kejenuhan peserta didik dalam

mengikuti pembelajaran.

Keberadaan guru menjadi suatu hal yang patut diperhatikan. Kedatangan guru

yang suka terlambat, merokok ditempat umum, kadang suka berbicara kotor, dan

berbagai bentuk kegiatan negatif lainnya dapat menurunkan citra seorang guru.

Padahal guru sebagai seorang pendidik kiranya tepat menggambarkan bagaimana

relasi antar individu dalam dunia pendidikan, sebab pada hakekatnya guru

menempatkan diri sebagai teladan kehidupan bagi para siswanya.10

Peserta didik dengan segala keunikannya memiliki kemampuan mengingat,

menyimpan, dan menganalisa materi pelajaran dengan cara yang beragam.

Keberagaman ini harus diwaspadai oleh guru mata pelajaran sehingga dapat

memanage kelas sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Selain itu

siswa juga perlu diberikan kesempatan untuk bisa merefleksikan pembelajaran ke

dalam kehidupan sehari-hari.

9

Muhammad Rifai, Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm 153.

10

(14)

Fungsi sekolah kini tidak hanya sebagai wadah pembekalan peserta didik

dengan ilmu-ilmu pengetahuan, namun sekolah juga dituntut untuk mampu

mengembangkan minat dan bakat, serta membentuk moral dan kepribadian peserta

didik.

William Bennet berpendapat bahwa, “kini peran sekolah semakin terasa ketika banyak terjadi tuntutan masyarakat yang mengharapkan anak-anaknya tidak

hanya pandai secara intelektual namun juga memiliki pemahaman akhlak yang

baik”.11 Namun, kadang sekolah dituntut hanya bekerja sendiri, padahal pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara pihak sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Seperti yang disampaikan Wina bahwa, “proses pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didiknya, guna untuk

membantu peserta didik mempelajari suatu kemampuan dasar yang dimilikinya serta

membangun kreatifitas berfikir peserta didik tersebut yang menekankan pada sumber

belajar serta lingkungan yang ada di sekitarnya”. 12

Belajar dan pembelajaran diarahkan dengan tujuan untuk membangun suatu

kemampuan berfikir peserta didik serta menerima materi pelajaran yang ada dalam

proses pembelajaran, dimana pengetahuan yang diperoleh peserta didik ini dapat

diperoleh dari luar diri akan tetapi harus dikonstruksi atau dipupuk dari diri

masing-masing peserta didik. Kegiatan belajar akan berhasil apabila proses pembelajaran

yang terjadi berjalan dengan baik dan lancar.

Pemahaman dan kesadaran tentang urgensi pengintegrasian nilai-nilai

berkarakter harus terus dijunjung tinggi, demi menciptakan peserta didik yang tidak

hanya pandai akal namun juga luhur budi. Sehingga diharapkan cita-cita pendidikan

nasional yang dapat tercapai.

Penerapan nilai-nilai karakter harus diterapkan ke dalam semua jenjang

pendidikan, baik SD/MI, SMP/MTs maupun SMA/SMK/MA. Dewasa ini, SMK

11

Agus Wibowo. Pendidikan Karakter Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) hlm 54.

12

Wina Sanjaya. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: PT Kencana Prenada Media Group, 2011) hlm 57.

(15)

menjadi salah satu sekolah formal yang banyak diminati karena melalui SMK dapat

disalurkan kemampuan-kemampuan teknis dan secara spesifik dipersiapkan untuk

terjun di dalam dunia kerja.

Sebagai sekolah kejuruan, SMK pada umumnya memiliki mata pelajaran yang

secara spesifik diberikan kepada siswa untuk mengembangkan bakat minatnya

dengan berwirausaha. Salah satu hal yang dikembangkan pada mata pelajaran

Kewirausahaan adalah menggairahkan siswa untuk menciptakan sebuah produk yang

berasal dari barang-barang yang mudah ditemui dimasyarakat untuk dijadikan

barang-barang yang bernilai ekonomis, atau dengan kata lain dapat dijual.

Pembelajaran nilai karakter pada mata pelajaran Kewirausahaan merupakan bagian

dari penginternalisasian nilai-nilai kewirausahaan ke dalam pembelajaran sehingga

hasilnya diperoleh kesadaran akan pentingnya nilai-nilai kewirausahaan, dan

pembiasaan terhadap nilai-nilai kewirausahaan ke dalam tingkah laku seharian siswa

melalui proses pembelajaran.

SMK Negeri 16 Jakarta, termasuk sekolah kejuruan yang diminati di wilayah

DKI Jakarta. Selain prestasi yang diperoleh siswa-siswinya, baik yang bersifat

akademis maupun non akademis, SMK Negeri 16 Jakarta juga mengapresiasi

nilai-nilai karakter yang dapat dikembangkan di sekolah. Hal ini terlihat dengan adanya

berbagai macam kegiatan yang bersifat terstruktur maupun non terstruktur yang

menjadi rutinitas dalam keseharian siswa-siswinya. Baik yang berada di dalam kelas

kaitannya dengan pembelajaran, maupun kegiatan di luar kelas.

Melihat keadaan SMK Negeri 16 Jakarta yang telah menerapkan nilai-nilai

karakter melalui pembelajaran, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang

pelaksanaan pembelajaran bernilai karakter di sekolah tersebut dengan judul skripsi

Pelaksanaan Pembelajaran Bernilai Karakter pada Mata Pelajaran Kewirausahaan (Studi di SMK Negeri 16 Jakarta)”.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Dari latar belakang masalah tersebut diatas, maka peneliti mengidentifikasi

(16)

1. Menurunnya moral dan karakter siswa (tawuran, narkoba).

2. Metode pembelajaran dari guru yang belum mengarah kepada pembentukan

karakter.

3. Desain silabus dan RPP yang dirancang guru saat ini cenderung berpusat pada

guru, bukan pada anak.

4. Penambahan life and career skills, bukan sebagai mata pelajaran.

5. Kurangnya kesempatan guru sebagai model (suri tauladan) dalam penerapan

nilai-nilai karakter dalam pembelajaran.

C. PEMBATASAN MASALAH

Penelitian ini dibatasi pada masalah pelaksanaan pembelajaran bernilai karakter pada

mata pelajaran Kewirausahaan sehingga berdampak pada kehidupan sehari-hari

siswa.

D. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pembatasan masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah pada

penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan pembelajaran bernilai karakter pada

mata pelajaran Kewirausahaan di SMK Negeri 16 Jakarta?

E. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan

pembelajaran bernilai karakter untuk mata pelajaran Kewirausahaan di SMK Negeri

16 Jakarta.

F. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan menjadi sumbangan

pengetahuan penelitian tentang pelaksanaan pembelajaran bernilai karakter pada

mata pelajaran Kewirausahaan.

(17)

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dan dapat

dijadikan sebagai salah satu informasi tambahan yang bermanfaat mengenai

(18)

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. Nilai Karakter

1. Pengertian Nilai Karakter

Pendidikan karakter harus dimulai sejak lahir bahkan masih dalam

kandungan melalui belaian kasih sayang ibu dan bapaknya. Pada masa itu

penanaman pendidikan karakter dalam keluarga menjadi sangat penting.

Nilai-nilai karakter ditanamkan melalui contoh perilaku semua anggota

keluarga.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan

yang lainnya”.1 Sementara itu, Donie Koesoema A memahami bahwa

“karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik, atau gaya, atau sifat dari diri seseorang yang bersumber dari

bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluaran pada

masa kecil, juga bawaan lahir”.2

1

Muchlas Samani & Hariyanto. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2011). hlm 42

2

Doni Koesoema A. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global.

(Jakarta: Grasindo, 2010). hlm 80

(19)

Sedangkan Winnie memahami bahwa “istilah karakter memiliki dua pengertian. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku.

Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan personality. Seseorang baru bisa

disebut orang yang berkarakter apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah

moral”.3

Dalam tulisan yang bertajuk Urgensi Pendidikan Karakter, Prof.

Suryanto, Ph. D. Menjelaskan bahwa karakter adalah cara berpikir dan

berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja

sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu

yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap

mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.4

Mengacu pada berbagai pengertian dan definisi karakter tersebut,

maka karakter dapat dimaknai sebagai sebuah nilai dasar yang ada dalam diri

seseorang, yang dapat membedakan dengan yang lain, dan selalu merujuk

kepada kaidah moral yang berlaku di lingkungan bermasyarakat.

Karakter merupakan hal yang sangat krusial dalam berbangsa dan

bernegara, hilangnya karakter akan menyebabkan hilangnya generasi penerus

bangsa. Karakter berperan sebagai kemudi dan kekuatan sehingga bangsa ini

tidak terombang-ambing. Karakter tidak datang dengan sendirinya melainkan

perlu dibangun dan dibentuk menjadi bangsa yang bermartabat.

Dalam desain utama yang dikembangkan oleh kemendiknas, “secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu itu

merupakan fungsi dari potensi seluruh individu manusia, baik dalam aspek

kognitif, afektif, dan psikomotorik, dalam konteks interaksi sosial kultural;

3

Fatchul Muin, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik & Praktik, (Jogjakarta:Arruz Media, 2011), hlm 160.

4

(20)

dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat dan sifatnya berlangsung sepanjang

hayat”.5

Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan

social cultural dapat dikelompokkan dalam: (1) olah hati (spiritual &

emotional development) (2) olah pikir (intelektual development) (3) olah raga

dan kinestetik (physical & kinesthetic development) (4) olah rasa dan karsa

(affective & creativity development). Proses tersebut secara holistic dan

koheren memiliki saling keterkaitan dan saling melengkapi.6

Hal yang paling mendasar dalam suatu proses pendidikan adalah

membentuk karakter peserta didik yang terlibat secara aktif dalam proses

tersebut. Sering kita jumpai pendapat bahwa pendidikan karakter identik

sebagai ruh dari sebuah pendidikan. Pembentukan karakter merupakan salah

satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU No. 20 tahun 2003 tentang

Sisdiknas menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah

mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan,

kepribadian dan akhlak mulia.

Amanah UU No. 20 tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak

hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian

atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh

berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta

agama. “Tanpa pendidikan karakter di dalamnya, proses pendidikan tidak lebih hanya sekedar pelatihan kecerdasan intelektual atau hanya semacam

mengasah otak bagi para peserta didik di sekolah”.7 Ironis apabila hal ini terjadi secara terus-menerus, karena akan membentuk peserta didik yang

5

Agus Wibowo. Pendidikan Karakter; Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009) hlm 44. 6

Ibid, hlm 47. 7

Akmad Muhaimin Azzet, Urgensi Pendidikan Karakter, (Jogjakarta:Arruz Media, 2011), hlm 65.

(21)

mempunyai kecerdasan secara akademis, namun tidak diimbangi dengan

kepribadian berakhlak mulia.

“Pembentukan karakter adalah proses membangun dari bahan mentah menjadi cetakan yang sesuai dengan bakatnya masing-masing”.8 Perlu disadari bahwa peserta didik memiliki latar belakang yang berbeda. Mereka

juga dikaruniai potensi yang beraneka ragam sebagai sebuah anugerah dari

Sang Khaliq. Oleh karena itu, pembangunan karakter diperlukan untuk

menanamkan cita-cita untuk membentuk karakter kuat dalam menghadapi

kehidupannya.

2. Macam-Macam Nilai Karakter

Setiap satuan pendidikan mengambil nilai inti yang akan

dikembangkan di sekolah masing-masing. Hal ini dapat dilakukan dengan

melihat visi dan misi sekolah, tradisi budaya di sekeliling, keinginan warga

sekolah, kehendak para pemegang kepentingan di sekolah, kondisi

lingkungan, dan sebagainya. Adapun nilai-nilai karakter inti yang perlu

dikembangkan adalah (a) Agama, (b) Pancasila (c) Budaya (d) Tujuan

Pendidikan Nasional.

a. Agama:

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara implisit, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.

b. Pancasila:

Negara kesatuan republik indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut pancasila.

8

(22)

Pancasila terdapat pada pembukaan uud 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam uud 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila menjadi nilai-nilai-nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.

c. Budaya:

Sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.

d. Tujuan Pendidikan Nasional:

Sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkanlah berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, merupakan sumber yang paling pokok dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.9

Berdasarkan keempat sumber nilai tersebut, teridentifikasi sejumlah

nilai untuk pendidikan karakter adalah:

1. Religius: Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama

yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

2. Jujur: Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai

orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

3. Toleransi: Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku,

etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

4. Disiplin: Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada

berbagai ketentuan dan peraturan.

9

Kemendiknas, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa, Jakarta:Kemendiknas, 2010.

(23)

5. Kerja keras: Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar, tugas, dan menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

6. Kreatif: Berpikir dan melakukan sesuatu yang menghasilkan cara atau

hasil baru berdasarkan sesuatu yang telah dimiliki.

7. Mandiri: Sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain

dalam menyelesaikan tugas-tugas.

8. Demokratis: Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak

dan kewajiban dirinya dan orang lain.

9. Rasa ingin tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk

mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat, dan didengar.

10.Semangat kebangsaan: Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang

menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

11.Cinta tanah air: Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan

kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

12.Menghargai prestasi: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk

menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, mengakui, dan menghormati keberhasilan orang lain.

13.Bersahabat/ komunikatif: Tindakan yang memperlihatkan rasa senang

berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.

14.Cinta damai: Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain

merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

15.Gemar membaca: Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai

bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

16.Peduli sosial: Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan

kepada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

17.Peduli lingkungan: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah

kerusakan lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

18.Tanggung Jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas

dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.10

10

(24)

Pengembangan nilai-nilai karakter itu sendiri terintegrasi ke dalam

proses pembelajaran, bukan diajarkan sebagai sebuah materi pembelajaran.

Maka dari itu, guru yang akan mengajar di kelas, dituntut untuk mempersiapkan

langkah-langkah belajar mengajar yang mengarah kepada proses integrasi

nilai-nilai karakter.

B. Pembelajaran Nilai Karakter

1. Makna Pembelajaran Bernilai Karakter

“Pembelajaran merupakan upaya membelajarkan siswa”.11

Dalam hal

ini terdapat dua aktifitas yang tidak dapat dielakkan yaitu, belajar dan

mengajar. Sehingga apabila kedua kegiatan ini dapat dioptimalkan dengan

baik, maka dapat mengarahkan pada tujuan pembelajaran yang telah

ditentukan.

Belajar adalah istilah yang paling utama dalam setiap usaha

pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tidak akan pernah terjadi

proses pendidikan. Menurut Winkel, “belajar adalah suatu proses mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang

menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman,

keterampilan, dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan

berbekas”.12

Pada suatu keadaan tertentu, belajar tidak hanya identik dengan

kegiatan mendapatkan materi. Belajar juga membutuhkan kesiapan batiniah

yang baik, sehingga proses belajar dapat berjalan dengan baik. Oemar

Hamalik dalam bukunya Kurikulum dan Pembelajaran, menyebutkan bahwa

“belajar adalah suatu proses suatu kegiatan, dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas daripada itu yakni

11

Made Wena, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer, (Jakarta:Bumi Aksara, 2009) cet ke-2, hlm 2.

12

Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009) cet ke-1, hlm 5.

(25)

mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan, melainkan

perubahan tingkah laku”.13

Belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan

menggunakan pancaindra. Sehingga dalam proses belajar terdapat unsur

mengamati, mencoba sesuatu hal baru, mendengar, membaca, dan mengikuti

arah tertentu”.14

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar

adalah proses perubahan tingkah laku atau kecakapan manusia diawali dengan

kesiapan mental/psikis yang baik melalui interaksi antara individu dengan

lingkungannya yang pada dasarnya untuk memperoleh suatu hal yang positif

menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya yang berarti menyangkut unsur

kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Sejatinya belajar tidak hanya sekedar mengumpulkan pengetahuan,

namun belajar merupakan suatu proses mental yang terjadi dalam diri

seseorang sehingga menyebabkan munculnya perubahan tingkah laku yang

berdampak pada lingkungan yang disekitarnya.

Sedangkan mengajar pada hakekatnya merupakan suatu usaha

menciptakan kondisi atau lingkungan dan memungkinkan berlangsungnya

proses belajar mengajar. Jika belajar diidentikkan sebagai kegiatan siswa,

maka mengajar adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru.

Secara sederhana “mengajar diartikan sebagai upaya menyampaikan pengetahuan pada anak didik”.15 Menurut pengertian ini, mengajar lebih cenderung bersifat transfer of knowledge. Guru sebagai aktor dalam proses ini

memberikan informasi seluas-luasnya kepada anak didik terhadap ilmu

pengetahuan untuk mata pelajaran yang dikuasainya.

13

Oemar Hamalik. Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta:Bumi Aksara, 2008) hlm 36

14

Op. cit, hlm 5

15

(26)

Hal berbeda disampaikan oleh Nana Sudjana, yang mengartikan bahwa

“mengajar adalah proses mengatur atau mengorganisasi lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak, sehingga terjadi proses belajar.

Pada tahap berikutnya mengajar adalah proses memberikan bimbingan atau

bantuan kepada anak didik dalam melaksanakan proses pembelajaran”.16 Sebagai sebuah proses, mengajar mengarahkan anak didik dalam

melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan lingkungan masyarakat

yang berbeda-beda. Maka perlu kejelian dari seorang guru dalam mengajarkan

anak didiknya, agar proses ini dapat berjalan dengan baik.

Menurut Raka Joni, “mengajar adalah menyediakan kondisi optimal yang merangsang serta mengerahkan kegiatan belajar anak didik untuk

memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan nilai atau sikap yang dapat

membawa perubahan tingkah laku maupun pertumbuhan sebagai pribadi”.17 Jadi, dapat disimpulkan dari berbagai pendapat tersebut diatas bahwa

mengajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh guru yang bersifat

kompleks. Proses yang dilakukan tidak hanya sekedar menyampaikan

informasi dari guru kepada siswa. Lebih dari itu, banyak kegiatan maupun

tindakan yang harus dilakukan, terutama bila diinginkan hasil belajar lebih

baik pada seluruh peserta didiknya.

Dengan mengajar juga diupayakan untuk mengantarkan peserta didik

menuju tingkat kedewasaan tertentu, baik dari segi ilmu pengetahuan,

keterampilan, dan perubahan tingkah laku, melalui proses internalisasi

nilai-nilai pada dirinya sehingga akan lahir sikap yang baik.

16

Syaiful Bari Djamarah & Aswan Zain. Strategi Belajar Mengajar. (Jakarta:PT. Rineka Cipta, 1996) cet ke-2, hal 39

17

Yatim Riyanto. Paradigma Baru Pembelajaran (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009) cet ke-1, hlm 54

(27)

Pembelajaran merupakan suatu proses yang dilakukan pendidik kepada

peserta didik, kegiatan ini tidak hanya sebatas pembekalan ilmu pengetahuan

saja namun juga dituntut untuk mampu mengembangkan minat dan bakat

peserta didik, serta membentuk karakter peserta didik.

Pada umumnya yang memiliki peran dominan dalam menyukseskan

kegiatan belajar mengajar adalah guru, sedangkan siswa berperan lebih pasif,

atau lebih banyak menerima informasi dari guru. Namun, seiring

berkembangnya zaman paradigma mengenai pembelajaranpun banyak

memberikan nuansa baru yang lebih bervariatif.

Istilah pembelajaran adalah “terjemahan dari instruction, yang banyak dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika serikat. Istilah ini banyak

dipengaruhi oleh aliran Psikologi-Kognitif holistik, yang menempatkan siswa

sebagai sumber dari kegiatan”.18 Keberadaan siswa menjadi aktor penting dalam sebuah pembelajaran. Hal ini dikarenakan bahwa siswa yang perlu

mengekplorasi potensi yang dimiliki, sehingga segala kemampuan siswa yang

sebenarnya dapat dimunculkan.

Pembelajaran juga diartikan sebagai proses kerja sama antara guru dan

siswa dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber yang ada baik potensi

yang bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri seperti minat, bakat, dan

kemampuan dasar yang dimiliki termasuk gaya belajar maupun potensi yang

ada di luar diri siswa seperti lingkungan, sarana, dan sumber belajar sebagai

upaya untuk mencapai tujuan belajar tertentu.19

Sebagai suatu proses kerja sama, pembelajaran tidak hanya

menitikberatkan pada kegiatan guru atau siswa saja, namun guru dan siswa

18

Wina Sanjaya. Perencanaan dan Desain Sistem Pengajaran (Jakarta: PT Kencana Prenada Media Group, 2004) cet ke-1, hlm 27.

19

(28)

secara bersama-sama berusaha mencapai tujuan pembelajaran yang

ditentukan. Peran guru dalam proses pembelajaran lebih banyak dimaknai

sebagai fasilitator supaya anak mengalami proses belajar. Dengan demikian,

kesadaran dan keterpahaman guru dan siswa akan tujuan yang harus dicapai

dalam proses pembelajaran merupakan syarat mutlak yang tidak bisa ditawar,

sehingga dalam prosesnya, guru dan siswa mengarah pada tujuan yang sama.

Pembelajaran tidak hanya sekadar menyampaikan materi pelajaran

saja, namun merupakan suatu proses pembentukan perilaku siswa. Siswa

adalah organisme yang unik, yang sedang berkembang. Siswa bukan benda

mati yang dapat diatur begitu saja. Mereka miliki minat dan bakat yang

berbeda-beda. Mereka juga memiliki gaya belajar yang berbeda-beda. Itulah

sebabnya proses pembelajaran adalah proses yang kompleks, yang harus

memperhitungkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi.

Pembelajaran dalam konsep pendidikan karakter didefinisikan sebagai

sebuah kegiatan yang mengarahkan pada penguatan dan pengembangan

perilaku anak secara utuh yang didasarkan/dirujuk pada suatu nilai.20 Dalam

definisi tersebut terdapat dua kegiatan sebagai sebuah identitas pembelajarn

dalam pendidikan karakter, yaitu penguatan dan pengembangan perilaku.

Penguatan adalah respon yang diberikan guru, baik bersifat verbal

maupun nonverbal untuk mendorong peserta didik mengadakan pengulangan

suatu tindakan tertentu. Sedangkan pengembangan perilaku merupakan

sebuah proses menyesuaikan perilaku anak terhadap situasi dan kondisi yang

tengah dihadapi berdasarkan pengalaman anak. Dalam proses inilah terjadi

proses anak belajar suatu nilai. Ketika proses ini berulang dan terasa nyaman

dalam diri anak, maka dapat dipastikan bahwa anak akan memiliki karakter

dari nilai yang diperkuat melalui proses belajar.

20

Dharma Kesuma, dkk., Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, (Bandung:PT. Remaja Rosda Karya), hlm. 110.

(29)

2. Faktor yang Mempengaruhi Pembelajaran Nilai Karakter

Terdapat beberapa faktor yang mempengarui dalam proses pembelajaran

di antaranya: (1) Faktor guru, (2) Siswa, (3) Sarana dan Prasarana, dan (4)

Lingkungan.21

a. Faktor Guru

Guru merupakan komponen yang menentukan dalam sebuah

proses pembelajaran. Keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi

kejelian guru dalam menyiapkan strategi, metode, teknik, dan taktik

pembelajaran.

b. Faktor Siswa

Sebagai subyek belajar, siswa tumbuh dan berkembang dengan

segala keunikannya sesuai tahap perkembangannya. Setiap siswa

memiliki kemampuan yang berbeda-beda, sehingga perlu kreativitas

seorang guru dalam mengakomodir kemampuan tersebut.

c. Faktor Sarana dan Prasarana

Sarana adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung

terhadap kelancaran proses pembelajaran. Sedangkan prasarana adalah

segala sesuatu yang mendukung secara tidak langsung terhadap

keberhasilan proses pembelajaran.

d. Faktor Lingkungan

Dilihat dari dimensi lingkungan ada dua faktor yang dapat

mempengaruhi proses pembelajaran, yaitu:

21

(30)

1. Faktor organisasi kelas; faktor ini meliputi jumlah siswa dalam satu

kelas. Hal ini tentu saja mempengarui efektivitas dalam pencapaian

tujuan pembelajaran.

2. Faktor iklim sosial-psikologis; faktor berkaitan dengan

keharmonisan hubungan antara orang yang terlibat dalam proses

pembelajaran.

Selain faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembelajaran seperti yang

disampaikan di atas, Made Wena menyebutkan juga terdapat sejumlah komponen

yang dapat mempengaruhi kegiatan pembelajaran, meliputi: “tujuan

pembelajaran, karakteristik siswa, kendala sumber/media belajar, dan

karakteristik/struktur bidang studi”.22

a. Tujuan Pembelajaran

Dalam proses pembelajaran, tujuan merupakan komponen yang

utama. Sehingga guru harus menetapkan terlebih dahulu tujuan

pembelajaran yang ingin dicapai. Tidak ada suatu proses pembelajaran

yang diprogramkan tanpa sebuah tujuan, karena hal ini merupakan kegiatan

yang sia-sia, tak menentu arah, dan tiada target akhir yang jelas. Oleh

sebab itu, proses pembelajaran adalah proses bertujuan.

b. Karakteristik Siswa

Proses pembelajaran merupakan suatu usaha mengembangkan

segala kemampuan siswa dengan karakteristik masing-masing siswa yang

beraneka ragam. Karakteristik siswa tersebut meliputi: motivasi, bakat,

minat, gaya belajar, kepribadian, dan sebagainya. Dengan keragaman

tersebut, dibutuhkan kejelian seorang guru dalam mengelola pembelajaran

22

Made Wena, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer, (Jakarta:Bumi Aksara, 2009) cet ke-2, hlm 14.

(31)

agar dapat mengakomodir segala kebutuhan siswanya, sehingga dapat

meningkatkan kualitas proses pembelajaran.

c. Kendala Sumber/Media Belajar

Belajar tidak hanya bersentuhan dengan hal-hal yang konkrit, baik

dalam konsep maupun faktanya. Bahkan dalam realitasnya, belajar

seringkali bersentuhan dengan hal-hal yang bersifat kompleks, maya, dan

berada di balik realitas. Karena itu, media memiliki andil untuk

menjelaskan hal-hal yang abstrak.

“Menurut jenisnya, media terbagi menjadi tiga jenis, yaitu media

auditif, media visual, dan media audiovisual”.23 Keragaman jenis media tersebut bukan menjadi ketergantungan dalam pelaksanaan pembelajaran.

media hanya sebagai alat bantu dalam pembelajaran, bukan sebagai

penghambat dalam mencapai tujuan secara efektif dan efisien.

d. Karakteristik/Struktur Bidang Studi

Setiap bidang studi memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Karakteristik tersebut berkaitan dengan hubungan-hubungan di antara

bagian-bagian bidang studi tertentu. Karateristik bidang studi mata

pelajaran matematika berbeda dengan karakteristik bidang studi sejarah.

Misalnya dalam mata pelajaran sejarah, guru sejarah dapat memulai dapat

memulai pembelajaran dari pokok bahasan apa saja, sebaliknya mata

pelajaran matematika tidak bisa dilakukan seperti itu. Sehingga

kemampuan guru dalam memahami karakteristik bidang studi berdampak

pada pemilihan metode pembelajaran yang akan digunakan.

Dari penjelasan diatas, banyak hal yang dapat mempengarui proses

pembelajaran. Perlunya memahami faktor-faktor tersebut, dapat dijadikan

23

(32)

landasan dalam menentukan bagaimana menyusun strategi pembelajaran agar

dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.

3. Strategi dan Metode Pembelajaran Nilai Karakter

Pendidikan karakter di era modern seperti saat ini membutuhkan

sebuah inovasi strategi dan metode pembelajaran yang akan membantu

menyukseskan pendidikan karakter. Maraknya pemanfaatan teknologi

informasi melalui internet, handphone, maupun tab yang pesat, dan

membanjirnya budaya asing secara bebas perlu menjadi bahan pertimbangan

bagi pengajar ketika akan menanamkan nilai karakter kepada peserta didik.

Metode pembelajaran tradisional yang mengansumsikan bahwa

peserta didik memiliki kebutuhan yang sama, belajar dengan cara yang sama

nampaknya kini tidak lagi berlaku. Metode tersebut dinilai kurang

mengapresiasi kebutuhan peserta didik dalam pelaksanaan pembelajaran.

Proses pembelajaran dewasa ini lebih tepat menggunakan model pembelajaran

yang didasarkan pada interaksi sosial (model interaksi) dan transaksi.24

Model pembelajaran interaksional ini dilaksanakan dengan

berlandaskan pada prinsip-prinsip:

(a) melibatkan peserta didik secara aktif dalam belajar; (b) mendasarkan pada perbuatan individu; (c) mengaitkan teori dengan praktik; (d) mengembangkan komunikasi dan kerjasama dalam belajar; (e) meningkatkan keberanian peserta didik dalam mengambil resiko dan belajar dari kesalahan; (f) meningkatkan pembelajaran sambil berbuat dan bermain; dan (g) menyesuaikan pelajaran dengan taraf perkembangan kognitif yang masih pada taraf operasi konkret. 25

Dengan model pembelajaran yang lebih variatif akan mendorong

peserta didik untuk ikut terlibat dalam proses pembelajaran secara aktif.

Pembelajaran dalam pendidikan karakter juga perlu dilakukan secara

komprehensif yang pada dasarnya ditinjau dari segi metode yang digunakan,

24

Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm.231.

25

Ibid, hlm 231.

(33)

pendidikan yang berpartisipasi (guru, orangtua) dan konteks dimana

berlangsungnya pendidikan nilai tersebut (baik di keluarga, sekolah, maupun

masyarakat).

4. Prinsip Pembelajaran Nilai Karakter

Dalam pengembangan karakter bangsa sejatinya, tidak dimasukkan

sebagai pokok bahasan tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran,

pengembangan diri, dan budaya sekolah. Oleh karena itu, guru dan sekolah

perlu mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan

budaya dan karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP), Silabus dan Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang sudah ada.

Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan

pendidikan budaya dan karakter bangsa mengusahakan agar peserta didik

mengenal dan menerima nilai-nilai budaya dan karakter bangsa sebagai milik

mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui

tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan

selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri. Dengan

prinsip ini, peserta didik belajar melalui proses berpikir, bersikap, dan berbuat.

Ketiga proses ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta

didik dalam melakukan kegiatan sosial dan mendorong peserta didik untuk

melihat diri sendiri sebagai makhluk sosial.

Berikut prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan

pendidikan budaya dan karakter bangsa: (a) berkelanjutan; (b) melalui semua

mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah serta muatan lokal;

(c) nilai tidak diajarkan melainkan dikembangkan; (d) proses pendidikan

dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan.26

26

(34)

a. Berkelanjutan; mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai karakter bangsa merupakan sebuah proses yang tiada henti, dimulai

dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan

bahkan sampai terjun ke masyarakat.

b. Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah;

pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah tidak diajarkan dalam mata

pelajaran khusus. Namun dilaksanakan melalui keseharian pembelajaran

yang sudah berjalan di sekolah. Oleh karena itu, guru dan sekolah perlu

mengintegrasikan nilai-nilai yang dikemabngakan dalam pendidikan

karakter ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Silabus,

dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang ada.

c. Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan; mengandung makna bahwa materinilai budaya dan karakter bangsa bukanlah bahan ajar biasa; artinya,

nilai-nilai itu tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti

halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, ataupun fakta

seperti dalam mata pelajaran agama, bahasa Indonesia, PKn, IPA, IPS,

matematika, pendidikan jasmani dan kesehatan, seni, dan ketrampilan.

Materi pelajaran biasa digunakan sebagai bahan atau media untuk

mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Oleh karena itu,

guru tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada, tetapi

menggunakan materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai

budaya dan karakter bangsa. Juga, guru tidak harus mengembangkan

proses belajar khusus untuk mengembangkan nilai. Suatu hal yang selalu

harus diingat bahwa satu aktivitas belajar dapat digunakan untuk

mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan

psikomotor.

(35)

Konsekuensi dari prinsip ini, nilai-nilai budaya dan karakter bangsa tidak

ditanyakan dalam ulangan ataupun ujian. Walaupun demikian, peserta

didik perlu mengetahui pengertian dari suatu nilai yang sedang mereka

tumbuhkan pada diri mereka. Mereka berada dalam posisi tidak tahu dan

tidak paham makna nilai itu. tidak boleh

d. Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan; Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru.

Guru menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap perilaku yang

ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses

pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa

senang dan tidak indoktrinatif.

Diawali dengan perkenalan terhadap pengertian nilai yang

dikembangkan maka guru menuntun peserta didik agar secara aktif. Hal ini

dilakukan tanpa guru mengatakan kepada peserta didik bahwa mereka

harus aktif, tapi guru merencanakan kegiatan belajar yang menyebabkan

peserta didik aktif merumuskan pertanyaan, mencari sumber informasi, dan

mengumpulkan informasi dari sumber, mengolah informasi yang sudah

dimiliki, merekonstruksi data, fakta, atau nilai, menyajikan hasil

rekonstruksi atau proses pengembangan nilai, menumbuhkan nilai-nilai

budaya dan karakter pada diri mereka melalui berbagai kegiatan belajar

yang terjadi di kelas, sekolah, dan tugas-tugas di luar sekolah.

5. Model Pembelajaran Nilai Karakter

Model pembelajaran nilai karakter dapat dilakukan dengan berbagai

model. Model tersebut antara lain:

(36)

“Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan berulang-ulang agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Pembiasaan sebenarnya

berintikan pengalaman, yang dibiasakan itu yang diamalkan”.27 Model pembiasaan ini hendaknya dilakukan guru dalam setiap proses

pembelajaran sebagai upaya pembentukan karakter yang bermuatan

sifat-sifat baik dan terpuji.

Dalam proses pembelajaran, pembiasaan dapat dilakukan melalui

kegiatan berdoa sebelum memulai pembelajaran, hadir dikelas tepat waktu,

tanya-jawab tentang materi pelajaran, bekerja dalam kelompok,

mempresentasikan/menampilkan hasil kerja kelompok, dll. Meskipun

sederhana, namun kegiatan-kegiatan tersebut apabila mampu dilakukan

dengan sebaik-baiknya akan membawa dampak positif dalam kehidupan

sehari-hari setelah proses pembelajaran.

Melalui pembiasaan pendidikan karakter juga perlu ditunjang

keikutsertaannya sebagai suri tauladan dari seluruh stakeholder sekolah,

termasuk guru dan kepala sekolah. Ibarat dua sisi mata uang, keberadaan

pembiasaan dan keteladaan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang

lainnya. Pembiasaan membutuhkan teladan dalam pelaksanaannya.

Keteladaanpun akan sia-sia apabila tidak diimbangi dengan pembiasaan.

Dalam pendidikan karakter pribadi guru akan menjadi teladan bagi

peserta didik dalam setiap prosess pembelajaran yang dijalaninya. Hal ini

tentu saja dapat dimaklumi, karena “manusia sendiri merupakan makhluk yang suka mencontoh, termasuk peserta didik mencontoh pribadi gurunya

dalam membentuk pribadinya”.28

Dalam keteladanan ini, guru harus berani tampil beda, berbeda

penampilan dari orang lain yang bukan guru. Penampilan-penampilan

27

E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta:Bumi Aksara, 2012), cet ke-2, hlm166.

28

Ibid, hlm166.

(37)

tersebut meliputi cara berkomunikasi, penampilan berpakaian, cara

berinteraksi dengan peseta didik, kepatuhan terhadap aturan-aturan yang

ada di sekolah, dan hal-hal lain yang mungkin dapat dikembangkan

menjadi sebuah teladan yang baik bagi peserta didiknya.

b. Pembinaan disiplin

Kegiatan pembinaan disiplin merupakan suatu usaha

menumbuhkembangkan disiplin peserta didik yang dapat mempengaruhi

keberlangsungan proses pendidikan berkarakter. Menurut tata bahasa,

disiplin adalah suatu bentuk kepatuan terhadap peraturan-peraturan yang

telah berlaku.

Kedisiplinan dapat berjalan dengan baik apabila mampu dilakukan

dengan pembiasaan dalam kegiatan sehari-hari. Aktivitas yang dikerjakan

secara berulang dan terus-menerus, biasanya akan cepat tertanam dalam

hati seseorang.

c. Contextual teaching and learning

Ada berbagai macam metode pembelajaran, salah satunya adalah

pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) atau lebih

sering dikenal dengan CTL. CTL merupakan suatu strategi pembelajaran

yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk

dapat menemukan materi yang dipelajari dan menumbuhkannya dengan

situasi kehidupan nyata sehingga mendoron siswa untuk dapat

menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.29

Menurut Kohlberg, dalam konsep pendidikan moralnya,

menyebutkan bahwa pendidikan kaakter harus melibatkan berpikir aktif

dalam menghadapi isu-isu moral dan menetapkan suatu keputusan

29

(38)

moral.30 Peserta didik sebagai subyek yang belajar, harus dikondisikan

tentang bagaimana mereka dapat belajar merespon keadaan

lingkungannya yang kadang tidak sejalan dengan pembelajaran yang

mereka dapat di kelas. Dan pada akhirnyapun mereka diberikan

kesempatan untuk memilih dan menentukan keterlibatannya dalam

keadaan tersebut.

d. Bermain peran

Bermain peran merupakan salah satu metode pembelajaran yang

diarahkan pada upaya pemecahan masalah-masalah yang berkaitan

dengan hubungan antarmanusia, terutama yang menyangkut kehidupan

peserta didik.31

Dalam model ini, peserta didik diberikan kesempatan

seluas-luasnya untuk memerankan sebuah jalan cerita yang masing-masing

peserta didik mempunyai peran yang berbeda, sehingga akan nampak

keragaman peran yang dimainkan. Model ini menuntut kejelian guru

untuk mengoreksi kekurangan dari peran yang telah dimainkan.

Sebagai sebuah model pembelajaran berkarakter bermain peran

berakar pada dimensi pribadi dan sosial.32 Maksudnya, secara pribadi

model ini membantu peserta didik untuk menyeleseikan permasalahan

yang sedang dihadapinya dengan bantuan kelompok sosial yang

diilustrasikan oleh teman-teman sekelas.

Sedangkan secara dimensi sosial model pembelajaran ini

memberikan kesempatan peserta didik untuk bekerja sama dalam

menganalisa situasi-situasi sosial, terutama masalah yang menyangkut

hubungan antar pribadi peserta didik.

30

Op. Cit, hlm174.

31

Sofan Amri dan Iif Khoiru Ahmadi, Konstruksi Pengembangan Pembelajaran, (Jakarta:Prestasi Pustaka, 2010) cet ke-1, lm 194.

32

E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter. (Jakarta:Bumi Aksara, 2012), cet ke-2, hlm179.

(39)

e. Pembelajaran partisipatif

Dalam proses pembelajaran, agar tercapai hasil yang optimal

diperlukan keterlibatan atau partisipasi dari peserta didik. Pembelajaran

partisipatif sendiri merupakan model pembelajaran dengan melibatkan

peserta didik secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi

pembelajaran.33

Untuk terjadinya keterlibatan itu peserta didik harus memahami

dan memiliki tujuan yang ingin dicapai melalui kegiatan belajar.

Keterlibatan peserta didik itu pun arus memiliki arti penting sebagai

bagian dari dirinya dan perlu diarahkan secara baik oleh sumber belajar.

Pelaksanaan pembelajaran partisipatif memerhatikan beberapa prinsip sebagai berikut:

Pertama, berdasarkan kebutuhan belajar sebagai keinginan maupun

kehendak yang dirasakan oleh peserta didik. Kedua, tujuan kegiatan belajar. Prinsip ini mengandung arti bahwa pelaksanaan pembelajaran partisipatif berorientasi kepada usaha pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Ketiga, berpusat pada peserta didik.

Keempat, belajar berdasarkan pengalaman, bahwa kegiatan belajar

siswa harus selalu dihubungkan dengan pengalaman peserta didik.34 Dalam pembelajaran partisipatif, guru hanya berperan sebagai

fasilitator dan mendorong partisipasi peserta didik dalam setiap proses

pembelajaran. Oleh karena itu, dengan keterlibatan peserta didik dapat

menentukan keberhasilan kegiatan belajar mengajar.

33

Sofyan Amri dan Iif Khoiru Ahmadi, Konstruksi Pengembangan Pembelajaran, (Jakarta:Prestasi Pustaka, 2010) cet ke-1, lm 195.

34

(40)

C. Pengembangan Nilai Karakter pada Mata Pelajaran Kewirausahaan

1. Mata Pelajaran Kewirausahaan di SMK

Dalam Permendiknas No 22 Tahun 2006, menyebutkan bahwa

pendidikan kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan,

kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan peserta didik untuk hidup

mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan program

kejuruannya.35 Hal ini mengindikasikan bahwa kemendiknas ingin

mengarahkan pendidikan kejuruan ini agar dapat membentuk pemuda-pemuda

Indonesia yang memiliki kecakapan hidup yang berkualitas. Perwujudan

tujuan pendidikan kejuruan dapat diaplikasikan melalui pencapaian

kompetensi dasar untuk bertahan hidup, serta mampu menyesuaikan diri agar

berhasil dalam kehidupan bermasyarakat.

Mata pelajaran Kewirausahaan merupakan bagian dari mata pelajaran

kejuruan yang terdiri atas beberapa mata pelajaran yang bertujuan untuk

menunjang pembentukan kompetensi kejuruan dan pengembangan

kemampuan menyesuaikan diri dalam bidang keahliannya.36 Mata pelajaran

Kewirausahaan memiliki tujuan agar peserta didik dapat mengaktualisasikan

dirinya dalam perilaku berwirausaha.

Isi dari mata pelajaran Kewirausahaan diorientasikan pada perilaku

berwirausaha sebagai upaya merespon fenomena kelangkaan lapangan

pekerjaan yang terjadi di lingkungan peserta didik. Berkaitan dengan hal

tersebut, peserta didik dituntut lebih aktif untuk mempelajari

peristiwa-peristiwa ekonomi yang terjadi di lingkungannya. Sehingga setelah

menyeleseikan pendidikannya, peserta didik diharapkan memiliki mindset

untuk membuka lapangan usaha baru, bukan lagi bekerja untuk orang lain.

35

Permendiknas No. 22 Tahun 2006

36

Ibid.,

(41)

Untuk mengembangkan mata pelajaran Kewirausahaan, terdapat

beberapa prinsip-prinsip yang dapat digunakan, yaitu:

a. Proses pengembangan nilai-nilai kewirausahaan merupakan sebuah proses panjang dan berkelanjutan dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan.

b. Materi nilai-nilai kewirausahaan bukanlah bahan ajar biasa. Artinya, nilai-nilai tersebut tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, atau pun fakta seperti dalam mata pelajaran agama, bahasa Indonesia, PKn, IPA, IPS, dan sebagainya. Nilai kewirausahaan diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran. Pengintegrasian ke dalam mata pelajaran bisa melalui materi, metode, maupun penilaian.

c. Dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, guru tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada tetapi menggunakan materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai kewirausahaan. Demikian juga, guru tidak harus mengembangkan proses belajar khusus untuk mengembangkan nilai.

d. Digunakan metode pembelajaran aktif dan menyenangkan. Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan nilai-nilai kewirausahaan dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru. Dalam proses pembelajaran dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa menyenangkan.37

Proses pembelajaran dalam mata pelajaran Kewirausahaan ini

memiliki perbedaan dengan mata pelajaran yang lain. Mata pelajaran

Kewirausahaan mengorientasikan pembelajarannya kepada sebuah tindakan,

yaitu penciptaan sebuah produk atau karya yang memiliki nilai jual.

a. Standar Kompetensi Lulusan (SKL) Mata Pelajaran Kewirausahaan

Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan pedoman penilaian dalam

menentukan kelulusan peserta didik.38 Kualifikasi kemampuannya meliputi

sikap, pengetahuan, dan ketrampilan. Seperti mata pelajaran lainnya,

37

Kemendiknas, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa, Pengembangan Pendidikan Kewirausahaan, Jakarta:Kemendiknas, 2010.

38

(42)

Kewirausahaanpun memiliki standar kompetensi lulusan yang ingin dicapai.

Berikut Standar Kompetensi Lulusan mata pelajaran Kewirausahaan:

1. Mampu mengidentifikasi kegiatan dan peluang usaha dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi di lingkungan masyarakatnya.

2. Menerapkan sikap dan perilaku wirausaha dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakatnya.

3. Memahami sendi-sendi kepemimpinan dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari serta menerapkan perilaku kerja prestatif dalam kehidupannya.

4. Mampu merencanakan sekaligus mengelola usaha kecil/mikro dalam bidangnya.39

Proses pembelajaran mata pelajaran kewirausahaan diharapkan dapat

menghasilkan perilaku wirausaha dan jiwa kepemimpinan, yang sangat terkait

dengan cara mengelola usaha untuk membekali peserta didik agar dapat berusaha

secara mandiri.

b. Standar Isi Mata Pelajaran Kewirausahaan

Di dalam standar dibagi menjadi menjadi dua, yaitu Standar Kompetensi

(SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Standar kompetensi merupakan kualifikasi

kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan pengguasaan sikap,

pengetahuan, dan ketrampilan yang diharapkan dapat dicapai pada setiap tingkat

dan/atau semester. Sedangkan kompetensi dasar ialah sejumlah kemampuan yang

harus dimiliki peserta didik dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan untuk

menyusun indikator kompetensi.40 Dua hal tersebut menjadi pedoman guru untuk

disampaikan kepada siswa mengenai kompetensi-kompetensi apa saja yang harus

dimiliki siswa dalam proses pembelajaran di mata pelajaran tertentu. Berikut

SK/KD pada mata pelajaran Kewirausahaan:

39 Ibid., 40

Permendiknas No. 22 Tahun 2006

(43)

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

1. Mengaktualisasikan sikap dan perilaku wirausaha

1. 1 Mengidentifikasi sikap dan perilaku wirausahawan

1. 2 Menerapkan sikap dan perilaku kerja prestatif

1. 3 Merumuskan solusi masalah

1. 4 Mengembangkan semangat wirausaha

1. 5 Membangun komitmen bagi dirinya dan bagi orang lain

1. 6 Mengambil resiko usaha

1. 7 Membuat keputusan

2. Menerapkan jiwa kepemimpinan

2. 1 Menunjukkan sikap pantang menyerah dan ulet

2. 2 Mengelola konflik

2. 3 Membangun visi dan misi usaha

3. Merencanakan usaha kecil/mikro

3. 1 Menganalisis peluang usaha

3. 2 Menganalisa aspek-aspek pengelolaan usaha

3. 3 Menyusun proposal usaha

4. Mengelola usaha kecil/mikro 4. 1 Mempersiapkan pendirian usaha

4. 2 Menghitung resiko menjalankan usaha

4. 3 Menjalankan usaha kecil 4. 4 Mengevaluasi hasil usaha

Dari tabel diatas dapat dianalisa nilai-nilai karakter yang diharapkan

dimunculkan dalam proses pembelajaran pada mata pelajaran Kewirausahaan,

Gambar

Tabel 3.1
Jumlah TABEL 4.1 Jumlah

Referensi

Dokumen terkait

Menyediakan layanan registry nama domain tingkat tinggi Indonesia (ccTLDID), yang selanjutnya disebut nama domain secara profesional sesuai kebutuhan di Indonesia dengan

Tujuan penelitian berbasis PTK ini untuk memperoleh data tentang menggunakan metode demonstrasi terhadap peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa pada pokok bahasan

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan. © Langgeng Wening Puji Universitas

Berdasarkan permasalahan yang telah dijelaskan diatas, maka diperlukan suatu sistem aplikasi pengendalian persediaan bahan baku yang dapat mencatat dan menghasilkan

Sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kualitas dan kinerja pelayanan pada Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Daerah (RSU)

Pada sistem CMS yang menggunakan pengelolaan pengguna atau kelas secara terpusat, memungkinkan seorang dosen/mahasiswa sekali masuk sistem dapat mengakses beberapa

Berdasar atas hasil penelitian yang dilakukan dibanding dengan hasil penelitian lain telah membuktikan bahwa variabel masa kerja tidak terdapat hubungan yang bermakna walaupun

This study is entitled Anne Frank’s Motivation in Giving Responses to the Conflicts Appearing during Her Hiding as Seen in Anne Frank’s The Diary of a Young Girl.. It deals with