PELAKSANAAN PEMBELAJARAN BERNILAI KARAKTER PADA
MATA PELAJARAN KEWIRAUSAHAAN
(STUDI DI SMK NEGERI 16 JAKARTA)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd)
Oleh:
Helmi Hermawan
109018200069
PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ABSTRAK
Helmi Hermawan, NIM: 109018200069, Pelaksanaan Pembelajaran Bernilai Karakter pada Mata Pelajaran Kewirausahaan Studi di SMK Negeri 16 Jakarta, Skripsi Program Strata 1, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana pelaksanaan pembelajaran bernilai karakter pada mata pelajaran Kewirausahaan. Penelitian ini dilaksanakan di SMK Negeri 16 Jakarta dilaksanakan di bulan April-Agustus 2013. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualititatif.
Dalam penelitian ini hasilnya menunjukkan bahwa pelaksanaan pembelajaran bernilai karakter pada mata pelajaran Kewirausahaan di SMK Negeri 16 Jakarta belum berjalan secara optimal. Berdasarkan hasil penelitian tersebut disarankan kepada guru untuk mengikuti pelatihan khususnya berkaitan dengan bagaimana mengintegrasikan pembelajaran bernilai karakter sehingga melalui pembelajaran di kelas diharapkan penerapan nilai karakter tersebut dapat berjalan lebih baik dan lebih efektif. Selain itu juga perlu mengembangkan pembelajaran bernilai karakter pada semua mata pelajaran, karena keberhasilan pembelajaran berkarakter berasal dari pembiasaan yang dilakukan dalam rangkaian rutinitas secara berkesinambungan dan selalu berkaitan.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada berbagai pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini, antara lain :
1. Nurlena Rifai, M.A., Ph.D, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
dan seluruh dosen beserta staf karyawan, atas semua ilmu pengetahuan dan
bimbingannya.
2. Dr. Hasyim Asy’ari, M. Pd, Ketua Program Studi Manajemen Pendidikan.
3. Dra. Nurdelima Waruwu, M. Pd, Dosen Penasehat Akademik.
4. Dra. Eri Rosatria, M. Ag, pembimbing I dan Raudhah, M. Pd,
pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran serta
kesabaran meluangkan waktunya dalam penyusunan skripsi ini.
5. Dra. Endri Suryani, MM, Kepala SMK Negeri 16 Jakarta yang telah
memfasilitasi penulis dalam menyusun skripsi berkaitan dengan penyedian
data-data pendukung dalam melakukan penelitian di sekolah tersebut.
6. Ayahanda Lukman Hakim Sidiq dan Ibunda Yanti Suwarni serta Mas
Irwan dan Teh Aci yang telah memberi kasih sayang, dukungan baik
moril maupun materil, nasehat, dan doa sehingga penyusunan skripsi ini
dapat terseleseikan dengan baik.
7. Nitta Yuliana yang telah mengisi hari-hari penulis dengan warnanya, dan
atas dorongan semangat, kesabaran, kasih sayang, dan do’a.
8. Sahabat ‘Kite Aje’ (Muhammad Irfai Muslim, Siti Shofwatunida, Welvy Reda Suryani, dan Neni Heriyani), tempat berbagi informasi, dan
berbagi inspirasi.
9. Rekan-rekan mahasiswa Manajemen Pendidikan angkatan 2009,
khususnya kelas B yang telah memberikan kenangan dan kesan yang
indah, serta semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak bisa
disebutkan satu-persatu tanpa mengurangi rasa terima kasih.
Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang
telah membantu menyeleseikan skripsi ini dengan melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, sangat diharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca agar
skripsi ini dapat disempurnakan.
Jakarta, 15 Oktober 2013
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ... i
Daftar Isi... iii
Daftar Lampiran ... v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Pembatasan Masalah ... 7
D. Perumusan Masalah... 7
E. Tujuan Penelitian... 7
F. Manfaat Penelitian... 7
BAB II KAJIAN TEORI A. Konsep Nilai Karakter 1. Pengertian Nilai Karakter ... 9
2. Macam-Macam Nilai Karakter ... 12
B. Pembelajaran Bernilai Karakter 1. Makna Pembelajaran Bernilai Karakter ... 15
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembelajaran Nilai Karakter ... 20
3. Strategi dan Metode Nilai Pembelajaran Karakter ... 23
4. Prinsip Pembelajaran Nilai Karakter ... 24
5. Model Pembelajaran Nilai Karakter ... 26
C. Pengembangan Nilai Karakter pada Mata Pelajaran Kewirausahaan 1. Mata Pelajaran Kewirausahaan di SMK ... 31
2. Nilai Karakter Pada Mata Pelajaran Kewirausahaan ... 36
3. Pembelajaran Nilai Karakter pada Mata Pelajaran Kewirausahaan ... 36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 45
B. Metode Penelitian ... 45
C. Teknik Pengumpulan Data ... 46
D. Kisi-Kisi Instrumen Penelitian ... 47
E. Teknik Analisis Data ... 48
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 49
B. Deskripsi Data dan Analisis Data... 52
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 61
B. Saran ... 62
Daftar Pustaka ... 63
Lampiran ... 66
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Silabus
Lampiran 2 : Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran
Lampiran 3 : Penetapan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) Lampiran 4 : Data Guru SMK Negeri 16 Jakarta
Lampiran 5 : Data Siswa SMK Negeri 16 Jakarta Lampiran 6 : Visi dan Misi SMK Negeri 16 Jakarta Lampiran 7 : Prestasi Siswa SMK Negeri 16 Jakarta Lampiran 8 : Berita Hasil Wawancara
Lampiran 9 : Daftar Referensi
Lampiran 10 : Surat Permohonan Izin Penelitian Lampiran 11 : Surat Keterangan Penelitian
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Akhir-akhir ini gencar sekali diperbincangkan tentang pendidikan karakter.
Pemahaman pendidikan karakter sendiri sebenarnya bukan hal baru, namun sudah
muncul beberapa dekade yang lalu. Dalam GBHN 1973, dikemukakan tentang
pengertian pendidikan bahwa, “pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu usaha yang disadari untuk mengembangkan kepribadian, keterampilan dan kemampuan
manusia yang dilaksanakan di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur
hidup”.1 Ini berarti bahwa pendidikan itu adalah kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menembankan kepribadian seseorang, ketrampilan, dan
kemampuannya yang berguna dalam menjalani kehidupannya.
Hal ini diperkuat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pasal 3 ayat 2 disebutkan bahwa,
Fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
1
Burhanudin Salam. Pengantar Pedagogik; Dasar-Dasar Ilmu Mendidik. (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997) hlm 4.
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.2
Pada dasarnya pendidikan berupaya untuk mengarahkan peserta didik ke
dalam pembentukan karakter dengan menggali segala potensi untuk meningkatkan
kemampuan sumber daya manusia yang mandiri serta dapat berkontribusi terhadap
masyarakat dan bangsanya.
Melacak gagasan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan, beliau menyatakan
bahwa “pendidikan merupakan upaya menumbuhkan budi pekerti (karakter), pikiran (intelektual), dan tubuh anak”.3 Hal ini dapat difahami bahwa sesungguhnya pendidikan itu sendiri merupakan penanaman nilai karakter, dalam arti bahwa
karakter merupakan bagian terpenting yang tidak boleh dipisahkan dalam isi
pendidikan.
Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan
karakter di sekolah adalah mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima
nilai-nilai karakter sebagai milik mereka, dan bertanggungjawab atas keputusan yang
diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian,
dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri.4
Proses pembelajaran harus selalu dibiasakan untuk mengintegrasikan
nilai-nilai karakter, karena dengan pembiasaan proses tersebut akan lebih cepat tertanam
dalam diri peserta didik. Selain itu, diperlukan juga keteladanan dari guru untuk dapat
menempatkan diri sebagai contoh bagi siswa-siswinya.
“Karakter adalah manajemen untuk membangun budaya perilaku yang mulia, bukan bersifat normatif dan basi-basi. Karakter adalah pengawalan untuk
2
UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS Pasal 3 ayat 2
3
Muchlas Samani & Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2011), hlm 33.
4
Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban,
membangun kebiasaan agar tahu nilai-nilai kebenaran, bisa mengembangkan
kebenaran, dan terbiasa untuk selalu mengamalkan kebenaran yang diyakininya”.5 Oleh karena itu perlu adanya komitmen yang kuat dan terintegrasi antar
seluruh stakeholder pendidikan untuk saling berbagi tanggungjawab serta
bersama-sama mengembangkan nilai-nilai karakter, agar karakter mulia tumbuh berkembang
pada peserta didik.
Namun sayangnya, pendidikan karakter kita saat ini terus mengalami
degradasi. Banyak kenakalan remaja yang dilakukan sehingga membentuk perilaku
yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat. Menurut data
Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2010, di wilayah DKI Jakarta
diperkirakan ada 316.000-335.000 jiwa merupakan penyalahguna narkoba.6 Pada
tahun 2009, Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya juga mengungkapkan, sebanyak 45
persen dari jumlah total pengguna narkoba sekitar 300.000 orang pengguna di DKI
Jakarta merupakan usia belajar. Rata-rata pengguna duduk di bangku sekolah
menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). 7
Kondisi anak di Indonesia juga belum lepas dari tindakan kekerasan. Salah
satu kasus menonjol di tahun 2012 yakni kasus tawuran antar pelajar. Data akhir
tahun 2012 yang dihimpun Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA)
menunjukan angka memprihatinkan. Komnas PA mencatat 147 kasus tawuran, dan
dari 147 kasus tersebut, sebanyak 82 pelajar tewas sepanjang 2012.8
5
Najib Sulhan, Panduan Praktis Pengembangan Karakter dan Budaya Bangsa Sinergi Sekolah dengan Rumah, (Surabaya:Jaring Pena, 2011) cet pertama, hal 21.
6
Anonim. 19 Persen Penduduk Indonesia Pakai Narkoba. KOMPAS. Diakses di
http://kesehatan.kompas.com/read/2010/01/19/03200345/1.9.Persen.Penduduk.Indonesia.Pakai.Narkob a pada tanggal 27 Maret 2013 jam 04:33
7
Ferril Dennys. Wow, 45 Persen Pengguna Narkoba Pelajar. KOMPAS.Diakses dari http://edukasi.kompas.com/read/2010/06/04/15080364/Wow..45.Persen.Pengguna.Narkoba.Pelajar pada tanggal 27 Maret 2013 jam 04:34
8
Fabian Januarius Kuwado. 82 Pelajar Tewas Sia-Sia Karena Tawuran. KOMPAS. Diakses dari http://megapolitan.kompas.com/read/2012/12/21/10534239/82.Pelajar.Tewas.Sia-sia.karena.Tawuran pada tanggal 22 Maret 2013 jam 22:01
Disadari atau tidak, sekolah mempunyai andil terhadap penyimpangan yang
terjadi di masyarakat tersebut. Sekolah sebagai institusi pendidikan pada dasarnya
bertujuan mempersiapkan peserta didik untuk dapat memecahkan masalah kehidupan
pada masa sekarang dan di masa yang akan datang, dengan mengembangkan segala
potensi-potensi yang dimilikinya. Oleh karena itu, pendidikan mempunyai fungsi
dalam membentuk karakter peserta didik. Dengan kata lain, melalui proses
pendidikan yang profesional akan membentuk karakter peserta didik.
Akan tetapi, perlu disadari bahwa metode pembelajaran di sekolah-sekolah
masih menganut gaya lama. Menurut forum Kompasiana, “metode pembelajaran yang menjadi favorit mungkin hanya satu, yaitu metode ceramah”.9 Meskipun menjadi favorit, metode ini justru menjadi awal kejenuhan peserta didik dalam
mengikuti pembelajaran.
Keberadaan guru menjadi suatu hal yang patut diperhatikan. Kedatangan guru
yang suka terlambat, merokok ditempat umum, kadang suka berbicara kotor, dan
berbagai bentuk kegiatan negatif lainnya dapat menurunkan citra seorang guru.
Padahal guru sebagai seorang pendidik kiranya tepat menggambarkan bagaimana
relasi antar individu dalam dunia pendidikan, sebab pada hakekatnya guru
menempatkan diri sebagai teladan kehidupan bagi para siswanya.10
Peserta didik dengan segala keunikannya memiliki kemampuan mengingat,
menyimpan, dan menganalisa materi pelajaran dengan cara yang beragam.
Keberagaman ini harus diwaspadai oleh guru mata pelajaran sehingga dapat
memanage kelas sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Selain itu
siswa juga perlu diberikan kesempatan untuk bisa merefleksikan pembelajaran ke
dalam kehidupan sehari-hari.
9
Muhammad Rifai, Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm 153.
10
Fungsi sekolah kini tidak hanya sebagai wadah pembekalan peserta didik
dengan ilmu-ilmu pengetahuan, namun sekolah juga dituntut untuk mampu
mengembangkan minat dan bakat, serta membentuk moral dan kepribadian peserta
didik.
William Bennet berpendapat bahwa, “kini peran sekolah semakin terasa ketika banyak terjadi tuntutan masyarakat yang mengharapkan anak-anaknya tidak
hanya pandai secara intelektual namun juga memiliki pemahaman akhlak yang
baik”.11 Namun, kadang sekolah dituntut hanya bekerja sendiri, padahal pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara pihak sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Seperti yang disampaikan Wina bahwa, “proses pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didiknya, guna untuk
membantu peserta didik mempelajari suatu kemampuan dasar yang dimilikinya serta
membangun kreatifitas berfikir peserta didik tersebut yang menekankan pada sumber
belajar serta lingkungan yang ada di sekitarnya”. 12
Belajar dan pembelajaran diarahkan dengan tujuan untuk membangun suatu
kemampuan berfikir peserta didik serta menerima materi pelajaran yang ada dalam
proses pembelajaran, dimana pengetahuan yang diperoleh peserta didik ini dapat
diperoleh dari luar diri akan tetapi harus dikonstruksi atau dipupuk dari diri
masing-masing peserta didik. Kegiatan belajar akan berhasil apabila proses pembelajaran
yang terjadi berjalan dengan baik dan lancar.
Pemahaman dan kesadaran tentang urgensi pengintegrasian nilai-nilai
berkarakter harus terus dijunjung tinggi, demi menciptakan peserta didik yang tidak
hanya pandai akal namun juga luhur budi. Sehingga diharapkan cita-cita pendidikan
nasional yang dapat tercapai.
Penerapan nilai-nilai karakter harus diterapkan ke dalam semua jenjang
pendidikan, baik SD/MI, SMP/MTs maupun SMA/SMK/MA. Dewasa ini, SMK
11
Agus Wibowo. Pendidikan Karakter Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) hlm 54.
12
Wina Sanjaya. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: PT Kencana Prenada Media Group, 2011) hlm 57.
menjadi salah satu sekolah formal yang banyak diminati karena melalui SMK dapat
disalurkan kemampuan-kemampuan teknis dan secara spesifik dipersiapkan untuk
terjun di dalam dunia kerja.
Sebagai sekolah kejuruan, SMK pada umumnya memiliki mata pelajaran yang
secara spesifik diberikan kepada siswa untuk mengembangkan bakat minatnya
dengan berwirausaha. Salah satu hal yang dikembangkan pada mata pelajaran
Kewirausahaan adalah menggairahkan siswa untuk menciptakan sebuah produk yang
berasal dari barang-barang yang mudah ditemui dimasyarakat untuk dijadikan
barang-barang yang bernilai ekonomis, atau dengan kata lain dapat dijual.
Pembelajaran nilai karakter pada mata pelajaran Kewirausahaan merupakan bagian
dari penginternalisasian nilai-nilai kewirausahaan ke dalam pembelajaran sehingga
hasilnya diperoleh kesadaran akan pentingnya nilai-nilai kewirausahaan, dan
pembiasaan terhadap nilai-nilai kewirausahaan ke dalam tingkah laku seharian siswa
melalui proses pembelajaran.
SMK Negeri 16 Jakarta, termasuk sekolah kejuruan yang diminati di wilayah
DKI Jakarta. Selain prestasi yang diperoleh siswa-siswinya, baik yang bersifat
akademis maupun non akademis, SMK Negeri 16 Jakarta juga mengapresiasi
nilai-nilai karakter yang dapat dikembangkan di sekolah. Hal ini terlihat dengan adanya
berbagai macam kegiatan yang bersifat terstruktur maupun non terstruktur yang
menjadi rutinitas dalam keseharian siswa-siswinya. Baik yang berada di dalam kelas
kaitannya dengan pembelajaran, maupun kegiatan di luar kelas.
Melihat keadaan SMK Negeri 16 Jakarta yang telah menerapkan nilai-nilai
karakter melalui pembelajaran, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang
pelaksanaan pembelajaran bernilai karakter di sekolah tersebut dengan judul skripsi
“Pelaksanaan Pembelajaran Bernilai Karakter pada Mata Pelajaran Kewirausahaan (Studi di SMK Negeri 16 Jakarta)”.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Dari latar belakang masalah tersebut diatas, maka peneliti mengidentifikasi
1. Menurunnya moral dan karakter siswa (tawuran, narkoba).
2. Metode pembelajaran dari guru yang belum mengarah kepada pembentukan
karakter.
3. Desain silabus dan RPP yang dirancang guru saat ini cenderung berpusat pada
guru, bukan pada anak.
4. Penambahan life and career skills, bukan sebagai mata pelajaran.
5. Kurangnya kesempatan guru sebagai model (suri tauladan) dalam penerapan
nilai-nilai karakter dalam pembelajaran.
C. PEMBATASAN MASALAH
Penelitian ini dibatasi pada masalah pelaksanaan pembelajaran bernilai karakter pada
mata pelajaran Kewirausahaan sehingga berdampak pada kehidupan sehari-hari
siswa.
D. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pembatasan masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah pada
penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan pembelajaran bernilai karakter pada
mata pelajaran Kewirausahaan di SMK Negeri 16 Jakarta?
E. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui efektifitas pelaksanaan
pembelajaran bernilai karakter untuk mata pelajaran Kewirausahaan di SMK Negeri
16 Jakarta.
F. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan menjadi sumbangan
pengetahuan penelitian tentang pelaksanaan pembelajaran bernilai karakter pada
mata pelajaran Kewirausahaan.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dan dapat
dijadikan sebagai salah satu informasi tambahan yang bermanfaat mengenai
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. Nilai Karakter
1. Pengertian Nilai Karakter
Pendidikan karakter harus dimulai sejak lahir bahkan masih dalam
kandungan melalui belaian kasih sayang ibu dan bapaknya. Pada masa itu
penanaman pendidikan karakter dalam keluarga menjadi sangat penting.
Nilai-nilai karakter ditanamkan melalui contoh perilaku semua anggota
keluarga.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan
yang lainnya”.1 Sementara itu, Donie Koesoema A memahami bahwa
“karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik, atau gaya, atau sifat dari diri seseorang yang bersumber dari
bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluaran pada
masa kecil, juga bawaan lahir”.2
1
Muchlas Samani & Hariyanto. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2011). hlm 42
2
Doni Koesoema A. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global.
(Jakarta: Grasindo, 2010). hlm 80
Sedangkan Winnie memahami bahwa “istilah karakter memiliki dua pengertian. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku.
Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan personality. Seseorang baru bisa
disebut orang yang berkarakter apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah
moral”.3
Dalam tulisan yang bertajuk Urgensi Pendidikan Karakter, Prof.
Suryanto, Ph. D. Menjelaskan bahwa karakter adalah cara berpikir dan
berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja
sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu
yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap
mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.4
Mengacu pada berbagai pengertian dan definisi karakter tersebut,
maka karakter dapat dimaknai sebagai sebuah nilai dasar yang ada dalam diri
seseorang, yang dapat membedakan dengan yang lain, dan selalu merujuk
kepada kaidah moral yang berlaku di lingkungan bermasyarakat.
Karakter merupakan hal yang sangat krusial dalam berbangsa dan
bernegara, hilangnya karakter akan menyebabkan hilangnya generasi penerus
bangsa. Karakter berperan sebagai kemudi dan kekuatan sehingga bangsa ini
tidak terombang-ambing. Karakter tidak datang dengan sendirinya melainkan
perlu dibangun dan dibentuk menjadi bangsa yang bermartabat.
Dalam desain utama yang dikembangkan oleh kemendiknas, “secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu itu
merupakan fungsi dari potensi seluruh individu manusia, baik dalam aspek
kognitif, afektif, dan psikomotorik, dalam konteks interaksi sosial kultural;
3
Fatchul Muin, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik & Praktik, (Jogjakarta:Arruz Media, 2011), hlm 160.
4
dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat dan sifatnya berlangsung sepanjang
hayat”.5
Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan
social cultural dapat dikelompokkan dalam: (1) olah hati (spiritual &
emotional development) (2) olah pikir (intelektual development) (3) olah raga
dan kinestetik (physical & kinesthetic development) (4) olah rasa dan karsa
(affective & creativity development). Proses tersebut secara holistic dan
koheren memiliki saling keterkaitan dan saling melengkapi.6
Hal yang paling mendasar dalam suatu proses pendidikan adalah
membentuk karakter peserta didik yang terlibat secara aktif dalam proses
tersebut. Sering kita jumpai pendapat bahwa pendidikan karakter identik
sebagai ruh dari sebuah pendidikan. Pembentukan karakter merupakan salah
satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU No. 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah
mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan,
kepribadian dan akhlak mulia.
Amanah UU No. 20 tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak
hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian
atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh
berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta
agama. “Tanpa pendidikan karakter di dalamnya, proses pendidikan tidak lebih hanya sekedar pelatihan kecerdasan intelektual atau hanya semacam
mengasah otak bagi para peserta didik di sekolah”.7 Ironis apabila hal ini terjadi secara terus-menerus, karena akan membentuk peserta didik yang
5
Agus Wibowo. Pendidikan Karakter; Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009) hlm 44. 6
Ibid, hlm 47. 7
Akmad Muhaimin Azzet, Urgensi Pendidikan Karakter, (Jogjakarta:Arruz Media, 2011), hlm 65.
mempunyai kecerdasan secara akademis, namun tidak diimbangi dengan
kepribadian berakhlak mulia.
“Pembentukan karakter adalah proses membangun dari bahan mentah menjadi cetakan yang sesuai dengan bakatnya masing-masing”.8 Perlu disadari bahwa peserta didik memiliki latar belakang yang berbeda. Mereka
juga dikaruniai potensi yang beraneka ragam sebagai sebuah anugerah dari
Sang Khaliq. Oleh karena itu, pembangunan karakter diperlukan untuk
menanamkan cita-cita untuk membentuk karakter kuat dalam menghadapi
kehidupannya.
2. Macam-Macam Nilai Karakter
Setiap satuan pendidikan mengambil nilai inti yang akan
dikembangkan di sekolah masing-masing. Hal ini dapat dilakukan dengan
melihat visi dan misi sekolah, tradisi budaya di sekeliling, keinginan warga
sekolah, kehendak para pemegang kepentingan di sekolah, kondisi
lingkungan, dan sebagainya. Adapun nilai-nilai karakter inti yang perlu
dikembangkan adalah (a) Agama, (b) Pancasila (c) Budaya (d) Tujuan
Pendidikan Nasional.
a. Agama:
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara implisit, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.
b. Pancasila:
Negara kesatuan republik indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut pancasila.
8
Pancasila terdapat pada pembukaan uud 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam uud 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila menjadi nilai-nilai-nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.
c. Budaya:
Sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
d. Tujuan Pendidikan Nasional:
Sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkanlah berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, merupakan sumber yang paling pokok dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.9
Berdasarkan keempat sumber nilai tersebut, teridentifikasi sejumlah
nilai untuk pendidikan karakter adalah:
1. Religius: Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama
yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur: Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai
orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi: Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku,
etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin: Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan.
9
Kemendiknas, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa, Jakarta:Kemendiknas, 2010.
5. Kerja keras: Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar, tugas, dan menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6. Kreatif: Berpikir dan melakukan sesuatu yang menghasilkan cara atau
hasil baru berdasarkan sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri: Sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain
dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis: Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak
dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9. Rasa ingin tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat, dan didengar.
10.Semangat kebangsaan: Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11.Cinta tanah air: Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan
kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12.Menghargai prestasi: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, mengakui, dan menghormati keberhasilan orang lain.
13.Bersahabat/ komunikatif: Tindakan yang memperlihatkan rasa senang
berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14.Cinta damai: Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain
merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15.Gemar membaca: Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai
bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16.Peduli sosial: Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan
kepada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
17.Peduli lingkungan: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
18.Tanggung Jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas
dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.10
10
Pengembangan nilai-nilai karakter itu sendiri terintegrasi ke dalam
proses pembelajaran, bukan diajarkan sebagai sebuah materi pembelajaran.
Maka dari itu, guru yang akan mengajar di kelas, dituntut untuk mempersiapkan
langkah-langkah belajar mengajar yang mengarah kepada proses integrasi
nilai-nilai karakter.
B. Pembelajaran Nilai Karakter
1. Makna Pembelajaran Bernilai Karakter
“Pembelajaran merupakan upaya membelajarkan siswa”.11
Dalam hal
ini terdapat dua aktifitas yang tidak dapat dielakkan yaitu, belajar dan
mengajar. Sehingga apabila kedua kegiatan ini dapat dioptimalkan dengan
baik, maka dapat mengarahkan pada tujuan pembelajaran yang telah
ditentukan.
Belajar adalah istilah yang paling utama dalam setiap usaha
pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tidak akan pernah terjadi
proses pendidikan. Menurut Winkel, “belajar adalah suatu proses mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang
menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman,
keterampilan, dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan
berbekas”.12
Pada suatu keadaan tertentu, belajar tidak hanya identik dengan
kegiatan mendapatkan materi. Belajar juga membutuhkan kesiapan batiniah
yang baik, sehingga proses belajar dapat berjalan dengan baik. Oemar
Hamalik dalam bukunya Kurikulum dan Pembelajaran, menyebutkan bahwa
“belajar adalah suatu proses suatu kegiatan, dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas daripada itu yakni
11
Made Wena, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer, (Jakarta:Bumi Aksara, 2009) cet ke-2, hlm 2.
12
Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009) cet ke-1, hlm 5.
mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan, melainkan
perubahan tingkah laku”.13 “
Belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan
menggunakan pancaindra. Sehingga dalam proses belajar terdapat unsur
mengamati, mencoba sesuatu hal baru, mendengar, membaca, dan mengikuti
arah tertentu”.14
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar
adalah proses perubahan tingkah laku atau kecakapan manusia diawali dengan
kesiapan mental/psikis yang baik melalui interaksi antara individu dengan
lingkungannya yang pada dasarnya untuk memperoleh suatu hal yang positif
menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya yang berarti menyangkut unsur
kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Sejatinya belajar tidak hanya sekedar mengumpulkan pengetahuan,
namun belajar merupakan suatu proses mental yang terjadi dalam diri
seseorang sehingga menyebabkan munculnya perubahan tingkah laku yang
berdampak pada lingkungan yang disekitarnya.
Sedangkan mengajar pada hakekatnya merupakan suatu usaha
menciptakan kondisi atau lingkungan dan memungkinkan berlangsungnya
proses belajar mengajar. Jika belajar diidentikkan sebagai kegiatan siswa,
maka mengajar adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru.
Secara sederhana “mengajar diartikan sebagai upaya menyampaikan pengetahuan pada anak didik”.15 Menurut pengertian ini, mengajar lebih cenderung bersifat transfer of knowledge. Guru sebagai aktor dalam proses ini
memberikan informasi seluas-luasnya kepada anak didik terhadap ilmu
pengetahuan untuk mata pelajaran yang dikuasainya.
13
Oemar Hamalik. Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta:Bumi Aksara, 2008) hlm 36
14
Op. cit, hlm 5
15
Hal berbeda disampaikan oleh Nana Sudjana, yang mengartikan bahwa
“mengajar adalah proses mengatur atau mengorganisasi lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak, sehingga terjadi proses belajar.
Pada tahap berikutnya mengajar adalah proses memberikan bimbingan atau
bantuan kepada anak didik dalam melaksanakan proses pembelajaran”.16 Sebagai sebuah proses, mengajar mengarahkan anak didik dalam
melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan lingkungan masyarakat
yang berbeda-beda. Maka perlu kejelian dari seorang guru dalam mengajarkan
anak didiknya, agar proses ini dapat berjalan dengan baik.
Menurut Raka Joni, “mengajar adalah menyediakan kondisi optimal yang merangsang serta mengerahkan kegiatan belajar anak didik untuk
memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan nilai atau sikap yang dapat
membawa perubahan tingkah laku maupun pertumbuhan sebagai pribadi”.17 Jadi, dapat disimpulkan dari berbagai pendapat tersebut diatas bahwa
mengajar adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh guru yang bersifat
kompleks. Proses yang dilakukan tidak hanya sekedar menyampaikan
informasi dari guru kepada siswa. Lebih dari itu, banyak kegiatan maupun
tindakan yang harus dilakukan, terutama bila diinginkan hasil belajar lebih
baik pada seluruh peserta didiknya.
Dengan mengajar juga diupayakan untuk mengantarkan peserta didik
menuju tingkat kedewasaan tertentu, baik dari segi ilmu pengetahuan,
keterampilan, dan perubahan tingkah laku, melalui proses internalisasi
nilai-nilai pada dirinya sehingga akan lahir sikap yang baik.
16
Syaiful Bari Djamarah & Aswan Zain. Strategi Belajar Mengajar. (Jakarta:PT. Rineka Cipta, 1996) cet ke-2, hal 39
17
Yatim Riyanto. Paradigma Baru Pembelajaran (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009) cet ke-1, hlm 54
Pembelajaran merupakan suatu proses yang dilakukan pendidik kepada
peserta didik, kegiatan ini tidak hanya sebatas pembekalan ilmu pengetahuan
saja namun juga dituntut untuk mampu mengembangkan minat dan bakat
peserta didik, serta membentuk karakter peserta didik.
Pada umumnya yang memiliki peran dominan dalam menyukseskan
kegiatan belajar mengajar adalah guru, sedangkan siswa berperan lebih pasif,
atau lebih banyak menerima informasi dari guru. Namun, seiring
berkembangnya zaman paradigma mengenai pembelajaranpun banyak
memberikan nuansa baru yang lebih bervariatif.
Istilah pembelajaran adalah “terjemahan dari instruction, yang banyak dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika serikat. Istilah ini banyak
dipengaruhi oleh aliran Psikologi-Kognitif holistik, yang menempatkan siswa
sebagai sumber dari kegiatan”.18 Keberadaan siswa menjadi aktor penting dalam sebuah pembelajaran. Hal ini dikarenakan bahwa siswa yang perlu
mengekplorasi potensi yang dimiliki, sehingga segala kemampuan siswa yang
sebenarnya dapat dimunculkan.
Pembelajaran juga diartikan sebagai proses kerja sama antara guru dan
siswa dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber yang ada baik potensi
yang bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri seperti minat, bakat, dan
kemampuan dasar yang dimiliki termasuk gaya belajar maupun potensi yang
ada di luar diri siswa seperti lingkungan, sarana, dan sumber belajar sebagai
upaya untuk mencapai tujuan belajar tertentu.19
Sebagai suatu proses kerja sama, pembelajaran tidak hanya
menitikberatkan pada kegiatan guru atau siswa saja, namun guru dan siswa
18
Wina Sanjaya. Perencanaan dan Desain Sistem Pengajaran (Jakarta: PT Kencana Prenada Media Group, 2004) cet ke-1, hlm 27.
19
secara bersama-sama berusaha mencapai tujuan pembelajaran yang
ditentukan. Peran guru dalam proses pembelajaran lebih banyak dimaknai
sebagai fasilitator supaya anak mengalami proses belajar. Dengan demikian,
kesadaran dan keterpahaman guru dan siswa akan tujuan yang harus dicapai
dalam proses pembelajaran merupakan syarat mutlak yang tidak bisa ditawar,
sehingga dalam prosesnya, guru dan siswa mengarah pada tujuan yang sama.
Pembelajaran tidak hanya sekadar menyampaikan materi pelajaran
saja, namun merupakan suatu proses pembentukan perilaku siswa. Siswa
adalah organisme yang unik, yang sedang berkembang. Siswa bukan benda
mati yang dapat diatur begitu saja. Mereka miliki minat dan bakat yang
berbeda-beda. Mereka juga memiliki gaya belajar yang berbeda-beda. Itulah
sebabnya proses pembelajaran adalah proses yang kompleks, yang harus
memperhitungkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi.
Pembelajaran dalam konsep pendidikan karakter didefinisikan sebagai
sebuah kegiatan yang mengarahkan pada penguatan dan pengembangan
perilaku anak secara utuh yang didasarkan/dirujuk pada suatu nilai.20 Dalam
definisi tersebut terdapat dua kegiatan sebagai sebuah identitas pembelajarn
dalam pendidikan karakter, yaitu penguatan dan pengembangan perilaku.
Penguatan adalah respon yang diberikan guru, baik bersifat verbal
maupun nonverbal untuk mendorong peserta didik mengadakan pengulangan
suatu tindakan tertentu. Sedangkan pengembangan perilaku merupakan
sebuah proses menyesuaikan perilaku anak terhadap situasi dan kondisi yang
tengah dihadapi berdasarkan pengalaman anak. Dalam proses inilah terjadi
proses anak belajar suatu nilai. Ketika proses ini berulang dan terasa nyaman
dalam diri anak, maka dapat dipastikan bahwa anak akan memiliki karakter
dari nilai yang diperkuat melalui proses belajar.
20
Dharma Kesuma, dkk., Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, (Bandung:PT. Remaja Rosda Karya), hlm. 110.
2. Faktor yang Mempengaruhi Pembelajaran Nilai Karakter
Terdapat beberapa faktor yang mempengarui dalam proses pembelajaran
di antaranya: (1) Faktor guru, (2) Siswa, (3) Sarana dan Prasarana, dan (4)
Lingkungan.21
a. Faktor Guru
Guru merupakan komponen yang menentukan dalam sebuah
proses pembelajaran. Keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi
kejelian guru dalam menyiapkan strategi, metode, teknik, dan taktik
pembelajaran.
b. Faktor Siswa
Sebagai subyek belajar, siswa tumbuh dan berkembang dengan
segala keunikannya sesuai tahap perkembangannya. Setiap siswa
memiliki kemampuan yang berbeda-beda, sehingga perlu kreativitas
seorang guru dalam mengakomodir kemampuan tersebut.
c. Faktor Sarana dan Prasarana
Sarana adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung
terhadap kelancaran proses pembelajaran. Sedangkan prasarana adalah
segala sesuatu yang mendukung secara tidak langsung terhadap
keberhasilan proses pembelajaran.
d. Faktor Lingkungan
Dilihat dari dimensi lingkungan ada dua faktor yang dapat
mempengaruhi proses pembelajaran, yaitu:
21
1. Faktor organisasi kelas; faktor ini meliputi jumlah siswa dalam satu
kelas. Hal ini tentu saja mempengarui efektivitas dalam pencapaian
tujuan pembelajaran.
2. Faktor iklim sosial-psikologis; faktor berkaitan dengan
keharmonisan hubungan antara orang yang terlibat dalam proses
pembelajaran.
Selain faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembelajaran seperti yang
disampaikan di atas, Made Wena menyebutkan juga terdapat sejumlah komponen
yang dapat mempengaruhi kegiatan pembelajaran, meliputi: “tujuan
pembelajaran, karakteristik siswa, kendala sumber/media belajar, dan
karakteristik/struktur bidang studi”.22
a. Tujuan Pembelajaran
Dalam proses pembelajaran, tujuan merupakan komponen yang
utama. Sehingga guru harus menetapkan terlebih dahulu tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai. Tidak ada suatu proses pembelajaran
yang diprogramkan tanpa sebuah tujuan, karena hal ini merupakan kegiatan
yang sia-sia, tak menentu arah, dan tiada target akhir yang jelas. Oleh
sebab itu, proses pembelajaran adalah proses bertujuan.
b. Karakteristik Siswa
Proses pembelajaran merupakan suatu usaha mengembangkan
segala kemampuan siswa dengan karakteristik masing-masing siswa yang
beraneka ragam. Karakteristik siswa tersebut meliputi: motivasi, bakat,
minat, gaya belajar, kepribadian, dan sebagainya. Dengan keragaman
tersebut, dibutuhkan kejelian seorang guru dalam mengelola pembelajaran
22
Made Wena, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer, (Jakarta:Bumi Aksara, 2009) cet ke-2, hlm 14.
agar dapat mengakomodir segala kebutuhan siswanya, sehingga dapat
meningkatkan kualitas proses pembelajaran.
c. Kendala Sumber/Media Belajar
Belajar tidak hanya bersentuhan dengan hal-hal yang konkrit, baik
dalam konsep maupun faktanya. Bahkan dalam realitasnya, belajar
seringkali bersentuhan dengan hal-hal yang bersifat kompleks, maya, dan
berada di balik realitas. Karena itu, media memiliki andil untuk
menjelaskan hal-hal yang abstrak.
“Menurut jenisnya, media terbagi menjadi tiga jenis, yaitu media
auditif, media visual, dan media audiovisual”.23 Keragaman jenis media tersebut bukan menjadi ketergantungan dalam pelaksanaan pembelajaran.
media hanya sebagai alat bantu dalam pembelajaran, bukan sebagai
penghambat dalam mencapai tujuan secara efektif dan efisien.
d. Karakteristik/Struktur Bidang Studi
Setiap bidang studi memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Karakteristik tersebut berkaitan dengan hubungan-hubungan di antara
bagian-bagian bidang studi tertentu. Karateristik bidang studi mata
pelajaran matematika berbeda dengan karakteristik bidang studi sejarah.
Misalnya dalam mata pelajaran sejarah, guru sejarah dapat memulai dapat
memulai pembelajaran dari pokok bahasan apa saja, sebaliknya mata
pelajaran matematika tidak bisa dilakukan seperti itu. Sehingga
kemampuan guru dalam memahami karakteristik bidang studi berdampak
pada pemilihan metode pembelajaran yang akan digunakan.
Dari penjelasan diatas, banyak hal yang dapat mempengarui proses
pembelajaran. Perlunya memahami faktor-faktor tersebut, dapat dijadikan
23
landasan dalam menentukan bagaimana menyusun strategi pembelajaran agar
dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.
3. Strategi dan Metode Pembelajaran Nilai Karakter
Pendidikan karakter di era modern seperti saat ini membutuhkan
sebuah inovasi strategi dan metode pembelajaran yang akan membantu
menyukseskan pendidikan karakter. Maraknya pemanfaatan teknologi
informasi melalui internet, handphone, maupun tab yang pesat, dan
membanjirnya budaya asing secara bebas perlu menjadi bahan pertimbangan
bagi pengajar ketika akan menanamkan nilai karakter kepada peserta didik.
Metode pembelajaran tradisional yang mengansumsikan bahwa
peserta didik memiliki kebutuhan yang sama, belajar dengan cara yang sama
nampaknya kini tidak lagi berlaku. Metode tersebut dinilai kurang
mengapresiasi kebutuhan peserta didik dalam pelaksanaan pembelajaran.
Proses pembelajaran dewasa ini lebih tepat menggunakan model pembelajaran
yang didasarkan pada interaksi sosial (model interaksi) dan transaksi.24
Model pembelajaran interaksional ini dilaksanakan dengan
berlandaskan pada prinsip-prinsip:
(a) melibatkan peserta didik secara aktif dalam belajar; (b) mendasarkan pada perbuatan individu; (c) mengaitkan teori dengan praktik; (d) mengembangkan komunikasi dan kerjasama dalam belajar; (e) meningkatkan keberanian peserta didik dalam mengambil resiko dan belajar dari kesalahan; (f) meningkatkan pembelajaran sambil berbuat dan bermain; dan (g) menyesuaikan pelajaran dengan taraf perkembangan kognitif yang masih pada taraf operasi konkret. 25
Dengan model pembelajaran yang lebih variatif akan mendorong
peserta didik untuk ikut terlibat dalam proses pembelajaran secara aktif.
Pembelajaran dalam pendidikan karakter juga perlu dilakukan secara
komprehensif yang pada dasarnya ditinjau dari segi metode yang digunakan,
24
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm.231.
25
Ibid, hlm 231.
pendidikan yang berpartisipasi (guru, orangtua) dan konteks dimana
berlangsungnya pendidikan nilai tersebut (baik di keluarga, sekolah, maupun
masyarakat).
4. Prinsip Pembelajaran Nilai Karakter
Dalam pengembangan karakter bangsa sejatinya, tidak dimasukkan
sebagai pokok bahasan tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran,
pengembangan diri, dan budaya sekolah. Oleh karena itu, guru dan sekolah
perlu mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan
budaya dan karakter bangsa ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP), Silabus dan Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang sudah ada.
Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan
pendidikan budaya dan karakter bangsa mengusahakan agar peserta didik
mengenal dan menerima nilai-nilai budaya dan karakter bangsa sebagai milik
mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui
tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan
selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri. Dengan
prinsip ini, peserta didik belajar melalui proses berpikir, bersikap, dan berbuat.
Ketiga proses ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta
didik dalam melakukan kegiatan sosial dan mendorong peserta didik untuk
melihat diri sendiri sebagai makhluk sosial.
Berikut prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan
pendidikan budaya dan karakter bangsa: (a) berkelanjutan; (b) melalui semua
mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah serta muatan lokal;
(c) nilai tidak diajarkan melainkan dikembangkan; (d) proses pendidikan
dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan.26
26
a. Berkelanjutan; mengandung makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai karakter bangsa merupakan sebuah proses yang tiada henti, dimulai
dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan
bahkan sampai terjun ke masyarakat.
b. Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah;
pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah tidak diajarkan dalam mata
pelajaran khusus. Namun dilaksanakan melalui keseharian pembelajaran
yang sudah berjalan di sekolah. Oleh karena itu, guru dan sekolah perlu
mengintegrasikan nilai-nilai yang dikemabngakan dalam pendidikan
karakter ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Silabus,
dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang ada.
c. Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan; mengandung makna bahwa materinilai budaya dan karakter bangsa bukanlah bahan ajar biasa; artinya,
nilai-nilai itu tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti
halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, ataupun fakta
seperti dalam mata pelajaran agama, bahasa Indonesia, PKn, IPA, IPS,
matematika, pendidikan jasmani dan kesehatan, seni, dan ketrampilan.
Materi pelajaran biasa digunakan sebagai bahan atau media untuk
mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Oleh karena itu,
guru tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada, tetapi
menggunakan materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai
budaya dan karakter bangsa. Juga, guru tidak harus mengembangkan
proses belajar khusus untuk mengembangkan nilai. Suatu hal yang selalu
harus diingat bahwa satu aktivitas belajar dapat digunakan untuk
mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan
psikomotor.
Konsekuensi dari prinsip ini, nilai-nilai budaya dan karakter bangsa tidak
ditanyakan dalam ulangan ataupun ujian. Walaupun demikian, peserta
didik perlu mengetahui pengertian dari suatu nilai yang sedang mereka
tumbuhkan pada diri mereka. Mereka berada dalam posisi tidak tahu dan
tidak paham makna nilai itu. tidak boleh
d. Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan; Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan nilai budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru.
Guru menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap perilaku yang
ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses
pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa
senang dan tidak indoktrinatif.
Diawali dengan perkenalan terhadap pengertian nilai yang
dikembangkan maka guru menuntun peserta didik agar secara aktif. Hal ini
dilakukan tanpa guru mengatakan kepada peserta didik bahwa mereka
harus aktif, tapi guru merencanakan kegiatan belajar yang menyebabkan
peserta didik aktif merumuskan pertanyaan, mencari sumber informasi, dan
mengumpulkan informasi dari sumber, mengolah informasi yang sudah
dimiliki, merekonstruksi data, fakta, atau nilai, menyajikan hasil
rekonstruksi atau proses pengembangan nilai, menumbuhkan nilai-nilai
budaya dan karakter pada diri mereka melalui berbagai kegiatan belajar
yang terjadi di kelas, sekolah, dan tugas-tugas di luar sekolah.
5. Model Pembelajaran Nilai Karakter
Model pembelajaran nilai karakter dapat dilakukan dengan berbagai
model. Model tersebut antara lain:
“Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan berulang-ulang agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Pembiasaan sebenarnya
berintikan pengalaman, yang dibiasakan itu yang diamalkan”.27 Model pembiasaan ini hendaknya dilakukan guru dalam setiap proses
pembelajaran sebagai upaya pembentukan karakter yang bermuatan
sifat-sifat baik dan terpuji.
Dalam proses pembelajaran, pembiasaan dapat dilakukan melalui
kegiatan berdoa sebelum memulai pembelajaran, hadir dikelas tepat waktu,
tanya-jawab tentang materi pelajaran, bekerja dalam kelompok,
mempresentasikan/menampilkan hasil kerja kelompok, dll. Meskipun
sederhana, namun kegiatan-kegiatan tersebut apabila mampu dilakukan
dengan sebaik-baiknya akan membawa dampak positif dalam kehidupan
sehari-hari setelah proses pembelajaran.
Melalui pembiasaan pendidikan karakter juga perlu ditunjang
keikutsertaannya sebagai suri tauladan dari seluruh stakeholder sekolah,
termasuk guru dan kepala sekolah. Ibarat dua sisi mata uang, keberadaan
pembiasaan dan keteladaan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lainnya. Pembiasaan membutuhkan teladan dalam pelaksanaannya.
Keteladaanpun akan sia-sia apabila tidak diimbangi dengan pembiasaan.
Dalam pendidikan karakter pribadi guru akan menjadi teladan bagi
peserta didik dalam setiap prosess pembelajaran yang dijalaninya. Hal ini
tentu saja dapat dimaklumi, karena “manusia sendiri merupakan makhluk yang suka mencontoh, termasuk peserta didik mencontoh pribadi gurunya
dalam membentuk pribadinya”.28
Dalam keteladanan ini, guru harus berani tampil beda, berbeda
penampilan dari orang lain yang bukan guru. Penampilan-penampilan
27
E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta:Bumi Aksara, 2012), cet ke-2, hlm166.
28
Ibid, hlm166.
tersebut meliputi cara berkomunikasi, penampilan berpakaian, cara
berinteraksi dengan peseta didik, kepatuhan terhadap aturan-aturan yang
ada di sekolah, dan hal-hal lain yang mungkin dapat dikembangkan
menjadi sebuah teladan yang baik bagi peserta didiknya.
b. Pembinaan disiplin
Kegiatan pembinaan disiplin merupakan suatu usaha
menumbuhkembangkan disiplin peserta didik yang dapat mempengaruhi
keberlangsungan proses pendidikan berkarakter. Menurut tata bahasa,
disiplin adalah suatu bentuk kepatuan terhadap peraturan-peraturan yang
telah berlaku.
Kedisiplinan dapat berjalan dengan baik apabila mampu dilakukan
dengan pembiasaan dalam kegiatan sehari-hari. Aktivitas yang dikerjakan
secara berulang dan terus-menerus, biasanya akan cepat tertanam dalam
hati seseorang.
c. Contextual teaching and learning
Ada berbagai macam metode pembelajaran, salah satunya adalah
pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) atau lebih
sering dikenal dengan CTL. CTL merupakan suatu strategi pembelajaran
yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk
dapat menemukan materi yang dipelajari dan menumbuhkannya dengan
situasi kehidupan nyata sehingga mendoron siswa untuk dapat
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.29
Menurut Kohlberg, dalam konsep pendidikan moralnya,
menyebutkan bahwa pendidikan kaakter harus melibatkan berpikir aktif
dalam menghadapi isu-isu moral dan menetapkan suatu keputusan
29
moral.30 Peserta didik sebagai subyek yang belajar, harus dikondisikan
tentang bagaimana mereka dapat belajar merespon keadaan
lingkungannya yang kadang tidak sejalan dengan pembelajaran yang
mereka dapat di kelas. Dan pada akhirnyapun mereka diberikan
kesempatan untuk memilih dan menentukan keterlibatannya dalam
keadaan tersebut.
d. Bermain peran
Bermain peran merupakan salah satu metode pembelajaran yang
diarahkan pada upaya pemecahan masalah-masalah yang berkaitan
dengan hubungan antarmanusia, terutama yang menyangkut kehidupan
peserta didik.31
Dalam model ini, peserta didik diberikan kesempatan
seluas-luasnya untuk memerankan sebuah jalan cerita yang masing-masing
peserta didik mempunyai peran yang berbeda, sehingga akan nampak
keragaman peran yang dimainkan. Model ini menuntut kejelian guru
untuk mengoreksi kekurangan dari peran yang telah dimainkan.
Sebagai sebuah model pembelajaran berkarakter bermain peran
berakar pada dimensi pribadi dan sosial.32 Maksudnya, secara pribadi
model ini membantu peserta didik untuk menyeleseikan permasalahan
yang sedang dihadapinya dengan bantuan kelompok sosial yang
diilustrasikan oleh teman-teman sekelas.
Sedangkan secara dimensi sosial model pembelajaran ini
memberikan kesempatan peserta didik untuk bekerja sama dalam
menganalisa situasi-situasi sosial, terutama masalah yang menyangkut
hubungan antar pribadi peserta didik.
30
Op. Cit, hlm174.
31
Sofan Amri dan Iif Khoiru Ahmadi, Konstruksi Pengembangan Pembelajaran, (Jakarta:Prestasi Pustaka, 2010) cet ke-1, lm 194.
32
E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter. (Jakarta:Bumi Aksara, 2012), cet ke-2, hlm179.
e. Pembelajaran partisipatif
Dalam proses pembelajaran, agar tercapai hasil yang optimal
diperlukan keterlibatan atau partisipasi dari peserta didik. Pembelajaran
partisipatif sendiri merupakan model pembelajaran dengan melibatkan
peserta didik secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
pembelajaran.33
Untuk terjadinya keterlibatan itu peserta didik harus memahami
dan memiliki tujuan yang ingin dicapai melalui kegiatan belajar.
Keterlibatan peserta didik itu pun arus memiliki arti penting sebagai
bagian dari dirinya dan perlu diarahkan secara baik oleh sumber belajar.
Pelaksanaan pembelajaran partisipatif memerhatikan beberapa prinsip sebagai berikut:
Pertama, berdasarkan kebutuhan belajar sebagai keinginan maupun
kehendak yang dirasakan oleh peserta didik. Kedua, tujuan kegiatan belajar. Prinsip ini mengandung arti bahwa pelaksanaan pembelajaran partisipatif berorientasi kepada usaha pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Ketiga, berpusat pada peserta didik.
Keempat, belajar berdasarkan pengalaman, bahwa kegiatan belajar
siswa harus selalu dihubungkan dengan pengalaman peserta didik.34 Dalam pembelajaran partisipatif, guru hanya berperan sebagai
fasilitator dan mendorong partisipasi peserta didik dalam setiap proses
pembelajaran. Oleh karena itu, dengan keterlibatan peserta didik dapat
menentukan keberhasilan kegiatan belajar mengajar.
33
Sofyan Amri dan Iif Khoiru Ahmadi, Konstruksi Pengembangan Pembelajaran, (Jakarta:Prestasi Pustaka, 2010) cet ke-1, lm 195.
34
C. Pengembangan Nilai Karakter pada Mata Pelajaran Kewirausahaan
1. Mata Pelajaran Kewirausahaan di SMK
Dalam Permendiknas No 22 Tahun 2006, menyebutkan bahwa
pendidikan kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan peserta didik untuk hidup
mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan program
kejuruannya.35 Hal ini mengindikasikan bahwa kemendiknas ingin
mengarahkan pendidikan kejuruan ini agar dapat membentuk pemuda-pemuda
Indonesia yang memiliki kecakapan hidup yang berkualitas. Perwujudan
tujuan pendidikan kejuruan dapat diaplikasikan melalui pencapaian
kompetensi dasar untuk bertahan hidup, serta mampu menyesuaikan diri agar
berhasil dalam kehidupan bermasyarakat.
Mata pelajaran Kewirausahaan merupakan bagian dari mata pelajaran
kejuruan yang terdiri atas beberapa mata pelajaran yang bertujuan untuk
menunjang pembentukan kompetensi kejuruan dan pengembangan
kemampuan menyesuaikan diri dalam bidang keahliannya.36 Mata pelajaran
Kewirausahaan memiliki tujuan agar peserta didik dapat mengaktualisasikan
dirinya dalam perilaku berwirausaha.
Isi dari mata pelajaran Kewirausahaan diorientasikan pada perilaku
berwirausaha sebagai upaya merespon fenomena kelangkaan lapangan
pekerjaan yang terjadi di lingkungan peserta didik. Berkaitan dengan hal
tersebut, peserta didik dituntut lebih aktif untuk mempelajari
peristiwa-peristiwa ekonomi yang terjadi di lingkungannya. Sehingga setelah
menyeleseikan pendidikannya, peserta didik diharapkan memiliki mindset
untuk membuka lapangan usaha baru, bukan lagi bekerja untuk orang lain.
35
Permendiknas No. 22 Tahun 2006
36
Ibid.,
Untuk mengembangkan mata pelajaran Kewirausahaan, terdapat
beberapa prinsip-prinsip yang dapat digunakan, yaitu:
a. Proses pengembangan nilai-nilai kewirausahaan merupakan sebuah proses panjang dan berkelanjutan dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan.
b. Materi nilai-nilai kewirausahaan bukanlah bahan ajar biasa. Artinya, nilai-nilai tersebut tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, atau pun fakta seperti dalam mata pelajaran agama, bahasa Indonesia, PKn, IPA, IPS, dan sebagainya. Nilai kewirausahaan diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran. Pengintegrasian ke dalam mata pelajaran bisa melalui materi, metode, maupun penilaian.
c. Dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, guru tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada tetapi menggunakan materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai kewirausahaan. Demikian juga, guru tidak harus mengembangkan proses belajar khusus untuk mengembangkan nilai.
d. Digunakan metode pembelajaran aktif dan menyenangkan. Prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan nilai-nilai kewirausahaan dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru. Dalam proses pembelajaran dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa menyenangkan.37
Proses pembelajaran dalam mata pelajaran Kewirausahaan ini
memiliki perbedaan dengan mata pelajaran yang lain. Mata pelajaran
Kewirausahaan mengorientasikan pembelajarannya kepada sebuah tindakan,
yaitu penciptaan sebuah produk atau karya yang memiliki nilai jual.
a. Standar Kompetensi Lulusan (SKL) Mata Pelajaran Kewirausahaan
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan pedoman penilaian dalam
menentukan kelulusan peserta didik.38 Kualifikasi kemampuannya meliputi
sikap, pengetahuan, dan ketrampilan. Seperti mata pelajaran lainnya,
37
Kemendiknas, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa, Pengembangan Pendidikan Kewirausahaan, Jakarta:Kemendiknas, 2010.
38
Kewirausahaanpun memiliki standar kompetensi lulusan yang ingin dicapai.
Berikut Standar Kompetensi Lulusan mata pelajaran Kewirausahaan:
1. Mampu mengidentifikasi kegiatan dan peluang usaha dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi di lingkungan masyarakatnya.
2. Menerapkan sikap dan perilaku wirausaha dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakatnya.
3. Memahami sendi-sendi kepemimpinan dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari serta menerapkan perilaku kerja prestatif dalam kehidupannya.
4. Mampu merencanakan sekaligus mengelola usaha kecil/mikro dalam bidangnya.39
Proses pembelajaran mata pelajaran kewirausahaan diharapkan dapat
menghasilkan perilaku wirausaha dan jiwa kepemimpinan, yang sangat terkait
dengan cara mengelola usaha untuk membekali peserta didik agar dapat berusaha
secara mandiri.
b. Standar Isi Mata Pelajaran Kewirausahaan
Di dalam standar dibagi menjadi menjadi dua, yaitu Standar Kompetensi
(SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Standar kompetensi merupakan kualifikasi
kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan pengguasaan sikap,
pengetahuan, dan ketrampilan yang diharapkan dapat dicapai pada setiap tingkat
dan/atau semester. Sedangkan kompetensi dasar ialah sejumlah kemampuan yang
harus dimiliki peserta didik dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan untuk
menyusun indikator kompetensi.40 Dua hal tersebut menjadi pedoman guru untuk
disampaikan kepada siswa mengenai kompetensi-kompetensi apa saja yang harus
dimiliki siswa dalam proses pembelajaran di mata pelajaran tertentu. Berikut
SK/KD pada mata pelajaran Kewirausahaan:
39 Ibid., 40
Permendiknas No. 22 Tahun 2006
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Mengaktualisasikan sikap dan perilaku wirausaha
1. 1 Mengidentifikasi sikap dan perilaku wirausahawan
1. 2 Menerapkan sikap dan perilaku kerja prestatif
1. 3 Merumuskan solusi masalah
1. 4 Mengembangkan semangat wirausaha
1. 5 Membangun komitmen bagi dirinya dan bagi orang lain
1. 6 Mengambil resiko usaha
1. 7 Membuat keputusan
2. Menerapkan jiwa kepemimpinan
2. 1 Menunjukkan sikap pantang menyerah dan ulet
2. 2 Mengelola konflik
2. 3 Membangun visi dan misi usaha
3. Merencanakan usaha kecil/mikro
3. 1 Menganalisis peluang usaha
3. 2 Menganalisa aspek-aspek pengelolaan usaha
3. 3 Menyusun proposal usaha
4. Mengelola usaha kecil/mikro 4. 1 Mempersiapkan pendirian usaha
4. 2 Menghitung resiko menjalankan usaha
4. 3 Menjalankan usaha kecil 4. 4 Mengevaluasi hasil usaha
Dari tabel diatas dapat dianalisa nilai-nilai karakter yang diharapkan
dimunculkan dalam proses pembelajaran pada mata pelajaran Kewirausahaan,