• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengadaan Tanah dalam Perspektif Islam

N/A
N/A
Muhammad muamar Khadafi

Academic year: 2025

Membagikan "Pengadaan Tanah dalam Perspektif Islam"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Pengadaan Tanah dalam Perspektif Islam

Pengadaan tanah dalam Islam merujuk pada proses memperoleh hak kepemilikan atau hak pemanfaatan tanah dengan berlandaskan prinsip-prinsip syariat. Proses ini tidak hanya mencakup pengalihan hak atas tanah, tetapi juga melibatkan pengelolaan dan pemanfaatan tanah tersebut secara adil, produktif, dan bertanggung jawab. Salah satu cara yang

disyariatkan adalah dengan memanfaatkan tanah yang belum dimiliki siapa pun, seperti tanah kosong yang tidak dikelola oleh individu atau lembaga.

Pengelolaan tanah dalam Islam juga memiliki dimensi sosial yang sangat kuat. Tanah dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas, misalnya untuk pembangunan fasilitas umum atau infrastruktur yang bermanfaat. Di sisi lain, mekanisme pengalihan hak atas tanah melalui cara-cara syar’i, seperti warisan, jual beli, dan hibah, memastikan bahwa setiap transaksi tanah dilakukan dengan memperhatikan hak-hak semua pihak yang terlibat.

Dengan demikian, pengadaan tanah tidak hanya berorientasi pada aspek materi, tetapi juga menjadi wujud dari tanggung jawab sosial dan spiritual.

Tanah Mawat dalam Konteks Islam

Salah satu konsep penting dalam pengadaan tanah adalah tanah mawat, atau tanah yang tidak bertuan. Islam memandang tanah jenis ini sebagai aset yang berpotensi besar untuk dikelola demi kemaslahatan. Tanah mawat biasanya tidak memiliki pemilik resmi, dibiarkan dalam keadaan tidak produktif, dan tidak termasuk dalam kawasan terlarang seperti tanah wakaf atau hutan lindung.

Islam memberikan kesempatan kepada umat untuk menghidupkan tanah mawat, yaitu mengelola tanah tersebut agar menjadi produktif. Dengan demikian, tidak hanya hak atas tanah yang dapat diperoleh, tetapi juga kebermanfaatan tanah tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat. Pengelolaan ini menjadi bentuk kontribusi nyata dalam menjaga sumber daya alam agar tidak terbengkalai.

Pandangan Ulama tentang Tanah Mawat

Dalam khazanah fikih Islam, para ulama telah memberikan definisi dan panduan mengenai pengelolaan tanah mawat. Imam al-Mawardi, misalnya, menjelaskan bahwa tanah mawat adalah tanah yang tidak digarap oleh siapa pun dan berada di lokasi yang tidak dilarang untuk digarap. Definisi ini memberikan batasan yang jelas bahwa tanah tersebut harus benar-benar bebas dari klaim kepemilikan sebelumnya.

Di sisi lain, Ar-Rauyani menekankan bahwa tanah yang tidak dimanfaatkan, baik yang lokasinya dekat dengan permukiman maupun jauh, dapat dijadikan hak milik asalkan proses penghidupannya sesuai dengan syariat. Pandangan ini menunjukkan bahwa pengelolaan tanah mawat tidak dibatasi oleh jarak atau lokasi, selama aktivitas tersebut dilakukan dengan cara yang sah menurut hukum Islam.

Dasar Hukum Ihya’ al-Mawat

Konsep ihya’ al-mawat, atau penghidupan tanah mati, memiliki dasar yang kuat dalam Islam.

Nabi Muhammad SAW bersabda, "Barang siapa menghidupkan tanah yang bukan milik siapa pun, maka dialah yang paling berhak atas tanah itu" (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi).

Hadits ini memberikan dorongan kepada umat Islam untuk mengelola tanah kosong dan menjadikannya lahan yang bermanfaat.

(2)

Menghidupkan tanah dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti bercocok tanam, membangun fasilitas, atau kegiatan lain yang menjadikan tanah tersebut produktif. Konsep ini tidak hanya mendorong pengelolaan fisik tanah, tetapi juga menanamkan nilai-nilai tanggung jawab sosial. Pemanfaatan tanah mawat sesuai dengan syariat menjadi salah satu cara untuk memastikan bahwa sumber daya alam digunakan dengan bijak dan memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat.

Dengan landasan syariat ini, Islam mengajarkan pentingnya produktivitas, keadilan, dan keberlanjutan dalam pengelolaan tanah. Ihya’ al-mawat menjadi simbol bahwa setiap individu memiliki kesempatan untuk berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan bersama, asalkan dilakukan dengan niat yang baik dan metode yang sesuai dengan aturan syariat.

Cara-Cara Memperoleh Kepemilikan Tanah dalam Islam

Dalam sistem hukum Islam, terdapat berbagai cara untuk memperoleh tanah, yang meliputi baik usaha pribadi maupun mekanisme yang diatur oleh pemerintah. Secara garis besar, cara- cara ini terbagi menjadi dua kategori utama: cara tradisional yang telah ada dalam praktik masyarakat, dan mekanisme tambahan yang lebih terstruktur melalui sistem administrasi tanah yang diatur negara. Masing-masing cara ini memiliki landasan syariat yang jelas dan bertujuan untuk mengatur kepemilikan dan pengelolaan tanah secara adil serta sesuai dengan prinsip- prinsip Islam.

A. Cara Tradisional dalam Memperoleh Tanah

Salah satu cara utama yang diterima dalam Islam untuk memperoleh kepemilikan tanah adalah melalui Ihya’ al-Mawat, yaitu menghidupkan tanah yang sebelumnya tidak dimiliki oleh siapapun dan tidak dimanfaatkan. Konsep ini mendasarkan pada prinsip bahwa tanah yang dibiarkan tidak produktif dapat dikelola oleh siapa saja yang pertama kali menggarapnya, baik untuk keperluan pertanian, pemukiman, atau pembangunan fasilitas umum. Proses ini sangat penting karena mendorong produktivitas tanah dan memanfaatkan sumber daya alam secara optimal untuk kemaslahatan umat. Dalam Islam, menghidupkan tanah yang tidak terkelola tidak hanya berarti memperoleh hak atas tanah, tetapi juga menjadi kewajiban sosial untuk mengelolanya dengan bijaksana.

Selain itu, terdapat cara lain untuk memperoleh tanah yang juga diakui dalam Islam, yakni melalui warisan. Tanah yang dimiliki seseorang dapat diwariskan kepada ahli warisnya berdasarkan hukum faraidh yang diatur dalam syariat. Pembagian warisan ini dilakukan dengan tujuan untuk memastikan keadilan dan keseimbangan dalam pembagian harta, termasuk tanah, di kalangan keluarga yang ditinggalkan oleh pewaris.

(3)

Selain warisan, tanah juga bisa diperoleh melalui hibah atau pemberian tanah dari seorang pemilik kepada orang lain tanpa adanya transaksi finansial. Proses hibah ini dilakukan atas dasar sukarela dan tidak mengharuskan adanya imbalan, yang memungkinkan seseorang memberikan tanahnya untuk kepentingan pihak lain, misalnya untuk kemaslahatan sosial.

Salah satu cara lain yang lebih sering terjadi dalam transaksi tanah adalah jual beli. Dalam mekanisme ini, tanah dipertukarkan dengan harga yang disepakati oleh kedua belah pihak.

Islam menekankan pentingnya keadilan dalam jual beli tanah, yang mengharuskan kedua belah pihak untuk berlaku jujur dan transparan mengenai kondisi tanah yang diperjualbelikan.

Selain itu, wasiat juga menjadi saluran untuk pengalihan kepemilikan tanah. Wasiat merupakan pemberian tanah kepada pihak tertentu melalui pesan terakhir yang diberikan sebelum seseorang wafat. Namun, dalam Islam, wasiat tidak boleh melebihi sepertiga dari harta yang dimiliki dan tidak boleh merugikan hak warisan yang sudah ditetapkan oleh syariat.

Selanjutnya, wakaf menjadi cara yang sangat penting dalam Islam untuk memberikan manfaat jangka panjang. Tanah yang diwakafkan dimaksudkan untuk kepentingan ibadah atau amal sosial, seperti pembangunan masjid, sekolah, atau rumah sakit. Tanah yang diwakafkan tidak dapat dijual atau diwariskan, tetapi hasil dari pengelolaannya digunakan untuk kepentingan umum yang bermanfaat bagi umat.

Selain itu, terdapat konsep ghanimah yang merujuk pada harta rampasan perang, yang termasuk tanah. Dalam situasi tertentu, tanah dapat diberikan kepada pasukan yang memenangkan peperangan sebagai bagian dari pembagian ghanimah, sesuai dengan aturan syariat.

Terakhir, tanah dapat diperoleh melalui sedekah. Sedekah adalah pemberian tanah secara sukarela untuk kepentingan umat, seperti untuk membangun fasilitas sosial atau membantu sesama. Dalam hal ini, pemberian tanah dilakukan tanpa pamrih dan murni untuk kebaikan masyarakat.

B. Mekanisme Tambahan dalam Pengelolaan Tanah: Iqta’ dan Tahjir

Selain cara-cara tradisional yang telah disebutkan, Islam juga menyediakan mekanisme tambahan untuk memperoleh dan mengelola tanah, yaitu Iqta’ dan Tahjir. Kedua mekanisme ini berperan penting dalam mengatur distribusi dan pengelolaan tanah dalam konteks pemerintahan dan kepentingan umum.

(4)

Iqta’ adalah suatu sistem di mana pemerintah memberikan hak pengelolaan atas tanah kepada individu atau kelompok. Meskipun tanah yang diberikan melalui Iqta’ bukanlah hak milik penuh, penerima hak tersebut diberikan kewenangan untuk mengelola tanah tersebut dalam jangka waktu tertentu. Sistem ini umumnya diterapkan untuk memaksimalkan pengelolaan tanah yang belum digarap atau dimanfaatkan, seperti tanah yang terletak di luar kawasan permukiman. Dengan adanya Iqta’, tanah yang sebelumnya tidak produktif bisa diubah menjadi lahan yang memberi manfaat, baik untuk pertanian maupun pembangunan fasilitas yang mendukung kemaslahatan umat. Penerima Iqta’ biasanya harus memenuhi kewajiban tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah, seperti membayar pajak atau memberikan kontribusi tertentu kepada negara.

Proses Tahjir merupakan langkah awal yang dilakukan sebelum tanah yang tidak terkelola bisa dimanfaatkan lebih lanjut. Tahjir berarti memberi tanda atau batasan pada tanah yang masih kosong atau belum memiliki pengelola, dengan tujuan agar tanah tersebut dapat digunakan secara sah dan diorganisir dengan baik. Dalam konteks ini, Tahjir tidak langsung memberikan hak kepemilikan, tetapi berfungsi sebagai langkah administratif yang memungkinkan tanah tersebut kemudian dikelola, baik melalui Ihya’ al-Mawat atau melalui mekanisme Iqta’.

Dengan demikian, Tahjir menjadi titik awal penting dalam proses pemanfaatan tanah yang tidak dikelola sebelumnya, untuk memastikan bahwa tanah tersebut dikelola sesuai dengan ketentuan syariat.

Keterkaitan antara Iqta’ dan Tahjir dalam Pengelolaan Tanah

Iqta’ dan Tahjir saling berhubungan dalam sistem pengelolaan tanah yang lebih terorganisir.

Tahjir bertindak sebagai langkah awal untuk memberikan batasan atau tanda pada tanah yang tidak terkelola, sementara Iqta’ memberikan kesempatan kepada individu atau kelompok tertentu untuk mengelola tanah tersebut dengan kewajiban-kewajiban tertentu. Kedua mekanisme ini bersama-sama mendukung sistem pengelolaan tanah yang lebih efisien dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan yang ada dalam Islam.

Dengan demikian, baik Iqta’ maupun Tahjir berfungsi untuk memastikan bahwa tanah yang tidak produktif dapat dimanfaatkan dengan cara yang terorganisir dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Proses-proses ini juga memberikan peluang yang sama bagi siapa saja untuk memperoleh hak pengelolaan atas tanah selama memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat, sehingga menciptakan keseimbangan dalam distribusi dan penggunaan sumber daya alam.

(5)

Jenis-Jenis Iqta’ dalam Fiqih Islam

Salah satu instrumen penting dalam fiqih Islam terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan tanah adalah sistem Iqta’. Iqta’ merujuk pada pembagian hak atas tanah oleh pemerintah kepada individu atau kelompok untuk dikelola, dengan tujuan untuk menciptakan produktivitas dan kebermanfaatan yang luas. Sistem ini tidak hanya berlaku untuk tanah yang sudah memiliki pemilik, tetapi juga berlaku untuk tanah yang belum dikelola atau tidak terpakai, yang sering disebut sebagai al-Mawat (tanah mati). Oleh karena itu, Iqta’ dalam fiqih Islam dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis sesuai dengan tujuan dan penggunaannya. Dalam bagian ini, akan dijelaskan secara rinci beberapa jenis Iqta’ yang dikenal dalam fiqih Islam, beserta landasan syar’i dan penerapannya dalam masyarakat.

Iqta’ al-Mawat (Penyerahan Tanah Kosong)

Jenis Iqta’ yang pertama adalah Iqta’ al-Mawat, yaitu pemberian hak pengelolaan atas tanah kosong yang belum dimiliki oleh siapapun. Tanah yang dimaksud dalam kategori ini adalah tanah yang tidak dimanfaatkan, baik oleh individu, lembaga, atau negara, dan tidak tergolong dalam tanah yang sudah dialokasikan untuk kepentingan umum. Tanah kosong ini sering kali dianggap sebagai al-Mawat atau tanah mati, yang secara harfiah tidak memberikan manfaat apapun bagi masyarakat.

Pemberian hak atas tanah al-Mawat dimaksudkan untuk menghidupkan tanah tersebut agar menjadi lebih produktif dan memberikan manfaat ekonomi. Pemerintah, melalui mekanisme Iqta’ al-Mawat, memberikan hak kepada individu atau kelompok untuk menggarap tanah tersebut, seperti untuk pertanian, pembangunan perumahan, atau infrastruktur lainnya. Dengan demikian, pemberian Iqta’ al-Mawat ini tidak hanya memberikan peluang untuk individu memperoleh penghidupan, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum.

Iqta’ Irfaq (Iqta’ al-Amir)

Jenis Iqta’ selanjutnya adalah Iqta’ Irfaq, yang dikenal juga dengan sebutan Iqta’ al-Amir.

Berbeda dengan Iqta’ al-Mawat, Iqta’ Irfaq ini berkaitan dengan pemberian hak atas tanah untuk tujuan kepentingan umum. Tanah yang diberikan dalam Iqta’ Irfaq biasanya digunakan untuk fasilitas sosial atau umum, seperti pekarangan masjid, pasar umum, atau jalan raya.

Dalam hal ini, hak yang diberikan kepada individu atau kelompok adalah hak pemanfaatan, bukan hak kepemilikan penuh.

(6)

Karakteristik utama dari Iqta’ Irfaq adalah bahwa hak pemanfaatan yang diberikan bersifat sementara. Jika tanah tersebut dibutuhkan kembali oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang lebih mendesak, hak pemanfaatannya dapat dicabut tanpa melanggar syariat. Pemberian Iqta’ Irfaq ini bertujuan untuk memastikan bahwa tanah yang dikelola dapat memenuhi kebutuhan masyarakat luas, seperti pembangunan infrastruktur publik yang akan memberikan manfaat bagi umat.

Iqta’ al-Ma’adin (Tanah yang Mengandung Sumber Daya Alam)

Jenis Iqta’ lainnya adalah Iqta’ al-Ma’adin, yang berkaitan dengan pemberian hak atas tanah yang mengandung sumber daya alam bernilai, seperti tambang emas, perak, bijih besi, atau mineral lainnya. Tanah yang mengandung kekayaan alam ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi, sehingga pengelolaannya perlu diatur dengan sangat hati-hati.

Dalam pandangan fiqih Islam, pengelolaan tambang dan sumber daya alam harus dilakukan dengan prinsip keadilan dan kebermanfaatan yang luas. Menurut Madzhab Hanafi, tambang dianggap sebagai rikaz (harta karun), baik yang berasal dari alam maupun peninggalan manusia. Sebaliknya, Jumhur Ulama membedakan antara ma’adin sebagai kekayaan alam yang terkandung dalam tanah dan rikaz sebagai harta terpendam. Oleh karena itu, pemberian hak pengelolaan tambang melalui Iqta’ al-Ma’adin perlu mengacu pada aturan-aturan yang berlaku, untuk memastikan bahwa kekayaan alam tersebut dikelola secara adil dan tidak merugikan pihak lain atau merusak lingkungan.

Tahjir: Tanda Awal Pengelolaan Tanah

Salah satu langkah awal yang penting dalam proses pengelolaan tanah dalam fiqih Islam adalah Tahjir, yaitu tindakan memberikan tanda pada tanah yang belum dimanfaatkan sebagai indikasi bahwa tanah tersebut akan dikelola. Tanda ini bisa berupa batu, kayu, atau pagar yang diletakkan di sekitar tanah yang tidak dimiliki untuk menunjukkan niat untuk menghidupkan tanah tersebut. Konsep Tahjir ini mencerminkan niat serius untuk memanfaatkan tanah tersebut dan mengubah statusnya menjadi tanah yang produktif.

Menurut pandangan Madzhab Syafi’i, memberikan tanda atau Tahjir pada tanah tidak serta merta memberikan hak penuh atas tanah tersebut. Kepemilikan tanah baru diperoleh setelah tanah tersebut dikelola dan menjadi produktif. Dalam hal ini, Tahjir hanyalah langkah awal yang menunjukkan niat untuk mengelola tanah, dan hak penuh atas tanah baru dapat diperoleh setelah adanya bukti nyata bahwa tanah tersebut telah dikelola sesuai dengan syariat Islam.

(7)

Kesimpulan

Secara keseluruhan, sistem Iqta’ dalam fiqih Islam memberikan pendekatan yang sistematis dan adil dalam pengelolaan tanah. Terdapat berbagai jenis Iqta’, seperti Iqta’ al-Mawat, Iqta’

Irfaq, dan Iqta’ al-Ma’adin, yang masing-masing memiliki tujuan dan penerapan yang berbeda. Iqta’ al-Mawat bertujuan untuk menghidupkan tanah kosong yang tidak terkelola, sementara Iqta’ Irfaq difokuskan untuk kepentingan umum melalui pemanfaatan tanah untuk fasilitas sosial. Iqta’ al-Ma’adin mengatur pengelolaan tanah yang mengandung sumber daya alam dengan memperhatikan keadilan dalam distribusi kekayaan alam.

Di sisi lain, Tahjir sebagai langkah awal dalam pengelolaan tanah menegaskan pentingnya niat dan usaha nyata dalam menjadikan tanah tidak terkelola menjadi lebih produktif. Proses-proses ini memastikan bahwa pengelolaan tanah dalam Islam dilakukan dengan prinsip keadilan, kebermanfaatan, dan tanggung jawab sosial yang tinggi. Dengan sistem ini, Islam mendorong umat untuk mengelola sumber daya alam secara bijaksana, tidak hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk kesejahteraan masyarakat secara luas.

Prinsip Islam dalam Pengelolaan dan Perlindungan Hak Atas Tanah

Pengelolaan dan perlindungan hak atas tanah dalam Islam merupakan suatu aspek yang sangat penting dalam menjalankan kehidupan masyarakat secara adil dan seimbang. Tanah sebagai sumber daya alam yang vital, memiliki peran sentral dalam mendukung keberlanjutan kehidupan, baik secara ekonomi, sosial, maupun spiritual. Islam, sebagai agama yang

mengatur berbagai aspek kehidupan, memberikan panduan yang jelas mengenai bagaimana tanah harus diperoleh, dikelola, dan dipertahankan haknya. Dalam hal ini, prinsip-prinsip yang terkandung dalam ajaran Islam tidak hanya memastikan adanya keadilan dalam

pengelolaan tanah, tetapi juga berorientasi pada kemaslahatan umat dan keberlanjutan hidup bersama. Oleh karena itu, pengaturan hak atas tanah dalam Islam lebih menekankan pada keberlanjutan dan distribusi yang adil, bukan hanya kepemilikan pribadi semata.

Hak Milik Dijamin dalam Islam

Dalam sistem hukum Islam, hak milik atas tanah adalah hak yang dijamin bagi setiap individu yang memperoleh tanah melalui cara yang sah. Syariat Islam memandang tanah sebagai amanah yang harus dikelola dengan penuh tanggung jawab. Pemilik tanah, yang memperoleh haknya baik melalui jalur tradisional seperti warisan, jual beli, hibah, maupun melalui regulasi pemerintah, memiliki hak penuh atas tanah tersebut untuk mengelola dan memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya. Penting untuk dipahami bahwa hak milik ini tidak bersifat mutlak, melainkan terikat pada kewajiban untuk menjaga kelestarian dan kesejahteraan masyarakat secara umum. Dalam hal ini, Islam menekankan pentingnya keseimbangan antara hak individu dan kepentingan sosial dalam pengelolaan tanah.

Kompensasi atas Pelanggaran Hak

(8)

Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap hak kepemilikan tanah, Islam memberikan hak kepada pemilik tanah untuk menuntut kompensasi yang sesuai dengan kerugian yang dialami.

Konsep ini mengatur agar setiap individu yang haknya dilanggar oleh pihak lain atau negara dapat memperoleh ganti rugi yang adil dan setimpal dengan kerugian yang dialami. Misalnya, jika tanah yang dimiliki diambil secara paksa tanpa alasan yang sah, pemiliknya berhak mendapatkan ganti rugi sesuai dengan tingkat kerugian yang timbul. Dengan demikian, Islam menegaskan pentingnya keadilan dalam setiap transaksi dan pengambilalihan hak atas tanah, baik itu untuk kepentingan individu maupun masyarakat.

Prosedur yang Adil dalam Pengalihan Hak

Proses pengalihan hak atas tanah, baik melalui jual beli, warisan, hibah, atau bentuk lainnya, harus dilakukan dengan mengikuti prosedur yang sesuai dengan syariat. Dalam hal ini, Islam mengajarkan bahwa pengalihan hak atas tanah harus dilakukan dengan transparansi,

kejujuran, dan kesepakatan yang jelas antara pihak-pihak yang terlibat. Setiap transaksi tanah harus melibatkan proses yang sah, tidak ada pemaksaan, dan tidak ada unsur penipuan yang dapat merugikan pihak lain. Hal ini merupakan implementasi dari prinsip adil yang diatur dalam ajaran Islam, di mana setiap individu yang terlibat dalam transaksi tanah berhak mendapatkan haknya secara adil dan sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat.

Tujuan Pengadaan Tanah dalam Islam

Pengadaan tanah dalam Islam tidak hanya berfokus pada aspek kepemilikan pribadi, tetapi juga pada kepentingan umat secara umum. Beberapa tujuan pengadaan tanah dalam Islam yang tercermin dalam prinsip-prinsip syariat antara lain adalah untuk meningkatkan produktivitas tanah, memenuhi kebutuhan umum, mewujudkan keadilan sosial, dan mendukung kepentingan umat.

1. Meningkatkan Produktivitas Tanah

Islam sangat menekankan pentingnya pengelolaan tanah yang dapat mendukung

kesejahteraan ekonomi masyarakat. Salah satu konsep utama dalam Islam terkait dengan tanah adalah ihya’ al-mawat atau menghidupkan tanah mati. Tanah yang tidak dikelola, yang tidak memiliki pemilik atau yang tidak dimanfaatkan, dapat dimanfaatkan kembali untuk mendukung pertanian, pembangunan, atau kegiatan ekonomi lainnya. Dalam hal ini, umat Islam diajarkan untuk tidak membiarkan tanah terlantar, melainkan mengubahnya menjadi lahan yang produktif. Pengelolaan tanah yang produktif akan membawa manfaat tidak hanya bagi pemilik tanah, tetapi juga bagi masyarakat secara luas.

2. Memenuhi Kebutuhan Umum

Islam juga mengajarkan bahwa tanah harus digunakan untuk kepentingan umum. Dalam hal ini, tanah yang dimiliki dapat digunakan untuk membangun fasilitas yang dibutuhkan

masyarakat, seperti masjid, pasar, atau jalan raya. Proses ini termasuk dalam mekanisme iqta’

irfaq, yang memberikan hak pemanfaatan tanah oleh individu atau kelompok untuk tujuan publik. Tanah yang digunakan untuk kepentingan umum, seperti fasilitas publik, memiliki tujuan untuk mendukung kesejahteraan umat dan bukan hanya untuk kepentingan pribadi.

3. Mewujudkan Keadilan Sosial

(9)

Pengadaan tanah dalam Islam juga berfungsi untuk mewujudkan keadilan sosial, yaitu

memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh anggota masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan tanah. Melalui mekanisme seperti iqta’, yang memberikan hak atas tanah kepada individu atau kelompok yang membutuhkan, Islam mengatur distribusi tanah agar tidak terjadi penumpukan kepemilikan di tangan segelintir orang. Ini bertujuan agar setiap individu memiliki akses yang setara terhadap sumber daya alam, khususnya tanah, yang merupakan kebutuhan dasar dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.

4. Melindungi Hak Kepemilikan

Islam memberikan perlindungan terhadap hak kepemilikan tanah dengan memberikan jaminan hukum yang jelas. Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap individu yang memiliki tanah melalui cara yang sah akan mendapatkan haknya untuk mengelola dan memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan. Tanah sebagai hak milik pribadi harus dilindungi dari tindakan sewenang-wenang yang dapat merugikan pemiliknya, baik oleh individu lain maupun oleh pihak negara.

5. Mendukung Kepentingan Umat

Islam juga menekankan pentingnya tanah yang dikelola untuk kepentingan umat. Dalam hal ini, pengelolaan tanah tidak hanya bertujuan untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu, tetapi lebih besar lagi, untuk kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dalam mekanisme iqta’, misalnya, tanah yang diberikan kepada individu atau kelompok untuk dikelola harus bertujuan untuk kepentingan sosial dan bukan semata-mata untuk keuntungan pribadi.

Kesimpulan

Pengadaan dan pengelolaan tanah dalam Islam lebih dari sekadar masalah hak milik pribadi, tetapi berorientasi pada keadilan sosial dan kemaslahatan umat. Melalui berbagai mekanisme seperti ihya’ al-mawat, iqta’, dan tahjir, Islam mendorong umatnya untuk mengelola tanah dengan bijaksana dan bertanggung jawab, demi mencapai kesejahteraan bersama. Dalam hal ini, prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan tanah dalam Islam menekankan

keseimbangan antara hak individu dengan kepentingan sosial, yang pada akhirnya akan mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

Referensi

Dokumen terkait

Diantara contoh prinsip kebebasan yang diatur dalam syari’at Islam antara lain penghapusan perbudakan sesama manusia, penghormatan atas tiap muslim, pemeliharaan atas hak-hak

Terdapat beberapa peraturan tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang melibatkan swasta yaitu; Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun

Pendaftaran Hak Milik Atas Tanah untuk Pertama Kali, bukti kepemilikan tanah berupa Girik digunakan sebagai alat bukti permulaan untuk memperoleh suatu hak atas tanah

Dalam Proses Pengadaan Tanah perlu diketahui bahwa terdapat kondisi dimana Pengadaan Tanah dengan skala kecil yaitu sesuai dengan Ketentuan Peraturan Presiden

Peralihan hak milik atas tanah dalam pandangan hukum Islam dengan cara-cara dalam praktiknya melalui: jual beli, tukar menukar, hibah, wasiat, wakaf, pewarisan dan lainnya,

Dalam pengadaan tanah guna kepentingan umum, pemerintah telah mengaturnya dengan regulasi yang tepat dan dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas

Terjadinya hak pakai karena kepemilikan yang sah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44 PPRI No.40 Tahun 1996 yaitu Hak Pakai atas tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian tanah oleh

Nomor 2 November 2023 Chandra Muliawan, dan Nurlis Effendi p-ISSN 2775-8982 e-ISSN 2775-8974 Sengketa Kepemilikan Hak Atas Tanah Dalam Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan