• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENGELOLAAN KEPEMILIK ATAS TANAH SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERBANDINGAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENGELOLAAN KEPEMILIK ATAS TANAH SKRIPSI"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENGELOLAAN KEPEMILIK ATAS TANAH

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Untuk Memperoleh Gelar Serjana Hukum (SH) Pada Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)

Oleh:

MONA ELY SUKMA NIM.1217.055

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BUKITINGGI

TAHUN.2021 M/1442 H

(2)

i ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Perbandingan Hukum Positif dan Hukum Islam Terhadap Pengelolaan Kepemilikan atas Tanah. Skripsi ini ditulis oleh Mona Ely Sukma, NIM 1217.055, Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah) Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi 1442 H/ 2021 M. Adapun maksud dari judul skripsi ini adalah bagaimana cara mengelola kepemilikan atas tanah dalam hukum positif dan hukum Islam, lalu membandingkan antara kedua hukum tersebut dan sesuai dengan fitrah manusia pada umumnya.

Motivasi penulis dalam memilih judul ini adalah penulis ingin tahu cara bagaimana hukum positif dalam mengelola sebuah tanah, baik tanah yang status terlantar maupun tidak akan tetapi masih seputar kepemilikan atas tanah, lalu bagaimana sikap Negara dengan status tanah yang terlantar dalam pengelolaan kepemilikan sebuah tanah, dan membandingkan dengan hukum Islam yang sama- sama mengatur dalam mengelola kepemilikan atas tanah tersebut. Khususnya status tanah terlantar dan bagaimana Negara menyikapi status tanah terlantar dalam pengelolaan kepemilikan sebuah tanah. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas permasalahan tersebut dalam skripsi ini.

Dalam melakukan penelitian ini, jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian Kepustakaan (Library Research) yang bersifat kualitatif. Dalam mendapatkan data penulis menggunakan metode Deduktif dan Induktif. Adapun teknik pengumpulan data-data, sumber dari buku, skripsi-skripsi yang berkaitan, Pdf, kitab-kitab, dan Undang-Undang. Selanjutnya, data dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif dengan mengacu pada teori perbandingan hukum positif dan hukum Islam terhadap pengelolaan kepemilikan atas tanah.

Hasil dari penelitian ini, yang dimaksud dari hukum positif ini terdapat dalam kitab Undang-Undang pokok agraria pada pasal 16 ayat (1) yang membahas tentang pengelolaan kepemilikan atas tanah, sebagaimana pasal tersebut terdapat dua kekuasaan terhadap tanah, yang pertama hak kepemilikan individu yang sifatnya turun-temurun, tidak bisa dihapus oleh Negara dan bahkan tidak memiliki jangka waktu. Dan selanjutnya hak kepemilikan Negara yang dikelola oleh masyarakat atau individu, ini miliki jangka waktu, dan bisa diperpanjang sesuai dengan syarat yang telah ditentukan, hak tersebut bisa dihapus oleh Negara sesuai keputusan yang telah ditetapkan. Namun berbeda dengan pengelolaan kepemilikan atas tanah dalam hukum Islam menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, tidak ada yang namanya hak kepemilikan turun- temurun, bahkan hak tersebut tidak dibolehkan, karena ini yang membuat manusia tidak leluasa, dalam kepemilikan turun-temurun bahkan tidak bisa dihapuskan oleh Negara, ini yang menyebabkan manusia mudah menelantarkan sebuah tanah, dalam Islam tanah adalah harta yang berharga, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Umar bin Khattab, tidak membiarkan tanah terlantar selama tiga tahun berturut-turut tanpa ada yang mengelolanya dan Umar memberikan kepada orang yang mampu mengelola tanah tersebut, selama ia menghidupakan tanah tersebut selama itulah, tanah tersebut menjadi hak miliknya.

(3)

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan nikmat, rahmat serta karunianya, untuk dapat memahami dan membuka tabir misteri cakrawala ilmu pengetahuan. Shalawat beserta salam penulis hadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia untuk memahami ilmu pengetahuan yang begitu luasnya.

Alhamdulillahirobbil „alamiin, penulis akhirnya mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk melengkapi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Hukum Ekonomi Syari‟ah (Muamalah) Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, dengan judul:

“Perbandingan Hukum Positif dan Hukum Islam Terhadap Pengelolaan Kepemilikan Atas Tanah”.

Penulis meyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak akan dapat terselesaikan tanpa adanya do‟a, dukungan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pertama penulis persembahkan rasa terima kasih yang sebesar- besarnya kepada Ibunda Sukmawati, ia adalah ibu yang luar biasa bagi penulis, berkat do‟a, motivasi dan kerja kerasnya. Mungkin penulis tidak akan mampu untuk menempuh jenjang pendidikan sampai saat ini dan kepada ayahanda Edi Murffiano, yang dahulu Allah SWT panggil, karena penulis sadar bahwa Allah SWT sayang padanya.

Selanjutnya penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini tidak terlepas juga dari bantuan berbagai pihak, yang telah menyumbangkan waktu, pikiran dan tenaga. Oleh karena itu penulis ucapkan terimakasih kepada:

(4)

iii

1. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk belajar ilmu pengetahuan. Segenap komponen kampus yang telah membantu penulis secara langsung ataupun tidak.

2. Ibu Dr. Ridha Ahida, M.Hum., selaku Rektor beserta staffnya.

3. Bapak Dr. H. Ismail, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah beserta staffnya.

4. Bapak Dr. Beni Firdaus, S.HI, M.A., selaku ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syari‟ah (Muamalah) beserta staffnya.

5. Bapak Dr. Saiful Amin, M.Ag., selaku dosen pembimbing akademik penulis.

6. Bapak Dr. Nofiardi, M.Ag., selaku dosen pembimbing yang telah membimbing serta memberi arahan, saran dan masukan di tengah keterbatasan penulis dalam pemikiran dan penulisan skripsi ini.

7. Seluruh staff pengajar di Program Studi Hukum Ekonomi Syari‟ah (Muamalah) atas ilmu pengetahuan yang diberikan selama ini. Begitu juga kepada guru-guru yang telah hadir di kehidupan penulis.

8. Seluruh keluarga besar Hukum Ekonomi Syari‟ah (Muamalah), teman-teman HES-B angkatan 2017,

9. Serta seluruh pihak yang telah membantu penulis dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Berbagai pengalaman bersama teman-teman semua merupakan cerita indah yang menjadi sumber semangat penulis dalam menjalani kehidupan.

Atas bantuan, saran dan bimbingan yang telah diberikan, penulis doakan pada Allah SWT, kiranya apa yang telah diberikan dapat diterima sebagai amal

(5)

iv

ibadah di sisi Allah SWT. Selanjutnya, penulis membutuhkan masukan, saran, dan kritik yang membangun atas kekurangan skripsi ini agar di masa yang akan datang menjadi lebih baik. Harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Terimakasih.

Bukittinggi, juli 2021 Penulis,

Mona Ely Sukma NIM: 1217.055

(6)

v DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL

PERSETUJUAN PEMBIMBING

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Penjelasan Judul ... 9

E. Kajian Pustaka ... 12

F. Metode Penelitian... 13

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II LANDASAN TEORI A. Kepemilikan atas Tanah Dalam Hukum Positif Menurut pasal 16 ayat (1) UUPA... 16

1. Pengertian Kepemilikan ... 16

2. Kepemilikan atas Tanah Menurut undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 pasal 16 ayat (1) ... 17

3. Sumber Hukum kepemilikan atas tanah ... 25

B. Kepemilikan atas Tanah dalam Hukum Islam Menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabahani ... 30

1. Pengertian Kepemilikan ... 30

(7)

vi

2. Kepemilikan atas tanah menurut Taqiyuddin An-Nabahani .... 32 3. Sumber Hukum Kepemilikan atas tanah ... 47 BAB III HASIL PENELITIAN

A. Cara Mengelola Kepemilikan atas Tanah dalam Hukum Positif dan Hukum Islam ... 57 B. Perbandingan Hukum Positif dan Hukum Islam dalam

Mengelola Kepemilikan atas Tanah ... 61 BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 72 B. Saran ... 73 DAFTAR KEPUSTAKAAN

LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(8)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia yang memiliki hukum yakni hukum positif sebagai pemegang hak milik atas kekayaan alam yang berupa aneka ragam bahan galian yang terkandung dalam bumi, dan air wilayah Indonesia. Selanjutnya memberikan kekuasaan kepada Negara untuk mengatur dan memanfaatkan kekayaan tersebut sebaik-baiknya agar tercapai masyarakat yang adil dan makmur.

Pada pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.

Sedangkan dalam pasal 33 ayat (3) menjelaskan tentang kekayaan alam yang berbunyi: bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dan dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.1

Ketentuan tersebut juga menjadi landasan kebijakan pertanahan dan dasar falsafah Undang-Undang pokok agraria (UUPA) yang ditujukan untuk tercapainya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat, kaitannya dengan perolehan dan pemanfaatan sumber alam, khususnya tanah.

Oleh karena itu hukum positif mengatur bagaimana cara mengelola sebuah kepemilikan agar sumber daya alam mampu digunakan oleh masyarakat di bawah kekuasan Negara. Ini semua telah diatur dalam kitab Undang-Undang

1Undang-Undang Dasar Negara Rapublik Indonesia 1945 tentang Kesejahteraan Sosial Pasal 33 ayat 2 dan 3

(9)

2

pokok agraria Nomor 5 tahun 1960 pasal 16 ayat (1). 2 Pasal tersebut menjelaskan tentang hak sebuah kepemilikan, dan hak-hak tersebut ada sekitar 7 bagian, masing-masingnya memiliki aturan yang berbeda-beda yang telah diatur oleh Negara.

Demikian itu, untuk poin yang pertama hak milik, hak milik ini adalah hak yang turun-menurun yang sering dilakukan oleh para ahli waris, hak tersebut tidak memiliki jangka waktu, tidak bisa dihapus oleh Negara dan mampu dipertahankan.3 Dari hak milik dikuasai oleh ahli waris tidak dikuasai oleh Negara, dan Negara hanya mengatur dari segi pengaturannya saja, karena tidak memiliki jangka waktu dan tidak bisa dihapus oleh Negara.

Yang poin kedua hak guna usaha, hak ini adalah hak untuk pengusaha dalam mengelola tanah di bawah kekuasaan pemerintah. Hak guna usaha diadakan untuk kepentingan pengusaha baik pengusaha ikan, pertanian, dan perternakan.4 Di mana hak tersebut dikuasai oleh Negara dan diberikan hak kepada pengusaha dalam mengelola sebuah tanah untuk yang ia usahakan.

Poin ketiga hak guna bangunan, hak ini untuk mendirikan sebuah bangunan di atas tanah yang bukan miliknya dan ini dibatasi waktunya oleh Negara dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun.5 Bagi seorang yang ingin mendirikan bangunan akan tetapi tidak ada hak miliknya ini di bawah kekuasaan Negara, dan Negara memberikan hak

2Undang-Undang No 5 tahun 1960 Pokok-Pokok Agraria Lambaran Negara tahun 1960 No.104 tentang pertanahan Pasal 16 ayat 1

3Zuman Malaka, “Jurnal Kepemilikan Tanah dalam Konsep Hukum Positif, Hukum adat dan Hukum Islam”, Vol. 21, no. 1 (2018), 110

4Ibid.

5Ibid.

(10)

3

kepada seorang tersebut untuk membangun dengan syarat jangka waktu yang telah ditentukan. Paling lama sekitar 30 tahun, namun bisa diperpanjang selama 20 tahun.

Poin yang keempat, hak pakai yaitu hak untuk memungut hasil dari tanah yang dikuasai oleh Negara, dan dikelola oleh orang lain dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Ketentuan hak pakai yang dikuasai oleh Negara ini digunakan oleh orang untuk usahanya, maka ia harus membayar pajak selama bangunan tersebut digunakan dalam jangka waktu yang telah ditentukan.6

Poin yang kelima, hak sewa adalah hak untuk menyewa tanah milik orang lain, demi keperluan bangunan dengan membayar sewa kepada pemilik tanahnya. Hak tersebut memberikan kepada seorang untuk menyewa bangunan atau lahan pertanian sesuai kebutuhan seorang tersebut dan membayar sewa sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati oleh penyewa dan pemilik tanah.7

Terakhir poin enam dan yang ketujuh hak membuka tanah dan memungut hasil hutan, hak yang berasal dari hukum adat berhubungan dengan adanya hak ulayat. Hak ini hanya dapat dimiliki oleh warga Negara Indonesia dan diatur dengan peraturan pemerintah. Meskipun bisa memungut hasil hutan secara sah, bukan berarti pemilik hak membuka tanah dan memungut hasil hutan memperoleh hak milik atas tanah tersebut.8

Dari hak-hak di atas menjelaskan tentang sebuah kepemilikan atas tanah yang terdapat di dalam kitab Undang-Undang pokok agraria dalam pasal 16 ayat (1). Namun yang mana tanah yang dikuasai oleh Negara dan mana tanah yang

6Ibid.

7Ibid., 111

8Ibid., 112

(11)

4

dikuasai oleh individu tanpa ada ikut campur Negara. Setiap hak memiliki ketentuan dalam mengelola dan diberikan batas waktu oleh Negara.

Pasal yang di atas berhubungan dengan pasal 33 ayat 3 yang mana pasal tersebut menyatakan kekayaan sumber daya alam yang ada di Indonesia diatur dan dikelola demi kesejahteraan rakyat. Hak-hak atas tanah telah diatur dalam pasal 16 UUPA, masing-masing hak tersebut memiliki ketentuan dan aturan dalam mengelola sebuah tanah.

Ketentuan yang diatur oleh hukum positif dalam kepemilikan atas tanah yang diatur dalam kitab Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 33 ayat 3 dan berhubungan dengan pasal 16 UUPA yang membahas tentang hak sebuah kepemilikan. Kepemilikan yang diatur oleh hukum positif itu berbeda dengan kepemilikan dalam hukum Islam menurut Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani dalam karya an-nizham al-Iqthishadi fil Islam, bahwa konsep kepemilikan terdiri atas 3 kepemilikan sebagai berikut ini9:

Yang pertama, kepemilikan individu adalah kepemilikan yang diatur dalam hukum syara‟ terdapat pada setiap individu untuk digunakan dan dimanfaatkan suatu barang dan jasa tersebut. Untuk menentukan kepemilikan atas tanah dari konsep kepemilikan individu dilihat dari sudut menghidupkan tanah mati (Ihya al-mawat) dan tanah hadiah (Iqta‟). Sebagaimana hal tersebut telah dijelaskan dalam sabda Rasulullah SAW yang bunyinya:

َجَٚ ْشُع َْٓع َأ ُذَْٙشَأ :َياَل ,

َأ َٝضَل ِالله َي ُْٛعَس ْ َض ْسَلاْا ْ

ُض ْسَا ِالله َداَثِعٌْا َٚ , ِالله ُداَثِع

َٚ , َِْٓ

أ ََُٛٙف اًذاََِٛ اَ١ ْدَأ كَد

ِِٗت ٌٕا َْٓع اَزَِٙت أََءاَج , ِٟث

صٌاِت اُٚءاَج َٓ٠ِز ٌا َُْٕٗع ِخاٍََٛ

. (

ٛتا ٖاٚس )دٚد

9Taqiyuddin An-Nabhani, Terjemahan An-Nizham Al-Iqtishadi fil Islam, (Bairut: Darul Ummah, 1990), 65.

(12)

5

Artinya: Dari Urawah, ia berkata: Aku bersaksi bahwasannya Rasulullah SAW memutuskan bahwa tanah adalah tanah milik, para hamba adalah para hamba milik Allah SWT. Dan siapa yang menghidupkan tanah yang mati maka dia lebih berhak atas tanah itu. Keputusan ini telah datang kepadaku dari orang-orang yang datang mengucapkan shalawat kepadanya. (H.R Abu Daud).10

Hadist di atas menjelaskan bahwa menghidupkan tanah yang terlantar, dan siapapun yang menghidupkan tanah tersebut, maka tanah tersebut menjadi miliknya. Dari ketentuan kepemilikan individu ini tidak ada larangan bagi seorang mengelola tanah terlantar. Namun dengan syarat tanah tersebut sudah tidak dikelola selama 3 tahun berturut-turut. Jika tanah tersebut masih belum masuk pada waktu yang ditentukan, maka tidak ada hak bagi seorang mengelola tanah tersebut. Untuk mengetahui tanah tersebut sudah memenuhi syarat, maka di sini ada peran Negara untuk mengontrol terhadap tanah tersebut.

Yang kedua kepemilikan umum adalah kepemilikan yang diatur oleh hukum syara‟, kepemilikan umum ini diberikan kepada masyarakat untuk bersama-sama memanfaatkan tanah yang telah ada seperti, jalan raya, sungai, hutan, taman, danau, tambang emas, dan lainnya. Hal ini juga mencakup tanah yang tidak dikuasai secara individu, tanah yang ditetapkan untuk penggunaan tertentu dan sumber daya alam. Cara pengelolaan tanah dalam konsep kepemilikan umum secara prinsipnya diatur oleh Negara, namun dari segi pemanfaatannya bisa dinikmati oleh masyarakat pada umumnya.11 Untuk kepemilikan umum dan bisa dikuasai oleh individu di bawah pengontrolan Negara sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang bunyinya:

10Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunnan Abu Daud, jilid II, (Jakarta:

Pustaka Azzam, 2006) No. Hadist 3076, 430.

11Taqiyuddin An-Nabhani, Terjemahan An-Nizham Al-Iqtishadi fil Islam., 237

(13)

6

َد ذ َش َٕ

ٍَِٟع ا ٓت َج ٌْا ِذ ْع ٌا ْؤٍ

ِؤ ٌُ

ُئ َأ , َث ْخ ُشْ٠ِشَد أََش ُع ٓت

َّ ْص َْا َع , ِد ْٓ

ِْا ث َص ٓت ِذ ْ٠ شٌا َع ْش ِث ٟ َع , َس ْٓ

ً ُج

ِِ

ْٓ

َل ْ ْش َٚ .ح , َد ذ ْش َٕ

ُِ ا َغ ذ َد , ُد ذ ْش َٕ

ِع ا َظ١ ُٕت ُٔٛ١ َطٛ

َد , ذ ْش َٕ

َد ا ِش ْ٠ ُض ُع ٓت َّ ْص إََش ذَد ,ْا

ُٛتَا

ُعَفٌَ ا زََ٘ٚ ِػاَذِخ ٍَِْٟع

َْٓع َِِٓ ًُِجَس ٌَُّْٙا

ِج ا ش ِِْٓ َٓ ْ٠ ِباَذ ْصَا

ِٟث ٌٕا ص

َ

ِٟف ِجاَضَغ

َياَل :ُيُْٛمَ٠ ُش َْ ٍُِّْْٛغٌُّْا :ٍََُّعَٚ ِْٗ١ٍََع ُالله ٝ ٍَص ِالله ُيُْٛعَس

َلََىٌْاَٚ ءاٌَّْا ِٟف :ِز َلََش ِٟف ُءاَوَش ء

)دٚاد ٛتا ٖاٚس(ِسا ٌٕاَٚ

Artinya: Ali bin Ja‟di al-lu‟lui menceritakan kepada kami, dikhabarkan dari Haris bin Utsman, dari Hibban bin Zaid al- Syar‟ abi, dari seorang laki- laki pada awal tahun hijrah, diceritakan oleh Musaddad, oleh Isa bin Yunus, oleh Hariz bin Utsman, oleh Abu Khidzasy, dan lafadz ini adalah lafadz Musaddad, sesungguhnya dia telah mendengar dari salah seorang sahabat Nabi pada perang berkata, Nabi SAW bersabda: “Orang-orang muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu: air, padang rumput dan api”.(HR. Abu Dawud)12

Maksud dari hadist di atas bahwa air, padang rumput dan api adalah kebutuhan pokok dari manusia, karena manusia tidak bisa dipisahkan dari tiga hal di atas yang telah dijelaskan pada hadist tersebut. Oleh karena itu air, padang rumput dan api termasuk pada kepemilikan umum. Agar seluruh kaum muslim mendapatkan hak dari kebutuhan pokok tersebut.

Terakhir yang ketiga kepemilikan Negara adalah harta yang akan diberikan syariat atas setiap harta yang hak pemanfaatannya berada di tangan Negara.13 Seperti tanah yang diperoleh dari harta rampasan perang yaitu fai, kharaj, jizyah, dan ushr. Kekayaan orang yang tidak memiliki ahli waris dan tanah milik Negara. Ini merupakan hak seluruh kaum muslim yang pengelolaannya bisa saja mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslim sesuai dengan kekuasaan milik khalifah untuk mengelolanya. Tanah jenis ini dipergunakan untuk berbagai keperluan yang menjadi kewajiban Negara, seperti menggaji pengawai, keperluan jihad, dan keperluan yang lain yang akan diurus oleh Negara.

12Abu Daud Sulaiman Ibn al-Asy‟ats al-Sajistany, Sunan Abu Dawd, juz I (Bairut: Daral Fikr, 1994), 146-147

13Taqiyuddin An-Nabhani, Terjemahan An-Nizham Al-Iqtishadi fil Islam., 243

(14)

7

Dari tiga kepemilikan menurut Syaikh Taqiyyuddin An-Nabahani setiap kepemilikan mempunyai bagian dan ketentuan dalam cara mengelola. Di dalam kepemilikan menurut Syaikh Taqiyuddin An-Nabahani tidak mengenal istilah dari tuan tanah, sebab tuan tanah ini bertentangan dengan prinsip distribusi kekayaan yang adil dan merintangi pemanfaatan tanah yang tepat. Seorang yang memiliki tanah yang luas dan tidak mampu mengelolanya.

Namun dalam hukum Islam, tanah yang tidak dikelola dan diterlantarkan, Negara berhak mengambil tindakan kepada pemilik tanah agar tanah tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik. Jika pemilik tanah membiarkan tanah tersebut kosong selama tiga tahun secara berurutan, maka tanah tersebut berhak dikelola oleh orang yang sanggup mengelolanya. Dalam hukum Islam tidak ada namanya istilah kepemilikan secara mutlak pada pihak tertentu, karena kepemilikan yang ada di bumi milik Allah SWT sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah SWT surat al-A‟raf ayat 128 yang bunyinya:



































Artinya: Musa berkata kepada kaumnya: "Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah;

dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba- Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa."

Dari kepemilikan hukum positif yang di dalam kitab Undang-Undang pokok agraria pasal 16 yang membahas hak kepemilikan atas tanah terdapat perbedaan dengan hukum Islam menurut Syaikh Taqiyyuddin An-Nabahani dalam

(15)

8

karya an-Nizham al-Iqthishadi fil Islam yang membahas terhadap kepemilikan atas tanah.

Oleh karena itu dari latar belakang yang telah dijelaskan di atas, penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh dalam sebuah tulisan karya ilmiah (skripsi) dengan judul, ”Perbandingan Hukum Positif dan Hukum Islam Terhadap Pengelolaan Kepemilikan Atas Tanah”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis paparkan di atas, maka penulis mencoba merumuskan masalah secara rinci sebagai berikut:

1. Bagaimana cara pengelolaan kepemilikan atas tanah menurut hukum positif dan hukum Islam menurut Syaikh Taqiyyuddin An-Nabahani ?

2. Bagaimana perbandingan pengelolaan kepemilikan atas tanah menurut hukum positif dan hukum Islam menurut Syaikh Taqiyyuddin An-Nabahani ?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan kepemilikan atas tanah menurut hukum positif.

2. Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan kepemilikan atas tanah menurut hukum Islam.

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat di dalam bidang akademis dan non akademis baik teoritis maupun praktis

1. Secara Teoritis

(16)

9

Untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan penulis tentang masalah kepemilikan atas tanah dan hak milik. Begitu kayanya khasanah Islam yang diberikan oleh Allah SWT kepada umatnya. Yang mana ternyata setelah dipelajari lebih lanjut masih banyak perbedaan pendapat dari beberapa tokoh ekonomi Islam mengenai pengelolaan kepemilikan atas tanah.

2. Secara Praktis

a. Dengan hasil penelitian ini, diharapkan menjadi suatu sumbangan pemikiran bagi masyarakat luas, agar memperhatikan apa yang dimilikinya, hakikatnya adalah milik Allah SWT, dialah pemilik seluruh jagat raya dan seisinya.

b. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai kajian pertimbangan pemikiran oleh segenap pihak dalam memahami hukum- hukum dan masalah yang berkaitan tentang pengelolaan kepemilikan atas tanah menurut hukum Islam dan hukum positif.

D. Penjelasan Judul

Untuk lebih memudahkan dan menghindari imterprestasi yang berbeda dalam memahami judul penelitian ini, maka penulis akan menjelaskan beberapa kosakata penting dari judul “Perbandingan Hukum Positif dan Hukum Islam Terhadap Pengelolaan Kepemilikan atas Tanah”:

Perbandingan : Merupakan suatu metode pengkajian atau penyelidikan dengan mengadakan perbandingan di antara dua objek kajian atau lebih untuk menambah dan memperdalam

(17)

10

pengetahuan tentang objek yang dikaji.14 Hukum Positif : Kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis

yang ada pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam Negara Indonesia.15 Hukum Islam : Sistem hukum yang bersumber dari wahyu

Allah SWT, sehingga istilah hukum Islam mencerminkan konsep yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa. Seperti lazim diartikan agama adalah suasana spiritual dan kemanusiaan yang lebih tinggi dan tidak bisa disamakan dengan hukum. Sebab hukum dalam pengertian biasa hanya menyangkut keduniaan semata.16

Pengelolaan : Proses atau cara perbuatan mengelola atau kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang lain, proses yang membantu merumuskan kebijaksanaan dan tujuan organisasi atau proses yang memberikan

14http://digilib.unila.ac.id/11882/126/BAB%20II.pdf

15http://perpustakaan.mahkamah.agung.go.id

16Mohammad Kamal Hasan, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: P3M, 1979), 136

(18)

11

pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan mencapai tujuan.17

Kepemilikan : Penguasaan terhadap sesuatu, sesuai dengan aturan hukum, dan memiliki wewenang untuk bertindak terhadap apa yang ia miliki selama dalam jalur yang benar dan sesuai dengan hukum.18

Tanah : Tanah merupakan produk alami dari

gabungan organik pada permukaan bumi.

Tanah juga sebagai tempat hidup tumbuhan menjadikan tanah dasar dari ekosistem terestial. Tanah merupakan tempat terjadinya dekomposisi materi organik dan tempat kembalinya elemen mineral pada siklus materi.19

Perbandingan hukum positif antara hukum Islam dalam mengelola kepemilikan atas tanah mencari di mana titik persamaan dan perbedaan dalam mengelola sebuah tanah tersebut, lalu yang maksud hukum positif tersebut

17Daryanto, Kamus Indonesia Lengkap, (Surabaya: Apollo, 1997), 348

18https://www.academia.edu/22157557/Konsep_Kepemilikan_dalam_Islam

19http://File.Upi.Edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._BIOLOGI/197303172001122TI NA_SAFARIA_NILAWATI/Ekum_Tanah.Pdf

(19)

12

berkaitan dengan kitab Undang-Undang pokok agraria Nomor 5 tahun 1960 pada pasal 16.20

Pasal tersebut membahas pengaturan kepemilikan atas tanah yang dikelola oleh masyarakat sekarang, lalu ingin membandingkan dengan hukum Islam menurut Syaikh Taqiyyuddin An-Nabahani dalam karya an-nizham al- Iqthishadi fil Islam, yang mana sama-sama membahas terhadap pengaturan kepemilikan atas tanah.21

E. Kajian Pustaka

Menurut penulis skripsi mengenai ”Perbandingan Hukum Positif dan Hukum Islam Terhadap Pengelolaan Kepemilikan atas Tanah” sudah pernah dilakukan penelitian, akan tetapi berbeda dengan penulis lakukan.

Penelitian terdahulu dalam bentuk skripsi adalah karya Suhaimi dengan Judul “Kepemilikan tanah tak bertuan studi perbandingan Hukum Islam dan Hukum Positif”. Skripsi tersebut membahas perbandingan dengan melihat dari sudut hukum Islam, peraturan perundangan-undangan di bidang pertanahan dan adat istiadat masyarakat Aceh.

Penelitian terdahulu dalam bentuk skripsi adalah M. Fakriyan Azmi yang berjudul “Alih Fungsi Hak Kepemilikan Tanah Non Produktif Menjadi Tanah Produktif (Ihya al-Mawat) dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif”.

Skripsi tersebut lebih menitik beratkan pada persoalan izin pemerintah untuk mengelola tanah yang tidak produktif menjadi tanah produktif dikarenakan peran pemerintah sangat diperlukan dalam menghindari konflik antara masyarakat.

20Undang-Undang No 5 tahun 1960 Pokok-Pokok Agraria Lambaran Negara tahun 1960 No.104 tentang pertanahan Pasal 16 ayat 1

21Taqiyuddin An-Nabhani, Terjemahan An-Nizham Al-Iqtishadi fil Islam., 68

(20)

13

Sedangkan buku-buku yang berkaitan dengan skripsi ini adalah buku karangan Syaikh Taqiyuddin An-Nabahani dengan judul “An-nizham al- Iqthishadi fil Islam”. Dalam buku tersebut menggunakan pendekatan perbandingan dengan melihat sudut hukum Islam, lalu membandingkan dengan Undang-Undang pokok agraria di dalam hukum positif yang sama-sama membahas seputar hak milik atas tanah.

F. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (Library Research). Bahan kajian yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini bersumber dari sumber-sumber kepustakaan, baik berupa kitab, buku, ensiklopedia, skripsi yang telah lalu, maupun yang lainnya. Dalam penelitian ini penulis hanya menggunakan sumber-sumber di atas, memaparkan apa yang telah ada dalam kitab, buku, eksiklopedia, skripsi ataupun lainnya yang bersifat kepustakaan.

2. Pendeketan penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif, karena penelitian ini menghasilkan data deskriptif berupa data-data tertulis atau pernyataan verbal (lisan) yang diperoleh melalui kajian literatur, berupa tulisan, pemikiran dan pendapat tokoh yang berbicara tentang tema pokok pembahasan dalam penelitian. Dalam penelitian ini penulis memaparkan pemikiran tokoh atau pendapat para ulama yang bersumber dari kitab, buku, ataupun sumber lainnya. Membahas masalah tentang

(21)

14

pengelolaan kepemilikan atas tanah lalu membandingkan antara hukum positif dengan hukum Islam yang telah ada.

3. Data dan Sumber data, antara lain:

a. Data

Data yang diambil dari pendapat dan pemikiran tokoh tentang kepemilikan lalu membandingkan antaran hukum positif dan hukum Islam.

b. Sumber

Literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan yang akan dikaji, yaitu melacak konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, diambil dari buku-buku ekonomi Islam, buku-buku ekonomi, buku agraria, buku hukum tanah dan asas–asas ekonomi Islam yang menjadi referensi dari permasalahan tersebut.

4. Metode pengumpuan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif analitik yaitu mengumpulkan data-data, mengkaji, menelaah berbagai buku dan sumber tertulis lainnya yang mempunyai relevasi yang berhubungan dengan konsep pengelolaan kepemilikan atas tanah.

5. Metode Analisis Data

a. Deduktif adalah metode yang bertitik tolak pada data-data yang bersifat universal (umum), kemudian diaplikasikan ke dalam bentuk yang khusus.

b. Induktif yaitu dengan mengumpulkan data-data atau keterangan pendapat- pendapat yang bersifat khusus dan kemudian ditarik kesimpulan umum dari data-data yang berkaitan dengan konsep pengelolaan kepemilikan atas tanah.

(22)

15 G. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini, jumlah bab yang digunakan adalah sebanyak empat bab di antaranya sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, terdiri dari latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan masalah dan manfaat penelitian, penjelasan judul, kajian pustaka, serta sistematika penulisan.

BAB II Landasan teori, bab ini menguraikan tentang pengertian kepemilikan tanah, kepemilikan atas tanah dan sumber kepemilikan menurut pasal-pasal dan tokoh Islam terhadap pengelolaan kepemilikan atas tanah.

BAB III Hasil penelitian, bab ini penulis menganalisis pemikiran tokoh dan pasal-pasal yang berhubungan dengan kepemilikan atas tanah, dan membandingkan tokoh Islam dengan pasal-pasal yang berhubungan dengan pengelolaan kepemilikan atas tanah.

BAB IV Penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran-saran dari penelitian tentang judul “Perbandingan Hukum Positif dan Hukum Islam Terhadap Pengelolaan Kepemilikan atas Tanah”.

(23)

16 BAB II

TEORI PENGELOLAAN KEPEMILIKAN ATAS TANAH

A. Kepemilikan atas Tanah Dalam Hukum Positif Menurut pasal 16 ayat (1) UUPA

1. Pengertian kepemilikan

Kepemilikan berasal dari kata milik yang berarti pendapatan seorang diberi wewenang untuk mengalokasikan harta yang dikuasai orang lain dengan keharusan untuk selalu memperhatikan sumber (pihak) yang menguasainya.

Kepemilikan menurut UUPA diatur dalam pasal 20 s.d 27, belum ada Undang-Undang yang mengatur hak milik yang memang perlu dibuat berdasarkan pasal 50 ayat (1). Menurut etimologi terdapat dalam pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki seorang atas tanah dengan ketentuan dalam pasal 6, dan hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.1

Sifat-sifat dari kepemilikan membedakannya dengan hak-hak lainnya, jadi sifat khas dari kepemilikan adalah hak yang turun-menurun, terkuat dan terpenuhi. Bahwa hak milik merupakan hak yang kuat, berarti itu tidak mudah dihapuska dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Sedangkan tanah dalam kamus bahasa Indonesia yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali. Tanah menurut istilah itu diatur dalam pasal 4 UUPA yang berbunyi:

1Adrian Suterdi, Peralihan Hak Atas Tanah dan pendaftannya, (Jakartas: Sinar Grafika, 2010), 60-61

(24)

17

“Atas dasar hak dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepadanya, dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”.2

Dengan demikian, istilah kepemilikan juga dimaksud penguasaan atas tanah, apabila sudah dihubungkan dengan suatu tanah tertentu, maka yang dimaksud dengan kepemilikan atas tanah adalah hak kepemilikan yang didasarkan pada suatu hak, yang pada realitanya memberikan wewenang untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana layaknya orang yang mempunyai hak. Dalam konteks ini dimungkinkan seorang hanya menguasai secara yuridis saja tanpa penguasaan fisik.

Penguasaan yuridis dimaksud sebagai kewenangan untuk menguasai tanah yang di haki secara fisik, walaupun pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain. Ini semisal kreditor pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak kepemilikan atas tanah yang dijadikan bangunan, tetapi penguasaannya secara fisik tetap ada pada pemilik tanah. Ini juga disebut dengan kepemilikan atas tanah dalam hukum agraria yang berlaku di tengah-tengah masyarakat saat ini.

2. Kepemilikan atas tanah menurut Undang-Undang pokok agraria Nomor 5 tahun 1960 pasal 16 ayat (1)

Sebutan agraria dalam arti yang demikian luasnya, maka dalam pengertian UUPA hukum agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum. Hukum agraria merupakan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang

2Supriadi, Hukum Agraria, ( Jakarta: Grafika, 2018), 3

(25)

18

masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber daya alam.3 Dengan diundangkan UUPA, maka bangsa Indonesia telah mempunyai hukum agraria yang sifatnya nasional, baik ditinjau dari segi formal maupun dari segi materiilnya. Dari segi formalnya, sifat nasional UUPA dapat dilihat dalam konsiderennya di bawah kata “menimbang” yang menyebutkan tentang keburukan-keburukan dan kekurangan-kekurangan dalam hukum agraria yang berlaku sebelum UUPA. Keburukan-keburukan itu antara lain dinyatakan bahwa hukum agraria kolonial itu mempunyai sifat dualisme dan tidak menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dengan adanya kekurangan ini, maka hukum agraria kolonial itu harus diganti dengan hukum agraria nasional yang dibuat oleh pembentuk Undang- Undang nasional Indonesia, dibuat dan disusun dalam bahasa Indonesia. Dengan dibentuknya UUPA oleh dewan perwakilan rakyat, gotong royong bersama Presiden yang disusun dalam bahasa Indonesia serta berlaku dalam wilayah Indonesia, maka UUPA dalam hal ini mempunyai sifat nasional formil.

Mengenai segi materiilnya, hukum agraria yang baru harus bersifat nasional pula, artinya tujuan asas-asas dan isinya harus sesuai dengan kepentingan nasional. Namun untuk mengetahui hak-hak kepemilikan atas tanah menurut hukum agraria atau disebut dengan hukum positif yang diatur pada pasal 16 ayat (1) dan pasal 53 UUPA.4 Di dalam pasal 16 UUPA menjelaskan pada hak kepemilikan atas tanah sebagai berikut:

a. Hak milik

3Sigit Sapto Nugroho, Hukum Agraria Indonesia, (Solo: Kafilah Publishing, 2017), 12

4Siti Raga Fatmi, Permohonan tanah ulayat menjadi tanah hak milik setelah berlakunya UUPA, (Jamber: Universitas Jamber (Skripsi), 2018), 10-11

(26)

19

Hak milik ini adalah hak yang turun-menurun yang sering dilakukan oleh para ahli waris, hak tersebut tidak memiliki jangka waktu, tidak bisa dihapus oleh Negara dan mampu dipertahankan.5

Ketentuan mengenai hak milik disebut dalam pasal 16 ayat 1 huruf a UUPA, diatur dalam pasal 20 sampai dengan pasal 27 UUPA. Pengertian hak milik menurut pasal 20 ayat 1 UUPA adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6. 6

Turun-temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Terkuat, artinya hak milik atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah hapus.

Terpenuh, artinya hak milik atas tanah memberikan wewenang kepada pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak berinduk pada hak atas tanah yang lain, dan penggunaan tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain. Hak milik atas tanah dapat dipunyai oleh perseorangan warga Negara Indonesia dan badan-badan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah. Hak milik atas tanah harus memperhatikan fungsinya sebagai fungsi sosial tanah, yaitu dalam menggunakan tanah tidak boleh menimbulkan kerugian bagi orang lain, penggunaan tanah harus disesuaikan

5Zuman Malaka, Jurnal Kepemilikan Tanah dalam Konsep Hukum Positif, Hukum adat dan Hukum Islam, Vol. 21, No. 1 (2018), 110

6Sigit Sapto Nugroho, Hukum Agraria Indonesia., 68

(27)

20

dengan keadaan dan sifat haknya, adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum dan tanah harus dipelihara dengan baik agar bertambah kesuburan dan mencegah kerusakannya.

b. Hak guna usaha

Hak guna usaha (HGU) disebutkan dalam pasal 16 ayat (1) huruf b UUPA dan secara khusus diatur dalam pasal 28 sampai dengan pasal 34 UUPA. Menurut pasal 50 ayat (2) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai hak guna usaha diatur dengan peraturan perundangan yaitu peraturan pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai secara khusus diatur dalam pasal 2 sampai dengan pasal 18.7

Hak guna usaha menurut pasal 28 ayat (1) UUPA, adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. Peraturan pemerintah Nomor 40 tahun 1996 menambah guna perusahaan perkebunan.

Luas tanah hak guna usaha adalah untuk perseorangan luas minimalnya 5 hektar dan luas maksimal 25 hakter. Sedangkan untuk badan hukum luas minimalnya 5 hektar dan luas maksimalnya ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional (pasal 28 ayat (2) UUPA jo. Pasal 5 peraturan pemerintah Nomor 40 tahun 1996 hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai.

c. Hak guna bangunan

Pengertian hak guna bangunan, menurut pasal 35 UUPA yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri,

7Ibid., 73

(28)

21

dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang jangka waktu paling lama 20 tahun.8

Pasal 37 UUPA menegaskan bahwa hak guna bangunan terjadi pada tanah yan dikuasai langsung oleh Negara atau milik orang lain. Sedangkan tanah yang dapat diberikan dengan hak guna bangunan adalah tanah Negara, tanah hak pengelolaan, atau tanah hak milik.

d. Hak pakai

Menurut pasal 41 UUPA yang dimaksud hak Pakai adalah hak untuk menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang berwenang memberikannya atau perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UUPA.9 Perkataan menggunakan dalam hak pakai menujukkan pada pengertian bahwa hak pakai digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, untuk perkataan memungut hasil dalam hak pakai digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan. Sedangkan perkataan memungut hasil dalam hak pakai menunjuk pada pengertian bahwa hak pakai digunakan untuk kepentingan selain mendirikan bangunan, seperti pertanian, perikanan, perternakan, dan perkebunan.

e. Hak sewa

Hak sewa untuk bangunan menurut pasal 44 ayat (1) UUPA, seorang atau badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak

8Ibid., 79

9Ibid., 85

(29)

22

mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemilik sejumlah uang sebagai sewa.10 Hak sewa untuk bangunan adalah hak yang dimiliki seorang atau badan hukum untuk mendirikan dan membayar sejumlah uang sewa tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang disepakati oleh pemilik tanah dengan pemegang hak sewa untuk bangunan.

Dalam hak sewa untuk bangunan pemilik tanah menyerahkan tanahnya dalam keadaan kosong pada penyewa dengan maksud agar penyewa dapat mendirikan bangunan di atas tanah tersebut. Bangunan itu menurut hukum menjadi milik penyewa, kecuali ada perjanjian lainnya.

Sedangkan hak sewa tanah pertanian UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan hak sewa tanah pertanian. Hak sewa tanah pertanian adalah suatu perbuatan hukum dalam bentuk penyerahan penguasaan tanah pertanian oleh pemilik tanah kepada pihak lain (penyewa) dalam jangka waktu tertentu dan sejumlah uang sebagai sewa yang ditetapkan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak.11

Hak sewa tanah pertanian bisa terjadi dalam bentuk perjanjian yang tidak tertulis atau tertulis yang memuat unsur-unsur para pihak, objek uang sewa, jangka waktu hak dan kewajiban bagi pemilik tanah pertanian dan penyewa.

f. Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan

Hak membuka tanah adalah hak yang berasal dari hukum adat sehubungan dengan adanya hak ulayat. Hak ini hanya dapat dimiliki oleh warga Negara Indonesia dan diatur dengan peraturan pemerintah. Meskipun bisa

10Ibid., 93

11Ibid., 104

(30)

23

memungut hasil hutan seacara sah, bukan berarti pemilik hak membuka tanah dan memungut hasil hutan memperoleh hak milik atas tanah tersebut.12

h. Hak-hak ini tidak termasuk dalam hak-hak yang akan ditetapkan pada Undang- Undang dan hak-hak yang bersifat sementara sebagaimana disebutkan dalam pasal 53 UUPA.

Sedangkan hak kepemilikan atas air dan ruang angkasa juga termasuk bagian dari kepemilikan atas tanah. Itu diatur dalam pasal 4 ayat (3) sebagai berikut13:

a. Hak guna air

b. Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan c. Hak guna ruang angkasa

Kemudian dalam pasal 53 UUPA ini menegaskan bagian-bagian hak atas tanah yang sifat sementara. Itu diatur dalam pasal 16 ayat (1) huruf h yaitu hak gadai, hak usaha, bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat yang bertentangan dengan Undang-Undang dan hak-hak tersebut diusahakan dihapus dalam waktu yang singkat. Ketentuan ini diatur dalam pasal 52 ayat (2) dan (3) berlaku terhadap peraturan-peraturan yang dimaksud dalam ayat (1) UUPA.

Macam-macam hak atas tanah yang dimuat dalam pasal 16 jo. Pasal 53 UUPA, dikelompokan menjadi 3 bidang yakni14:

12Zuman Malaka, Jurnal Kepemilikan Tanah dalam Konsep Hukum Positif, Hukum adat dan Hukum Islam.,111-112

13Ibid.

14Sigit Sapto Nugroho, Hukum Agraria Indonesia., 66

(31)

24

a. Hak atas tanah yang bersifat tetap adalah hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan Undang-Undang yang baru. Macam-macam hak atas tanah ini adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa untuk bangunan, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan.

b. Hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang yaitu hak atas tanah yang akan lahir kemudian, yang ditetapkan dengan Undang-Undang. Hak atas tanah ini belum ada.

c. Hak atas tanah yang bersifat sementara yakni dalam waktu yang singkat akan dihapuskan. Dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan, sifat feudal dan bertentang dengan jiwa UUPA. Macam- macam hak atas tanah ini adalah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan sewa tanah pertanian.

Hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam pasal 16 jo pasal 53 UUPA bersifat limitatif, artinya di samping hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam UUPA, kelak dimungkinkan lahirnya hak atas tanah baru yang diatur secara khusus dengan Undang-Undang. Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu:

a. Kepemilikan atas tanah yang bersifat primer adalah hak atas tanah yang berasal dari Negara, seperti hak milik, hak guna usaha, hak bangunan atas tanah Negara, hak pakai atas tanah Negara. Kepemilikan atas tanah tersebut di atas kewenangan Negara, dan di atas kekuasaan Negara dalam mengelola kepemilikan atas tanah tersebut.15

15Ibid., 67

(32)

25

b. Kepemilikan atas tanah yang bersifat sekunder adalah kepemilikan atas tanah yang berasal dari pihak lain atau dapat dikuasai oleh rakyat secara individunya.16 Seperti hak guna bangunan di tanah pengelolaan, hak guna bangunan atas tanah hak milik, hak pakai atas tanah, hak sewa untuk bagunan, hak gadai tanah, hak usaha bagi hasil sesuai perjanjian, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian. Macam-macam kepemilikan atas tanah tersebut bisa dikuasai oleh masyarakat secara individu yang sesuai aturan yang telah berlaku.

Dari perbedaan pernyataan di atas macam-macam kepemilikan atas tanah, penulis dapat menyimpulkan bahwa kepemilikan atas tanah ada yang dikuasai oleh Negara, dan ada yang dikuasai oleh masyarakat secara individu.

Kepemilikan atas tanah yang dikuasai oleh Negara tidak bisa dikuasai oleh masyarakat secara individu, dan sedangkan kepemilikan atas tanah yang sifatnya sekunder yang bisa dikuasai oleh masyarakat secara individu harus sesuai dengan kewenangan Negara atau aturan yang diterapkan oleh Negara.

3. Sumber Hukum kepemilikan atas tanah

Sumber-sumber dari hukum tanah, ialah merupakan norma-norma hukum yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis sebagai berikut.17:

a. Sumber-sumber hukum yang tertulis:

1) Undang-Undang Dasar 1945, (khusus pada pasal 33 ayat 3) 2) Undang-Undang pokok agraria (UU No 5 tahun 1960)

16Ibid.

17Muhammad An‟im Jalal, Ananlis Hukum Islam terhadap hapusnya Hak milik tanah dalam pasal 27 Undang-undang No, 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok, (Walisongo: Universitas Islam Negara walisongso (Skripsi), 2018), 70-71

(33)

26 3) Peraturan-peraturan pelaksanaan UUPA

4)Peraturan-peraturan yang bukan pelaksanan UUPA, yang dikeluarkan sesudah tanggal 24 September 1960 karena sesuatu masalah perlu diatur.

5) Peraturan-peraturan lama yang untuk sementara masih berlaku berdasarkan ketentuan pasal-pasal peralihan.

b. Sumber-sumber hukum yang tidak tertulis:

1) Norma-norma hukum adat

2) Hukum kebiasaan baru termasuk yurisprudensi dan praktik administrasi.

Sumber hukum tersendiri dua bagian memiliki ketentuan-ketentuan objek peraturan yang sama dan merupakan suatu bidang hukum yang mandiri dan posisi tempatnya tersendiri dalam hukum politik.

Sumber hukum pemilikan atas tanah terdapat pada Undang-Undang pokok agraria Nomor 5 Tahun 1960 ini tentang peraturan dasar UUPA. Namun pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) UUPA yang berbunyi atas ketentuan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang bunyinya ”Bumi, air dan kekuasaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.18

Pasal di atas menunjukkan bahwa kekayaan yang ada di bumi, air, udara, ruang angkasa dan kekayaan alam lainnya itu dikuasai oleh Negara bukan dimiliki oleh Negara. Ini dilakukan bukan dasar semata-mata dimiliki oleh Negara akan

18Nur Irmansya, Pemanfaatan tanah ramnu dalam Hukuk Islam dan Hukum Positif (Lampung Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung ( Skripsi), 2019), 46

(34)

27

tetapi demi kesejahteraan seluruh rakyat. Organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat yang bertindak sebagai badan pemerintah.

Kepemilikan atas tanah yang dikuasai oleh Negara bukan sifat mutlak akan tetapi pemerintah Negara semata-mata menjamin keadilan di bidang pertanahan. Namun tanah tidak hanya berlaku pada tanah yang tidak dimiliki oleh siapapun yaitu tanah terlantar. Tanah terlantar ini tidak bisa dimiliki oleh siapapun dan ini atas dasar wewenang Negara.

Negara adalah sebagian kekuasaan yang tertinggi dari bangsa Indonesia, namun Negara menjamin berbagai persoalaan di tengah-tengah masyarakat dengan memberikan pengaturannya mengenai kepemilikan atas tanah, dan seorang yang mengelola tanah harus sesuai dengan pemeliharaannya.

Bagi seorang yang menelantarkan tanah akan mendapatkan akibatnya dengan cara mencabut hak kepemilikan atas tanahnya, permasalahan ini sudah diatur dalam pasal 27 huruf (a) yang berbunyi:

“Hak milik hapus bila tanah tersebut jatuh kepada Negara karena berdasarkan pasal 18, kerena penyerahan sukarela oleh pemilikannya, karena diterlantarkan dan ketentuan pasal 21 ayat (3) dan pasal 26 ayat (2)”.19

Cara pemeliharaan dan mencegah kerusakan tanah itu juga diatur dalam pasal 15 UUPA yakni:

“Memelihara tanah termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau intansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu dengan memperhatikan pihak yang ekonomi lemah.”20

19Suhalmi, Kepemilikan Tanah tak Bertuan, (Banda aceh: Universitas Islam Negari Ar- darusallam (Skripsi), 2017), 32

20Undang-Undang No 5 tahun 1960 Pokok-Pokok Agraria Lambaran Negara tahun 1960 No.104 tentang pertanahan Pasal 15

.

(35)

28

Pasal ini sudah menjelaskan cara meningkatkan kesuburan tanah dan mencegah kerusakan tanah disebabkan kerusakan yang terjadi akan mengakibatkan buruknya kehidupan masyarakat. Jika seorang sengaja dan tidak menjaga kondisi tanah dengan baik, maka akan dikenakan sanksi pidana, ini juga diatur dalam pasal 52 ayat (1) yakni:

“Barang siapa yang dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 15 pidana dengan hukuman kurungan sekurang-kurangnya 3 bulan dan denda setinggi- tingginya Rp 10.000,-“21

Dari pasal 52 menjelaskan sanksi bagi seorang yang merusak dan sengaja mencemari tanah. Aturan ini buat agar seorang tidak sengaja merusak tanah, karena tanah adalah bentuk kemakmuran masyarakat, jika ada yang merusakan, maka seorang tersebut akan dikenai sanksi sesuai dengan pasal di atas.

Undang-Undang pokok agraria sebelum lahir, aturan yang mengenai tanah terlantar ini disebut Rachtsverweking sebagai sumber hukum kepemilikan atas tanah. Rachtsverweking dalam kitab KUHPerdata dalam pada pasal 1963 KUHPerdata yang berbunyi:

“Siapa saja dengan itikad baik, dan berdasarkan suatu alasan hak yang sah memperoleh suatu benda tak bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus dibayar atas tujuan, memperoleh hak milik atasnya, dengan suatu penguasaan selama 20 tahun”. Siapa yang dengan itikad baik menguasainya selama 30 tahun memperoleh hak milik, dengan tidak dipaksa untuk mempertujukan alasan haknya.”22

Dalam rangka pengaturan pengelolaan tanah yang sudah dinyatakan sebagai tanah terlantar dan tanah tersebut telah dijadikan objek redistribusi tanah,

21Ibid.

22Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Lewat Waktu Sebagai Suatu Sarana Hukum untuk Memperoleh Suatu Pasal 1963

(36)

29

konsolidasi tanah dan pemberian hak pada pihak lain, maka kepada bekas pemegang hak tanah pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanahnya diberikan ganti rugi sesuai ketentuan yang berlaku.

Kepemilikan atas tanah yang merupakan induk dari hak guna bangunan, hak sewa bangunan, dan hak pakai. Kepemilikan atas tanah tersebut hanya bisa dikelola dan digunakan oleh Negara Indonesia (WNI). Namun orang asing yang bukan penduduk Indonesia tidak boleh menguasai tanah dengan tujuan untuk mendapatkan hak milik, hal ini sudah diatur dalam pasal 26 ayat (2) UUPA yang mana bunyinya ”apabila orang asing mendapat hak milik maka tanah tersebut dikuasai oleh Negara.23

Pasal ini salah satu mengurangi adanya kepemilikan atas tanah yang dikelola oleh orang asing agar WNI menjaga tanah dan tidak menjadikan tanah milik orang asing, dan kepemilikan atas tanah ini juga membantu WNI agar dapat memanfaatkan tanah hak miliknya untuk menunjang kehidupan masyarakat Indonesia.

Kasus pertanahan ini sesuatu hal yang penting di tengah-tengah masyarakat, persoalan tanah seringkali terjadi sengketa. Proses penyelesaian sengketa tanah pada umumnya dapat dilakukan melalui forum pengadilan, namun demikian bisa juga diselesaikan melalui kerangka pranata alternative penyelesaian problematika, baik melalui negoisasi, mediasi, konsiliasi, selain itu dapat juga melalui badan pertanahan nasional.24

23Kadek Rita listyanti Ni made ari yuliartini Griadhi, Hak Atas Tanah bagi orang Asing di Indonesia terkait dengan Undang-undang no 5 tahun 1960, (Udayana: Fakultas Hukum Universitas Udayana (Skipsi), 2

24Nur Irmansya, Pemanfaatan tanah ramnu dalam Hukuk Islam dan Hukum Positif., 66

(37)

30

Dari sumber kepemilikan atas tanah sudah diatur dalam kitab Undang- Undang pokok agraria secara lengkap dari ketentuan cara mengelola, sanksi bagi orang mencemari atau merusak tanah diatur secara lengkap dalam kitab UUPA dan dalam menyelesaikan sengketa tanah di tengah-tengah masyarakat juga ditentukan bagaimana proses penyelesaiannya.

B. Kepemilikan atas tanah dalam Hukum Islam Menurut Syaikh Taqiyyuddin An-Nabahani

1. Pengertian Kepemilikan

Kata milik berasal dari bahas Arab “al-milk” yang artinya penguasaan terhadap sesuatu. Al-milik juga berarti sesuatu yang dimiliki (harta), milik juga merupakan hubungan seorang dengan suatu harta yang diakui oleh syara‟, yang menjadikan kekuasaan khusus terhadap harta itu, sehingga ia dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, kecuali adanya kalangan syara‟.25

Sedangkan menurut etimologi Syekh Taqiyuddin An-Nabhani berpendapat yaitu:

عساشا ِٓ ْرا ْٛى٠ ْا ٟضم٠ حعفٌّٕا ٚا ٓ١ٌّات سذمِ ٟعشش ُىد

“Hukum syara‟ yang berlakukan bagi zat ataupun manfaat tertentu menghapuskan adanya dari Allah SWT ”.26

Kepemilikan dalam syariat Islam adalah kepemilikan terhadap sesuatu sesuai dengan aturan hukum, dan memiliki wewenang untuk bertindak dari apa yang ia miliki selama dalam jalur yang benar dan sesuai dengan hukum.

25Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2010), 46

26Taqiyuddin An-Nabhani, Terjemahan An-Nizham Al-Iqtishadi fil Islam, (Bairut: Darul Ummah, 1990), 74

(38)

31

Dalam karang buku Dwi Condro Triono yang berjudul Ekonomi Islam Madzhab Hamfara, menjelaskan bahwa kepemilikan itu terbagi menjadi 3 bagian yakni kepemilikan individu, kepemilikan Umum dan kepemilikan Negara.27

Kepemilikan Individu (milkiyyah fardiyah) adalah hukum syariah yang berlaku bagi zat atau manfaat tertentu, yang memungkinkan bagi yang memperoleh untuk memanfaatkanya secara langsung atau mengambil kompensasi dari barang tersebut.

Kepemilikan Umum (milkiyyah ummah) yaitu izin asy-syari‟ kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda. Benda-benda yang telah dinyatakan oleh syara‟ bahwa benda-benda tersebut untuk suatu komunitas, di mana mereka masing-masing membutuhkan.

Kepemilikan Negara (Milikiyyah Daulah) adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim yang pengelolaannya bisa saja mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslim sesuai dengan kebijakannya, adapun makna pengelolaan oleh khilafah ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.28

Sedangkan tanah merupakan salah satu faktor produksi penting yang harus dimanfaatkan secara optimal. Setiap salah satu jenis tanah selain mempunyai zat tanah itu sendiri, juga mempunyai manfaat tertentu seperti lahan pertanian, perumahan, dan industri. Ini juga didapatkan nas-nas syara‟ yang berkaitan dengan kepemilikan tanah, maka ditemukan ketentuan hukum tentang tanah berbeda dengan kepemilikan benda-benda lainnya.

27Dwi Condro Triono, Ekonomi Islam Madzhab Hamfara, jilid I, (Irtikaz: 2014), 317

28Taqiyuddin An-Nabhani, Terjemahan An-Nizham Al-Iqtishadi fil Islam., 243

(39)

32

Dalam pandangan hukum Islam segala sesuatu yang di langit dan di bumi termasuk tanah pada hakikatnya itu milik Allah SWT. Sebagai pemilik hakiki dari segala sesuatu, kemudian Allah SWT memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola tanah sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Asal usul kepemilikan adalah milik Allah SWT, bahwa manusia tidak memiliki hak kecuali memanfaatkan dengan cara yang diridhoi oleh Allah SWT. Maka setiap kebijakan di bidang pertanahan hendaklah dilaksanakan sesuai dengan hukum-hukum Allah SWT ke dalam kebijakan tersebut.

2. Kepemilikan atas tanah menurut Taqiyuddin An-Nabahani

Syaikh Taqiyyuddin An-Nabahabi, beliau adalah seorang mujtahid mutlak dan mujtahid abad ini. Dengan mempelajari berbagai karyanya maka untuk memilih salah satu gelar yang tepat untuk beliau, karena beliau adalah seorang mujahid tangguh, mujtahid agung dan mujtahid abad ini.29

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani lahir di daerah ijzim pada tahun 1909, Nama lengkap beliau adalah Muhammad Taqiyuddi bin Ibrahim bin Musthofa bin Ismail bin Yusuf bin Hasan bin Muhammad bin Nashiruddin an-Nabhani. Beliau adalah seorang yang tidak hanya mulia karena ketinggian ilmunya, kejernihan pemikirannya dan keikhlasan perjuangannya. Bahkan, dari nasabnya pun beliau adalah keturunan dari orang yang dimuliakan. Dari jalur ibunya, beliau adah cucu dari Syaikh Yusuf an-Nabhani Asyafi‟i ulama besar madzahab Syafi‟i pada zaman daulah Utsmaniyyah. Sementara ayah beliau Syaikh Ibrahim an-Nabhani adalah

29Ali Dodima, Biografi Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, (Yogyakarta: Masjid Baabusalam, 2017), 1-2

(40)

33

seorang Syaikh yang mutafaqqih fid din dan seorang pengajar ilmu-ilmu syariah di kementerian pendidikan Palestina.30

Maka tidak heran jika beliau mampu hafal Qur‟an diusia yang belum menginjak 13 tahun dan tumbuh menjadi pemuda yang kecerdasannya di atas rata-rata teman sebayanya. Beliau pun merupakan lulusan terbaik dari sebuah universitas terbaik yakni Al-Azhar di Kairo, Mesir, dan menjadi sangat tidak mengherankan beliau akhirnya mampu menjadi seorang “Pemikir Cermelang”

abad ini. Lewat wasilah beliaulah, banyak di antara kaum muslimin yang mampu menjabarkan solusi dengan sangat jernih berdasarkan nash-nash al-Qur‟an dan al- Hadits. Beliaulah sang pendiri organisasi dakwah yang menjadi hadiah terbesar kaum muslim abad ini, adalah Hizbut Tahrir. Sebuah organisasi dakwah yang konsisten dalam memperjuangkan penerapan syariah Islam secara kaffah untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam. Sebuah cita-cita mulia untuk menjadikan Islam sebagai Rahmatan lil „alamin dan memberikan kontribusi nyata untuk membangun sebuah Negara yang Allah SWT turunkan keberkahan dari langit dan bumi, beliau wafat di Beirut, Lebanon pada tanggal 20 Desember 1977.31 Dengan kecerdasan yang dimiliki beliau sehingga banyak karya-karya yang dihasilkan untuk kaum muslimin di antara lain:

a. Nizhamul Islam (Peraturan hidup dalam Islam)

b. Nizhamul Hukmi fil Islam (Sistem pemerintahan dalam Islam) c. Nizhamul Iqtishadi fil Islam (Sistem ekonomi dalam Islam) d. Nizhamul Ijtima‟iy fil Islam (Sistem pergaulan dalam Islam)

30Ibid.

31Ibid., 50

(41)

34

e. At-Takattul al-Hizbiy (Pembentukan partai politik)

f. Mafahim Hizbul Tahrir (Pokok-pokok pikiran hizbut tahrir) g. Daulatul Islamiyah (Negara Islam)

h. Al-Khilafah (Sistem Islam)

i. Syakhsiyah Islamiyah-3 jilid (Membentuk kepribadian Islam)

j. Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir (Pokok-pokok pikiran politik hizbut tahrir) k. Nadharat Siyasiyah li Hizbit Tahrir (Beberapa pandangan politik hizbut tahrir) l. Kaifa Hudimatil Khilafah (Persekongkolan meruntuhkan khilafah)

m. Siyasatu al-Iqtishadiyah al-Mutsla (Politik ekonomi yang agung) n. Al-Amwat fi Daulatil Khilafah (Sistem keuangan Negara khilafah) o. Nizhamul „uqubat fil Islam (Sistem sanksi peradilan dalam Islam) p. Ahkamul Bayyinat (Hukum-hukum Pembuktian)

q. Muqaddimatu ad-Dustur (Pengantar Undang-Undang Dasar negara Islam) Dari karya-karya yang dihasilkan oleh Taqiyuddin an-Nabhani banyak lagi baik itu buku-buku, booklet maupun selebaran yang dikeluarkan oleh hizbut tahrir yang menyangkut ide maupun politik beliau hasilkan.32

Karya-karya yang dihasilkan oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani yang berhubungan dengan kepemilikan seputar atas tanah dalam buku Nizhamul Iqtishadi fil Islam sebagaimana artinya sistem ekonomi dalam Islam. Di dalam buku tersebut membahas bagaimana cara kepemilikan dalam Islam, dan mengetahui hakikat kepemilikan atas tanah tersebut.

32Ibid., 90

Referensi

Dokumen terkait

Tekan tombol [Start] Â dan lakukan seperti yang biasanya Anda lakukan untuk mematikan komputer, dan ketika itu tidak merespon Anda perlu menekan tombol CTRL + ALT +.. DEL,

Hasil uji beda jarak berganda Duncan terhadap jumlah daun yang dipengaruhi perlakuan pemberian pupuk Bioboost pada berbagai konsentrasi pada pengamatan umur

Menurut Suyanto (1999) dalam Dwiyono (2004), pakan yang akan digunakan untuk pembesaran ikan lele ini relatif mudah didapat karena beberapa perusahan pakan telah

Atribut-atribut tersebut adalah kualitas grafis, tidak sering crash,tidak sering hang, tidak sering lag, kapasitas baterai, kualitas gambar yang ditangkap/diambil,

Bahwa pada hari dan tanggal di awal bulan September 2007 Terdakwa dan Saksi-I untuk pertama kalinya melakukan persetubuhan yang layaknya seperti orang yang sudah

Bahwa Terdakwa pada tanggal 14 Januari 2010 sekira pukul 21.00 Wit menelpon Saksi-II (teman lettingnya) meminta ijin untuk tidak masuk kantor dengan alasan orang tuanya

PROGRAM INTERPRETASI WISATA KAMPUS UNTUK MELESTARIKAN SEJARAH DI UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

angka keluaran hongkong tahun 2004 sampai dengan thn 2005, arsip data paito result pasaran togel dan pengeluran togel hkg pools.. 2.1 Aset 2.2 Liabiliti 2.3 Ekuiti Pemilik 2.4 Hasil