• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Pengalaman Penerimaan Diri Anak terhadap Kematian Kedua Orangtua secara Mendadak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "View of Pengalaman Penerimaan Diri Anak terhadap Kematian Kedua Orangtua secara Mendadak"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

10

Jurnal Diversita

Available online https://ojs.uma.ac.id/index.php/diversita

Pengalaman Penerimaan Diri Anak terhadap Kematian Kedua Orangtua Secara Mendadak

The Experience of Child Self-Acceptance to the Sudden Death of Their Parents

Cika Humaira(1*), Tyas Anastasya Pratiwi(2), Shinta Priyangga Sesarwati(3), Ganesha Bayua Putra(4), Hana Dian Ramadhanti(5), Fitria Anjani Djatmiko(6) & Endang Retno

Surjaningrum(7)

Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga, Indonesia

Disubmit: 11 Januari 2022; Diproses: 17 Juli 2022; Diaccept: 08 Juni 2023; Dipublish: 09 Juni 2023

*Corresponding author: cika.humaira-2021@psikologi.unair.ac.id Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk memberikan pemahaman serta menyampaikan gambaran tentang proses penerimaan diri pada anak yang mengalami kematian orang tua secara mendadak. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif studi kasus instrumental beserta model analisis data miles and huberman. Teknik pemantapan kredibilitas yang digunakan adalah metode membercheck. Partisipan yang masuk kriteria dalam penelitian ini yaitu anak yang memiliki pengalaman dalam menghadapi kematian kedua orangtua yang meninggal secara mendadak dan mengalami peristiwa tersebut pada usia anak-anak (6-12 tahun). Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap anak sebagai individu yang menghadapi peristiwa kematian kedua orangtua memiliki tahapan penerimaannya tersendiri, meskipun dinamika yang dilalui sesuai dengan yang disampaikan oleh Kubler-Ross. Ditemukan bahwa terdapat respon yang terjadi akibat kematian orang tua pada remaja dan dewasa muda yang berjenis kelamin laki-laki. Respon remaja laki-laki yaitu grieving akibat kematian orang tua dan pada dewasa muda akan merasakan kesedihan yang lebih intens, dan tekanan pribadi yang lebih besar. Namun ada perbedaan dengan remaja laki-laki di panti asuhan yang memiliki resiliensi dan dapat mengurangi rasa cemas dan depresi akibat kematian orang tua.

Kata Kunci: Kematian Kedua Orangtua; Kematian Secara Mendadak; Penerimaan Diri; Respon Anak.

Abstract

This study was conducted to provide understanding and convey an overview of the process of self- acceptance in children who experience sudden parental death. This study uses a qualitative method of instrumental case studies with a miles and huberman data analysis model. The credibility strengthening technique used is the membercheck method. Participants who were included in the criteria in this study were children who had experience in dealing with the death of both parents who died suddenly and experienced the event at the age of children (6-12 years). The results showed that each child as an individual facing the death of both parents has its own stages of acceptance, although the dynamics that go through are in accordance with those conveyed by Kubler-Ross. It was found that there was a response that occurred as a result of parental death in adolescents and young adults of the male sex. The response of adolescent boys is grieving as a result of the death of parents and in young adults will feel more intense sadness, and greater personal pressure. However, there are differences with adolescent boys in orphanages who have resilience and can reduce anxiety and depression due to the death of parents.

Keywords: Parental Death; Sudden Death; Self Acceptance; Child Response

How to Cite: Humaira, C., Pratiwi, T.A., Sesarwati, S.P., Putra, G.B., Ramadhanti, H.D., Djatmiko, F.A,, Surjaningrum, E.R. 2023. Pengalaman Penerimaan Diri Anak terhadap Kematian Kedua Orangtua Secara Mendadak, Jurnal Diversita, 9 (1): 10-17.

(2)

11 PENDAHULUAN

Kematian merupakan bagian yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan individu dan menimbulkan penderitaan bagi orang-orang yang ditinggalkannya (Cahyasari, 2011). Menurut Turner &

Helms peristiwa kematian juga ikut dirasakan oleh individu lain, yaitu orang- orang yang ditinggalkannya terutama pada anak yang ditinggal mati oleh kedua orang tuanya (Cahyasari, 2011). Hasil penelitian menunjukkan berbagai dampak internal dari kematian orang tua di masa anak, yaitu meningkatkan resiko adanya permasalahan pada kesehatan mental dan ancaman terhadap emotional well-being, seperti kecemasan, stress, depresi, serta munculnya gejala somatic (Bergman et al., 2017). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kematian awal orang tua (saat anak berusia 0–17 tahun) memiliki efek jangka pendek dan jangka panjang, seperti penggunaan obat-obatan terlarang (Bergman et al., 2017) kerusakan kognitif di masa tua (Fu, 2019), meningkatkan risiko terjadinya posttraumatic growth (Tuazon & Gressard, 2021), serta resiko melakukan percobaan bunuh diri (Adam et al., 1982). Anak yang berusia lebih muda juga memiliki kemungkinan melakukan usaha percobaan bunuh diri lebih besar dibandingkan pada anak yang lebih tua (Burrell et al., 2017).

Peristiwa kematian kedua orang tua akan berdampak lebih buruk apabila terjadi secara tiba-tiba atau mendadak.

Hal tersebut terjadi akibat kematian orangtua menjadi peristiwa yang tidak pernah dibayangkan oleh anak sebelumnya. Individu yang mengalami kematian anggota keluarga secara mendadak atau akibat kekerasan,

kehilangan beberapa anggota keluarga, dan hubungan yang buruk dengan keluarga, dapat meningkatkan perasaan berduka yang sangat rumit atau complicated grief (Meyer-Lee et al., 2020).

Faktor jenis kelamin tampak ikut berpengaruh terhadap pengalaman anak dalam menghadapi kematian orang tuanya. Anak perempuan menunjukkan tingkat kedukaan (grief) yang lebih tinggi dibandingkan anak lelaki (Sandler et al., 2006). Penelitian Bylund-(Bylund-Grenklo et al., 2021) pada individu dewasa awal yang memiliki pengalaman kematian orang tua di masa anak menunjukkan bahwa wanita memiliki tingkat prevalensi yang lebih tinggi untuk mengalami kedukaan yang akut dan lebih banyak melaporkan masalah kedukaan yang belum terselesaikan 6-9 tahun setelah kehilangan orang tua.

Meski demikian, hasil penelitian lain menyebutkan bahwa kematian orang tua pada anak merupakan suatu pengalaman berharga yang membuat anak menjadi lebih kuat dan mandiri untuk menghadapi permasalahan hidup di kemudian hari.

Hasil penelitian (Koblenz, 2016) menunjukkan bahwa anak merasa tumbuh dan menjadi dewasa lebih cepat untuk bertahan hidup tanpa dampingan dari orang tua secara utuh. Anak juga menjadi terpacu untuk tidak menyia-nyiakan waktunya dan ingin menunjukkan bahwa dia adalah orang yang berguna, bermanfaat, dan menggunakan waktunya sebaik mungkin selama hidup di dunia.

Sedangkan, pada sebagian anak, ketidakhadiran orang tua justru dipandang sebagai faktor pendorong bagi mereka agar bisa menjadi orang dengan kemampuan hebat dan sukses di

(3)

12 bidangnya. Kesuksesan dipandang oleh anak-anak yang akan tumbuh dewasa tersebut untuk mengatasi rasa terpuruk akibat dari rasa kehilangan orang tua (Standing & Ringo, 2016). Fenomena ini disebut sebagai Phaeton Effect, yaitu orang-orang hebat yang memiliki kemampuan atau kesuksesan luar biasa, justru muncul dari anak-anak yang pernah kehilangan orang tua.

Peneliti melakukan studi pendahuluan pada 9 orang. Sebanyak 8 responden atau 88,9% responden menyatakan merasakan dampak dari kematian kedua orangtuanya. Dampak yang dirasakan oleh responden tersebut bervariasi yang berkaitan dengan fungsi sosial, akademik, dan dan psikologis.

Sementara hasil penelitian (Rimiru &

Mokua, 2020) mengenai tingkat penerimaan kematian orang tua di Kenya pada anak rata-rata berusia sekolah dasar menunjukkan hasil bahwa 60% memiliki tingkat penerimaan yang lebih baik, dan 40% memiliki tingkat penerimaan yang kurang baik. Respon anak serta dampak yang muncul dalam menghadapi kematian orang tuanya merupakan bentuk penerimaan diri anak atas keduaan setelah kematian orang tuanya.

(Kubler-Ross, 2009) mendefinisikan penerimaan sebagai perasaan mau menerima yang memberikan arti positif bagi perkembangan kepribadian seseorang yang terbuka dan dapat menerima orang lain sebagaimana keberadaan diri mereka masing-masing.

Penerimaan akan berdampak pada kesadaran individu untuk mengelola proses berdukanya dengan lebih baik.

Sementara Worden (Biank & Werner-Lin, 2011) menyebutkan dalam teorinya

bahwa kedukaan memiliki 4 tugas, salah satunya adalah penerimaan atas kenyataan kehilangan seseorang. Worden tidak menyebutnya sebagai tahapan, karena menurutnya, tahapan harus melalui proses yang berurutan, sedangkan kedukaan tidak bisa dijelaskan sebagai suatu proses yang berurutan melainkan sebagai suatu proses yang harus dilalui.

Pada tugas penerimaan, individu harus menyadari bahwa tidak mungkin untuk bertemu kembali dengan orang yang sudah meninggal. Tugas ini mengharuskan adanya penerimaan secara kognitif dan emosional.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti berminat untuk meneliti tentang proses penerimaan diri anak terhadap kematian orang tuanya yang terjadi secara mendadak. Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode studi kasus sehingga diharapkan dapat diperoleh data yang lebih kaya dan mendalam tentang pengalaman anak dalam proses penerimaan diri atas kematian orang tuanya yang terjadi secara mendadak.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu studi kasus instrumental. Studi kasus instrumental digunakan untuk memberikan wawasan terkait persoalan yang diteliti, sehingga kasus akan dilihat secara mendalam (Stake, 1995). Unit analisis dalam penelitian ini sendiri adalah pengalaman penerimaan diri anak terhadap kematian kedua orangtua secara mendadak.

Pengorganisasian dan analisis data yang digunakan adalah model analisis Miles and Huberman yang dilakukan dengan cara mereduksi data, membuat data display,

(4)

13 dan membuat kesimpulan data. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan wawancara, sedangkan teknik pemantapan kredibilitas menggu- nakan membercheck. Partisipan yang

dilibatkan pada penelitian adalah anak yang memiliki pengalaman kematian kedua orangtua secara mendadak dan mengalami peristiwa tersebut pada rentang usia 6-12 tahun.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Data Display Penelitian

Pada penelitian ini peneliti mendapatkan satu partisipan yang sesuai dengan kriteria penelitian yaitu dewasa awal yang merupakan anak yang memiliki pengalaman kematian kedua orang tua secara mendadak. Partisipan pada penelitian ini berjenis kelamin perempuan dengan inisial AA berusia 23 Tahun. Dalam menghadapi peristiwa kematian kedua orangtuanya, partisipan akan melalui beberapa tahapan sesuai dengan gambar yang dilampirkan. Sebelumnya, peneliti

berusaha untuk menampilkan asal mula atau pencetus kematian kedua orangtua terlebih dahulu, baru kemudian masuk pada tahapan-tahapan berikutnya seperti tahap kehilangan arah, tahap kemarahan, tahap pemaknaan, hingga tahap penerimaan. Pada partisipan AA pencetus kematian kedua orangtuanya adalah kebakaran yang terjadi di rumahnya ketika ia berusia tujuh tahun. Akibat hal tersebut, orangtua dan adiknya meninggal dunia.

(5)

14 Kemudian setelah peristiwa itu terjadi, partisipan akan memasuki tahap kehilangan arah dimana ia merasa kebingungan atas peristiwa yang terjadi pada dirinya. Pada partisipan AA, ia merasa bingung karena ketika peristiwa itu terjadi, ia tidak secara langsung menyaksikan atau berada pada lokasi yang sama karena saat itu ia sedang pergi dan menginap di rumah tantenya. AA awalnya tidak mengetahui bahwa peristiwa itu terjadi pada keluarganya, karena yang ia lihat hanya asap kebakaran dan orang- orang ramai menyelamatkan diri dan keluarga/anaknya, sedangkan dirinya ketika itu sendirian tanpa ada satu orang dewasapun yang berusaha melindungi dirinya. Ia mengetahui bahwa seluruh keluarganya meninggal ketika ia melihat jenazah orangtuanya dibawa ambulance.

Sejak saat itu ia memahami bahwa seluruh anggota keluarganya meninggal dunia dan hanya dirinya sendiri yang selamat dan akhirnya ia diasuh oleh keluarga orangtuanya. Namun pada tahap ini AA menyampaikan bahwa prosesnya tidak mudah, ia merasa bingung ketika terdapat banyak perubahan yang terjadi pada hidupnya secara mendadak dan cepat.

Berikutnya seiring berjalannya waktu, partisipan akan memasuki tahapan kemarahan dimana pada tahapan ini kemarahan yang muncul disebabkan oleh penyesalan atau kemarahan pada diri sendiri. Seiring berjalannya waktu, partisipan AA merasa marah pada dirinya terkait alasan ketika malam kebakaran itu terjadi yang pada akhirnya menyebabkan kedua orangtuanya meninggal. Pada malam saat kebakaran itu terjadi, AA sedang bertengkar dengan Ayahnya dan pergi dari rumah. Ia merasa menyesal

karena beranggapan bahwa ketika ia mampu mengontrol emosinya, ia tidak harus merasakan perasaan seperti yang saat ini ia rasakan. Pada tahapan ini, partispan banyak memunculkan respon emosi yang kuat seperti merasa sedih, kosong, serta kehilangan sehingga memunculkan perilaku menyakiti diri sendiri hingga melakukan percobaan bunuh diri. Terkait dengan pengalaman pengasuhan yang ia alami pasca kematian kedua orangtuanya, ia merasa pengasuhan tersebut tidak sesuai dengan pengasuhan yang selama ini ia terima ketika diasuh oleh orangtuanya. Dalam posisi dan perasaan yang sedang dialami oleh partisipan AA, memunculkan adanya pemikiran baru yaitu upaya untuk melarikan diri dari keluarga besarnya. Ia berpikir satu-satunya yang dapat menyelamatkan dirinya adalah dengan menikah, sehingga tidak perlu berhubungan lagi dengan keluarga besar orangtuanya yang dianggap tidak sesuai dengan dirinya. Pemikiran tersebut terus ia yakini sehingga membuat ia berangan untuk menikah, lalu bercerai, dan mati pada usia 25 tahun.

Tahap berikutnya yang terjadi pada anak yang mengalami kematian kedua orangtuanya secara mendadak adalah tahap pemaknaan. Dalam tahapan ini fungsi kognitif memiliki andil yang cukup besar dimana partisipan akan mempertimbangkan satu dengan lain hal dalam melihat suatu persoalan. Pada partisipan AA ia mengalami adanya krisis pasca kematian kedua orangtuanya, sehingga ia berpikir bagaimana caranya untuk tetap bertahan hidup akibat ada adik yang selamat setelah peristiwa itu terjadi. Dengan Adiknya sembuh, ternyata

(6)

15 hal itu membuat AA menjadi berpikir untuk tidak hanya memikirkan dirinya sendiri. Banyak hal yang dilakukan oleh partisipan guna dijadikan coping atas persoalannya. Partisipan AA merasa kekurangan secara finansial akibat pengasuhnya tidak memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga ia harus mencari pekerjaan lain dan memacari orang kaya.

Akibat pengalaman pengasuhan tersebut, ia juga membatasi diri dengan orang lain, terutama suku arab akibat keluarga be- sarnya adalah keturunan dari suku Arab.

Terakhir adalah tahap penerimaan, dimana ia berada pada posisi atau situasi sudah menerima kondisi yang ia alami.

Bentuk penerimaan yang dialami oleh partisipan AA adalah sudah mampu menjalani aktivitas sehari-hari, serta dapat menjalin relasi dengan orang lain selain suaminya. Partisipan AA menyampaikan bahwa ia mulai dapat berteman selayaknya individu yang lain. Hanya saja, meskipun ia merasa bahwa dirinya memiliki progres yang baik terkait peristiwa traumatis yang pernah terjadi dalam hidupnya, ia tetap masih mengkhawatirkan akan kebahagiaan dalam hidup. Terkadang ketika ia merasa bahagia, ia justru merasa khawatir dan menganggap bahwa kebahagiaan itu belum layak ia dapatkan karena telah membiarkan kedua orangtuanya meninggal dunia disaat ia masih dalam kondisi baik-baik saja.

Pencetus merupakan awal mula peristiwa kematian kedua orangtua partisipan. Anak untuk sampai pada kondisi penerimaan terkait kematian kedua orang tua secara mendadak akan melalui beberapa tahap yaitu tahapan kehilangan arah, kemarahan, pemaknaan

dan penerimaan. Tahap penerimaan pada anak yang mengalami kematian kedua orang tua secara mendadak diawali dengan tahap kehilangan arah. Tahap kehilangan arah adalah tahap dimana individu mulai berhadapan dengan situasi- situasi nyata pasca kebakaran dan mempertanyakan tentang kejadian. Hal ini diartikan bahwa kematian kedua orang tua secara mendadak memiliki dampak pada anak. Sesuai dengan (Suprihatin, 2013), pada fase inisial respon pasca kematian orang tua secara mendadak anak mengalami kondisi shock, tidak percaya, perasaan kosong, belum menerima, kebingungan, kehilangan, kekhawatiran, kehilangan nafsu makan dan kelelahan.

Kemudian tahap selanjutnya adalah tahapan menyalahkan diri sendiri/

kemarahan dimana pada tahap ini individu telah mengetahui konsekuensi yang diterima kebakaran. Muncul keinginan untuk mati pada partisipan setelah mengetahui akibat dari kebakaran.

Hal ini sesuai dengan penelitian Wadsworth (1985) yang menyebutkan bahwa individu yang mengalami peristiwa kematian orang tua secara mendadak mengakibatkan beberapa reaksi kedukaan salah satunya tindakan bunuh diri yang dapat disebabkan oleh ketidakmatangan dalam pemahaman dan penanganan kematian, faktor budaya serta kurangnya pengalaman remaja pada peristiwa terkait (Wadsworth, 1984).

Pada tahap pemaknaan yang merupakan tahap dimana individu mulai memaknai peristiwa yang terjadi dalam hidupnya terkait dengan kematian kedua orang tua secara mendadak. Partisipan merasakan kesulitan dalam hidup dan mencari cara untuk keluar dari

(7)

16 permasalahannya, termasuk finansial.

Individu yang memiliki pengalaman kehilangan seseorang yang dianggap memiliki ikatan tertentu akan memiliki reaksi yang berbeda-beda seperti halnya orangtua dan anak. (Astuti, 2007). Lebih lanjut ditambahkan oleh Nurriyana dan Savira bahwa individu mengalami dampak finansial pasca peristiwa kematian orang tua. (Nurriyana & Savira, 2021). Tahap terakhir yaitu tahap penerimaan, dimana individu menerima realita kematian kedua orang tua, walaupun tetap mengalami duka yang mendalam atas kejadian yang menimpanya. Sesuai dengan Worden (Biank & Werner-Lin, 2011) yang mendefinisikan kedukaan sebagai suatu kejadian yang permanen yang akan terus muncul dalam hidup manusia dan tidak berubah.

SIMPULAN

Peneliti menyimpulkan bahwa setiap anak sebagai individu yang mengalami kematian kedua orangtuanya memiliki tahapan penerimaannya tersendiri, meski- pun dinamika yang dilalui sesuai dengan yang disampaikan oleh Kubler-Ross.

Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam partisipan, karena hanya spesifik dalam satu karakteristik yang sama dalam pemilihan partisipan. Oleh sebab itu, saran bagi penelitian selanjutnya agar dapat menggunakan subjek dengan latar bela- kang memperoleh informasi terkait pengalaman penerimaan diri anak terha- dap kematian orang tua secara mendadak.

DAFTAR PUSTAKA

Adam, K. S., Lohrenz, J. G., Harper, D., & Streiner, D. (1982). Early Parental Loss and Suicidal Ideation in University Students. SAGE Open, 9(3).

Astuti, Y. D. (2007). Kematian Akibat Bencana dan Pengaruhnya Pada Kondisi Psikologis Survivor: Tinjauan Teoritis Tentang Arti Penting Death Education. Unisia, XXX (66).

https://doi.org/https://doi.org/10.20885/uni sia.vol30.iss66.art4

Bergman, A. S., Axberg, U., & Hanson, E. (2017).

When a Parent Dies - A Systematic Review of The Effects of Support Programs for Parentally Bereaved Children and Their Caregivers. BMC Palliative Care, 16(1), 1–15.

Biank, N. M., & Werner-Lin, A. (2011). Growing Up with Grief: Revisiting The Death of a Parent Over The Life Course. Omega Journal of Death and Dying, 63(3), 271–290.

Burrell, L. v, Mehlum, L., & Qin, P. (2017). Risk Factors for Suicide in Offspring Bereaved by Sudden Parental Death from External Causes. Journal of Affective Disorders, 222, 71–78.

Bylund-Grenklo, T., Birgisdóttir, D., Beenaert, K., Nyberg, T., Skokic, V., Kristensson, J., Steineck, G., Fürst, C. J., & Kreicbergs, U.

(2021). Acute and Long-term Grief Reaction and Experiences in Parentally Cancer- bereaved Tenagers. Journal BMC Palliative Care.

Cahyasari, I. (2011). Grief Pada Remaja Putra Karena Kedua Orang Tuanya Meninggal.

Universitas Gunadarma.

Fu, R. (2019). Early Parental Death and Cognitive Impairment in Late Life: A Cohort Study.

SAGE Open, 9(3).

Koblenz, J. (2016). Growing from Grief: Qualitative Experiences of Parental Loss. Omega Journal of Death and Dying (United States).

Kubler-Ross, E. (2009). On Death and Dying: What The Dying have to Teach Doctor, Nurses, Clergy and Their Own Families. Routledge.

Meyer-Lee, C. B., Jackson, J. B., & Gutierrez, N. S.

(2020). Long Term Experiencing of Parental Death During CHildhood: A Qualitative Analysis. Canadian Journal of Psychiatry , 27(4), 275–280.

Nurriyana, A. M., & Savira, S. I. (2021). Mengatasi Kehilangan Akibat Kematian Orang Tua:

Studi Fenomenologi Self-Healing pada Remaja. Jurnal Penelitian Psikologi, 8(3), 46–

60.

Rimiru, T. N., & Mokua, M. G. (2020). Acceptance of Loss on Psychological Well-Being:

Therapeutic Implications on Counselling Parentally Bereaved Students, Kenya.

International Journal for Innovation Education and Research, 8(10), 74–79.

(8)

17 Sandler, I. N., Haine, R. A., Wolchik, S. A., Millsap,

R. E., & Ayers, T. S. (2006). Positive Parenting as a Protective Resource for Parentally Bereaved Children. Death Studies (2006), 30(1), 1–28.

Stake, R. E. (1995). The Art of Case Research. The Modern Language Journal, 80(4), 556–557.

Standing, L., & Ringo, P. (2016). Parental Loss and Eminence: Is There a Critical Period for The Phaeton Effect? . North American Journal of Psychology, 18(1), 147.

Suprihatin, A. F. (2013). Grief Pada Remaja Akibat Kematian Orangtua Secara Mendadak.

Universitas Negeri Semarang.

Tuazon, V. E., & Gressard, C. F. (2021).

Developmental Impact of Early Parental Death: Sustaining Posttraumatic Growth Throughout The Lifespan. Omega (United States).

Wadsworth, B. J. (1984). Piaget’s Theory of Cognitive and Affective Development (3rd ed). Longlman, Inc.

Referensi

Dokumen terkait

dan dari 26 jurnal tersebut kami klasifikasikan kembali berdasarkan studi kasus, metode dan alat bantu yang digunakan, sehingga didapatkan 20 studi kasus dari 19

Maka dari itu, penulis menggunakan metode penelitian Studi Kasus di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas Ii Bandar Lampung guna untuk mengetahui bagaimana

Sains pada pendidikan anak usia dini harus melibatkan anak secara aktif sesuai pengembangannya sehingga hasil belajarnya ysng diperoleh menjadi lebih bermakna, kegiatan tersebut

Hidayah, Nurul, 2003, Kebermaknaan Hidup Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis , Yogyakarta: Skripsi Tidak Diterbitkan. Dofinishiyami, Aisyah, 2013, Dinamika Penerimaan Keluarga

Berdasarkan tingkat penerimaan diri ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus menunjukkan hasil yang bervariasi, dari kategori tinggi, sedang, dan rendah pada

"Pengaruh Kebennaknaan Hidup Terhadap Penerimaan Diri Ibu Yang Memiliki Anak Berkebutuhan Di SDLBN Campurdarat Tulungagung". Menyatakan dengan sebenamya bahwa skripsi

Sehingga studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi deskriptif kualitatif untuk menggambarkan persepsi masyarakat Surabaya sesuai dengan proses penerimaan

Metode penelitian yang dilakukan adalah kualitatif deskriptif dengan Teknik pengumpulan data melalui studi pustaka Data yang diperoleh kemudian akan dianalisis secara mendalam untuk