• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kekerasan dalam Rumah Tangga terhadap Self-Concept pada Wanita Korban

N/A
N/A
4PA18@Bunga Cantika Sephia Cahaya

Academic year: 2025

Membagikan "Pengaruh Kekerasan dalam Rumah Tangga terhadap Self-Concept pada Wanita Korban"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

i

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GUNADARMA LABORATORIUM DASAR PSIKOLOGI

Disusun Oleh : 3PA18 Kelompok 4

NO NAMA MAHASISWA NPM TANDA TANGAN

1 Anggita Rachmawati Dimyati 10521180

2 Azzahra Fanny Putri 10521299

3 Bunga Cantika Sephia Cahaya 10521327 4 Choirunnisa Ayu Pratiwi 10521353

5 Mellissa 10521833

6 Nadia Salsabila 10521970

7 Naswa Dwiputri Sherylia 11521009

8 Rayhan Hanif 10521830

9 Serlyta Eka Fitriani 18522002

DEPOK OKTOBER 2023

(2)

ii

I. WAWANCARA AWAL ... 1

II. RUMUSAN MASALAH ... 22

III. LANDASAN TEORI ... 23

A. Self-concept ... 23

1. Pengertian ... 23

2. Aspek ... 23

3. Faktor yang Mempengaruhi ... 24

4. Sumber Pembentuk ... 27

5. Dimensi ... 28

B. Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 29

1. Pengertian ... 29

2. Bentuk ... 29

3. Faktor Penyebab ... 32

C. Wanita Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 35

1. Pengertian Perempuan/Wanita ... 35

2. Dampak Pada Korban ... 36

IV. PEDOMAN WAWANCARA ... 42

V. PELAKSANAAN WAWANCARA ... 43

A. Setting Fisik ... 43

B. Setting Psikis ... 43

C. Tahap Pelaksanaan... 43

VI. HASIL WAWANCARA ... 44

VII. REDUKSI DATA ... 45

VIII. CODING ... 46

IX. PEMBAHASAN ... 47

X. KESIMPULAN ... 48

DAFTAR PUSTAKA... 49

(3)
(4)

1 Interviewee : “Waalaikumsalam… Baik.”

Interviewer 6 : “Teteh apa kakak?”

Interviewee : “Kakak aja.”

Interviewer 1 : “Kakak ajaa oke… Kakak baik? Alhamdulillah?”

Interviewee : “Alhamdulillah baik.”

Interviewer 1 : “Jadi sebelumnya kami mengucapkan terima kasih kepada kakak, karena sudah… Bersedia untuk menjadi hihi, narasumber gitu.

Sebagai bahan dari penelitian kami. Ee… Sebelumnya perkenalkan dulu yah kak. Nama… Kami, ee saya Mellissa, di sini ada Nadia, Anggi, eee… Ace, Ita, terus Fanny, Sheryl, eee Raihan Hanif, dan Bunga… Yah gituu. Jadi kami dari kelompok empat, dari mata kuliah, emm, psikodiagnostika tiga yah, wawancara… Eehh, hari ini InsyaAllah mau… Eee izin mewawancarai kakak. Umm… Sebelumnya ditanya dulu berarti?

Nama kakak siapa?”

Interviewee : “Namanya RA, biasa disapa A.”

Interviewer 1 : “Ooh, RA biasa disapa A… Eee kakak lahirnya, ee tanggal berapa?”

Interviewee : “Lahirnya tanggal 21 Oktober… 2000.”

Interviewer 1 : “Ooh 2000… Berarti sekarang? Umurnya?”

Interviewee : “22 tahun.”

Interviewer 1 : “Ooh 22 tahun, berarti nanti pas 28, berarti 23?”

Interviewee : “21… 23.” (sambil mengangguk)

Interviewer 1 : “Hahahaha, oke… Kakak tinggalnya di mana kak?”

Interviewee : “Tinggalnya di Depok, Cimanggis Depok.”

Interviewer 1 : “Cimanggis? Itu deket mana kak?”

(5)

Interviewee : “Cimanggis tu deket… Emm… Deket rumah sakit Tugu Ibu, tau?

Rumah sakit Tugu Ibu mungkin tau? Deket Tugu Ibu adaaa…

Mungkin kalau misal....”

Interviewer 1 : “Kalo misalnya dari sini ke arah sono, atau ke sono?”

Interviewee : “Ke sana!! Ke sana… Ke arah Jakarta, Jakarta Timur." (sambil mengarahkan tangannya ke salah satu arah)

Interviewer 1 : “Berarti Margonda kan ada lampu merah, lurus lagi berarti?”

Interviewer 8 : “Heem… Kalo dari geduu... Eh, kampus E itu luruuus sampe ketemu Jalan Raya Bogor, terus belok kiri muter, terus muter ke sini.”

Interviewer 1 : “Ohh Jalan Raya Bogor.”

Interviewee : “Mhm betul.”

Interviewer 1 : “Oo… Ihh kampus F4?”

Interviewee : “Ya, di situ. Tapi kan agak jauh.”

Interviewer 1 : “Kalau tempat tinggal sekarang ya? Itu tempat tinggal sekarang ya?”

Interviewee : “Iya, betul, sesuai domisili.”

Interviewer 1 : “Iya, terima kasih kak.”

Interviewee : “Ya sama-sama.”

Interviewer 1 : “Dilanjut…”

Interviewer 2 : “Ee, kalauu untuk kegiatan sehari-harinya biasanya sibuk ngapain aja kak?”

Interviewee : “Kalo minggu ini, recovery kesehatan aja karena after kecelakaan… Dipasang pen kan, patah tulang. Selain itu juga, ngurus anak juga… Karena sendirian kan, ngurus anak juga…

Terus nyambi-nyambi kirim mulai-mulai benerin CV lagi karena mau mulai kerja lagi, begitu aja si kak.” (sambil memegang bahu sebelah kiri dan mengangguk)

Interviewer 2 : “Berarti sekarang udah agak mendingan yah? Tangannya?”

Interviewee : “Iya, udah agak mendingan karena udah hampir tiga bulan…

Sejak kejadian.”

(6)

Interviewer 2 : “Kalo… Weekend biasanya ngapain aja? Kalo lagi waktu luang itu diisi apa?”

Interviewee : “Kalo weekend? Mungkin weekend sama weekday sama aja ya karena kan eee lagi nggak ngapa-ngapain, paling ya itu tadi yang kayak tadi, ditambah ee, ngasah skill dan pengalaman aja buat nantii, ee, lebih, lebih, ini lagi pas kerjanya, lebih baik lagi… Gitu, ditambah webinar-webinar aja biar nambah pengetahuan…

Gitu…" (sambil memainkan kedua tangannya)

Interviewer 2 : “Ee, untuk sekarang lagi tertarik sama kegiatan apa nih? Untuk kayak hobinyaa gitu? Atau ada hal yang lagi ditekunin gitu?”

Interviewee : “Kalo tekunin… Nggak ada sih, karena lagi ngerasa butuh waktu buat sendiri ajah.” (sambil memegang dada, matanya menoleh ke arah kiri atas, dan pundaknya ke kiri dan ke kanan)

Interviewer 2 : “Jadi nggak ngelakuin hobi ya?”

Interviewee : “Iya, nggak ngapa-ngapain… Lebih ke pengennya apa lakuin pada saat itu. Kayak mau, mau makan ini ya gofood ini gitu- gitu… Mau cerita sama ini ya ajak cerita, gitu aja nggak yah…

Dilakukan tiap weekend gitu terus juga...”

Interviewer 3 : “Eee, aku izin nanya ya kak. Dulu itu kakak sekolah di mana?”

Interviewee : “Sekolah…”

Interviewer 3 : “Nama SMP SMA-nya.”

Interviewee : “SMP… SMP Negeri 257 Jakarta. SMA, SMA Budhi Warman II Jakarta.”

Interviewer 3 : “Emm… Kalo semasa sekolah itu pernah ada ikut kegiatan gitu nggak?”

Interviewee : “Kalo sekolah nggak pernah, paling kalo pulang sekolah aja suka ikut ngumpul-ngumpul gitu.” (sambil menggelengkan dan menganggukkan kepala, kepala condong ke depan)

Interviewer 3 : “Terus… Jurusan apa yang pernah diambil pas kuliah?”

Interviewee : “Pas kuliah jurusan teknik informatika.”

Interviewer 3 : “Teknik informatika? Karena? Ada alasannya nggak?”

(7)

Interviewee : “Ada. Karena basic-nya di komputer pada saat itu… Karena orang tua punya usaha… Warnet, printer juga. Yaa berhubungan sama informatika.”

Interviewer 4 : “Eeee oke kak, mau nanya kak. Eeee kak A ini kalo misalkan nih dikasih kesempatan buat kuliah lagi, kak A mau ngambil jurusan apa?”

Interviewee : “Insha Allah administrasi… Yaa lebih ke administrasi binis, bisnis yahh... Karena kan punya skill dan pengalamannya, kerjanya di bidang kayak retail gitu, FnB jadi lebih ke mengasah aja lagi, siapa tau bisa punya usaha itu juga, gitu.”

Interviewer 4 : “Jadi kakak eee... Usaha yang mau ditekunin itu di bidang administrasi?”

Interviewee : “Iyaa…”

Interviewer 4 : “Kayak apa tuh?”

Interviewee : “Administrasi bisnis kayak menciptakan, mau menciptakan lapangan kerja gitu... Kayak gitu” (sambil tersenyum)

Interviewer 4 : “Oooo, keren keren... Terus apalagi yahh... Ini, oiya nama anak kakak siapa?”

Interviewee : “Namanya RAK biasa disapa K (nama anak).”

Interviewer 4 : “Sekarang dia umur berapa tuh kak?”

Interviewee : “Umurnya 3 tahun.”

Interviewer 5 : “Anaknya itu eee sehari-hari itu kegiatannya apa aja?”

Interviewee : “Eeee seperti biasa usia anak seusianya yah 3 tahun main-main sama… Yaa… Apa yang dia mau tau gitu.”

Interviewer 5 : “Atau apa kakak juga setiap kayak ada waktu luang gitu, kayak nemenin anaknya main gitu ya?”

Interviewee : “Iya itu pasti…”

Interviewer 5 : “Ooo... Iya-iya. Terus adakah tempat kayak tempat wisata yang sering dikunjungin sama anaknya?”

(8)

Interviewee : “Kalo anak aku sukanya ke playground, playground yang di mal- mal gitu. Paling setiap kalo weekend kalau atau lagi pengen ya ke situ pasti, selalu dia seneng kalo ke situ.”

Interviewer 5 : “Sama siapa aja? Maksudnya kayak berdua sama anak atau ada lagi kah?”

Interviewee : “Kadang kalo mau berdua, berdua… Kami naik gocar. Kadang kalo mau ajak mama, ajak mama, neneknya.”

Interviewer 6 : “Eeee... Apa yang paling kakak nikmati hubungan kakak dengan anak kakak? Eee kayak kan kalo misalkan liburan tadi apa namanya, eee...”

Interviewee : “Ke playground?? Heeh…”

Interviewer 6 : “Oooo oke... Eee... Terus ada nggak sih kendala kakak selama mengasuh anak selama jadi single parent? Apalagi kan kalo sama ada apa namanya… Ada pasangan aja kan susah gitu yah apalagi sendiri gitu kan… Mungkin ada?”

Interviewee : “Sulit yahh… Karna kan membesarkan anak sebenernya peran laki-laki dan perempuan itu punya perannya masing-masing, apalagi sekarang eee... Aku tuh menyambi 2 peran sekaligus, ituh sulit yah...” (tangan kanan dimasukkan ke dalam kerudung) Interviewer 6 : “Eee kakak sekarang ini kerja nggak? kalo ada, kalo boleh tau,

apa… Kerja apa?”

Interviewee : “Waktu sebelum kecelakaan itu kerja, kerja di Cikarang aku kerja sebagai PPIC staf atau staf admin PPIC di salah satu perusahaan di Cikarang.”

Interviewer 6 : “Ooh trus itu kondisi lingkungan itu gimana kerjanya?”

Interviewee : “Kondisi lingkungan kerjanya, eeeh… Enak ya cozy karena di situ kita kan di kantor ya, jadinya… Yaa… Fokus sama pekerjaan nya masing-masing aja gitu. Positif sih lebih ke mikirin perkembangan perusahaan itu pabrik itu.” (kedua tangan ke kiri kanan)

Interviewer 6 : “Itukan pekerjaan sebelumnya ya, sekarang belum kerja lagi?”

(9)

Interviewee : “Iya belum kerja lagi.” (mengangguk)

Interviewer 6 : “Eee… Ada niatan ini nggak, mau apply kerja di mana?”

Interviewee : “Iya mau kerja lagi. Ke FnB lagi, karena skill-nya di situ…

pengalamannya di situ.” (mengangguk)

Interviewer 7 : “Trus gimana sih kakak bisa menjaga keseimbangan antara, ee keluarga dan waktu pribadi. Sebelumnya kan juga kakak pernah bilang ada pekerjaan gitu. Bagaimana kakak bisa menyeimbangkan waktunya gitu… Antara keluarga dan pekerjaan kakak?”

Interviewee : “Kalau saat kerja, karena pada saat itu di Cikarang yah untuk ke Depok itu kan jauh, jadi pada saat itu ngekos itu, 6 hari kerja itu saat hari libur. Nah satu hari liburnya itu aku pakai buat pulang ke Depok, buat eeee keluarga… Family time aja paling gitu aja…

Nyempetin.” (tangan kanan memijat telunjuk kanan, tangan bersilang sambil menunjuk, tangan ke kanan dan kiri)

Interviewer 7 : “Bolak-balik ya kak jadinya? Kalo Sabtu.”

Interviewee : “Heeh iya gitu bolak-balik.” (mengangguk)

Interviewer 7 : “Kalau boleh tau berarti kakak i, eee, ini udah masuk agak, hehe, berat dikit kak maaf, kalau boleh tau berarti kakak pernah bertemu dengan mantan suami itu di jenjang apa?”

Interviewee : “Di jenjang apa… SMP, pada saat pertama ketemu itu SMP…

Lalu di… Ada space ketemu lagi SMA kelas 3, lebih intensnya di SMA kelas 3.” (tangan kiri memijat telunjuk kanan, menyilangkan tangan, menemukan kedua kepalan tangan, menumbuk kedua tangan berbentuk batu)

Interviewer 7 : “Waktu itu dipertemukan… Dipertemuannya gimana gitu?

Apakah secara nggak sengaja, diperkenalkan, atau mungkin tergabung dalam kelas yang sama, komunitas yang sama, terus seperti apa, kak?”

Interviewee : “Pada saat itu karena, ee, ada jarak cukup lama yah, nggak ketemu lagi dari SMP ke SMA, jadi kenalnya lewat medsos dulu.

(10)

Iya, lewat medsos dulu terus ada janjian buat ketemu, kita ketemu itu pertama kali… Eee… Nonton bioskop. Iya… Itu ketemu lagi setelah jarak dari SMP ke SMA, first time ketemu lagi.”

(mengangguk)

Interviewer 7 : “Okeh. Terus bagaimana sih pandangan kakak akan mantan suami kakak kala itu?”

Interviewee : “Kala pertem- pertama bertemu?”

Interviewer 7 : “Iya kala pertama bertemu...”

Interviewee : “Bagaimana… Saya melihat dia itu… Pada saat itu, kan melihatnya cuma kayak bisa melihat kebaikannya aja yah, karena kan usia segitu pengennya senang-senang ya kan. Ya udah ketika saya senang dia senang ya udah senang aja ngeliat semuanya di dalam diri dia itu full kebaikan. Karena dia juga berusaha buat saya bahagia juga, pada saat itu… Melihatnya, positive vibes aja.”

(memegang interviewer yang berada di sampingnya)

Interviewer 8 : “Ehem, izin tanya ya A… Bagaimana hubungan K dengan mantan suami sebelum pisah dan after divorce. Hubungannya kayak gimana?"

Interviewee : “Sebelum divorce? Atau cerai?”

Interviewer 8 : “Iya dijelasin.”

Interviewee : “Iyaah, sebelumnya baik, baik aja ya sebagaimana hubungan anak sama seorang bapak. Ketika bapaknya sudah selesai bekerja lalu ada waktu buat anaknya ya seperti itu… Bermain bersama…

Bercanda seperti itu, seperti anak sama bapak aja gitu. Lalu setelah divorce… Mungkin karena ego masing-masing yah, nggak tau ego masing-masing atau… Ee, kesibukannya masing- masing… Karena, beda, punya, kesibukan masing-masing, jadi lebih jarang sih… Lebih jarang anak buat sama ayahnya…

Mungkin butuh... Waktu yang teppat juga, kadang kan waktunya nggak tepat, mungkin… Ya itu tadi, keegoisan, masih ada

(11)

keegoisan masing-masing dari saya sama mantan suami.” (tubuh condong ke arah kiri, tangan mengangkat ke arah dada)

Interviewer 8 : “Umm, berarti untuk saat ini belum ada, nggak ada rutin komunikasi via call, atau videocall gitu… Antara anak kamu sama mantan suami?”

Interviewee : “Kalo… Hubungan baik itu pasti se... Seorang ibu pengen yah…

Pengen... Tetapi, ya itu tadi mungkin ada... Masih ada... Aaa tanda kutip kegeo aaa keegoisan masing-masing. Mungkin dari suaminya, mantan suami saya sendiri mungkin… Lebih milih kehidupannya yang sekarang mungkin. Jadi… Ya se...

Sesempatnya aja melalui call gitu. Bertemu juga sesempatnya mantan suami aja ketika mau ketemu ya ketemu. Nggak ada, nggak ada yang… Seorang ibu nggak mungkin ingin melepas, atau melupakan peran ayah buat anaknya gitu, karena anak juga butuh peran itu. Gitu sih... Nggak, enggak yang… Nggak yang melarang-larang gitu enggak.” (sambil mengangguk-angguk sesekali, tubuh merendah dan mencondong ke arah kiri bawah) Interviewer 8 : “Emm, berarti untuk saat ini tuh nggak ada yang kayak, ee...

Komunikasi rutin ya?”

Interviewee : “Kalo rutin nggak ada. Lebih ke... Kalo ayahnya mau ke rumah, bertemu, silakan gitu.” (sambil mengangguk cepat)

Interviewer 8 : “Jadi... Berarti kamu nggak memaksakan si mantan ya untuk ketemu gitu. Jadi kayak udah terserahnya dia aja gitu?”

Interviewee : “Iya, lebih ke ee, gimana enaknya… Dia aja kalo, kalo... Mood- nya juga nggak enak kan nanti suasananya juga jadi nggak enak kan, gitu… Jadi lebih ke... Sama-sama enak aja.” (sambil tersenyum)

Interviewer 8 : “Terus ee, biasanya kan kita setiap hari pasti bakal ngalamin stres ya, karena setiap hari itu bak, akan ada aja stresor-stresor yang datang gitu loh. Nah, gimana sih cara kamu ngatasin stres dan, atau pressure dalam kehidupan sehari-hari?”

(12)

Interviewee : “Um… Me-time yah, setiap perempuan kan pasti me-time, butuh me-time. Lebih ke… Ya gimana, apa yang membuat kita bahagia, apa yang membuat ee kita senang pada saat itu, ya… Lakukan aja.

Kayak misalnya, pengennya nulis, ya nulis. Aaa, apa yang dirasain, ditulis. Atau pengennya keluar, pengen nyalon, nail-art atau eyelashes. Ya pokoknya hal-hal yang membuat kita jadi bangga sama diri kita sendiri dan aaa buat kita kayak… Lebih, lebih… ProudProud of myself aja gitu trus nanti buat ngejalanin hari-hari berikutnya, lebih baik lagi gitu.” (tubuh membusung tinggi atau menegak, tangan gestur menjelaskan) Interviewer 1 : “Emm... Kalau misalnya...”

Interviewer 8 : “Tunggu, belum. Terus, eeee, gimana cara kamu nemuin dukungan untuk menghadapi kesulitan atau tantangan selama masa sulit kamu? Apakah di sekitar kamu tuh banyak orang yang sadar kalau kamu emang lagi nggak baik-baik aja, banyak yang peduli, kah? Atau kamu yang nyamperin mereka untuk meregulasi atau gimana?”

Interviewee : “Alhamdulillah-nya… Terlahir di keluarga yang eeh mempunyai rasa perduli… Sesama gitu. Jadi terkadang kalau misalnya, lagi nggak baik-baik aja bisa langsung curhat sama orang tua, terutama mamah atau mungkin lagi nggak pengen ditanya, mereka yang nanya gitu masuk kamar… ‘Ada apa? Kenapa? Ada yg mau diceritain nggak?’ Alhamdulillah-nya ada sii, ada dari orang tua... orang terdekat sendiri yaa... Harus itu.” (sambil mengangguk dan kepala mengarah kepada interviewer 7)

Interviewer 7 : “Maaf kak kalau dari mertua sendiri… Eeehh agak… Eehh cukup deket nggak sama kakak?”

Interviewee : “Kalau mertua karena mertuanya eeh sisa satu karena yang ibu udah meninggal jadi ke bapak mertua… Adaaa, cuman nggak yang terlalu intens banget kayak seorang anak sama bapaknya jadi yaa, sebelumnya kan saya orang lain gitu kan, jadi yaa biasa

(13)

aja nggak terlalu dekat. Karena kalau mau deket juga itu kesadaran masing-masing kan, mau, mau deket atau nggak gitu, tapi kalo dari sayanya sendiri si udah effort udah berusaha untuk deket gitu, lebih ke yang lawan lawan yang ini itu mau deket atau nggak.” (tubuh condong ke depan)

Interviewer 5 : “Bapaknya keliatan kayak mau juga deket atau nggak?”

Interviewee : “Eeeehh karena kerja yah, jadi… Setiap kerja itu subuh pulangnya malem jam 8 jadi waktu buat ngobrolnya juga dikit mungkin dari waktu itu juga susah buat deket ya.”

Interviewer 8 : “Berarti waktu kamu masih tinggal sama kamu tinggalnya?”

Interviewee : “Tinggal sama mertua.” (sambil mengusap kedua telapak tangan) Interviewer 8 : “Ohh nah berarti, pas tinggal itu kamu bener-bener sendiri ya di

rumah?”

Interviewee : “Iya sendiri sama anak, di rumah. Karena suami sama mertua kerja.”

Interviewer 8 : “Dari kapan tuh sendirinya?”

Interviewee : “Sendirinya… Sejak nikah, nikah juga di situ sendiri.” (sambil mengangguk-angguk)

Interviewer 7 : “Kerja apa kak, kalo boleh tau suaminya?”

Interviewee : “Suami kerjaa jadi drafter. Drafter itu yang menghitung kayak RAB gituu, Rencana Anggaran Biaya buat eeeh proyek-proyek yang dia buat gituu.”

Interviewer 7 : “Sip, berarti memang pulangnya pun sama malem juga?”

Interviewee : “Malem juga.”

Interviewer 7 : “Terus ketika berhubungan dengan mantan suami, eehhh menurut kakak gimana sih perasaan dari eehh K kan ya tadi kan ya?

Interviewee : “Iya K.”

Interviewer 7 : “Iyah, apa dia kayak, seneng juga ketika disamper bapaknya?”

Interviewee : “Seneng, pasti seneng ya namanya anak, udah maksudnya nggak ketemu tiap hari yang biasanya anak-anak lain ketemu sama ayahnya tiap hari, yaaa disela-sela hari yang nggak ketemu itu dia

(14)

pasti selalu nanyain ‘ayah mana? Ayah gimana mah?’ Gituu. Jadi ketika dia melihat ayahnya ‘ohh ada ayah maah’ gitu seneng gimana gitu, ya seneng aja gitu. ‘Ayah apa kabar?’ Kayak gitu”

(tubuh menegak dan menganggukkan kepala)

Interviewer 8 : “Tapi kalo… K ketemu sama… Mantan suami… Ehh apa yang dia lakuin? Ada dia meluk kah atau langsung nyamperin?”

Interviewee : “Iyaa. Pasti karena nggak, nggak sering ketemu pasti hal-hal kayak gitu kan harus ya? Anak udah punya kayak instingnyaa sendiri buat meluk ayahnya. ‘Oh ini ayah aku niih’ kayak seneng, meluk terus ngajak naik motor, keliling-keliling hal yang nggak dia dapatkan di setiap hari gitu, ya instinct mungkin insting anak sama ayahnya ee... Kuat ya, gitu… Gitu aja… Ada, ada... Pasti ada.” (tubuh berjingkat sedikit ke belakang, kemudian mengangguk)

Interviewer 1 : “Terus misalnya kalo K lagi sama ayahnya, ada nggak eee... Kalo misalnya lagi sama ayahnya itu nggak mau diambil gitu sama ibunya? pengennya sama ayaaahh mulu, nggak mau le, nggak mau dilepas gitu.”

Interviewee : "Iyah, ada… Kadang kalo ayahnya main terus mau pulang aja dia pasti selalu menahan ayahnya buat pulang. Kayak ‘nggak, nggak usah, nggak boleh pulang ayah’, gitu. Pasti selalu ada face buat eee... Nangis, gitu dia nangis kayak ngelepas ayahnya lagi tu berat, yah… Gitu.” (mengangguk, menggenggam ibu jari kakinya) Interviewer 1 : “Dan itu sering berarti ya kak?”

Interviewee : “Iya setiap ketemu...”

Interviewer 8 : “Kalo boleh tau gimana respon… Ayahnya K pas ketemu K? Kan sekarang K udah gede, terus tumbuhnya juga ngga… Bareng sama mantan.”

Interviewee : “Iya… Responnyaaa… Sedih sih pasti. Kadang dia juga bilang

‘sedih ya nggak bisa bareng terus-terus sama K...’ Kadang… Dia bilang kayak gitu. Ya ada rasa penyesalan mungkin dari… Waktu

(15)

ya, waktu yang menyadarkan itu kan, jadinya ya… Yaudah…

Sudah terjadi ya… Jalanin aja. Tapi, masih ada rasa peduli, hati nuraninya masih ada lah, namanya manusia.” (tangan kanan memijat bahu sebelah kiri kemudian memegang pergelangan kaki)

Interviewer 8 : “Jadi dia juga sering nanyain K? Sering nggak kek misalnya

‘sekarang K udah bisa apa?’ Atau ‘perkembangannya gimana?’”

Interviewee : “Tiap ketemu pasti selalu begitu kok… Nanyain ‘K udah bisa apa?’ Perkembangan K… Di usianya sudah tepat atau belum…

Care kok.” (melilitkan jarinya pada pita pakaiannya, membersihkan bagian matanya)

Interviewer 7 : “Berarti untuk sekarang pengasuhan full di kakak aja?”

Interviewee : “Iya.”

Interviewer 7 : “Sama orang tua kakak.”

Interviewee : “Iya.”

Interviewer 7 : “Nggak ada pergantian, misalnya, seminggu K sama bapaknya atau nggak… Mungkin....”

Interviewee : “Mungkin untuk sekarang belum ya karena masih umur 3 tahun, mungkin nanti eee... Untuk ke depannya ketika dia sudah belajar mulai mengerti mungkin ada, nanti… Pasti ada…”

Interviewer 2 : “Oh iya aku mau nanya kak, kalo si K ini udah dimasukin ke kayak PAUD gitu belum? Atau Bimba-AIUEO”

Interviewee : “Kalo umur 3 tahun ini belum, mungkin kalo nanti… 4 tahun atau jalan 5 tahun mauu… Ada sih, pendidikan buat umur segitu ada…

Udah planning… Biar… Karena akunya juga sibuk kerja, mungkin biar ada kegiatan juga K-nya, jadi dia belajar juga, lingkungan… Nanti ada… Di sekitar umur 4 mau jalan 5 tahun.”

(mengangguk-angguk)

Interviewer 1 : “Eee… Mau izin nanya lagi nih kak, tadi yang pas ee… Kakak ee… Kecelakaan itu kalo boleh tau kecelakaannya gim, ee, apa ya?”

(16)

Interviewee : “Kecelakaan tunggal, di bagian lengan… Ini… Di pen, pasang pen” (menunjukkan lengan bagian kiri)

Interviewer 1 : “Iya.”

Interviewee : “Patah kan, patah tulang. Jadi, pada saat itu pulang kerja eee…

Nggak tau mungkin karena trauma kecelakaan jadi nggak inget secara seg, ee, signifikan kenapa bisa jatohnya, tiba-tiba udah di… Eee… IGD itu, UGD itu kan... Udah dipenuhin ojol-ojol yang nolongin. Yaa… Patah tulang.” (melambaikan tangannya seolah menggambarkan suasana rumah sakit, mengusap bahu dan lengan sebelah kiri kemudian menyeka mata)

Interviewer 1 : “Eee… Sekarang kan kakak lagi suka ikut webinar-webinar gitu ya kak?”

Interviewee : “Iya.”

Interviewer 1 : “Nah itu kalo misalnya kakak ikut, ikut webinar temanya, yang sering kakak ikuti tentang apa?”

Interviewee : “Kesehatan mental kali yah…” (sambil condong ke depan) Interviewer 1 : “Oh, iya…”

Interviewee : “Iyaa… Terus sama juga, karena mendidik anak sendiri yah…

Tentang, parenting juga… Terus buat… Emm… Manfaat jangka ke panjangnya juga, kayak karier gitu skill… Yaa tentang gitu- gitu aja yang bermanfaat…” (sambil memijat bahu kiri menggunakan tangan kanannya yang berada di balik kerudung) Interviewer 1 : “Ada nggak kak, kayak… Tokoh-tokoh atau misalnya pemateri

webinar yang kakak suka banget nih, suka ikutin kalau misalnya pematerinya dia pasti diikutin gitu… Atau bebas yang penting, eeh, temanya parenting, temanya tentang kesehatan mental yaudah ikutin mau siapa aja pematerinya bebas gitu…”

Interviewee : “Iyah… Lebih ke siapa aja pematerinya diikutin…” (sambil berkali-kali menganggukkan kepalanya)

Interviewer 1 : “Oh, iyaa… Berarti lebih ke temanya apa gitu yah?”

Interviewee : “Heem.” (sambil mengangguk)

(17)

Interviewer 1 : “Terus… Emm… Kalau misalnya tadi kan kakak bilang kalau misalnya habis pulang sekolah suka ngumpul. Nah itu kalau ngumpulnya, berarti sama temen sekelas, atau… Temen satu sekolah, atau ada yang di luar sekolah? Terus, em, ngumpulnya di situ biasanya ngapain aja kak?”

Interviewee : “Temen sekelas yah… Lebih ke temen sekelas, karna tiap hari ketemu, kita ngumpul paling dii… Ya ganti-gantian kadang di rumah ini, rumah itu kita kegiatannya… Yaa… Explore aja apa yang kita pengen tau gitu...” (sambil beberapa kali mengangguk dan menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri saat bercerita ini dan itu)

Interviewer 1 : “Sharing sharing gitu ngobrol biasa berarti.”

Interviewee : “Heem sharing sharing iyaa… Masak-masak jugaa…” (sambil condong ke depan dan mengangguk-angguk)

Interviewer 1 : “Heem heem…”

Interviewer 6 : “Kak, aku boleh nanya?”

Interviewee : “Iya boleh kak.” (sambil menoleh ke arah interviewer yang bertanya dan mengangguk)

Interviewer 6 : “Eeh, kan kakak sekarang tinggalnya sama orang tua yah...”

Interviewee : “Betul.” (sambil mengangguk)

Interviewer 6 : “Ada nggak niatan untuk tinggal sendiri gitu mungkin, sama anak kakak doang gitu atau gimana?”

Interviewee : “Tinggal sendiri… Pada saat itu, ada… Maunya tinggal berdua sama anak, ada… Tapi karna keadaan sekarang, eeeh… Mungkin, impian untuk tinggal berdua sama anak itu dikesampingkan dulu.

Jadi sekarang tinggal sama orang tua…” (sambil beberapa kali menganggukkan kepalanya)

Interviewer 3 : “Aku mau nanya deh… Tadi kan sebelum kecelakaan kakak bilang kerja di Cikarang yah...”

Interviewee : “Iya betul” (sambil menoleh ke arah interviewer yang bertanya dan mengangguk)

(18)

Interviewer 3 : “Itu di Cikarang mananya? Kebetulan aku juga di Cikarang.”

Interviewee : “Oh iya.”

Interviewer 3 : “Itu di PT apa?”

Interviewee : “Itu di PT Citra Promindo Jaya, itu di Cikarang Utara kak…”

(sambil menganggukkan kepalanya dan menjauhkan badannya dari arah interviewer yang bertanya)

Interviewer 3 : “Ooh…”

Interviewee : “Iya…”

Interviewer 3 : “Itu di bagian apa itu?”

Interviewee : “Bagian… Eehh… Perusahaannya?” (Sambil agak memiringkan kepalanya)

Interviewer 3 : “Heeh kakak, ininya, ngejabatnya… Eh, apa sih, kerjanya itu”

Interviewer 6 : “Posisinya.”

Interviewee : “Ooh kerjanya…”

Interviewer 3 : “Posisinya.”

Interviewee : “Iyah, staf PPIC tadi… Dia jobs deks buat… Kayak lebih ke…

Mengutamakan produksi yah, bagaimana jalannya suatu produksi agar berjalan dengan baik, sampai ke tahap finishing… Di akhirnya itu… Diterima customer itu, baik gitu” (sambil mengayunkan kedua tangannya yang bersatu dari sebelah kirinya ke sebelah kanannya)

Interviewer 6 : “Kakak kan tadinya pengennya di FnB yah...”

Interviewee : “Iyah.” (sambil condong ke depan dan mengangguk)

Interviewer 6 : “Ada, maksudnya pengen nyoba hal lain gitu nggak kerja di mana gitu...”

Interviewee : “Pengeenn...” (sambil sedikit memiringkan kepalanya ke arah kiri dan mengangguk)

Interviewer 6 : “Apa tuh?”

Interviewee : “Mungkin nanti ketika sudah mempunyai, eeeh, skill baru kali yah… Untuk saat ini skill-nya masih ada di situ, mungkin ke situ

(19)

aja dulu…” (sambil menghadapkan kepalanya ke arah interviewer yang bertanya dan mengangguk)

Interviewer 6 : “Iya… Heeh… Jadi kalau mau yang lain gitu apah?”

Interviewee : “Kalau mau yang lain itu… Apa ya… Pengennya sih di rumah aja, kerjanya di rumah, lewat rumah, kayak… Punya bisnis, gitu”

(sambil melihat ke arah kanan bawah dan kemudian mengembalikan pandangannya ke interviewer yang bertanya) Interviewer 6 : “Ooh punya bisnis...”

Interviewee : “Iya pengen.” (sambil mengangguk dan memiringkan kepalanya ke arah kanan)

Interviewer 6 : “Jadi foodvlogger bisa kali yah hahahaha...”

Interviewee : “Gitu… Iyaa...”

Interviewer 6 : “Foodvlogger heheheh...”

Interviewee : “Vlogger yah… Single parent eheheh…” (sambil tertawa menatap ke arah beberapa interviewer lainnya)

Interviewer 8 : “Kalau boleh tau… Eehm, kamu… Tahun apa, bulan apa… Kah divorce-nya?”

Interviewee : “Untuk… Sidangnya itu… Bulan Desember tahun lalu yah, 2022… Kalau secara, pisahnya itu sudah dari awal tahun… Pisah rumah ya, pisah ranjang itu udah dari, t, awal tahun 2022… Tapi untuk di sidangnya, dan keputusan sudah bercerainya itu Desember 2022.” (sambil beberapa kali mengangguk dan menatap beberapa interviewer lainnya secara bergantian)

Interviewer 1 : “Emm kalau misalnya kakak nikahnya itu ee masih inget nggak kak? Tanggal, bulan, tahun?”

Interviewee : “Nikahnya inget.” (sambil mengangguk kecil) Interviewer 1 : “Eee… Itu bulan yaa...”

Interviewee : “Tanggal… Tanggal… 14 Desember 2019…”

Interviewer 1 : “Kalau misalnya pas kakak eee punya anak itu berarti eee berapa tahun setelah pernikahan?”

Interviewee : “Desember ke… Januari… Sebulan...”

(20)

Interviewer 1 : “Wow berarti eee sebulan pernikahan… Eh ehehe apa sih apa.”

Interviewer 5 : “Berarti anaknya lahirnya tuh Januari 2020?”

Interviewee : “Lahirnya September 2020.”

Interviewer 1 : “Oohh iya, iya...”

Interviewer 6 : “Kenapa milih di tanggal itu kak?”

Interviewee : “Ga… Kan nggak...”

Interviewer 6 : “Biasanya kalo nikah ada alasannya kan… Desember gitu… Apa karena mau deket tahun baru sekalian gitu… Desember kan?”

Interviewee : “Iya… Desember.”

Interviewer 5 : “Yaa nikah aja kali ya...”

Interviewee : “Iyaa...” (sambil mengangguk, menundukkan kepala, dan mencondongkan badannya ke depan)

Interviewer 1 : “Hehehehe... Oiyaa eee… Eee kalo misalnya eee kakak pasti nih emm sekarang udah punya anak eee apa cita-cita terdekat kakak yang mau kakak capai atau eee jangka panjang? Ada nggak kak?

Boleh diceritain mungkin.”

Interviewee : “Cita-cita?”

Interviewer 1 : “Iyaa… Cita-cita terdekat dan jangka panjang.”

Interviewee : “Cita-cita terdekat… Mau kuliah lagi yah… Buat nambah…

Value… Karena, apa yang saya rasakan saat ini adalah berdiri di kaki sendiri, jadi bagaimana saya bisa kuat bertahan sama anak…

Untuk jangka panjang nanti nemenin dia… Jadi bisa maksudnya kayak kebutuhannya ada gitu dari kuliah...” (mengeluarkan tangan dari kerudung, menyilangkan tangan, dan menarik tangan ke dada)

Interviewer 1 : “Iyaa… Eee terus nanti kan kakak juga pengen buka bisnis gitu ya kak, tadi tujuannya biar bisa buka lapangan pekerjaan buat orang, nah kenapa kepikirannya kesitu kak? Pemikirannya itu emm bisa buat lapangan pekerjaan buat orang lain gitu, eee tapi kan ada juga mungkin beberapa yang ee buka bisnis biar gua kaya, tapi kakak beda gitu… Pengennya bisa ee buat lapangan

(21)

pekerjaan buat orang lain gitu, jadi bukan mikirin diri sendiri mikirin orang lain, itu kenapa kakak bisa punya pikiran kayak gitu?”

Interviewee : “Yaa… Lebih ke situ bener… Buat eee… Bermanfaat buat orang lain aja kayak disela punya kesi, eee punya bisnis sendiri juga bisa bareng sama anak terus kan… Jadi ya InsyaAllah kalo ada rezekinya… Mau kayak gitu, sama-sama punya manfaat buat aku sama orang lain… Berikan manfaat yang baik...”

Interviewer 5 : “Jadi bos nanti ya, punya anak buah gitu...”

Interviewee : “Iyaa” (memiringkan badan dan kepala ke samping kiri) Interviewer 1 : “Bussiness woman...”

Interviewer 9 : “Eee kakak mungkin ada nggak pengalaman yang membekas?

Bisa di sharing mungkin dalam hidup kakak.”

Interviewer 5 : “Yang bermakna, yang bermakna gitu...”

Interviewee : “Iyaa...”

Interviewer 9 : “Dan mungkin bisa kasih saran begitu.”

Interviewee : “Sarannya...”

Interviewer 9 : “Pelajaran hidup.”

Interviewee : “Pelajaran hidup… Pelajarannya lebih ke… Memberikan yang terbaik aja, kayak misalnya sebisa mungkin saat ini, hari ini lakukanlah yang terbaik, buat misal lagi kuliah, kuliah yang baik eee menjadi eee kerja, kerja yang baik, punya peran sebagai istri eee dilakukannya dengan... Baik, eee sebagai suami juga seperti itu, pokoknya apa pun itu berikan aja ee yang terbaik. Hasilnya maupun itu… Eee negatif atau positif, setiap eee hasil itu memberikan pelajaran masing-masing… Jadi ya itu aja, berikan aja yang terbaik buat… Sekitar.” (tangan kanan memegang pergelangan tangan kiri, jempol tangan kanan naik turun dan maju mundur)

Interviewer 1 : “Kalau misalnya saran nih buat kami-kami yang belum, yang belum nikah, ada nggak saran-sarannya kak?”

(22)

Interviewee : “Yang belum nikah… Saat ini eee kegiatannya kuliah eee, kuliah aja fokus kuliah ee manfaatkan ee waktu kuliah dengan baik…

Kalau memang sudah saatnya untuk eee ‘oh gua buttuuh se- support sistem nih punya pacar gitu, ya pacar aa... Menjalin hubungan aja dengan... Baik, dengan positif gitu. Kalau misalnya sekiranya mengganggu kegiatan kuliahnya yaa… Eee… Ya di skip gitu, yep sama-sama saling eee memberikan support yang baik gitu, terus juga… Eumm... Bisa menilai pasangannya... Itu..

Nggak asal... Eee... Menilai ‘ouw dia baik nih’ gitu, karena ya memang setiap manusia punya kekurangaan, yaa tapi ada yang kekurangan yang haruss digaris bawahi, jangan… Jangan kaya dibenar... Dibenarkan kekurangannya ituu gitu, karena kan kita juga manusia makhluk berproses ya, masa mau ee... Nggak mau berproses di masalah... Masalahnya tuh masalah itu-itu aja kan nggak mungkin ya pasti... Eee... Pengennya tuh ya baik aja kedepannya.” (mengepalkan kedua tangan dan melakukan gerakan memutar kedua tangan)

Interviewer 8 : “Mungkin maksudnya biar bisa bertumbuh bersama gitu kali ya?”

Interviewee : “Iya, betul.”

Interviewer 8 : “Kalau punya pasangan?”

Interviewee : “Ya karna kalau nikah kan... Sakral yah ss... Maunya juga semua orang tuh nikah satu kali seumur hidup... Jadi nggak sembarang orang bisa di… Ajak buat satu kali seumur hidup... Gitu aja, jadii eee... Puas-puasinlah bahasanya sama diri sendiri, nanti kalau udah ngerasa puass baru... Menikah. Karena nggak banyak eee...

Ee.. banyak... Problem di nikah terutama, di pernikahan saya juga... Salah satunya... Merasa belum puas dengan ee... Diri sendiri… Jadi ketika nikah... Kepuasan itu malah dipake... Yang seharusnya buat fokus keluarga malah mentingin diri sendiri gitu... Gitu aja sih, lebih kenal diri sendiri aja, puas-puasin lah, nanti kalau udah rasanya udah capeek ‘ow gua butuh eeee...

(23)

Pasangan nih... Buat misalnya kalo cowo mauu ngajak perempuannya plan ke sini sini sini. Kalau cewe mau ada sandaran... Juga yaudah kalau udah siap yaudah gitu, cuma ya persiapan nya itu masih banyak yang harus di… List maksudnya gimana ya...” (sambil melakukan gerakan tangan dan jempol tangan kanan menyeka mata)

Interviewer 8 : “Mungkin maksudnya sebelum menikah itu, nggak cuma kepengen ajaa...”

Interviewee : “Iyaa betuul.”

Interviewer 8 : “Tapi... Menurut kamu mungkin... Harus siap secara finansiaall...”

Interviewee : “Nah betul. Mental.”

Interviewer 8 : “Mentaall...”

Interviewee : “Itu paling penting.”

Interviewer 1 : “Ya berarti tadi yang mengeksplor diri sendiri, kita harus tau juga kekurangan kita, kelebihan kita, jadi dengan kita tau mungkin kekurangan dan kelebihan kita, kita bisa juga ee menyesuaikan calon suami yang kaya gimana nih yang aku butuhin, bukan cuma yang asal cinta doang mungkin yaa.”

Interviewee : “Betuull...” (mengangguk dan mengacungkan jempol) Interviewer 4 : “Bukan yang diinginkan tapi yang dibutuhkan ya?”

Interviewee : “Asiiik hehehe.”

Interviewer 1 : “Oke terima kasih banyak kak atas ee waktunya, tenaganya...”

Interviewee : “Yah, terima kasih kembali.”

Interviewer 1 : “Udah mau menyempatkan di sini, dan temen-temen ada yang mau ditanyain lagi? Cukup?”

Interviewer 7 : “Makasih kak atas sharing-nya.”

Interviewee : “Sama-samaa.”

Interviewer 1 : “Semoga dengan sharing-nya bisa bermanfaat juga buat kita, ada pelajaran yang bisa diambil, dan... Sukses terus buat kakaknya.”

Interviewer 4 : “Makasih.”

(24)

Interviewer 1 : “Makasih banyak, mohon maaf kalau kami ada salah kak, hehehe, seneng banget bisa ketemu sama kakak, semoga di lain kesempatan bisa ketemu lagi.”

Interviewee : “Aamiin.”

Interviewer 1 : “Misalnya hang-out bareng atau gimana. Wassalamu’alaykum warrahmatullahi wabarakatuh.”

Interviewee : “Wa’alaykumussalaam.”

Keterangan Interviewer : Interviewer 1 : Mellissa

Interviewer 2 : Choirunnisa Ayu Pratiwi Interviewer 3 : Azzahra Fanny Putri

Interviewer 4 : Bunga Cantika Sephia Cahaya Interviewer 5 : Nadia Salsabila

Interviewer 6 : Naswa Dwiputri Sherylia Interviewer 7 : Anggita Rachmawati Dimyati Interviewer 8 : Serlyta Eka Fitriani

Interviewer 9 : Rayhan Hanif

(25)

22

(26)

23

Menurut Kassin dkk. (dalam Maryam, 2018), konsep diri (self- concept) merupakan komponen kognitif mengenai diri seseorang, yang merujuk pada keseluruhan keyakinan individu tentang dirinya. Menurut Brehm dan Kassin (dalam Maryam, 2018), konsep diri merupakan keyakinan individu tentang atribut yang dimilikinya. Menurut Hazel Markus serta Kassin dkk. (dalam Maryam, 2018), konsep diri terdiri dari komponen kognitif (self-schemas), yaitu keyakinan individu tentang dirinya sendiri yang memandu pemrosesan informasi yang relevan dengan dirinya.

Menurut Kenrick dkk. (dalam Maryam, 2018) menyatakan bahwa konsep diri merupakan sebuah representasi mental yang menggambarkan pandangan dan keyakinan individu tentang dirinya sendiri. Sementara itu, Aronson, Wilson, Akert, dan Sommers (2016) mendefinisikan konsep diri sebagai keseluruhan rangkaian keyakinan yang dimiliki orang tentang atribut pribadi mereka. Menurut Rahman (2020), konsep diri adalah kumpulan pengetahuan terkait diri sendiri yang selanjutnya diorganisasikan sehingga membentuk suatu konsep nyata tentang diri sendiri.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsep diri merupakan serangkaian keyakinan dan kumpulan pengetahuan yang dimiliki oleh individu berkaitan dengan atribut pribadi mereka sebagai representasi mental akan bagaimana seseorang mengorganisasikannya dalam bentuk konsep nyata tentang dirinya sendiri.

2. Aspek

Menurut Robinson dalam Heidemans (dalam Putra & Usman, 2019) mengemukakan bahwa konsep diri tersebut dibagi ke dalam lima aspek, yaitu:

(27)

a. Diri fisik, merupakan bagaimana seseorang itu melihat dan menilai dirinya sendiri dari segi fisik, kesehatan, penampilan, dan gerak motoriknya.

b. Diri keluarga, merupakan bagaimana seseorang tersebut menilai sebagai anggota keluarga dan harga diri sebagai anggota keluarga.

c. Diri pribadi, merupakan bagaimana seseorang menggambarkan identitas dirinya dan menilai dirinya sendiri.

d. Diri moral etik, merupakan bagaimana perasaan seseorang mengenai hubungannya dengan Tuhan dan penilainya mengenai hal-hal yang dianggap baik dan buruk.

e. Diri sosial, merupakan bagaimana seseorang melakukan gabungan atau interaksi sosial.

3. Faktor yang Mempengaruhi

Calhoun dan Acocella (dalam Putra & Usman, 2019) mengemukakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi konsep diri seseorang adalah orang tua, teman sebaya, masyarakat, sedangkan Rais dalam Gunarsa (dalam Putra & Usman, 2019) menjelaskan bahwa faktor- faktor yang dapat mempengaruhi konsep diri adalah jenis kelamin, harapan- harapan, suku bangsa, nama dan pakaian. Pendapat lain disampaikan oleh Argy (dalam Putra & Usman, 2019) mengemukakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi konsep diri adalah reaksi orang lain, perbandingan dengan orang lain, peranan seseorang, dan identifikasi terhadap orang lain.

a. Orang Tua

Orang tua adalah kontak sosial yang paling awal dan paling kuat.

Apa yang dikomunikasikan oleh orang tua pada anak lebih menancap daripada informasi lain yang diterima sepanjang daur kehidupannya.

Orang tua mengajarkan bagaimana menilai diri sendiri dan orang tua yang lebih banyak membentuk kerangka dasar untuk konsep diri tersebut. Pola asuh orang tua menjadi faktor yang signifikan dalam membentuk konsep diri seseorang. Sikap positif orang tua akan menumbuhkan konsep pemikiran yang positif serta sikap menghargai

(28)

diri sendiri. Sikap negatif orang tua akan mengundang pertanyaan pada anak dan menimbulkan asumsi bahwa dirinya tidak cukup berharga untuk disayangi dan dihargai.

b. Teman Sebaya

Penerimaan anak terhadap kelompok teman sebaya sangat dibutuhkan setelah mendapat cinta dari orang lain dalam mempengaruhi konsep diri. Jika penerimaan ini tidak muncul, dibentak, atau dijauhi maka konsep akan terganggu. Di samping masalah penerimaan atau penolakan, peran yang diukur anak dalam kelompok teman sebayanya sangat mempengaruhi secara kuat pada pandangannya tentang dirinya sendiri.

c. Masyarakat

Individu tidak terlalu mementingkan kelahiran mereka, tetapi masyarakat menganggap penting fakta-fakta yang ada pada seorang anak, seperti siapa bapaknya, ras, dan lain-lain. Akhirnya penilaian ini sampai kepada anak dan masuk ke dalam konsep diri. Masyarakat memberikan harapan-harapan kepada anak dan melaksanakan harapan tersebut. Jadi, orang tua, teman sebaya, dan masyarakat memberitahu bagaimana mengidentifikasi diri sendiri sehingga hal ini berpengaruh terhadap konsep diri yang dimiliki seorang individu.

d. Jenis Kelamin

Keluarga, lingkungan sekolah, maupun lingkungan masyarakat yang lebih luas akan berkembang bermacam-macam tuntutan peran yang berbeda berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Menjelang masa bebas begitu banyak tekanan-tekanan sosial yang dialami seseorang dan berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan konsep dirinya.

Seseorang harus mampu memegang peranan penting dalam menentukan bagaimana seharusnya seorang wanita atau pria bertindak dan berperasaan.

(29)

e. Harapan-harapan

Harapan-harapan seseorang terhadap diri sendiri sangat penting bagi konsep dirinya. Hal ini dikarenakan orang lain mencetak diri sendiri, dan setidaknya mengasumsikan apa yang orang lain asumsikan tentang dirinya. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut dapat mulai memainkan peran-peran tertentu yang diharapkan orang lain.

f. Suku Bangsa

Masyarakat umumnya terdapat suatu kelompok suku bangsa tertentu yang dapat dikatakan tergolong sebagai kaum minoritas, biasanya kelompok semacam ini mempunyai konsep diri yang cenderung agresif.

g. Nama dan Pakaian

Nama-nama tertentu yang akhirnya menjadi bahan tertawaan dari teman-teman, akan membawa seseorang kepada pembentukan konsep diri yang lebih negatif, karena nama-nama julukan yang bernada negatif dapat menyebabkan seseorang benar-benar beranggapan bahwa dirinya memang demikian. Sebaliknya, nama-nama panggilan yang bernada positif dapat mengubah seseorang ke arah positif pula. Demikian halnya dengan cara berpakaian, seseorang dapat menilai atau mempunyai gambaran mengenai dirinya sendiri.

h. Reaksi dari Orang Lain

Dengan mengamati cerminan perilaku diri sendiri seseorang terhadap respons yang diberikan, hal ini membuktikan bahwa dapat mempelajari dirinya sendiri. Orang-orang yang memiliki arti pada diri individu sangat berpengaruh dalam pembentukan konsep diri.

i. Perbandingan dengan Orang Lain

Setiap individu dalam memandang konsep diri sangat tergantung pada bagaimana cara individu tersebut membandingkan dirinya dengan orang lain. Biasanya orang-orang lebih suka membandingkan diri sendiri dengan orang lain yang hampir serupa dengan diri individu.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bagian-bagian konsep diri dapat berubah cukup cepat di dalam suasana sosial.

(30)

j. Peranan Seseorang

Setiap orang memiliki peran yang berbeda-beda. Dalam suatu peran tersebut seseorang diharapkan melakukan perbuatan dengan cara-cara tertentu. Pengalaman dan harapan-harapan yang berhubungan dengan peran yang berbeda akan berpengaruh pada konsep diri seseorang.

Kritik terhadap diri sendiri berfungsi sebagai rambu-rambu dalam bertindak dan berperilaku agar keberadaan individu diterima dan dapat beradaptasi. Walaupun demikian, kritik terhadap diri sendiri yang berlebihan dapat mengakibatkan individu menjadi lemah dan rendah diri.

k. Identifikasi Terhadap Orang Lain

Sering kali seorang anak mengagumi orang-orang dewasa dan mencoba menjadi pengikut dan meniru beberapa nilai, keyakinan, dan perbuatan. Proses identifikasi ini menyebabkan individu merasakan bahwa dirinya telah memiliki beberapa sifat dari orang-orang yang dikagumi. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa seorang individu tidak lahir dari konsep diri. Konsep diri terbentuk seiring dengan perkembangan konsep diri. Konsep diri merupakan interaksi individu dengan orang lain, yaitu orang tua, teman sebaya, dan masyarakat yang memberikan dampak secara langsung maupun tidak langsung.

4. Sumber Pembentuk

Menurut Kenrick dkk. (dalam Maryam, 2018),ada beberapa sumber yang dapat membentuk konsep diri/pengetahuan tentang diri (self) yaitu : a. Proses persepsi diri (self perception process), yaitu individu

memersepsikan dirinya dengan mengamati perilakunya sendiri.

b. Penafsiran yang direfleksikan (reflected appraisals process), yaitu individu melakukan penafsiran tentang dirinya sendiri dengan bercermin dari apa yang dikatakan orang lain tentang dirinya. Individu melakukan evaluasi tentang dirinya yang dipengaruhi oleh apa yang diucapkan orang lain tentang diri individu.

(31)

c. Perbandingan sosial (social comparison), menurut Festinger (dalam Maryam, 2018), individu memperoleh pengetahuan tentang dirinya seperti kemampuan, sikap, keyakinan, tingkah laku dengan orang lain.

Perbandingan sosial yang dilakukan seseorang, bisa berdampak pada meningkatnya atau bahkan menurunnya harga diri.

d. Memori autobiografi (autobiographical memories), tanpa memori autobiografi (ingatan tentang urutan kejadian yang telah kita alami), kita tidak akan memiliki konsep diri yang koheren (Kassin, Fein, & Markus, 2008). Seseorang bisa mengenali dirinya dari ingatan tentang pengalaman penting selama hidupnya.

e. Pengaruh budaya, konsep diri juga dipengaruhi oleh faktor budaya.

Budaya individualisme dan kolektivisme mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap konsep diri dan identitas diri.

5. Dimensi

Calhoun dan Acocella (dalam Putra & Usman, 2019) mengatakan bahwa dalam konsep diri memiliki tiga dimensi, yaitu pengetahuan terhadap diri sendiri, pengharapan mengenai diri sendiri, dan penilaian tentang dirinya sendiri.

a. Pengetahuan Terhadap Diri Sendiri

Pengetahuan terhadap diri sendiri yang dimiliki individu merupakan sesuatu yang diketahui tentang dirinya. Dalam pemikiran individu terdapat satu daftar julukan yang menggambarkan tentang dirinya. Hal ini mengacu pada istilah-istilah kuantitas seperti nama, usia, jenis kelamin, kebangsaan, pekerjaan, agama, dan lain sebagainya, serta sesuatu yang merujuk pada istilah-istilah kualitas seperti egois, baik hati, tenang, dan memiliki temperamental yang tinggi. Pengetahuan ini bisa didapatkan dengan cara membandingkan antara individu yang satu dengan yang lainnya. Pengetahuan individu tidaklah menetap sepanjang kehidupannya karena pengetahuan individu bisa saja mengalami perubahan tingkah laku sehingga pandangan orang lain akan individu tersebut akan berubah pula.

(32)

b. Pengharapan Mengenai Diri Sendiri

Harapan mengenai diri sendiri merupakan aspek di mana individu mempunyai berbagai pandangan ke depan tentang siapa dirinya, menjadi apa di masa yang akan datang, maka individu tersebut mempunyai harapan terhadap diri sendiri. Pengharapan pada tiap-tiap individu memiliki perbedaan karena didasarkan pada bakat dan minat individu tersebut ingin menjadi apa dan bagaimana ke depannya.

c. Penilaian Tentang Dirinya Sendiri

Seperti yang diketahui bahwa individu berkedudukan sebagai penilai terhadap diri sendiri setiap saat. Penilaian terhadap diri sendiri tersebut merupakan pengukuran individu tentang keadaannya saat ini dengan apa yang menurutnya dapat dan akan terjadi pada dirinya. Setiap individu berperan sebagai penilai terhadap dirinya sendiri dan standar pada tiap-tiap individu terhadap penilaian tersebut berbeda-beda.

B. Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1. Pengertian

Definisi KDRT menurut UU PDKRT (dalam Hardani, Wilaela, Bakhtiar, & Hertina, 2010) adalah perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran atau perampasan kemerdekaan secara hukum dalam lingkup rumah tangga. KDRT adalah kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga. Kekerasan ini bukan hal yang biasa terjadi semacam ketegangan atau konflik sehari-hari seperti beda pendapat, perdebatan, pertengkaran, saling mengejek atau memaki sesaat. KDRT lebih buruk lagi.

2. Bentuk

Menurut Hardani dkk. (2010), KDRT dapat berbentuk mulai dari korban diremehkan, tidak dihargai, dihina, diejek, ditelantarkan secara emosional dan ekonomi, sampai ditampar, ditendang, dipukul, bahkan dibunuh. UU PKDRT (dalam Hardani dkk., 2010) membagi KDRT menjadi dua bentuk yaitu fisik dan non fisik (psikis) yang kemudian dapat

(33)

diderivasikan ke dalam empat ranah berdasarkan perspektif kekuasaan dan kontrol pelaku.

a. Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7). Kekerasan psikis dilakukan pelaku dengan cara seperti mencaci, mengejek, memaki, menghina, yang menyebabkan korban terluka secara psikologis sehingga menjadi stres, stres pasca trauma, pelaku sengaja membuat korban takut dan cemas, depresi, atau pelaku tidak memiliki belas kasih (Hardani dkk., 2010).

b. Penelantaran rumah tangga, yaitu disebutkan pada ayat 1 yang berbunyi menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut, dan ayat 2 yang berbunyi penelantaran pada ayat 1 juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Pasal 9). Menurut Hardani dkk. (2010), penelantaran rumah tangga juga dapat disebut sebagai kekerasan ekonomi. Kekerasan ekonomi adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian secara ekonomi dan terlantarnya anggota keluarga dan/atau menciptakan ketergantungan ekonomi. Misalnya pelaku melarang untuk bekerja baik di dalam maupun di luar rumah, tidak memberi gaji dan/atau nafkah, sering memotong nafkah apabila korban melakukan kesalahan, korban tidak memiliki akses dan kontrol terhadap ekonomi keluarga dan juga uang miliknya sendiri, dan pelaku bersikap pelit pada korban (Hardani dkk., 2010).

c. Kekerasan seksual, yaitu disebutkan pada butir a yang berbunyi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang-orang yang menetap dalam lingkup sebuah rumah tangga, dan butir b yang

(34)

berbunyi pemaksaan hubungan seksual terhadap seseorang oleh salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Pasal 8). Contoh kekerasan seksual yang dapat dilakukan pelaku pada korban adalah pencabulan, pelecehan seksual, pemaksaan hubungan seksual, pemerkosaan, dan lain sebagainya (Hardani dkk., 2010).

d. Kekerasan fisik adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6). Menurut Hardani dkk. (2010) Kekerasan fisik dapat berbentuk korban jatuh sakit, cedera, luka, cacat, gugur kandungan, pingsan, dan/atau kematian, dan dapat berupa cubitan, tendangan, tamparan, pukulan, dan pembunuhan. Menurut Khairani (2021), kekerasan fisik dalam rumah tangga yang kerap dialami oleh kaum perempuan terbagi menjadi dua, yaitu:

1) Kekerasan fisik berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang, memukul, menyundut, melakukan percobaan pembunuhan dan semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan: cedera tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari, pingsan, luka berat pada tubuh korban dan/atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati, dan kehilangan salah satu pancaindra, mendapat cacat dan menderita sakit lumpuh, terganggunya daya pikir selama 4 (empat) minggu lebih, gugurnya atau matinya kandungan seseorang perempuan dan kematian korban.

2) Kekerasan fisik ringan, berupa menampar, menarik rambut dengan kasar, mendorong dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan cedera ringan dan rasa sakit dan luka fisik yang tidak termasuk dalam kategori berat.

Kekerasan dalam rumah tangga sampai saat ini masih dianggap sebuah dinamika yang tabu sehingga banyak perempuan cenderung enggan melaporkan kekerasan yang ia alami karena menganggapnya sebagai sebuah aib. Dengan demikian, mengetahui bahwa segala bentuk KDRT banyak ditemukan lewat kebiasaan yang kurang baik dan bijak, perlu

(35)

adanya kesadaran untuk meningkatkan kembali pengontrolan diri dari masing-masing yang terlibat serta kepekaan dan konsep diri yang kuat untuk menentang kekerasan baik secara fisik, psikis, maupun seksual.

3. Faktor Penyebab

Menurut Santoso (2019), sedikitnya terdapat dua faktor utama penyebab KDRT dapat terjadi. Kedua faktor tersebut di antaranya adalah:

a. Faktor Internal, yakni merupakan akibat dari melemahnya kemampuan adaptasi dari masing-masing anggota keluarga terhadap sesama. Hal ini akan mengarah kepada tindakan yang cenderung diskriminatif dan eksploitatif akan anggota keluarga yang lemah.

b. Faktor eksternal, yakni sebagai akibat dari intervensi lingkungan di luar keluarga yang baik langsung maupun tidak akan mempengaruhi sikap anggota keluarga yang akhirnya diwujudkan dalam sikap eksploitatif akan anggota keluarga lain, meliputi wanita dan anak.

Selain itu, Rochmat Wahab (dalam Santoso, 2019) berkesimpulan bahwa KDRT ternyata tidak hanya sekedar masalah ketimpangan gender.

Melainkan kurangnya komunikasi, kurangnya keharmonisan, alasan ekonomi, kurangnya kemampuan dalam mengendalikan emosi, mencari solusi dalam setiap masalah rumah tangga, hingga mabuk karena minuman keras dan narkoba. Beberapa kasus terkait dengan KDRT mengungkapkan bahwa terkadang suami melakukan kekerasan terhadap pasangannya karena merasa frustrasi tidak dapat melakukan sesuatu yang menjadi tanggung jawabnya. Biasanya hal ini berkaitan dengan tidak siapnya para pasangan muda yang belum siap kawin atau menikah dalam usia yang masih ranum.

Suami belum siap dari segi finansial karena belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi baik kebutuhan dan keterbatasan kebebasan karena masih menumpang pada orang tua maupun mertua.

Beberapa kondisi tersebut membuat lelaki kerap mencari pelampiasan ke arah hal yang tidak baik seperti mabuk, judi, narkoba, seks, dan pelampiasan akan istri dalam berbagai bentuk.

(36)

Menurut Hardani dkk. (2010), hasil dari penelitian yaitu identifikasi akar masalah kekerasan dalam rumah tangga di Riau, terdapat analisis terhadap faktor-faktor penyebab kasus kekerasan seksual, fisik, psikologis dan ekonomi terhadap informan yang menunjukkan adanya enam faktor penyebab kekerasan, di antaranya sebagai berikut:

a. Kondisi kepribadian dan psikologis suami-istri yang tidak stabil, menurut Hardani dkk. (2010), kondisi kepribadian dan psikologis suami-istri yang tidak stabil dapat mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Dalam penelitian identifikasi akar masalah kekerasan dalam rumah tangga di Riau, ditemukan bahwa suami maupun istri yang melakukan kekerasan fisik, emosional dan ekonomi kepada salah satu pasangannya dalam rumah tangga disebabkan karena faktor internal seperti karakter yang emosional, keras kepala, pencemburu dan tersinggung. Jenis-jenis kekerasan yang dilakukan suami maupun istri terhadap salah satu pasangannya dalam rumah tangga akibat dari kondisi kepribadian dan psikologis tidak stabil adalah kekerasan fisik, emosional dan ekonomi.

b. Kemandirian ekonomi istri, menurut Moors (dalam Hardani dkk., 2010) kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga (biasa disingkat KDRT) bisa disebabkan oleh ketergantungan ekonomi istri kepada suaminya, karena mungkin istri akan direndahkan oleh suami. Gelles (dalam Hardani dkk., 2010) juga menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat menyebabkan seorang suami melakukan kekerasan terhadap istrinya adalah tidak mandirinya sang istri secara ekonomi. Kemudian Sharma (dalam Hardani dkk., 2010) berteori bahwa kemandirian ekonomi yang dimiliki oleh seorang perempuan akan meningkatkan harga dirinya dan menyebabkannya memiliki posisi tawar yang tinggi dalam hubungan dengan suaminya. Hal ini juga sejalan dengan pandangan feminisme liberal, bahwa apabila perempuan diberi peran publik (bekerja di luar rumah, sosial, ekonomi, politik) maka tidak ada lagi jenis kelamin yang lebih dominan, karena sumber tidak adil

(37)

terhadap perempuan menurut perspektif ini adalah pemisahan privat dan publik.

c. Perselingkuhan, Hardani dkk. (2010) mengatakan bahwa perselingkuhan suami dengan perempuan lain menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Perselingkuhan adalah kekerasan suami yang mungkin terjadi secara tiba-tiba, tanpa diketahui oleh istri. Berdasarkan penelitian identifikasi akar masalah kekerasan dalam rumah tangga di Riau, beberapa informan memang mendapati suaminya berselingkuh sebagai protes terhadap istrinya dan setelah ada masalah yang mengganggu hubungan antara suami istri.

Perselingkuhan dapat menyebabkan istri mengalami kekerasan seksual, fisik, psikologis dan ekonomi dalam rumah tangganya.

d. Masalah anak, Hardani dkk. (2010) menyatakan dalam penelitian identifikasi akar masalah kekerasan dalam rumah tangga di Riau, ditemukan bahwa masalah anak merupakan faktor lain yang menyebabkan timbulnya kekerasan domestik. Jenis-jenis kekerasan yang dilakukan suami maupun istri terhadap salah satu pasangannya dalam perkawinan akibat masalah anak adalah kekerasan fisik dan emosional.

e. Cemburu, salah satu terjadinya kekerasan suami terhadap istri adalah faktor cemburu (Hardani dkk., 2010).

f. Campur tangan orang ketiga, menurut Hardani dkk. (2010), campur tangan anggota keluarga dari pihak istri terutama ibu mertua, dalam penelitian identifikasi akar masalah kekerasan dalam rumah tangga di Riau, merupakan salah satu penyebab timbulnya kekerasan antara suami-istri. Ibu mertua yang suka menjelek-jelekkan menantunya dapat menyebabkan pemicu konflik dalam rumah tangga. Bentuk-bentuk kekerasan yang timbul akibat campur tangan pihak keluarga antara lain kekerasan fisik dan psikologis.

Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) memiliki beberapa faktor penyebab utama yang perlu dipahami. Dua faktor utama adalah faktor

(38)

internal dan faktor eksternal. Faktor internal terkait dengan melemahnya kemampuan adaptasi anggota keluarga terhadap sesama, yang dapat memicu tindakan diskriminatif dan eksploitatif terhadap anggota keluarga yang dianggap lemah. Di sisi lain, faktor eksternal dipengaruhi oleh intervensi lingkungan di luar keluarga yang pada gilirannya mempengaruhi sikap anggota keluarga, termasuk wanita dan anak-anak. Masalah KDRT tidak hanya berkaitan dengan ketimpangan gender, melainkan juga berkaitan dengan kurangnya komunikasi, kurangnya keharmonisan, masalah ekonomi, kurangnya kemampuan mengendalikan emosi, dan upaya mencari solusi dalam konflik rumah tangga. Beberapa kasus juga mengungkapkan bahwa tidak mampu secara finansial dan tekanan sosial, seperti mabuk dan narkoba, dapat mendorong suami melakukan kekerasan terhadap pasangannya, terutama ketika mereka belum siap secara ekonomi dan emosional untuk pernikahan. Beberapa faktor lain yang dapat memicu terjadinya KDRT sering kali di sangkut pautkan dengan kondisi kepribadian dan psikologis yang tidak stabil baik dari pihak suami maupun istri, ketergantungan ekonomi istri karena istri mungkin direndahkan oleh suaminya, perselingkuhan suami dengan perempuan lain, masalah anak, faktor cemburu, hingga campur tangan orang ketiga, seperti ibu mertua, juga dapat menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, mencakup kekerasan fisik dan emosional. Keseluruhan faktor-faktor tersebut tentunya tetap tidak membenarkan adanya kekerasan dalam segala bentuk dan menekankan perlunya upaya untuk mengidentifikasi, mencegah, dan mengatasi kasus KDRT sehingga tidak timbul permasalahan baru di kemudian hari.

C. Wanita Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1. Pengertian Perempuan/Wanita

Menurut Huriani (2021), dalam konteks Indonesia, ada dua kata yang berkaitan dengan citra perempuan, yaitu perempuan dan perempuan.

Kata perempuan berasal dari bahasa Kawi pada kitab Kakawin Arjunawala

(39)

XXXIL6 (dalam Huriani, 2021) dengan akar bahasa Sansekerta “wan”.

Dalam bahasa Jarwa Dosok, kata perempuan berarti “wani ditoto” atau keinginan (hasrat) dan kemauan untuk dikelola. Dalam proses pembangunan, kata perempuan digunakan untuk menyebut perempuan sosial (profesional) atau pelacur (tidak beradab, tidak bermoral). Perempuan adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada manusia yang memiliki jenis kelamin perempuan atau wanita. Perempuan memiliki peran penting dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Namun, perempuan sering merasa tidak adil pada hal gender, seperti diskriminasi, kekerasan, dan keterbatasan akses terhadap sumber daya dan kesempatan. Oleh karena itu, kesadaran gender dan analisis gender menjadi penting untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender.

2. Dampak Pada Korban

Menurut Hardani dkk. (2010), korban KDRT merasakan berbagai macam dampak dan/atau akibat KDRT, yaitu:

a. Dampak secara medis, korban KDRT yang terluka secara fisik, baik luka ringan maupun ancaman kematian, akan pergi ke Unit Gawat Darurat (UGD) untuk mendapatkan resep dan obat. Korban KDRT yang harus berobat berujung pada mengeluarkan biaya medis yang lebih besar.

b. Dampak secara emosional, menurut Darajat dan Ciciek (dalam Hardani dkk., 2010), korban KDRT biasanya dapat mengalami stres, depresi, kecemasan berlebihan, stres pasca trauma, percobaan bunuh diri, gangguan tidur, rendahnya kepercayaan diri, atau susah makan.

c. Dampak secara personal atau keluarga, korban KDRT berkemungkinan untuk menjadi imun terhadap KDRT yang telah dilakukan padanya dan suatu saat dapat menjadi pelaku KDRT dalam keluarganya sendiri atau terhadap orang lain. Peluang terjadinya perlakuan kejam pada anak-anak dalam rumah yang mengalami KDRT lebih besar dibandingkan dengan anak-anak pada rumah yang tidak mengalami KDRT. Menurut Darajat dan Ciciek (dalam Hardani dkk., 2010), korban atau saksi KDRT, seperti

(40)

anak-anak, cenderung mengalami masalah kesehatan mental, seperti perilaku anti sosial dan depresi.

d. Dampak secara profesional, korban KDRT dapat mengalami kinerja yang buruk dalam kerja karena lebih banyak waktu yang digunakan korban KDRT untuk mengatasi persoalan di rumahnya dan korban KDRT juga memerlukan pendamping atau pun konseling dan mencari bantuan. Korban KDRT juga berkemungkinan untuk merasa ketakutan atas kehilangan pekerjaannya karena pada saat bekerja korban KDRT tersebut juga harus meladeni gangguan dari pelaku kekerasan.

Menurut Khairani (2021), korban KDRT sering kali menderita gangguan stres pasca trauma dengan tiga gejala umum yaitu hyperarousal, intrusion, dan constriction. Hyperarousal adalah gejala yang menunjukkan kekhawatiran terus-menerus terhadap ancaman bahaya. Intrusion menggambarkan kuatnya luka yang membekas yang tersisa sebagai dampak traumatis. Constriction menandakan bahwa korban membeku dalam keadaan tidak berdaya. Berikut dampak berbagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga dalam UU PKDRT:

a. Dampak Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik dalam keluarga mempunyai dampak yang sangat besar. Perempuan (istri) merupakan mayoritas korban kekerasan jenis ini. Sasaran kekerasan adalah tubuh perempuan, namun yang dirugikan adalah seluruh jiwanya. Perempuan korban kekerasan menderita secara fisik dan mental. Kekerasan fisik dalam keluarga mempunyai dampak negatif yang sangat besar bagi perempuan. Dampak negatif tersebut antara lain:

1) Dampak fisik dari kekerasan terhadap perempuan (istri) antara lain:

memar, patah tulang. cacat fisik, gangguan menstruasi, cedera rahim, keguguran, penyakit menular, penyakit jiwa bahkan kematian.

2) Dampak psikologis seperti: kombinasi emosi negatif: kesedihan, kemarahan, rasa tidak berdaya, rasa bersalah, citra diri negatif:

kurang percaya diri, membenci diri sendiri, tidak mampu berpikir,

(41)

kehilangan konsentrasi, tidak mampu menjalankan peran dengan baik, misalnya menjadi seorang ibu, cemas, kebingungan, depresi, stres, malu, takut, ragu, kehilangan kepercayaan pada suami, merasa bersalah, dan sebagainya.

3) Dampak sosial seperti terganggunya hubungan sosial dengan tetangga dan anggota masyarakat lainnya.

Referensi

Dokumen terkait

Judul Tugas Akhir : Kajian terhadap Peran Konsultan Hukum dalam Menyelesaikan Masalah terhadap Klien yang Menjadi Korban Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah

Rumah Tangga: (b) Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta

Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) disebutkan bahwa kekerasan dalam

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT) Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap seseorang

Laporan Khusus dari PBB mengenai “Kekerasan terhadap Wanita” telah mendefinisikan KDRT dalam bingkai gender sebagai “kekerasan yang dilakukan di dalam lingkup rumah tangga

orang yang mengalami kekerasan dan/ atau ancaman kekerasan dalam lingkup

TINJAUAN YURIDIS PEREMPUAN SEBAGAI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Ivanda Wizaldi ,

Kendala atau hambatan yang muncul dalam pelaksanaan perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan dalam rumah tangga seringkali tidak dilaporkan ke pihak