BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kekerasan dalam Rumah Tangga
2.1.1 Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga
Menurut Pasal 1 dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), kekerasan adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berkaitan timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Sedangkan rumah tangga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan keluarga dalam rumah. Sehingga dapat
dinyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu perlakuan yang
dialami oleh sebuah keluarga sehingga menimbulkan potensi korban tidak
berkembang.
Menurut Hasbianto bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu
bentuk penganiayaan secara fisik maupun emosional atau psikologis, yang
merupakan suatu cara pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan rumah
tangga (Sugihastuti, 2007:173).
Menurut Pasal 1 dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah
Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang RI No. 23 tahun 2004
meliputi:
1. Suami, istri, dan anak,
2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud, karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan
perwalian yang menetap dalam rumah tangga,
3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut. Dimana orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dalam kalimat
sebelumnya adalah dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu
selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan (Sinar Grafika, 2009 : 3).
Kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan sebuah
rumusan yang kemudian disinonimkan dengan penyiksaan terhadap istri, sehingga
pada akhirnya banyak sekali penelitian yang kemudian difokuskan pada kekerasan
terhadap istri. Kekerasan terhadap istri bukanlah isu kekerasan biasa, melainkan
sebuah gambaran mengenai relasi kekuasaan yang tidak seimbang dengan sebuah
hubungan. Laki-laki mempertahankan otoritas didalam mengontrol, mendominasi,
dan upaya lainnya sama seperti bagaimana laki-laki melakukannya dalam lingkup
masyarakat ( Shinta & Bramanti, 2007: 35).
Kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya berhubungan dengan
kekerasan berbasis gender (gender based violence). Bentuk kejahatan ini merupakan
bentuk diskriminasi yang menghalangi perempuan untuk mendapatkan hak-hak
kebebasannya yang setara dengan laki-laki, tindak kekerasan ini dapat berupa
kekerasan domestik dan kejahatan yang berdalih kehormatan. Kekerasan kategori ini
mendapat perlindungan dari seseorang pelindung laki-laki, pertama ayahnya
kemudian suaminya (Relawati, 2011: 95).
Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk
sekaligus dilembagakan secara sosial. Hal ini, membuat masyarakat menentukan
batas-batas kepantasan dan melabelkan peran-peran streotip bagi laki-laki dan
perempuan. Apa yang ditentukan oleh masyarakat ini sudah berjalan berabad-abad
lamanya, dan di anggap kodrat yang tidak bisa berubah, oleh sebab itu seseorang
hanya bisa eksis dan dianggap benar apabila mengikuti batas-batas dan label-label
sosial yang berlaku. Sebaliknya, seseorang akan merasa bersalah dan dipersalahkan
apabila keluar dari batas-batas dan label-label sosial tersebut (Luhulima, 2000 : 8).
Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan persoalan besar yang ditandai
oleh sikap diam dan tidak ada penyelesaian masalah. Hal ini terkait dengan nilai-nilai
budaya yang melekat dalam konsep keluarga, bias bersumber dari ajaran agama,
budaya dan mitos-mitos yang berkembang dalam masyarakat. Falsafah dalam suatu
budaya Indonesia yang menjunjung tinggi kehormatan keluarga dan menutup rapat
aib keluarga seringkali menjadi alasan sebuah keluarga untuk tidak membuka
persoalan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga (Relawati, 2011: 14).
2.1.2 Bentuk- Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
Ada 4 bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga, yaitu:
1. Kekerasan Fisik
Menurut Pasal 6 dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), kekerasan fisik adalah suatu
Adapun klasifikasi lain dari kekerasan fisik yaitu;
A. Kekerasan fisik berat
1. Cedera berat
2. Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
3. Pingsan
4. Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau
yang menimbulkan bahaya mati
5. Kehilangan salah satu panca indera.
6. Mendapat cacat.
7. Menderita sakit lumpuh.
8. Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih
9. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan
10. Kematian korban.
B. Kekerasan fisik ringan, berupa
perbuatan lainnya yang mengakibatkan:
1. Cedera ringan
2. Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat
3. Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis
kekerasan berat.
2. Kekerasan Psikis
Menurut Pasal 7 dari Undang- Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), kekerasan psikis adalah sebagai
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat
Adapun klasifikasi lain dari kekerasan Psikis yaitu;
A. Kekerasan psikis berat, berupa tindakan pengendalian
kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan,
pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan
atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik,
seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa mengakibatkan
penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut:
1. Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau
disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau
menahun.
2. Gangguan
3. Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa
indikasi medis)
pasca trauma.
4.
5. Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti
skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya berat atau destruksi diri
6. Bunuh diri
B. Kekerasan psikis ringan, berupa tindakan pengendalian, manipulasi,
eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk
pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang
merendahkan atau menghina, penguntitan, ancaman kekerasan fisik, seksual
dan ekonomis, yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis
ringan, berupa salah satu atau beberapa hal berikut ini:
2. Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak
3. Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual
4. Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan
pencernaan tanpa indikasi medis)
5.
3. Kekerasan Seksual
atau depresi temporer
Kekerasan seksual dalam rumah tangga (marital rape) seringkali terjadi tetapi
dianggap tidak mungkin sehingga selalu diabaikan. Menurut Pasal 8 dari
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga (PKDRT), kekerasan seksual yaitu:
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Adapun klasifikasi lain dari Kekerasan Seksual yaitu;
A. Kekerasan seksual berat, berupa:
1. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ
seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang
menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
2. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat
korban tidak menghendaki.
3. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan
4. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran
dan atau tujuan tertentu.
5. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi
ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
6. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat
yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
B. Kekerasan seksual ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti
komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara
non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya
yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat
melecehkan dan atau menghina korban.
C. Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam
jenis kekerasan seksual berat.
4. Kekerasan Ekonomi
Kekerasan ekonomi mencakup penelantaran dalam rumah tangga dan juga
mengakomodasi pelarangan bekerja yang menyebabkan ketergantungan ekonomi.
Menurut Pasal 9 dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), kekerasan ekonomi meliputi:
a. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan
kepada orang tersebut.
b. Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di
bawah kendali orang tersebut .
Adapun klasifikasi lain dari Kekerasan Ekonomi yaitu;
A.Kekerasan ekonomi berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan
pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
1. Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.
2. Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
3. Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas
dan atau memanipulasi harta benda korban.
B.Kekerasan ekonomi ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang
menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak
terpenuhi kebutuhan dasarnya (Shinta & Bramanti, 2007: 12-16).
2.1.3 Faktor- Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga
1. Secara Teoritis.
Faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga secara
teoritis maksudnya adalah faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam
lingkup rumah tangga yang dikategorikan berdasarkan pada suatu teori para ahli.
Beberapa ahli mendefenisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai pola
perilaku yang bersifat menyerang atau memaksa, yang menciptakan ancaman atau
mencederai secara fisik yang dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangannya,
secara khusus Neil Alan dan kawan-kawan. membatasi ruang lingkup kekerasan
dalam rumah tangga kepada Child Abuse (kekerasan kepada anak) dan wife abuse
(kekerasan kepada isteri) sebagai korban, namun secara umum pola tindak kekerasan
terhadap anak maupun isteri sesungguhnya sama. Penyebab tinggi angka kekerasan
permasalahan, tapi beberapa ahli sudah melakukan penelitian untuk menemukan apa
sebenarnya menjadi faktor penyebab tindak kekerasan dalam rumah tangga.
2. Secara Empiris
Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga
secara empiris maksudnya adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan pengalaman, terutama yang diperoleh
dari penemuan percobaan atau pengamatan yang telah dilakukan. Masalah kekerasan
dalam rumah tangga bukanlah merupakan masalah yang baru, tetapi tetap aktual
dalam peredaran waktu dan tidak kunjung reda, malahan memperlihatkan
kecenderungan peningkatan untuk mengungkap kasus kekerasan dalam rumah
tangga ini ternyata tidak segampang membalikkan tangan. Masih banyak kasus yang
sengaja ditutupi hanya karena takut menjadi aib keluarga. Padahal tindak kekerasan
yang dilakukan sudah tergolong tindak pidana. Malu mengungkapkan kasus
kekerasan dalam rumah tangga karena aib keluarga, atau persoalan anak dan
perasaan masih cinta merupakan hal yang kerap dirasakan korban kekerasan dalam
rumah tangga di negara kita (Shinta & Bramanti, 2007: 19-20).
Setiap bentuk kekerasan mempunyai faktor penyebab yang dapat sama
namun dapat pula berbeda. Kekerasan dalam Rumah Tangga secara umum terjadi
karena ada faktor stress (tekanan) yang menyebabkan seseorang melakukan
kekerasan pada orang lain. Stress banyak terjadi karena faktor ekonomi, psikologis,
pola asuh semasa anak-anak dan lain-lain. Adapula penyebab terjadinya kekerasan
justru karena adanya anggapan bahwa korban adalah pihak yang seharusnya boleh
diperlakukan seperti kemauannya.
Adapula faktor lain yang menyebabkan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yaitu;
2. Masyarakat menganggap laki-laki dengan menanamkan anggapan bahwa laki-aki
harus kuat, berani serta tanpa ampun
3. KDRT dianggap bukan sebagai permasalahan sosial, tetapi persoalan pribadi
terhadap relasi suami istri
4. Pemahaman keliru terhadap ajaran agama, sehingga timbul anggapan bahwa
laki-laki boleh menguasai perempuan
Penyebab yang khas dari Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah anggapan-
anggapan gender, telah menjadi akibat yang khas pula terhadap korbannya. Para
perempuan yang menjadi korban cendrung menyalahkan diri, merasa sebagai pihak
yang telah lalai menjalankan kewajiban, merasa kotor dan tak berdaya. Pihak korban
benar-benar menginternalisasi keyakinan-keyakinan umum bahwa laki-laki berbeda
dengan perempuan sehingga kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi. Korban
menganggap bahwa pengalaman yang dialami bukan kekerasan, dan karenanya tidak
pernah berusaha mengungkapkannya (Relawati, 2011: 14).
2.2 Advokasi dalam Rangka Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga 2.2.1 Pengertian Advokasi
Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial),
Advokasi adalah upaya memberikan pendampingan, perlindungan dan pembelaan
terhadap seseorang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang dilanggar haknya. Advokasi (LBH Malang, 2008:7) adalah usaha sistimatis secara bertahap
(inkremental) dan terorganisir yang dilakukan oleh kelompok atau organisasi profesi
untuk menyuarakan aspirasi anggota, serta usaha mempengaruhi pembuat kebijakan
publik untuk membuat kebijakan yang berpihak kepada kelompok tersebut, sekaligus
Advokasi juga merupakan langkah untuk merekomendasikan gagasan kepada
orang lain atau menyampaikan suatu issu penting untuk dapat diperhatikan
masyarakat serta mengarahkan perhatian para pembuat kebijakan untuk mencari
penyelesaiannya serta membangun dukungan terhadap permasalahan yang
diperkenalkan dan mengusulkan bagaimana cara penyelesaian masalah tersebut
(sumber:
pada tanggal 28 februari 2014, pukul 14.30 WIB).
Sasaran advokasi dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu:
a. Advokasi Kasus (case advocacy)
Merupakan kegiatan yang dilakukan lembaga sosial untuk membantu klien
agar mampu menjangkau sumber atau pelayanan social yang telah menjadi haknya.
Alasannya terjadi diskriminasi atau ketidakadilan yang dilakukan oleh lembaga,
dunia bisnis atau kelompok professional terhadap klien dan klien sendiri tidak
mampu merepon situasi tersebut dengan baik. Lembaga sosial berbicara,
berargumen, dan bernegosiasi atas nama klien individual. Karenanya advokasi ini
sering disebut dengan advokasi klien (client advokasi).
Ada beberapa hal yang perlu dipahami sebelum melakukan advokasi klien, yaitu:
1.
2.
Yakinkan bahwa klien anda menginginkan anda menjadi advokatnya. Jangan
terlibat dalam advokasi, jika anda tidak memiliki persetujuan secara eksplisit
(tertulis) dengan klien anda dan klien anda memahami baik potensi
manfaatnya maupun resikonya. Sedapat mungkin, libatkan klien dalam semua
keputusan yang berkenaan dengan tindakan-tindakan yang akan anda ambil.
Sadarilah bahwa advokasi anda dapat merusak hubungan anda atau hubungan
lembaga anda dengan lembaga atau profesional lainnya, dan rusaknya
membutuhkan kerja sama mereka untuk melayani klien lainnya. Jangan
menggunakan advokasi jika anda belum mencoba pendekatan dengan resiko
yang lebih kecil atau kurang kemungkinannya untuk mempolarisasikan
pihak-pihak yang terpengaruh.
3.
4.
Keputusan anda untuk memainkan peran sebagai advokat klien harus muncul
sebagai keinginan tulus untuk memberikan pelayanan kepada klien anda dan
bukan dari keinginan untuk menghukum atau memalukan lembaga atau
keinginan untuk memperbesar diri.
5.
Sebelum anda memilih taktik konfrontasi ini, yakinkan anda memahami fakta
yag terjadi. Jangan keputusan anda didasarkan pada deskripsi sepihak tentang
apa dan mengapa sesuatu terjadi. Sadarilah bahwa klien kadang-kadang dapat
saja memiliki pemahaman atau interpretasi yang salah terhadap penjelasan
yang diberikan oleh profesional dan perwakilan lembaga. Jangan
mendasarkan rencana advokasi anda pada asumsi bahwa anda memahami
kebijakan, prosedur, atau kriteria elektabilitas yang lain. Dapatkan faktanya
sebelum anda memutuskan bagaimana untuk memulai atau meneruskan.
Bila anda memutuskan bahwa sebuah taktik advokasi diperlukan, aturlah
sebuah pertemuan dengan lembaga atau perwakilan program yang tepat.
Pertemuan wawan muka hampir selalu lebih efektif daripada telepon dan
surat. Akan tetapi, sebuah surat yang menggambarkan situasi klien anda dan
kepedulian anda mungkin diperlukan sebelum pertemuan wawan muka.
Hormatilah rantai komando (misal, jangan meminta berbicara dengan
supervisor sebelum anda berbicara dengan pekerja sosial lapangan yang
administrator sebelum anda berbicara dengan supervisor untuk pekerja sosial
lapangan).
6.
7.
Sebelum anda berbicara dengan wakil lembaga, tulislah (catat) dengan pasti
apa yang akan anda katakan dan pertanyaan-pertanyaan yang akan anda
tanyakan. Mulailah percakapan anda dengan meminta penjelasan secara
santun, mengapa klien anda ditolak untuk mendapatkan pelayanan atau
penyembuhan dengan cara seperti itu. Komunikasikan kepedulian atau
kepentingan anda secara faktual dan jangan kasar, tetapi berbicaralah dengan
nada yang menunjukkan perasaan yang kuat pada masalah tersebut. Buatlah
rekaman tertulis tentang kepada siapa anda berbicara, posisi mereka dan
respons mereka, serta waktu, tanggal dan tempat berkomunikasi.
8.
Informasi yang anda kumpulkan menunjukkan bahwa lembaga berkeinginan
untuk memberikan pelayanan yang diminta oleh klien anda, tetapi tidak bisa
karena persoalan teknis atau prosedural yang tidak masuk akal atau karena
persyaratan kebijakan, mintalah informasi bagaimana keputusan tersebut
dapat dipertimbangkan kembali dan kepada siapa anda dan klien anda harus
berbicara. Tanyakanlah apakah administrator, anggota dewan pengurus, atau
komisi legislatif mengetahui kesulitan yang dihadapi oleh klien anda atau
mungkin konsultasikan bagaimana masalah ini dapat dipecahkan.
Informasi yang anda kumpulkan menunjukkan bahwa lembaga atau program
pada faktanya mengancam klien anda dengan cara yang tidak adil dan tidak
tepat, jelaskanlah bahwa jika masalah tersebut tidak dapat dipecahkan dan
diperbaiki, anda akan membawa kepentingan anda tersebut pada mereka yang
Pertimbangkanlah untuk menggunakan ekspresi marah yang terukur untuk
mendemonstrasikan pemecahan anda.
9.
b. Advokasi kelas (class advocacy)
Jika tindakan lanjutan diperlukan, anda akan memerlukan nasihat hukum
sebelum melanjutkan. Sebagai persiapan untuk naik banding atau komplain
formal, anda akan memerlukan dokumentasi secara rinci tentang apa yang
terjadi dan apa yang sudah dicoba, tahap demi tahap, untuk memecahkan
masalah tersebut. Anda akan memerlukan nama, tanggal dan isi semua
komunikasi dan salinan semua surat yang dikirimkan dan yang diterima.
Menunjuk pada kegiatan – kegiatan atas nama kelas atau kelompok untuk
menjamin terpenuhinya hak – hak warga dalam menjangkau sumber atau
memperoleh kesempatan – kesempatan. Focus advokasi kelas adalah mempengaruhi
atau melakukan perubahan – perubahan hukum dan kebijakan public pada tingkat
lokal maupun nasional. Advokasi kelas melibatkan proses – proses politik yang
ditujukan untuk mempengaruhi keputusan – keputusan pemerintah yang berkuasa.
Pekerja social biasanya bertindak sebagai perwakilan sebuah organisasi, bukan
sebagai praktisi mandiri. Advokasi kelas umumnya dilakukan melalui koalisi dengan
kelompok dan organisasi lain yang memiliki agenda sejalan.
Beberapa hal yang perlu dipahami sebelum melakukan advokasi kelas, yaitu:
1.
2.
Sadarilah bahwa advokasi dapat membantu dalam menciptakan
perubahan-perubahan yang diperlukan dalam hukum dan perundang-undangan,
kebijakan dan program. Membuat perubahan adalah sulit, tetapi tidak
mustahil.
Ingatlah bahwa anda tidak dapat melakukannya sendiri. Pekerja-pekerja
kelompok memiliki lebih banyak kekuatan daripada individual, dan beberapa
organisasi yang bekerja sama memiliki lebih banyak kekuatan daripada satu
organisasi yang bekerja sendiri. Bekerja dengan organisasi yang lain akan
berarti bahwa organisasi anda sendiri harus membagi beberapa sumberdaya,
membuat beberapa kompromi, dan mungkin melakukan sesuatu secara
berbeda. Akan tetapi dalam jangka waktu panjang, organisasi anda akan
mengerjakan lebih banyak sebagai bagian dari koalisi daripada bekerja
sendiri.
3.
4.
Perbaikan-perbaikan banyak diperlukan dalam sistem pelayanan kemanusiaan
kita. Jika anda tidak dapat mengerjakan segala sesuatu yang diperlukan, anda
harus memutuskan yang mana yang harus diprioritaskan. Pilihlah perkara
anda secara hati-hati. Jika anda atau organisasi anda mengambil beberapa
perkara pada satu waktu, anda mungkin akan membaginya menjadi terlalu
kecil. Lebih baik membuat perolehan yang nyata hanya dalam satu area
daripada memperoleh secara minimal atau beberapa hal mengalami
kegagalan sama sekali.
5.
Juga penting untuk memilih sebuah perkara dimana kemungkinan untuk
berhasilnya besar. Realistislah! Jangan buang-buang waktu dan enerji
organisasi anda untuk perkara yang hilang. Pengalaman keberhasilan
menimbulkan harapan dan perasaan kemungkinan adanya keberhasilan yang
lain. Jika anggota-anggota sebuah organisasi dapat melihat bahkan
keberhasilan sekecil apapun, mereka akan lebih menginginkan untuk
menginvestasikan dirinya dalam upaya advokasi di masa mendatang.
Advokasi yang berhasil dibangun di atas fondasi analisis dan perencanaan
sebagai suatu masalah dan kajian masalah secara cermat, sebelum anda
memutuskan apa yang dilakukan untuk hal tersebut. Jangan memulai suatu
usaha mengubah sesuatu sebelum anda mengetahui dengan pasti apa yang
harus dirubah, mengapa harus dirubah, dan apa yang akan menyertai
perubahan tersebut.
6.
7.
Sebelum anda bertindak, lakukan penilaian yang cermat tentang apa yang
akan diperlukan berkenaan dengan waktu, enerji, uang, dan sumberdaya
lainnya untuk mencapai tujuan anda. Apakah anda memiliki sumberdaya?
Jika tidak, alangkah baiknya untuk menurunkan skala tujuan anda atau
menunggu sampai anda terorganisasi secara lebih baik dan lebih mampu
untuk mencapai tujuan anda.
8.
Cobalah untuk memahami siapa yang menjadi oposan bagi anda. Akan selalu
terdapat penolakan terhadap perubahan, dan analisis terhadap situasi akan
mencakup pemahaman tentang mengapa ada penolakan. Advokat perlu
kemampuan untuk menempatkan dirinya dalam sepatu oponen (misalnya
memiliki empati). Orang selalu memiliki alasan untuk menentang perubahan.
Anda mungkin tidak setuju dengan alasannya, tetapi anda harus membuat
mereka memahami bahwa anda sedang menggambarkan suatu cara untuk
menanggulangi penolakan dengan berhasil.
Advokasi yang berhasil memerlukan kedisiplinan diri. Salah satu dari banyak
kesalahan yang paling serius dilakukan seseorang dalam advokasi adalah
bertindak impulsif. Jika itu terjadi, organisasi yang lain dalam koalisi
kemungkinan akan menarik diri atau menjadi enggan untuk bekerja sama
sebab mereka takut kesembronoan anda akan menyebabkan kerusakan atau
anda bertindak impulsif, mereka yang menentang anda dapat lebih mudah
mendiskreditkan organisasi anda.
9. Advokasi merupakan penggunaan kekuatan (power). Anda mungkin tidak
memiliki kekuatan sebanyak yang anda inginkan, tetapi jangan mengabaikan/
meremehkan kekuatan yang anda miliki. Pada hakekatnya, kekuatan (power)
merupakan kemampuan untuk membuat orang lain berperilaku dengan cara
yang seperti anda inginkan. Berpikirlah bahwa kekuatan merupakan sumber
daya yang dapat digunakan atau dihabiskan untuk tujuan tertentu (sumber:
diakses
pada tanggal 28 februari 2014, pukul 14.30 WIB).
Adapun yang menjadi tujuan advokasi yaitu :
a. Perlindungan terhadap korban KDRT (korban langsung maupun korban tidak
langsung)
b. Penindakan hukum terhadap pelaku KDRT
c. Mencari penyelesaian alternatif kasus KDRT.
d. Peran pemerintah dan masyarakat dalam memberikan perlindungan terhadap
korban KDRT.
2.2.2 Jenis – Jenis Advokasi
Scheneider mengemukakan 4 jenis advokasi yaitu :
1. Advokasi klien ( client advocacy).
Tujuan akhirnya adalah untuk membantu klien tentang bagaiman klien
berjuang memenangkan pertarungan terhadap hak – haknya di lembaga lain
2. Advokasi masyarakat (cause advocacy).
Advokasi lembaga social selalu membantu klien individu, dan keluarga dalam
memperoleh pelayanan. Jika terdapat masalaha yang mempengaruhi kelompok
yang lebih besar maka advokasi ini yang paling sesuai digunakan.
3. Advokasi Legislatif (Legislative Advocacy),
Advokasi jenis ini biasanya dilakukan untuk mempengaruhi proses pembuatan
suatu undang – undang.
4. Advokasi Administrasi (Administrative advocacy).
Advokasi jenis ini bertujuan untuk memperbaiki atau mengoreksi keluhan –
keluhan administrative dan mengatasi masalah – masalah administrative
(sumber:
diakses pada tanggal 28 februari 2014, pukul 14.30 WIB).
Yayasan Pusaka Indonesia dalam memberikan advokasi terhadap korban
Kekerasan dalam Rumah tangga bertujuan untuk mendampingi dan melindungi hak-
hak korban kekerasan yang termarjinalkan. Paling tidak dari cita- cita ataupun tujuan
yang hendak dicapai adalah melakukan upaya- upaya mendorong peningkatan
perhatian dan tanggung jawab baik itu kepada pemerintah, masyarakat dan keluarga
korban.
2.2.3 Pentingnya Advokasi Kebijakan
Webster’s New Collegiate Dictionary mengartikan advokasi sebagai tindakan
atau proses untuk membela atau memberi dukungan. Advokasi dapat pula
diterjemahkan sebagai tindakan mempengaruhi atau mendukung sesuatu atau
seseorang (Wadong, 2000: 64).
Advokasi pada hakekatnya suatu pembelaan terhadap hak dan kepentingan
tersebut adalah hak dan kepentingan kelompok masyarakat (public interest) dalam
hal ini permasalahan sosial (Wadong, 2000: 64).
Dalam kedudukannya sebagai organisasi atau lembaga, maka yang dimaksud
adalah advokasi kebijakan publik, yaitu tindakan-tindakan yang dirancang untuk
merubah kebijakan-kebijakan publik tertentu, meliputi yaitu:
a. Hukum dan perundang-undangan
b. Peraturan
c. Putusan pengadilan
d. Keputusan dan Peraturan Presiden
e. Platform Partai Politik
f. Kebijakan-kebijakan institusional lainnya (Wadong, 2000: 65).
Advokasi merupakan upaya untuk mengingatkan dan mendesak negara serta
pemerintah untuk selalu konsisten dan bertanggung jawab melindungi dan
mensejahterakan seluruh warganya. Ini berarti sebuah tanggung jawab para
pelaksana advokasi untuk ikut berperanserta dalam menjalankan fungsi pemerintahan
dan negar
Pada Pukul 20.15 WIB).
Untuk mencapai tujuan yang diinginkan berbagai bentuk kegiatan advokasi
dilakukan sebagai upaya memperkuat posisi tawar (bargaining position) asosiasi atau
organisasi masyarakat. Bentuk-bentuk kegiatan advokasi antara lain pendidikan dan
penyadaran serta pengorganisasian kelompok-kelompok lembaga, pemberian
bantuan hukum yang mengedepankan pembelaan hak-hak dan kepentingan
organisasi masyarakat, serta kegiatan me-lobby ke pusat-pusat pengambilan
keputusa
Advokasi kebijakan publik termasuk pula menyuarakan kepentingan dan
mencari dukungan terhadap posisi tertentu berkenaan dengan kebijakan publik
tertentu. Posisi ini dapat berupa persetujuan, penghapusan, penolakan ataupun
perubahan kebijakan yang ada. Oleh karenanya, advokasi kebijakan publik dapat
berupa tindakan penentangan terhadap posisi pemerintah dalam isu-isu tertentu,
sehingga dapat memperbaiki kebijakan publik yang perlu dirubah
2.2.4 Pengertian Korban
Korban menurut Arief Gosita (dalam Mansur & Gultom, 2006: 46) adalah
mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain
yang mencarai pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.
Pengerian lain, Menurut Muladi (dalam Mansur & Gultom, 2006: 47) korban
(victims) adalah orang- orang yang baik secara individual maupun kolektif telah
menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau
gangguan substansial terhadap hak- haknya yang melanggar hukum pidana di
masing- masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.
Adapun menurut undang- undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (dalam Mansur & Gultom, 2006: 47) korban adalah
orang yang mengalami kekerasan dan/ atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah
tangga.
Dengan mengacu pada pengertian- pengertian korban tersebut, dapat dilihat
bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang
secara langsung menderita akibat dari perbuatan- perbuatan yang menimbulkan
dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang- orang
yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya.
Mengenai kerugian korban, Separovic mengatakan bahwa kerugian korban
yang harus diperhitungkan tidak harus selalu berasal dari kerugian karena menjadi
korban kekerasan, tetapi kerugian atas terjadinya pelanggaran atau kerugian yang
ditimbulkan karena tidak dilakukannya suatu pekerjaan. Tetapi pihak yang dirugikan
tetap saja termasuk dalam kategori korban karena ia mengalami kerugian baik secara
materiil maupun secara mental (Mansur & Gultom, 2006: 48-49).
2.2.5 Perlindungan dan Hak- Hak Korban
Setiap hari masyarakat banyak memperoleh informasi tentang berbagai
peristiwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik yang diperoleh dari berbagai
media massa, cetak maupun elektronik. Peristiwa- peristiwa KDRT tersebut tidak
sedikit menimbulkan berbagai penderitaan/ kerugian bagi korban dan juga
keluarganya. Guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam
beraktivitas, tentunya KDRT ini perlu ditanggulangi baik melalui pendekatan yang
sifatnya preventif maupun represif, dan semuanya harus ditangani secara profesional
serta oleh suatu lembaga yang berkompeten.
Berkaitan dengan korban KDRT, perlu dibentuk suatu lembaga khusus yang
menanganinya. Namun, pertama- tamaperlu disampaikan terlebih dahulu suatu
informasi yang memadai mengenai hak- hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan
keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai
akibat dari korban KDRT yang menimpa dirinya.
Hak merupakan suatu yang bersifat pilihan (optional), artinya bisa diterima
oleh pelaku bisa juga tidak, tergantung kondisi yang mempengaruhi korban baik
Berdasarkan Pasal 10 dari Undang- Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), korban berhak
mendapatkan:
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
advokasi, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun
berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat
proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan
e. Pelayanan bimbingan rohani (Mansur & Gultom, 2006: 53-54).
2.2.6 Kewajiban Korban
Sekalipun hak- hak korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) telah
tersedia secara memadai, mulai dari hak atas bantuan keuangan (finansial) hingga
hak atas pelayanan medis dan bantuan hukum, tidak berarti kewajiban dari korban
KDRT diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban dan keluarganya
diharapkan penanggulangan kekerasan dapat dicapai secara signifikan.
Untuk itu, ada beberapa kewajiban umum dari korban KDRT, antara lain :
a. Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya
tindak pidana
b. Kewajiban untuk memeberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya
KDRT kepada pihak yang berwenang
c. Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kekerasan yang menimpa dirinya,
d. Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam
upaya penanggulangan KDRT
e. Kewajiban untuk bersedia dibina dan membina diri sendiri untuk tidak
menjadi korban lagi (Mansur & Gultom, 2006: 54-55).
2.2.7 Peran dari Berbagai Stakeholders
1. Polisi, Advokat, Pekerja Sosial, Tenaga Kesehatan, dan Relawan Pendamping
Korban :
a. Memberikan perlindungan sejak menerima/ mengetahuilaporan KDRT dan
memintakan surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan
b. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan kekerasan yang diterima
c. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi
korban
d. Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang
atau beberapa orang pendamping
e. Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada
korban
f. Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak- hak
korban dan proses peradilan
2. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan KDRT, perlindungan
dan pelayanan terhadap korban. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
berkewajiban:
a. Penyediaan ruang pelayanan khusus di Kantor Kepolisian, Aparat, Tenaga
b. Pembuatan dan pengembalian sistem serta mekanisme kerjasama program
pelayanan yang mudah diakses oleh korban
c. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan teman
korban
d. Untuk menyelenggarakan upaya pelayanan terhadap korban tersebut,
pemerintah dapat melakukan kerjasama dengan masyarakat atau lembaga
sosial lainnya.
3. Masyarakat
Setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya KDRT wajib
melakukan upaya- upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana
b. Memberikan perlindungan kepada korban
c. Memberikan pertolongan darurat
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan (Shinta &
Bramanti, 2007: 19).
2.3 Upaya yang Dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia
Yayasan Pusaka Indonesia yang bergerak dalam proses advokasi terhadap
anak dan perempuan yang menjadi korban tindakan kejahatan, dalam proses
advokasi biasanya dilakukan dengan 2 (dua) cara:
1. Mendatangi Calon Klien
Dari banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga (anak dan perempuan sebagai
korban) telah di dampingi oleh Yayasan Pusaka Indonesia, namun semakin terasa
banyak kasus yang tidak bisa di dampingi karena semata- mata berbagai macam
kasus ke tempat kejadian, khususnya ketika suatu dianggap sangat mendesak dan
harus segera di dampingi.
Pemberian advokasi yang dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia kepada korban
KDRT dengan cara mendatangi baik secara langsung pada korban tersebut atau
melalui koran (media massa) atau mitra- mitra Yayasan Pusaka Indonesia dalam
hal ini seperti kepolisian, kejaksaan bahkan hakim dan lembaga- lembaga
swadaya lain yang mengetahui peran dan kedudukan Yayasan Pusaka Indonesia
(SPO Penangan Kasus Yayasan Pusaka Indonesia, 2010: 12).
2. Menunggu Calon Klien
Prosedur pemberian advokasi dalam hal menunggu calon klien (korban KDRT)
yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia dapat dikatakan prosedur yang
sederhana di dahului dengan permohonan yang dilakukan keluarga, korban dan
Yayasan Pusaka Indonesiaakan merespon dengan cepat menyangkut penanganan
kasus tersebut.
Upaya yang selanjutnya dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia dalam
mendampingi klien, yaitu;
1. Investigasi
adalah serangkain tindakan untuk mengumpulkan fakta- fakta dalam mencari
kebenaran informasi tentang keberadaan korban/ pelaku. Investigasi dapat
dilakukan berdasarkan penerimaan laporan langsung (berasal dari keluarga/
korban), penerimaan laporan tidak langsung (berasal dari LSM lain/ media massa/
rujuakan polisi), meliputi :
a. Kunjungan kerumah korban; untuk mengetahui tempat tinggal korban dan
b. Meminta korban/ keluarga untuk melakuka kunjungan ke Yayasan Pusaka
Indonesia, apabila investigasi yang dilakukan berdasarkan pengadaan tidak
langsung; untuk mengetahui posisi kasus yang dialami korban (kronologi
kasus).
2. Penempatan Korban/ Penjemputan Korban
adalah tindakan yang dilakukan untuk memindahkan korban dari lokasi kejahatan/
pelaku dan memberi rasa aman kepada korban, meliputi :
a. Melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian; untuk mendapatkan bantuan/
perlindungan hukum
b. Menempatkan korban di rumah aman sementara (shelter) untuk menjauhkan
korban dari pelaku.
3. Pemeriksaan Kondisi Kesehatan
adalah melakukan langkah- langkah medis yang dipandang perlu untuk korban,
misalnya Visum et Repertum, rekan medik ( bagi korban kekerasan fisik dan
seksual), meliputi :
a. Membawa korban ke Rumah Sakit (RS), dengan merujuk ke Pusat Layanan
Terpadu di RS polda; untuk mengetahui kondisi kesehatan korban; adapun
pendampingan saat pemeriksaan kesehatan dengan tujuan agar korban serasa
terlindungi.
4. Konseling/ pemberian bimbingan psikologis
adalah tindakan yang dilakukan sebagai upaya penguatan psikologis korban,
meliputi :
a. Melakukan wawancara terhadap korban, berkaitan dengan latar belakang
5. Pendampingan dalam proses hukum (Litigasi)
adalah langkah hukum berupa pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP),
apabila pihak keluarga korban menginginkan kasusnya dilanjutkan, meliputi :
a. Proses hukum mulai dari polisi, jaksa sampai pengadilan; untuk memperoleh
bantuan/ perlindungan hukum.
6. Proses Perlindungan
adalah langkah kepada korban yang kasusnya telah selesai ditangani, meliputi:
a. Rehabilitasi: untuk pemulihan kondisi korban (penguatan secara psikologis,
apabila diperlukan oleh korban)
b. Reintegrasi : untuk mengembalikan korban kepada lingkungan keluarga,
masyarakat dan pendidikan
7. Monitoring
adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui perkembangan
kondisi ( fisik, psikologis, sosial, ekonomi) dari korban, meliputi:
a. Melakukan kunjungan ke rumah korban, atau melalui telepon; untuk
mengetahui kondisi korban selanjutnya, memantau perkembangan dari modal
usaha yang telah diberikan
b. Mengikutsertakan korban dalam kegiatan- kegiatan yang dilakukan Yayasan
Pusaka Indonesia (Yayasan Pusaka Indonesia, 2010: 44).
2.4 Peran Pekerja Sosial terhadap Masalah Kekerasan dalam Rumah Tangga
Menurut Charles Zastrow (dalam Sukoco, 2001: 7) Pekerjaan sosial
merupakan kegiatan profesional untuk membantu individu-individu,
kelompok-kelompok dan masyarakat guna meningkatkan atau memperbaiki kemampuan
mereka dalam berfungsi sosial serta menciptakan kondisi masyarakat yang
Beberapa peranan Pekerja Sosial yang saling berkaitan, menunjang dan
melengkapi dalam penyelesaian masalah kekerasan dalam rumah tangga tercakup
dalam aspek-aspek sebagai berikut:
a. Informasi, yaitu menghimpun, mengembangkan, memanfaatkan serta
menyediakan data dan informasi yang berkaitan dengan penanganan masalah
kekerasan dalam rumah tangga.
b. Partisipasi, yaitu mengambil langkah-langkah aktif asilitas, proaktif dalam
penyediaan sumber yang dibutuhkan oleh sasaran serta pengembangan
pendekatan penanggulangan masalah dan peningkatan kesejahteraan sasaran.
c. Pemberdayaan, yaitu meningkatkan pengertian, kesadaran, tanggungjawab,
komitmen, partisipasi dan kemampuan semua pihak yang terkait dengan
penanganan masalah kekerasan dalam rumah tangga.
d. Fasilitas, yaitu memberikan kemudahan berupa sumber dan peluang bagi
organisasi dan lembaga penyedia pelayanan sosial dalam penanganan kekerasan
dalam rumah tangga.
e. Asistensi, yaitu menyediakan bantuan, baik material maupun konsultasi, bagi
organisasi dan lembaga penyedia pelayanan sosial dalam penanganan kekerasan
dalam rumah tangga.
f. Mediasi, yaitu menjalurkan kepentingan berbagai pihak, baik kepentingan antar
organisasi atau lembaga penyedia peayanan maupun antara pihak yang
membutuhkan dengan pihak pemilik sumber, sehingga tercipta suatu sistem
yang baik untuk penanganan kekerasan dalam rumah tangga.
g. Kemitraan, yaitu menjalin hubungna dengan pemilik sumber serta menyalurkan
hubungan yang saling menguntungkan antara organisasi atau lembaga penyedia
h. Mobilisasi, yaitu menghimpun, mendayagunakan, mengembangkan dan
mempertanggung jawabkan sumber-sumber yang dibutuhkan dalam penanganan
kekerasan dalam rumah tangga (Solekhah, 2009 : 8).
Adapun Berdasarkan Pasal 22 dari Undang- Undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), dalam memberikan
pelayanan terhadap korban, pekerja sosial harus :
1. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban.
2. Memberikan informasi mengenai hak- hak korban untuk mendapatkan
perlindungan dari kepolisian dan penempatan perintah perlindungan dari
pengadilan
3. Mengantar korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif
4. Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban
dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial, yang dibutuhkan korban
5. Seluruh pelayanan ini dilakukandi rumah aman milik pemerintah, pemerintah
daerah atau masyarakat.
2.5 Kerangka Pemikiran
Advokasi yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia secara khusus
adalah pada tataran pendampingan dan pemberian bantuan hukum. Sebagai lembaga
yang mempunyai keterbatasan terhadap pendampingan korban KDRT serta
kasus-kasus lainnya.
Rumah tangga merupakan suatu wadah yang di dalamnya terdiri dari
keluarga yang umumnya memiliki pertalian darah antar anggotanya. Setiap
anggotanya memiliki peran dan fungsi masing-masing, seperti ayah umumnya adalah
seorang yang menjadi tulang punggung perekonomian bagi keluarga dan paling
keuangan rumah tangga dan melayani suami serta merawat anak-anaknya, sedangkan
anak sebagai anggota keluarga yang mendapatkan proses sosialisasi segala
tindak-tanduk dari orang lain disekelilingnya sebagai pembentukan tingkah laku anak
tersebut.
Secara umum, keluarga merupakan suatu lembaga yang berfungsi sebagai
sarana pendidikan, perlindungan, sosialisasi, religius, rekreasi, ekonomi dan
fungsi-fungsi lainnya. Fungsi-fungsi-fungsi tersebut merupakan suatu hal yang harus di dapatkan
setiap anggotanya, sehingga keharmonisan di dalam sebuah keluarga akan terwujud.
Namun, apabila fungsi-fungsi tersebut tidak dapat di jalankan dengan baik, maka
kemungkinan terjadinya penyimpangan di dalam sebuah keluarga sangatlah besar.
Salah satu contoh adalah apabila seorang ayah menyalahgunakan peran dan
fungsinya sebagai pemimpin, tetapi lebih menganggap dirinya adalah penguasa yang
harus ditakuti dan dituruti setiap kehendaknya oleh setiap anggota keluarga lainnya.
Hal tersebut dapat mengakibatkan potensi yang ada dalam diri anggota keluarga
lainnya tidak berkembang.
Dalam upaya melakukan perlindungan dan pendampingan, Yayasan Pusaka
Indonesia selalu melakukan investigasi terhadap korban dan pelaku KDRT,
memberikan perlindungan secara hukum dan psikogis. Dimana Yayasan Pusaka
Indonesia berperan penting dalam perlindungan korban baik anak dan perempuan.
Selain itu, Yayasan Pusaka Indonesia juga bekerja sama dengan pihak yang terkait
untuk membantu korban yang mengalami KDRT.
Pemberian konseling dan pelayanan medis selayaknya menjadi suatu yang
penting, karena hal tersebut dapat membantu korban kekerasan dalam menjalankan
dari keluarga korban menjadi satu paket yang tidak dapat dipisahkan dalam
pemberian kepercayaan diri korban.
Perempuan dan anak yang selalu menjadi korban kekerasan fisik, psikis,
seksual dan ekonomi ( penelantaran rumah tangga) dimana pelakunya adalah ayah
atau suami korban. Anak dan perempuan yang menjadi korban yang sangat dirugikan
baik materil maupun inmateril, mereka sangat memerlukan pelayanan yang
maksimal dan meyeluruh, mudah diakses dan berjangka panjang. Dimana korban
yang mengalami kekerasan yang sangat parah atau memperihatinkan selayaknya
harus berada di rumah aman, agar mereka merasa terlindungi dari pihak- pihak yang
ingin menyakitinya, berusaha mengintervensi, menghilangkan rasa trauma dan
tekanan mental serta mengembalikan rasa percaya diri korban.
Program- program pemulihan dan perlindungan sangat dibutuhkan dalam
mengembalikan martabat korban kekerasan, kesehatan jasmani dan rohaninya. Selain
itu, program ini harus bertujuan membawa perbaikan bagi lingkungan korban, agar
tidak ada lagi korban KDRT. Perbaikan tersebut bisa melalui kesejahteraan lahiriah,
peningkatan harga diri, dan peningkatan kemampuan untuk melindungi diri.
Rasa ketergantungan korban terhadap pelaku, terutama dari segi ekonomi,
menunjukkan bahwa anak terutama perempuan adalah makhluk yang sangat rentan
mengalami kekerasan. Pelaku merasa dirinya yang paling berkuasa, sehingga bisa
sesukanya melakukan kekerasan terhadap anak dan perempuan. Sebelum korban
kembali ke lingkungannya atau memulangkan korban ke kampung halamnannya,
korban seharusnya sudah siap untuk mandiri dalam ekonomi. Monitoring yang
dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia bertujuan untuk mengetahui suksesnya proses
pemberian konseling dan motivasi diri agar dapat mengembangkan potensi diri yang
Perlunya pencapaian tujuan dalam menghapus kekerasan dalam rumah
tangga, dimana peran semua lapisan masyarakat dan pembentukan kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah, agar tidak terjadi lagi kekerasan dalam rumah tangga.
Tabel 1
b. Penempatan Korban/ Penjemputan Korban
c. Pemeriksaan Kondisi Kesehatan
d. Konseling/ pemberian bimbingan psikologis
e. Pendampingan dalam proses hukum (Litigasi)
f. Proses Perlindungan
g. Monitoring
Tujuan dari advokasi
a. Perlindungan terhadap korban KDRT (korban langsung maupun korban tidak langsung) b. Penindakan hukum terhadap
pelaku KDRT
c. Mencari penyelesaian alternatif kasus KDRT.
d. Peran pemerintah dan
2.7 Definisi Konsep
Woodruf (Sugiyono, 2011
Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep- konsep yang
dijadikan objek penelitian, maka seorang peneliti harus menegaskan dan membatasi
makna konsep- konsep yang diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan
makna konsep dalam suatu penelitian disebut dengan definisi konsep. Secara
sederhana definisi ini diartikan sebagai “batasan arti”. Dalam hal ini, perumusan
definisi konsep dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa peneliti ingin mencegah
salah pengertian atas konsep yang diteliti. Dengan kata lain, peneliti berupaya
menggiring para pembaca hasil penelitian itu untuk memaknai konsep itu sesuai
dengan yang diinginkan dan dimaksudkan oleh si peneliti. Definisi konsep adalah
pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian
(siagian, 2011: 138).
: 54) mendefinisikan konsep sebagai adalah suatu
gagasan/ ide yang relatif sempurna dan bermakna, suatu pengertian tentang suatu
objek, produk subjektif yang berasal dari cara seseorang membuat pengertian
terhadap objek-objek atau benda-benda melalui pengalamannya (setelah melakukan
persepsi terhadap objek/benda). Pada tingkat konkrit, konsep merupakan suatu
gambaran mental dari beberapa objek atau kejadian yang sesungguhnya. Pada tingkat
abstrak dan komplek, konsep merupakan sintesis sejumlah kesimpulan yang telah
ditarik dari pengalaman dengan objek atau kejadian tertentu.
Adapun yang menjadi batasan konsep dalam penelitian ini adalah:
a. Advokasi adalah usaha sistimatis secara bertahap (inkremental) dan terorganisir
yang dilakukan oleh kelompok atau organisasi profesi untuk menyuarakan
aspirasi anggota, serta usaha mempengaruhi pembuat kebijakan publik untuk
b. Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat
tindakan orang lain yang mencarai pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang
lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.
c. kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berkaitan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/ atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
d. Rumah Tangga adalah sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan keluarga dalam
rumah. Sehingga dapat dinyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah
suatu perlakuan yang dialami oleh sebuah keluarga sehingga menimbulkan
potensi korban tidak berkembang.
e. kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu bentuk penganiayaan secara fisik
maupun emosional atau psikologis, yang merupakan suatu cara pengontrolan