• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Keluarga Broken Home Terhadap Proses Sosialisasi Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Pengaruh Keluarga Broken Home Terhadap Proses Sosialisasi Anak"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

AGENDA : Analisis Gender Anak , Vol. 5 (1), 2023, (Juni) ISSN Print: 2615-1502 ISSN Online: 2723-3278 Tersedia online di

http://ecampus.iainbatusangkar.ac.id/ojs/index.php/agenda

The Influence of Broken Home Family on the Socialization Process of Children

Pengaruh Keluarga Broken Home terhadap Proses Sosialisasi Anak

Latifah Zahra Ai’ni

Universitas Islam Negeri Mahmud Yunus Batusangkar, Sumatera Barat, Indonesia

E-mail: latifahzahra021@gmail.com Yarhamna

SDN 04 Batu Payuang, Sumatera Barat, Indonesia

E-mail: yarhamna1069@gmail.com

Zulharfi

MTI Tarusan Kamang, Sumatera Barat, Indonesia

E-mail: zularfi97@gmail.com

Abstract: The significant number of divorce cases, including both divorces and widowhoods, in Indonesia, particularly in the West Sumatra region, known colloquially as 'Broken Homes,' has raised concerns among researchers regarding its potential influence on the socialization process of children. This research was conducted using a descriptive method with a qualitative approach, making it a mini research study. The data collection technique employed was online interviews conducted through Google Forms. The study subjects were children who had experienced a broken home and were residing in the West Sumatra area. The research results revealed that the concept of a Broken Home family can indeed impact the socialization process of children, encompassing primary socialization aspects such as shifts in a child's personality, education, and habits, as well as secondary socialization processes involving mass media, formal institutions, and the immediate environment.

These changes were found to be influenced by both parties involved—namely, children and families—with remaining motivation, strong religious knowledge, and mutual support serving as contributing factors.

Keywords : Broken home, Socialization process, Influence, Change

Abstrak: Besarnya jumlah kasus perceraian baik cerai hidup maupun cerai mati di Indonesia khususnya di daerah Sumatera Barat yang sering kita kenal dengan sebutan Broken home, menjadi perhatian bagi peneliti dalam menganalisis pengaruh yang dapat ditimbulkan terhadap proses sosialisasi anak. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode deskriptif kuantitatif, penelitian ini termasuk mini riset. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa kuesioner online dengan bantuan google form. Subjek dari penelitian ini adalah anak yang mengalami keadaan Broken home dan berada di daerah Sumatera Barat. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh informasi bahwasanya keluarga Broken home dapat mempengaruhi proses sosialisasi anak dari segi sosialisasi primer yaitu perubahan kepribadian, pendidikan dan kebiasaan anak dan proses sosialisasi sekunder yaitu media massa, lembaga formal dan lingkungan sekitar.

(2)

Perubahan yang terjadi dapat dipengaruhi oleh kedua belah pihak yaitu anak dan keluarga yang masih ada yang mempunyai motivasi, ilmu agama yang tinggi dan saling mengingatkan antara satu sama lainnya.

Kata Kunci: Broken home, Proses sosialisasi, Pengaruh, Perubahan

PENDAHULUAN

Berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), 3.172.498 atau 4,79 persen keluarga di Indonesia dan 80,68 ribu orang atau 1,44 persen di Sumatera Barat mengalami perceraian seumur hidup dan mengalami konflik. Sementara itu, 25.430 anak di Indonesia kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya (bercerai atau meninggal dunia) akibat COVID-19 sejak pandemi dimulai.

Informasi ini dikumpulkan sebagai bagian dari survei nasional yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) bersama UNICEF (Dukcapil, 2021).

Kehilangan salah satu atau kedua orang tua membahayakan status gizi, tumbuh kembang anak. Mereka juga berisiko lebih besar menjadi korban penelantaran, kekerasan dan pelecehan, terutama bayi dan anak kecil dari keluarga miskin. Anak yatim dan orang yang ceroboh sering dihadapkan pada konsekuensi negatif seperti kemiskinan dan institusional (Ardilla &

Cholid, 2021).

Keluarga adalah tempat paling utama untuk melepaskan suka dan duka seseorang Kalau sekali kehilangan satu

atau dua bahkan lebih dari anggota keluarga, maka suasana keluarga akan berubah berbeda dari biasanya. Orang tua keluarga memegang peranan paling penting dalam membangun keharmonisan keluarga. Namun, jika orang tua tidak mampu menjalankan perannya dengan baik, besar kemungkinan cepat atau lambat keluarga akan pecah. Orang tua memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk mengurus kebutuhan anak-anak mereka. Jika seorang anak tidak mendapat kasih sayang penuh dari orang tuanya, maka akan berdampak besar pada masa depannya (Ardilla &

Cholid, 2021).

Massa et al., (2020) Keluarga dalam keluarga Broken home dapat diidentifikasi dengan menggunakan kriteria; 1.) meninggalnya salah satu atau kedua orang tua, 2.) perceraian (kedua orang tua berpisah atau bercerai), 3.) perkawinan yang buruk, (hubungan antara orang tua dan anak tidak baik), 4.) hubungan yang buruk antara orang tua dan anak, (orang tua, hubungannya tidak baik), 5.) Ketegangan tinggi dan kehangatan rendah, (suasana kekeluargaan dan tidak ada kehangatan), 6.) Gangguan kepribadian, (salah satu atau kedua orang tua memiliki gangguan kepribadian atau gangguan mental).

(3)

Menurut Sri handayani (1974:

31) Penyebab yang terjadi pada keluarga Broken home adalah: (1) Penyebab fisik, yaitu kondisi fisik yang menyebabkan Broken home, seperti perceraian, kematian, penelantaran, dan perpisahan; (2) Penyebab psikologis, yaitu penyebab psikologis yang disebabkan oleh perbuatan, perbedaan pendapat, perbedaan pendapat, kecemburuan, ketidakcintaan dan lain- lain yang menimbulkan pertengkaran atau konflik; (3) Alasan ekonomi yaitu keadaan ekonomi yang kurang baik, penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan dan pengeluaran keluarga, hal ini dapat dengan mudah menimbulkan efek psikologis pada keluarga; (4) Sebab-sebab sosial, hal ini tidak ada pengaruhnya secara langsung, tetapi kemungkinan besar akan muncul Broken home, misalnya komunitas penjudi, penjudi, peminum; dan (5) alasan ideologis, yaitu perbedaan pemahaman, sikap dan pandangan, perbedaan agama antara laki-laki dan perempuan. Kemudian komunikasi tertutup, egosentrisme, berhemat, tergesa-gesa, sedikit pengertian dan adanya pihak ketiga (Hafiza &

Mawarpury, 2018).

Ketimpangan ini tidak hanya terjadi di kota tetapi juga di pedesaan, karena masih ada anak yang putus sekolah dan menikah di bawah umur akibat perpecahan keluarga, hal ini juga terjadi di banyak daerah. Di Sumatera Barat, baik di tingkat pelajar maupun pekerja yang terdampak Broken home.

Tidak hanya keluarga menengah ke

bawah yang secara finansial terbatas, tetapi juga keluarga menengah ke atas berpeluang terjerumus ke dalam masalah rumah tangga karena ketidakharmonisan hubungan keluarga, baik antara orang tua, anak dekat, maupun orang tua dan anak. Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap tindakan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang menyebabkan tekanan atau penderitaan fisik, seksual atau emosional. Inilah yang terjadi di desa Liprak Kidul. Kekerasan dalam rumah tangga adalah salah satu penyebab keluarga berantakan. Seringkali suami memukuli istrinya karena hal-hal sepele, yang membuat istri tidak sanggup menghadapi perlakuan suaminya, yang berujung pada berakhirnya rumah tangga (Khoiroh et al., 2022).

Dari tulisan-tulisan sebelumnya dapat diketahui bahwa kehilangan orang tua, baik yang berpisah maupun bercerai, merupakan salah satu kriteria keluarga yang Broken home. Broken home sendiri berarti krisis keluarga.

Krisis keluarga berarti bahwa kehidupan keluarga dalam keadaan kacau, tidak teratur dan terarah, orang tua kehilangan kemampuan untuk mengendalikan hidup anak-anaknya terutama remaja, mereka menentang orang tua mereka dan ada pergumulan terus-menerus antara ibu dan ayah, terutama mengenai pendidikan anak- anak Krisis keluarga juga dapat menyebabkan perceraian. Dengan kata lain, krisis keluarga melibatkan keadaan yang sangat tidak stabil dalam keluarga

(4)

di mana komunikasi dua arah tidak lagi ada dalam kondisi demokratis (Massa et al., 2020). Anak adalah korban yang paling terluka ketika ayah ibunya memutuskan untuk bercerai (Hasanah, 2020).

Broken home berasal dari dua kata yaitu rikki dan koti. Rusak berasal dari kata break artinya retak sedangkan home artinya rumah atau rumah tangga.

Broken home dapat digambarkan sebagai kekacauan dalam keluarga.

Gangguan keluarga adalah fokus umum karena setiap orang dipengaruhi oleh salah satu dari beberapa jenis dan karena pengalaman biasanya dramatis, melibatkan pilihan dan penyesuaian moral yang dramatis.

Kekacauan keluarga dapat diartikan sebagai pecahnya unit keluarga, pecahnya struktur peran sosial, atau pecahnya ketika satu atau lebih anggota tidak memenuhi kewajiban peran mereka secara memadai (Goode, 2007:184). Menurut definisi di atas, jenis utama gangguan keluarga adalah sebagai berikut: 1.) Cacat. Ini adalah unit keluarga yang tidak lengkap, 2) penarikan diri, perpisahan, perceraian dan pemindahan, 3) keluarga selaput kosong, 4) tidak adanya pasangan karena perselingkuhan yang tidak diinginkan. Kegagalan peran kritis yang tidak diinginkan. Padahal, anak-anak yang merusak rumah bukan sembarang anak yang berasal dari orang tua yang bercerai, tetapi juga anak-anak yang berasal dari keluarga yang tidak utuh atau tidak harmonis. Dia banyak faktor di balik teman sekamar yang

rusak, di antaranya argumen lain atau argumen orang tua dan perceraian. Di antaranya, dampak broken home terhadap psikologi anak. Anak itu mulai menderita kecemasan dan ketakutan yang luar biasa. seorang anak perasaan terjebak di tengah ketika harus memilih antara ibu atau ayah, anak sering merasa bersalah dan kapan Kedua orang tua bertengkar, hal itu memungkinkan anak membenci salah satu orang tuanya (Mistiani, 2020).

Dilihat dari definisi, sebab dan akibat dari keluarga yang retak ini, proses sosial anak tentu juga terlibat.

Proses sosialisasi itu sendiri berarti proses mempelajari segala sesuatu yang menyangkut bahasa, norma, nilai, sistem sosial, ilmu pengetahuan, mata pencaharian, seni dan agama. Menurut Brinkerhof dan White dalam Damsar (2012: 66) berarti sosialisasi adalah proses mempelajari peran, status dan nilai yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam lembaga sosial.

Sementara itu, menurut Durkheim, sosialisasi adalah suatu proses di mana seorang individu mempelajari dan menginternalisasi norma dan nilai dalam masyarakat tempat ia menemukan dirinya dan membangun identitas sosialnya Hidayat (2016:88).

Koentjaraningrat (2002: 229) juga menjelaskan proses sosialisasi, yang berkaitan dengan pembelajaran budaya dalam kaitannya dengan sistem sosial. Dalam proses ini, sejak masa kanak-kanak hingga masa tua, seorang individu mempelajari pola tindakan dengan cara berinteraksi dengan

(5)

berbagai macam orang di sekitarnya, yang menempati berbagai peran sosial yang mungkin muncul dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan dari proses sosial adalah agar manusia dapat hidup dalam masyarakat yang bermartabat. Dalam hal ini perlu diperoleh berbagai informasi tentang masyarakat melalui pembelajaran sosial Ldi et al (2014:

100)

Belakangan ini banyak orang tua, masyarakat bahkan pemerintah yang kurang memahami pentingnya proses sosial yang dilalui setiap anak.

Mengingat kurangnya pengawasan, perhatian dan bimbingan orang tua terhadap anaknya, tidak heran jika semakin banyak orang yang melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan norma, nilai dan budaya masyarakat yang berlaku. Selain itu, perkembangan teknologi di sekitar masyarakat membuka jalan komunikasi, dan ini tentunya menjadi salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi proses sosial. Seiring dengan hubungan keluarga yang sumbang, anak juga dapat kehilangan proses sosial yang maksimal, sehingga anak biasanya tidak dapat bersosialisasi dengan baik atau proses sosial sosialnya terganggu karena sejatinya menurut Detriana (2017) Keluarga sebagai unit sosial terkecil, di mana proses belajar pertama kali diperoleh di lingkungan keluarga.

Dari perpaduan antara keluarga Broken home dengan proses sosisialisasi anak, penulis dapat meneliti pengaruh antara keduanya. Dimana penulis berpedoman pada kutipan yang

penulis kutip dari (Massa et al., 2020) yang menjelaskan bahwa kriteria bisa dikatakan Broken home ada enam macam, dan penulis mengambil tiga poin diantaranya: Kematian salah satu atau kedua orang tua, Divorce, (kedua orang tua berpisah atau bercerai), dan High tenses and low warmth, (suasana keluarga dan tanpa kehangatan). Alasan penulis mengambil tiga poin ini karena keadaan tersebutlah yang paling sering terjadi di dalam keluarga dan paling banyak di jumpai di lingkungan sekitar.

Dari ketiga poin ini penulis akan menghubungkannya dengan pengaruh- pengaruh yang mungkin dialami oleh anak dari keluarga yang Broken home.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis bagaimana pengaruh keluarga Broken home terhadap proses sosialisasi anak. Baik itu pada kepribadian anak, pendidikan anak, kebiasaan anak dalam bersosialisasi, lingkungan sekitar anak, prnggunaan media massa dan juga lembaga formal (sekolah, organisasi, kampus bahkan kantor) yang anak tersebut jalani.

METODE:

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Dimana metode penelitian adalah proses ilmiah atau jalan menuju pengetahuan informasi dengan tujuan tertentu (Resseffendi 2010:33) mengatakannya Penelitian deskriptif adalah penelitian yang menggunakan observasi dan wawancara atau kuesioner tentang situasi studi.

Peneliti mengumpulkan data

(6)

menggunakan instrumen kuesioner online (google form) yang ditujukan pada anak di daerah Sumatera Barat dengan subjek penelitian adalah siswa dan mahasiswa dimana diambil secara acak yang ada di daerah Sumatera Barat.

Peneliti ini menggunakan subjek penelitian siswa dan mahasiswa yaitu karena sebagian dari anak yang terdampak dari keadaan keluarga Broken home adalah siswa dan mahasiswa. Sedangkan peneliti memilih daerah Sumatera Barat karena peneliti berasal dari daerah Sumatera Barat dan sedang melanjutkan pendidikan S1 di daerah Sumatera Barat. Dari hasil kuisioner tersebut, peneliti akan menganalisis hasil yang diperoleh melalui pernyataan yang ada di dalam kuisioner tersebut.

Melalui penelitian deskriptif ini Peneliti menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dalam situasi saat ini akan diperiksa. Sugiyono (2017: 2) mengatakan bahwa metode penelitian pada hakekatnya adalah kualitas ilmiah untuk mendapatkan informasi dengan cara yang ditargetkan dan dapat digunakan aman. Untuk pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif seperti yang ditunjukkan (Sugiyono 2017: 8) itu Metode penelitian kuantitatif didefinisikan sebagai metode penelitian yang berdasarkan filosofi positivisme yang digunakan untuk mempelajari populasi atau sampel tertentu dengan mengumpulkan informasi melalui alat penelitian, Analisis data bersifat kuantitatif/statistik dan bertujuan untuk

mendiagnosis hipotensi apa yang diperbaiki. Peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif ini mengukur keberhasilan dalam mempengaruhi perhatian orang tua minat siswa untuk belajar.

Pada penelitian ini tidak menggunakan tempat sebagai tempat penelitian, namun hanya menggunakan handphone, laptop atau media elektronik lainnya yang tersambung internet agar dapat mengakses kuisioner yang telah disediakan. Data yang dikumpulkan berguna untuk mengetahui pengaruh keluarga Broken home terhadap proses sosialisasi anak.

Teknik analisis data yang peneliti gunakan adalah mendeskripsikan hasil yang diperoleh dari butiran-butiran pernyataan yang terdapat di dalam kuisioner dan di akhir pembahasan akan menyimpulkan apakah keluarga Broken home berpengaruh terhadap proses sosialisasi anak ataukah tidak.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Berdasarkan hasil dari kuisioner yang telah dibagikan, maka diperoleh:

Frekuensi Kriteria Broken home

0 5 10

Divorce, (kedua orang tua berpisah atau

bercerai)

Kematian salah satu atau kedua orang tua

Frekuensi Kriteria Broken home

Gambar 1. Frekuensi Kriteria Broken home

(7)

Berdasarkan data diatas, maka diperoleh, dari 11 responden, terdapat 8 orang atau 73 persen yang mengalami Broken home dengan kriteria kematian salah satu atau kedua orang tua dan 3 orang atau 27 persen yang mengalami Broken home dengan kriteria divorce, (kedua orang tua berpisah atau bercerai). Jadi dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini anak Broken home dengan kriteria Kematian salah satu atau kedua orang tua lebih besar daripada Divorce (kedua orang tua berpisah atau bercerai).

Frekuensi pernyataan kuisioner Broken home

Gambar 2. Frekuensi pernyataan kuisioner

Berdasarkan hasil frekuensi pernyataan kuisioner yang sudah dibagikan, dapat diketahui bahwa perhitungan pada pernyataan Saya merasa kesepian dan tidak ada tempat curhat ketika menghadapi masalah dihasilkan frekuensi yang menyatakan sangat setuju sebanyak 2 orang atau sekitar 18%, yang menjawab setuju 4 orang sekitar 36 % dan tidak setuju 5 orang atau sekitar 45%, sedangkan jawaban sangat tidak setuju tidak ada yang memilih. Dapat disimpulkan

bahwa responden seimbang antara merasa kesepian dengan tidak merasa kesepian ketika ada masalah.

Berdasarkan perhitungan pada pernyataan saya dituntut mandiri dalam melakukan segala kegiatan dihasilkan frekuensi yang menyatakan sangat setuju sebanyak 4 orang atau sekitar 36%, yang menjawab setuju 4 orang sekitar 36 % dan tidak setuju 3 orang atau sekitar 27%, sedangkan jawaban sangat tidak setuju tidak ada yang memilih. Dapat disimpulkan bahwa responden lebih banyak dituntut untuk mandiri dalam melakukan segala kegiatan.

Berdasarkan perhitungan pada pernyataan Saya mudah bersedih ketika teringat keadaan (Broken home) yang sedang saya alami dihasilkan frekuensi yang menyatakan sangat setuju sebanyak 4 orang atau sekitar 36%, yang menjawab setuju 5 orang sekitar 36 % dan tidak setuju tidak ada yang memilih, sedangkan jawaban sangat tidak setuju sebanyak 2 orang atau sekitar 18%. Dapat disimpulkan bahwa responden lebih sebagian besar mudah bersedih ketika teringat keadaan (Broken home) yang dialaminya namun sebagian kecil ada yang tidak mudah bersedih ketika mengingat keadaan (Broken home) yang sedang dialaminya.

Berdasarkan perhitungan pada pernyataan Saya tidak ingin orang lain tahu (merahasiakan) tentang masalah yang sedang saya hadapi dihasilkan frekuensi yang menyatakan sangat setuju sebanyak 7 orang atau sekitar 64%, yang menjawab setuju 1 orang

(8)

atau sekitar 9 %, tidak setuju sebanyak 2 otang atau 18%, sedangkan jawaban sangat tidak setuju sebanyak 1 orang atau sekitar 9%. Dapat disimpulkan bahwa responden lebih sebagian besar merahasiakan tentang masalah yang sedang dihadapinya namun sebagian kecil ada yang tidak merahasiakan masalah yang sedang saya dihadapinya.

Dari perhitungan pada pernyataan Proses pendidikan saya terganggu karena kondisi keluarga Broken Home dihasilkan frekuensi yang menyatakan sangat setuju sebanyak 2 orang atau sekitar 18%, yang menjawab setuju 2 orang sekitar 18%, tidak setuju sebanyak 2 otang atau 18%, sedangkan jawaban sangat tidak setuju sebanyak 5 orang atau sekitar 45%. Dapat disimpulkan bahwa jawaban responden seimbang antara proses pendidikannya terganggu dengan yang tidak merasa terganggu proses pendidikannya dalam keadaan Broken home sekalipun.

Dari perhitungan pada pernyataan Terkadang saya tidak semangat dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dihasilkan frekuensi yang menyatakan sangat setuju tidak ada yang memilih, yang menjawab setuju 3 orang sekitar 27%, tidak setuju sebanyak 5 otang atau 45%, sedangkan jawaban sangat tidak setuju sebanyak 3 orang atau sekitar 27%. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden memiliki semangat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan sebagian kecil dari responden tidak

semangat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Dari perhitungan pada pernyataan Cara saya bicara dengan orang lain cenderung kasar dan bernada tinggi dihasilkan frekuensi yang menyatakan sangat setuju tidak ada yang memilih, yang menjawab setuju 1 orang atau sekitar 9%, tidak setuju sebanyak 5 otang atau 45%, sedangkan jawaban sangat tidak setuju sebanyak 5 orang atau sekitar 45%. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden tidak berbicara kasar atau bernada tinggi kepada orang lain dan 1 orang cenderung berbicara kasar atau bernada tinggi kepada orang lain.

Dari perhitungan pada pernyataan Saya sering menjadikan media massa sebagai tempat curhat dari segala masalah dihasilkan frekuensi yang menyatakan sangat setuju tidak ada yang memilih, yang menjawab setuju 4 orang sekitar 36%, Tidak yang menjawab tidak setuju sebanyak 6 orang atau sekitar 55%, sedangkan jawaban sangat tidak setuju sebanyak 1 orang atau sekitar 9%. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden tidak menjadikan media massa sebagai tempat curhat dari segala masalah dan sebagian kecil responden menjadikan media massa sebagai tempat curhat dari segala masalahnya.

Dari perhitungan pada pernyataan Saya cenderung tidak fokus ketika sedang berdiskusi di dalam forum dihasilkan frekuensi yang menyatakan sangat setuju 1 orang atau sekitar 9%, yang menjawab setuju 3 orang atau

(9)

sekitar 27%, tidak setuju sebanyak 4 otang atau 36%, sedangkan jawaban sangat tidak setuju sebanyak 3 orang atau sekitar 27%. Dapat disimpulkan bahwa sebagian kecil responden tidak fokus ketika sedang berdiskusi di dalam forum dan sebagian besar responden dapat fokus ketika sedang berdiskusi di dalam forum.

Pada pernyataan terakhir, Saya mudah terpengaruh oleh pergaulan teman sekitar saya dihasilkan frekuensi yang menyatakan sangat setuju tidak ada yang memilih, yang menjawab setuju 4 orang atau sekitar 36%, yang menjawab tidak setuju sebanyak 4 otang atau sekitar 36%, sedangkan jawaban sangat tidak setuju sebanyak 3 orang atau sekitar 27%. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden tidak mudah terpengaruh oleh pergaulan teman sekitarnya dan sebagian kecil responden mudah terpengaruh oleh pergaulan teman sekitarnya.

Dari 11 responden, terdapat 8 orang atau 73 persen yang mengalami Broken home dengan kriteria kematian salah satu atau kedua orang tua dan 3 orang atau 27 persen yang mengalami Broken home dengan kriteria divorce, (kedua orang tua berpisah atau bercerai). Dengan adanya data ini dapat diketahui bahwa di daerah Sumatera Barat siswa dan mahasiswanya lebih banyak mengalami Broken home dengan kriteria kematian salah satu atau kedua orang tua daripada Broken home dengan kriteria divorce, (kedua orang tua berpisah atau bercerai) artinya kasus

perceraian lebih sedikit daripada kematian.

Berdasarkan 10 pernyataan kuisioner yang sudah dijawab oleh responden, maka dapat dikelompokkan menjadi 6 macam pengaruh Broken home yang dapat dirasakan oleh anak pada proses sosialisasinya, yaitu:

perubahan kepribadian anak, pendidikan anak, kebiasaan anak, lingkungan sekitar, penggunaan media massa, dan ketika berada di lembaga formal. Keeanm aspek ini merupakan bagian dari proses sosialisasi anak, yaitu sosialisasi primer (lingkungan keluarga) dan sosialisasi sekunder (setelah sosialisasi primer).

Adapun pada bagian perubahan kepribadian anak, itu terdapat pada pernyataan 1 sampai 4 dimana memaparkan tentang anak merasa kesepian dan tidak ada tempat curhat ketika menghadapi masalah, anak dituntut mandiri dalam melakukan segala kegiatan, anak mudah bersedih ketika teringat keadaan (Broken home) yang sedang dialaminya, dan anak tidak ingin orang lain tahu (merahasiakan) tentang masalah yang sedang dihadapinya. Dari pernyataan diatas, dapat ditarik simpulan berdasarkan hasil kuisioner bahwasanya keadaan keluarga Broken home dapat merubah kepribadian anak dalam proses sosialisasinya. Hal ini dapat terjadi karena lemahnya mental anak dan hilangnya suasana keceriaan yang diperoleh anak dari orang tuanya sehingga kepribadian anak pun berubah

(10)

apabila orang tua tidak lagi bersama seperti halnya orang tua yang harmonis.

Pembahasan

Massa (2020) menjelaskan bahwa anak-anak Broken home rentan mengalami gangguan jiwa akibat perceraian orang tuanya. Dalam hal ini tentunya peran keluarga sangat diperlukan untuk perkembangan anak di masa mendatang, baik secara mental maupun fisik. Karena ketika terjadi perceraian, itu berarti masa kritis bagi sang anak, apalagi jika menyangkut hubungan antara orang tua yang tidak lagi tinggal bersama, ketika emosi yang berbeda berkecamuk di kepala anak.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi dirinya adalah dirinya sendiri dan lingkungannya. Kepribadian mencakup berbagai elemen yang ada.

Pada dasarnya, ini adalah keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan (Soekanto, 2013).

Kemudian dalam bidang pendidikan yang terdapat pada pernyataan 5 dan 6 yang memaparkan tentang Proses pendidikan anak terganggu karena keluarga Broken home dan anak tidak semangat dalam melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dapat disimpulkan berdasarkan hasil kuisioner bahwa sebagian besar anak tidak mengalami gangguan pada proses pendidikan anak, namun sebagian kecil merasa terganggu proses pendidikannya dengan adanya keadaan keluarga Broken home. Dapat diartikan bahwa anak ini memiliki motivasi yang tinggi dalam

mensukseskan proses pendidikannya dan tidak mau keadaan keluarga Broken home yang dia alami mengganggu kesuksesannya di masa depan.

Berbanding terbalik dengan persepsi banyak orang yang menganggap keluarga Broken home dapat merusak proses pendidikan anak. Hal ini dapat terjadi karena setelah terjadinya Broken home orang tua anak, keluarga terdekat atau lingkungan tempat ia tinggal itu baik dan bersuasana positif, sehingga anak tidak terlalu berpengaruh pendidikannya terhadap permasalahan Broken home. Kemudian tingginya ilmu agama yang dimiliki oleh anak dan orang tua yang masih ada, yang mementingkan pendidikan atau mencari ilmu sebagai bekal hidup di dunia dan tingginya motivasi anak untuk sukses dan membanggakan orang tuanya yang masih tinggal dan masyarakat sekitar sehingga dapat membuktikan bahwa persepsi orang tentang anak Broken home gagal dalam pendidikan itu salah.

Pada pernyataan ke 7 tentang anak mengalami perubahan cara bicara dengan orang lain cenderung kasar dan bernada tinggi itu dapat dimasukkan pada bagian kebiasaan anak dalam proses sosialisasi. Berdaasarkan hasil kuisioner dapat disimpulkan bahwa sebagian besar anak menolak terjadinya perubahan cara bicara dengan orang lain cenderung kasar dan bernada tinggi sedangkan 1 orang mengalami terjadinya perubahan cara bicara dengan orang lain cenderung kasar dan bernada tinggi dari cara bicara sebelumnya. Hal ini dapat terjadi karena dipengaruhi

(11)

mental, psikologis,dan perilaku anak yang sudah berubah sehingga anak tidak dapat mengontrol dirinya untuk tetap berperilaku sesuai dirinya sebelumnya.

Namun sebagian anak dapat mengontrol emosi dan perilakunya agar tidak berbicara kasar dan bernada tinggi kepada orang lain.

Pada pernyataan 8 yang memaparkan tentang anak sering menjadikan media massa sebagai tempat curhat dari segala masalah, sebagaimana berkembangnya media teknologi dan komunikasi, sebagian besar anak-anak hingga dewasa menggunakan media sosialnya sebagai tempat curhat selain orangtua dan keluarga, apalagi anak dari keluarga Broken home yang tidak lagi memiliki orang tua yang utuh seperti teman- temannya. Namun, dari hasil kuisioner tentang pernyataan ini, sebagian besar anak tidak sering menjadikan media massa sebagai tempat curhat dari segala masalahnya bahkan hanya sedikit yang melakukan hal itu. Kegiatan ini dilakukan oleh anak Broken home merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk mengeluarkan isi hatinya dan menghibur dirinya dari gangguan mental yang begitu berat.

Pada penelitian ini, hanya sedikit anak yang sering melakukannya sedangkan sebagian besar anak tidak melakukan hal itu untuk melakukan proses sosialisasinya melainkan memiliki cara lain untuk menjalani proses sosialisasinya.

Selanjutnya pada bidang lembaga formal, yang terdapat pada

pernyataan 9 yaitu tentang anak cenderung tidak fokus ketika sedang berdiskusi di dalam forum, berdasarkan hasil kuisioner penelitian bahwasanya sebagian anak dapat fokus ketika sedang berdiskusi di dalam forum dan hanya sebagian kecil anak yang tidak dapat fokus ketika sedang berdiskusi di dalam forum. Hal ini dapat terjadi apabila anak dapat menentukan mana yang seharusnya menjadi prioritas dan dimana ia harus fokus serta bersikap profesional. Suksesnya anak dalam hal ini berbanding lurus dengan suksesnya anak dalam proses pendidikan. Dimana di dalam proses pendidikan akan terjadinya proses sosialisasi anak dengan baik yang sering diajarkan guru atau dosen kepada siswa atau mahasiswanya.

Kemudian yang terakhir adalah bagian lingkungan sekitar yang terdapat pada pernyataan 10 menjelaskan tentang anak mudah terpengaruh oleh pergaulan teman sekitarnya.

Berdasarkan hasil kuisioner didapatkan hasil bahwa sebagian anak tidak mudah terpengaruh dengan pergaulan (buruk) teman sekitarnya, namun sebagian kecil anak mudah terpengaruh dengan pergaulan (buruk) teman sekitarnya. Hal ini dapat terjadi karena 2 pihak yaitu pihak anak dan pihak keluarga tempat ia tinggal, dimana apabila anak dan keluarga tempat ia tinggal memiliki ilmu agama yang tinggi, berpendidikan dan saling mengingatkan maka anak tidak akan mudah terpengaruh dengan pergaulan buruk teman sekitarnya.

Akan tetapi, jika hal itu tidak dimiliki

(12)

oleh anak dan keluarga tempat ia tinggal, maka anak akan mudah terpengaruh dengan pergaulan buruk teman sekitarnya. Karena dengan adanya hubungan orang tua yang baik dengan anak, maka proses sosialisasi pun akan baik pula.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka dapat ditarik simpulan bahwasanya keluarga Broken home dapat berpengaruh terhadap proses sosialisasi anak. Dimana dapat dilihat dari proses sosialisasi primer yaitu perubahan kepribadian, pendidikan dan kebiasaan anak dan proses sosialisasi sekunder yaitu media massa, lembaga formal dan lingkungan sekitar. Yang diperoleh hasil bahwa sebagian anak mengalami perubahan proses sosialisasi dan sebagian anak lainnya tidak mengalami perubahan atau dapat bertahan untuk tetap dapat mejalani proses sosialisasinya dengan baik walaupun hidup dalam keadaan keluarga Broken home.

Berpengaruh atau tidak berpengaruhnya keluarga Broken home terhadap proses sosialisasi anak itu tergantung kepada 2 belah pihak yaitu anak dan orang tuanya yang masih ada.

Apabila anak dan orang tuanya yang masih ada memiliki motivasi, ilmu agama yang tinggi dan saling mengingatkan antara satu sama lainnya maka perubahan proses sosialisasi anak akan dapat berjalan dengan baik sebagaimana mestinya, namun apabila kedua belah pihak ini tidak memiliki

tiga hal tersebut maka perubahan proses sosialisasi anak akan terjadi, bahkan dapat berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak.

REFERENSI

Ardilla, & Cholid, N. (2021). Pengaruh broken home terhadap anak.

Studia: Jurnal Hasil Penelitian Mahasiswa, 6(1), 1–14.

Detriana, I. (2017). Personal Adjustment Female Student’s Broken Home in MAN 2 Tanah Datar. AGENDA: Jurnal Analisis Gender Dan Agama, 1(1), 124–

140.

Hafiza, S., & Mawarpury, M. (2018).

Pemaknaan Kebahagiaan oleh

Remaja Broken Home.

Psympathic : Jurnal Ilmiah Psikologi, 5(1), 59–66.

https://doi.org/10.15575/psy.v5i1.

1956

Hasanah, U. (2020). Pengaruh Perceraian Orangtua Bagi Psikologis Anak. AGENDA:

Jurnal Analisis Gender Dan

Agama, 2(1), 18.

https://doi.org/10.31958/agenda.v 2i1.1983

Khoiroh, il, Arisanti, K., Maulidi, K.

N., Genggong, H., Ilmu Pengetahuan Sosial, T., & Zainul Hasan Genggong, U. (2022).

Dampak Keluarga Broken Home Terhadap Perilaku Sosial Anak Di Desa Liprak Kidul Kecamatan Banyuanyar Kabupaten Probolinggo. 5(2), 86–90.

Massa, N., Rahman, M., & Napu, Y.

(2020). Dampak Keluarga Broken Home Tehadap Perilaku Sosial Anak. Jambura Journal Community Empowerment, 1(1), 1–10.

(13)

https://doi.org/10.37411/jjce.v1i1.

92

Mistiani, W. (2020). Dampak Keluarga Broken Home Terhadap Psikologis

Anak. Musawa: Journal for Gender Studies, 10(2), 322–354.

https://doi.org/10.24239/msw.v10i 2.528

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian motivasi belajar adalah merupakan factor dari dalam diri peserta didik yang mempunyai peranan penting sebagai penggerak bagi siswa dalam menyelesaikan proses dan