• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Ketebalan Mulsa Jerami Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Bit (Beta vulgaris L.) di Dataran Menengah

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Pengaruh Ketebalan Mulsa Jerami Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Bit (Beta vulgaris L.) di Dataran Menengah "

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Ketebalan Mulsa Jerami Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Bit (Beta vulgaris L.) di Dataran Menengah

The Effect of Straw Mulch Thickness on Growth and Yield of Beet (Beta vulgaris L.) in Medium Land

Ayurei Nuralfya* dan Ninuk Herlina

Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Jl. Veteran, Malang 65145 Jawa Timur, Indonesia

Korespondensi: ayureinuralfya@gmail.com Diterima 26 Agustus 2020 / Disetujui 2 Januari 2021

ABSTRAK

Bit adalah bahan pangan yang dapat mencegah kanker karena mengandung antioksidan dan zat aktif biologi, termasuk betasianin. Bit umumnya ditanam di dataran tinggi pada ketinggian 1.000 mdpl.

Rendahnya produksi bit disebabkan karena terbatasnya areal dataran tinggi untuk penanaman bit. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan penanaman bit di dataran menengah. Diperlukan modifikasi lingkungan untuk memberikan lingkungan tumbuh optimum agar mendekati potensi bit di dataran tinggi.

Modifikasi lingkungan yang dilakukan adalah pengaplikasian mulsa jerami dengan berbagai ketebalan.

Penelitian ini dilaksanakan bulan Januari – April 2020 di Lahan Percobaan Jatimulyo, Kota Malang. Alat yang digunakan adalah cangkul, cetok, penggaris, meteran, gunting, alphaboard, Leaf Area Meter (LAM), timbangan analitik, termometer, soil moisture tester, oven, gembor, kamera, dan alat tulis. Bahan yang digunakan adalah benih bit Ayumi 04, mulsa jerami, air, pupuk Nitrogen (Urea 46% N), pupuk Kalium (KCl 60% K2O), dan pupuk Phospor (SP-36 36% P2O5). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 7 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan tersebut yaitu P0 (tanpa mulsa + tidak disiang), P1 (tanpa mulsa + penyiangan), P2 (mulsa ketebalan 1 cm), P3 (mulsa ketebalan 2 cm), P4 (mulsa ketebalan 3 cm), P5 (mulsa ketebalan 4 cm), dan P6 (mulsa ketebalan 5 cm). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tanpa mulsa + penyiangan dan mulsa jerami ketebalan 3 cm, 4 cm, dan 5 cm dapat meningkatkan bobot segar umbi sebesar 23,7%, 12,5%, 15,0%, dan 28,7%. Bobot umbi tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa mulsa + penyiangan dan mulsa jerami ketebalan 5 cm sebesar 9,9 t ha-1 dan 10,3 t ha-1.

Kata kunci: Ketebalan Mulsa Jerami, Modifikasi Lingkungan, Produktivitas Bit ABSTRACT

Beet is foodstuffs that can prevent cancer because antioxidants content and biological substances, including betacyanin. Beets are planted at altitude 1.000 meters above sea level. Low production of beet can be caused by limited area of highland for planting beets. Way that can be done is by planting beets in medium land. Environmental modification needs to provide optimum growth, so their productivity can approach the potential in highland. Environmental modification carried out is application of straw mulch with various thicknesses. This research was conducted in January – April 2020 in Jatimulyo Experimental Garden, Malang City. Tools used are hoes, poppers, rulers, gauges, scissors, alphaboard, Leaf Area Meter (LAM), analytical scales, thermometer, soil moisture tester, oven, fanstick, camera, and stationery. While, ingredients used are Ayumi 04 variety of beet seeds, straw mulch, water, Nitrogen fertilizer (Urea 46% N), Kalium fertilizer (KCl 60% K2O), and Phospor fertilizer (SP-36 36% P2O5). This research used Randomized Block Design (RBD) with 7 treatments and 4 replications. The treatments are P0 (without mulch + no weeding), P1 (without mulch + weeding), P2 (mulch 1 cm thickness), P3 (mulch 2 cm thickness), P4 (mulch 3 cm thickness), P5 (mulch 4 cm thickness), dan P6 (mulch 5 cm thickness). Result shows that treatment without mulch + weeding and mulch 3 cm, 4 cm, and 5 cm thickness can increase fresh weight by 23,7%,

(2)

12,5%, 15,0%, and 28,7%. Highest fresh weight is treatment without mulch + weeding and mulch 5 cm thickness at 9,9 t ha-1 and 10,3 t ha-1.

Keywords: Environmental Modification, Productivity of Beet, Straw Mulch Thickness PENDAHULUAN

Sayuran merupakan tanaman hortikultura yang sangat diperlukan oleh manusia karena memiliki berbagai macam kandungan, baik mineral maupun vitamin. Salah satu tanaman sayuran yang bermanfaat bagi kesehatan adalah tanaman bit (Beta vulgaris L.).

Manfaat mengkonsumsi bit adalah dapat mencegah penyakit kanker karena mengandung antioksidan yang tinggi dan beberapa zat aktif biologi, termasuk betasianin (Mastuti, 2010).

Bit umumnya ditanam pada daerah dataran tinggi dengan ketinggian lebih dari 1.000 mdpl (Hamdani, 2009). Rendahnya produksi bit di Indonesia dapat disebabkan karena penggunaan bibit yang kurang bermutu, pengelolaan budidaya belum optimal, dan terbatasnya areal dataran tinggi untuk penanaman bit. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan terbatasnya areal dataran tinggi adalah dengan melakukan penanaman bit di dataran menengah.

Pengembangan tanaman umbi di dataran menengah hingga saat ini masih menghadapi kendala, yaitu berupa perbedaan ketinggian dan iklim, termasuk perbedaan suhu dan kelembaban tanah maupun udara antara dataran tinggi dengan dataran menengah.

Sehubungan dengan perbedaan kondisi tersebut, perlu diupayakan rekayasa lingkungan untuk memberikan lingkungan tumbuh yang optimum bagi tanaman umbi agar produktivitasnya dapat mendekati potensinya di dataran tinggi (Hamdani, 2009).

Salah satu modifikasi lingkungan yang dapat dilakukan adalah dengan penggunaan mulsa.

Mulsa merupakan bahan penutup tanah yang dapat menciptakan kondisi yang lebih menguntungkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Penggunaan mulsa dapat memperkecil fluktuasi suhu tanah,

memperkecil laju erosi tanah akibat tumbukan butir air hujan, dan dapat menghambat laju pertumbuhan gulma.

Menurut Mahmood et al. (2002), suhu tanah maksimum di bawah mulsa ketebalan 5 cm adalah 10°C lebih rendah daripada tanpa mulsa. Salah satu mulsa organik yang sering digunakan dalam budidaya tanaman adalah mulsa jerami. Penggunaan mulsa jerami dapat mempengaruhi perkembangan umbi dan sebagai teknologi untuk modifikasi lingkungan di dataran menengah.

Pengaruh mulsa terhadap modifikasi lingkungan dan pertumbuhan serta hasil tanaman dipengaruhi oleh ketebalan mulsa.

Semakin tebal mulsa yang diaplikasikan, maka semakin rendah energi radiasi matahari yang diterima permukaan tanah, sehingga laju evapotranspirasi berlangsung dengan lambat. Lambatnya laju evaporasi dapat mengendalikan kehilangan air tanah, sehingga ketersediaan air tanah dapat dipertahankan (Arga et al., 2017). Penelitian ini bertujuan agar dapat menentukan tingkat ketebalan mulsa jerami yang tepat dalam upaya modifikasi lingkungan di dataran menengah.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Lahan Percobaan Fakultas Pertanian yang terletak di Kelurahan Jatimulyo, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang pada bulan Januari – April 2020. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul, cetok, penggaris, meteran, gunting, alphaboard, Leaf Area Meter (LAM), timbangan analitik, termometer, soil moisture tester, oven, gembor, kamera, dan alat tulis. Sedangkan, bahan yang digunakan adalah benih bit merah varietas Ayumi 04, mulsa jerami, air, pupuk Nitrogen (Urea 46% N), pupuk Kalium (KCl 60% K2O), dan pupuk Phospor (SP-36 36% P2O5).

(3)

Benih bit merah varietas Ayumi 04, ditanam dalam plot kedalaman 30 cm dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 7 perlakuan dan diulang sebanyak 4 kali. Setiap perlakuan terdiri atas 280 tanaman, jumlah tanaman dari semua perlakuan adalah 1.960 tanaman.

Perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah P0 (Tanpa mulsa + tidak disiang), P1 (Tanpa mulsa + penyiangan), P2 (Mulsa ketebalan 1 cm), P3 (Mulsa ketebalan 2 cm), P4 (Mulsa ketebalan 3 cm), P5 (Mulsa ketebalan 4 cm), dan P6 (Mulsa ketebalan 5 cm). Perlakuan mulai diterapkan pada satu hari setelah tanam. Pengamatan dilakukan pada parameter lingkungan, pertumbuhan, dan hasil tanaman. Pengamatan lingkungan dan pertumbuhan dilakukan pada 10 HST, 20 HST, 30 HST, 40 HST, dan 50 HST.

Sedangkan pengamatan panen dilakukan pada 55 HST. Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA) pada taraf 5%. Apabila terjadi pengaruh yang nyata, maka dilakukan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5% untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu Tanah

Pada pengamatan suhu tanah pagi hari, perlakuan ketebalan mulsa jerami berpengaruh nyata terhadap suhu tanah pada umur 30, 40, 50, dan 55 HST (Gambar 1). Sedangkan pada pengamatan suhu tanah siang hari, perlakuan ketebalan mulsa jerami berpengaruh nyata terhadap suhu tanah pada umur 20, 30, 40, 50, dan 55 HST (Gambar 2).

Gambar 1. Rata-rata suhu tanah pagi hari akibat perlakuan ketebalan mulsa jerami pada berbagai umur pengamatan

Gambar 2. Rata-rata suhu tanah siang hari akibat perlakuan ketebalan mulsa jerami pada berbagai umur pengamatan

22 23 24 25 26 27

1 0 H S T 2 0 H S T 3 0 H S T 4 0 H S T 5 0 H S T 5 5 H S T

SUHU TANAH C)

UMUR TANAMAN

P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6

0 10 20 30 40

1 0 H S T 2 0 H S T 3 0 H S T 4 0 H S T 5 0 H S T 5 5 H S T

SUHU TANAH C)

UMUR TANAMAN

P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6

(4)

Suhu tanah merupakan salah satu faktor iklim yang mempunyai peranan utama dalam proses pertumbuhan, karena suhu dapat mempengaruhi aktivitas metabolisme tanaman. Apabila suhu yang dihasilkan tinggi, sementara tingkat ketersediaan air tanah rendah, maka berdampak pada rendahnya fotosintat yang dihasilkan sebegai akibat dari tidak cukupnya ketersediaan air untuk fotosintesis. Apabila fotosintat yang dihasilkan rendah, maka energi untuk pertumbuhan tanaman rendah dan laju pertumbuhan terhambat, dan dapat menghasilkan bobot segar umbi yang rendah.

Suhu tanah optimal untuk pertumbuhan bit adalah 25 – 27°C. Gambar 1 menunjukkan bahwa suhu tanah umur 55 HST yang tertinggi yaitu pada perlakuan tanpa mulsa + penyiangan sebesar 26,0°C. Sedangkan perlakuan mulsa jerami memiliki suhu tanah sebesar 25,0°C, lebih rendah 1,0°C dibandingkan perlakuan tanpa mulsa + penyiangan. Hal tersebut sesuai dengan

pernyataan Mahmood et al. (2002) yang menyatakan bahwa suhu tanah di bawah mulsa jerami ketebalan 5 cm adalah 10°C lebih rendah daripada tanpa mulsa. Semakin tebal mulsa yang diaplikasikan, maka semakin rendah radiasi matahari yang sampai ke permukaan tanah, sehingga laju evapotranspirasi berlangsung lambat.

Menurut Arga et al. (2017), lambatnya laju evapotranspirasi dapat mengendalikan kehilangan air tanah, sehingga ketersediaan air tanah dapat dipertahankan.

Kelembaban Tanah

Perlakuan ketebalan mulsa jerami berpengaruh nyata terhadap kelembaban tanah pagi hari pada umur 30, 40, 50, dan 55 HST (Gambar 3). Sedangkan pada pengamatan kelembaban tanah siang hari, perlakuan ketebalan mulsa jerami berpengaruh nyata terhadap kelembaban tanah siang hari pada umur 20 dan 55 HST (Gambar 4).

Gambar 3. Rata-rata kelembaban tanah pagi hari akibat perlakuan ketebalan mulsa jerami pada berbagai umur pengamatan

Gambar 4. Rata-rata kelembaban tanah siang hari akibat perlakuan ketebalan mulsa jerami pada berbagai umur pengamatan

0 20 40 60 80

1 0 H S T 2 0 H S T 3 0 H S T 4 0 H S T 5 0 H S T 5 5 H S T

KELEMBABAN TANAH (%)

UMUR TANAMAN

P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6

0 10 20 30 40 50 60

1 0 H S T 2 0 H S T 3 0 H S T 4 0 H S T 5 0 H S T 5 5 H S T

KELEMBABAN TANAH (%)

UMUR TANAMAN

P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6

(5)

Kelembaban merupakan gambaran keberadaan uap air yang terkandung dalam suatu lingkup area tertentu (Setiawan, 2009).

Pengaruh penggunaan mulsa jerami berdampak pada perubahan kondisi lingkungan tumbuh tanaman menjadi lebih baik. Gambar 3 menunjukkan bahwa kelembaban tanah paling rendah terdapat pada perlakuan tanpa mulsa + penyiangan sebesar 16,2%, sedangkan kelembaban tanah paling tinggi terdapat pada perlakuan mulsa jerami ketebalan 5 cm sebesar 67,5%.

Ariffin (2005) menyatakan bahwa kelembaban tanah menggambarkan banyak sedikitnya uap air yang terkandung di dalam tanah, sehingga apabila kelembaban tanah tinggi, maka air yang tersedia di dalam tanah cukup banyak. Kandungan air di dalam tanah

juga dapat dipengaruhi oleh tingkat ketebalan mulsa yang diaplikasikan. Apabila tingkat ketebalan mulsa tinggi, maka energi radiasi matahari yang diterima oleh permukaan tanah rendah akibat tingginya tingkat halangan yang dilalui radiasi matahari untuk sampai ke permukaan tanah. Akibatnya, evaporasi berjalan lambat dan kelembaban tanah dapat dipertahankan (Suminarti, 2015).

Unsur kelembaban akan mempengaruhi suhu, dimana dengan meningkatnya kelembaban, maka akan menurunkan suhu.

Bobot Kering Gulma Total

Perlakuan ketebalan mulsa jerami berpengaruh nyata terhadap bobot kering gulma pada umur 10, 20, 30, 40, 50, dan 55 HST dan juga terhadap bobot kering gulma total (Tabel 1).

Tabel 1. Rata-rata bobot kering gulma akibat perlakuan ketebalan mulsa jerami pada berbagai umur pengamatan

Perlakuan Rerata bobot kering gulma (g) pada umur hari setelah tanam (HST) BK Gulma Total

10 20 30 40 50 55

P0 P1

39,6 b 14,4 a

71,6 b 54,3 ab

63,2 d 46,9 c

59,7 c 17,5 a

45,8 d 18,8 a

37,0 c 17,9 a

317,1 b 170,0 a P2 22,3 ab 47,1 ab 40,9 bc 26,8 ab 27,0 bc 27,8 b 194,8 a P3 17,2 a 30,5 a 33,1 ab 43,9 bc 29,6 c 30,2 b 187,3 a P4 18,3 a 49,9 ab 29,5 ab 23,0 ab 25,7 abc 26,0 b 172,5 a P5 19,0 ab 34,0 a 25,2 a 32,5 ab 21,8 ab 20,0 a 152,5 a P6 15,2 a 41,2 a 25,0 a 38,8 abc 19,1 a 17,7 a 157,3 a

BNJ 5% 21,0 29,5 12,2 24,0 7,3 5,9 52,1

KK (%) 43,1 26,9 17,0 29,6 11,7 10,0 11,5

Keterangan: Angka yang didampingi huruf yang sama pada umur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNJ 5%; HST = Hari Setelah Tanam; BNJ = Beda Nyata Jujur; P0 = tanpa mulsa + tidak disiang, P1 = tanpa mulsa + penyiangan, P2 = mulsa jerami ketebalan 1 cm, P3 = mulsa jerami ketebalan 2 cm, P4 = mulsa jerami ketebalan 3 cm, P5 = mulsa jerami ketebalan 4 cm, P6 = mulsa jerami ketebalan 5 cm.

Gulma merupakan tanaman liar di sekitar tanaman budidaya. Keberadaan gulma dapat menimbulkan kerugian dari segi kuantitas maupun kualitas (Riskitavani dan Purwani, 2013). Munculnya gulma dapat menurunkan produksi 30% hingga 50%. Oleh karena itu, kondisi tanaman yang baik dibutuhkan untuk menekan pertumbuhan gulma (Moenandir, 2010). Upaya yang dilakukan untuk menekan pertumbuhan gulma adalah dengan melakukan penyiangan gulma dan pengaplikasian mulsa jerami.

Menurut Fikri (2012) dengan adanya bahan organik di atas tanah, benih gulma akan sangat terhalang. Akibatnya, tanaman yang ditanam akan bebas tumbuh tanpa kompetisi dengan gulma dalam penyerapan hara, air, dan cahaya dalam melakukan fotosintesis. Tabel 1 menunjukkan bahwa pada umur 55 HST, bobot kering gulma tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa mulsa + tidak disiang sebesar 37 g. Data tersebut menjelaskan bahwa mulsa jerami dapat mempengaruhi pertumbuhan gulma.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Mahajan et

(6)

al. (2007) bahwa mulsa sangat bermanfaat dalam perubahan lingkungan, temperatur tanah, dan kompetisi gulma sehingga tanaman utama dapat tumbuh dengan baik.

Perlakuan tanpa mulsa + penyiangan dan mulsa jerami ketebalan 1 cm, 2 cm, 3 cm, 4 cm, dan 5 cm mampu menekan pertumbuhan gulma ditunjukkan dengan rendahnya bobot kering gulma total (Tabel 1). Pada perlakuan tanpa mulsa + penyiangan, dilakukan kegiatan penyiangan gulma sehingga dapat menekan pertumbuhan gulma. Menurut Mahendra et al. (2017), penyiangan adalah

salah satu metode untuk menekan pertumbuhan gulma. Perlakuan mulsa jerami ketebalan 1 cm, 2 cm, 3 cm, 4 cm, dan 5 cm dapat menekan pertumbuhan gulma karena proses dekomposisi mulsa jerami cukup lama sehingga mengurangi sinar matahari yang diperoleh gulma.

Panjang Tanaman dan Luas Daun

Perlakuan ketebalan mulsa jerami berpengaruh nyata terhadap panjang tanaman pada umur 40 dan 55 HST (Gambar 5) dan terhadap luas daun pada umur 55 HST (Gambar 6).

Gambar 5. Rata-rata panjang tanaman bit akibat perlakuan ketebalan mulsa jerami pada berbagai umur pengamatan

Gambar 6. Rata-rata luas daun tanaman bit akibat perlakuan ketebalan mulsa jerami pada berbagai umur pengamatan

Daun merupakan bagian penting dalam tanaman. Luas daun yang terbentuk akan berpengaruh pada proses fotosintesis.

Semakin besar luas daun suatu tanaman,

maka semakin banyak radiasi matahari yang dapat diserap tanaman untuk proses fotosintesis dan menghasilkan fotosintat yang maksimal. Menurut Wulandari et al. (2014),

0 10 20 30 40 50

1 0 H S T 2 0 H S T 3 0 H S T 4 0 H S T 5 0 H S T 5 5 H S T

PANJANG TANAMAN (CM)

UMUR TANAMAN

P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6

0 200 400 600 800 1000 1200

1 0 H S T 2 0 H S T 3 0 H S T 4 0 H S T 5 0 H S T 5 5 H S T

LUAS DAUN (CM2)

UMUR TANAMAN

P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6

(7)

luas daun yang lebih besar dapat melakukan proses fotosintesis lebih optimal sehingga menghasilkan fotosintat lebih besar daripada luas daun yang lebih sempit. Gambar 6 menunjukkan pada umur 55 HST, luas daun paling kecil terdapat pada perlakuan tanpa mulsa + tidak disiang sebesar 408,0 cm². Hal ini sesuai dengan Suminarti (2015) bahwa

luas daun yang lebih sempit didapatkan pada perlakuan kontrol (tanpa mulsa).

Diameter Umbi, Bobot Segar Umbi, dan Bobot Kering Umbi

Perlakuan ketebalan mulsa jerami berpengaruh nyata terhadap diameter umbi pada umur 30, 40, 50, 55 HST dan terhadap bobot segar dan bobot kering umbi pada umur 55 HST (Tabel 2).

Tabel 2. Rata-rata diameter umbi, bobot segar umbi, dan bobot kering matahari umbi akibat perlakuan ketebalan mulsa jerami

Perlakuan Diameter Umbi Bobot Segar Umbi Bobot Kering Umbi

cm g tan-1 t ha-1 g tan-1

P0 3,2 a 82,6 a 8,0 a 62,7 a

P1 6,5 c 101,2 c 9,9 d 83,0 c

P2 5,2 bc 84,7 a 8,2 a 63,5 a

P3 5,5 bc 87,9 ab 8,5 ab 68,1 ab

P4 5,3 bc 92,1 b 9,0 bc 73,9 b

P5 4,7 b 94,2 b 9,2 c 75,9 bc

P6 6,0 bc 105,6 c 10,3 d 89,0 c

BNJ 5% 1,7 6,4 0,6 7,4

KK (%) 14,2 2,9 2,9 4,1

Keterangan: Angka yang didampingi huruf yang sama pada umur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNJ 5%; HST = Hari Setelah Tanam; BNJ = Beda Nyata Jujur; P0 = tanpa mulsa + tidak disiang, P1 = tanpa mulsa + penyiangan, P2 = mulsa jerami ketebalan 1 cm, P3 = mulsa jerami ketebalan 2 cm, P4 = mulsa jerami ketebalan 3 cm, P5 = mulsa jerami ketebalan 4 cm, P6 = mulsa jerami ketebalan 5 cm.

Komponen paling penting dalam budidaya adalah hasil dari tanaman. Fotosintesis merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil pada suatu tanaman.

Rata-rata bobot segar umbi yang paling besar yaitu pada perlakuan mulsa jerami ketebalan 5 cm sebesar 10,3 t ha-1 dan perlakuan tanpa mulsa + penyiangan sebesar 9,9 t ha-1. Bobot segar umbi perlakuan mulsa jerami ketebalan 5 cm lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang lainnya karena mulsa jerami yang diaplikasikan pada perlakuan tersebut lebih tebal daripada perlakuan ketebalan 1 cm, 2 cm, 3 cm, dan 4 cm. Ketebalan mulsa yang semakin tinggi berpengaruh terhadap bobot segar umbi karena mulsa jerami yang diaplikasikan dapat menyediakan unsur hara bagi tanaman. Hasil tersebut sesuai dengan Arga et al. (2017) bahwa aplikasi mulsa jerami dapat meningkatkan bobot segar umbi tanaman talas di lahan kering. Bobot segar umbi perlakuan tanpa mulsa + penyiangan

lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya karena pada perlakuan tersebut dilakukan kegiatan penyiangan gulma secara berkala.

Penyiangan gulma yang dilakukan menyebabkan tidak terjadi perebutan unsur hara antara tanaman budidaya dengan gulma, oleh karena itu unsur hara dapat diserap tanaman secara optimal.

Bobot segar umbi yang semakin besar berpengaruh terhadap bobot kering umbi suatu tanaman. Rata-rata bobot kering umbi tertinggi yaitu pada perlakuan mulsa jerami ketebalan 5 cm sebesar 89 g tan-1, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanpa mulsa + penyiangan dan perlakuan ketebalan 4 cm (Tabel 2). Hasil tersebut sesuai dengan Suminarti (2015) bahwa pada saat mulsa ditingkatkan hingga 7,5 cm, bobot umbi per tanaman dan hasil per hektar memperlihatkan adanya penambahan.

Semakin tebal mulsa jerami yang diaplikasikan, maka proses dekomposisi

(8)

jerami tersebut semakin lama yang menyebabkan mulsa jerami dengan tingkat ketebalan paling tinggi yaitu ketebalan 5 cm akan lebih lama berada di atas tanah sehingga memberikan pengaruh yang baik terhadap umbi tanaman tersebut.

Bobot Kering Tanaman

Perlakuan ketebalan mulsa jerami berpengaruh nyata terhadap bobot kering tanaman pada umur 40 HST dan 55 HST (Tabel 3).

Tabel 3. Rata-rata bobot kering tanaman akibat perlakuan ketebalan mulsa jerami pada berbagai umur pengamatan

Perlakuan Rata-rata bobot kering tanaman (g tan-1) pada umur hari setelah tanam (HST)

10 20 30 40 50 55

P0 0,8 0,3 1,1 3,0 a 5,4 8,1 a

P1 0,8 0,3 2,5 13,7 ab 12,8 15,6 b

P2 0,6 0,2 1,5 8,1 ab 9,0 12,6 ab

P3 0,7 0,3 1,9 10,4 ab 8,2 12,2 ab

P4 1,1 0,3 2,0 23,7 b 23,9 9,5 a

P5 0,8 0,2 1,3 5,7 ab 14,4 11,3 ab

P6 0,8 0,4 1,2 7,9 ab 14,3 10,7 ab

BNJ 5% tn tn tn 18,5 tn 6,0

KK (%) 56,4 51,1 53,2 76,2 79,6 22,5

Keterangan: Angka yang didampingi huruf yang sama pada umur yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNJ 5%; HST = Hari Setelah Tanam; BNJ = Beda Nyata Jujur; tn = tidak nyata; P0 = tanpa mulsa + tidak disiang, P1 = tanpa mulsa + penyiangan, P2 = mulsa jerami ketebalan 1 cm, P3 = mulsa jerami ketebalan 2 cm, P4 = mulsa jerami ketebalan 3 cm, P5 = mulsa jerami ketebalan 4 cm, P6 = mulsa jerami ketebalan 5 cm.

Pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat ditentukan oleh jumlah asimilat yang dihasilkan oleh tanaman tersebut. Bobot kering tanaman merupakan indikator jumlah asimilat yang dihasilkan berdasarkan laju fotosintesis. Tabel 3 menunjukkan pada umur 55 HST, rata-rata bobot kering tanaman yang paling rendah terdapat pada perlakuan tanpa mulsa + tidak disiang dengan rata-rata sebesar 8,1 g tan-1. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Suminarti (2015) bahwa bobot kering tanaman paling rendah pada perlakuan kontrol (tanpa mulsa), sedangkan hasil paling tinggi pada perlakuan mulsa jerami ketebalan 6 cm. Bobot kering tanaman yang semakin besar akan berpengaruh terhadap bobot segar umbi suatu tanaman.

SIMPULAN

1. Perlakuan tanpa mulsa + penyiangan dan mulsa jerami ketebalan 3 cm, 4 cm, dan 5 cm dapat meningkatkan bobot segar umbi dibandingkan perlakuan tanpa mulsa + tidak disiang, peningkatan tertinggi pada

perlakuan tanpa mulsa + penyiangan dan mulsa ketebalan 5 cm sebesar 23,7% dan 28,7%.

2. Bobot segar umbi tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa mulsa + penyiangan dan mulsa jerami ketebalan 5 cm yaitu sebesar 9,9 t ha-1 dan 10,3 t ha-1.

3. Perlakuan yang disarankan untuk mendapatkan hasil yang terbaik adalah perlakuan mulsa jerami ketebalan 5 cm.

DAFTAR PUSTAKA

Arga, B. H., N. E. Suminarti dan Ariffin. 2017.

Studi Tingkat Ketebalan Mulsa Jerami Pada Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Talas (Colocasia esculenta (L.) Schoot var. Antiquorum) di Lahan Kering Pada Musim Kemarau. J. Prod. Tan 5(4): 677- 685.

http://protan.studentjournal.ub.ac.id/index.

php/protan/article/view/430.

Ariffin. 2005. Dasar-dasar Klimatologi Pertanian. Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya. Malang.

(9)

Fikri, S. 2012. Upaya Peningkatan Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kedelai (Glycine max) Melalui Aplikasi Mulsa.

Makalah Seminar Umum. Jurusan Budidaya Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Hamdani, J. S. 2009. Pengaruh Jenis Mulsa Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tiga Kultivar Kentang (Solanum tuberosum L.) yang Ditanam di Dataran Medium. J.

Agron. Indonesia 37(1): 14-20.

https://journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalag ronomi/article/view/1389.

Mahajan, G., R. Sharda, A. Kumar and K. G.

Singh. 2007. Effect of Plastic Mulch on Economizing Irrigation Water and Weed Control in Baby Corn Sown by Different Methods. African. J. of Agricultural

Research 2(1): 19-26.

https://academicjournals.org/article/article 1380809895_Mahajan%20et%20al.pdf.

Mahendra. R., E. Widaryanto dan H. T.

Sebayang. 2017. Pengaruh Waktu Pengendalian Gulma Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kacang Hijau (Vigna radiata L.) Pada Berbagai Taraf Pemupukan Nitrogen. J. Prod. Tan.

5(4): 612-624.

http://protan.studentjournal.ub.ac.id/index.

php/protan/article/view/421.

Mahmood, M., K. Farooq, A. Hussain and R.

Sher. 2002. Effect of Mulching on Growth and Yield of Potato Crop. Asian J. of Plant

Sci 1(2): 132-133.

http://docsdrive.com/pdfs/ansinet/ajps/200 2/132-133.pdf.

Mastuti, 2010. Identifikasi Pigmen Betasianin Pada Beberapa Jenis Inflorescence celosia. Seminar Nasional Biologi SB/O/BG/06. Fakultas Biologi UGM, Yogyakarta.

Moenandir, J. 2010. Ilmu Gulma. UB Press.

Malang.

Riskitavani, D. V. dan K. I. Purwani. 2013.

Studi Potensi Bioherbisida Ekstrak Daun Ketapang (Terminalia catappa) Terhadap Gulma Rumput Teki (Cyperus rotundus).

J. Sains dan Seni Pomits 2(2): 59-63.

https://media.neliti.com/media/publication s/16003-ID-studi-potensi-bioherbisida- ekstrak-daun-ketapang-terminalia- catappa-terhadap-gul.pdf.

Setiawan, E. 2009. Kajian Hubungan Unsur Iklim Terhadap Produktivitas Cabe Jamu (Piper retrofractum VAHL) di Kabupaten Sumenep. Agrovigor 2(1): 1-11.

https://journal.trunojoyo.ac.id/agrovigor/art icle/view/234.

Suminarti, N. E. 2015. Pengaruh Tingkat Ketebalan Mulsa Jerami Pada Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Talas (Colocasia esculenta (L.) Schoot var.

Antiquorum). J. Agro 2(2): 1-13.

https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/ja/ar ticle/view/439.

Wulandari, A. N., S. Heddy dan A. Suryanto.

2014. Penggunaan Bobot Umbi Bibit Pada Peningkatan Hasil Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) G3 dan G4 Varietas Granola. J. Prod. Tan. 2(1): 65- 72.

http://protan.studentjournal.ub.ac.id/index.

php/protan/article/view/80.

Referensi

Dokumen terkait

Mulsa jerami mampu mengurangi pertumbuhan gulma yang ada dilahan penelitian dan dapat menjaga kelembaban dalam tanah sehingga mendorong aktifitas mikroorganisme tanah