• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Mirror theraphy terhadap stroke non hemoraghic

N/A
N/A
C102 Shafiyah Amalia

Academic year: 2024

Membagikan "Pengaruh Mirror theraphy terhadap stroke non hemoraghic"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

MIRROR THERAPHY PADA PASIEN STROKE DENGAN HEMIPARESIS

Mata Kuliah :

Dosen Pengampu :

Arum Dwi Ningsih.,S.Kep.Ns.,M.Kep

Disusun oleh kelompok 5 , Kelas 3C:

1. Shafiyah Amalia (202001102) 2. Anita Nur Lailatul M (202001108) 3. Widya Eka Amalia (202001112) 4. Sari Safitri Dewi (202001034)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

UNIVERSITAS BINA SEHAT PPNI KAB.MOJOKERTO TAHUN AJARAN 2022/2023

Keperawatan Medikal Bedah 3

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “MIRRROR THERAPHY PADA PASIEN STROKE DENGAN HEMIPARESIS” untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 3 dengan baik, kami mengucapkan terima kasih kepada teman-teman mahasiswa yang telah berkontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penyusun pada khususnya. Makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan untuk itu kami selaku mahasiswa mengharapkan saran dan kritik dari pembaca terutama kepada Dosen pengampu mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 3. Akhir kata kami mengucapkan terimakasih.

Mojokerto, 04 November 2022

(3)

DAFTAR ISI

Halaman judul………1

Kata pengantar………...2

Daftar isi………3

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar belakang……….4

1.2 Tujuan………..4

Bab II Tinjauan Teori………5

Bab III Metode dan Hasil 3.1 Metode……….10

3.2 Hasil……….6

Bab IV Pembahasan………..28

Bab V Penutup………..29

Daftar Pustaka………..30

Lampiran………..31

(4)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penyakit stroke merupakan salah satu masalah kesehatan yang menjadi penyebab utama kecacatan pada usia dewasa di dunia. Di negara berkembang, stroke menempati urutan ketiga sebagai penyebab utama kematian setelah penyakit jantung coroner dan kanker serta menyumbang 85.5% total kematian diseluruh dunia. Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2016 menunjukkan, stroke menempati peringkat kedua sebagai penyakit tidak menural yang menyebabkan kematian dan menjadi peringkat ketiga penyebab utama kecacatan diseluruh dunia.

Masalah yang sering dikhawatirkan pasien stroke adalah mengalami gangguan gerak pada extramitas atas karena mengalami gangguan pada keseimbangan, koordinasi gerak dan kekuatan otot. Pada kasus, stroke merupakan gangguan dari otak yang berperan sebagai susunan saraf pusat berfungsi mencetuskan dan mengontrol gerak system neuromuskuloskeletal. Secara klinis, gejala yang muncul lebih sering yaitu mengalami himeparesis, dimana merupakan salah satu faktor penyebab hilangnya mekanisme refleks postural normal dalam mengontrol siku, mengtrol gerak kepala untuk keseimbangan, dan rotasi tubuh untuk gerak fungsional pada ekstermitas. (Agusman & Kusgiarti, 2017).

Pada penderita stroke biasanya akan mengalami kelemahan pada otot berdasarkan beberapa penelitian didapatkan bahwa salah satu terapi komplomenter yang dapat dilakukan pada pasien stroke non hemoragik adalah Mirror Therapy (Fariyanti et al., 2020).

Mirror therapy dapat membantu pemulihan fungsi motorik pada tangan yang lemah. Pasien menggerakan tangan sehat sambil melihat pantulannya di cermin (yang diposisikan didepan tangan yang sakit) sehingga menimbulkan ilusi seakan-akan tangan yang lemah dapat bergerak normal.

1.2 Tujuan

1. Mengetahui apa itu Mirror Theraphy

(5)

2. Memahami SOP Mirror Theraphy

3. Dapat menjadi acuan dalam pelaksanaan Mirror Theraphy

(6)

BAB II TINJAUAN TEORI A. KONSEP HEMAPARESIS

2.1 PENGERTIAN HEMIPARESIS

Pengertian Hemiparesis Hemiparesis berasal dari kata “hemi” yang berarti satu sisi, sementara “paresis” yang berarti kelemahan. Hemiparesis adalah kelemahan otot pada sisi tubuh, terjadi akibat stroke yang umumnya melibatkan otot-otot di lengan, wajah dan kaki (Vega J, 2008). Hemiparesis adalah suatu kondisi yang pada umumnya disebabkan oleh stroke atau cerebral palsy, multiple sclerosis, tumor otak dan penyakit lain dari sistem persarafan. Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progesif cepat, berupa defisit neurologis fokal yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan sematamata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non-traumatis (Halim, 2016).

Ditemukan hampir 70-80% pasien yang terkena serangan stroke mengalami hemiparesis. Sekitar 20% pasien stroke akan mengalami peningkatan fungsi motorik, tetapi pemulihan pasien yang mengalami hemiparesis bervariasi dan lebih dari 50%

mengalami gangguan fungsi motorik kronis (Rydwik E, Eliasson S, 2006). Pasien yang mengalami hemiparesis akan mengalami kesulitan dalam menggerakan kaki dan tangan serta kesulitan berjalan serta kemungkinan besar bisa mengalami kehilangan keseimbangan. Akibat dari keadaan tersebut maka pasien akan mengalami kesulitan pula untuk melakukan kegiatan sehari-hari seperti berpakaian, makan, mengambil suatu benda dan pergi ke kamar mandi. Penatalaksanaan klien stroke yang mengalami hemiparesis secara tepat dan sedini mungkin akan mampu memperbaiki fungsi motorik, meningkatkan aktifitas, mengoptimalkan program rehabilitas dan memperpendek waktu rawat di Rumah Sakit.

2.2 MEKANISME HEMIPARESIS

Di awal tahapan stroke, gambaran klinis yang muncul biasanya adalah paralisis dan hilang atau menurunnya reflek tendon dalam. Apabila reflek tendon dalam ini muncul kembali (biasanya dalam waktu 48 jam setelah serangan stroke), peningkatan tonus disertai dengan spasitas (peningkatan tonus otot abnormal) pada ekstremitas

(7)

yang terkena dapat dilihat (Smeltzer and Bare, 2005). Gerakan volunter melibatkan aktifitas kesadaran dalam korteks serebri. Hal ini tidak berarti bahwa setiap kontraksi dari masing-masing otot diinginkan oleh korteks itu sendiri, karena sebagian besar diatur oleh korteks yang pada waktu bersamaan juga melibatkan aktivasi berbagai pola fungsi yang tersimpan di area otak bagian bawah yaitu di medulla, batang otak (brain steem), ganglia basalis dan cerebellum (otak kecil). Pusat-pusat yang lebih rendah ini kemudian mengirimkan banyak sinyal pengaktivasi spesifik untuk otot. Untuk beberapa tipe gerakan tertentu, korteks memiliki jaras langsung ke neuron motorik anterior pada medulla, tidak melewati pusat-pusat motorik lain, terutama untuk pengaturan gerakan tangkas yang halus dari jari-jari dan tangan (Guyton,A.C & Hall, 2001).

Hemiparesis merupakan kelumpuhan parsial satu sisi tubuh, hal ini umumnya disebabkan oleh lesi jaras kortikospinalis, yang berjalan turun dari kortikal neuron di lobus frontal ke motor neuron sumsum tulang belakang dan bertanggung jawab untuk gerakan otot-otot tubuh dan anggota tubuhnya. Pada jaras tersebut melewati beberapa bagian dari batang otak, yaitu midbrain, pons dan medulla, masing-masing saluran yang melintasi ke sisi yang berlawanan (decussates) pada bagian terendah dari medulla (membentuk struktur anatomi disebut sebagai piramida) dan turun di sepanjang sisi berlawanan dari sumsum tulang belakang untuk memenuhi kontralateral motor neuron.

Sehingga satu sisi otak mengontrol pergerakan otot dari sisi berlawanan dari tubuh itu sendiri, dengan demikian gangguan saluran kortikospinalis kanan pada batang otak atau struktur otak atas menyebabkan hemiparesis pada sisi kiri tubuh dan sebaliknya.

Di sisi lain, lesi jaras pada sumsum tulang belakang menyebabkan hemiparesis pada sisi yang sama dari tubuh. Otot-otot wajah juga dikendalikan oleh saluran yang sama.

Saluran yang mengaktifkan inti wajah (ganglion) dan saraf wajah muncul dari nukleus mengaktifkan otot-otot wajah selama kontraksi otot wajah. Karena inti wajah terletak di pons atas decussation tersebut, lesi jaras pada pons atau struktur atas menimbulkan hemiparesis pada sisi tubuh yang berlawanan dan paresis pada sisi yang sama dari wajah yang disebut dengan hemiparesis kontralateral. Jika wajah pasien tidak terlibat, ini sangat sugestif dari lesi jaras pada bagian bawah batang otak atau medulla spinalis.

Medulla spinalis merupakan struktur yang sangat kecil, sehingga jika terjadi lesi tidak terjadi kelumpuhan hanya untuk satu sisi saja, tetapi biasanya kedua sisi. Oleh karena itu lesi sumsum tulang belakang biasanya dapat menimbulkan kelumpuhan pada kedua

(8)

lengan dan kaki (quadriparesis) atau kedua kaki (paraparesis).

2.3 GEJALA HEMIPARESIS

Warlow, et al (2007), mengemukakan data yang terkait dengan gejala yang timbul akibat hemiparesis yaitu kelemahan pada wajah (40%), kelemahan ekstremitas (50%) termasuk perubahan suara, nyeri bahu dan pembengkakan pada lengan.

Kelemahan pada tangan menyebabkan ketergantungan dalam melaksanakan aktifitas sehari-hari. Kelemahan pada kaki (45%) dapat menyebabkan komplikasi imobilisasi seperti kesulitan berdiri, berjalan dan lamanya perawatan di Rumah Sakit. Sebanyak 55% pasien hemiparesis lebih banyak mengalami kelemahan tangan daripada kaki.

Secara umum gejala hemiparesis biasanya terjadi pada sisi yang berlawanan cedera. Gejala hemiparesis antara lain kelumpuhan satu sisi tubuh yang melibatkan wajah, tangan dan kaki, kesulitan berbicara dan pemahaman kata, kesulitan makan dan menelan, kesulitan berjalan dan berdiri, kesulitan mempertahankan posisi tegak ketika duduk, kesulitan menjaga keseimbangan dengan mata tertutup dan kesulitan untuk mempertahankan kontrol kandung kemih. Tidak semua gejala di atas terjadi pada saat yang bersamaa pada semua pasien dengan hemiparesis. Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan hemiparesis yaitu terjadi pembekuan darah di kaki, atropi otot, luka dekubitus karena tidak bergerak dan kontraktur. Secara lebih spesifik area otak yang rusak dan gejala yang terjadi dapat dibedakan sesuai dengan jenis hemiparesis, yaitu apabila sisi kanan hemiparesis, melibatkan cedera pada sisi kiri otak. Sisi kiri otak berfungsi untuk mengontrol bicara dan bahasa. Klien yang menderita hemiparesis jenis ini dapat mengalami kesulitan bicara dan memahami apa yang di katakan oleh orang lain serta sulit untuk menentukan perbedaan sisi tubuh kiri dan kanan. Apabila sisi kiri hemiparesis, melibatkan cedera pada sisi kanan otak seseorang, dimana fungsi otak kanan yaitu untuk mengontrol proses belajar, mengontrol perilaku dan komunikasi non verbal. Cedera pada area ini akan menyebabkan seseorang berbicara secara berlebihan, memiliki rentang perhatian yang pendek serta mengalami gangguan memori.

2.4 PENGKAJIAN HEMIPARESIS

Pengkajian hemiparesis dapat dilihat dari kelemahan otot pada klien. Untuk melihat lebih jauh area otak mana saja yang rusak dapat dilakukan dengan

(9)

menggunakan pencitraan otak (CT-Scan) (Koyama, Marumoto and Uchiyama, 2015).

Selain itu perlu juga dilakukan anamnesa untuk mengumpulkan riwayat kesehatan sehingga dapat diketahui gejala dan keluhan awal serta faktor resiko terjadinya hemiparesis. Mekanisme kontraksi otot diatur oleh saraf somatic melalui jalur saraf aferen dan eferen. Saraf aferen dari sistem saraf perifer bertanggung jawab untuk menyampaikan informasi sensorik ke otak, terutama dari organ-organ indera seperti integumen.pada otot-otot spindel menyampaikan informasi tentang derajat panjang otot dan peregangan ke sistem saraf pusat untuk membantu dalam mempertahankan postur dan posisi sendi. Beberapa gerakan dan posisi tubuh merupakan informasi umpan balik dari proprioception. Otak kecil berfungsi untuk memperhalus suatu gerakan.

Saraf eferen dari sistem saraf perifer bertanggung jawab untuk menyampaikan perintah ke otot dan kelenjar untuk suatu gerakan tertentu.sinyal dari otak akan menggerakan otot-otot sadar maupun tidak sadar (Noorizadeh et al., 2008). Otot-otot superfisial, otot-otot wajah dan otot internal yang diatur oleh korteks motor utama dari otak, sinyalnya melalui sulkus anterior sentral yang membagi lobus frontal dan parietal. Selain itu, otot bereaksi terhadap suatu rangsang refleks yang sinyalnya tidak selalu sampai ke otak. Dalam hal ini, sinyal dari serat aferen tidak mencapai otak, tapi menghasilkan gerakan refleksif oleh koneksi langsung dengan saraf eferen di tulang belakang. Namun, sebagian aktivitas otot sadar merupakan hasil dari interaksi kompleks antara berbagai wilayah di otak. Saraf yang mengendalikan otot-otot tulang pada manusia adalah sekelompok neuron sepanjang korteks motorik primer. Perintah dari otak melalui basal ganglia akan dimodifikasi oleh sinyal dari serebelum disampaikan melalui saluran piramidal ke medulla spinalis sampai ke ujung saraf motorik pada otot. Sistem ekstrapiramidal berkontribusi dalam umpan balik yang akan mempengaruhi reaksi otot dan respon.

Mekanisme kontraksi otot adalah sebagai berikut suatu potensial aksi berjalan disepanjang saraf motorik sampai ke ujungnya pada serat otot. Pada setiap ujung, saraf menyekresi substansi neurotransmitter yaitu asetilkolin yang bekerja pada serat otot untuk membuka banyak saluran bergerbang melalui molekul protein dalam membran serat otot. Terbukanya saluran asetilkolin memungkinkan sejumlah besar ion natrium untuk mengalir ke bagian dalam membran serat otot pada otot dan menyebabkan reticulum sarkoplasma melepas sejumlah besar ion kalium sehingga menimbulkan

(10)

kekuatan menarik antara filament aktin dan myosin secara bersamaan akan mengahsilkan proses kontraksi. Setelah satu detik ion kalsium dipompa kembali ke dalam reticulum sarkoplasma tempat ion-ion ini di simpan sampai potensial aksi otot datang lagi. Pengeluaran ion klasium dari myofibril akan menyebabkan kontraksi berhenti (Guyton,A.C & Hall, 2001). Kekuatan otot dalam bergerak dan mengangkat benda merupakan hasil kerjasama dari tiga faktor yaitu kekuatan fisiologis (ukuran otot, luas penampang, tersedianya crossbridging, tanggapan untuk latihan), kekuatan neurologis (seberapa kuat atau lemahnya sinyal yang disampaikan ke otot untuk berkontraksi) dan kekuatan mekanik (kekuatan otot pada susdut tuas, saat lengan memanjang dan kemampuan sendi). Kekuatan setiap otot yang bekerja pada tulang tergantung pada panjang, kecepatan memperpendek, luas penampang, sarkomer, aktin dan myosin (Guyton,A.C & Hall, 2001).

Mirror Therapy merupakan terapi latihan dan mengandalkan imajinasi atau pembayangan motorik pada pasien, cermin digunakan sebagai media pemberian stimulasi visual kepada otak untuk pergerakan pada anggota tubuh yang hemiparase.

(Colomer, Noe and Llorens, 2016) mengatakan bahwa mirror therapy efektif pada perbaikan motorik pasien dengan hemiparesis ringan sampai sedang. (Chan and Au- Yeung, 2018) selain ekstremitas atas, Mirror therapy juga memfasilitasi pemulihan motorik pada tungkai bawah juga dapat mengurangi penyimpangan gaya berjalan gaya berjalan pada pasien hemiparetik post stroke kronis. ( Arya, Pandian and Kumar, 2017).

Mirror therapy bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot dan mobilitas pada pasien stroke. Mirror therapy dilakukan dengan cara melihat dan menggerakan anggota gerak yang sehat di depan cermin dan yang sakit dibelakang cermin (bilateral training).

Hal ini bertujuan menciptakan ilusi visual (input sensori) pemulihan motorik anggota gerak yang paresis (Michelsen et al., 2010). Cermin akan memberikan ilusi pada fungsi anggota gerak yang hemiparesis sehingga dapat membantu dan memperbaiki atau mengembalikan interaksi normal antara kemauan dan kemampuan untuk menggerakan anggota gerak (motorik) dengan umpan balik sensori yang diperlukan.

B. KONSEP MIRROR THERAPHY

(11)

2.5 PENGERTIAN MIRROR THERAPHY

Mirror Therapy merupakan terapi latihan dan mengandalkan imajinasi atau pembayangan motorik pada pasien, cermin digunakan sebagai media pemberian stimulasi visual kepada otak untuk pergerakan pada anggota tubuh yang hemiparase.

(Colomer, Noe and Llorens, 2016) mengatakan bahwa mirror therapy efektif pada perbaikan motorik pasien dengan hemiparesis ringan sampai sedang. (Chan and Au- Yeung, 2018) selain ekstremitas atas, Mirror therapy juga memfasilitasi pemulihan motorik pada tungkai bawah juga dapat mengurangi penyimpangan gaya berjalan gaya berjalan pada pasien hemiparetik post stroke kronis. ( Arya, Pandian and Kumar, 2017)

Sejumlah strategi pengobatan untuk paresis lengan yang saat ini banyak di bahas salah satunya yaitu terapi cermin (Thieme et al., 2012). Sebagai laternatif, mirror therapy (MT) telah diusulkan sebagai potensi yang menguntungkan karena pasien dapat melakukan ini sendiri dan direkomendasikan sebagai terapi alternative yang sederhana dan murah untuk mengobati fungsi motorik (Lin et al., 2012).

2.6TUJUAN MIRROR THERAPHY

Mirror therapy bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot dan mobilitas pada pasien stroke. Mirror therapy dilakukan dengan cara melihat dan menggerakan anggota gerak yang sehat di depan cermin dan yang sakit dibelakang cermin (bilateral training). Hal ini bertujuan menciptakan ilusi visual (input sensori) pemulihan motorik anggota gerak yang paresis (Michelsen et al., 2010). Cermin akan memberikan ilusi pada fungsi anggota gerak yang hemiparesis sehingga dapat membantu dan memperbaiki atau mengembalikan interaksi normal antara kemauan dan kemampuan untuk menggerakan anggota gerak (motorik) dengan umpan balik sensori yang diperlukan. Menurut penelitian Anggi (2017) tujuan Mirror Theraphy yaitu :

1) meningkatkan fungsi motorik 2) mengurangi rasa sakit

3) mengurangi gangguan sensorik 4) meningkatkan Activity Daily living

(12)

2.7 MANFAAT MIRROR THERAPHY

Terdapat terapi untuk meningkatkan kekuatan otot salah satunya pada mirror therapy. Mirror therapy merupakan terapi rehabilitasi yang di dalamnya sebuah cermin ditempatkan di antara tangan atau kaki sehingga bayangan anggota tubuh yang tidak sakit memberikan ilusi gerakan normal pada anggota tubuh yang sakit.

Berbagai wilayah otak untuk gerakan, sensasi, dan rasa sakit distimulasi. mirror therapy dengan menggunakan ilusi optic cermin yang memberikan stimulasi visual pada otak sehingga dapat mempengaruhi peningkatan fungsi motorik ekstremitas (Lesmana, et al., 2018).

(13)

BAB III

METODE DAN HASIL 3.1 Metode

Pencarian ini menggunakan kajian literature review. Pencarian data atau jurnal dilakukan secara elektronik dengan menggunakan suatu database yaitu Google Scholar. Kata kunci yang dipakai untuk mencari jurnal adalah “terapi cermin”, “mirror theraphy”. Jurnal yang ditemukan setelah memasukkan keyword di atas kemudian dilakukan screening, serta diseleksi berdasarkan dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Kriteria inklusi yaitu jurnal yang ditemukan merupakan jurnal yang terbit dalam (2012- 2021), menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa inggris yang dialih bahasakan. Sedangkan, kriteria eksklusi yaitu dengan memilih beberapa jurnal secara sistematis berdasarkan topik yang sesuai.

3.2 Hasil

JUDUL METODE

PENELITIAN

INSTRUMEN YANG DIGUNAKAN

UNTUK MENGUKUR

PERLAKUAN HASIL

PENELITIAN

KESIMPULAN

1 Pengaruh Mirror Theraphy

terhadap pemenuhan activity daily living pada pasien pasca storke (di poli saraf RSUD NGANJUK)

Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian

Pra-experimental, dengan pendekatan one-group pre-post test design yaitu rancangan mengungkapkan

UJI WILCOXON Bathel indeks

1. Cermin diletakkan ditengah memotong tubuh.

2. Tangan yang tidak terganggu didepan cermin.

3. Pasien diintruksikan melihat bayangan cermin seolah sebagai lengan yang

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 11 responden sebelum diberikan mirror therapy hampir setengahnya yaitu 5 responden (45,46%) memiliki interpretasi Activity

Pemenuhan Activity Daily Living

sebelum diberikan mirror therapy dari 11responden hampir setengahnya yaitu 5 responden (45,46%) memiliki intepretasi ketergantungan sedang dan sesudah

(14)

(Puspandari, Wilda, 2019)

hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan satu kelompok subjek (Nursalam, 2016).

Penelitian ini dilakukan dengan cara kelompok subjek diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi lagi setelah intervensi (Nursalam, 2016).

Penelitian

dilaksanakan pada tanggal 26 Maret – 6

Mei 2016.

terganggu dengan konsentrasi tinggi dan

menggerakkannya.

4. Pada waktu yang bersamaan pasien diminta

menggerakkan kedua tangan dan cermin ukuran 60×50 cm dengan model L sebagai alat dalam latihan dan Variabel dependen dalam penelitian ini adalah pemenuhan Activity Daily Living dengan lembar observasi indeks Barthel.

Daily Living ketergantungan sedang dan sesudah diberikan mirror therapy sebagian besar yaitu 6 responden

(54,55%) memiliki interpretasi Activity Daily Living

ketergantungan sedang. Dari 11 responden yaitu 1 responden (9,09%) sebelum diberikan mirror therapy memiliki intepretasi ketergantungan total meningkat menjadi

ketergantungan berat, dan 2 responden

(18,18%) sebelum diberikan mirror

diberikan mirror therapy sebagian besar

yaitu 6 responden (54,55%) memiliki intepretasi

ketergantungan sedang.Dari 11 responden yaitu 1 responden (9,09%) sebelum diberikan mirror therapy memiliki intepretasi

ketergantungan total meningkat

menjadi

ketergantungan berat, dan 2

responden (18,18%) sebelum diberikan mirror therapy dengan

ketergantungan ringan meningkat

(15)

therapy dengan ketergantungan ringan meningkat menjadi mandiri sesudah diberikan Mirror Therapy.

menjadi mandiri sesudah

diberikan mirror therapy. Ada pengaruh mirror therapy terhadap pemenuhan Activity Daily Living pada pasien pasca stroke di Poli Saraf RSUD Nganjuk. Hal ini

dibuktikan dengan nilai signifikan ρ value =

0,020≤ α = 0,05.

2 Efektifitas Mirror Therapy terhadap Kekuatan Otot dan Status

Fungsional Pasien Stroke Non Hemoragik (Istianah et al., 2021)

Desain penelitian ini

menggunakan pra eksperiment dengan

pendekatan One Group Pre Test and Post Test Design.

Populasi penelitian

barthel index uji Willcoxon

1.Atur posisi tubuh pasien duduk atau setengah duduk 2.Letakan cermin di antara kedua lengan/

tungkai 3.Instruksikan kepada pasien agar lengan /

tungkai yang sehat di gerakan (ke atas dan

3.63, sedangkan rata-rata status fungsional sebelum intervensi 42,5 dan setelah intervensi menjadi 72,5. Hasil analisis dengan uji willcoxon diperoleh nilai p value untuk

Kekuatan otot dan status fungsional pasien stroke setelah dilakukan intervensi mirror therapy mengalami

peningkatan. Status fungsional pasien stroke setelah

(16)

ini adalah semua pasien stroke yang dirawat inap di RSUD Kota

Mataram berjumlah 108 orang. Sampel penelitian adalah pasien stroke non hemoragik dengan hemiparese

berjumlah 16 responden yang dipilih dengan tekhnik purposive sampling.

Instrumen

penelitian: lembar observasi kekuatan otot, barthel indeks,

dan cermin. Data dianalisis dengan univariat dan bivariate.

ke bawah) di depan cermin dan di ikuti oleh lengan / tungkai yang sakit di belakang cermin

4.Saat menggerakan lengan / tungkai, anjurkan pasien untuk melihat gerakan di depan cermin kemudian sarankan untuk merasakan atau membayangkan bahwa lengan / tungkai yang mengalami paresis turut bergerak 5.Gerakan lengan/

tungkai dilakukan berulang-ulang masing-masing 8 kali gerakan selama 10 menit.

6.Evaluasi respon klien selama dilakukan

kekuatan otot 0,000<0,05 dan status fungsional 0,001<0,05.

diberikan intervensi mirror therapy dapat menurukan tingkat ketergantungan pasien dimana sebelum diberikan intervensi, pasien memiliki

ketergantungan berat dan setelah diberikan intervensi pasien memiliki tingkat ketergantungan sedang. Dengan demikian maka ada pengaruh yang signifikan intervensi mirror therapy terhadap kekuatan otot.

(17)

tindakan.

3 Efektivitas Mirror Therapy Integrasi Dengan Rom Pada

Ekstremitas Atas Dan Bawah Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Pasien Stroke Di Rawat Jalan Rsud Dr.

DorisSylvanus Palangka Raya

(Rawat et al., 2018)

Kuantitatif dengan Quasy eksperimen pretest-postest control group terhadap 87 sampel, 20 kontrol dan 67 intervensi.

Terapi cermin diberikan 4 kali seminggu selama 3 minggu

selama 30 menit, alat

ukur MMST, Hand dan leg

Dynamometer, metode pengambilan sampel dengan purvosif

sampling. Variabel confunding jenis kelamin, usia, lama stroke. Uji

MMST, Hand dan Leg Dynamometer

1. mencuci tangan 2. menjelaskan prosedur yang akan dilakukan pada pasien.

3. posisikan pasien duduk dikursi menghadap meja, kedua tangan dan lengan bawah

diletakan diatas meja.

4. sebuah cermin diletakan dibidang mid sagittal di depan pasien, tangan sisi paresis diposisikan dibelakang cermin

sedangkan tangan sisi yang sehat diletakkan

didepan cermin 5. dibawah lengan sisi paresis diletakan penopang untuk mencegah lengan bergeser atau jatuh

terdapat perbedaan tingkat kekuatan otot sebelum dan sesudah pada kelompok intervensi secara MMST, Hand dan Leg Dynamometer 0,000 < 0,05.

Terdapat perbedaan tingkat kekuatan otot pada kelompok kontrol dan

intervensi secara MMST, hand dan leg

dynamometer 0,000 <

0,05. Terdapat pengaruh mirror terapi terhadap peningkatan kekuatan otot dengan MMST, Hand dan

Terdapat pengaruh dan

perbedaan rerata tingkat kekuatan otot sebelum dan sesudah pada kelompok intervensi dan kontrol secara MMST, hand dan leg dynamometer 0,000 < 0,05. Jenis kelamin, usia dan lama stroke tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kekuatan otot.

(18)

menggunakan paired

t-tes, independen ttes

dan regresi linier berganda.

selama latihan, kantong pasir

diletakkan disisi kanan dan kiri lengan bawah.

6. sekarang anda akan melakukkan latihan dengan bantuan cermin, selama latihan anda harus

berkonsentrasi penuh.

7. latihan ini terdiri atas 2 sesi, masing-masing sesi selama 10 menit, dengan istirahat selama 5 menit

diantara masingmasing sesi.

8. lihatlah pantulan tangan kanan anda dicermin, bayangkan seolah-olah itu adalah tangan kiri anda (jika yang paresis tangan kiri, atau sebaliknya).

Anda tidak

Leg Dynamometer dengan p value 0,000 < 0,05. Tidak terdapat

pengaruh nilai kekuatan otot secra MMST untuk jenis kelamin p value 0,448, usia p value 0,669, lama stroke p value 0,265.

Dengan hand dynamometer Jenis kelamin p value 0,198, usia

p value 0,462, lama stroke p value 0,112. Dengan leg dynamometer jenis kelamin p value 0,804,

usia p value 0,921, lama stroke p value 0,783.

(19)

diperbolehkan melihat tangan yang sakit dibalik cermin.

9. lakukan gerakkan secara bersamaan (simultan) pada kedua anggota gerak atas, gerakkan diulang sesuai instruksi dengan kecepatan konstan +

detik/gerakan.

10. jika anda tidak bisa menggerakan tangan

yang sakit, berkonsentrasilah dan

bayangkan seolaholah anda mampu

menggerakkannya sambil tetap melihat bayangannya

dicermin.

11. catat respon yang terjadi pada pasien 12. cuci tangan

(20)

4 Studi Literature Tentang Pengaruh Intervensi Mirror Theraphy Pada Pasien Stroke Di Rumah Sakit

(Setiyani, 2020)

Literature review, dan menggunakan data base dari PMC dan Google scholar

1. Mencuci tangan 2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan kepada pasien 3. Possisikan pasien duduk di depan cermin yang berorientasi sejajar dengan garis tengah menghalangi

pandangan yang terkena tungkai yang diposisikan

dibelakang cermin 4. sambil menatap cermin, pasien melihat pantulan anggota badan yang tidak terpengaruh

diposisikan sebagai anggota badan yang terkena

Terdapat

peningkatan dalam keseluruhan fungsi motoric otot sebelum dan sesudah dilakukan terapi cermin dan efek terapi cermin diberikan satu kali dalam durasi 30 menit selama 10 hari yang paling cepat berpengaruh pada fungsi lengan.

dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan fungsi motorik secara keseluruhan seperti peningkatan

kemampuan

gengaman, kekuatan otot, fungsi lengan, ketangkasan manual, dan kemampuan perawatan diri sehari- hari pasien stroke.

Terapi dapat diberikan 1 kali dalam durasi 30 menit selama 10 hari, dengan hasil

perubahan fungsi lengan dari hari ke-1 (27,69) dan hari ke- 10 (43,25) dimana terdapat selisih 15,56.

5 Prosedur Mirror

Metode yang digunakan dalam

1. Sekarang anda akan melakukan latihan

Mirror therapy dapat bermanfaat

Mirror therapy dapat bermanfaat pada

(21)

Therapy Pada Pasien Stroke.

Anggi Pratiwi, Dohle, Pullen, Nakaten,

(Wahyuni et al., 2019)

pembuatan literature

review ini adalah dengan melakukan pencarian

elektronik

jurnal di beberapa database seperti : CINAHL, ProQuest

dan google scholar dengan kata kunci stroke, mirror theraphy Artikel yang direview merupakan artikel yang memuat abstrak dan full teks.

Artikel

yang memenuhi criteria kemudian dibaca, dianalisis, dibandingkan satu sama lain

dengan bantuan cermin, selama latihan anda harus berkonsentrasi penuh.

2. Latihan ini terdiri atas 2 sesi, masingmasing sesi selama

10 menit, dengan istirahat selama 5 menit diantara masing-masing sesi.

3. Lihatlah pantulan tangan kanan anda di cermin, bayangkan seolah-olah itu adalah tangan kiri anda (jika yang paresis tangan kiri, atau sebaliknya).

Anda tidak diperbolehkan melihat

tangan yang sakit di balik cermin.

pada pasein untuk meningkatkan kekuatan otot pasien dan mencegah komplikasi dari perawatan pasca stroke pada pasien dengan syarat jika dilaksakan sesuai jadwal minimal seminggu tiga kali dan sesuai dengan standart operasional prosedur yang ada.

Mirror therapy dapat menjadi tindakan mandiri perawat ruangan neurologi dengan syarat status hemodinamik pasien dalam keadaan normal dan kesadaran

pasein untuk meningkatkan kekuatan otot pasien dan mencegah komplikasi dari perawatan pasca stroke pada pasien dengan syarat jika dilaksakan sesuai jadwal minimal seminggu tiga kali dan sesuai dengan standart operasional prosedur yang ada.

Mirror therapy dapat menjadi tindakan mandiri perawat ruangan neurologi dengan syarat status hemodinamik pasien dalam keadaan normal dan kesadaran pasien composmentis.

(22)

kemudian dibahas dan disimpulkan.

4. Lakukan gerakan secara bersamaan (simultan) pada kedua anggota gerak atas, gerakan

diulang sesuai

instruksi dengan kecepatan konstan

±1 detik/gerakan.

5. Jika anda tidak bisa menggerakkan

tangan yang sakit, berkonsentrasilah dan bayangkan seolah-olah anda mampu

menggerakkannya sambil tetap melihat bayangan di cermin.

6. Pada latihan hari pertama, pasien diberikan latihan adaptasi. Pada pertemuan berikutnya,

pasien

composmentis.

(23)

bila pasien sudah mampu

berkonsentrasi selama latihan, maka dapat dilanjutkan latihan gerak dasar, namun bila belum bisa, akan tetap diberikan latihan adaptasi sampai pasien bisa berkonsentrasi melihat pantulan bayangan di cermin.

7. Setiap sesi latihan, pasien akan

diberikan 1 macam latihan gerak dasar, jika sudah mampu

melakukan terusmenerus, maka

dilanjutkan dengan 1 macam gerak variasi.

Bila gerak variasi sudah dikuasai,

(24)

maka dilanjutkan shaping (gerakan kombinasi).

8. Selama latihan, perawat mengamati

respon dan keluhan subjek. Jika subjek sudah merasa lelah, atau merasakan kesemutan yang mengganggu pada tangan sisi paresis, maka latihan dihentikan. Pasien dipersilahkan untuk istirahat selama 5 menit, setelah itu dilanjutkan latihan sesi berikutnya.

9. Jenis latihan yang dilakukan dan respon maupun keluhan pasien selama latihan dicatat dalam

(25)

formulir kegiatan latihan.

6 Mirror Therapy in chronic stroke survivors with severely Impaired Upper Limb Function

(Colomer et al., 2016)

Dua puluh empat sesi intervensi dilakukan untuk kedua kelompok.

Setiap sesi termasuk periode 45 menit MT (kelompok eksperimen) atau mobilisasi pasif (kelompok

kontrol), diberikan tiga hari seminggu.

Peserta dinilai sebelum dan sesudah intervensi dengan Wolf Motor Function Test, Fugl-Meyer Assessment, dan Nottingham Sensory Assessment.

Wolf Motor

Function Test, Fugl- Meyer Assessment, dan Nottingham Sensory Assessment.

Fleksi ekstensi, supinasi Gerakan pronasi, lengan bawah dan bahu serta gerakan kasar dan halus dari tangan, pergelangan tangan, genggaman jari dengan atau tanpa subjek Sesi Latihan selama45 menit, 3 hari seminggu selama 4 minggu

Peningkatan fungsi motorik diamati pada kedua kelompok pada subskala kemampuan (p = 001) dari Tes WMF dan tiga kali (p = 0,002). Dalam sensasi sentuhan yang terutama diamati sebagai peningkatan kepekaan terhadap sentuhan ringan dalam kelompok eksperimen menunjukkan peningkatan yang signifikan.

Dibandingkan dengan mobilisasi pasif, MT pada penderita stroke kronis dengan

gangguan fungsi ekstremitas atas yang parah dapat

memberikan efek terbatas tetapi positif pada sensitivitas sentuhan ringan sambil memberikan peningkatan motorik yang serupa.

7 Recovery in the single-blind Fugl-Meyer Lakukan 5 gerakan aktif: (p = 0.676) Skala Terapi cermin atau

(26)

Severely Impaired Arm Post-Stroke After Mirror Therapy

(Corbetta et al., 2018)

randomized controlled design 41 px

pasien dengan gangguan lengan berat dalam 1 bulan pasca stroke ditugaskan untuk menerima terapi cermin (n = 20) atau terapi kontrol (n = 21), 30 menit dua kali sehari selama 4 minggu dalam Selain rehabilitasi konvensional.

Selama terapi cermin dan terapi kontrol, subjek mempraktikkan latihan terstruktur serupa di kedua lengan, kecuali bahwa pantulan

Assessment dan Wolf Motor Function Test

Perpanjangan fleksi

pergelangan tangan, supinasi pronasi lengan bawah, fleksi dan ekstensi siku, ekstensi dan fleksi, buka dan tutup genggaman tanganLatihan selama30 menit Dua kali sehari selama 4 minggu

Kemampuan WMFT dan (p = 0.867) pada FMA memiliki pemulihan lengan signifikan yang serupa (MT dan CT)

terapi kontrol, yang melibatkan latihan secara bersamaan untuk lengan yang paretic dan tidak terpengaruh selama stroke subakut, mendorong

pemulihan motorik yang serupa pada lengan yang

mengalami gangguan berat.

(27)

cermin dari lengan yang tidak

terpengaruh adalah umpan balik visual untuk terapi cermin, tetapi cermin tidak ada untuk terapi kontrol sehingga subjek dapat menonton kedua lengan dalam latihan.

8 Mirror Therapy Enhances Upper Extremity Motor Recovery in Stroke Patients

(Lee et al., 2012)

A single-blinded Trial 15 pasien post stroke berusia 56- 68 tahun

1. Fugl-Meyer Assessment score

2. Brunnstrom motor recovery stages scores 3. Changes in

Manual Function Test scores of upper-

Intervensi MT 30 menit setiap hari dalam 5 hari per minggu selama 6 mingguKedua lengan mengikuti gerakan, yang terpengaruh sebaik mungkin adalah pronasi dan supinasi lengan bawah, fleksi ekstensi siku, pergelangan tangan, jari, dan bahu.

Dalam pemulihan motorik ekstremitas atas, skor Penilaian Fugl-Meyer

(berdasarkan item bahu/siku/lengan bawah, 9,54 vs. 4,61;

item pergelangan tangan, 2,76 vs. 1,07;

item tangan,

masing-masing 4,43 vs. 1,46) dan

program terapi cermin merupakan intervensi yang efektif untuk pemulihan motorik ekstremitas atas dan peningkatan fungsi motorik pada pasien stroke akut.

Penelitian tambahan tentang komponen program terapi

(28)

limb motor functions

Brunnstrom tahap untuk ekstremitas atas dan tangan

(masingmasing 1,77 vs 0,69 dan 1,92 vs 0,50,) lebih

meningkat pada kelompok eksperimen dibandingkan

pada kelompok kontrol (PG 0,05).

Pada fungsi motorik ekstremitas atas, skor Tes Fungsi Manual (berdasarkan item bahu, 5,00 vs 2,23;

item tangan, 5,07 vs 0,46, masing-masing) meningkat

secara signifikan pada kelompok eksperimen dibandingkan dengan kelompok kontrol (PG 0,01).

Tidak ada perbedaan

cermin, intensitas, waktu aplikasi, dan durasi dapat

membuatnya digunakan sebagai bentuk standar rehabilitasi tangan di klinik dan rumah.

(29)

signifikan yang ditemukan antara kelompok untuk item koordinasi dalam Penilaian Fugl Meyer.

(30)

BAB IV PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis literature review yang kami dapatkan dari google scholar bahwa 8 jurnal dengan pembahasan tentang Mirror Theraphy diketahui mirror theraphy berpengaruh terhadap peningkatan kekuatan otot dan aktivitas kehidupan sehari-hari (activity daily living).

Dengan melakukan pendekatan sensori motor,pasien melihat dan menggerakan anggota gerak yang paresis disembunyikan dibelakang cermin, sehingga pasien seolah-olah melihat bahwa gerakan tersebut berasal dari anggota gerak yang mengalami hemiparesis, tujuannya yaitu menciptakan ilusi visual pemulihan motoric dari anggota gerak yang mengalami hemiparesis. cermin digunakan sebagai media pemberi stimulasi visual kepada otak untuk pergerakan pada anggota tubuh yang hemiparase.

Beberapa peneliti sudah membuktikan bahwasanya Mirorr Theraphy ini sangat efektif dan dapat mempengaruhi kondisi penderita menjadi lebih baik. Salah satu contohnya, dimana telah dibuktikan hasil penelitian didapatkan rata-rata kekuatan otot sebelum intervensi adalah 2,69 dan setelah intervensi 3.63, sedangkan rata-rata status fungsional sebelum intervensi 42,5 dan setelah intervensi menjadi 72,5. Hasil analisis dengan uji willcoxon diperoleh nilai p value untuk kekuatan otot 0,000<0,05 dan status fungsional .0,001<0,05(Istianah et al., 2021).

(31)

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil literature review yang kami dapatkan dari google scholar Mirror Theraphy melatih kelemahan otot sehingga meningkatkan kualitas hidup. Mirror Theraphy merupakan salah satu metode yang praktis dan efektif memelihara kesehatan tubuh. Gerakan yang terkandung dalam Senam Rematik adalah gerakan yang sangat efektif, efisien, dan logis karena rangkaian gerakannya dilakukan secara teratur dan terorganisasi. Sebagai laternatif, mirror therapy (MT)sebagai potensi yang menguntungkan karena pasien dapat melakukan ini sendiri dan direkomendasikan sebagai terapi alternative yang sederhana dan murah untuk mengobati fungsi motorik

5.2 Saran

Hasil ini dapat digunakan sabagai masukan data untuk melakukan upaya-upaya dalam peningkatan pemberian pengetahuan. Penyusun berharap penderita gangguan muskuloskeletal lebih aktif dan termotivasi untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang meningkatkan derajat kesehatan hidupnya, serta mampu menerapkan terapi nonfarmakologi ini dan juga mampu meningkatkan kemampuan fungsional otot yang di derita penderita.

(32)

DAFTAR PUSTAKA

Colomer, C., Noé, E., & Llorens, R. (2016). function : A randomized controlled trial Mirror therapy in chronic stroke survivors with severely impaired upper limb function : A randomized controlled trial. February.

Corbetta, D., Sarasso, E., Agosta, F., Filippi, M., & Gatti, R. (2018). Mirror therapy for an adult with central post- stroke pain: a case report. Archives of Physiotherapy, 8(1), 4–9. https://doi.org/10.1186/s40945-018-0047-y Istianah, I., Arsana, I. G., Hapipah, H., & Arifin, Z. (2021). Efektifitas Mirror Therapy terhadap Kekuatan Otot dan

Status Fungsional Pasien Stroke Non Hemoragik. The Indonesian Journal of Health Science, 12(2), 158–168.

https://doi.org/10.32528/ijhs.v12i2.4872

Lee, M. M., Cho, H. Y., & Song, C. H. (2012). The mirror therapy program enhances upper-limb motor recovery and motor function in acute stroke patients. American Journal of Physical Medicine and Rehabilitation, 91(8), 689–700. https://doi.org/10.1097/PHM.0b013e31824fa86d

Puspandari, Wilda, R. (2019). PENGARUH MIRROR THERAPY TERHADAP PEMENUHAN ACTIVITY DAILY LIVING PADA PASIEN PASCA STROKE (DI POLI SARAF RSUD NGANJUK). Jurnal Sabhanga, 1(1), 74–82. http://e-

journal.stikessatriabhakti.ac.id/index.php/sbn1/article/view/21/21

Rawat, S., Rsud, J., Sylvanus, D., & Raya, P. (2018). EFEKTIVITAS MIRROR THERAPY INTEGRASI DENGAN ROM PADA EKSTREMITAS ATAS DAN BAWAH TERHADAP PENINGKATAN KEKUATAN OTOT PASIEN STROKE RAWAT JALAN RSUD DR. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA.

Setiyani, M. S. (2020). STUDI LITERATUR TENTANG PENGARUH INTERVENSI TERAPI CERMIN PADA PASIEN STROKE DI RUMAH SAKIT. 1–9.

Wahyuni, D., Herliawati, & Purnamasari, N. (2019). Seminar dan Workshop Nasional Keperawatan “Implikasi Perawatan Paliatif pada Bidang Kesehatan.” Seminar Workshop Nasional, 01, 218–222.

(33)

SOP TINDAKAN MIRROR THERAPY

1. Defenisi

Mirror Therapy adalah bentuk citra motorik di mana cermin digunakan untuk menyampaikan rangsangan visual ke otak melalui pengamatan bagian tubuh yang tidak terpengaruh saat ia melakukan serangkaian gerakan.

2. Tujuan

1. Meningkatkan fungsi motor dan ADL 2. Mengurangi rasa sakit

3. Mengurangi gangguan sensorik

3. Indikasi

Terapi cermin ini diberikan kepada seluruh penderita stroke yang mengalami gangguan kelemahan otot

Aspek komponen yang dinilai SKOR Keterangan

1 2 3

Prosedur Operasional

1. Penjelasan kepada pasien sebelum melakukan mirror therapy :

a. Sekarang anda akan melakukan

latihan dengan

bantuan cermin selama latihan anda harus berkonsentrasi penuh.

b. Latihan ini terdiri ats 2 sesi masing-masing sesi 15 menit, dengan istirahat selama 5 menit diantara masing-

(34)

masing sesi.

c. Lihatlah pantulan tangan kanan anda dicermin, bayangkan seolah-olah itu adalah tangan anda (jika yang paresis tangan kiri atau sebaliknya) anda tidak di perbolehkan melihat tangan yang sakit dibalik cermin.

d. Lakukan gerakkan secara bersamaan (simultan) pada kedua anggota gerakats gerakan diulang sesuai dengan instruksi dengan konstanta ±1 detik/gerakan.

e. Jika anda tidak bisa menggerakan tangan Yang sakit

berkonsentrasilah dan bayangkan seolah-olah anda mampu

menggerakkannya sambil tetap melihat bayangan di cermin.

2. Posisi pasien saat melakukan mirror therapy

Pasien duduk atau berdiri menghadap cermin kedua tangan dan lengan bawah di letakkan diatas meja. Sebuah cermin diletakkan dibidang mid sigital didepan pasien

(35)

tangan sisi paresis di

posisikan di belakang cermin sedangkan tangan sisi yang sehat diletakkan didepan cermin. Dibawah sisi paresis diletakkan penopang untuk mencegah lengan bergeser atau jatuh selama latihan.

Kantong pasir diletakkan di sisi kanan dan kiri lengan bawah posisi diatur sedemikian rupa sehingga dapat melihat tangan sisi paresis. Pantulan tangan yang sehat tampak seolah- olah sebagai tangan yang

sakit

Gamabar.1 posisis pasien saat melakukan mirror therapy a. Pada latihan hari pertama,

pasien diberikan latihan adaptasi. Pada pertemuan berikutnya, bila pasien sudah mampu berkonsentrasi selama latihan,maka dapat dilanjutkan latihan gerak

(36)

dasar, namun bila belum bisa, akan tetap diberikan latihan adaptasi sampai pasien berkonsentrasi melihat pantulan bayangan di cermin.

b. Setiap sesi latihan, pasien akan diberikan 1 macam latihan gerak dasar, jika sudah mampu melakukan terus- menerus maka dilanjutkan dengan 1 macam gerak variasi. Bila gerak variasi sudah dikuasai, maka dilanjkan shapping (gerakan kombinasi).

c. Selama latihan, perawat mengamati resppon dan keluhan subjek. Jika subjek sudah merasa lelah, atau merasakan kesemutan yang megganggu pada tangan sisi paresis, maka latihan di hentikan. Pasien dipersilahkan untuk istirahat selama 5 menit, setelah itu dilanjutkan latihan sesi berikutnya.

d. Jenis latihan yang

dilakukakndan respon maupun keluhan pasien selama latihan dicatat dalam formulir kegiatan latihan.

(37)

1. Mirror therapy berdasarkan protokol bonner :

Latihan yang diberikan berdasarkan protokol terapi Bonner, dibagi menjadi 4, yaitu latihan untuk adaptasi, gerak dasar, gerak variasi, dan

kombinasi. Perawat

mengajarkan gerakan dengan memberikan contoh langsung sambil menyebutkan nama gerakan tersebut, yang dibagi berdasarkan posisi. Setiap kali mengajarkan gerakan baru, perawat duduk di sebelah pasien menghadap ke cermin, lalu memberikan contoh gerakan bersama dengan instruksi verbalnya, kemudian subjek penelitian diminta untuk menirukan sampai mampu melakukannya sendiri.

1. Adaptasi

Pada awalnya terapi pasien belum terbiasa melihat ke cermin tapi selalu ingin melihat kebelakang cermin untuk mengontrol tangan yang sakit sehingga diperlukan proses adaptasi latihan yang diberikan saatsaat adaptasi ada 2 macam :

berhitung : kedua tangan diletakkan

(38)

diatas meja, ekstensi jari satu persatu atau beberapa jari dingakat sekaligus.

Instruksi verbal:

a) Letakkan kedua tangan anda diatas meja dalam posisi telengkup, naikkan ibu jari lalu turunkan ibu jari, naikkan jari kelingking- turunkan jari

kelingking, dan

seterusnya.

b) Tunjukkan jari manis, tunjukan jari tengah, tunjukkan ibu jari, dan seterusnya.

Gambar 2. Latihan adaptasi :ekstensi jari satu-persatu

b. Abduksi- adduksi jari: kedua tangan diletakkan di atsmeja, alkukan abduksi jari dimulai dari ibu jari diikuti jari telunjuk dan seterusnya, untuk adduksi dimulai dari jari kelingking diikuti jari manis dan seterusnya.

(39)

Instruksi verbal:

a) Letakkan kedua tangan diatas meja dalam posisi telungkup dengan jari-jari rapat, buka jari-jari anda dimulai dari ibu jari, diikuti jari telunjuk jari tengah dan seterusnya.

b) Buka jari-jari anda dimulai dari jari kelingking, jari manis jari tengah dan seterusnya

Gambar. 3 abduksi jari dimulai dari ibu jari, diikuti jari telunjuk dan seterusnya.

2) Gerakan dasar

Latihan gerak dasar diberikan jika pasien sudah mampu berkonsentrasi melakukan latihan yang diajarkan terapis sambil melihat pantulan bayangan di cermin. Terdapat 3 macem

(40)

gerak dasar, masing-masing gerakan dapat dibagi menjadi 3 atau 5 posisi tertentu, disesuaikan dengan tingkat kognitif pasien. Pembagian posisi dimaksudkan agar pasien selalu konsentrasi selama latihan dan tidak bosan karena latihan yang dirasaterlalu mudah dan monoton.

a. Fleksi elbow : dibagi 3 atau 5 posisi, contoh pembagian 3 posisi:

posisi 1: kedua lengan bawah diletakkan di meja, posisi 2: lengan bawah terangkat 450 dari meja dengan kedua siku menumpu di meja posisi3:

kedua lengan bawah membentuk sudut 900 terhadap meja.

Instruksi verbal :

saya akan mencontohkan beberapa gerakan, silahkan anda ikuti, lalu

terapi melakukan

gerakkan bersama dengan subjek hingga ia mampu melakukanya sendiri berdasarkan nomer, misal:

posisi 3, posisi 1, dan seterusnya.

(41)

Gambar 4. Fleksi elbow dibagi 3 posisi

b. Ekstensi elbow (gerakkan mendorong): dibagi menadi 3 atau 5 posisi.

Instruksi verbal

:berdasarkan nomer, nomer misal : posisi 2, posisi 3 dan setrusnya

Gamabar 5. Ekstensi elbow dibagi dalam 3 posisi

c. Rotasi interna dan eksterna

(42)

sendi bahu : dibagi menjadi 3 atau 5 posisi contoh pembagian 3 posisi:

posisi 1: geser lengan bawah mendekati badan,

posisi 2: geser lengan bawah kembali ke tengah

posisi 3: geser lenagn bawah menjahui badan. Instruksi verbal: berdasarkan nomer seperti contoh di atas

(43)

Gambar 6. Rotasi interna dan eksterna sendi bahu di bagi dalam 3 posisi 3) variasi

diberikan jika sudah ada gerakkan diproksimal dan distal anggota gerak dan pasien sudah bias melakukan gerak dasar secara terus menerus.

Macam-macam latihan variasi:

a. Pronasi supinasi forearm : dibagi menjadi 3 atau 5 posisi, contoh pembagian posisi yaitu posisi 1: telapak tangan menghadap kebawah

posisi2: telapak tangan di buka setengah,

posisi 3; telapak tangan menghadap ke atas. Istruksi verbal : berdasarkan posisis, seperti contoh di atas.

(44)

Gambar 7. Pronasi dan supinasi forearm dibagi 3 posisi

b. Grip dan prehension.

Instruksi verbal : letakkan kedua tangan anda di meja lakukan gerakan kedua tagan menggenggam (grip); kedua tangan menggemgam dengan ibu jari didalm (thum in palm); jari-jari setengah menekuk (hook); jari-jari lurus dan rapat (ekstensi jari- jari); jari-jari lurus dan renggang (abduksi jari-jari).

(45)

Gambar 8. Grip dan prehension

d. Berhitung dengan jari-jari instruksi verbal : tunjukkan satu, tunjukkan dua dan seterusnya.

(46)

Gambar 9. Berhitung dengan jari- jari

e. Oposisis jari-jari (pinch) 1-4.

Instruksi verbal ; sentuhkan ibu jari anda ke telunjuk,

sentuhkan ibu jari anda ke jari tengah dan seterusnya

4) Shaping

Latihan kombinasi 2 gerakkan yang dilakukan berkelanjutan, dengan kesulitan yang di tingkatkan secara bertahap sesuai

(47)

kamampuan pasien. Shaping diberikan agar pasien tidak merasa bosan dan tetap konsentrasi selama latihan.

Instruksi gerakkan yang diberikan sesuai dengan latihan yang dilakukan pada hari itu, namun langsung 2 gerakan sekaligus. Instruksi verbal : contoh letakkan tangan anda pada posisi 3, jari-jari menggenggam

Gambar

Gambar 2. Latihan adaptasi :ekstensi jari satu-persatu
Gambar   4.   Fleksi  elbow dibagi 3 posisi
Gambar 6. Rotasi interna dan  eksterna  sendi  bahu di bagi  dalam 3 posisi 3) variasi
Gambar   7.  Pronasi   dan supinasi   forearm   dibagi   3 posisi
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian stimulasi dua dimensi perlu diberikan kepada pasien stroke dalam membantu mempercepat peningkatan kekuatan otot ekstremitas atas pada pasien stroke yaitu

Gangguan sensomotorik pasca stroke dapat mengakibatkan gangguan pada keseimbangan termasuk terjadinya kelemahan otot, penurunan fleksibilitas jaringan lunak, hingga

Pada pasien stroke yang mengalami penurunan kesadaran dan saturasi oksigen, maka penggabungan dua terapi murrotal Al Quran dan pengaturan posisi head up 30

Berdasarkan tabel 4, dapat diketahui bahwa fungsi kognitif pada pasien stroke non hemoragik tanpa dilakukan perlakuan terapi memori otak di RSUD Kartini Jepara

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh fisioterapi terhadap kekuatan otot ekstremitas pada penderita stroke non hemorhagi RS Islam Sultan Agung Semarang.. Metode

Dari penelitian yang saya lakukan menunjukkan bahwa, kekuatan otot genggam pasien stroke non hemoragik yang mengalami kelemahan di Ruang Sandat RSUD Kabupaten

Pada pasien stroke akan mengalami paralysis salah satu sisi anggota badan atau bahkan keduannya, sehingga pasien dapat menggalami penekanan dalam waktu

Sebuah sarana bantu terapi otot tangan untuk penderita stroke hemiparesis, dengan metode Glenn Doman melalui teknik pendekatan MRP, bertujuan melatih otot tangan bagian kiri