BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kedelai (Glycine max (L.) Merill) adalah komoditas yang penting di Indonesia, karena kedelai merupakan sumber protein nabati yang relatif murah dan sangat populer di masyarakat luas untuk pembuatan tempe, kecap dan yang lainnya yang berguna dan disenangi oleh masyarakat. Pada umumnya banyak yang membudidayakan kedelai namun ada kendala yang dihadapi seperti harga saing yang jauh lebih mahal dari pada kedelai import dan gangguan jamur penyebab penyakit karat daun kedelai.
Produktivitas kedelai selama kurun waktu 1970−2009 memperlihatkan kecenderungan yang meningkat, yaitu dari 0,72 t/ha pada tahun 1970 menjadi 0,89 t/ha pada tahun 1980 dengan laju pertumbuhan positif sebesar 2,21% tahun. Pada periode 1980 − 1990, produktivitas meningkat dari 0,89 t/ha menjadi 1,11 t/ha dengan laju pertumbuhan 2,26%/tahun. Pada periode 1970−1990, produktivitas kedelai meningkat sangat nyata sejalan dengan pelaksanaan program intensifikasi kedelai menuju swasembada melalui penerapan teknologi budidaya. Selanjutnya pada periode 1990−2000, produktivitas tetap menunjukkan peningkatan, tetapi pertumbuhannya lebih rendah dibanding periode sebelumnya, yaitu hanya 1,02%tahun. Demikian pula pada periode 2000−2005, laju pertumbuhan produktivitas sebesar 1% dan pada periode 2004−2009 turun menjadi 0,55%
/tahun. (Badan Statistik 2009)
Tabel 1.1Perbandingan Luas Lahan, Produktivitas dan Produksi Kedelai di Indonesia Tahun 2011-2015
Uraian Tahun
2011 2012 2013 2014 2015
Luas lahan (ha) 622.254 567.624 550.793 615.685 624.848 Produktivitas
(ton/ha) 1,368 1,485 1,416 1,551 1,573
Produksi (ton) 851.286 843.153 779.992 954.997 982.967 (Badan Pusat Statistik, 2015).
Dari data di atas dapat dilihat produksi kedelai dari tahun 2011 sampai 2013 mengalami penurunan. 2014 sampai 2015 sudah mulai mengalami peningkatan produksi kedelai, namun hasil tersebut kurang memenuhi kebutuhan konsumen, sehingga dapat disimpulkan bahwa produktifitas kedelai sampai saat ini masih rendah atau mengalami penurunan.
Sedangkan kebutuhan kedelai di Indonesia terus-menerus meningkat sesuai dengan pertambahan penduduk sehingga masih perlu impor kedelai jutaan ton tiap penduduk, dilain pihak produksi kedelai nasional belum mencukupi kebutuhan kedelai nasional. Tahun 2010 turun kembali menjadi 908.111 ton dengan luas areal panen sebesar 661.771 Ha. Penurunan produksi kedelai ini disebabkan oleh berkurangnya luas areal panen kedelai (Eva, 2009).
Penyebab rendahnya hasil kedelai di Indonesia antara lain adalah gangguan hama dan penyakit tanaman. Penyakit yang sering merusak tanaman kedelai adalah penyakit karat daun (Phakospora pachyrhizi Syd.).
Penurunan hasil oleh penyakit ini berkisar antara 30-60%. Selain menurunkan hasil penyakit karat daun juga berpotensi untuk menurunkan
kualitas biji kedelai. Tanaman kedelai yang tertular penyakit ini memiliki biji lebih kecil (Sumarno,dkk. 1990).
Di daerah endemik karat daun, pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan menanam varietas toleran yaitu Wilis, Kerinci, Dempo, Merbabu dan Rinjani. Pengendalian menggunakan fungisida sering dilakukan petani bila gejala penyakit karat daun timbul sebelum tanaman berbunga. Penyakit karat daun yang timbul saat pengisian polong hampir penuh (umur 60-80 hari) tidak mempengaruhi hasil biji, dan penyakit karat dapat menurunkan hasil produksi. Kehilangan hasil karena serangan karat daun antara 30-60% (Adie dan Krisnawati, 2008).
Kehilangan hasil akibat penyakit karat di Indonesia mencapai 90%
(Sudjono et al.1985), dan di Thailand sekitar 10–40% pada varietas lokal, dan di Taiwan 23–50% (Sinclair dan Shurtleff 1980). Besarnya kehilangan hasil bergantung pada berbagai faktor, antara lain ketahanan tanaman. Pada varietas Orba, kehilangan hasil mencapai 36%, sedangkan pada varietasTK 5 sebesar 81% (Sumarno dan Sudjono,1977)
Pengendalian penyakit karat daun menggunakan fungisida kimia akan berdampak negatip untuk itu perlu adanya pengendalian secara alami Pengendalian penyakit karat dianjurkan dilakukan dengan memadukan beberapa komponen pengendalian yang ramah lingkungan untuk mendukung pertanian berkelanjutan. Komponen pengendalian penyakit karat meliputi penanaman varietas tahan serta penggunaan agens hayati.
Pengendalian dengan agens hayati dimaksudkan mengaplikasikan mikroorganisme antagonis dari penyebab penyakit. Cara pengendalian ini dapat meminimalkan jumlah inokulum awal dan mengurangi perkembangan penyakit. Keunggulannya yaitu selain ramah lingkungan efek residunya dapat bertahan lama sampai beberapa musim tanam. Mikroorganisme antagonis yang sering digunakan dalam pengendalian penyakit karat ini yaitu bakteri bacillus dan cendawan verticillium. Menurut Baker dan Cook (1974), mekanisme pengendalian dengan antagonis ini dikategorikan menjadi tiga, yakni : 1). Antibiosis, yaitu mengeluarkan senyawa kimia yang dapat mematikan penyebab penyakit, 2). Hiperparasit, yaitu antagonis memarasit penyebab penyakit, 3). Kompetisi, yaitu persaingan makanan atau tempat hidup antara antagonis dan penyebab penyakit.
Dengan pemberian PGPR (Pseudomonas sp. dan Bacillus sp) memiliki aktivitas pemacu pertumbuhan tanaman dengan cara menghasilkan hormon IAA dan melarutkan fosfat (Astuti 2007). Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR), merupakan salah satu agens hayati yang telah banyak digunakan dan teruji untuk mengendalikan berbagai patogen tanaman (Kloepperet et al. 2004)
Masnilah, R., P.A Mihardja dan Restuningsih (2006) menyatakan bahwa aplikasi PGPR Bacillus amyloliquefaciens 937a, B. Subtili 937b dan B. Pumilis SE34 pada tanaman tomat dapat menekan penyakit TmoV hingga 50% dan mampu meningkatkan produksi tomat hingga 10-15 %.
Trini SK (2006) menyatakan penggunaan agens hayati Corynebacterium sp dengan dosis kepadatan koloni bakteri 106 Cpu/cc + zat aditifdapat menekan masa bakteri Xanthomonas campestris pv Orizaedan selanjutnya gejala Kresek pada tanaman padi.
Oleh karenanya perlu diteliti beberapa varietas kedelai umur dalam yang ditanam di daerah endemik penyakit karat dengan pemberian agens hayati Corynebacterium sp dan Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR), sehingga dapat diketahui varietas yang lebih tahan penyakit karat dan agens hayati yang lebih efektif untuk mengendalikan penyakit karat kedelai.
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaruh perlakuan varietas kedelai terhadap pertumbuhan, hasil dan intensitas penyakit karat ?
2. Bagaimana pengaruh pemberian agens hayati terhadap pertumbuhan, hasil dan intensitas penyakit karat?
3. Adakah interaksi antara perlakuan varietas kedelai dengan pemberian agens hayati terhadap pertumbuhan, hasil dan intensitas penyakit karat ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan varietas kedelai terhadap pertumbuhan, hasil dan intensitas penyakit karat.
2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian agens hayati terhadap pertumbuhan, hasil dan intensitas penyakit karat.
3. Untuk mengetahui interaksi antara perlakuan varietas kedelai dengan pemberian agens hayati terhadap pertumbuhan, hasil dan intensitas penyakit karat.
D. Manfaat Penelitian
Dengan penelitian ini diharapkan dapat :
1. Memberikan informasi mengenai tingkat produksi kedelai varietas Slamet dan Anjasmoro di lahan sedang.
2. Memberikan konstribusi informasi mengenai pengaruh pemberian agensi hayati Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) dan Corrynebacterium sp terhadap hasil produksi tanaman kedelai varietas Slamet dan Anjasmoro.