• Tidak ada hasil yang ditemukan

pengaruh penambahan tepung kedelai

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "pengaruh penambahan tepung kedelai"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Labu kuning (Cucurbita moschata) merupakan pangan lokal yang memiliki bukti ilmiah dapat mengontrol gula darah (Adams et al 2011). Beberapa produk yang dapat menggantikan tepung labu kuning adalah mie, biskuit, roti tawar, kue dan juga sereal (Ningtyas, 2017).

Rumusan Masalah

Tujuan

Manfaat Penelitian

Ruang Lingkup Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA

  • Diabetes Militus
  • Indeks Glikemik
  • Sagu
  • Labu Kuning
  • Kacang Kedelai
  • Kayu Manis
  • Ciplukan
  • Flakes
  • Protein
  • Alur Penelitin

Labu kuning (Cucurbita moschata) merupakan produk pertanian yang kaya akan provitamin A, 180 SI dan sedikit, kalsium, fosfor, besi, selain karbohidrat dan protein (Hendr Asty, 2003). Labu merupakan sumber pangan yang potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif yang terlebih dahulu diolah menjadi tepung sehingga masa simpannya lebih lama (Latifah, Susilowati, & Erlia, 2007). Menurut Widyowati, tahun 2007 produksi labu kuning nasional sangat besar, terbukti dengan total produksi tahun 2010 yang tercatat di BPS mencapai 369.846 ton.

Labu kuning memiliki daya simpan yang lama, namun memiliki volume yang besar dan mudah rusak selama pengangkutan, sehingga perlu diolah menjadi produk yang lebih awet dan praktis, seperti tepung. Mengingat potensi gizi dan ketersediaan labu kuning yang melimpah di Indonesia, upaya diversifikasi labu kuning menjadi pangan fungsional antara lain melalui pengolahan labu kuning (Yulianawati & Isworo, 2012). Labu kuning merupakan salah satu jenis tanaman pangan yang memiliki nilai gizi yang cukup tinggi dan lengkap.

Tepung labu kuning adalah tepung dengan butiran halus, lolos ayakan 60 mesh, berwarna putih kekuningan, berbau khas labu kuning, dan memiliki kadar air ± 13%. Kondisi fisik tepung labu kuning sangat dipengaruhi oleh kondisi bahan baku dan suhu pengeringan yang digunakan dalam proses pengeringan yang terlalu tinggi (Hendrasty, 2003). Kualitas tepung labu kuning ditentukan oleh komponen penyusunnya yang menentukan sifat fungsional adonan dan produk tepung yang dihasilkan serta suspensinya dalam air.

Tepung labu kuning memiliki kualitas tepung yang baik karena memiliki sifat gelatinisasi yang baik, sehingga akan memungkinkan terbentuknya adonan dengan konsistensi, kekenyalan, kekentalan dan kelenturan yang baik, sehingga roti yang dihasilkan juga akan berkualitas baik.

Tabel 2.1 Kriteria Diabetes Militus Berdasarkan Pemeriksaan Gula Darah  GbA1c
Tabel 2.1 Kriteria Diabetes Militus Berdasarkan Pemeriksaan Gula Darah GbA1c

METODOLOGI PENELITIAN

Desain Penelitian

Waktu dan Tempat Penelitian

Bahan dan Alat

Alat yang digunakan dalam analisis protein adalah timbangan digital, labu takar, pipet, gelas ukur, Erlenmeyer, lemari asam 3.3.2 Bahan-bahan. Bahan yang digunakan dalam pembuatan flakes adalah 800 gram tepung labu kuning dan 600 gram tepung kedelai yang diperoleh dari produksi sendiri (tata cara terlampir pada lampiran), tepung sagu 900 gram diperoleh dari pasar tradisional Kampar, labu kuning segar diperoleh dari pasar tradisional Kampar.

Penelitian Pendahuluan

Penelitian sebelumnya ini menggunakan resep hasil modifikasi penelitian Asmira dkk (2020) sesuai tabel pembuatan flakes, namun pada penelitian ini dibuat dari tepung sagu, tepung sagu dan tepung kedelai. Perlakuan A dengan tepung sagu banyak 70g, tepung labu kuning 30g dan tepung kedelai 20g memberikan hasil warna kuning kecoklatan, aroma tepung labu kuning khas, rasa ringan dan tekstur agak renyah. Perlakuan B dengan tepung sagu banyak 60g, tepung labu kuning 40g dan tepung kedelai 20g memberikan hasil warna kuning kecoklatan, aroma khas tepung labu kuning, rasa lembut dan tekstur renyah 3.

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, dilakukan uji organoleptik pada 10 subjek, dan flakes terbaik adalah dengan penambahan 60 gram tepung sagu, 40 gram tepung labu kuning dan 20 gram tepung kedelai (Perlakuan B).

Tabel 3.2 Formula Penelitian Pendahuluan Pembuatan Flakes Sagoobu
Tabel 3.2 Formula Penelitian Pendahuluan Pembuatan Flakes Sagoobu

Penelitian Lanjutan

Pelaksanaan Penelitian

IAUC (Incremental Area Under the Blood Glucose Response Curve) untuk setiap makanan uji (flakes A,B,C,D) dibagi dengan IAUC makanan standar kemudian dikalikan dengan 100 untuk mendapatkan nilai indeks glikemik. Indeks glikemik suatu makanan ditentukan dengan membandingkan luas kurva respon glikemik selama dua jam setelah konsumsi makanan uji (flakes) dengan luas kurva respon glikemik selama dua jam setelah konsumsi makanan standar (glukosa murni). Nilai indeks glikemik dihitung dengan menggunakan total luas daerah kurva makanan uji (sagoobu flakes) dibagi dengan total luas daerah kurva makanan standar (glukosa murni) dikalikan 100.

Nilai indeks glikemik saguobu flakes dapat dilihat pada tabel berikut Tabel 4.4 Indeks glikemik saguobu. Dari tabel 4.6 di atas diketahui bahwa nilai indeks glikemik flakes A (45,47) termasuk dalam kategori indeks glikemik rendah, flakes B (41,42) termasuk dalam kategori indeks glikemik rendah, flakes C (30,71) termasuk dalam kategori rendah, dan flakes D (24,76) termasuk dalam kategori indeks glikemik rendah. Nilai indeks glikemik ditentukan dengan membandingkan area di bawah kurva respons glikemik makanan uji (flakes) dengan area di bawah kurva respons glikemik makanan standar (glukosa murni).

Makanan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat memiliki indeks glikemik yang tinggi, sedangkan makanan yang menaikkan kadar glukosa darah. Nilai indeks glikemik dihitung berdasarkan perbandingan antara luas kurva peningkatan glukosa darah setelah asupan makanan yang diuji dan peningkatan glukosa darah setelah asupan makanan standar, seperti glukosa (Marsono et al.). Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi indeks glikemik adalah rasio amilosa dan amilopektin (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Serpihan sagubu yang direkomendasikan adalah penambahan 20 gram tepung kedelai yang memiliki indeks glikemik 24,76 dan kandungan protein 14,87%.

Tabel 4.1 Kriteria Responden Penelitian
Tabel 4.1 Kriteria Responden Penelitian

HASIL PENELITIAN

Indeks Glikemik

Kadar Protein

Nilai indeks glikemik berhubungan dengan konsumsi makanan rendah kalori, tubuh kurus dan rendahnya penyerapan glukosa di usus (Pereira, et al., 2014). Konsep indeks glikemik dirancang untuk semua orang, baik itu orang sehat, orang gemuk, penderita diabetes atau atlet. Indeks glikemik juga dapat membantu atlet dalam memilih makanan yang tepat dan cocok untuk menunjang penampilan sesuai dengan jenis olahraga yang dilakukan.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi indeks glikemik bahan pangan adalah: cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), rasio antara amilosa dan amilopektin, derajat keasaman dan kekuatan osmotik. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Septiyan (2012) dimana pengolahan tiwul konvensional memiliki tingkat gelatinisasi tiwul konvensional yang relatif tinggi yaitu 92,48% dan juga memiliki nilai indeks glikemik yang tinggi yaitu sekitar 94,74%. Zat yang mengandung protein cenderung memiliki nilai indeks glikemik yang rendah karena laju pengosongan lambung yang lambat sehingga memperlambat pencernaan dan meningkatkan glukosa darah (Siagian, RA. 2004).

Evaluasi kandungan glukosa dan indeks glikemik dari beberapa sumber karbohidrat dalam upaya untuk mendapatkan makanan dengan indeks glikemik rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi indeks glikemik makanan, indeks glikemik dan beban glikemik beberapa jenis makanan. Indeks glikemik makanan: Cara mudah memilih makanan sehat.

PEMBAHASAN

Indeks Glikemik

Indeks glikemik adalah angka yang menunjukkan potensi peningkatan gula darah dari karbohidrat yang tersedia dalam suatu makanan atau secara sederhana dapat dikatakan sebagai level atau rangking makanan yang berkaitan dengan pengaruhnya terhadap kadar gula darah (Augustin, et al., 2015). Nilai indeks glikemik suatu makanan sumber karbohidrat menunjukkan seberapa besar kenaikan kadar gula darah setelah mengonsumsi karbohidrat tersebut, yang dinyatakan sebagai persentase respons terhadap porsi karbohidrat yang sesuai dengan referensi standar 50 g glukosa (Schwingshackl dan Hoffmann, 2013). Indeks glikemik memungkinkan penderita diabetes untuk memilih jenis karbohidrat yang mampu mengontrol gula darah sehingga kadar gula darah terkontrol dan masih dalam batas aman (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Selain itu, indeks glikemik juga dapat membantu orang yang sedang diet untuk menurunkan berat badan dengan memilih makanan yang cepat kenyang dan bertahan lama. Menurut Hoerudin (2012), makanan dengan indeks glikemik rendah dan tinggi dapat dibedakan berdasarkan kecepatan pencernaan dan penyerapan glukosa serta fluktuasi kadarnya dalam darah. Hal ini menyebabkan suspensi makanan (chyme) mencapai usus halus lebih lambat, sehingga penyerapan glukosa di usus halus menjadi lambat.

Sebaliknya, makanan dengan indeks glikemik tinggi ditandai dengan pengosongan lambung yang cepat, pencernaan karbohidrat dan penyerapan glukosa, sehingga fluktuasi kadar glukosa darah juga relatif tinggi. Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin banyak bungkil kedelai yang ditambahkan maka semakin rendah nilai indeks glikemik sagu. Hal ini sesuai dengan penelitian yang mengatakan bahwa makanan yang tinggi lemak dan protein cenderung memiliki indeks glikemik yang lebih rendah dibandingkan dengan makanan sejenis yang rendah lemak dan protein (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Protein Pada Flakes Sagoobu

Selain itu, beberapa protein (asam amino) merangsang sistem incretin: Glucose-dependent insulinotropic polypeptide (GIP) dan glucagon-like polypeptide (GLP-1), yang menurunkan laju pengosongan lambung, merangsang sekresi insulin dan menghambat sekresi glukagon. Penelitian dilakukan pada subyek non-diabetes untuk mengukur respon glikemik terhadap 16 makanan uji yang berbeda, terdiri dari 50 gram glukosa anhidrat, 250 ml air, ditambah gram lemak (gram minyak jagung: Mazola) atau gram protein (gram protein kedelai) kemudian dicampur hingga respon glikemik dimoderasi dengan 0 dan 3 gram protein. menginduksi respon glikemik 2-3 kali lebih besar dari lemak (Moghaddam, et al. 2006). Dengan demikian, laju pencernaan makanan melambat, laju pencernaan makanan di usus halus dan respons glikemik menjadi lebih rendah.

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Universitas Eka Sakti Padang, didapatkan kadar protein pada flakes A (8,62%) pada flakes B (11,71%) pada flakes C (13,20%) dan flakes D (14,87%), dimana protein pada flakes sagobu perlakuan A-D sudah memenuhi persyaratan minimal SNI0. Sedangkan pada survey nutri tahun 2007 didapatkan hasil protein yang berbeda dimana kandungan protein flakes A memiliki kandungan protein sebesar 3,3%. Penambahan protein yang berasal dari sayuran (tepung kedelai) meningkatkan kandungan protein, hal ini sesuai dengan penelitian Istiqomah (2015) yang menyatakan bahwa semakin banyak kandungan tepung kacang merah maka kandungan protein dan seratnya semakin tinggi.

Penelitian George et al (2014) menyatakan bahwa penambahan saus kari dan ayam pada makanan pokok khas Asia Selatan mengandung 20-23 gram protein dan 28-30 gram lemak per Karbohidrat 50 gram, efektif menurunkan respon gula darah dan mempengaruhi transfer nilai indeks glikemik dari kategori. Pengaruh protein dalam menurunkan respon glukosa darah sehubungan dengan percobaan standar dengan 50 gram karbohidrat telah dilaporkan, yaitu pada sejumlah makanan yang memiliki kandungan protein tinggi, dan jumlah proteinnya 20-90 gram (Meng, et al. 2017).

Kelebihan dan Kelemahan Penelitian

Semakin banyak tepung kedelai yang ditambahkan ke dalam flakes, semakin rendah nilai GI flakes tersebut. Penambahan bungkil kedelai 10 gram (Formula 2) meningkatkan kadar protein menjadi 11,71%, penambahan 15 gram (Formula 3) meningkatkan kadar protein menjadi 13,20% dan penambahan 20 gram (Formula 4) meningkatkan kadar protein menjadi 14,87%. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai nilai beban glikemik dan kandungan serat pada sagu flakes.

Potensi serpih berbahan dasar tepung sagu (Metroxylon sp) dan tepung labu kuning (Cucurbita moschata) sebagai makanan penderita diabetes melitus tipe 2. Sifat fisikokimia dan organoleptik flakes berbahan tepung jagung (Zea Mays L.), tepung kacang hijau (Phaseolus Radiuschaat) (Phaseolus-Curta) (Phaseolus-Puschat) dan LAC. Penyelidikan sifat kimia dan fisika tepung labu kuning (Cucurbita Moschata) dengan cara blansing dan perendaman dalam natrium metabisulfit (Na2S2O5).

Analisis kadar protein dan lemak pada ikan asap Julung-Julung (Hemiramphus langt) dari Kabupaten Kayoa, Maluku Utara menggunakan metode Kjeldahl dan gravimetri. Perubahan kandungan beta karoten, asam total dan sifat sensori karyoghurt rumput kuning berdasarkan lama penyimpanan dan pencahayaan.

PENUTUP

Kesimpulan

Saran

Indeks glikemik, beban glikemik, kadar protein, serat dan tingkat kesukaan lue kering tepung Garut dengan pengganti tepung kacang merah.

Lampiran 6. Grafik Glukosa darah flakes
Lampiran 6. Grafik Glukosa darah flakes

Gambar

Tabel 2.1 Kriteria Diabetes Militus Berdasarkan Pemeriksaan Gula Darah  GbA1c
Tabel 2. 3 Komposisi Zat Gizi Labu Kuning  per 100 Gram Bahan
Tabel 2.4 Kandungan gizi ekstrak kedelai tersaring (jernih) Komponen
Gambar 2.1 Flakes  Sumber: (Google)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kekuatan tarik film semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi tepung kedelai yang digunakan tetapi kekuatan tarik semakin menurun dengan semakin lamanya

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa substitusi tepung kedelai dan tepung jagung pada perlakuan 100% tepung kedelai dan 0% tepung jagung berbeda nyata

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis nilai indeks glikemik, beban glikemik, kadar protein, serat, dan tingkat kesukaan kue kering tepung garut dengan substitusi tepung

Hasil Uji Organoleptik Daya Terima Sus Kering Tepung Mocaf dengan Variasi Jahe dan Penambahan Tepung Kedelai ... Uji

Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari pengaruh tingkat penambahan tepung protein kedelai ( soy concentrate )sebagai pengikat ( binder ) pada olahan sosis

Jika dilihat dari komposisi tepung ampas kelapa, penelitian ini sejalan dengan penelitian (Fauzan & Rustanti, 2013) tentang roti tawar tepung ampas kelapa yang menunjukkan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis nilai indeks glikemik, beban glikemik, kadar protein, serat, dan tingkat kesukaan kue kering tepung garut dengan substitusi tepung

Sebagai akibatnya, semakin banyak amilosa yang mampu berperan dalam gelatinisasi tepung sehingga viskositas puncak suspensi tepung jagung menjadi lebih tinggi dibandingkan