Penilaian Kerentanan dan Potensi Kerusakan Bangunan Akibat Tsunami di Desa Pejamben, Pandeglang, Banten
Meassa Monikha Sari1*, Aulia Kusumawati2
1Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Serang Raya, Banten
2Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Serang Raya, Banten
*Koresponden email: [email protected]
Diterima: 18 September 2023 Disetujui: 26 September 2023
Abstract
The study of the tsunami disaster in Banten is less even though Banten is very susceptible to the earthquakes, and the Anak Krakatau Volcano still exists as a tsunami trigger. Building vulnerability and capacity assessments are important to reduce the risk of casualties and substantial damages from the tsunami. This study aims to assess the level of vulnerability of buildings, analyze the potential risk of building damage, and get community capacity to deal with tsunamis. Data collection was carried out by surveying the field to obtain the coordinates and types of buildings, coastal defense conditions, and inundation heights. The distribution of questionnaires and interviews was also carried out to determine the community capacity. The data processing uses excel, Utmgeomap, Arcmap and SPSS. The results of the study are concluded that out of a total of 647 in Pejamben Village has varying levels of vulnerability, namely moderate vulnerability (500 units), high (142units) and very high (5units). The highest potential risk of building damage is moderate damage (75%) of the total building, heavy damage is 22%, light damage is about 5% and total collapse is 1%. The community capacity shows in the good category with a knowledge index of 77%.
Keywords: building, capacity, risk, tsunami, vulnerability
Abstrak
Penelitian mengenai bencana tsunami di Banten masih sedikit padahal Banten sangat rawan gempa bumi dan adanya Gunungapi Anak Krakatau yang masih aktif sebagai pemicu tsunami. Penilaian kerentanan bangunan dan kapasitas penting dilakukan untuk mengurangi risiko timbulnya korban jiwa dan kerusakan yang besar akibat tsunami. Penelitian ini bertujuan untuk menilai tingkat kerentanan bangunan terhadap tsunami, menganalisis potensi risiko kerusakan bangunan akibat bencana tsunami serta mengetahui kapasitas masyarakat dalam menghadapi tsunami. Pengumpulan data dilakukan dengan survei ke lapangan untuk mendapatkan data koordinat dan jenis bangunan, kondisi pertahanan pantai dan ketinggian genangan.
Penyebaran kuesioner dan wawancara juga dilakukan untuk mendapatkan data kapasitas masyarakat. Olah data menggunakan Excel, Utmgeomap, Arcmap serta SPSS. Hasil studi menyimpulkan bahwa dari total 647 di Desa Pejamben memiliki tingkat kerentanan bervariasi yaitu kerentanan sedang (500unit), tinggi (142unit) dan sangat tinggi (5unit). Potensi risiko kerusakan bangunan tertinggi adalah rusak sedang (75%) dari total bangunan, rusak berat 22%, rusak ringan 5% dan hancur total 1%. Hasil Analisa kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana tsunami termasuk kategori baik dengan indeks pengetahuan sebesar 77%.
Kata Kunci: bangunan, kapasitas, risiko, tsunami, kerentanan
1. Pendahuluan
Banten tidak hanya merupakan daerah destinasi wisata pantai yang banyak dikunjungi, akan tetapi juga merupakan daerah yang rawan bencana alam. Dalam lima tahun terakhir, kejadian bencana banjir saat musim penghujan dan kekeringan saat musim kemarau cukup sering terjadi, begitupula dengan gempa bumi yang dampaknya sangat mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat. Selain itu, Banten tepatnya di Pandeglang juga pernah terjadi tsunami akibat longsoran Gunungapi Anak Krakatau di bawah perairan Selat Sunda pada akhir Tahun 2018 yang menyebabkan timbulnya korban jiwa, kerugian serta kerusakan yang besar. Dapat dikatakan semua kejadian tsunami yang pernah terjadi di berbagai tempat selalu menimbulkan akibat yang besar dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk pemulihan.
Salah satu langkah awal pengurangan risiko bencana adalah memperkirakan potensi risiko kerusakan bangunan. Seperti yang diketahui bahwa risiko bencana terdiri dari dua faktor yaitu adalah fungsi dari ancaman (hazard) dan kerentanan (vulnerability) [1]. Kajian risiko bencana juga dapat menggunakan
pendekatan fungsi dari ancaman, kerentanan dan kapasitas [2] [3]. Dengan kata lain, selain ancaman bencana itu sendiri, perlu diketahui bagaimana tingkat kerentanan serta kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana. Dalam tinjauan kebencanaan, dikenal berbagai macam kerentanan yang salah satunya adalah kerentanan bangunan. Kerentanan bangunan menunjukkan keadaan/kondisi suatu bangunan mudah rusak akibat suatu bencana sehingga tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya [4]. Penilaian kerentanan sangat bermanfaat dalam untuk mengevaluasi risiko akibat tsunami [5].
Di Aceh, Febrianti dan Safriani (2016) meneliti tingkat kerentanan terhadap tsunami di Desa Kuta Padang Aceh Barat. Hasil penelitiannya menyimpulkan dari lima dusun, Dusun Seulawah memiliki kerentanan sangat tinggi yaitu 95,65% dan Dusun Singgah Mata dengan kerentanan paling rendah sebesar 34,78% [6]. Soviana dkk (2019), dalam penelitiannya di Kuta Alam Banda Aceh memberikan hasil bahwa kerentanan bangunan di lokasi tersebut bervariasi dari sangat tinggi, tinggi, sedang dan rendah [7]. Kedua penelitian ini menggunakan metode BTV (Building Tsunami Vulnerability). Sementara Nisaa dkk (2019) meneliti kerentanan bangunan menggunakan model PTVA-4 di wilayah Pesisir Batuhiu Pangandaran, dengan hasil bahwa jumlah bangunan yang berpotensi mengalami kerusakan berat sebanyak 50% dari total seluruh bangunan [8].
Kajian maupun penelitian kebencanaan terutama tsunami di Banten masih sangat kurang, sementara ancaman bencana tsunami tetap ada, tidak hanya sebagai bencana susulan setelah gempa bumi tetapi dapat juga terjadi lagi disebabkan erupsi ataupun longsoran gunungapi. Penelitian ini bertujuan untuk menilai tingkat kerentanan bangunan terhadap tsunami, menganalisis potensi risiko kerusakan bangunan akibat bencana tsunami serta analisis kapasitas masyarakat dalam menghadapi tsunami.
2. Metode Penelitian Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Pejamben, Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Pejamben merupakan salah satu desa terdampak tsunami karena berada di kawasan pesisir Pantai Carita. Gambar 1 adalah peta lokasi penelitian, merujuk pada Peta Bahaya Tsunami Kecamatan Carita yang dirilis oleh BMKG (2021). Dalam Peta Bahaya Tsunami yang dirilis oleh BMKG (Gambar 1), ancaman tsunami berdasarkan potensi kedalaman genangan dibedakan menjadi 5 zona (dalam satuan meter) yaitu zona 1 (10 – 14), zona 2 (6 – 10), zona 3 (3 – 6), zona 4 (0,5 – 3), dan zona 5 (< 0,5 m).
Gambar 1. Lokasi penelitian Sumber: BMKG (2021) Pengumpulan dan Analisis Data
Data dikumpulkan dalam 2 bagian, pertama data untuk menilai kerentanan sedangkan yang kedua data untuk mengetahui kapasitas. Pengumpulan data penilaian kerentanan dilakukan melalui survei ke lokasi untuk mengamati semua jenis bangunan, letak geografis bangunan serta kondisi pertahanan pantai.
Potensi risiko kerusakan dinilai berdasarkan tingkat kerentanan bangunan yang dihitung menggunakan
parameter BTV. Metode BTV adalah metode penilaian kerentanan yang menggunakan tipe bangunan, luas genangan (inundation zone) dan pertahanan pantai (sea defence) sebagai parameter dengan pembobotan seperti Tabel 1- 4 [4] [6] [7] [9].
Tabel 1. Bobot Parameter
Sumber: [4], [6], [7], [9]
Tabel 2. Parameter Kondisi Bangunan (Fwb = 3)
Sumber: [4], [6], [7], [9]
Tabel 3. Parameter Kedalaman Genangan (Fwi = 2)
No. Kondisi Genangan Fc.i
A. H > 3 meter 3
B. 1 meter < H < 3 meter 2
C. H ≤ 1 meter 1
Sumber: [4], [6], [7], [9]
Tabel 4. Parameter Kondisi Pertahanan Pantai (Fws = 1)
No. Kondisi Sea Defence Fc.s
A. Tidak ada 2
B. Ada Pelindung Pantai 1
Sumber: [4], [6], [7], [9]
Setiap bangunan dihitung nilai BTV-nya menggunakan persamaan (1), dan berdasarkan nilai BTV lalu ditentukan tingkat kerentanan serta potensi risiko kerusakan bangunan yang merujuk pada Tabel 5.
(1)
Dimana BTV adalah Bulding Tsunami Vulnerability (%); Fwb adalah bobot untuk tipe bangunan;
Fcb adalah kondisi bangunan; Fwi adalah bobot untuk genangan; Fci adalah kedalaman genangan; Fws adalah bobot untuk pertahanan pantai; Fcs adalah kondisi pertahanan pantai [4], [6], [7], [9].
Tabel 5. Tingkat Kerusakan Bangunan
Kerusakan BTV (%)
Tidak Ada Kerusakan 0 - 20
Rusak Ringan 21 - 40
Rusak Sedang 41 - 60
Rusak Berat 61 - 80
Hancur Total > 81 Sumber: [9]
Pengumpulan data pengukuran kapasitas dilakukan dengan penyebaran kuesioner kepada masyarakat dan wawancara tertutup kepada perangkat desa dan BPBD Kab. Pandeglang. Kuesioner
No. Parameter Weight Factor
1. Building Condition Fwb = 3
2. Inudation Zone Fwi = 2
3. Sea Defence Fws = 1
No. Kondisi Bangunan Fc.b
A. Konstruksi Tidak Permanen 5
B. Semi Permanen 4
C. Permanen Lt. 1 3
D. Permanen Lt. 2 2
E. Permanen Lt. 3 1
memuat 25 pertanyaan mengenai pengetahuan tentang tsunami dan kesiapan dalam menghadapi tsunami.
Responden dipilih dengan metode simple random sampling yaitu pengambilan sampel dari populasi yang dilakukan secara acak karena dianggap anggota populasi adalah homogen [10]. Responden sebanyak 60 orang, dengan kriteria harus mempunyai pengalaman mengalami tsunami dan berusia di atas 17 tahun. Olah data menggunakan Excel, aplikasi UTM Geomap, Arcmap 10.2 dan SPSS.
3. Hasil dan Pembahasan
Desa Pejamben secara geografis berbatasan langsung dengan Selat Sunda dimana di bawah perairan tersebut terdapat Gunungapi Anak Krakatau yang masih aktif, merupakan ancaman terjadinya tsunami.
Selain pemukiman penduduk, lahan di desa ini digunakan untuk ladang. Dalam sektor pariwisata, desa Pejamben tidak seramai Carita ataupun Anyer, sehingga tidak terdapat banyak hotel ataupun vila. Hasil survey bangunan menunjukkan tipe bangunan hanya ada 3 yaitu bangunan tidak permanen (Tipe A), permanen 1 lantai (Tipe C) dan permanen 2 lantai (Tipe D) seperti ditunjukkan oleh Gambar 2.
Gambar 2. Tipe bangunan di Desa Pejamben, (a) Tipe A; (b) Tipe C; (c) Tipe D Sumber: Hasil survei (2023)
Desa Pejamben terdapat 647unit bangunan dimana 36 unit adalah bangunan tidak permanen, sebanyak 585unit merupakan bangunan permanen 1 lantai, sedangkan bangunan permanen 2 lantai sebanyak 26unit. Tipe A, bangunan tidak permanen adalah bangunan 1 lantai yang dapat terbuat dari kayu/bambu/papan/batu bata tanpa perkuatan, mortar, ataupun bangunan dari gedeg dengan kualitas bangunan yang sangat tidak bagus [9]. Tipe C adalah bangunan permanen 1 lantai menggunakan struktur beton bertulang, dinding dapat terbuat dari bata/batako/hebel dan menggunakan perkuatan, kualitas bangunan cukup baik untuk tempat tinggal [9]. Bangunan tipe C tidak hanya sebagai rumah tetapi juga bangunan publik misalnya sekolah dan puskesmas atau kantor pemerintahan. Bangunan Tipe D adalah bangunan 2 lantai dengan perkuatan struktur beton bertulang, kualitas bangunan sudah baik [9]. Selain sebagai tempat tinggal, bangunan tipe D banyak berupa ruko yang difungsikan sebagai tempat tinggal sekaligus tempat usaha. Tidak terdapat bangunan semi permanen dan bangunan lebih dari 2 lantai.
Sebaran bangunan pada peta zona tsunami ditunjukkan oleh Gambar 3 (skala 1:10.000) yang dibuat menggunakan Arcmap 10.2. Pada zona 1 hanya terdapat 2 bangunan permanen 1 lantai, zona 2 terdapat 9 bangunan permanen 1 lantai dan tidak permanen 2unit, zona 3 terdapat 12unit permanen 2 lantai, 88unit permanen 1 lantai dan 3unit tidak permanen; zona 4 terdapat 9unit permanen 2 lantai 153unit permanen 1 lantai dan 11unit bangunan tidak permanen serta di zona 5 terdapat 5unit bangunan permanen 2 lantai, 333unit bangunan permanen 1 lantai dan 20unit bangunan tidak permanen. Sebaran bangunan terbanyak di zona 4 dan 5, sedangkan zona 2 dan 3 didominasi ladang dan lahan kosong.
Gambar 3. Sebaran bangunan sesuai pada peta zona tsunami Sumber: Hasil olah data (2023)
Potensi Kerusakan Bangunan
Potensi kerusakan bangunan ditentukan berdasarkan tingkat kerentanan bangunan tersebut yang dihitung dengan pers. (1), hasilnya ditunjukkan oleh Tabel 6.
Tabel 6. Pembobotan dan penilaian BTV Zona 1 (> 10 m)
Tipe Fwb Fcb Fwi Fci Fws Fcs BTV (%)
A 3 5 2 3 1 2 100
C 3 3 2 3 1 2 74
D 3 2 2 3 1 2 61
Zona 2 (6 - 10 m)
Tipe Fwb Fcb Fwi Fci Fws Fcs BTV (%)
A 3 5 2 3 1 2 100
C 3 3 2 3 1 2 74
D 3 2 2 3 1 2 61
Zona 3 (3 - 6 m)
Tipe Fwb Fcb Fwi Fci Fws Fcs BTV (%)
A 3 5 2 3 1 2 100
C 3 3 2 3 1 2 74
D 3 2 2 3 1 2 61
Zona 4 (0,5 - 3 m)
Tipe Fwb Fcb Fwi Fci Fws Fcs BTV (%)
A 3 5 2 1 1 1 78
C 3 3 2 1 1 1 52
D 3 2 2 1 1 1 39
Zona 5 (< 0,5 m)
Tipe Fwb Fcb Fwi Fci Fws Fcs BTV (%)
A 3 5 2 1 1 1 78
C 3 3 2 1 1 1 52
D 3 2 2 1 1 1 39
Sumber: Hasil olah data (2023)
Tabel 7 adalah potensi risiko kerusakan yang dikorelasikan berdasarkan nilai BTV dan tingkat kerentanannya. Kerusakan adalah risiko yang mungkin terjadi, sehingga kerentanan sangat berkorelasi terhadap kerusakan sesuai dengan fungsi risiko.
Tabel 7. Korelasi BTV, kerentanan dan risiko kerusakan
Sumber: Hasil olah data (2023)
Total bangunan yang mengalami rusak ringan sebanyak 14unit yang tersebar di zona 4 dan 5, dengan tipe bangunan permanen 2 lantai. Hal ini dikarenakan lokasi bangunan dengan ancaman gelombang tsunami yang rendah dan konstruksi bangunan yang baik. Risiko kerusakan sedang akan dialami oleh 486unit bangunan dengan tingkat kerentanan sedang yang tersebar 153unit di zona 4 dan 333unit di zona 5 dimana semuanya adalah konstruksi bangunan permanen 1 lantai. Jenis bangunan ini yang paling banyak di lokasi, sehingga paling banyak juga yang berpotensi mengalami kerusakan. Semua bangunan di lokasi penelitian merupakan pemukiman masyarakat, bukan perumahan. Sehingga walaupun sama-sama permanen 1 lantai dengan konstruksi beton bertulang dengan perkuatan, tetap saja tiap bangunan berbeda kualitasnya satu dengan yang lain, dikarenakan dibangun sendiri oleh pemiliknya.
Hal ini berbeda apabila lokasi penelitian berupa kawasan perumahan. Perumahan dapat dikatakan sebagai sarana tempat tinggal, dengan bentuk dan kualitas bangunan sangat mirip satu sama lain, biasanya yang membedakan adalah luas tanah dan luas bangunan. Sementara pemukiman menekankan pada suatu wilayah tidak hanya sebagai tempat tinggal tetapi juga berlangsung kegiatan Pendidikan, kegiatan ekonomi, pemerintahan dana sarana mata pencaharian [11]. Oleh sebab itu, dalam suatu pemukiman jarang ditemukan bentuk bangunan yang sama.
Bangunan dengan risiko rusak berat sebanyak 142unit yang tersebar di semua zona, dengan karakteristik bangunan tipe A, C dan D, sedangkan risiko hancur total akan dialami oleh 5 bangunan tidak
Zona Tipe
Bangunan
Nilai BTV (%)
Jumlah (Unit)
Tingkat Kerentanan
Risiko Kerusakan
1 C 74 2 Tinggi Rusak Berat
2
A 100 2 Sangat Tinggi Hancur Total
C 74 9 Tinggi Rusak Berat
3
A 100 3 Sangat Tinggi Hancur Total
C 74 88 Tinggi Rusak Berat
D 61 12 Tinggi Rusak Berat
4
A 78 11 Tinggi Rusak Berat
C 52 153 Sedang Rusak Sedang
D 39 9 Sedang Rusak Ringan
5
A 78 20 Tinggi Rusak Berat
C 52 333 Sedang Rusak Sedang
D 39 5 Sedang Rusak Ringan
Total Bangunan 647
permanen yang berada di zona 2 dan 3. Bangunan dengan konstruksi tidak permanen umumnya adalah rumah yang kurang layak huni, kualitas struktur yang rendah ditambah lokasi yang dekat dengan garis pantai menjadikan bangunan tersebut memiliki kerentanan sangat tinggi dan berpotensi hancur total karena tsunami. Sesuai dengan Harefa dkk (2020) bahwa bangunan di Kawasan yang lebih dekat dengan garis pantai adalah yang paling rawan terdampak tsunami [12]. Sea defence di Desa Pejamben tidak ada padahal penting untuk mengurangi kecepatan gelombang tsunami sampai ke pemukiman.
Karakteristik utama ancaman tsunami adalah ketinggian gelombang dan zona genangan [13]. Akan tetapi dalam bencana tsunami, debris atau objek-objek yang dibawa aliran tsunami memperparah kerusakan bangunan. Debris yang mengalir mengikuti gelombang tsunami akan meningkatkan kerentanan. Debris membentur struktur bangunan sehingga meningkatkan beban tekan tsunami pada bangunan. Imran dkk (2013) menyatakan bahwa gaya benturan merupakan beban yang disebabkan oleh puing-puing maupun objek lain yang membentur struktur bangunan. Tabel 8 menunjukkan bahwa risiko kerusakan sedang memiliki rasio paling besar yaitu 75%, dibandingkan jenis kerusakan yang lain, dengan karakter rumah tipe C yang tersebar di zona 4 dan 5. Rasio kerusakan (dalam persentase) dihitung dengan membagi antara jumlah bangunan berdasarkan tingkat kerusakan dengan jumlah total bangunan.
Tabel 8. Rasio kerusakan bangunan Risiko Kerusakan
Bangunan Jumlah Bangunan (Unit) Rasio Terhadap Jumlah Bangunan (%)
Rusak Ringan 14 2
Rusak Sedang 486 75
Rusak Berat 142 22
Hancur Total 5 1
Total 647 100
Sumber: Hasil olah data (2023)
Tingkat kerentanan dan risiko kerusakan sangat berkaitan. Semakin tinggi kerentanan maka risiko juga semakin tinggi, sehingga kapasitas harus ditingkatkan agar risiko dapat direduksi. Sementara bahaya tsunami tidak dapat dihilangkan karena merupakan jenis bencana alam yang kadang dapat diprediksi (apabila didahului oleh gempa bumi), tetapi adakalanya tidak dapat diperkirakan contohnya tsunami di Selat Sunda yang terjadi mendadak tanpa menunjukkan gejala awal. Oleh karena tidak dapat dihindari, maka perlu diperhatikan bagaimana agar dapat mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas.
Pengukuran kapasitas masyarakat berdasarkan penyebaran kuesioner ditunjukkan oleh Tabel 9.
Instrumen penelitian dinyatakan valid (rhitung > rtabel; rhitung > 0,254) dengan taraf signifikansi 5% dan reliabel berdasarkan nilai cronbach’s alfa sebesar 0,763. Skor terendah yang diberikan responden adalah 12 dan tertinggi 22. Interval kelas dihitung dengan cara skor tertinggi dikurangi skor terendah kemudian dibagi jumlah kelas, yaitu tiga kelas diperoleh interval kelas yaitu 5. Persentase tingkat pengetahuan masyarakat terhadap tsunami dihitung dengan cara skor keseluruhan kuesioner dibagi nilai maksimum yaitu 25, diperoleh hasil sebesar 77%. Berdasarkan indeks pengetahuan masyarakat bahwa nilai indeks dalam rentang 76 – 100% termasuk kategori baik [14].
Hasil tersebut didukung oleh wawancara kepada BPBD Pandeglang, pasca terjadinya tsunami masyarakat cenderung lebih terbuka dalam menerima informasi terkait kebencanaan dan sudah lebih waspada apabila masyarakat merasakan adanya gejala alam yang tidak seperti biasanya. Pengetahuan masyarakat tentang tsunami dan kesiapan menghadapi tsunami di Desa Pejamben disimpulkan lebih baik dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan yang dilakukan oleh Sari dan Triana (2022) yang meneliti bahwa hasil tingkat awareness masyarakat terhadap tsunami di Kecamatan Carita dengan studi kasus lima desa yang termasuk kategori cukup (68%) [15].
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat dikatakan bahwa risiko tsunami di Desa Pejamben masih perlu direduksi melalui pengurangan kerentanan bangunan, sedangkan kapasitas perlu dipertahankan dan ditingkatkan agar lebih baik lagi. Pengurangan kerentanan bangunan dapat dilakukan dengan memperhatikan desain bangunan misalnya denah, lantai dasar bukaan, struktur dinding, struktur atap dan lokasi. Bukaan berfungsi sebagai lewatan air jika terjadi tsunami sehingga bangunan yang memiliki bukaan yang cukup luas akan semakin rendah kerentanannya [17]. Keberadaan pelindung pantai menjadi opsi penting untuk diterapkan untuk mengurangi kerentanan dan risiko kerusakan. Peningkatan kapasitas masyarakat dapat dilakukan oleh pihak yang berwenang dengan melibatkan masyarakat dalam manajemen risiko bencana. Penguatan komunitas melalui program partisipasi masyarakat contohnya dengan bergabung di berbagai pertemuan ilmiah, lokakarya, pelatihan pembuatan peta ataupun menjadi sukarelawan [16].
4. Kesimpulan
Hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa dari total 647 di Desa Pejamben memiliki tingkat kerentanan bervariasi yaitu kerentanan sedang (500unit), tinggi (142unit) dan sangat tinggi (5unit). Potensi risiko kerusakan bangunan tertinggi adalah rusak sedang (75%) dari total bangunan, rusak berat 22%, rusak ringan 5% dan hancur total 1%. Hasil analisa kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana tsunami termasuk kategori baik dengan indeks pengetahuan sebesar 77%.
5. Ucapan Terima Kasih
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Universitas Serang Raya yang telah memberikan pendanaan penelitian ini.
6. Daftar Pustaka
[1] J. León, M. Vicuña, and A. Gubler, “Increasing Tsunami Risk Through Intensive Urban Densification in Metropolitan Areas: A Longitudinal Analysis in Viña del Mar, Chile,” International Journal of Disaster Risk Reduction, vol. 41, Dec. 2019, doi: 10.1016/j.ijdrr.2019.101312.
[2] PERKA BNPB, Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. 2012.
[3] W. Pawirodikromo, Seismologi Teknik dan Rekayasa Kegempaan, Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2012.
[4] Cahya, Ighfarulloh Dwi, M. Monikha Sari and T. E. Saputro, “Analisis Kerentanan Bangunan Serta Tingkat Kesadaran Masyarakat Terhadap Tsunami di Desa Carita, Pandeglang, Banten,” in Proceeding Civil Engineering Research forum, Jogjakarta: Universitas Islam Indonesia, 2023, pp. 2–
11. [Online]. Available: https://civil.uii.ac.id/4th-cereform/
[5] C. Lo Re, G. Manno, M. Basile, M. F. Ferrotto, L. Cavaleri, and G. Ciraolo, “Tsunami Vulnerability Evaluation for a Small Ancient Village on Eastern Sicily Coast,” J Mar Sci Eng, vol. 10, no. 2, p. 268, Feb. 2022, doi: 10.3390/jmse10020268.
[6] D. Febrianti and M. Safriani, “Kajian Tingkat Kerentanan Bangunan Terhadap Tsunami dengan Metode BTV (Studi Kasus pada Desa Kuta Padang, Kabupaten Aceh Barat),” Jurnal Teknik Sipil UTU Meulaboh, vol. 2, no. 2, pp. 45–55, Oct. 2016.
[7] W. Soviana, Abdullah and Syamsidik “Analisis Kerentanan Bangunan Gedung Dalam Menghadapi Tsunami di Kecamatan Kuta Alam Banda Aceh,” Jurnal Dialog Penanggulangan Bencana, vol. 6, No. 1, pp. 54-63, 2015.
[8] R. M. Nisaa’, J. Sartohadi, and D. Mardiatno, “Penilaian Kerentanan Bangunan Terhadap Tsunami Menggunakan Model PTVA-4 di Kawasan Wisata Batuhiu, Kabupaten Pangandaran,” Majalah Ilmiah Globe, vol. 21, no. 2, p. 79, Oct. 2019, doi: 10.24895/mig.2019.21-2.905.
[9] R. Omira, M. A. Baptista, J. M. Miranda, E. Toto, C. Catita, and J. Catalão, “Tsunami Vulnerability Assessment of Casablanca-Morocco Using Numerical Modelling and GIS Tools,” Natural Hazards, vol. 54, no. 1, pp. 75–95, 2010, doi: 10.1007/s11069-009-9454-4.
[10] Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, 2nd ed. Bandung: ALFABETA, 2022.
[11] A. D. Naja and D. Mardiatno, “Analisis Kerentanan Fisik Permukiman di Kawasan Rawan Bencana Tsunami Wilayah Parangtritis Yogyakarta,” Jurnal Bumi Indonesia, pp. 1–10, 2017.
[12] J. Harefa, Z. Zulkifli, and A. S. Toha, “Analisis Daerah Rawan Bencana Tsunami Terhadap Pemanfaatan Lahan Perumahan dan Permukiman Kota Gunungsitoli Berbasis Spasial,” Serambi Engineering, vol. V, no. 1, pp. 824–834, Jan. 2020.
[13] D. V. Batzakis et al., “Assessment of Building Vulnerability to Tsunami Hazard in Kamari (Santorini Island, Greece),” J Mar Sci Eng, vol. 8, no. 11, pp. 1–18, Nov. 2020, doi: 10.3390/jmse8110886.
[14] S. Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta, 2013.
[15] M. Monikha Sari and D. Triana, “Tingkat Awareness Masyarakat Terhadap Bencana Tsunami,” Jurnal Environmental Science, vol. 5, no. 1, pp. 1–11, Oct. 2022, doi:
http://dx.doi.org/10.35580/jes.v5i1.36957.
[16] P. Tanwattana, “Systematizing Community-Based Disaster Risk Management (CBDRM): Case of urban flood-prone community in Thailand upstream area,” International Journal of Disaster Risk Reduction, vol. 28, pp. 798–812, Jun. 2018, doi: 10.1016/j.ijdrr.2018.02.010.
[17] I. Imran, E. Yuniarsyah, F. Andrea, S.N. Piranti, F. Faiza, and G. Binarandi, Pedoman Teknik Perancangan Struktur Bangunan Tempat Evakuasi Sementara (TES) Tsunami, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Pusat Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung, 2013.
[18] T. Fitriani, “Analisis Bahan Bangunan Pada Daerah Rawan Gempa dan Tsunami Di Pesisir Pantai Teluk Palu”, Jurnal Infrastruktur, Vol. 4, No. 1, pp. 15-21