• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN DARI IKLIM KERJA ETIS DAN KOMITMEN AFEKTIF

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "PERAN DARI IKLIM KERJA ETIS DAN KOMITMEN AFEKTIF"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

MENINGKATKAN PERASAAN BERKEWAJIBAN INDIVIDUAL PADA ORGANISASI: PERAN DARI IKLIM KERJA ETIS DAN KOMITMEN AFEKTIF

Hafid Aditya Pradesa1, Riza Bahtiar Sulistyan2, Ida Bagus Agung Dharmanegara3 Politeknik STIA LAN Bandung1

STIE Widya Gama Lumajang2 Universitas Warmadewa, Denpasar3

Email: hafid.aditya@poltek.stialanbandung.ac.id1 Email: rizabahtiars@gmail.com2

Email: gusdhewun@gmail.com3

Abstract

Feelings of obligation (felt obligation) is a concept that is quite rarely reviewed in several empirical studies since it was first introduced as part of the social exchange framework and is often associated with perceived organizational support (perceived organizational support) and affective commitment, a form of organizational commitment that is often the most important thing.

from a reflection of the emotional and psychic attachment of the individual to his organization.

The purpose of this study is to review how to examine the potential determinants of affective commitment and feelings of obligation in another theoretical framework, namely the ethical work climate. This study took a sample in Denpasar Bali, and focused on marketing officers from service companies who voluntarily participated in this study during the period January to February 2021. A total of 68 respondents were recorded as having participated in this study and completely answered all the questionnaires distributed. by online. Path analysis using SmartPLS was conducted to answer research questions that have been asked, namely about how the role of ethical work climate and affective commitment in increasing the feeling of obligation of employees in the organization. The results of the study revealed that affective commitment was found to be the most important determinant of employee feelings of obligation. On the other hand, although an ethical work climate was also found to have an important direct effect on feelings of obligation, the effect of an ethical work climate was considered to be stronger if the impact of working indirectly with through affective commitment first. These results provide an important overview of the outcome mechanisms of an ethical work climate from the lens of social exchange theory.

Keyword: Feelings of Duty, Ethical Work Climate, Affective Commitment.

PENDAHULUAN

Pemasaran adalah fungsi bisnis yang paling sering dikaitkan dengan perilaku tidak etis (Jaramillo et al., 2009). Meski tentu saja semua area pemasaran dalam perusahaan dapat diteliti untuk perilaku etis yang dipertanyakan terutama dalam proses pengambilan keputusan (Ferrell et al., 2013), area pemasaran profesional sering disebut sebagai area di mana perilaku yang meragukan sering terjadi (Tadajewski & Jones, 2012). Di sisi lain tenaga pemasaran adalah perwakilan dari

"garis depan" suatu perusahaan. Tenaga pemasaran merupakan wajah sekaligus ujung tombak dari perusahaan. Para tenaga pemasaran telah mengembangkan hubungan jangka panjang dan jaringan dengan pelanggan dengan cara yang memungkinkan pelanggan untuk mengidentifikasinya dengan perusahaan. Tetapi dalam interaksinya dengan pelanggan, tenaga pemasaran tentu dihadapkan pada pirnsip dan nilai etis yang diyakini dalam profesinya maupun dalam mengakomodir kepentingannya untuk membantu mencapai tujuan perusahaan. Fondasi etis ini terlalu sering dilupakan daripada memperlakukan konsep pemasaran sebagai sinonim untuk nilai pemegang saham, dan hal ini telah menjadi pembahasan penting dalam level teoritis dan pemikiran manajemen (Ferrell et al., 2013; Tadajewski & Jones, 2012).

(2)

Bagi banyak tenaga pemasaran, kompensasi finansial yang diterima untuk pekerjaan yang dilakukan mungkin menjadi motivator tetapi pada akhirnya karyawan tersebut harus memiliki dan berupaya dalam pemenuhan pekerjaannya agar tetap berada di organisasi. Tenaga pemasaran biasanya secara fisik dan psikologis terpisah dari orang lain dalam organisasi. Meskipun banyak yang menuntut kemerdekaan dan kebebasan pribadi, tenaga pemasaran sering kali tidak memiliki kelompok sebaya untuk berbagi kemenangan (pemasaran yang baik) atau kekalahan serta kerugian (pesanan yang hilang) dengan rekan kerja lain di kantor. Karena tenaga pemasaran adalah perwakilan perusahaan, komitmen mereka untuk terlibat dalam perilaku etis penting untuk keberhasilan organisasi (DeConinck, 2011), dan oleh karenanya penting sekali untuk mengetahui dampak dari iklim kerja etis yang dirasakan tenaga pemasaran (DeConinck et al., 2013).

Tenaga pemasaran tidak hanya mengirimkan dan menjual produk, tetapi juga mengumpulkan data pasar yang relevan dan mengumpulkan intelijen kompetitif yang penting untuk perumusan dan implementasi strategi organisasi. Di banyak perusahaan jasa, manajer pemasaran biasanya bertanggung jawab untuk memberikan nasihat, saran, strategi, dorongan, dan visi untuk memastikan bahwa tenaga pemasaran termotivasi, produktif, berkinerja terbaik. Hal ini penting untuk hubungan antara komitmen dan pemenuhan kewajiban karena ketika tenaga pemasaran sangat adaptif, serta mampu mengenali situasi di mana komitmen yang dirasakan cenderung dapat menghasilkan pemenuhan dirinya – baik kepada tugas, pekerjaan, atau kepada perusahaan.

Kesadaran yang meningkat ini memungkinkan tenaga pemasaran untuk meningkatkan hubungan pemenuhan komitmen yang untuk selanjutnya dapat mendorong rasa berkewajiban tenaga pemasaran terhadap pekerjaannya dalam mencapai tujuan perusahaan.

Perasaan berkewajiban merupakan hal terpenting yang dikenali sebagai bentuk keterikatan seseorang pada pekerjaannya. Konsep tentang perasaan berkewajiban menjadi hal yang menarik dalam dinamika organisasi terutama tentang bagaimana sikap dan perilaku individual dapat terbentuk dengan hal tersebut. Konsep perasaan berkewajiban pada awalnya merupakan bagian dari mekanisme pertukaran sosial dalam organisasi, dan menjadi hasil (outcome) dari pola resiprokal atas persepsi dukungan organisasi (perceived organizational support) yang dirasakan oleh individu (Eisenberger et al., 2001). Hasil dari perasaan berkewajiban sangatlah beragam, mulai dari kinerja atau perilaku ekstra peran (Roch et al., 2019), kemudian perilaku menolong (Lorinkova & Perry, 2019), kinerja mentor dari pola mentoring di organisasi (Maynard-Patrick &

Baugh, 2019), keterikatan kerja (Basit, 2017), maupun perilaku kerja positif (Caesens et al., 2016).

Telaah konseptual telah diuraikan sebelumnya (Pradesa et al., 2018) dan menggarisbawahi bahwa konsep perasaan berkewajiban ini merupakan hal yang berbeda dengan komitmen organisasional khususnya komitmen normatif. Bentuk komitmen ini secara konseptual merupakan kewajiban yang dirasakan individu untuk tetap berada dalam organisasi. Berbeda dengan komitmen normatif, perasaan berkewajiban merupakan bentuk afeksi dari diri seorang pegawai dalam kaitannya dengan rasa berkewajiban untuk membantu organisasi mencapai tujuan (Eisenberger et al., 2001).

Telaah pada hasil empiris terdahulu menunjukkan bahwa perasaan berkewajiban paling direfleksikan oleh indikator memberikan seratus persen energi (Pradesa et al., 2018) dimana hal ini ditunjukkan dalam beberapa temuan penelitian sebelumnya yang mengulas tentang perasaan berkewajiban.

Para ahli dan peneliti sebelumnya telah menjelaskan bahwa karyawan dengan komitmen afektif yang kuat akan cenderung untuk melanjutkan hubungan pekerjaan dengan organisasi karena keinginan untuk melakukannya (Eby et al., 1999; Mercurio, 2015). Di sisi lain bentuk keterikatan emosional karyawan dengan perusahaan serta tujuannya juga disebut sebagai komitmen afektif (Allen & Meyer, 1990; Meyer & Allen, 1997). Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa tenaga pemasaran menunjukkan tingkat komitmen yang lebih tinggi daripada yang dilaporkan untuk kelompok karyawan profesional dan non-profesional (DeConinck, 2011). Pekerjaan pemasaran dalam sebuah perusahaan biasanya cenderung kompleks, dengan melibatkan banyak struktur pemrakarsa tugas dan tinggi dalam upaya untuk melakukan pekerjaan secara kompeten.

Dalam hubungan pertukaran sosial yang berlaku pada organisasi, pihak-pihak saling bertukar yang saling menguntungkan dukungan dan bantuan di bawah norma yang mengatur timbal balik (Gouldner, 1960). Meskipun terdapat perdebatan tentang tipe hubungan seperti apa yang muncul

(3)

dan pertukaran mengenai hal apa yang ditransasksikan (Cropanzano & Mitchell, 2005), penerimaan tentang norma resiprokal mengakibatkan perasaan berkewajiban muncul kepada pemberi ketika bantuan atau perlakuan yang menguntungkan diterima. Perasaan kewajiban ini dicirikan sebagai keadaan yang sedikit tegang secara individual, dan dengan demikian perasaan berhutang ini mengarahkan perhatian dan upaya ke arah kegiatan yang mungkin menyelesaikan kewajiban ini dan ketegangan terkait yang dirasakan.

Sifat dukungan tempat kerja tenaga pemasaran dan hubungannya dengan variabel hasil lain baik berupa sikap dan perilaku penting tetap menjadi hal yang menarik bagi manajer dan peneliti. Ahli teori pertukaran sosial telah menghasilkan basis besar dari literatur terdahulu yang menunjukkan bahwa karyawan secara signifikan bergantung pada hubungan pertukaran dengan organisasi (Dawud et al., 2018; Paillé & Valéau, 2020; Roch et al., 2019). Logika dari teori dukungan organisasi yang telah dikenalkan selama ini (Aselage & Eisenberger, 2003) akan cenderung menyarankan bahwa individu yang merasakan dukungan organisasi yang tinggi akan merasakan kewajiban yang lebih kuat terhadap organisasi daripada mereka yang merasakan tingkat dukungan yang lebih rendah (Aselage & Eisenberger, 2003; Eisenberger et al., 2001).

Iklim organisasi dipandang terdiri dari kualitas yang membedakan satu organisasi dari yang lain, yang bertahan dari waktu ke waktu, dan membantu untuk mengendalikan tindakan karyawan dalam organisasi. Iklim organisasi terdiri dari persepsi atas properti dalam organisasi yang mengintervensi antara karakteristik dan perilaku organisasi.Selain itu Iklim organisasi merupakan seperangkat sikap dan harapan yang menggambarkan karakteristik statis organisasi dan kontinjensi hasil-hasil dan hasil-hasil (Arnaud & Schminke, 2012). Sementara konsep etika dapat dikenali sebagai pengertian moral secara positif (Arnaud, 2006), yang juga mempengaruhi organisasi dalam berbagai hal, seperti pengusaha, karyawan, dan lingkungan kerja. Penelitian terdahulu telah mengulas tentang bagaimana iklim kerja etis dapat mempengaruhi komitmen afektif dalam lokus penelitian yang berbeda-beda sebagai contoh di area keperawatan (Dharmanegara et al., 2016), atau pada unit analisis pegawai sektor publik (Pradesa, 2018; Pradesa et al., 2019). Kajian tentang iklim kerja etis bagi industri jasa akan bermanfaat karena tenaga pemasaran tidak memiliki keterlibatan yang sama seperti yang dilakukan karyawan lain dalam suatu organisasi, dikarenakan tenaga pemasaran terbiasa berada di luar kantor dan berinteraksi dengan pelanggan potensial maupun pelanggan yang sudah ada. Perihal iklim kerja etis dalam hal ini jelas berpotensi berbeda ketika dipersepsikan oleh unit analisis lain seperti misalnya dewan direksi (Sunardi & Pradesa, 2019), dengan implikasi penting bahwa perspektif manajer dengan pelaksana memungkinkan persepsi atau penilaian yang berbeda atas suatu konsep. Dengan kata lain, kondisi di lapangan tenaga pemasaran mungkin dapat melebih-lebihkan pengaruhnya terhadap keputusan pembelian pelanggan, tentunya hal ini adalah permasalahan etika dalam pekerjaan. Di sisi lain hal ini merupakan hasil dari sifat kepribadian penjual yang alami dan adaptif, sifat proses penjualan yang disesuaikan (DeConinck et al., 2013). Dari sudut pandang tenaga pemasaran, mungkin juga tampak seolah-olah hubungan yang mengarah ke komitmen telah terjalin padahal sebenarnya, pelanggan hanya menjadi sopan atau hanya menanggapi dengan baik usaha-usaha yang tidak disukai dari tenaga pemasaran.

Terkait dengan pengembangan dan penelitian etika dari tenaga pemasaran, termasuk hubungannya dengan kinerjanya, serta penerapan dan pengaruh yang berkembang dari berbagai teknologi maupun teori dan manajemen pemasaran (Tadajewski & Jones, 2012). Dalam tataran lebih luas pada sebuah organisasi, hal ini dapat memberikan deskripsi mendalam tentang teori agensi sebagai landasan teoretis untuk penelitian yang diusulkan dalam penelitian ini. Teori agensi atau keagenan telah digunakan oleh para ahli di berbagai bidang (Azevedo & Akdere, 2008; Panda & Leepsa, 2017), dan peneliti menunjukkan optimisme awal tentang penggunaannya untuk lebih lanjut pemahaman tentang perilaku organisasi terutama pada ranah etika dan nilai profesionalisme dalam pekerjaan (Langer, 2006). Hal ini dipertimbangkan sebagai fenomena yang wajar dalam dinamika pada organisasi karena melihat manusia sebagai aktor individu di dalamnya sebagai makhluk ekonomi yang mempunyai kepentingan dan selalu berusaha memenuhi kebutuhannya. Seiring dengan pemantauan untuk memastikan tenaga penjualan menggunakan teknologi secara etis, organisasi berorientasi penjualan dapat menggunakan teknologi untuk memantau perilaku etis keseluruhan tenaga penjualan mereka (Jaramillo et al., 2009). Prosedur yang mereka gunakan

(4)

untuk mencapai pemantauan, pengarahan, dan penilaian karyawan mereka dikenal sebagai sistem kontrol. Tetapi diluar prosedur dan sistem yang umumnya dikenali, penting untuk melihat mekanisme lain yang ada dalam organisasi baik dalam tataran individual, tim, maupun organisasi.

Hasil dari penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa iklim kerja etis berpengaruh positif pada komitmen afektif dari seorang karyawan terhadap organisasinya (Pradesa, 2018; Pradesa et al., 2019). Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman terbaik dari peneliti, studi ini bukan yang pertama untuk mengeksplorasi bagaimana memetakan perasaan kewajiban ditinjau dari determinannya untuk dua konsep penting yang telah dikaitkan yakni iklim kerja etis dan komitmen afektif. Penelitian sebelumnya telah mengulas tentang bagaimana komitmen afektif dapat memperkuat masing – masing dimensi dari iklim kerja etis terhadap perasaan berkewajiban dari pegawai negeri sipil, dengan dimensi rules and codes dari iklim kerja etis yang ditemukan paling memberikan pengaruh terbesar jika dibandingkan dengan yang lainnya (Pradesa, 2018).

Sebelumnya hasil efek multidimensional iklim kerja etis pada komitmen afektif telah diuji pada konteks profesi keperawatan dan menghasilkan temuan bahwa tiga dari lima dimensi iklim kerja etis yang mempunyai pengaruh bermakna penting pada penguatan komitmen afektif perawat pada tim kerja (Dharmanegara et al., 2016). Hasil empiris penting yang telah teridentifikasi sebelumnya bahwa iklim kerja etis tidak dapat secara langsung mempengaruhi perasaan berkewajiban, tetapi harus melalui komitmen afektif terlebih dahulu (Pradesa et al., 2019). Temuan empiris tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat kemungkinan untuk eksplorasi dan kajian lebih lanjut dari interaksi diantara iklim kerja etis, komitmen afektif maupun perasaan berkewajiban individu dalam sebuah organisasi.

Studi sebelumnya menemukan bahwa umumnya peningkatan tingkat iklim kerja etis akan mengarah pada perasaan komitmen yang lebih kuat terhadap organisasi dalam bentuk komitmen afektif, dan untuk selanjutnya komitmen afektif dapat berpengaruh pada perasaan berkewajiban karyawan dalam pekerjaannya. Di sisi lain iklim kerja etis dapat berpotensi secara langsung meningkatkan perasaan berkewajiban individu dalam organisasi. Logika tentang keterhubungan diantara konsep tersebut secara intuitif telah cukup dikenali dengan baik dan mengikuti proposisi teori pertukaran sosial (Cropanzano & Mitchell, 2005) bahwa karyawan akan berkomitmen untuk perusahaan seperti bagaimana organisasi berkomitmen untuk karyawannya dalam organisasi.

Telah ditunjukan bahwa semakin banyak perasaan positif yang dimiliki karyawan atas iklim kerja etis secara tersirat menunjukkan tentang bagaimana karyawan harusnya bersikap dan beperilaku secara etis (Arnaud, 2006; Arnaud & Schminke, 2012). Hal ini dalam perspektif teori keagenan bahwa seorang karyawan sebagai agent dari pemilik perusahaan melakukan pekerjaan yang telah ditentukan dengan keharusan untuk tetap berlandaskan pada sikap dan perilaku etis sesuai dengan nilai – nilai yang diyakini dan ditetapkan oleh perusahaan tersebut. Oleh karena itu keterkaitan diantara iklim kerja etis dengan perasaan berkewajiban dapat dijelaskan dalam bingkai teori keagenan. Dengan memahami bahwa organisasi mengelola iklim kerja etisnya berdasarkan empat hal yakni sensitivitas moral kolektif, penghakiman moral kolektif, motivasi moral kolektif, serta karakter moral kolektif (Arnaud, 2006). Kunci dari konsep iklim kerja etis ini adalah kolektivitas, dan setiap individu dituntut untuk menyadari dan mengadopsi nilai – nilai kolektif tersebut dalam organisasi sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku.

Seseorang yang merasa bahwa suasana dalam lingkungan pekerjaannya mendorong untuk nilai – nilai etis dalam aktivitas pekerjaannyam selain itu hal ini dimungkinkan untuk mendorong keterikatan emosional maupun psikis dengan organisasi. Berdasarkan hal tersebut maka pola interaksi hubungan antar variabel dalam penelitian ini dibangun berdasarkan integrasi dua teori yakni teori pertukaran sosial dan teori keagenan. Kerangka konseptual penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 sebagai berikut.

(5)

Gambar 1. Kerangka Konseptual

Berdasarkan Gambar 1, kerangka konseptual yang dikembangkan pada penelitian ini dibangun berdasarkan integrasi dari konsep norma resiprokal atau teori pertukaran sosial dengan teori keagenan. Integrasi kedua konsep tersebut membawa kepada pemahaman tentang hasil dari iklim kerja etis dapat dipertimbangkan berupa keterikatan emosional individual dengan organisasi dan rasa berkewajiban atas pekerjaan yang dilakukan dalam mendukung tujuan organisasi.

Bagian berikut menyajikan alasan untuk studi yang diusulkan. Seiring dengan alasan, beberapa hipotesis diajukan. Dasar pemikiran di bagian ini membangun hipotesis dalam bagian-bagian daripada satu per satu.

Hubungan yang digambarkan di atas diwakili melalui efek langsung dan tidak langsung yang terdapat pada model penelitian. Berdasarkan temuan sebelumnya dan kerangka teoritis yang telah dijelaskan sebelumnya, diasumsikan bahwa setiap determinan dari perasaan berkewajiban yakni iklim kerja etis dan komitmen afektif sifatnya saling berkaitan. Oleh karena itu pada kerangka konseptual penelitian diyakini bahwa iklim kerja etis dapat memprediksi komitmen afektif dan perasaan berkewajiban secara langsung, sementara komitmen afektif dipertimbangkan sebagai determinan terpenting dari perasaan berkewajiban. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

H1 Terdapat pengaruh positif signifikan iklim kerja etis pada komitmen afektif dari tenaga pemasaran

H2 Terdapat pengaruh positif signifikan iklim kerja etis pada perasaan berkewajiban dari tenaga pemasaran

H3 Terdapat pengaruh positif signifikan komitmen afektif pada perasaan berkewajiban dari tenaga pemasaran

H4 Terdapat peran mediasi yang bermakna penting dari komitmen afektif pada pengaruh iklim kerja etis terhadap perasaan berkewajiban

METODE

Penelitian ini dikategorikan dalam penelitian kuantitatif, dengan penerapan penalaran deduktif bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian penting. Responden dalam penelitian ini adalah karyawan yang bekerja sebagai tenaga pemasaran pada beberapa perusahaan jasa di Denpasar, Bali. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrument kuesioner yang disusun dalam bentuk google form untuk kemudian disebarkan kepada responden. Tehnik pengambilan sampel adalah non-probability sampling dengan snowball sampling, dengan proses penelitian dimulai dengan menentukan sejumlah populasi kecil individu yang dikenali pada grup media sosial dan memperluas sampel dengan meminta peserta awal tersebut untuk mengidentifikasi orang lain yang masuk kriteria dalam penelitian ini serta berkenan untuk turut serta berpartisipasi sebagai responden. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2021 dengan durasi waktu pengambilan data selama 30 hari. Sebanyak 68 responden yang teridentifikasi berpartisipasi menjawab dengan lengkap kuesioner tertutup.

Iklim Kerja Etis

Komitmen Afektif

Perasaan Berkewajiban

(6)

Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian eksplanatori (menjelaskan pengaruh dari iklim kerja etis terhadap perasaaan berkewajiban secara langsung maupun tidak langsung melalui komitmen afektif) yang dirancang dengan mengumpulkan data melalui pertanyaan tertutup. Skala penilaian diri sendiri (self-assesment) adalah cara yang diterima untuk memperoleh informasi tentang keyakinan individu atau kelompok mengenai perilaku, terutama mengingat kurangnya alternatif praktis. Terdapat empat instrument penelitian dengan skala yang digunakan dalam penelitian ini mengadopsi dari instrument penelitian yang telah divalidasi sebelumnya dalam penelitian empiris terdahulu tentang iklim kerja etis (Arnaud, 2010), komitmen afektif (Allen & Meyer, 1990), serta perasaan berkewajiban (Eisenberger et al., 2001). Semua item dinilai menggunakan skala tipe Likert 5 poin (5 = sangat setuju; 4 = setuju; 3 = tidak setuju atau tidak setuju; 2 = tidak setuju; 1 = sangat tidak setuju). Operasionalisasi instrumen penelitian untuk mengukur variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut.

Tabel 1. Operasionalisasi Instrumen Penelitian

Variabel Indikator r

Iklim Kerja Etis α = 0.871

1. Sensitivitas Moral Kolektif 0,615

2. Penghakiman Moral Kolektif 0,757

3. Motivasi Moral Kolektif 0,778

4. Karakter Moral Kolektif 0,792

Komitmen Afektif α = 0.935

1. Bekerja dalam unit atau tim memiliki banyak makna pribadi 0,791 2. Rasa memiliki yang kuat terhadap organisasi 0,877 3. Bangga memberi tahu orang lain tentang pekerjaan untuk organisasi 0,793 4. Merasa terikat secara emosional dengan organisasi 0,866 5. Merasa peduli tentang organisasi sepenuhnya 0,814

Perasaan Berkewajiban

α = 0.903

1. Merasa kewajiban pribadi untuk membantu mencapai tujuan organisasi 0,747 2. Merasa kewajiban pribadi untuk memastikan produk berkualitas tinggi

yang dihasilkan 0,863

3. Merasa berkewajiban untuk mengambil waktu dari jadwal pribadi 0,837 4. Merasa berkewajiban untuk melayani dan memuaskan orang lain 0,680 5. Merasa bekerwajiban untuk memberikan 100 persen energi 0,681 Sumber : dikembangkan untuk penelitian ini (2021)

Dalam pengujian instrumen, penelitian ini menggunakan analisis korelasi antara item dengan total untuk mendapatkan nilai koefisien indikator pada variabel yang diamati dalam penelitian. Adapun kriteria untuk validitas internal adalah dengan cut-off sebesar 0,300. Berdasarkan kriteria tersebut maka seluruh indikator sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1 telah memenuhi kriteria validitas, dengan range nilai koefisien korelasi dari 0,615 sampai dengan 0,877. Jarak antara nilai korelasi tersebut menunjukkan bahwa tingkat korelasi antar item dengan nilai total pada variabelnya berada pada jarak yang cukup tinggi. Nilai alpha Cronbach pada setiap variabel menunjukkan tingkat reliabilitas menunjukkan hasil nilai diantara 0,871 sampai dengan 0,935 yang berarti bahwa seluruh instrumen dalam penelitian ini dinyatakan memenuhi kriteria keandalan yang sangat baik.

Tabel 1 menunjukkan nilai (α) alpha > 0.6 untuk semua variabel, sehingga seluruh variabel yang diamati dalam penelitian ini dinyatakan reliabel.

Berdasarkan kerangka konseptual dan hipotesis penelitian, maka analisis jalur digunakan pada penelitian ini untuk menjawab pertanyaan penelitian dan menguji masing-masing hipotesis yang diajukan. Analisis jalur dengan menggunakan SmartPLS diterapkan pada penelitian ini mempertimbangkan jumlah sampel yang relatif sedikit atau dibawah 100.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari data yang telah terkumpul diolah dan dianalisis dengan statistik deskriptif dan statistik inferensial (analisis jalur). Statistik deskriptif yang dilakukan dalam penelitian ini digunakan untuk melaporkan nilai rata-rata, serta uji validitas dan reliabilitas untuk masing-masing konstruk yakni iklim kerja etis , komitmen afektif , dan perasaan berkewajiban. Secara ringkas hasil rerata jawaban responden, standar deviasi serta nilai korelasi antar variabel dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut.

(7)

Tabel 2. Mean, Standar Deviasi, Serta Korelasi Antar Variabel

Mean SD 1 2 3

1. Iklim kerja etis 3.783 2.764 (.829)

2. Komitmen afektif 3.832 4.363 0.533** (.927)

3. Perasaan berkewajiban 3.709 4.148 0.609** 0.796** (.908) Notes: **p , 0.01; *p , 0.05; Alpha Cronbach untuk setiap skala dicetak miring dan ditunjukkan secara diagonal.

Berdasarkan Tabel 2 diatas menunjukkan nilai rata-rata jawaban beserta nilai standar deviasi dari responden penelitian ini yakni tenaga pemasaran dari perusahaan jasa di Denpasar Bali untuk setiap variabel penelitian ini. Nilai mean untuk variabel yang ditemukan berkisar dari 3,71 sampai dengan 3,83 dan dikategorikan moderat dengan nilai standar deviasinya berkisar diantara 2.764 sampai dengan 4.363. Nilai tertinggi yang dirasakan oleh tenaga pemasaran adalah tentang komitmen afektif (mean = 3.832), sementara perasaan berkewajiban mempunyai nilai yang terendah (mean = 3.709) jika dibandingkan dengan nilai variabel lainnya dalam model penelitian.

Hasil ini menunjukkan bahwa perasaan berkewajiban dari tenaga pemasaran pada perusahaan jasa di Denpasar Bali tergolong sedang atau moderat. Sementara nilai korelasi antar variabel ditemukan berkisar diantara 0.533 sampai dengan 0.796 yang menunjukkan nilai korelasi yang cukup besar.

Tabel 3. Nilai Bobot Faktor dan Mean Untuk Variabel Penelitian

Variabel Pernyataan Indikator Bobot

Faktor mean Iklim kerja

etis

1. Sensitivitas Moral Kolektif 0.6988 3.93

2. Penghakiman Moral Kolektif 0.8208 3.84

3. Motivasi Moral Kolektif 0.8540 3.66

4. Karakter Moral Kolektif 0.8772 3.71

Komitmen afektif

1. Bekerja dalam unit atau tim memiliki banyak makna pribadi 0.8615 3.94 2. Rasa memiliki yang kuat terhadap organisasi 0.9149 3.63 3. Bangga memberi tahu orang lain tentang pekerjaan untuk

organisasi 0.8739 3.91

4. Merasa terikat secara emosional dengan organisasi 0.8988 3.85 5. Merasa peduli tentang organisasi sepenuhnya 0.8553 3.82

Perasaan berkewajiban

1. Merasa kewajiban pribadi untuk membantu mencapai

tujuan organisasi 0.8458 3.66

2. Merasa kewajiban pribadi untuk memastikan produk

berkualitas tinggi yang dihasilkan 0.9345 3.79

3. Merasa berkewajiban untuk mengambil waktu dari jadwal

pribadi 0.9155 3.68

4. Merasa berkewajiban untuk melayani dan memuaskan

orang lain 0.7843 3.74

5. Merasa bekerwajiban untuk memberikan 100 persen energi 0.7927 3.68 Sumber : Data primer diolah (2021)

Tabel 3 tersebut diatas menunjukkan nilai bobot faktor dari setiap indikator pada konstruk. Hasil menunjukkan bahwa seluruh indikator dari konstruk penelitian ditemukan nilainya diatas 0.5 sehingga dapat dinyatakan bahwa seluruh konstruk dalam penelitian telah memenuhi kriteria validitas diskriminan. Ditinjau dari hasil bobot faktor pada variabel iklim kerja etis, indikator tentang karakter moral kolektif menjadi hal terpenting yang mencerminkan iklim kerja etis dari perusahaan jasa menurut persepsi tenaga pemasaran. Namun fakta di lapangan hal yang paling dirasakan oleh tenaga pemasaran adalah tentang sensitivitas moral kolektif. Pada variabel komitmen afektif, indikator tentang rasa memiliki yang kuat terhadap organisasi merupakan hal terpenting yang dapat mencerminkan komitmen afektif dari tenaga pemasaran atas perusahaan jasa tempat mereka bekerja. Tetapi fakta di lapangan hal yang paling mencolok dan dirasakan oleh tenaga pemasaran adalah tentang bekerja dalam unit atau tim memiliki banyak makna pribadi.

Pada variabel perasaan berkewajiban, indikator merasa kewajiban pribadi untuk memastikan produk berkualitas tinggi yang dihasilkan merupakan indikator yang paling mencerminkan perasaan berkewajiban dari para tenaga pemasaran atas perusahaan jasa tempat mereka bekerja. Hal ini juga diperkuat oleh fakta dilapangan yang menunjukkan bahwa indikator yang sama merupakan indikator dari perasaan berkewajiban yang paling dirasakan oleh tenaga pemasaran.

(8)

Tabel 4. Nilai Koefisien Beta Untuk Hubungan Antar Variabel Pengaruh

Nilai Koefisien

Beta

Nilai tstatistik

Signifikansi Ket Iklim kerja etis  Komitmen afektif 0.533 4.398 0,0275 Signifikan Iklim kerja etis  Perasaan berkewajiban 0.258 2.626 0,0375 Signifikan Komitmen afektif  Perasaan berkewajiban 0.658 7.227 0,0126 Signifikan Sumber: Data primer diolah (2021)

Tabel 4 menunjukkan hasil analisis data berupa nilai koefisien beta untuk hubungan antar variabel dalam penelitian ini. Nilai koefisien beta beserta hasil nilai t hitung atau t statistik dengan signifikansinya. Berdasarkan informasi yang tertera pada Tabel 4 tersebut maka dilakukan pengujian terhadap hipotesis penelitian. Pengujian hipotesis menggunakan tingkat kriteria signifikansi sebesar 5 persen dengan kriteria t tabel sebesar 1.960 (n = 68) dengan penjelasan masing – masing hipotesis antara lain sebagai berikut:

Hipotesis 1: Terdapat pengaruh positif signifikan iklim kerja etis pada komitmen afektif.

Berdasarkan temuan hasil penelitian yang ditunjukkan dengan Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai pengaruh dari iklim kerja etis terhadap komitmen afektif ditemukan signifikan (β1 = 0,533 Sign = 0,027). Nilai signifikansi tersebut yang ditunjukkan masuk dalam kategori di bawah taraf toleransi 5 persen. Oleh karena itu hipotesis pertama dalam penelitian ini dinyatakan diterima. Hal ini berarti bahwa semakin baik iklim kerja etis yang dipersepsikan tenaga pemasaran di perusahaan jasa akan semakin meningkatkan komitmen afektif yang dirasakannya.

Hipotesis 2: Terdapat pengaruh positif signifikan komitmen afektif pada perasaan berkewajiban . Berdasarkan temuan hasil penelitian yang ditunjukkan dengan Tabel 4 terungkap bahwa nilai pengaruh dari komitmen afektif terhadap perasaan berkewajiban ditemukan signifikan (β3 = 0,658 Sign=0,012). Hipotesis kedua dalam penelitian ini dinyatakan diterima. Hal ini berarti bahwa semakin baik komitmen afektif yang dirasakan oleh tenaga pemasaran akan semakin meningkatkan rasa berkewajibannya secara individual dalam mendukung pencapaian tujuan perusahaan.

Hipotesis 3: Terdapat pengaruh positif signifikan iklim kerja etis pada perasaan berkewajiban.

Berdasarkan temuan hasil penelitian yang ditunjukkan dengan Tabel 4 terungkap bahwa nilai pengaruh dari iklim kerja etis terhadap perasaan berkewajiban ditemukan signifikan (β2 = 0,258 Sign=0,037). Hipotesis ketiga dalam penelitian ini dinyatakan diterima. Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa semakin baik penilaian atas iklim kerja etis dari organisasi maka hal ini semakin meningkatkan perasaan berkewajiban dari tenaga pemasaran dalam mendukung pencapaian tujuan dari perusahaan jasa tempat mereka bekerja.

Hipotesis 4 : Terdapat peran mediasi yang bermakna penting dari komitmen afektif pada pengaruh iklim kerja etis terhadap perasaan berkewajiban. Berdasarkan temuan hasil penelitian yang ditunjukkan dengan Tabel 4 ditunjukkan bahwa nilai pengaruh dari iklim kerja etis terhadap komitmen afektif ditemukan signifikan (β1 = 0,533; Sign=0,027), kemudian komitmen afektif berpengaruh signifikan terhadap perasaan berkewajiban (β3 = 0,658; Sign=0,012). Nilai pengaruh tidak langsungnya yakni β1 x β3 = 0.533 x 0.658= 0.350. Berdasarkan nilai pengaruh tersebut maka hipotesis keempat dalam penelitian ini dapat dinyatakan diterima. Pada dasarnya temuan penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh tidak langsung dari iklim kerja etis terhadap perasaan berkewajiban melalui komitmen afektif. Mempertimbangkan bahw nilai pengaruh langsung iklim kerja etis terhadap perasaan berkewajiban ditemukan signifikan (β2 = 0,258 Sign=0,037), maka dapat dinyatakan bahwa sifat dari mediasi dalam model penelitian ini adalah sebagian. Tetapi jika dilihat dari besaran nilai pengaruhnya menunjukkan bahwa dampak dari iklim kerja etis pada perasaan berkewajiban dapat bekerja secara maksimal dengan cara meningkatkan komitmen afektif dari tenaga pemasaran terlebih dahulu.

(9)

Gambar 2. Nilai Koefisien Jalur Hasil Penelitian

Temuan penelitian tersebut berikut pengujian hipotesis mengkonfirmasi bahwa iklim kerja etis merupakan determinan penting dari komitmen afektif. Hasil penelitian tersebut secara umum mendukung temuan penelitian terdahulu terkait hasil penting dari iklim kerja etis berupa komitmen afektif (Dharmanegara et al., 2016; Pradesa, 2018; Pradesa et al., 2019), sementara perasaan berkewajiban menjadi hasil penting dari komitmen afektif (Aselage & Eisenberger, 2003;

Eisenberger et al., 2001; Pradesa, 2018; Pradesa et al., 2019). Mekanisme pertukaran sosial dapat berlaku dalam interaksi diantara iklim kerja etis – komitmen afektif – perasaan berkewajiban individual pada organisasi. Sementara hasil penelitian ini tidak dapat mengkonfirmasi temuan dari penelitian sebelumnya yang tidak memvalidasi pengaruh yang bermakna penting dari iklim kerja etis terhadap perasaan berkewajiban (Pradesa et al., 2019). Penelitian ini menunjukkan bahwa iklim kerja etis dapat mempengaruhi perasaan berkewajiban individual secara langsung.

Temuan penelitian memperlihatkan bahwa komitmen afektif dapat dipandang sebagai faktor penentu terpenting dari perasaan berkewajiban dari tenaga pemasaran pada perusahaan jasa di Denpasar, Bali. Secara sepintas hasil penelitian menguatkan dukungan untuk mekanisme proses pertukaran sosial di mana komitmen afektif yang menjadi hasil dari iklim kejar etis diterjemahkan ke dalam perasaan berkewajiban dari karyawan dalam membantu mencapai tujuan perusahaan.

Oleh karenanya penelitian ini menambahkan hasil kontingensi yang bersifat penting. Secara khusus, hasil mengungkapkan bahwa efek tidak langsung positif dari iklim kerja etis pada perasaan berkewajiban melalui komitmen afektif muncul pada identifikasi serta keterikatan emosional tingkat tinggi dengan organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme keterikatan emosional dari individu pada organisasi yang dapat dipertimbangkan sebagai hasil dari pengaturan nilai – nilai etis dalam organisasi lebih berperan penting dalam penguatan hasil kerja berupa sikap seseorang pada pekerjaan dan organisasi berupa perasaan berkewajiban.

Berdasarkan teori pertukaran sosial, satu pihak bergerak dengan memberikan keuntungan kepada pihak lain dan sebagai akibat dari menerima manfaat yang berharga, pihak lain merasa berkewajiban untuk menanggapi dengan cara yang sama. Begitu proses pertukaran sosial ini bekerja dalam interaksi diantara kedua belah pihak , konsekuensi dari setiap pertukaran dapat mengaktifkan proses pertukaran sosial berikutnya yang mengarahkan seluruh rangkaian interaksi ke pengembangan hubungan berkualitas tinggi yang dicirikan oleh kepercayaan dan dukungan sosial. Perasaan berkewajiban ini menjadi perwujudan akibat dari penerimaan manfaat berharga yang diperoleh karyawan dalam interaksinya pada hubungan kerja dengan organisasi.

Karyawan merasa berkewajiban ketika menerima manfaat ekonomi dari organisasi yang memenuhi kebutuhan finansial (Alcover et al., 2020) dan ketika menerima manfaat sosioemosional yang memenuhi kebutuhan psikologis (Cropanzano & Mitchell, 2005). Temuan penelitian ini menunjukkan manfaat sosio-emosional yang memenuhi kebutuhan psikologis individual yang lebih dominan dalam mendorong rasa berkewajiban dari tenaga pemasaran pada perusahaan jasa di Denpasar, Bali. Jika ditinjau dari teori keagenan, maka temuan dari hasil penelitian telah menunjukkan bahwa iklim kerja etis mempunyai efek yang berarti penting pada perasaan berkewajiban dari individual.

Iklim kerja etis

Komitmen afektif

Perasaan berkewajiban

β1 = 0.533 β3 = 0.658

β2 = 0.258

(10)

Dalam sebuah organisasi ide penataan kontrak antara prinsipal dan agen baik secara konseptual maupun praktis, mendorong untuk eksplorasi tentang cara-cara di mana penghargaan dan keadilan serta nilai moralitas akan mendorong perilaku agensi dan meminimalkan atau menghilangkan perilaku non-agensi. Iklim kerja etis berasal dari (dan diukur dengan) konsep moralitas (baik secara sensitivitas, penghakiman, motivasi, serta karakter) terutama secara kolektif yang dikenali dalam perusahaan jasa akan memberikan dampak atas kecenderungan untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan posisinya sebagai agen dalam kerangka teori keagenan, yakni berusaha untuk membantu organisasi semaksimal mungkin dalam mencapai tujuannya.

Menariknya bahwa terdapat banyak tenaga pemasaran yang secara geografis lokasinya terpisah dari manajer dan mempunyai kontak yang terbatas hanya pada korespondensi baik melalui telepon dan email. Hal ini mungkin dapat menjelaskan temuan mengapa perasaan berkewajiban secara moderat merupakan hasil penting dari bagaimana moralitas kolektif dalam organisasi dapat mendukung keterikatan emosional dengan organisasi. Dengan kata lain metode dalam pengelolaan tenaga kerja maupun penyelesaian pekerjaan di bagian pemasaran pada perusahaan jasa yang digunakan pada dasarnya dapat menghasilkan gambaran persepsi tenaga pemasaran secara individual mengenai iklim kerja etis yang dirasakan dalam organisasi dan kemudian memungkinkan mereka dalam merasakan keterikatan emosional dan psikis sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan perasaan berkewajiban dalam diri masing – masing untuk membantu mencapai tujuan organisasi.

KESIMPULAN

Secara umum temuan penelitian menunjukkan bahwa seluruh hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini terbukti dapat diterima atau dikonfirmasi. Seluruh nilai pengaruh diantara hubungan dalam model penelitian ditemukan Interaksi diantara iklim kerja etis dan komitmen afektif beserta perasaan berkewajiban dari tenaga pemasaran perusahaan jasa di Denpasar Bali memberikan informasi menarik penting baik secara teoritis maupun secara praktis. Melihat bagaimana komitmen afektif mampu berperan besar dalam memediasi hubungan diantara iklim kerja etis dengan perasaan berkewajiban secara umum dapat dijelaskan dalam mekanisme pertukaran sosial antara individu dengan organisasi. Hal yang paling penting yang dapat disimpulkan dari hasil penelitian adalah tentang penerapan bingkai teori keagenan dalam menjelaskan hubungan iklim kerja etis dengan perasaan berkewajiban individual secara langsung. Untuk selanjutnya di masa depan, perusahaan jasa dapat mencermati sekaligus memperkuat bagaimana tenaga pemasaran mengadopsi nilai moral dan etika organisasi dalam pekerjaannya sehingga dapat mendorong sikap yang positif terkait organisasi dan pekerjaannya. Hal ini penting sebagai bentuk penguatan nilai moral dalam praktek pemasaran yang etis dan tetap berorientasi pada hasil kerja yang maksimal bagi perusahaan.

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang menawarkan peluang untuk penelitian selanjutnya. Pertama, penggunaan data yang bersifat cross-sectional membuat sulit untuk menyimpulkan kausalitas antara variabel dengan kepastian yang mutlak. Terdapat kemungkinan bahwa pengalaman positif dari iklim kerja etis mungkin dapat menyebabkan tenaga pemasaraan untuk mengevaluasi keterikatan emosional dengan organisasi dalam cara yang lebih positif karena mekanisme pertukaran sosial dalam hubungan ini yang kemudian dapat memperkuat perasaaan berkewajiban dari waktu ke waktu. Dengan demikian, desain longitudinal bisa lebih memperjelas arah hubungan dengan lebih pasti dan sorot kemungkinan variasi dalam perasaan berkewajiban dari waktu ke waktu.

penggunaan instrumen penelitian yang bersifat self-assessment berpotensi untuk menimbulkan bias dalam pernyataan konsumen meski hasil penelitian dan pengujian telah menunjukkan tingkat validitas dan reliabilitas instrumen yang dapat diterima secara ilmiah. Jumlah sampel yang relatif moderat menjadi keterbatasan lain dari penelitian ini sehingga diharapkan penelitian selanjutnya dapat memperluas cakupan subyek penelitian. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengeksplorasi dan mengkaji faktor – faktor lain yang tidak terdapat pada model penelitian ini yang dipertimbangkan sebagai faktor penentu dari perasaan berkewajiban.

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Alcover, C. M., Chambel, M. J., & Estreder, Y. (2020). Monetary incentives, motivational orientation and affective commitment in contact centers. A multilevel mediation model.

Journal of Economic Psychology, 81(March), 102307.

https://doi.org/10.1016/j.joep.2020.102307

Allen, N. J., & Meyer, J. P. (1990). The measurement and antecedents of affective, continuance and normative commitment to the organization. Journal of Occupational Psychology., 63, 1–18.

Arnaud, A. (2006). A new Theory and Measure of Ethical Work Climate: The Psychological Process Model (PPM) and the Ethical Climate Index (Eci). College of Business Administration, University of Central Florida.

Arnaud, A. (2010). Conceptualizing and Measuring Ethical Work Climate. Business & Society, 49(2), 345–358. https://doi.org/10.1177/0007650310362865

Arnaud, A., & Schminke, M. (2012). The ethical climate and context of organizations: A comprehensive model. Organization Science, 23(6), 1767–1780.

https://doi.org/10.1287/orsc.1110.0698

Aselage, J., & Eisenberger, R. (2003). Perceived organizational support and psychological contracts: A theoretical integration. Journal of Organizational Behavior, 24(SPEC. ISS.), 491–509. https://doi.org/10.1002/job.211

Azevedo, R. E., & Akdere, M. (2008). The Economics of Utility, Agency, Theory, and Human Resource Development. Advances in Developing Human Resources, 10(6), 817–833.

https://doi.org/10.1177/1523422308324700

Basit, A. A. (2017). Trust in Supervisor and Job Engagement: Mediating Effects of Psychological Safety and Felt Obligation. Journal of Psychology: Interdisciplinary and Applied, 151(8), 701–721. https://doi.org/10.1080/00223980.2017.1372350

Caesens, G., Marique, G., Hanin, D., & Stinglhamber, F. (2016). The relationship between perceived organizational support and proactive behaviour directed towards the organization. European Journal of Work and Organizational Psychology, 25(3), 398–411.

https://doi.org/10.1080/1359432X.2015.1092960

Cropanzano, R., & Mitchell, M. S. (2005). Social exchange theory: An Interdisciplinary review.

Journal of Management, 31(6), 874–900. https://doi.org/10.1177/0149206305279602 Dawud, J., Pradesa, H. A., & Afandi, M. N. (2018). Distributive and Procedural Justice , Perceived

Organizational Support , and Its Effect on Organizational Commitment in Public Organization. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, 8(12), 1175–1188. https://doi.org/10.6007/IJARBSS/v8-i12/5189

DeConinck, J. B. (2011). The effects of ethical climate on organizational identification, supervisory trust, and turnover among salespeople. Journal of Business Research, 64(6), 617–624. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2010.06.014

DeConinck, J., DeConinck, M. B., & Banerjee, D. (2013). Outcomes of an Ethical Work Climate among Salespeople. International Journal of Business Administration, 4(4), 1–8.

https://doi.org/10.5430/ijba.v4n4p1

Dharmanegara, I. B. A., Pradesa, H. A., Tanjung, H., & Harijanto, D. (2016). Becoming Emotionally Attached to Team: The Role of Ethical Climate Dimension in Nursing Profession. Proceeding 15th Anniversary PDIM FEB Universitas Brawijaya International Conference, 105–120.

Eby, L. T., Freeman, D. M., Rush, M. C., & Lance, C. E. (1999). Motivational bases of affective organizational commitment: A partial test of an integrative theoretical model. Journal of Occupational and Organizational Psychology, 72(4), 463–483.

https://doi.org/10.1348/096317999166798

Eisenberger, R., Armeli, S., Rexwinkel, B., Lynch, P. D., & Rhoades, L. (2001). Reciprocation of perceived organizational support. Journal of Applied Psychology, 86(1), 42–51.

https://doi.org/10.1037/0021-9010.86.1.42

Ferrell, O. C., Crittenden, V. L., Ferrell, L., & Crittenden, W. F. (2013). Theoretical development in ethical marketing decision making. AMS Review, 3(2), 51–60.

https://doi.org/10.1007/s13162-013-0047-8

Gouldner, A. W. (1960). The norm of reciprocity: A Preliminary Statement. American

(12)

Sociological Review, 25(2), 161–178.

Jaramillo, F., Grisaffe, D., Chonko, L., & Roberts, J. (2009). Examining the impact of servant leadership on salesperson’s turnover intention. Journal of Personal Selling and Sales Management, 29(4), 351–365. https://doi.org/10.2753/PSS0885-3134290404

Langer, A. (2006). Trust as a criterion and heuristic approach to sociopolitical consultation: An alternative view on ethics and values of professionalism in social work. Current Sociology, 54(4), 663–678. https://doi.org/10.1177/0011392106065096

Lorinkova, N. M., & Perry, S. J. (2019). The importance of group-focused transformational leadership and felt obligation for helping and group performance. Journal of Organizational Behavior, 40(3), 231–247. https://doi.org/10.1002/job.2322

Maynard-Patrick, S., & Baugh, S. G. (2019). The role of felt obligation to mentor in mentor performance: An exploration of generalized reciprocity in mentoring. Career Development International, 24(7), 619–635. https://doi.org/10.1108/CDI-11-2018-0286

Mercurio, Z. A. (2015). Affective Commitment as a Core Essence of Organizational Commitment:

An Integrative Literature Review. Human Resource Development Review, 14(4), 389–414.

https://doi.org/10.1177/1534484315603612

Meyer, J. P., & Allen, N. J. (1997). Commitment in the workplace : Theory, research, and application. SAGE.

Paillé, P., & Valéau, P. (2020). “ I Don ’ t Owe You , But I Am Committed ”: Does Felt Obligation Matter on the Effect of Green Training on Employee Environmental

Commitment ? Organization & Environment, 1–22.

https://doi.org/10.1177/1086026620921453

Panda, B., & Leepsa, N. M. (2017). Agency theory: Review of theory and evidence on problems and perspectives. Indian Journal of Corporate Governance, 10(1), 74–95.

https://doi.org/10.1177/0974686217701467

Pradesa, H. A. (2018). Peran Komitmen Afektif Dalam Memperkuat Dampak Dari Dimensi Iklim Kerja Etis Terhadap Perasaaan Berkewajiban Pegawai Negeri Sipil di Kantor Pemerintahan Provinsi Jawa Barat. Jurnal Ilmiah Bisnis Dan Ekonomi Asia, 12(2), 16–29.

Pradesa, H. A., Dawud, J., & Affandi, M. N. (2019). Mediating Role of Affective Commitment in The Effect of Ethical Work Climate on Felt Obligation Among Public Officers. JEMA:

Jurnal Ilmiah Bidang Akuntansi Dan Manajemen, 16(2), 133–146.

https://doi.org/10.31106/jema.v16i2.2707

Pradesa, H. A., Taufik, N. I., & Novira, A. (2018). Isu Konseptual Tentang Perasaan Berkewajiban (Felt Obligation) Individu Dalam Perspektif Kerangka Pertukaran Sosial. Wiga : Jurnal Penelitian Ilmu Ekonomi, 8(1), 1–11. https://doi.org/10.30741/wiga.v8i1.231

Roch, S. G., Shannon, C. E., Martin, J. J., Swiderski, D., Agosta, J. P., & Shanock, L. R. (2019).

Role of employee felt obligation and endorsement of the just world hypothesis: A social exchange theory investigation in an organizational justice context. Journal of Applied Social Psychology, 49(4), 213–225. https://doi.org/10.1111/jasp.12578

Sunardi, S., & Pradesa, H. A. (2019). An empirical evidence of ethical climate index in rural banks from Board of Directors Perspective. Journal of Economics, Business & Accountancy Ventura, 21(3), 373. https://doi.org/10.14414/jebav.v21i3.1590

Tadajewski, M., & Jones, D. G. B. (2012). Scientific marketing management and the emergence of the ethical marketing concept. Journal of Marketing Management, 28(1–2), 37–61.

https://doi.org/10.1080/0267257X.2011.619072

Referensi

Dokumen terkait

Setyanto & Suharnomo (2013) mengemukakan bahwa terdapat hubungan positif antara iklim organisasional dengan komitmen organisasional, yang berarti semakin baik iklim organisasi

Penelitian Shahnavazi et al., 2021 menyatakan bahwa iklim organisasi yang positif dapat meningkatkan komitmen kerja perawat dan mengurangi niat untuk keluar, menciptakan iklim