REVIEW ARTIKEL
Tugas Mata kuliah Pendekatan Geografi Untuk Pendidikan Karakter Bangsa
(Dosen Mata Kuliah: Dr. rer. nat. Nandi, S.Pd., M.T.)
Oleh Yohanes Ware
NIM. 2316699
PENDIDIKAN GEOGRAFI PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG
2024
REVIEW ARTIKEL 1
Judul : Peran Geografi Dalam Pengembangan Pendidikan Karakter Reviewer : Yohanes Ware
Sumber : 1. Artikel review yang berjudul “The Formation of National States in Western Europe” karya Charles Tilly
Pendahuluan
Peper ini merupakan review artikel dari buku yang berjudul “The Formation of National States in Th Western Europe” karya Charles Tilly khususnya membahas tentang karakter bangsa. Pada bagian ini penulis mendefinisikan bahwa Karakter bangsa adalah sebuah ekspresi yang menggambarkan bentuk-bentuk persepsi diri, kepekaan, dan perilaku kolektif yang dimiliki oleh individu-individu yang mendiami sebuah negara bangsa modern.
Dilengkapi dengan penjelasan tentang asumsi dasar homogenitas psikologis dan budaya di antara warga negara serta konsekuensinya bahwa setiap negara dapat dianggap sebagai entitas kolektif dengan karakteristik serupa dengan individu yang menghuninya. Pemaparan selanjutnya dimulai dengan sejarah konsep ini, menyoroti asal-usulnya di Eropa pada abad ke-18 dalam konteks ideologi dan praktek nasionalisme. Selanjutnya, pembahasan menyentuh status ganda karakter bangsa sebagai ekspresi deskriptif dan preskriptif, yang mencerminkan klaim atas kedaulatan dan tindakan politik dalam suatu komunitas adat.
Namun, di sisi lain, penjelasan menyatakan bahwa karakter bangsa juga mencerminkan aspek universal dari kehidupan sosial yang dapat dilihat melalui perilaku kolektif dalam mendukung atau bahkan membentuk karakter nasional suatu komunitas politik yang sedang dibentuk.
Poin penting dalam pembahasan materi ini adalah diskusi mengenai pengakuan ilmiah terhadap karakter nasional pada tahun 1940-an dan 1950-an dalam aliran antropologi Budaya dan Kepribadian Amerika Utara. Namun, penulis menegaskan bahwa sejak saat itu, studi ini telah menjadi subjek perdebatan akademis karena keraguan akan status teoritisnya, yang terkait dengan ciri khas esensialisme ideologi nasionalis. Terakhir, materi menyoroti pergeseran terbaru dalam studi teori sosial yang menekankan pemahaman tentang kekuatan sosial dari rasa memiliki identitas bangsa dan berbagai bentuk nasionalisme. Pergeseran ini menekankan bahwa tidak ada upaya untuk mengaitkan status teoritis tertentu dengan konsep karakter nasional, tetapi lebih menekankan pada penggunaannya sebagai sebuah objek, kategori praktis dalam wacana dan tindakan sosial. Ada tiga tema yang di perhatikan penulis dalam pembahasan ini yaitu:
1. Karakter Bangsa dan Negara Bangsa
Penulis memulai uraiannya ini dengan menggambarkan proses kompleks dalam pembentukan identitas nasional dan negara-bangsa, dengan fokus pada konteks sejarah Jerman. Penulis menyoroti pertanyaan-pertanyaan yang muncul seputar asal-usul negara- bangsa dan hubungan internasional, serta bagaimana proses tersebut mengarah pada pengakuan akan karakter nasional yang unik dan kompleks. Melalui referensi pada penelitian Norbert Elias tentang Jerman, artikel ini menunjukkan bagaimana diskusi mengenai 'karakter nasional' telah menjadi bagian integral dari pembentukan negara- bangsa. Pada paruh kedua abad ke-18, pemikiran filsafat dan sastra di Jerman merayakan komunitas etika dan estetika berdasarkan konsep Kultur, dengan penggunaan bahasa Jerman sebagai elemen kunci dalam menentukan identitas budaya. Namun, pada abad ke- 19, ketika negara-bangsa Jerman mulai kokoh, konsep-konsep seperti Kultur menjadi 'dinasionalisasikan', menandakan pergeseran dalam persepsi kolektif terhadap identitas nasional Jerman. Ini mencerminkan proses di mana kelompok-kelompok sosial lebih luas mengadopsi dan menyesuaikan konsep-konsep ini sebagai bagian integral dari identitas nasional mereka.
Selanjutnya penulis menyajikan sebuah tinjauan yang mendalam tentang dampak penyebaran negara-bangsa terhadap pembentukan identitas nasional di berbagai belahan dunia, dengan fokus pada periode awal abad ke-20. Melalui referensi pada karya Balibar (1991 [1988]) dan Anderson (1983), penulis menguraikan bagaimana proses ini terjadi tidak hanya di Eropa, tetapi juga di Amerika. Penulis menyoroti bagaimana berakhirnya kekaisaran-kekaisaran lama setelah Perang Dunia I memunculkan kembali ideologi nasionalis di Eropa tengah dan timur. Gagasan tentang karakter nasional menjadi kunci dalam pembentukan negara-negara baru seperti Hongaria, Polandia, dan lainnya. Ini menunjukkan bahwa perdebatan tentang identitas nasional tidak hanya terjadi di kalangan intelektual Eropa, tetapi juga mempengaruhi kebijakan politik negara-negara yang sedang berkembang.
Selain itu, artikel ini menunjukkan bahwa dinamika yang sama terjadi di Amerika, di mana para penulis memainkan peran penting dalam membentuk identitas nasional melalui karya-karya mereka. Penulis Meksiko Manuel Gamio dan Gilberto Freyre dari Brasil dianggap sebagai contoh terbaik dalam mengekspresikan identitas nasional mereka melalui penggambaran komunitas spiritual dan percampuran ras yang ada di negara mereka masing-masing. Pentingnya peran para penulis dalam proses pembentukan identitas nasional juga disorot, karena teks dan gagasan mereka berfungsi sebagai panduan bagi politik negara dan menyebar ke kelompok-kelompok sosial melalui perluasan melek
huruf dan sistem sekolah. Terakhir, penulis menyoroti adanya hubungan antara para penulis Meksiko dan Brasil dengan ahli antropologi Jerman Franz Boas, yang berpengaruh dalam mengembangkan mazhab Budaya dan Kepribadian. Ini menunjukkan bahwa kerjasama lintas budaya dan pengaruh intelektual memainkan peran penting dalam pengembangan studi karakter bangsa.
2. Studi karakter bangsa: sebuah antropologi masa kini
Pada bagian ini penulis menjelaskan dua gagasan utama yang mendasari Mazhab Budaya dan Kepribadian, yang secara kritis menggali konsep-konsep tersebut dan relevansinya dalam konteks penelitian antropologi. Gagasan pertama, yang berkaitan dengan konsep sosialisasi primer, memberikan pemahaman yang mendalam tentang hubungan antara tipe-tipe budaya dan tipe-tipe kepribadian yang dibentuk oleh pengalaman masa kanak-kanak. Pendekatan ini, yang diperkenalkan oleh Mead pada tahun 1928, memberikan fondasi yang kuat dalam memahami bagaimana pengalaman awal individu dalam budaya tertentu membentuk identitas dan kepribadian mereka. Artikel ini menggarisbawahi pentingnya pengaruh lingkungan sosial dan budaya dalam membentuk perilaku dan karakter individu sejak dini. Gagasan kedua dalam Mazhab Budaya dan Kepribadian, yang berfokus pada pola-pola budaya, memberikan perspektif yang lebih luas tentang bagaimana konfigurasi budaya dan tipe-tipe kepribadian berkembang dalam suatu masyarakat. Pendekatan ini, yang diperkenalkan oleh Benedict pada tahun 1934, menyoroti bagaimana setiap budaya mengembangkan gaya uniknya sendiri, yang mencerminkan totalitas sintesis serta membedakannya dari budaya lainnya.Artikel ini secara kritis mencatat bahwa meskipun hubungan antara konsep pola-pola budaya dan teori-teori karakter nasional Jerman eksplisit, penggunaan konsep ini sering terbatas pada bentuk-bentuk sosial yang primitif atau sederhana.
Selanjutnya penulis menyajikan tinjauan yang mendalam tentang penggunaan gagasan-gagasan dalam Mazhab Budaya dan Kepribadian dalam upaya memahami konfigurasi budaya dan kepribadian dalam konteks komunitas nasional, terutama terkait dengan pengalaman perang yang ekstrem dan intens seperti Perang Dunia II. Melalui keterlibatan sekelompok antropolog terkemuka, termasuk Gregory Bateson, Ruth Benedict, dan lainnya, dengan Office of War Information, artikel ini menyoroti peran penting teori dan metode antropologi sosial dalam mendukung upaya perang. Tujuan awalnya adalah untuk mempertahankan moral yang tinggi orang Amerika selama konflik dengan menghasilkan pernyataan tentang karakter nasional. Namun, dengan berjalannya waktu, fokus penelitian bergeser untuk memahami negara-negara sekutu dan musuh. Hasil
dari studi ini dianggap sebagai bukti yang meyakinkan tentang keefektifan studi karakter nasional, terutama dalam konteks kebijakan luar negeri pasca-perang. Sebagai contoh, keputusan Amerika Serikat untuk mempertahankan kaisar Jepang setelah Jepang menyerah, sesuai dengan rekomendasi Kantor Informasi Perang, dianggap sebagai langkah krusial dalam menjaga stabilitas di Jepang pasca-perang dan membangun keseimbangan baru antara kedua negara. Artikel ini menyoroti kesesuaian antara kebijakan luar negeri AS dan analisis antropologi tentang posisi Kaisar dalam budaya Jepang sebagai contoh yang baik untuk aplikasi praktis dari studi karakter nasional. Ini menunjukkan relevansi yang signifikan dari pendekatan antropologis dalam pemahaman dan pengambilan keputusan dalam konteks hubungan internasional.
Selanjutnya penulis menjelaskan perubahan signifikan dalam bidang antropologi, khususnya dalam konteks studi karakter nasional, sepanjang awal tahun 1930-an hingga Perang Dunia II. Sebelumnya, antropologi terapan lebih fokus pada masalah internal Amerika Serikat, namun kemudian bergeser ke urusan eksternal, khususnya dalam memahami dan menganalisis negara-bangsa sebagai objek studi. Artikel ini memperjelas bagaimana para antropolog mulai mengeksplorasi negara-bangsa sebagai entitas budaya yang rentan terhadap analisis menggunakan kerangka kerja yang sama seperti yang digunakan dalam studi masyarakat sederhana. Melalui pendekatan 'studi budaya dari kejauhan', para peneliti memusatkan perhatian pada analisis budaya nasional melalui wawancara dengan imigran, analisis karya sastra atau film, dan penelitian media. Tradisi penelitian ini berakar dalam sumber-sumber empiris yang masih relevan hingga saat ini, tidak hanya dalam bidang antropologi, tetapi juga dalam disiplin ilmu lain yang tertarik pada studi budaya atau masyarakat nasional.
Namun, artikel ini juga menyoroti sifat paradoksal dari pendekatan 'studi budaya dari kejauhan', di mana para peneliti, dalam mempelajari negara-bangsa, sebenarnya menjadi lebih dekat secara sosial dan budaya dengan objek studi mereka daripada antropolog tradisional dalam kaitannya dengan masyarakat sederhana. Ini menunjukkan kompleksitas dalam hubungan antara peneliti dan objek studi, yang dapat memengaruhi pemilihan metode penelitian.
3. Karakter Bangsa Dibingkai Ulang
Studi tentang karakter nasional telah menjadi fokus perdebatan teoretis yang kaya dalam ilmu-ilmu sosial kontemporer. Dalam mengeksplorasi aspek ini, beberapa pertanyaan utama muncul seputar peran negara-bangsa dalam disiplin ilmu sosial, khususnya dalam konteks dinamika dekolonisasi, lokalisasi, dan transnasionalisasi
kehidupan sosial dan budaya. Artikel ini menyoroti pentingnya memperbarui model-model teoretis untuk mengkonseptualisasikan objek-objek empiris secara historis, dengan mengakui pergeseran realitas sosial dari model negara-bangsa ke arah yang lebih kompleks. Argumen yang dikemukakan dalam artikel menyoroti keberatan terhadap studi karakter bangsa dalam tiga poin utama. Pertama, kritik terhadap penggunaan pola-pola budaya sebagai prinsip penjelasan, yang cenderung terperangkap dalam kulturalisme dan mengabaikan keragaman masyarakat. Kedua, kecenderungan untuk mengabstraksikan perilaku dari sebagian kecil masyarakat dan menggeneralisasikannya pada semua warga negara, tanpa mempertimbangkan posisi sosial mereka secara kritis. Ketiga, bahaya bergesernya fokus dari esensialisme biologis ke esensialisme budaya atau psikologis dalam mengeksplorasi karakter nasional, yang dapat mengabaikan dimensi-dimensi penting lainnya dalam kehidupan sosial.
Meskipun demikian, artikel juga memberikan perhatian yang adil terhadap argumen yang mendukung studi tentang karakter nasional. Gregory Bateson, dalam karyanya pada tahun 1942, tentang studi karakter nasional memberikan kontribusi penting dalam pemahaman kita tentang kompleksitas identitas nasional dalam kerangka ilmu sosial.
Bateson menyoroti dua argumen utama yang memberikan landasan bagi studi karakter nasional. Pertama, Bateson menegaskan bahwa karakter nasional, meskipun merupakan konstruksi sosial, tetaplah relevan dan tidak boleh diabaikan. Dia menekankan bahwa keberadaan karakter nasional tidak mengindikasikan keseragaman budaya, tetapi justru menyoroti adanya sistem diferensiasi yang terorganisir dalam pola-pola stereotip yang diakui sebagai dominan. Dengan demikian, Bateson memberikan perspektif yang kaya dalam memahami bagaimana karakter nasional dapat membentuk persepsi diri komunitas- komunitas dan mempengaruhi gaya hidup serta konfigurasi moral mereka. Kedua, artikel ini menyoroti peran penting pemahaman sosiologis dan antropologis tentang identitas nasional dalam mengatur kehidupan sosial. Dalam konteks ini, artikel mencerminkan pemikiran tentang karakter ganda identitas nasional, yang dapat menciptakan solidaritas di antara warga negara sekaligus menimbulkan konflik dan kekerasan nasionalis di perbatasan negara. Pemahaman ini penting dalam konteks studi tentang identitas nasional dalam ilmu sosial kontemporer.
Selain itu, artikel menunjukkan perlunya tiga kerangka teoritis dalam memahami karakter nasional secara lebih mendalam. Pertama, penting untuk memasukkan perasaan memiliki nasional bersama dengan cara-cara identifikasi sosial lainnya sebagai sarana untuk memahami sifat-sifat universal dan bentuk-bentuk kehidupan sosial. Kedua, artikel menekankan pentingnya mempertimbangkan proses historis dan sosiogenetik dalam
pembentukan identitas nasional dan homogenisasi bentuk keberadaan serta perasaan.
Terakhir, pemahaman tentang karakter nasional harus ditempatkan dalam konteks proses objektifikasi realitas, baik dalam skala nasional maupun internasional.
Kesimpulan
Karakter bangsa merupakan konsep yang kompleks dalam studi ilmu sosial yang menggambarkan bentuk-bentuk persepsi diri, kepekaan, dan perilaku kolektif individu dalam sebuah negara-bangsa modern. Artikel ini membahas evolusi konsep karakter bangsa dari perspektif sejarah, teoretis, dan praktis. Pertama, artikel menggambarkan bagaimana ide karakter nasional muncul dan berkembang seiring dengan munculnya negara-bangsa modern di Eropa pada abad ke-18. Konsep ini menjadi bagian integral dari identitas nasional dan merupakan subjek kajian yang signifikan dalam bidang ilmu sosial.
Kemudian, artikel menjelaskan bagaimana gagasan karakter nasional menjadi fokus utama dalam mazhab Budaya dan Kepribadian Amerika Utara pada tahun 1940-an dan 1950- an. Para ahli antropologi dan sosiolog bekerja sama dengan pemerintah untuk memahami dan menganalisis karakteristik nasional dari negara-negara musuh selama Perang Dunia II.
Penelitian ini membawa dampak yang signifikan dalam kebijakan luar negeri dan diplomasi pasca-perang, menunjukkan relevansi praktis dari studi karakter nasional. Namun, artikel juga menyampaikan kritik terhadap konsep karakter bangsa, termasuk kekhawatiran tentang essentialisme budaya dan psikologis yang mendasarinya. Beberapa ahli menyarankan perlunya memperbarui model-model teoretis untuk mengkonseptualisasikan objek-objek empiris yang baru, seperti dalam konteks dekolonisasi, lokalisasi, dan transnasionalisasi kehidupan sosial dan budaya.
Artikel ini menggarisbawahi pentingnya memahami karakter bangsa sebagai bagian integral dari identitas nasional, sambil mengakui kompleksitas dan tantangan dalam memahaminya secara teoretis dan praktis. Dengan memperhatikan kritik yang diajukan, artikel ini merangsang pemikiran lebih lanjut tentang cara memperbarui pendekatan kita dalam memahami karakter nasional dalam konteks global yang terus berubah.
REVIEW ARTIKEL 1I Reviewer : Yohanes Ware
Sumber : Artikel review Denis Cosgrove yang berjudul “Annals of the Association of American Geographers”. Vol. 85, No. 4 (Dec., 1995), pp.758-761 diterbitkan oleh: Taylor & Francis, Ltd.
Jurnal : Association of American Geographers
A. Pendahuluan
Dalam artikel ini, penulis secara kritis mengevaluasi kontribusi Buku Wark terhadap pemahaman geografi kontemporer. Wark memberikan tantangan signifikan terhadap infrastruktur konseptual dalam disiplin ini, khususnya melalui konsep "vektor"
yang dikembangkan dari Virilio. Konsep ini mengungkapkan sebuah bentuk spasialitas baru yang terkait dengan mobilitas global dan kecepatan teknologi, membuka ruang untuk pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan antara ruang, waktu, dan media.
Salah satu keunggulan karya Wark adalah eksplorasi geografi pengalaman sehari- hari dalam dunia yang diwarnai oleh media dan teknologi. Melalui teorisasi tentang dekat dan jauh yang simultan, ia menyoroti perlunya bahasa baru tentang subjektivitas dan ontologi spasial. Dengan merujuk pada konsep "interzone" dari William Burroughs, Wark menggambarkan bagaimana gambar-gambar dari media menjadi bagian integral dari realitas sehari-hari, mempengaruhi cara kita memahami diri kita sendiri dan hubungan kita dengan dunia di sekitar kita.
Artikel ini juga membandingkan pendekatan Wark dengan pendekatan Baudrillard, menyoroti perbedaan dalam pemahaman mereka tentang ruang dan media. Berbeda dengan Baudrillard yang cenderung memfetisisme ruang hiperspace, Wark mempertahankan rasa material dalam analisisnya. Studi kasus tentang kehancuran Wall Street pada tahun 1997 menjadi contoh bagaimana infrastruktur alam ketiga dari sistem keuangan global mencoba untuk mengonstruksi dirinya sendiri sebagai sistem kapital murni, namun dalam prosesnya, malah menimbulkan ketidakstabilan yang mengancam untuk melampaui semua batasan.
Meskipun mengakui kepentingan karya Wark, artikel ini juga mengidentifikasi beberapa kelemahan, seperti sifat spekulatif yang kadang-kadang mengganggu dan kurangnya pemahaman yang memadai tentang pertanyaan struktural penting seperti kelas dan ekonomi politik. Namun demikian, artikel ini menegaskan bahwa Buku Wark tetap menjadi kontribusi yang signifikan dalam pemahaman geografi kontemporer, dan layak untuk dibaca dan diperdebatkan oleh komunitas ilmiah. Dengan mengungkapkan domain
baru untuk penelitian kritis dalam problematika spasial abad ke-21, karya ini memberikan kontribusi yang berharga dalam memahami perubahan dunia yang dipicu oleh globalisasi dan teknologi.
B. ISI
Artikel ini penulis mengulas tentang tantangan yang dihadapi oleh identitas nasional Amerika Serikat dalam menghadapi perubahan global, terutama dalam konteks imigrasi kontemporer yang semakin beragam secara etnis dan berbagai ketegangan politik.
Penulis menyoroti peran penting yang dimainkan oleh geografi dalam konstruksi identitas nasional dan menyoroti pergeseran yang signifikan dalam pandangan terhadap identitas nasional sepanjang abad ke-20. Saat Amerika Serikat mengalami gelombang imigrasi yang semakin besar dan beragam, pemahaman yang sederhana tentang identitas nasional tidak lagi memadai. Artikel ini menyoroti bahwa negara dan wilayah teritorial kini memainkan peran yang lebih ambigu dalam konstruksi identitas nasional, dengan otoritas politik yang harus mempertimbangkan berbagai pertimbangan dalam proses pembentukannya. Kumpulan esai "Geografi dan Identitas Nasional" oleh David Hooson menyoroti pentingnya perubahan global, seperti berakhirnya Perang Dingin dan runtuhnya imperium territorial Eropa, dalam memunculkan pertanyaan baru tentang identitas nasional dan ekspresi teritorial. Sebagai tanggapan terhadap perubahan ini, geografi menegaskan kembali perannya dalam memahami dan membentuk identitas nasional, baik melalui aspek material seperti tanah dan batas teritorial, maupun melalui ekspresi intelektual dalam disiplin ilmu pengetahuan formal.
Selanjutnya penulis mengungkapkan kumpulan esai yang memperdebatkan peran geografi dalam pembentukan identitas, dengan penekanan pada variasi dan tantangan yang muncul dari berbagai sudut pandang. Penulis menyoroti keberagaman dalam pendekatan yang diambil oleh para penulis, yang menghasilkan kumpulan tulisan yang menarik dan beragam. Sebagian besar tulisan berfokus pada peran individu dan masyarakat dalam mendefinisikan dan mempromosikan disiplin ilmu geografi. Tulisan- tulisan ini dianggap sebagai yang paling menarik dan relevan, menawarkan wawasan baru dan segar dalam disiplin geografi, serta menarik minat pembaca dari luar bidang tersebut. Namun, beberapa tulisan lain yang mencoba menjelaskan peran yang dimainkan oleh lingkungan atau wilayah dalam membentuk identitas nasional. Misalnya, kontribusi Hooson tentang pentingnya politik lingkungan pada saat jatuhnya sistem Soviet memberikan wawasan yang berharga tentang bagaimana perubahan politik dapat memengaruhi pandangan terhadap lingkungan dan identitas nasional. Tantangan utama
dalam kumpulan esai ini adalah kebingungan yang mungkin dialami pembaca dalam menavigasi melalui berbagai kontribusi. Kurangnya panduan tentang esai mana yang menyoroti aspek geografi bisa menjadi hambatan dalam memahami isi kumpulan ini secara keseluruhan. Kritik terhadap beberapa esai juga disorot, seperti pandangan sub- Marxis tentang Indonesia yang lebih menekankan pada masalah teritorial dan nasionalisme. Meskipun demikian, esai-esai ini memberikan kerangka pemikiran yang beragam dalam memahami hubungan antara geografi, lingkungan, dan identitas nasional.
Selanjutnya penulis memberikan tinjauan kritis terhadap pemilihan topik dan negara dalam sebuah koleksi esai tentang makna geografi. Penulis mengamati bahwa kurangnya kejelasan dan konsistensi dalam makna "geografi" yang mengatur seleksi esai-esai tersebut juga tercermin dalam pemilihan negara dan bangsa yang dijadikan fokus dalam kumpulan karya tersebut. Koleksi esai ini dibagi secara tematis menjadi tiga bagian, masing-masing mencakup kumpulan esai tentang identitas geografis yang berbeda.
Namun, terdapat ketidakseimbangan yang signifikan dalam representasi negara dan wilayah di seluruh bagian-bagian ini. Bagian "Identitas Kekaisaran yang Telah Lama Ada" cenderung menghadirkan esai-esai tentang negara besar Eropa serta Rusia, Jepang, dan Cina, sementara bagian "Identitas yang Sudah Lama Tenggelam" lebih fokus pada Quebec dan identitas teritorial Eropa yang berbasis linguistik. Bagian "Identitas yang Baru Muncul" kebanyakan terbatas pada wilayah Pasifik, kecuali Argentina. Penulis menyoroti kekurangan intelektual dalam seleksi ini, menunjukkan bahwa editor sendiri mungkin menyadari kelemahan tersebut namun tidak berupaya untuk memperbaikinya atau bahkan mendiskusikannya dengan serius. Penulis menegaskan bahwa ketiadaan studi tentang Amerika Serikat, Timur Tengah, dan Afrika merupakan kekurangan yang mencolok, mengingat pentingnya wilayah-wilayah ini dalam pemahaman interaksi antara geografi dan identitas nasional dalam konteks pascakolonial dan Asia Selatan. Kritik yang dilontarkan terhadap klaim bahwa "pada akhirnya terbukti mustahil untuk mendapatkan studi ilmiah" tentang wilayah-wilayah yang vital tetapi tidak termasuk dalam kumpulan esai ini menunjukkan ketidakpuasan penulis terhadap kesimpulan tersebut.
Penulis dalam karyanya mengunkapkan tentang penampakan-penampakan aneh dan ketidakseimbangan yang mengejutkan di eropa. Dalam makalah pembuka oleh David Lowenthal, mengeksplorasi lanskap dan identitas pada skala Eropa dengan memaparkan pemikiran yang menarik namun memiliki kecenderungan untuk fokus pada lanskap Inggris. Meskipun demikian, beberapa referensi kasual dibuat terhadap Irlandia, Prancis, dan Jerman. Namun, terdapat ketidakseimbangan dalam perwakilan negara-negara
Eropa, di mana Prancis dan Jerman mendapat lebih banyak sorotan dibandingkan Portugis, Italia, dan Yunani. Satu aspek menarik yang dibahas adalah peran penelitian geografis dan pendidikan populer dalam menyuarakan nasionalisme Catalan, yang memberikan pandangan yang dalam tentang dinamika identitas regional di Eropa.
Meskipun begitu, lanskap Mediterania mungkin tidak mendapat perhatian yang memadai dalam koleksi ini. Lebih lanjut, tulisan ini memberikan wawasan yang berharga tentang Skandinavia melalui studi tentang ahli geografi Estonia, Edgar Kant (1902-1978). Kant's study tentang kesatuan budaya-politik negara-negara di sekitar Laut Baltik memperoleh inspirasi dari konsep Heimatkunde, yang menggambarkan keterkaitan antara ekspresi sosial dan lingkungan geografis yang dibatasi. Pendekatan ini memberikan sumbangan penting bagi pemikiran geografi Eropa pasca-perang, dengan menyoroti potensi penggunaan politik yang dapat menyesatkan dan mencerahkan.
Penulis mengungkapkan buku ini merupakan sebuah kontribusi yang signifikan dalam memahami peran disiplin geografi dalam pembentukan identitas nasional. Melalui serangkaian esai yang mendalam, penulisnya secara cermat mengeksplorasi bagaimana geografi memainkan peran krusial dalam wacana identitas nasional, serta dampaknya dalam konteks politik dan praktis di berbagai belahan dunia. Salah satu keunggulan buku ini adalah pendekatan interdisipliner yang diambil oleh para penulis. Mereka tidak hanya memeriksa konsep-konsep geografis tradisional, tetapi juga menghubungkannya dengan konteks politik, sosial, dan budaya. Hal ini memberikan pemahaman yang lebih kaya tentang kompleksitas hubungan antara lingkungan, wilayah, dan identitas nasional.
Salah satu aspek menarik dari buku ini adalah pembahasannya tentang peran geografi dalam mempertahankan dan membangun wacana identitas regional. Para penulis dengan jelas mengilustrasikan bagaimana teknik geografi regional dapat digunakan untuk memahami dan mengartikulasikan hubungan antara identitas regional dan konteks ideologis yang berubah. Selain itu, buku ini menyoroti peran politis yang dimainkan oleh para ahli geografi dalam menentang klaim hegemonik atas identitas yang dibuat oleh pemerintahan yang lebih besar. Melalui temuan ilmiah yang valid, para ahli geografi telah berhasil membedakan rasa perbedaan dari klaim dominasi, yang memberikan kontribusi penting dalam memperkuat identitas regional. Namun, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam buku ini, seperti kurangnya keseragaman dalam penyajian materi dan fokus yang tidak merata pada berbagai konteks geografis.
Meskipun demikian, keseluruhan buku ini memberikan wawasan yang penting tentang bagaimana geografi berperan dalam proses pembentukan identitas nasional.
Selanjutnya tulisan ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang peran geografi dalam pembentukan identitas nasional, dengan menyoroti konsep-konsep ilmiah geografi yang meliputi interaksi historis antara lingkungan fisik, ekonomi manusia, masyarakat, serta ekspresi khas daerah dan representasinya melalui pemetaan. Penulis menggambarkan kisah menarik tentang pembuatan peta oleh Griffith Taylor yang mengilustrasikan potensi pemukiman Australia dan bagaimana lingkungan fisik memainkan peran penting dalam evolusi pemukiman. Lebih lanjut, penekanan pada retorika geografi dalam membentuk sikap publik terhadap kebijakan imigrasi pada abad ke-20 menunjukkan bagaimana disiplin ini memiliki dampak yang signifikan dalam konteks sosial dan politik. Selain itu, penelitian yang mendalam tentang peran ideologis pendidikan geografi di Argentina memberikan wawasan yang berharga tentang hubungan antara wilayah dan karakter nasional. Penjelasan ilmiah tentang konsep "internalisasi identitas teritorial" dan pengembangan pendekatan estetika dan inderawi terhadap bentang alam patriotik menunjukkan bagaimana pengajaran geografi dapat menjadi instrumen penting dalam membentuk identitas nasional. Bukti-bukti yang disajikan dalam artikel ini juga mengarah pada perlunya revisi terhadap historiografi konvensional geografi, yang terkadang terlalu memisahkan antara penelitian akademis dan pengajaran di sekolah-sekolah menengah. Ini menegaskan pentingnya integrasi antara penelitian dan pengajaran dalam pengembangan disiplin ilmu.
Penulis mencatat bahwa meskipun buku tersebut menyoroti tema-tema penting tentang kebangkitan nasionalisme dan peran kembali geografi dalam wacana tersebut, ada kekurangan yang signifikan dalam pendekatan editor terhadap penyuntingan dan pengaturan isi buku. Bab-bab pendahuluan dan penutup dinilai memiliki kesamaan yang mencolok dalam cakupan dan temanya, tanpa menawarkan analisis yang mendalam atau sinopsis yang memadai tentang kumpulan esai yang disajikan dalam buku. Kritik juga ditujukan pada ketidakkonsistenan dalam gaya catatan kaki dan rujukan, yang dapat membingungkan pembaca. Penyuntingan yang kurang teliti tercermin dalam kesalahan penanggalan dan ketidakjelasan dalam indeks.
Meskipun demikian, penulis menekankan pentingnya buku ini dalam konteks Tatanan Dunia Baru, dan menyatakan bahwa isi buku memberikan wawasan yang berharga tentang hubungan historis antara disiplin ilmu geografi dan identitas territorial.
Dengan demikian, buku ini disebut sebagai kontribusi penting dalam memahami peran progresif disiplin ilmu geografi dalam konteks perdebatan kontemporer tentang identitas nasional.
C. Kesimpulan
Tulisan berhasil menggambarkan pentingnya buku tersebut dalam konteks pemahaman tentang hubungan antara geografi dan identitas nasional. Bukunya memberikan wawasan yang berharga tentang bagaimana faktor-faktor geografis mempengaruhi perkembangan nasionalisme di banyak negara, serta evolusi konseptual dan metodologis dalam disiplin ilmu geografi. Meskipun terdapat kekurangan dalam penyuntingan terkait kelengkapan isi dari bukuini , namun kontribusinya terhadap pemahaman kita tentang identitas territorial sangat signifikan.
Tulisan memberikan kritik yang tajam terhadap kekurangan buku, seperti ketidakonsistenan dalam gaya catatan kaki dan rujukan, kesalahan dalam penanggalan, serta kebingungan dalam pemilihan esai-esai. Kritik ini memberikan pemahaman yang lebih baik tentang tantangan dan kelemahan yang terdapat dalam karya tersebut, yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan kualitasnya. Analisis tulisan menyoroti pentingnya memahami hubungan antara geografi dan identitas nasional dalam konteks global yang terus berubah. Kontribusi buku ini dalam membentuk pemahaman progresif terhadap disiplin ilmu geografi dan perdebatan baru tentang masalah identitas nasional sangatlah berharga.