• Tidak ada hasil yang ditemukan

peranan pendidikan bahasa dan sastra sebagai instrumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "peranan pendidikan bahasa dan sastra sebagai instrumen"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA SEBAGAI INSTRUMEN HUMANITAS25

Siti Ansoriyah, M.Pd.26

Pendahuluan

Pendidikan menurut Undang Undang SISDIKNAS no. 20 tahun 2003, adalah sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran supaya peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya secara aktif dan memiliki pengendalian diri, kecerdasan, keterampilan dalam bermasyarakat, kekuatan spiritual keagamaan, kepribadian serta akhlak mulia. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa pendidikan berasal dari kata

“didik” dan mendapat imbuhan berupa awalan ‘pe’ dan akhiran ’an’ yang berarti proses atau cara perbuatan mendidik. Maka definisi pendidikan menurut bahasa yakni perubahan tata laku dan sikap seseorang atau sekelompok orang dalam usahanya mendewasakan manusia lewat pelatihan dan pengajaran.

Menurut Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, pengertian pendidikan yaitu tuntutan dalam hidup tumbuhnya anak-anak yang menuntun segala kekuatan kodrati pada anak- anak supaya mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat mampu menggapai keselamatan

25Disampaikan pada Seminar Antara Bangsa Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Negeri Jakarta.

26Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Jakarta.

(2)

dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Sedangkan pendidikan humaniora adalah suatu bahan pendidikan yang mencerminkan keutuhan manusia dalam membantu manusia agar menjadi lebih manusiawi, yaitu mengaktualkan potensi-potensi yang ada, sehingga akhirnya terbentuk manusia yang utuh, yang memiliki kematangan emosional, kematangan moral, dan kematangan spiritual.

Dalam hal ini salah satunya mengenai masalah pendidikan humaniora di Indonesia yang dinilai gagal. Kegagalan ini ditandai oleh kurang (tidak) sopan dan santunya kaum terpelajar, dan terlebih-lebih kaum tak terpelajar. Tingkah laku pelajar baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan universitas terus memburuk. Pergeseran paradigma bagi generasi muda tersebut terjadi juga di berbagai belahan dunia. Hal ini menandai bahwa prestasi baik kognisi maupun afeksi belum optimal. (Sudarwan, 2006; 9). Wildawsky dalam Sudarwan berpendapat bahwa kenakalan remaja tersebut ditimbulkan oleh kompleksitas kehidupan sosial, budaya, politik, dan kemasyarakatan kontemporer. Variabel kejahatan di lingkungan remaja (terutama pelajar) sendiri terlalu riskan hanya direduksi sebagai kegagalan pendidikan humaniora. (Sudarwan, 2006; 10)

Kendatipun demikian, para ahli pendidikan humaniora perlu mencermati atau meneliti bagaimana pembuktian yang sesungguhnya terhadap kepedulian dan keselamatan generasi yang akan datang. Sekalipun yang harus bertanggungjawab bukan para ahli pendidikan humaniora, tetapi para ahli bidang tersebut hendaklah berupaya untuk mendapatkan jawaban yang lebih objektif. Pernyataan bahwa tingkah laku sosial kehidupan kemasyarakatan semakin miskin interpretasi objektif perlu disikapi secara positif, dengan berupaya membangun pencitraan yang baik bagi dunia pendidikan humaniora.

Manusia hidup penuh dengan misteri dan dinamikanya masing-masing. Meskipun sudah demikian banyaknya kajian tentang manusia, masih banyak rahasia manusia belum terungkapkan. Pembahasannya memerukan berbagai pendekatan dalam berbagai bidang ilmu yaitu agama, filsafat, dan sain. Selain itu manusia memerlukan pertolongan orang lain untuk memahami dirinya terutama melalui pendidikan.

Agama menjelaskan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dengan segala kesempurnaannya. Manusia diberi akal pikiran sehingga dengan akal tersebut mereka dapat

(3)

berpikir. Dengan berpikir, manusia mampu mengajukan pertanyaan serta memecahkan masalah.

Dengan adanya akal pula, manusia berbeda dari makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. Islam mendorong manusia agar menggunakan potensi yang dimiliki secara seimbang. Akal yang berlebihan mendorong manusia pada kemajuan materil yang hebat, namun mengalami kekosongan dalam hal ruhaniyah, sehingga manusia terjebak dalam segala kesombongan yang merusak dirinya sendiri. Dalam menggunakan potensi-potensinya, manusia harus menjadi makhluk psiko-fisik, berbudaya, dan beragama untuk tetap mempertahankan kapasitas dirinya sebagai makhluk yang paling mulia. Al-Quran menegaskan kualitas dan nilai manusia dengan menggunakan tiga macam istilah yang saling berhubungan satu sama lain, yaitu al-insan, an-nas, al-basyar, dan bani adam.

Pandangan yang menyatakan bahwa manusia lahir sebagai tabularasa akan menjadi apa pendidikan, menjawab persoalan-persoalan pendidikan yang bersifat filosofis dan harus dijawab dengan filosofis juga (John Dewey dalam Sadulloh, 2007; 12). Pendidikan memerlukan instrumen pelindung, kesepahaman, kesamaan arah dalam pikiran dan perbuatan, perasaan bersatu, dan pendidikan bagi kepentingan diri sendiri. (Sadulloh, 2007; 60). Instrumen pendidikan pada hakikatnya ada dua macam, pertama, tindakan pendidik dalam melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran (teladan, pujian, hukuman, peringatan, dll), kedua, sarana atau instrumen pendidikan berupa alat peraga, media pembelajaran, dan informasi pendidikan yang beraneka ragam. Dalam hal ini fungsi bahasa dan sastra dalam pendidikan menjadi penting.

Tegasnya bahwa bahasa dan sastra Indonesia merupakan media atau sarana pembinaan humanitas. Dalam hal tersebut, yang menjadi masalahnya bagaimana hakikat humanitas, transformasi nilai dalam humanitas dan fungsi bahasa dan sastra sebagai instrumen humanitas.

Pembahasan

1. Hakikat Humanitas

Humanisme berasal dari latin, humanis; manusia, dan isme berarti paham atau aliran.

Mangun Harjana mengatakan, pengertian humanisme adalah pandangan yang menekankan martabat manusia dan kemampuannya. Menurut pandangan ini manusia bermartabat luhur, mampu menentukan nasib sendiri dan dengan kekuatan sendiri mampu mengembangkan diri

(4)

dan memenuhi kepatuhan sendiri mampu mengembangkan diri dan memenuhi kepenuhan eksistensinya menjadi paripurna.( Mangun Harjana, 1997). Sebagai makhluk hidup, lahir, tumbuh, dewasa, bereproduksi, tua dan meninggal. Keunikan sebagai mahluk hidup (dalam arti positif) berkarakter biologis, psikis, berpotensi baik, cerdas, peduli dan kreatif. Dengan adanya humanisme membuat manusia sadar kembali tentang harkat dan martabat manusia sebagai mahluk rohani. Etika rohani mendasari manusia untuk bertangungjawab dalam kehidupan di dunia. Sebagai makhluk individual, sosial, religius dan berbudaya, manusia dapat berekspresi dalam berbagai bentuk seni, susastra, film, bahasa verbal dan nonverbal yang lebih konkret daripada ilmu-ilmu pengetahuan, bahkan filsafat sekalipun.

Manusia sebagai makhluk individual, sosial dan religius, adakalanya manusia harus mempertahankan hak dan kewajiban individual tetapi tidak dapat menolak realita kehidupan sosial. Kemulian diri manusia menentukan cara berpikir dan berprilaku. Seseorang mempunyai konsepsi bahwa dirinya mulia di mata orang lain, dia akan cenderung membawa kemuliaanya dalam prilaku sehari-hari. Pada diri manusia terpendam jawaban mengenai berbagai persoalan tetapi tidak disadarinya. Manusia memerlukan orang lain untuk membantu mengungkapkan, melahirkan ide yang ada dalam diri, dan diluar dirinya.

Sedangkan manusia sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri, mereka harus menyatu bersama masyarakat. Kesadaran hidup bermasyarakat membangkitkan semangat hidup dan beraktivitas bersama orang lain sehingga terjalin rasa kemanusiaan, pergaulan, persahabatan, perasaan saling sayang dan mencintai.

Manusia sebagai makhluk yang religius yaitu yang terdapat dalam surat Al- Hujuraat ayat 13 mengungkapkan bahwa manusia diciptakan dari laki-laki dan perempuan, dijadikan bersuku-suku, berbangsa-bangsa agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Robb-Nya adalah orang yang bertakwa. Ayat tersebut menyatakan bahwa manusia sebagai makhluk sosial sekaligus sebagai makhluk religius, artinya manusia harus hidup bersama dan berinteraksi, tidak saling menghancurkan masyarakat dan budaya lain.

Humanitas manusia tidak statis tetapi terus berproses. Humanitas ini memiliki subjek aktual bagi pengetahuan manusia yang dinamis dan terus menerus menyempurnakan

(5)

kualitas proses selanjutnya. Manusia merupakan kesatuan dari berbagai unsur (biologis, psikis, psikososial, cipta, rasa, karsa, dll) yang menyatu dan berproses, dari proses yang paling rendah ke proses yang paling tinggi dan kompleks. Bila tahap awal terganggu, selanjutnya akan terganggu pula. Sebaliknya tahap yang lebih tinggi akan mengangkat tahap yang lebih rendah. Berkat kemampuan rasional, manusia terdorong untuk menemukan pembaruan, moral, kecerdasan, kepedulian, dan kreativitas baru.

Pertanyaan yang sering muncul adalah untuk apa hidup manusia? akseologi membahas masalah nilai, makna, arti, fungsi dan manfaat. Secara filosofis, manusia hidup untuk memperbaiki kualitas dan makna kehidupan itu sendiri, yaitu memenuhi kebutuhan dan mengabdi kepada Tuhan

(a) memenuhi kebutuhan

Maslow (1970) berpendapat bahwa kebutuhan manusia bersifat hierarkis yaitu (1) kebutuhan biologis: bernafas, makan, minum, seks, dll. (2) Kebutuhan rasa aman: keamanan diri, pekerjaan, keluarga, kesehatan, dll. (3) Kebutuhan esteem (kebutuhan mencintai dan di cintai) persahabatan, keluarga, keintiman. (4) Kebutuhan harga diri: dihormati, dihargai, diakui, diterima eksistensinya. (5) Kebutuhan beraktualisasi diri: kreativitas, moral, spontanitas, kepuasan bathin, dll.

Selain itu, manusia memiliki empat kebutuhan yaitu to live, to learn, dan to leave legacy (Covey, 2004: 64-93) . (1) untuk membina kulaitas hidup, manusia memerlukan kecerdasan, (2) untuk membina mental, manusia belajar sehingga memiliki kecerdasan mental, (3) untuk mencintai, manusia memiliki kekuatan hati (perasaan) sehingga menghasilkan kecerdasan emosional (4) untuk mewarisi hidup, manusia mempelajari kekuatan spiritual sehingga menghasilkan kecerdasan spiritual, dengan adanya kecerdasan tersebut manusia dapat berkreatis, berpikir kreatif dan inovatif.

(b) Mengabdi kepada Tuhan

Mengabdi kepada Tuhan berati melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi segala larangan-Nya, berdasarkan keyakinan agama masing-masing. Mengabdi berarti tidak

(6)

mengabaikan kepentingan dunia, tetapi menjalani kehidupan di dunia dengan sebaik-baiknya, misalnya: bekerja, berbuat baik terhadap makhluk, berkarya, beribadah berdasarkan ketentuan Tuhan.

2. Afeksi Humanitas

Berbagai masalah merupakan kekayaan dan kompleksitas afektivitas manusia (Leahy, 1989: 82) terhadap alam tidak cukup dengan memandangnya saja, tetapi lebih jauh manusia ingin mengeksplorasinya, memperhatikan, menggerakan, memahami, mengekspresikan dan sebagainya. Begitupun manusia dapat menjangkau yang rumit dan abstrak, sampai tingkat mencintai atau membenci, kesadaran tanggungjawab, berkeadilan dan harapan-harapan yang abstrak.

A. Membangun Humanitas

Berdasarkan norma agama, undang-undang pendidikan, dan rancangan undang-undang bahasa yang berfungsi sebagai sumber hukum, menegaskan bahwa orang yang telah berhasil yaitu orang yang dapat membangun karakter yang berkepribadian baik, cerdas, peduli dan kreatif

(1) Berkepribadian baik

Berdasarkan psikologi, Gordon Allport menyatakan bahwa kepribadian sebagai suatu organisasi (berbagai aspek psikis dan fisik) yang merupakan suatu struktur dan sekaligus proses.

Jadi, kepribadian merupakan sesuatu yang dapat berubah. Secara eksplisit Allport menyebutkan, kepribadian secara teratur tumbuh dan mengalami perubahan. (Wikipedia. com) sedangkan kata baik berati berakal budi, berbudi bahasa yang sopan dan santun, dan berprilaku terpuji. Prilaku yang dilandasi paradigma yang baik akan mudah diterima orang lain, masyarakat atau bangsa lain. Artinya prilaku tersebut akan memudahkan dirinya untuk bekerjasama saling menguntungkan dengan orang lain, masyarakat atau bangsa lain.

Berkepribadian yang baik yaitu:

(7)

Mampu menilai diri sendiri secara realisitik; mampu menilai diri apa adanya tentang kelebihan dan kekurangannya, secara fisik, pengetahuan, keterampilan dan sebagainya.

mampu menilai situasi secara realistik; dapat menghadapi situasi atau kondisi kehidupan yang dialaminya secara realistik dan mau menerima secara wajar, tidak mengharapkan kondisi kehidupan itu sebagai sesuatu yang sempurna.

Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik, dapat menilai keberhasilan yang diperolehnya dan meraksinya secara rasional, tidak menjadi sombong, angkuh atau mengalami supriority complex, apabila memperoleh prestasi yang tinggi atau kesuksesan hidup. Jika mengalami kegagalan, dia tidak mereaksinya dengan frustrasi, tetapi dengan sikap optimistik.

Menerima tanggung jawab, yaitu mempunyai keyakinan terhadap kemampuannya untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya.

Kemandirian, memiliki sifat mandiri dalam cara berpikir, dan bertindak, mampu mengambil keputusan, mengarahkan dan mengembangkan diri serta menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku di lingkungannya.

Dapat mengontrol emosi, merasa nyaman dengan emosinya, dapat menghadapi situasi frustrasi, depresi, atau stress secara positif atau konstruktif , tidak destruktif (merusak)

Berorientasi tujuan, dapat merumuskan tujuan-tujuan dalam setiap aktivitas dan kehidupannya berdasarkan pertimbangan secara matang (rasional), tidak atas dasar paksaan dari luar, dan berupaya mencapai tujuan dengan cara mengembangkan kepribadian (wawasan), pengetahuan dan keterampilan.

Berorientasi keluar (ekstrovert), bersifat respek, empati terhadap orang lain, memiliki kepedulian terhadap situasi atau masalah-masalah lingkungannya dan bersifat fleksibel dalam berpikir, menghargai dan menilai orang lain seperti dirinya, merasa nyaman dan terbuka terhadap orang lain, tidak membiarkan dirinya dimanfaatkan untuk menjadi korban orang lain dan mengorbankan orang lain, karena kekecewaan dirinya.

Penerimaan sosial, mau berpartsipasi aktif dalam kegiatan sosial dan memiliki sikap bersahabat dalam berhubungan dengan orang lain.

Memiliki filsafat hidup, mengarahkan hidupnya berdasarkan filsafat hidup yang berakar dari keyakinan agama yang dianutnya.

(8)

Berbahagia, situasi kehidupannya diwarnai kebahagiaan, yang didukung oleh faktor- faktor achievement (prestasi), acceptance (penerimaan), dan affection (kasih sayang).

Baik juga berhubungan dengan etika dan moral yaitu kajian tentang baik dan buruk prilaku manusia. Etika (bahasa Yunani Etos, bahasa Inggris, moral) dapat diartikan ilmu yang mempelajari apa yan baik dan apa yang buruk, tentang hak dan kewajiban akhlak, kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, nilai mengenal benar dan salah yang dianut oleh golongan masyarakat (KBBI)

Secara filosofis, etika merupakan suatu studi yang dikembangkan secara skematis dan metodis tentang ajaran moral. Etika sebagai ilmu berupaya mencari pemahaman yang rasional tentang sesuatu yang disebut baik dan buruk secara moral. Etika dalam pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta kepribadian bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab (BAB II pasal 3) sesuai dengan visi pendidikan nasional, Depdiknas pada tahun 2025 menghasilkan insan Indonesia yang kompetitif (insan kamil/insan paripurna), yang dimaksudkan adalah insan yang cerdas secara komprehensif, yaitu cerdas secara spiritual, cerdas secara emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dll. Indikator berkepribadian baik dalam berbahasa dan bersastra dapat mengomunikasikan kreativitas dengan bahasa ilmiah populer agar dapat dipahami oleh pengguna kreativitas, sesuai dengan potensi pemahaman pemakai produk kreativitasnya.

(2) Berkepribadian cerdas

Cerdas berati kemampuan menciptakan kreativitas baru yang berbasis pada kemampuan memanfaatkan (1) ptensi diri, pendidikan, pengalaman, pengetahuan, wawasan, keahlian, dll (2) potensi sosial, budaya, tradisi, adat-istiadat, sistem sosial, peradaban, dll (3) potensi alam: flora, fauna, kekayaaan alam, dll. (4) situasi terkini: tuntutan berbagai kebutuhan, tantangan, dan peluang yang dihadapi oleh situasi terkini, misalnya teknologi terkini, ide atau pemikiran terkini dll, ini berarti orang yang cerdas tidak akan kehabisan kreativitas barunya.

(9)

(3) Berkepribadian Peduli

Peduli yaitu mau berkorban untuk orang lain, sosial, lingkungan, potensi-potensi lain. Hal ini berarti membangun karakter dapat pula diartikan membangun moral, etika (berprilaku baik), kecerdasan dan kepedulian. Salah satu contoh indikator berkepribadian peduli adalah berprilaku dengan tulus ikhlas membahagiakan atau menolong orang lain tanpa memandang siapa, apa, dan bagaimana.

Membangun karakter adalah proses sinergis pemahaman dan pengembangan potensi diri, pengembangan dan pemahaman potensi dengan sesama, relasi, alam, dan pengembangan potensi hubungan dengan Tuhan, sehingga dapat menjadikan dirinya bermanfaat bagi orang lain, bagi sesama, alam dan masyarakat lain.

(4) berkepribadian kreatif

Setiap manusia memiliki potensi dasar yang dapat dikembangkan secara optimal, yaitu potensi diri, potensi sosial, potensi alam, potensi beragama dan potensi menghadapi situasi terkini. Hal tersebut dapat diperluas dengan menciptakan kreativitas baru yang tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri tetapi dapat bermanfaat (bermaslahah) degan orang lain atau masyarakat.

Pendidikan Bahasa dan Sastra sebagai Instrumen Humanitas 1. Fungsi dan Manfaat Pembelajaran Bahasa dan Sastra

Bahasa menunjukan bangsa, maksud dari kalimat tersebut adalah pemakai bahasa merupakan simbol kepribadiannya dan simbol karakternya. Orang yang dapat berpikir dengan jernih, sistematis, berjiwa tulus, berbahasa yang santun, dan berprilaku sopan dapat dikenali dengan bahasa yang dipergunakannya. Selain hal tersebut, penggunaan gaya bahasa yang tepat dapat mencerminkan dalam suasana apa bahasa itu dikomunikasikan, apakah dalam suasana santai, serius, atau pun resmi. Orang yang dapat memposisikan bahasa dalam penggunaannya berarti orang tersebut sudah pandai menggunakan bahasa.

(10)

Adapun fungsi bahasa dan sastra Indonesia dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu fungsi bahasa secara umum dan secara khusus.

Dalam literatur bahasa, dirumuskannya fungsi bahasa secara umum adalah 1. Sebagai alat untuk mengungkapkan perasaan atau mengekspresikan diri.

Mampu mengungkapkan gambaran, maksud, gagasan, dan perasaan. Melalui bahasa dapat menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam hati dan pikiran.

Ada 2 unsur yang mendorong dalam mengekspresikan diri, yaitu:

Agar menarik perhatian orang lain terhadap diri.

Keinginan untuk membebaskan diri dari semua tekanan emosi 2. Sebagai alat komunikasi.

Bahasa merupakan saluran maksud seseorang yang melahirkan perasaan dan memungkinkan masyarakat untuk bekerja sama. Pada saat menggunakan bahasa sebagai komunikasi, berarti memiliki tujuan agar para pembaca atau pendengar menjadi sasaran utama perhatian seseorang. Bahasa yang dikatakan komunikatif karena bersifat umum. Selaku makhluk sosial yang memerlukan orang lain sebagai mitra berkomunikasi, manusia memakai dua cara berkomunikasi, yaitu verbal dan nonverbal. Berkomunikasi secara verbal dilakukan menggunakan alat/media bahasa (lisan dan tulis), sedangkan berkomunikasi secara nonverbal dilakukan menggunakan media berupa aneka simbol, isyarat, kode, dan bunyi seperti tanda lalulintas, sirene setelah itu diterjemahkan kedalam bahasa manusia.

3. Sebagai alat berintegrasi dan beradaptasi sosial.

Pada saat beradaptasi dilingkungan sosial, seseorang akan memilih bahasa yang digunakan tergantung situasi dan kondisi yang dihadapi. Seseorang akan menggunakan bahasa yang nonstandar pada saat berbicara dengan teman- teman dan menggunakan bahasa standar pada saat berbicara dengan orang tua atau yang dihormati, dengan menguasai bahasa suatu bangsa memudahkan seseorang untuk berbaur dan menyesuaikan diri dengan bangsa lain.

4. Sebagai alat kontrol Sosial.

(11)

Kontrol sosial dapat diterapkan pada diri sendiri dan masyarakat, contohnya buku- buku pelajaran, ceramah agama, orasi ilmiah, mengikuti diskusi serta iklan layanan masyarakat.

Contoh lain yang menggambarkan fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial yang sangat mudah diterapkan adalah sebagai alat peredam rasa marah. Menulis merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk meredakan rasa marah.

Fungsi bahasa secara khusus :

1. Mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari- hari.

Manusia adalah makhluk sosial yang tak terlepas dari hubungan komunikasi dengan makhluk social lainnya. Komunikasi yang berlangsung dapat menggunakan bahasa formal dan nonformal.

2. Mewujudkan Seni (Sastra).

Bahasa yang dapat dipakai untuk mengungkapkan perasaan melalui media seni, seperti syair, puisi, prosa dll. Terkadang bahasa yang digunakan memiliki makna konotasi atau makna yang tersirat. Dalam hal ini, diperlukan pemahaman yang mendalam agar dapat mengetahui makna yang ingin disampaikan.

3. Mempelajari bahasa- bahasa kuno.

Dengan mempelajari bahasa kuno, akan dapat mengetahui peristiwa atau kejadian dimasa lampau. Untuk mengantisipasi kejadian yang mungkin atau dapat terjadi kembali dimasa yang akan datang, atau hanya sekedar memenuhi rasa keingintahuan tentang latar belakang dari suatu hal. Misalnya untuk mengetahui asal dari suatu budaya yang dapat ditelusuri melalui naskah kuno atau penemuan prasasti-prasasti.

4. Mengeksploitasi IPTEK.

Adanya jiwa dan sifat keingintahuan yang dimiliki manusia, serta akal dan pikiran yang sudah diberikan Tuhan kepada manusia, maka manusia akan selalu mengembangkan berbagai hal untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Pengetahuan yang dimiliki oleh manusia akan

(12)

selalu didokumentasikan supaya manusia lainnya juga dapat mempergunakannya dan melestarikannya demi kebaikan manusia itu sendiri

2. Perilaku Unggulan

Bahasa dan sastra membangun perilaku unggulan, perilaku yang dalam pendidikan (pembelajaran) yaitu bersemangat atau bersungguh-sungguh terhadap gagasan baru, terlibat secara penuh selama berinteraksi baik pikiran, perasaan maupun tindakan, secara tulus tertarik kepada objek kajian, bersikap serius memperhatiakan objek (topik bahasan), bersikap ingin mengetahui kebutuhan pembacanya atau pendengar yang dihadapinya, berinisiatif untuk menolong orang lain dan melakukan lebih dari yang diharapkan sehingga orang akan merasa puas atas perilakunya. Bersedia membuka diri sehingga menghasilkan pertemanan antarpribadi, antara pembicara atau penulis, dan pendengar atau pembaca yang bukan hanya sebatas transaksi, mempunyai rasa humor dan terbuka terhadap orang lain, dan mudah berhubungan, responsif, dapat tanggap terhadap situasi secara tepat, menunjukan empati yang tepat, berkeinginan tulus untu membuat orang lain senang, memenuhi kebutuhannya, dan menolong mengatasi masalahnya. (Bacon & Pugh, 2003: 139-142) dalam Madya “Etika dalam Forum Ilmiah,” 2006:

8).

Keberhasilan pendidikan menjadikan peserta didik lebih baik. Memiliki etika dan moral yang terpuji dan berperilaku unggulan dalam proses pembelajaran maupun pengembangan potensinya. Hal tersebut akan lebih bermakna jika dapat mengaplikasikan dalam kehidupan di dalam masyarakat tidak hanya sebatas dalam lingkup sekolah atau kampus. Intinya, keberhasilan seseorang lebih ditentukan oleh kemampuan kreatifnya di luar kampus.

3. Berbahasa Baku

Bahasa baku adalah ragam bahasa yang digunakan berdasarkan kaidah atau hukum bahasa. Ragam bahasa baku wajib digunakan oleh pelajar di sekolah dalam proses belajar, baik dalam pelajaran bahasa Indonesia maupun pelajaran lainnya. Oleh karena itu, bahasa kaum pelajar lazim dijadikan tolok ukur penggunaan ragam bahasa baku. Sebaliknya, kaum takterpelajar cenderung tidak mematuhi aturan bahasa. Oleh karena itu, ragam bahasa sekolah disebut juga ragam bahasa baku ( Alwi, 1993)

(13)

Fungsi kepribadian (karakter) pemakai bahasa baku lisan akan tampak bila terlibat dalam percakapan antarbangsa. Melalui bahasa lisan kita dapat mengenal apakah dia menggunakan logat asing ataukah logat baku. Keterlibatan percakapan dengan bangsa serumpun misalnya Malaysia, Brunei Draussalam, atau orang dari daerah tertentu yang sangat jarang (tidak pernah) berbahasa Indonesia akan dapat dikenali kepribadiannya, orang itu dari mana. Dari segi perwatakan, postur tubuh, warna kulit sulit dibedakan, tetapi melalui logat/dialek yang digunakan dapat mengenal apakah sesorang termasuk bangsa Indonesia atau tidak (Lopoliwa, 2006).

Hal serupa dapat di saksikan dalam diskusim rapat, seminar, tanya jawab dalam kegiatan resmi. Pembicara termasuk kategori terpelajar atau tidak, dapat ditentukan melalui penggunaan ragam bahasa baku yang digunakannya. Sebaliknya, pemakaian ragam bahasa nonbaku (logat atau lafal kedaerahan, penafsiran makna secara subjektif, ke asing-asingan) sering menimbulkan ejekan, hinaan, olok-olokan, hal tersebut dapat merendahkankan karakterr atau kepribadiannya.

B. Faktor Penghambat I. Prilaku Kebahasaan

Ada beberapa fenomena yang memprihatinkan dalam etika berbahasa yaitu dari penelitian Endro Sutrisno dan Susi Harliani, peneliti bahasa pada tiga harian terkemuka di Jawa Timur (dalam M. Ali Hisyam) menyatakan bahwa (a) penggunaan bahasa oleh media massa terlampau vulgar sehingga kerap kurang mengindahkan etika berbahasa yang santun dan bertanggung jawab (misalnya, Idon’t care; gitu aja kok repot) (2) penggunaan metafora sebagai medium bahasa yang kritis tapi halus, kini cenderung ditinggalkan oleh banyak media, (3) penggunaan ungkapan oleh Orde Baru sebagai pembungkus sebuah paradoks dan realitas semu, mulai tidak disenangi oleh masyarakat (misalnya, korupsi- menyalahgunakan jabatan, dipecat- dirumahkan, ditahan-diamankan), (4) penggunaan retorika pembungkam guna memperlancar proyek (atas nama) pembangunan yang gencar digalang oleh rezim Orde Baru mulai disikapi secara kritis oleh masyarakat, (5) pada dimensi ini (psikologi) media tak jarang telah memihak dan bahkan tak segan bertindak sebagai “mesin”pembunuh yang agitatif dan keji, (6) tak dapat disangkal, serbuan peradaban domestik dengan produk budaya instannya telah serta merta ikut

(14)

mendisain pola komunikasi masyarakat kearah yang demikian bebas (dalam pola komunikasi) (7) panorama vulgarisme bahasa, semakin menambah agenda tuntutan yang selama ini nyaring disuarakan masyarakat sebagai konsumen utama dari media massa ( M. Ali Hisyam, 2007)

2. Kelayakan Tenaga Pengajar

Ketidakmampuan guru/dosen mengajar dengan cara yang menarik berakibat siswa kurang (tidak ) bersemangat belajar. Untuk itulah tenaga pengajar seharusnya diberi bekal yang memadai untuk dapat mengajar dengan baik. Dengan lebih dipermudah dalam mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, adanya pelatihan-pelatihan mengajar, workshop dll.

3. Sentuhan Sastra

Pelajaran sastra yang memuat ajaran moral, etika, dan humaniora tidak tersentuh oleh para siswa. Padahal dengan adanya ajaran-ajaran tersebut mengandung masalah kemanusiaan yang dapat membimbing ke arah pembinaan akhlak mulia

4. Media Penyiaran

Media massa (cetak ataupun elektronik) tertentu berindikator tidak sepenuhnya mematuhi Undang-Undang Penyiaran atau belum sejalan dengan Rancangan Undang-Undang Bahasa yaitu wajib menggunakan bahasa Indonesia yang baku

2. Perilaku Sosial

Perilaku sosial tidak terpuji dapat menghambat fungsi bahasa sebagai instrumen humanitas yaitu tidak bertanggung jawab atas kesalahan bahasa dalam pekerjaannya, menggunakan standar ganda yang menguntungkan dirinya dengan berpikir ganda, berbicara ganda, memanipulasi kebijakan dan wewenangannya bagi kepentingan dirinya atau kelompoknya.

(15)

Kesimpulan

Pendidikan bahasa dan sastra berfungsi sebagai instrumen humanitas sehingga diharapkan dapat menjadi sarana efektif membangun manusia Indonesia secara optimal, sekalipun sering terjadi beberapa kendala atau hambatan. Untuk mewujudkannya diperlukan kebijakan nasional, pembinaan yang serius bagi para pendidik, dan dana atau prasarana yang memadai

Rujukan

Alwi, Hasan, dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (edisi ketiga). Jakarta: Balai Pustaka

Berten, K. 1994. Etika. Cetakan Kedua. Jakarta: Gramedia.

Dingwall, William Orr. 1998. “ The Biological Bases of Human Communicative Bihavior.”

Florida: Harcout Brace Collage Publishing

Hisyam, M. Ali. 2007. “Media, etika dan Vulgarisme Berbahasa.” Diunduh 6-4-2015 Hardjana, Mangun. 1997. Isme-Isme Dari A Sampai Z. Yogyakarta: Kanisius.

Kridalaksana, harimurti. 1975. “ Tata Cara Standardisasi dan Pengembangan Bahasa Nasional

dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. No. 3 pp 7-14.

Lapoliwa, Hanz. 2002. “ Lafal Bahasa Indonesia Baku”. Forum Bahasa dan Sastra. Pusat Bahasa Madya, Suwarsih. 2006. “Etika dalam Forum Ilmiah.” Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi.

Maslow, Abram. 1970. Motivasion and Personality. New York: Harper&Row, Publisher

Moeliono, Anton. 1975. “ Ciri-Ciri Bahasa Indonesia yang Baku dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. No.3. pp 2-6

Poedjawijata. 1982. Etika: Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: Bina Aksara.

Sadulloh, Uyoh. 2007. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Undang-Undang RI 2003, No. 20 tentang Pendidikan.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban