• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Perbandingan Pola Distribusi Hujan Terukur dan Hujan Satelit PERSIANN di DAS Progo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of Perbandingan Pola Distribusi Hujan Terukur dan Hujan Satelit PERSIANN di DAS Progo"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Teknik Pengairan: Journal of Water Resources Engineering, 2022, 13(1) pp. 23-35

___________________________________________________________________________________________________

___________________________________________________________________

Perbandingan Pola Distribusi Hujan Terukur dan Hujan Satelit PERSIANN di DAS Progo

Rainfall Distribution Pattern Comparison Between Measured Rainfall and PERSIANN-based Satellite Rainfall in Progo Watershed

Dimas Gustoro1*), Joko Sujono1, Karlina1

1Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Sleman, Yogyakarta, 55281, Indonesia.

Article info:

Kata kunci:

distribusi hujan; korelasi; PERSIANN;

terukur

Keywords:

rainfall pattern; measured; PERSIANN;

correlation

Article history:

Received: 24-12-2021 Accepted: 14-04-2022

*)Koresponden email:

[email protected]

Abstrak

Pola distribusi hujan sangat diperlukan dalam analisis transformasi hujan aliran khususnya untuk penentuan hidrograf banjir rancangan bangunan hidrolik. Distribusi hujan ini sangat tergantung dengan data hujan durasi pendek yang umumnya sangat terbatas, sehingga sebagai solusi dapat digunakan data hujan berbasis satelit. Distribusi hujan satelit dapat digunakan apabila distribusi yang dihasilkan memiliki pola distribusi yang mendekati hujan terukur. Dalam analisis ini data hujan yang digunakan adalah data hujan jam–jaman dari beberapa stasiun hujan yang terletak di DAS Progo dan data hujan satelit PERSIANN yang lokasinya disesuaikan dengan koordinat stasiun hujan DAS Progo. Data hujan yang dianalisis merupakan kejadian hujan berurutan yang memiliki kedalaman ≥ 50 mm untuk data tahun 2013–2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi hujan satelit PERSIANN memiliki pola yang mendekati pola hujan terukur dengan nilai koefisien r rerata sebesar 0,98. Hasil tersebut menunjukkan bahwa hujan berbasis satelit dapat digunakan sebagai alternatif penentuan pola distribusi hujan apabila data hujan terukur tidak tersedia. Namun demikian, analisis serupa perlu dilakukan untuk karakteristik hujan di DAS yang berbeda.

Abstract

The rainfall distribution pattern is essential in analyzing rainfall flow transformation, especially for determining the flood hydrograph of hydraulic structure designs. This rainfall distribution is very dependent on short-duration rainfall data, which is generally very limited, so as a solution, satellite-based rainfall data can be used.

The Satellite rainfall distribution can be used if the resulting distribution has a distribution pattern close to the measured rainfall.

In this analysis, the rainfall data used is hourly rainfall data from several rainfall stations located in the Progo watershed and PERSIANN satellite rainfall data, whose location is adjusted to the Progo watershed rainfall station coordinates. The rainfall data analyzed are sequential rainfall events with a depth of 50 mm for data from 2013 to 2015. The results show that the PERSIANN satellite rainfall distribution has a pattern that is close to the measured rainfall pattern with an average r coefficient value of 0.98.

These results indicate that satellite-based rainfall can be used as an alternative to determining the rainfall distribution pattern if the measured rainfall data is not available. However, a similar analysis needs to be carried out for rainfall characteristics in different watersheds.

Kutipan: Gustoro, D., Sujono, J., Karlina. (2022). Perbandingan Pola Distribusi Hujan Terukur dan Hujan Satelit di DAS Progo. Jurnal Teknik Pengairan: Journal of Water Resources Engineering, 13(1), 23–35.

https://doi.org/10.21776/ub.pengairan.2022.013.01.03

(2)

24 Gustoro, Sujono, Karlina: Perbandingan Pola Distribusi Hujan Terukur dan Hujan Satelit PERSIANN

1. Pendahuluan

Dalam analisis rekayasa sumber daya air terutama dalam perhitungan hidrograf satuan dan hidrograf banjir data hujan jam–jaman sangat diperlukan. Data hujan tersebut dapat dianalisis untuk mengetahui karakteristik hujan baik pola distribusi hujan maupun lama hujan, data hujan jam-jaman dapat diperoleh dari hasil rekaman Alat Ukur Hujan Otomatis (AUHO). Keakuratan data hujan dipengaruhi oleh jumlah dan pola penempatan pos hujan (Hermawan et al. 2020), namun demikian pengukuran hujan berbasis stasiun tidak selalu memadai baik dari sisi jumlah maupun sebarannya terutama untuk daerah dengan topografi yang kompleks. Kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap pemetaan pola hujan dan trend baik ruang dan waktu (Mu et al. 2021).

Di Indonesia, pengukuran curah hujan tidak merata dan terkadang kurang kontinuitasnya terutama di daerah aliran sungai (DAS) kecil, yang membuat pemodelan hidrologi menjadi sulit (Hidayah et al.

2021). Selain itu penurunan kualitas data hujan permukaan juga disebabkan oleh penurunan kinerja penakar hujan yang disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya usia pemakaian, gangguan serangga, kerusakan perangkat keras maupun perangkat lunak (Hambali et al. 2019). Seiring dengan perkembangan teknologi, kendala ketersediaan data curah hujan dapat diatasi dengan menggunakan perkiraan curah hujan berbasis satelit (Omondi et al. 2021). Ketersediaan data curah hujan yang hampir real-time beresolusi tinggi menjadikan produk curah hujan satelit sangat potensial dalam memantau bahaya hidrometeorologi, walaupun dalam penggunaan langsungnya masih mungkin terdapat kesalahan akibat bias yang disebabkan faktor fisik seperti topografi, musim, kecepatan angin, dan jenis awan (Ziarh et al. 2021).

Data hujan berbasis satelit dapat digunakan jika hasil data hujan sesuai dengan yang terjadi di permukaan. Adanya pengujian kesesuaian data hujan satelit dan yang terukur di permukaan sangat diperlukan untuk mengukur seberapa akurat data hujan satelit yang diperoleh (Ginting 2019). Oleh sebab itu dalam analisis ini dilakukan analisis perbandingan dan analisis korelasi pola distribusi hujan antara data hujan satelit PERSIANN dan data hasil pengukuran/terukur untuk mengetahui apakah data hujan satelit dapat digunakan untuk menggantikan data hujan terukur apabila ketersediaan data terukur terbatas.

2. Metodologi

2.1 Lokasi dan data penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di DAS Progo, yang mencakup beberapa kabupaten yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan DAS Progo sebagai daerah penelitian dikarenakan ketersediaan data terukur yang cukup baik sehingga dapat dibandingkan dengan data hujan satelit PERSIANN.

Penelitian ini menggunakan data hujan jam-jaman dari satelit PERSIANN dan data hujan dari beberapa stasiun hujan otomatis yang terletak di DAS Progo yang diperoleh dari Balai Besar Wilayah Sungai-Serayu Opak (BBWS – SO). Nama stasiun hujan beserta koordinat lokasinya dapat dilihat pada Tabel 1 (BBWS-SO. 2021) dan Gambar 1 (BAPPEDA-DIY. 2018).

2.2 Data hujan terukur

Kedalaman hujan yang terjadi dalam suatu satuan waktu disebut dengan intensitas hujan yang biasanya dinyatakan dalam mm/jam atau mm/hari, sedangkan kedalaman hujan dinyatakan dalam satuan mm. Dalam analisis ini digunakan data hujan jam-jaman dari beberapa stasiun hujan di DAS Progo pada tahun 2013–2015 yang diperoleh dari BBWS–SO. Menurut (Sosrodarsono & Takeda 1983) hujan dapat dibagi menjadi 5 keadaan hujan sesuai dengan intensitas hujannya masing-masing.

Kelima keadaan hujan dapat dilihat pada Tabel 2.

(3)

25 Gustoro, Sujono, Karlina: Perbandingan Pola Distribusi Hujan Terukur dan Hujan Satelit PERSIANN

Tabel 1. Stasiun hujan DAS Progo

Gambar 1. Lokasi stasiun hujan di DAS Progo

Tabel 2. Kategori hujan sesuai intensitas

Keadaan Hujan Intensitas Hujan mm/jam mm/hari Hujan sangat ringan <1 <5

Hujan ringan 1-5 5-20

Hujan normal 5-10 20-50

Hujan lebat 10-20 50-100

Hujan sangat lebat >20 >100

Dalam transformasi hujan aliran untuk perkiraan banjir rancangan dengan metode hidrograf satuan, pola distribusi hujan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap ketelitian hasil rancangannya. Pola distribusi hujan dapat diperkirakan berdasarkan data hujan otomatik (durasi

No Nama Stasiun Letak Administratif Garis Lintang Garis Bujur

1 Kalibawang Sleman -7,66184 110,26397

2 Seyegan Sleman -7,69628 110,29348

3 Godean Sleman -7,73425 110,30107

4 Kenteng Kulon Progo -7,76159 110,19672

5 Gembongan Kulon Progo -7, 815697 110, 21126

6 Sapon Kulon Progo -7,92243 110,25508

7 Brosot Kulon Progo -7,94022 110,23313

8 Sanden Bantul -7,95394 110,26765

9 Pajangan Bantul -7,8391 110,27467

10 Kalijoho Bantul -7,82217 110,23751

(4)

26 Gustoro, Sujono, Karlina: Perbandingan Pola Distribusi Hujan Terukur dan Hujan Satelit PERSIANN

pendek). Analisis pola distribusi hujan selama ini dilakukan dengan menganalisis kejadian hujan dengan kedalaman hujan tertentu yang umumnya menggunakan hujan dengan kedalaman di atas 50 mm (Lydia & Mutia 2015). Oleh sebab itu dalam penelitian ini data hujan yang digunakan merupakan data hujan yang memiliki kedalaman > 50 mm.

2.3 Data hujan satelit PERSIANN

Data hujan satelit merupakan pencatatan hujan yang dilakukan oleh satelit berdasarkan klasifikasi awan yang berpotensi menjadi hujan (presipitasi) dan menurunkannya menjadi curah hujan (Vernimmen et al. 2012). Produk Curah Hujan Satelit (PCHS) adalah salah satu sumber daya utama yang biasa digunakan untuk mempelajari perubahan curah hujan pada skala regional dan global, salah satu contoh PCHS yang dapat digunakan adalah produk dari Precipitation Estimation from Remotely Sensed Information using Artificial Neural Networks (PERSIANN) (Huang et al. 2021). Data hujan tersebut merupakan hasil dari informasi penginderaan jauh menggunakan Neural Networks yang telah dikembangkan untuk pendugaan curah hujan dari citra satelit Geosynchronous Longwave Infrared (GOES-IR) pada resolusi 0,25 ° x 0,25 ° (Hsu et al. 1997). Rentang waktu data PERSIANN adalah dari tahun 2000 hingga masa sekarang. Data PERSIANN memiliki resolusi spasial yang lebih tinggi daripada data The Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) (Zhang et al. 2021).

Data satelit PERSIANN terdiri dari luasan sebesar 0,25 ° x 0,25 ° atau 10 km x 10 km yang biasa disebut grid sehingga memungkinkan dalam luasan suatu grid terdapat beberapa stasiun hujan otomatis. Dalam penelitian pola distribusi hujan stasiun dan satelit dibandingkan berdasarkan dua kondisi yaitu sebagai berikut.

a. Kondisi pertama merupakan perbandingan antara data satelit terhadap keseluruhan data stasiun yang termasuk kedalam cakupan grid tersebut.

b. Kondisi kedua merupakan perbandingan antara beberapa grid data satelit terhadap beberapa stasiun yang sudah ditentukan areanya.

Untuk lebih jelas informasi terkait perbandingan pola distribusi hujan satelit dan stasiun dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 2 dan Gambar 3.

Tabel 3. Kondisi Perbandingan Pola Distribusi Hujan

Kondisi 1 Kondisi 2

Stasiun Satelit Stasiun Satelit

Grid A Stasiun BGKK Grid AB Stasiun BSS

Grid B Stasiun PSS Grid AB Stasiun GKP

Grid C Stasiun KSG Grid AC Stasiun KKSG

Keterangan:

Stasiun BGKK:Brosot, Gembongan, Kenteng Kalijoho Stasiun PSS: Pajangan, Sapon, Sanden

Stasiun KSG: Kalibawang, Seyegan, Godean Stasiun BSS: Brosot, Sapon, Sanden

Stasiun GKP: Gembongan, Kalijoho, Pajangan

Stasiun KKSG: Kenteng, Kalibawang, Seyegan, Godean 2.4 Analisis pola distribusi hujan

Pada prinsipnya pola distribusi curah hujan dinyatakan sebagai intensitas hujan yang dapat diperoleh dari alat pengukur curah hujan otomatis (Chow et al. 1988), namun jumlah alat pengukur curah hujan otomatis dalam suatu DAS biasanya sangat terbatas sehingga dengan demikian pola distribusi hujan tersebut dapat dianggap berlaku untuk keseluruhan DAS (Harto 2009). Harto (2009) menyatakan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mendapatkan pola distribusi hujan sebagai berikut.

(5)

27 Gustoro, Sujono, Karlina: Perbandingan Pola Distribusi Hujan Terukur dan Hujan Satelit PERSIANN

Gambar 2. Posisi stasiun hujan kondisi pertama Gambar 3. Posisi stasiun hujan kondisi kedua

a. Apabila yang dikehendaki data hujan untuk simulasi model, maka yang diperlukan adalah distribusi hujan apa adanya. Hal ini berarti bahwa hujan DAS didistribusikan sesuai dengan distribusi hujan jam–jaman nyata sesuai rekaman.

b. Apabila untuk suatu kepentingan analisis tertentu diperlukan distribusi hujan rata–rata untuk berbagai lama hujan, maka dapat dilakukan langkah–langkah berikut:

1. Menyiapkan data rekaman hujan dari alat pengukur hujan otomatis

2. Untuk pola distribusi hujan 2 jam maka semua kejadian hujan dengan durasi kejadian hujan selama 2 jam dikumpulkan, dan masing–masing dicatat besaran hujan pada jam pertama dan kedua yang dinyatakan dalam persen (%)

3. Persen kejadian pada jam pertama dan kedua selanjutnya dirata–ratakan untuk keseluruhan kejadian hujan yang tersedia. Untuk kejadian hujan dengan durasi yang lain juga dapat dilakukan dengan cara yang sama.

Hubungan antara intensitas curah hujan dengan durasi waktu digambarkan dalam bentuk hyetograph dan atau grafik distribusi yang menggambarkan kedalaman atau intensitas curah hujan dengan bertambahnya waktu sebagai absis dan kedalaman atau intensitas curah hujan sebagai ordinat (Sok 2019). Dalam analisis ini pola distribusi hujan dihitung dengan merata-ratakan seluruh kejadian hujan berurutan yang durasi (T) dan kedalaman hujannya (P) yang sudah diubah dinormalisasi dalam bentuk persen kumulatif. Sebelum dirata-ratakan kejadian hujan terlebih dahulu di interpolasi untuk menyamakan persen durasi kejadian hujan. Dalam penyajian hasil durasi kejadian ditampilkan dengan rentang 0%-100% dengan interval 10% untuk memudahkan pembacaan grafik.

2.5 Analisis Korelasi

Analisis Korelasi merupakan uji statistika yang mengukur kerapatan hubungan antara dua variabel (Vusvitasari et al. 2016). Keeratan hubungan antara dua variabel dapat diukur kekuatannya dengan menggunakan koefisien korelasi. Salah satu metode uji korelasi yang umum digunakan adalah Pearson Product Moment (PPM). Koefisien korelasi PPM umumnya dikenal dengan nama Pearson r dan dilambangkan dengan huruf (r) (Prion & Haerling. 2014). Koefisien korelasi r ini memiliki nilai berkisar antara -1 hingga +1, jika nilai lebih dekat ke -1 dan +1 menyiratkan korelasi yang kuat. Nilai positif pada koefisien korelasi menyiratkan peningkatan dalam satu indikator akan menghasilkan peningkatan pada indikator lain, dan sebaliknya (Djordjević et al. 2021). Rumus perhitungan uji korelasi PPM dituliskan pada Persamaan 1.

𝑟 = 𝑛 Σ𝑋𝑌−(Σ𝑋)(Σ𝑌)

√{𝑛 Σ𝑥2−(Σ𝑥)2}{𝑛 Σ𝑦2−(Σ𝑦)2} (1)

Area 1(BSS) Area 2(GKP) Area 3 (KKSG)

Grid A Grid B

Grid C

Grid A Grid B

Grid C

(6)

28 Gustoro, Sujono, Karlina: Perbandingan Pola Distribusi Hujan Terukur dan Hujan Satelit PERSIANN

dengan X dan Y merupakan variabel-variabel yang diamati dan n adalah banyaknya sampel pengamatan. Perhitungan dalam teknik ini mensyaratkan populasi asal sampel mempunyai minimal dua varian (bivariat) dan berdistribusi normal. Pada penelitian ini, X tersebut merupakan data hujan satelit sedangkan Y merupakan data hujan terukur di lapangan. Untuk dapat memberikan penafsiran terhadap koefisien korelasi yang ditemukan tersebut besar atau kecil, maka dapat berpedoman pada ketentuan yang tertera pada Tabel 4 sebagai berikut (Sugiyono 2013).

Tabel 4. Jenis hubungan berdasarkan nilai r Nilai r Jenis Hubungan

< 0,199 Sangat Rendah

0,20 – 0,399 Rendah

0,40 – 0,599 Sedang

0,60 – 0,799 Kuat

0,80 – 1,00 Sangat Kuat 3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Rekapitulasi kejadian hujan

Data hujan yang digunakan merupakan kejadian hujan berurutan dengan kategori hujan deras atau hujan dengan kedalaman total lebih dari atau sama dengan 50 mm baik untuk data hujan terukur ataupun hujan satelit. Hasil rekapitulasi distribusi data hujan satelit dan terukur dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.

Gambar 4. Distribusi kejadian hujan terukur > 50 mm tahun 2013 – 2015 Dari hasil rekapitulasi didapatkan bahwa data hujan dengan kedalaman lebih dari atau sama dengan 50 mm pada data hujan terukur sebanyak 101 kejadian hujan berurutan yang terdistribusi merata untuk setiap kelompok durasi hujan.

Gambar 5. Distribusi kejadian hujan satelit > 50 mm tahun 2013 – 2015

Dari hasil rekapitulasi didapatkan bahwa data hujan dengan kedalaman lebih dari atau sama dengan 50 mm pada data hujan satelit sebanyak 21 kejadian hujan berurutan yang terdistribusi hanya pada hujan dengan kelompok durasi panjang, sedangkan hujan pada kasus hujan durasi pendek (0–7 Jam) tidak terdapat kejadian hujan dengan kedalaman > 50 mm.

3.2 Analisis pola distribusi hujan

Contoh perhitungan pola distribusi hujan dari data hujan otomatis dapat dilihat pada Tabel 5. Dari 2 (dua) kejadian tersebut kemudian dicari nilai reratanya untuk semua kejadian hujan, seperti ditunjukkan pada Tabel 6. Interpolasi linier diperlukan untuk menentukan besarnya ΣP (%) untuk T(%) tertentu.

0 2 4 6 8 10 12 14 16

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

Frekuensi kejadian hujan

Durasi Hujan (Jam)

0 1 2 3 4 5 6

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

Frekuensi kejadian hujan

Durasi Hujan (Jam)

(7)

29 Gustoro, Sujono, Karlina: Perbandingan Pola Distribusi Hujan Terukur dan Hujan Satelit PERSIANN

Tabel 5. Perhitungan persentase durasi dan kedalaman hujan

Tabel 6. Contoh perhitungan interpolasi dan rerata pola distribusi hujan

Durasi T ( %) 0,00 10,00 20,00 25,00 30,00 33,33 40,00 50,00 60,00 66,67 70,00 75,00 80,00 90,00 100,00 Kejadian 1 P ( %) 0,00 2,84 5,69 7,11 14,69 19,75 29,86 45,02 65,88 79,78 86,73 97,16 97,73 98,86 100,00 Kejadian 2 P ( %) 0,00 11,54 23,08 28,85 34,62 38,46 47,69 61,54 75,38 84,62 86,15 88,46 90,77 95,38 100,00 Rata – Rata P ( %) 0,00 7,19 14,38 17,98 24,65 29,10 38,78 53,28 70,63 82,20 86,44 92,81 94,25 97,12 100,00

Interpolasi linier dilakukan dikarenakan kedalaman hujan kumulatif (P%) mempunyai hubungan langsung terhadap durasi hujan kumulatif (T%), kedalaman hujan akan bertambah seiring bertambahnya durasi hujan sehingga dapat dinyatakan kedua data ini mencerminkan fungsi linier.

Hasil rata–rata menunjukkan pola distribusi hujan rerata yang mewakili suatu grid ataupun area yang telah ditentukan. Dalam penelitian ini analisis pola distribusi hujan dibagi menjadi 2 kondisi seperti yang dijelaskan pada sub bab 2.4, hasil perhitungan rata–rata kondisi pertama dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil perhitungan pola distribusi hujan rerata Kondisi Pertama

Durasi T (%) 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 100,00 Stasiun BGKK P (%) 0,00 13,31 30,32 47,47 62,60 76,04 84,05 89,67 94,12 97,09 100,00 Grid A P (%) 0,00 3,98 13,75 27,58 41,99 57,53 73,78 86,22 94,21 98,49 100,00 Stasiun PSS P (%) 0,00 12,07 23,76 36,08 46,72 58,50 69,41 80,37 89,86 94,91 100,00 Grid B P (%) 0,00 3,45 11,58 24,40 38,78 53,97 70,35 84,35 93,71 98,76 100,00 Stasiun KSG P (%) 0,00 19,28 35,64 49,42 61,51 72,98 82,53 88,86 93,75 97,39 100,00 Grid C P (%) 0,00 3,22 13,12 24,94 40,28 56,31 71,18 84,97 93,61 98,33 100,00

Dari tabel diatas dapat dilihat perbandingan pola distribusi hujan rerata antara Stasiun BGKK dan grid A, Stasiun PSS dan grid B, serta Stasiun KSG dan grid C. Untuk lebih jelasnya hasil perbandingan dapat dilihat pada Gambar 6.

Sta, Sanden Kejadian: 17-Jan-2013

T (jam) T (%) P (mm) ΣP (mm) ΣP (%)

0 0,00 0 0 0,00

1 25,00 7,5 7,5 7,11

2 50,00 40 47,5 45,02

3 75,00 55 102,5 97,16

4 100,00 3 105,5 100,00

Sta, Sanden Kejadian: 26-Jan-2014

T (jam) T (%) P (mm) ΣP (mm) ΣP (%)

0 0,00 0 0 0,00

1 33,33 25 25 38,46

2 66,67 30 55 84,62

3 100,00 10 65 100,00

Keterangan:

T T (%) P

= Persentase Jam Ke

= Jam Ke

= Kedalaman Hujan

P (%) ΣP ΣP (%)

= Persentase Kedalaman Hujan

= Kedalaman Hujan Kumulatif

= Persentase Kedalaman Hujan Kumulatif

(8)

30 Gustoro, Sujono, Karlina: Perbandingan Pola Distribusi Hujan Terukur dan Hujan Satelit PERSIANN

a) b)

c) d)

(a) Pola distribusi hujan rerata stasiun BGKK VS grid A (b) Pola distribusi hujan rerata stasiun PSS VS grid B (c) Pola distribusi hujan rerata stasiun KSG VS grid C (d) Pola distribusi hujan rerata stasiun VS grid

Gambar 6. Perbandingan pola distribusi hujan rerata kondisi pertama

Dari gambar 6 di atas diketahui bahwa perbandingan antara pola distribusi hujan satelit terhadap stasiun memiliki kedekatan yang baik, hal ini didukung dengan hasil perhitungan koefisien korelasi dengan hasil koefisien korelasi r sebesar 0,975 untuk grid A terhadap Stasiun BGKK, 0,993 untuk grid B terhadap Stasiun PSS, dan 0,971 untuk grid C terhadap Stasiun KSG. Selanjutnya untuk hasil perhitungan pola distribusi hujan rerata kondisi kedua dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Pola distribusi hujan rerata Kondisi Kedua

Durasi T (%) 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 100,00 Stasiun BSS P (%) 0,00 11,17 22,92 35,63 48,19 62,15 74,35 84,29 91,89 95,90 100,00 Stasiun GKP P (%) 0,00 13,70 29,00 43,03 55,69 67,92 76,70 84,31 91,40 95,78 100,00 Stasiun KKSG P (%) 0,00 19,28 35,64 49,42 61,51 72,98 82,53 88,86 93,75 97,39 100,00 Grid AB P (%) 0,00 3,70 12,58 25,87 40,26 55,62 71,94 85,21 93,94 98,64 100,00 Grid AC P (%) 0,00 3,55 13,39 26,07 41,01 56,84 72,29 85,50 93,86 98,40 100,00

Dari tabel diatas dapat dilihat perbandingan pola distribusi hujan rerata antara Stasiun BSS dan grid AB, Stasiun GKP dan grid AB, serta Stasiun KKSG dan grid AC. Pada kondisi kedua ini grid A dan B digabung dan begitu juga grid A dan C hal ini disebabkan karena beberapa stasiun hujan termasuk kedalam cakupan kedua grid tersebut, sehingga untuk membandingkan pola distribusi hujannya data pada kedua grid harus digabung. Untuk melihat pola distribusi hujan yang lebih jelas hasil perbandingan digambarkan seperti pada Gambar 7 berikut:

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Kedalaman Hujan Kumulatif (%)

Jam ( %)

Stasiun BGKK Grid A

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Kedalaman Hujan Kumulatif (%)

Jam (%)

Stasiun PSS Grid B

0 20 40 60 80 100

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Kedalaman Hujan Kumulatif (%)

Jam (%)

Stasiun KSG Grid C

0 20 40 60 80 100

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Kedalaman Hujan Kumulatif (%)

Jam (%)

Stasiun PSS Grid B Stasiun KSG Grid C Stasiun BGKK Grid A

(9)

31 Gustoro, Sujono, Karlina: Perbandingan Pola Distribusi Hujan Terukur dan Hujan Satelit PERSIANN

a.) b.)

c.) d.)

(a) Pola distribusi hujan rerata stasiun BSS VS grid AB (b) Pola distribusi hujan rerata stasiun GKP VS grid AB (c) Pola distribusi hujan rerata stasiun KKSG VS grid AB (d) Pola distribusi hujan rerata stasiun VS grid

Gambar 7. Perbandingan pola distribusi hujan rerata kondisi kedua

Dari Gambar 7 di atas diketahui bahwa perbandingan antara pola distribusi hujan satelit terhadap stasiun memiliki kedekatan yang baik, hal ini didukung dengan hasil perhitungan koefisien korelasi dengan hasil koefisien korelasi r sebesar 0,995 untuk grid AB terhadap Stasiun BSS, 0,983 untuk grid AB terhadap Stasiun GKP, dan 0,972 untuk grid AC terhadap Stasiun KKSG. Untuk lebih jelasnya terkait perhitungan korelasi dan regresi dapat dilihat pada sub bab selanjutnya.

3.3 Analisis korelasi pola distribusi hujan

Korelasi antara pola distribusi hujan data terukur dan satelit dapat dihitung menggunakan fungsi dari formula correl pada Microsoft Excel atau menggunakan Persamaan 1 yaitu rumus dasar uji korelasi PPM yang merupakan penjabaran dari formula correl. Pada penelitian ini digunakan Persamaan 1 untuk menjabarkan salah satu perhitungan dan sisanya digunakan formula correl, sebagai contoh perhitungan dapat dilihat perbandingan grid A terhadap Stasiun BGKK pada Tabel 9.

Tabel 9. Perhitungan korelasi pola distribusi hujan Stasiun BGKK dan Grid A

No X Y X2 Y2 XY

1 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

2 3,98 13,31 15,84 177,19 52,98

3 13,75 30,32 188,93 919,15 416,72

4 27,58 47,47 760,63 2253,53 1309,23

5 41,99 62,60 1763,51 3919,22 2628,99

6 57,53 76,04 3309,95 5782,01 4374,71

7 73,78 84,05 5444,18 7063,72 6201,30

8 86,22 89,67 7433,16 8040,61 7730,92

9 94,21 94,12 8875,08 8858,10 8866,59

10 98,49 97,09 9700,99 9426,98 9563,00

11 100,00 100,00 10000,00 10000,00 10000,00 Jumlah 597,53 694,67 47492,26 56440,51 51144,46 Kuadrat Jumlah 357045,71 482564,83

R 0,975

Keterangan : X = Pola Distribusi Hujan Satelit; R = Koefisien Korelasi, Y = Pola Distribusi Hujan Stasiun

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Kedalaman Hujan Kumulatif (%)

Jam (%)

Stasiun BSS Grid AB

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Kedalaman Hujan Kumulatif (%)

Jam (%)

Stasiun GKP Grid AB

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Kedalaman Hujan Kumulatif (%)

Jam (%)

Stasiun KKSG Grid AC

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

Kedalaman Hujan Kumulatif (%)

Jam (%)

Stasiun BSS Stasiun GKP Stasiun KKSG Grid AB Grid AC

(10)

32 Gustoro, Sujono, Karlina: Perbandingan Pola Distribusi Hujan Terukur dan Hujan Satelit PERSIANN

Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa korelasi antara pola distribusi hujan Stasiun BGKK dan grid A memiliki nilai koefisien korelasi sebesar 0,975 yang berarti memiliki hubungan yang sangat kuat.

Untuk hasil lengkap analisis korelasi antara pola distribusi hujan data satelit dan terukur Kondisi Pertama dan Kedua dapat dilihat pada Tabel 10 berikut:

Tabel 10. Rekapitulasi uji korelasi

Kondisi Pertama Kondisi Kedua

Analisis Korelasi r Analisis Korelasi r

Grid A dan Stasiun BGKK 0,975 Grid AB dan Stasiun BSS 0,995 Grid B dan Stasiun PSS 0,993 Grid AB dan Stasiun GKP 0,983 Grid C dan Stasiun KSG 0,971 Grid AC dan Stasiun KKSG 0,972

Dari hasil yang ditunjukkan oleh tabel diatas dapat diketahui bahwa pola distribusi hujan data satelit PERSIANN terhadap data terukur memiliki nilai koefisien korelasi >0,9 pada setiap kondisi perbandingan, yang berarti pola distribusi hujan antara data satelit PERSIANN terhadap terukur memiliki korelasi yang kuat. Sebagai pembanding dalam analisis ini juga dilakukan analisis korelasi pola distribusi hujan tanpa interpolasi dengan menggunakan hujan dominan dengan kedalaman hujan

>50 mm dari keseluruhan data satelit PERSIANN yaitu hujan dengan durasi 10 jam yang kemudian dibandingkan dengan keseluruhan data terukur yang memiliki kedalaman >50 mm dengan durasi hujan yang sama didapat pola distribusi hujan seperti ditunjukkan pada Tabel 11 dan Gambar 8.

Tabel 11. Pola distribusi hujan dominan keseluruhan data PERSIANN terhadap data terukur

Keterangan Durasi T (%) 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 100,00 Stasiun Hujan P (%) 0,00 19,69 30,04 37,79 53,88 70,08 81,12 87,33 93,90 97,03 100,00 PERSIANN Hujan P (%) 0,00 3,88 13,54 23,54 36,74 51,87 69,37 84,91 94,10 99,17 100,00

Gambar 8. Pola distribusi distribusi hujan dominan keseluruhan data PERSIANN terhadap data terukur

Dari Gambar 8 di atas diketahui bahwa perbandingan antara pola distribusi hujan satelit terhadap stasiun tanpa melakukan interpolasi tetap memiliki kedekatan yang baik dengan nilai koefisien korelasi r sebesar 0,981, dengan demikian dapat diketahui bahwa dengan menggunakan data asli tanpa interpolasi kedekatan korelasi antara data satelit PERSIANN dan terukur tetap sangat baik.

Dalam penelitian ini juga dilakukan analisis regresi untuk mengetahui tingkat kedekatan antara pola distribusi hujan data PERSIANN terhadap data terukur. Dalam analisis regresi standar kedekatan suatu variabel Xi dan Yi ditunjukkan oleh nilai R2 yaitu nilai koefisien korelasi atau koefisien deterministik, hasil korelasi yang terbaik adalah ketika nilai R2 mendekati 1. Analisis regresi dilakukan dengan program Microsoft Excel, hasil analisis regresi dapat dilihat pada Gambar 9 dan Tabel 12.

0 20 40 60 80 100

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

P (%)

T ( %)

Stasiun

PERSIANN

(11)

33 Gustoro, Sujono, Karlina: Perbandingan Pola Distribusi Hujan Terukur dan Hujan Satelit PERSIANN

Gambar 9. Hasil analisis regresi untuk kedua kondisi analisis

Tabel 12. Hasil analisis regresi pola distribusi hujan data satelit terhadap data terukur Kondisi Pertama Nilai R2 Kondisi Kedua Nilai R2 Grid A dan Stasiun BGKK 0,994 Grid AB dan Stasiun BSS 0,995

Grid B dan Stasiun PSS 0,988 Grid AB dan Stasiun GKP 0,987 Grid C dan Stasiun KSG 0,980 Grid AC dan Stasiun KKSG 0,981

Dari tabel diatas diketahui bahwa kedekatan antara data satelit PERSIANN terhadap data terukur sangat baik hal ini ditunjukkan oleh nilai R2 yang menunjukkan angka >0,98 pada kedua kondisi perbandingan.

3.4 Pembahasan

Intensitas hujan bervariasi dalam ruang dan waktu, yang tergantung pada lokasi geografis dan iklim (Triatmodjo 2019). Hal ini menyebabkan distribusi hujan yang merupakan hubungan antara intensitas hujan dan durasi hujan juga akan berbeda mengikuti lokasi geografis dan iklimnya (Sok 2019) sehingga dalam penelitian ini analisis dilakukan dengan dua kondisi dimana pada kondisi pertama pola distribusi hujan dibandingkan antara data satelit dan stasiun dengan hanya membandingkan grid satelit terhadap stasiun hujan didalamnya tanpa mengelompokkan stasiun hujan terhadap bagian DAS.

Pada kondisi kedua perbandingan pola distribusi dilakukan dengan membagi stasiun hujan yang terdapat di DAS Progo kedalam beberapa area. Area 1 yang mencakup Stasiun BSS yang terletak pada bagian terhilir dari DAS, Area 2 yang mencakup Stasiun GKP yang terletak pada hilir menuju bagian tengah DAS, dan Area 3 yang mencakup Stasiun KKSG yang terletak pada bagian tengah menuju hulu DAS. Data hujan stasiun yang sudah dibagi menjadi beberapa area tersebut kemudian dibandingkan dengan grid hujan satelit yang sesuai dengan letak stasiun hujan, sehingga memungkinkan perbandingan dilakukan antara beberapa grid terhadap suatu area dikarenakan stasiun hujan pada suatu area dapat mencakup beberapa grid.

Dari hasil analisis korelasi didapatkan hasil perbandingan pola yang baik dengan nilai koefisien korelasi rerata sebesar 0,980 sedangkan hasil analisis pada kondisi kedua menunjukkan perbandingan pola distribusi yang lebih baik daripada kondisi pertama dengan nilai koefisien korelasi rerata yang didapatkan adalah sebesar 0,983. Hal ini disebabkan faktor topografi dan sistem cuaca regional memiliki peran penting dalam jumlah dan pola spasial curah hujan dalam suatu wilayah (Enyew &

Steeneveld 2014). Sehingga dengan mengelompokkan stasiun hujan menjadi area hilir, tengah, dan

y = -0.0026x2+ 1.1768x + 5.0584 R² = 0.995 0

20 40 60 80 100

0 20 40 60 80 100

Kedalaman Hujan Kumulatif (P%) Stasiun BSS

Kedalaman Hujan Kumulatif (P%) Grid AB Regresi Pola Distribusi Hujan Stasiun BSS VS Grid AB

Grid AB Poly. (Grid AB)

y = -0.005x2+ 1.3841x + 7.1394 R² = 0.987 0

20 40 60 80 100

0 20 40 60 80 100

Kedalaman Hujan Kumulatif (P%) Stasiun GKP

Kedalaman Hujan Kumulatif (P%) Grid AB Regresi Pola Distribusi Hujan Stasiun GKP VS Grid AB

Grid AB Poly. (Grid AB)

y = -0.0067x2+ 1.5323x + 9.9477 R² = 0.9812 0

20 40 60 80 100

0 20 40 60 80 100

Kedalaman Hujan Kumulatif (P%) Stasiun KKSG

Kedalaman Hujan Kumulatif (P%) Grid AC Regresi Pola Distribusi Hujan Stasiun KKSG VS Grid AC

Grid AC Poly. (Grid AC)

y = -0.0069x2+ 1.548x + 10.322 R² = 0.98 0

20 40 60 80 100

0 20 40 60 80 100

Kedalaman Hujan Kumulatif (P%) Stasiun KSG

Kedalaman Hujan Kumulatif (P%) Grid C Regresi Pola Distribusi Hujan Stasiun KSG VS Grid C

Grid C Poly. (Grid C)

y = -0.0019x2+ 1.0711x + 7.0011 R² = 0.9883 0

20 40 60 80 100

0 20 40 60 80 100

Kedalaman Hujan Kumulatif (P%) Stasiun PSS

Kedalaman Hujan Kumulatif (P%) Grid B Regresi Pola Distribusi Hujan Stasiun PSS VS Grid B

Grid B Poly. (Grid B)

y = -0.0076x2+ 1.6721x + 5.1513 R² = 0.9935 0

20 40 60 80 100

0 20 40 60 80 100

Kedalaman Hujan Kumulatif (P%) Stasiun BGKK

Kedalaman Hujan Kumulatif (P%) Grid A Regresi Pola Distribusi Hujan Stasiun BGKK VS Grid A

Grid A Poly. (Grid A)

(12)

34 Gustoro, Sujono, Karlina: Perbandingan Pola Distribusi Hujan Terukur dan Hujan Satelit PERSIANN

hulu seperti pada kondisi kedua membuat karakteristik hujan yang mewakili kawasan tersebut variabilitasnya menjadi lebih baik. Menurut (Sugiyono 2013) dengan nilai koefisien korelasi melebihi 0,9 maka dapat disimpulkan data hujan satelit memiliki korelasi yang sangat baik terhadap data terukur.

Melalui analisis regresi diketahui bahwa kedekatan antara data satelit PERSIANN dan data terukur sangat baik, hal ini disimpulkan melalui hasil analisis yang menunjukkan nilai R2 >0,98 untuk kedua kondisi perbandingan hasil analisis regresi dinyatakan baik ketika nilai R2 mendekati angka 1.

4. Kesimpulan

Pada kondisi pertama terdapat 3 perbandingan antara data satelit dan terukur, perbandingan grid A terhadap Stasiun BGKK memiliki nilai r = 0,975, grid B terhadap Stasiun PSS memiliki nilai r = 0,993, dan grid C terhadap Stasiun KSG memiliki nilai r = 0,971 yang berarti keseluruhan data satelit dan terukur pada kondisi pertama memiliki korelasi rata-rata sebesar 0,980. Pada kondisi kedua juga terdapat 3 perbandingan antara data satelit dan terukur, perbandingan grid AB terhadap Stasiun BSS memiliki nilai r = 0,995, grid AB terhadap Stasiun GKP memiliki nilai r = 0,983, dan grid AC terhadap Stasiun KKSG memiliki nilai r = 0,971 yang berarti keseluruhan data satelit dan terukur pada kondisi kedua memiliki korelasi rata–rata mencapai nilai 0,983 yang menunjukkan korelasi yang sangat kuat dan lebih baik dari kondisi pertama. Melalui analisis regresi didapatkan hasil koefisien deterministik R2 >0,98 untuk setiap kondisi perbandingan yang menunjukkan kedekatan yang sangat baik. Dari analisis ini diketahui bahwa pola distribusi hujan data satelit PERSIANN memiliki korelasi yang tinggi terhadap data terukur untuk kedua kondisi, baik dari analisis korelasi PPM maupun analisis regresi.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa data satelit dapat digunakan untuk menggantikan data terukur apabila data terukur tidak tersedia ataupun mengalami kerusakan.

Daftar Pustaka

BAPPEDA-DIY. 2018. Data peta DAS Progo. http://bappeda.jogjaprov.go.id/

BBWS-SO.2021. Data hujan jam – jaman DAS Progo. https://sda.pu.go.id/balai/bbwsserayuopak/

form-permohonan-informasi/

Chow, V. Te, Maidment, D. R., & Mays, L. W. 1988. Applied Hydrology. New York: McgrawHill Book Company.

Djordjević, B., Mane, A. S., & Krmac, E. 2021."Analysis of dependency and importance of key indicators for railway sustainability monitoring: A new integrated approach with DEA and Pearson correlation." Research in Transportation Business and Management, 41(xxxx), 100650.

https://doi.org/10.1016/j.rtbm.2021.100650

Ega Hermawan, O., Montarcih Limantara, L., & Suhartanto, E. 2020."Analisis Sebaran Jaringan Penakar Hujan Dengan Metode Stepwise, Kriging & WMO Di DAS Serang Jawa Tengah."

Jurnal Teknik Pengairan, 11(2), 137–146.

https://doi.org/10.21776/ub.pengairan.2020.011.02.07

Enyew, B., & Steeneveld, G. 2014."Analysing the Impact of Topography on Precipitation and Flooding on the Ethiopian Highlands." Journal of Geology & Geosciences, 03(06).

https://doi.org/10.4172/2329-6755.1000173

Ginting, J. M. 2019. Analisis hujan satelit PERSIANN dan GPM untuk perkiraan debit banjir DAS Progo. Universitas Gadjah Mada.

Hambali, R., Legono, D., & Jayadi, R. 2019."Analisis Keandalan Data Penakar Hujan Otomatis Sebagai Acuan Koreksi Perkiraan Hujan Radar." Jurnal Teknik Pengairan, 10(2), 151–159.

https://doi.org/10.21776/ub.pengairan.2019.010.02.09

Harto, S. 2009. Hidrologi: Teori, Masalah, Penyelesaian. Nafiri Offset.

Hidayah, E., Widiarti, W. Y., Putra, P. P., Dewantie, A. A., Alhamda, M. Z., & Prastika, H. 2021.

"Evaluation Of Hydrologic Modelling Using Satellite Product, And Mmr Rainfall In East Java, Indonesia." Journal of Ecological Engineering, 22(11), 246–260.

https://doi.org/10.12911/22998993/142843

(13)

35 Gustoro, Sujono, Karlina: Perbandingan Pola Distribusi Hujan Terukur dan Hujan Satelit PERSIANN

Hsu, K.-L., Sorooshian, S., Gao, X., Gupta, H. V., Imam, B., & Braithwaite, D. 1997."Evaluation of PERSIANN System Satellite-Based Estimates of Tropical Rainfall." Bulletin of the American Meteorological Society.

Huang, W.-R., Liu, P.-Y., & Hsu, J. 2021."Multiple timescale assessment of wet season precipitation estimation over Taiwan using the PERSIANN family products." International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation, 103(88), 102521.

https://doi.org/10.1016/j.jag.2021.102521

Lydia, E. N., & Mutia, E. 2015."Penentuan Pola Agihan Hujan Tanpa Pemisahan." Jurnal Ilmiah Jurutera, 2(1), 48–56.

Mu, Y., Biggs, T., & Shen, S. S. P. 2021."Satellite-based precipitation estimates using a dense rain gauge network over the Southwestern Brazilian Amazon: Implication for identifying trends in

dry season rainfall." Atmospheric Research, 261.

https://doi.org/10.1016/j.atmosres.2021.105741

Omondi, C. K., Rientjes, T. H. M., Booij, M. J., & Nelson, A. D. 2021."Satellite rainfall bias assessment for crop growth simulation – A case study of maize growth in Kenya." Agricultural Water Management, 258(May). https://doi.org/10.1016/j.agwat.2021.107204

Prion, S., & Haerling, K. A. 2014."Making sense of methods and measurement: Pearson product- moment correlation coefficient." Clinical Simulation in Nursing, 10(11), 587–588.

https://doi.org/10.1016/j.ecns.2014.07.010

Sok, R. 2019."Typical Rainfall Distribution Pattern of Flood Event Caused by Tropical Cyclone at Bima City, West Nusa Tenggara, Indonesia." Journal of the Civil Engineering Forum, 5(1), 1.

https://doi.org/10.22146/jcef.34604

Sosrodarsono, S., & Takeda, K. 1983. Hidrologi untuk pengairan: cetakan kesembilan (9th ed.). PT.

Pradnya Pramita.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.

Alfabeta.

Triatmodjo, B. 2019. Hidrologi Terapan: Cetakan Ketujuh. Beta Offset.

Vernimmen, R. R. E., Hooijer, A., Mamenun, Aldrian, E., & Van Dijk, A. I. J. M. 2012."Evaluation and bias correction of satellite rainfall data for drought monitoring in Indonesia." Hydrology and Earth System Sciences, 16(1), 133–146. https://doi.org/10.5194/hess-16-133-2012

Vusvitasari, R., Nugroho, S., & Akbar, S. 2016."Kajian Hubungan Koefisien Korelasi Pearson ( ρ ), Spearman-." Journal Statistika, 41–54.

Zhang, J., Chen, Y., & Li, C. 2021."Typhoon Hato’s precipitation characteristics based on PERSIANN." Tropical Cyclone Research and Review, 10(2), 75–86.

https://doi.org/10.1016/j.tcrr.2021.05.001

Ziarh, G. F., Shahid, S., Ismail, T. Bin, Asaduzzaman, M., & Dewan, A. 2021."Correcting bias of satellite rainfall data using physical empirical model." Atmospheric Research, 251(August 2020), 105430. https://doi.org/10.1016/j.atmosres.2020.105430

Referensi

Dokumen terkait

PENDUGAAN CURAH HUJAN BERDASARKAN DATA DISTRIBUSI AWAN DAN AIR MAMPU CURAH DARI DATA SATELIT NOAA-TOVS DI WILAYAH SUB DAS TULANG BAWANG. OLEH: N U R S A

Analisis daya beda dapat digunakan untuk mencari koefisien korelasi antara butir-butir aitem dengan skor total (r it ). Cronbach menyatakan bahwa angka

Publikasi terkait kajian pola pertumbuhan berdasarkan analisis hubungan panjang berat dan faktor kondisi pada beberapa spesies ikan telah dilaporkan diantaranya, ikan nila Oreochromis

Hasil Analisis Korelasi Pola Makan dan Kejadian Hipertensi Sumber: Data Primer, 2023 Berdasarkan hasil analisis pada tabel 3 diperoleh bahwa dari 64 responden, lansia yang menderita

Analisis korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dan kesihatan psikologi dalam kalangan pekerja wanita di KBS, Putrajaya dengan nilai r =

Karakteristik lahan yang mempengaruhi produktivitas nanas Hasil analisis korelasi dan regresi dengan menggunakan software SPSS versi 23.0 menunjukkan hasil bahwa dari setiap

Struktur ANN 456 – 200 – 1 Tahap selanjutnya dari penelitian ini adalah analisis hasil prediksi curah hujan berdasrkan pola curah hujan yang dikorelasikan dengan deforestasi, perubahan

2 Tipe Analisis, menunjukkan kondisi analisis, terbagi menjadi "Penurunan Jangka Pendek" dan "Penyelesaian Jangka Panjang." 3 Penurunan Puncak cm, hasil penurunan puncak bendungan