• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan dan kekerasan dalam hukum perkawinan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Perempuan dan kekerasan dalam hukum perkawinan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PEREMPUAN DAN KEKERASAN

DALAM HUKUM

P E R K A W I N A N

Dr. Wila Chandrawila Supriadi, S.H.

DIES NATALIS KE 46

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

BANDUNG

(2)

TEKS ORATIO DIES NATALIS KE 46 UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

BANDUNG

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM HUKUM PERKAWINAN Yang terhormat,

::

.. Koordinator Kopertis ~i!ayah IV atau yang Illewakilinya;

.. Ketua Yayasan Universita.s K<,ltolik Parahyangan atau yang mewakiji, beserta pengurus Yayasan yang lainnya;

.. Rektor/Ketua Senat Universitas Katolik Parahyangan, beserta an9gota Senat Universitas;

.. Sf!llJwh Pejabat baik Struktural mau pun Fungsional di lingkungan Universitas KatoJik P<lrahyangan;

... $elurJh Rekan Sejawat Dosen di ling<ungan Universitas Katolik Parahyangan;

.. Para Undangan dan Hadirin sekalian.

Hadirin yang saya hormati,

Merupakan suatu kehormatan yong besar bagi saya mendapat kesempatan yang dapat

dikataka~ jarang terjadi, kalau tidak ffldU Jikatakan ,angka, tampil sebagai Orator pada perayaan peringatan Dies Natalis Universitas Katolik Parahyangan.

Pada hari Senin tanggal4 Desember 2000 j.l., saya diuslJlb.n Clleh Dekan dan Pembantu Dekan I Fakultas Hukum u'ltuk me'lgisi acara Oratio Die;;. SRya berpikir, apabila saya tidak menerima tawaran itu, maka suatu ketika saya harus j.Jga tampil mengisi acorn ini, jadi saya dengan sertamerta menerima tawaran itu.

Perayaan peringatan Dies Natalis Universitas diselenggarakan satu tahun satu kali, dan jumlah Fakultas di Unpar sampai sekarang ini ada delapan, kalau setiap fakultas mendaoat kesempa:an yang sama, maka Fakultcs Hukum tiap delapan tahun mendapat kesempatan satlJ kali menampilkan seorang crator.

Baru pada waktu saya menulis tulisan ini, saya menyadari bahwa kesempatan Fakultas Huk'.Jm mengisi aeara Dies Natal'ls Universitas adalah satu kal·1 calam delapan tahun. Kalau saja terplkirkan pada waktu ditawarkan, dapat saja saya menolak mengisi aeara Dies Natalis Universitas sekarang ini den!=)an seribu satu alasan yang dapat saya kemukakan. Mengapa? Karena delapan tahun kemudian, pad" tClhun 2009, saya sudah bukan karyawan Unpar lagi, saya sudah lama pensiun, dalam arti tidak pcdu tampil sebagai orator.

Hadirin yang terhormat,

Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya ingin membuat pengakuan, bahwa sembilan tahun yang lalu, sesaat setelah saya menyelesaikan Studi 53, yang saya takutkan pada waktu saya harus kembali ke Bandung, adalah kalau saY8 harus berdiri di mimbar inj sebagai Orator pada acaTE! peringatan Dies Natalis Universitas.

Tahun demi tahun dapat saya lalui dengan selamat, saya seakan-akan terlupakan dan tidak pernah diusulkan untuk mengisi acara Oratio Dies, baik di Fakultas Hukum

(3)

mau pLn di Universitas, Kesempatan yang jarang pun di Fakultas Hukum, tahun 2000 yang lalu, drs; oleh orator yang bukan alumus Fakultas Hukum, jadi saya juga terhindar untuk tam pi! sebagai Or<ltnr [)ip.~ Natalis Fakultas Hukum

Sbyn mclihnt sisi temngnya, bahwa dalamsembilan tahun saya "terlupakan", saya mempunylli keS€rnpCllCln untuk berkarya, mengembangkan/mempersiapkan diri dan saya menerima keterlupaan itu sebagai "blessing", sebab sekarang ini saya berdiri di hadapan Hadirin dan Undangan, dengan

mempunyai rasa percaya. diri yang lebih besar, meski pun tentu masih ada sedikit keraguan.

Saya kira, keragq~'n itu manusiawi, bayangkan kalau delapan tahun yang lalu, saya diminta untuk mengisi acara inC ':Jll.ungkin saja saya pingsan sebelum saya melangkahkan kaki ke mimbar ini.

Peda kesempatan ini pula, saya ingin mengucapkan terima kasih kepa9a Rekan Sejawat Ibu Bernadette Waluyo dan Bapak Johannes Gunawan, yang telah membantu memberikan pendapat bahwa tulisan ini layak dipresentasikan.

Hadirin yang saya 'muliakan,

Di mana pun, kapan pun dan oleh siapa pun, tidak ada hasil karya, cipta dan rasa ma.nusia yang sempuma, hanya Tuhan Yang Maha Esa yang maha sempurna. Demikian pula dengan tulisan yang sebentar lagi akan saya bacakan, tentunya ada saja kekurangan atau ada saja perbedaan pendapat yang mungkin tidak ber<enan di hati Hadirin sekalian, maka pada kesempatan ini, saya memin::a keikhlasan dari Hadirin yang mulia untuk mema'afkan kekurar.gan yang ada dan merrberikan pengertian atas perbedaan per.dapat yang tidak berkenan di hati Hadirin, untuk itu saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Hadirin yang terhormat,

Sampailah saya pzda inti dari Oratio Dies ini, yang akan sava paparkan dengan membaca teks yang ada di hadapan Hadirin seKaliar,.

Seperti diketahui beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal2S November 2000, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, lbu Khofifah Indar Parawangsa, telc.h rnencanangkan sebuah ikrar berskala nasional, untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan. Ikrar ini, tentunya bukan sembarang ikrar, karena kenyataan sejak masa lampau hingga sekarang ini, kekerasan te'rhadap perempuan bukannya semakin berkurang, tetapi cenderung men'ngkat dan demikan pula akibat dari kekerasan itu sp.mrlkin memperihatinkan.

Berbicara tentang kekerasan tcrhndop pcrempuun ukan selalu menjadi topik yang menarik, karena dapat terjadi pada siapa saja, eli mi::lna saja dan kapan saja, dan dapat dilakukan oleh pria mana pun'juga. Selain itu, kekerasan yang terjadi bukan hanya dalam bentuk kekerasan fisik, yang dengan sangat mudah dapat dilihat dan diketahui oleh orang lain, yang justru paling banyak terjadi adalah bentuk kekerasan psikis.

Kekerasan psikis ini sama kejamnya, kalau tidak meU dikatakan lebih kejam dari kekerasan fisik. Korb<1r1 biosanya sulit untuk mengungkapkan bentuk dan cara kekejaman yang terjadi.

Demikian pula, untuk membuktikan telah terjadi kekerasan psikis, luar biasa suli:nya dan kalau pun korban mengungkapkan telah terjadi kekerasan psikis, belum tentu ada yang mau mempercayainya.

(4)

Biasanya kekerasan psikis ini disepelekan oleh sebagian besar orang, bahkan hukum, termasuk aparat hukum, tjdak mengakui adanya kekerasan psikis. Lagi pula, hanya korban yang dapat merasakan atau menderita akibat kekerasan psikis, dan akibat yan~ diderita oleh korba1 adalah penderitaan psikis. yang jauh lebih sulit disembuhkan dib;mdingk;m dengan akibat kekerasan fisik.

Kekerasan yang dilakukan ol~h orang lairl, karena satu dan lain hal, baik oleh orang yang dikenal atau pun yang tidak dikenal, masih dapat dimengerti, tetapi kekerasan yang terjadi di dalam perkawinan, adalah hal yang sangat sulit dimengerti. Tidak dapat dipungkiri, lembaga perkawinan yang suci dan sakral bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, pada kenyataarnya dapat menimbulkan penderitaan baik fisik mau pun psikis terhadap perempuan

Seringkali disiarkan, baik di medi8. cet<lk <It<)u pun di media elektronik, tentang kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oIeh pria. Saya tidak berpreLerl~i bahwa hany" terjadi kekerasan terhadap perempuan dan .tidak seballknya, tetapi yang seringkali ditemui adalah keker"san terhadap perempuan dan karena :erlalu seringnya terjadi dan diberitakan, menyebabkan hel ini lebih menonjol daripada sebaliknya.

Kekerasan yang dilakukan oleh individu yang satu terhadap individu yang lain di dalam perkaw-nan, telah sangat banyak di:ulis dan didiskusikan. Timbul pertanyaan tentang apakah hanya manusia yang dapat menimbulkan kekerasan terhadap manusia lainnya? Apakah kaidah/norrna hLkum dapat menyebabkan te'jadi kekerasan psikis terhadap perempuan? Dalam arti, apakah ketentuan-ketentuan yang ada d dalam hukum, dapat menyebabkan penderitaan bagi perempuan?

Dengan pertimbangan keterbatasa:1 ruatlg dan waktu. maka tulisan ini hanya membahas tentang kaidah-kaidah hukum yang ada hubuf'gannya dengan perkawinan. Akan dibahas mengenai poligami, kedudukan suami istri dalam perkawinan, perceraian dan perkosaan dalam perkawinan.

Hadi-in yang terhormat,

Suatu kepercayaan yang diyakini oleh sebagian besar manusia di dunia, ·:)ahwa lahir, kawin dan mati adalah kodrat manusia. Perkawinan selalu membawa rarapan akan ke:)ahagian bagi para pihak yang terikat di dalam perkawinan dan tidak seora'lg·pun di dunia ini mengharapkan perkawinan akan membawa petaka dalam hidupnya. Namun daoat saja terjadi keadaan yakni hBrapan tidak sesua; dengan kenyataan.

Indonesia melalui Undang-undang No.1 tahun 74 tentang Perkawinan (UU No. 1174), memberikan definisi dari perkawinan yanf:l dicantLmkan di dalam Pasal1, yang berbunyi sebagai berikllt·

PerkaWindfJ adala/r ikdLim ia/r,'r balin Bnlard seorang pria dan seorang wan ita sebagai suami istri dengan tu)uan membentuk ke/uarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dilihat dari definisi tentang perkawinan yang tercantum di dalam Pa!'Oal1 ULJ No. 1174 itu, maka bagi masyarakat Indonesia yang terikat dalam perknwinon yong soh, perkawinan selain sebagai lembaga hukum (Iahiriah), juga adalah lembaga non hukum (batirliah). Bam.lingkafl dengan Hukum Perkawinan Belanda, melalui Pasal26 het Burgerlijk Wetboek 1838 & Pasal 30 het BW1992,

(5)

yang menentukan bahwa undang-undang memandang per<awinan hanya di dalam hubJngan perdata saja (lahiriahJ.

Perigal<uan bahwa perkawinan adalah juga lembaga non hukum diperkuat de:1gan diaturnya tentang sqhnYrl perbwinan melalui P;:I.<;aI7 UlHJo. 1174, <;p.hagai np.riklJt·

1~ Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing a9ama dan kepercayaannya itu.

2. Tiap-tiap pei:~awinan dicatat menwl.It peraturan perundang-undangan yang berlaku .

. ;.~

Penentuan ten1<3.ng sahnya perkawinan apabila dilaksanakan menurut masing-masing agama dan kepercayaan, m~nibawa konsekuensi perkawinan yang tidak dilangsungkan menurut .masing-masing agama dan.kepercayaannya bukan perkawinan yang sah dan tidak dapat dicatatkan

di kantor pencatat perkawina);"l.

Bahwa perkawinan di Indonesia juga mengandung kaidah-kaidah non hui(um dapat dilihat dengan ditetapkannya kewajiban non hukum menjadi kewajiban hukum pada Pasai 33 UU No.

1174 yang bunyinya:

Suami Istr; wajib saling dnta mencinta;, hormat rnenghormati, setia dan memberikan bantuan baik Jahir dan batin yang saW kepada yang lainnya.

Pt:ngdlurdrl Ji CildS leuill ut:rsifdl fJedOnldll r10r1 hukurn dibandingkan dengan pedornall hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa pengaturan yang bersifat non hukum mendapatkan tempat dalam UU No. 1174.

Selai~ bersifat lahiriah dan batiniah, berdasarkan pada definisi perkawinan Pasall UU No.

1174, perkawinan juga lembaga spiritual, karena undang-undang menentukan setiap ikatan perkawinan bl?rdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa

Dilihat dari uraian di atas, saya berpendapat bahwa wajar kiranya kalau para pihak yang terikat di dalam perkawinan yang sah, menghargai mitra kawinnya, bukan hanya secara lahiriah saja, melainkan juga secara batiniah dan spiritual.

Perkawinan sebagai lembaga hukum, membawa konsekuensi bahwa para pihak mempunyai kedudukan yang sama, mempunyai hak dan kewajiban yang timbal balik. Perkawinan sebagai lembaga non hukum, maka !embaga perkawinan meletakkan kewajiban bagi para pihak untuk saling m~nghormari, setia, tolong menolong. Perkawinan sebagai lembaga spiritual, membawa konse"kuensi bahwa suami istri dalam menjalankan kewajibannya untuk Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan menghayati nilai dnta kasih.

Hadirin y~ng mulia,

Perkawinan bagi setiap bangsa mempunyai artj tersendiri, namun pada umumnya di tahun pertama abad ke 21 ini, yang dinamakan dengan perkawinan adalah sebuah lembaga di mana di d.'ll<l.mny.'l terdapat hllbllngan ant<l.ra 5>eorang peremplJi'ln ni'ln seorang pri" llntuk mp.mbentllk keluarga (asas monogami).

Tentunya terdapat beberapa negara yang mengakui adanya perkawinan antarp. sea rang pria dengan banyak perempuan (poligini) atau bentuk perkawinan antara seorang

(6)

perempua'l dengan banyc.k pria (poliandrie). Menurut kepustakaan perkawinan poliandri hanya terdapat di beberapa daerah di kaki Pegunungan Hif'lalaya.

Pada waktu Undang-undang UU No. 1/74 tentarg Perkawinan dibentuk, para Pembentuk Undang undang bermaksud membentuk suatu undang-undang yang memberik"n fJeriind.Jngan hukulTl kepada oerempuan yang pada hukum perkawinan yang telah ad;;! scbclumnya, {Hukum Perkawinan Adat, Hukum Perkawinan Islam, Reglemen Perkawinan Campuran (ReglerrlentGemengde Huwelijkenl, Hukum Perkawinan di dalam KUHP, Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia (Huwelij<

Ordonnantie Christen indonesier)}, berada pada kedudukan yang tidak mengunt.Jngkan dan yang dipersoalkan antara lain tent"ng perceraian dan perkawinan pollgini. yang dlakukan oleh suami sccara semena-mena.

Ufluang-u'ld3Ilg No. 1/74 tentang Perkawinan melalui Pasal 3, meng<Jtur tentang as as perkawina"l yang diberlakukan di Indonesia yang berbunyi:

1. Pada asasnya da/am suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isrti. Seorang wanita hanYri n(),reh mempunyai seorang suami.

2. Pengadilan da,Dat memberi Uin kepada seorang suami untuk beristri leb.:h dari seorang apabila dikehendaki oIe1l pihak-pihak yang bersangkutan.

Undang-undang No. 1174 menganut asas monogami dan pemberlakuan asas poligini dengan pembatasan-pembatasan tertentu, dimaksudkan agar tidak dilakukan secara semena- men a, dalam arti apabila dikehendaki olf!h pihak-pihak yang bersangkutan, seorang suzmi boleh melangsungkan perkawin<ln kcdun dan seterusnya.

Pada kesempatan ini, tidak okan dipersoalkan tentang pro atau kontra asas perkawinan poligini yang ditentukan sebagai asas hukum oleh UU No.1/74, yang akan dipersoalkan dalam penulisan ini adalah mengenai ketentuan yang diharapkan akan rrenjadi pembatasan/hambatan bagi perkawinan poligini yang dilakukan secara semena-mena, yaitu tentang alasan/alasan-alasan untuk dapat dilangsungkannya perkawinan poligini seper:i dicantumkan pada Pasal4 ayat 2 UU No. '1/74, ternyata menjadi bumerang bogi bum perempuan, yang isinya berupa ketentuan yang mengandung kekerasan psikis terhadap perempUdll.

Pasal4 UU No. 1174 tentang Perkawinan, berbunYI sebagai berikut:

1. Da/am hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut da/am Pasal3 ayat 2 urdang-undang ini, maka ia wajib mengajlJkan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tin9ga/nya.

2. Pengadilan yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya rnernberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a. istri tidak dapat menja/anhm kewajibannya sebagai jstf!~'

b. istri mFmdapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.

(7)

Hadirin yang terhormat,

Ketiga alasan yang ditentukan di dalam Pasal4 ayat.2 UU No. 1/74, yang membolehkan scorong suomi.mcl.'lngsungkon pcrk<lwino.n yong keduo. d<ln seterusnyo., mengo.ndung mo.knz.: istri yang dala'm keadaan tidak mampu, atau fisik dan atau psikis (cacat, sa kit, mandul), harus ma!".!

meneri~a nasibnya untuk "dimadu" yaitu dengan menerima kehadiran perempuan lain di dalam 'Iembaga perkawinan.

Kalau istri tidak lTIau "dimadu", maka suami mempunyai hak pula untuk menceraikan istrinya, karena keadaan ·tstri yang termaktub dalam alasan a dan b di atas itu, dapat pula dipakai sebagai dasar untuk me~~~jukall perceraian (Pasa! 19 e PP No. 9/75).

Bukankah menent.uka.n syarat tentang ketidakmampuan perempuan dalam Undang- . undang, untuk dijadikan sebagai alasan bagi diperbolehkannya perkawinan poligini, termasuk

salah satu bentuk kekerasan psikis terhadap perempuan?

Saya berpendapat, ka1au pun asas poligini itu dipakai oleh UU No. 1174, dan alasan yang digunakan sebagai pembatasan/hambatan agar perkawinan po!igini tidak dilaksanakan secara semena-mena, jangan menggunakan ketidakmampuan perempuan sepert tercantum di dalam Pasal4 ayat 2 UU No. 1/74, sebagai alasan.

Syarat-syarat yang diajukan dalam PasalS UU No. 1174 menurut saya sudah lebih dari cukup untuk membatasi/menghambat keinginan seorang suami untuk mempunyai istri lebih dari seorang, yang bunyinya:

1. Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana Pasal 4 ayat 1 Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. adanya persetujuan dari istrilistri-istri;

b. adar;ya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri- istri dan anak-anak mereka;

c. adanya jaminan bahwa suami dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

2. Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak da/am perjanjian, atau apabila tidak ada kabar berita dari istrinya selama sekurang-kurangnya dua tahun, atau karena sebab-sebab lain yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadi/an.

Saya berpendapat biarkanlah perempuan (istri), baik yang mampu atau pun yang tidak mampu, -s'eperti dicantumkan dalam alasan Pasal4 ayat 2-, menggunakan haknya untuk memberi persetujuan seperti Pasal 5 ayat 1, tanpa perlu diatur tentang adanya hak pria (suami) yang mempunyai istri yang "tidak mampu", untuk boleh melangsungkan perkawinan kedua dan seterusnya.

Dengan perkataan lain, dengan membiarkan dicantumnya ketentuan Pasal 4 ayat 2 di dalam Undang-undang tcntang pcrk<lwinan, maka terdapat bentuk kckcrasan psikis tcrhadap perempuan, agar dapat menghapuskan kekerasan psikis terhadap perempuan, untuk itu ketentuan Pasal 4 ayat 2 harus dihapus.

(8)

Hadirin yang terhormat,

Perkawinan adalah lembaga hubungan, baik hubungan lahiriah, hubungan batiniah dan hubungan spiritual. Sebagaimana lazimnya lembaga hubungan, maka antara para pihak yang~

terikat di dalamnya mernpunyai hak dan kewajiban tertentu dan juga mempunyai kedudukan tertentu pula,

Undcng-undang No. 1/74 tentang Perkawinan melalui Pasal 31 menetapkan bahwa:

1. Hak dan kedudukan istri ada/ah seimbanq dengan hak dan kedudukan suami da/am kehidupan rumah tangga dan pergau/an hidup .bersama da/am masyarakat.

2. Masing-masing pihak berhak untuk me,lakukan perbuatan hukum.

3. Suami ada/ah kepa/a ke/uarqa dan istri ibu rumah tanqqa.

Pengertian seimbang dari Pasa! 31 ayat 1 UU No. 1174, adalah membedakan kedudukan antara suami dan istri, dalam arti tidak dalam kedudukan yang~. Arti kata seimbang yang diterapkan dalam hukum perlu diperdebatkan, sebab kata seimbang bukan kata yang biasa dipakai oleh hukum, hukum biasanya menggunakan kata sama atau timbal balik.

Pengertian seimbang sulit dijelaskan dalam hukum, dalam arti ukuran seimbang itu apa?

Sesuatu yang tidRk dRJ"lRt (sulit) diukur di dalam hukum m~nyebabkan ketidakpastian, sebab scimbang itu dapat diartikan sebagai: tidak sarna dan juga tidak tidak sarna.

Pasal33 Rancangan Undang-undang (RUU) tahun 1973 yang diajukan oleh remerintah cq Presiden pada tanggal 31 Juli tahun 1973, yang kemudian menjadi Pasal31 UU No. 1(74, menetapkan:

1. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami da/am kehidupan rumah tangga dan pergau/an hidup bersama da/am masyarakat;

2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.1 Penjelasan Pasal 33 RUU tentang Perkawinan memberikan penjelasan atas ayat 1, menyatakan:

Da/am masyarakat Indonesia yang berdasarkan Paneasi/a, dan menjunjung tinggi hak-hak azasi manus{a, maka kedudukan suami istri da/am masyarakat harus berdasarkan persamaan hak dan persamaan kewajiban.2

Direktorat JenderalI lukum dan Perundang-undangan, Departemen Kehakiman.

Sekitar Pembentukan Undang-undanq Perkawinan beserta peraturan pelahanaannya. Jakarta, 1975, hal.H.

2 Ibid., h,,137.

(9)

Perkembangan selanjutnya sehublJngan ada masukan cari seorang anggota OPR dari Fr aksi Persatuan Pembangunan yang berpendopat:

.Selanjutnya, keseimbangan hak dan keaudukan da/am rumah tangga dapat menimbu/kan a,"-ademisch debar, yang telah ber/angsur:g di mana-mana semenjak ber2tus tahun, yang akhirnya akan berkeslJdahan, bahwa tidakrnungkin da/am sebuah rumah tan9f:ja ada dua nakhoa'a. Salah ~qorang harus menjadi pemimpir"lnya. Sudah menjani pendapat umum, bahwa suami dianggap layak rmmjadi kepa/a keluarga, karena ia berkew<1jib;;rn mendri nafkah. PenentuYn ini hanya merupakan penunjukkan fungsionil, tanpa merrgurangi hak dan kedudukan ist.i.3 .

Kemudian pada draft perbaikan yang diajukan oleh pemerint,qh, Pasal33 RUU itu mengaiami perubahan derJ9<:l1l mendap'atkan tambahan 1 ayat .. menjodi Pasal 31 eyat 3, yaitu dengan ditetapkannya suami sebagai kepala kelucrga, karena adanya pendapat bahwd perkcwinan adalah sebuah kapal dan di dalam sebuah kapal tidak boleh ada dua nakhoda. Pendapat ini sudah sejak lama sekali ditinggalkan di negeri Belanda dari mana pendapat iLU oerasal.

Pendapat yang usang itu, bahkan diter2pkan di Indcnesia dalam UU No. 1/74 melalui

Pa~d131 ayat 3. Konsekuensi penentuan hukum bnhwLl suami adalah kepala keluarga, menyebabkar adanya kedudukan yang le:Jih tinggi dari suami sebagai kepala keluarga, dalam arti ke8dnon seimbang yang ditulis dalam Pasal 31 ayat 1 adalah kedudukan yang tidak sama

Impllkasi dari keten:uc:n yang menentukan suami adalah kepala keluarga menyebabkan istri berada di bawah <edurllJ·<an kepala keluarga, kedudukan suami yang lehih "t2S dari istri.

Budaya bangsa Indonesia yang mcmang sudah menempatkan perempuan di bawah ,(f!dudukan pria, d' dalam rumah tangga!'<eluarga diperjelas lagi dengan r:;engakuan sunmi adalah kepala keluarga.

Bukankah ini pun adalah salah satu bentuk kekerasan secara psikis terhadap perempuan dalam perkawin<'ln? Menurut pendapat saya, mengapa tidak dituliskan saja bahwa suami sebagai bapak rumnh tangga dan ibu sebagai ibu rumah tangga, deng<'ln pengertian bahwa suami akan berbuat seba!:lai bapak rumah tangga yang baik, yang okon berbuat sebaik-baiknya demi kepentingan istri dan anak-anaknya dan begitu pula istri akan berbual sebaik-baiknya untuk kepentingan suami dan anak-anaknya.

Knnstruksi hukum

se~erti

ini adalah bentuk yang dalam hukum lazim digunakan, tin:bc:1 bnlik. Tidak dengan menentukan suami sebagai kepala keIIJ<'lrga, yang berarti suami yang memimpin dan rnent;ntukan dan ibu harus berbuat sebaik-baiknYD untuk kepentingan suami dan anak-anaknya_

Dengan perkataan :ain, agar tidak terjadi kekerasan psikis terhadap perempuan di dalam perkawinan, maka Pasal31 UU No. 1174 harus diamandemen.

3 Ibid hall11

(10)

Hadirin yang terhormat,

Setiap perkawinan suatu ketika pasti akan putus, putus karena kematian atau putus karena perceraian. Putusnya perkawinan yang paling sering terjadi karena salah satu pihak meninggal dunia, sehingga dengan tidak adanya salah satu oihak maka perkawinan putus.

Seperti disebutkan di atas, terdapat pula keadaan di mana perkawinan putus karena perceraian. Pada keadaan ini, maka akibat dari putusnya perkawinan adalah tidak adanya kewajiban untuk tinggal bersama dan juga tidak terbentuk lagi harta bersama.

Meski pun perkawinan putus karena perceraian, masih terdapat beberapa kewajiban yang tidak hUang, seperti antara Jain kewajiban untuk memelihara dan mendic:lik <'In<'lk y<l.ng 12hir dari perkawinan, kewajiban memberikan tunjangan nafkah kepad<J istri.

Tidak seorang pun pada dasarnya menginginkan putusnya perkawinan karena perceraian, tetapi karena satu dan lain hal, kadang-kadang perceraian tidak dapat dihindarkan. Undang- undang menetapkan ikut campurnya pengadilan dalam memberikan keputusan apakah cukup dasar untuk putusnya perkawinan karena perceraian

Mengenai percemian yang scringkali dilakukan oleh pihak suami secara semena-mena, UU No. 1/74 menentukan tentang dipersulilflya perceraian yang harus dilakukan melalui tUfUt campurnya pengadllan. Namun sayangnya, PP No. 9/75 melalui Pasal14, menentukan adanya hak talak seorang suami dengan mempermudah prosedur perceraian dengan hanya mewajibkan seorang suami memberitahukan pengadilan bahwa dia bermaksud menceraikan istrinya dan meminta pengadilan memeriksa keabsahan dasar perceraiannya.

Pengadilan akan mempelajari isi surat yang bersangkutan dan dalam waktu selambat- lambatnya 30 hari memanggfl pengfrim surat dan juga istrinya untuk meminta penjelasan tentang segal a sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu. Kemudian pengadilan memutuskan . mengadakan sidang pengadilan "hanya" untuk menyaksikan perceraian, apabila memang terdapat alasan-alasan perceraian yang ditetapkan oIeh undang-undang dan terdapat pula penn.'lp.'lt b.'lhw.'l antara suami istri mung kin dapat didamaikan lagi untuk hidup rukun IDgi dnlam rumah tangga.

Setelah Pengadilan menyaksikan perceraian yang dimaksud, lalu Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian dan mengirimkan surat keterangan itu ke Pegawai Pencatat Perceraian untuk dilakukan Pencatatan Perceraian.

Maksud dari pembuat Undang-undang memperslJlit terjadinya perceraian yang semena- mena tidak berhasil yaitu dengan kemudDhnn yang diberikan kepada suami yang hanya perlu memberitahukan maksudnya untuk menceraikan istrinya.

Pemberian hak kepada suami ini oleh perundang-undangan, mengakibatkan juga kekerasan psikis terhadap perempuan. Dalam praktek seringkali dijumpai bahwa hak ini dipergunakan secara semena-mena Dieh pihak suami, tanpa kehadiran istri di pengadilan, perkawinan putus begitu saja karena percemian, mantan istri harus meninggalkan tempat kediaman bersama, tanpa ditetapkan adanya tunjangan nafkah atau aua perTlbagian harta gono-gini.

Menurut penu[is, pemberian hak kepada pihak suami yang berbeda dengan istri dalam pengajuan perceraian adalah juga kekerasan psikis terhadap perempuan, sebab hak itu menimbulkan kemudahan bagi suami yang mau menceraikan istrinya dengan hanya memberitahukan kepada pengadilan tentang niatnya memutuskan perkawinan. Sedangkan pihak istri kalau bemiat memutuskan perkawinan harus melalui proses pengajuan gugatan cerai.

(11)

Selain tentang perbedaan dalam pengajua:1 gugatan, terdapat pula satu ketentuan dalam Pasal19 pp No. 9/75 yang menyebabkan kekerasan dalam Hukum Perkawinan yang sedikit telah dh;inggung di .atas, yaitu tentang dasar perceraia"n ayat e, yang bunyinya:

• Salah satu pihak menderita cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dopot menjalankan kewajiban sebagai suami/istri.

Ketentuan ini m~~berikan peluang kepada suami untuk menceraikan istrinya yang tidak mampu menjalankan k€~)ibannya.

Hadirifl ya:19 terhorlllat,

Salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang juga di Indonesia sarnpdi :So at ini masih menjadi perbedaaan 6endapat adalah tentang perkosaan dalam perkawinan. Sebagian anggota DPR RI (pada waktu rancangan tentang akan dimasukkannya perkosaan dalam perkawinan di dalam Hukum "Pidanal berpendapat bahwa di dalam perkawinan tidak ada perkosaan, se~ab aeanya kewajiban (non hukum -ag<:lma dan budaya-l dad istri untuk melayani suaminya dalam bidang seksual.

t"endapat dari beberapa ang9'ot2 DPR RI yang terhormat itu, menimb~lkan penafsiran sebagai berikut karena adanya kewa:iban (non hukum) dari istri untuk melayani. suaml kapan saja, apabila istri tidak memenuhi kewajiban (non hukum) melayani kehendak suami, maka memberikan hak (hukuml '<epada suami untuk memperkma istrinya.

Dengan perkataan lain, kewajiban (non hukum) istri melayani suaTY'i, menjadi hak (hukuml suami untuk dilayani, jadi tidak ada ka1a poofkosaa, dalam perkaw:nan. Ironis dan naif sekali para pria ini, kalau bersembunyi pada ketentuan nor hukum tentang adanya kewajiban dari i5tri untL:k melayani suami dan memberikan pembenaran adanya hak (hukum) kepada suami untuk memperko5a istri yang tidak bersedia melayani kehendaknya.

Pada kenyataannya, sampai saat ini jangankan mengadukan pemerkosaan suami terhadap islri ke pengadilan, memb:carakan deng<:ln pihnk lain saja jarang terjadi. Kalau pun diatur di dalam hukum, maka beberapa pertimbangan yang rmmyebabkan istri korban perkosaan suami, tidak mau mengaj'Jkan pengaduan, antara lain:

'II) mengadukan suami ke polisi/pihak ketiga, sama saja dengan membuka aib keluarga;

.. menjalani proses pembuatan berita acara pengaduan telah diperkma oleh suami di kepolisian dengan mengulang menceritakan kejadian bukan perbu<:lt<ln y<1n9 mudah;

.. menjalani pemeriksaan fisik untuk membuktikan telah terjadi perkosaan ole:, suami, meski pun dilakukan oleh dokIer yang juga perempuan, bukan situasi yang mudah dan jauh dari menyenangkan.

Memberikan peng",kuan bahwa ada perkosaan dalam perkawinan, setidaknya telah memperhatikan hak asasi perempuan yaitu hak untuk menentukan diri sendiri dalam bidang hubungan suami istri. Karena setiap pelanggaran atas hak asasi adalah perbualan rne\anggar hukum yang dapat dikenakan sal!ksi pidana.

(12)

Selain itu, dengan diaturnya hal itu di dalam Hukum Pidana berarti memberikan peringatan kepadCi suami, bCihwa :Jukan kewajiban (hukum) istri melayani suami, tetapi ada hak istri untuk menentukan diri sendiri. Dapat ditambahkan pula, bahwa dalam hubungan suami istri, perlu diakui adanya kebebasan istri untuk menentukan menyaTakan kehendak.

Saya berpendapat, perkosaan di dalam perkawinan perlu diatur di dalam perundang- undangan, sebab dengan tidak diaturnya tentang perkosaan dalam pe~kawinan, maka terjadi kekerasan psikis terhadap perempuan, menimbulkan ketaku~an kepada perempuan untuk berani menolak melayani kehenda.< suami, sebab kalau tidak dilayani suami dapat saja memaksakan kehencak. dan tanpa ada sanksi.

Hallainnya, karena tidak diakuinya perkosaan dalam perkawinan, maka istri yang diperkosa tidak dapat mellgadukan terjadi perkosaan itu ke pihak yang berwenang, paling ja:Jh hanya dapat diadukan sebagai penganiayaan.

Pengaduan telah terjadi penganiayaan pun sulit dilaksanakan karena, biasanya pihak kepolisian enggan untuk meninda<lanjuti pengaduan ini. Selain itu, hukuman untuk penganiayaan lebih sedikit dari hukuman bagi perkosaan.

Hadirin yang terhormat,

Setelah mempahas tentang bebera:Ja hal yang diatur oleh peru'ldang-undangan yang menyebabkan kekerasan terhadzp perempuan dalam perkawinan, maka sampailah saya pada kesimpulan.

") Bahwa bukan hanya individu yang dapat menyebabk2n kekerasan terha.dap perempuan, peraturan perundang-undc:ngan pun dapat menyebabkan kekerasan secara psikis terhadap perempuan di dalam perkawinan, dalam arti menimbLlkan penderitaan psikis.

• Bahwa dengan ditetapkannya ketidakmampuan istri dalam Pasal 4 Ayat 2 UU No. 1/74 sebagai syarat diperbolehkannya suami beristri lebih dari satu, telah terjadi kekeras2n secara psikis terhadap perempuan.

• Bahwa Pasal31 UU No. 1/74 menetapkan kedudukan suami istri seimbang, dengan suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga, te:ah menyebabkan terjadinya kekerasan secara psikis terhadap perempuan.

" Bahwa memberikan/mengakLi hak istimewa suami yang beragama Islam melalui Pasal14 PP No. 9/75 dalam proses perceraian, telah mengakibatkan kekerasan secara 'psikis terhadap perempuan.

") Gahwa dengan tidak akan diatur:nya perkosaan dalam perkawinan di dalam Hukum Pidana telah mengakibatkan terjadinya kekerasan secara psikis terhadap perempua'l.

Agar kekerasan psikis terhadap perempuan yang te~adi disebabkan oleh perundangan- undangan dapat hapus, maka disarankan

.. Agar dilakukan penghapusan, perubaharl, perlarnbahan beberapa pasal dalarn perundangan- undangon pada Jmumnya, khususnya dalam perundang-undangan perkawinan sepertl antara lain Pasal4 ayat2, Pasal31 ayat 1 dan 3 UU No. 1/74, Pasal14 sid 18 PP No. 9/75, Pasal19 ayat e PP No. 9/75;

(13)

... agar diakui tentang adanya perkosaan eli dalam perkawinan dan perlu diatur tentang dapat dipidananya pelaku perkosaan di dalam pcrkawinan;

.. agar Menteri Pemberdayaan Perempuan, mernberikan perhatian kepada akar dari permasalahan terjPd'rnya kekerasan psikis dalam perkawinan yang diakibatkan oleh peraturan itu sendiri, dan sege~a mengajukan usul perubahan;

... agar untukjangka parjang, LJU No.1174dan PP No. 9175 periu aiperbaiki dan diganti dengan peraturan perundnng:.l:Indangan yang baru yang lebih baik dengan memperhatikan kepenfngan perempuan, karena oangsa akdfllllenjadi besar dan sehat, kalau perempuan yang mcmcgang peranan penting dal~h1 mendidk generasi muda tidak berada dalam keadaan menderiLd baik fisik mau pun psikis. .

H<Jdirin y2.ng saya muliakan,

Pdda akhir dari orati~ ini, terima kasih saya ucapkan atas pcrhat:an dan kesabaran yang diberikan dengan mendengarkan papa ran yang baru saja saya bacakan. Dengelf'. Puji dan syukur atas kasihNya, saya tutup Orasi Dies Universitas Katolik Parahyangan ke 46 ini dengan kalirrat' S2.ya telah mengemuk2.kan pendapat saya.

Salam sejah:era.

Bandung, 20 Januari 2001 Dr. Wila Chandrawila Supriadi, S.H.

(14)

CURRICULUM VITAE

Nama Lahir

Wila Chandrawila Supriadi Jatinegara, 22 September 1944.

Riwayat pendidikan

,. Sekolah Menengah Ala::; di SMAK Pintu Air 11, Jakarta tahun 1963.

• Kuliah di Fakultas Tehnik Sipil Unpar dari tahun 1963-1967.

• Kuliah di Fakultas L-i':lkum Un par angkatan 1979, di wisucla pada bulan April "1985.

,. Memperclalam Hukum Kesehatan di Negeri Belanda dari Juli-Desember 1985 di bawah Bimbingan Prof. Mr. W.B. van clef Mijn.

• 1987 melanjutkan Studi 53 di Erasmus Universiteit Rotterdam dan selesai November 1991, di bawah promotor Prof. Or. G.P. Hoefnagels. Mef)ulis desertasi tentang Huku!"!, Per~awinan Belanda dan Indonesia.

Riwayat pekerjaan di Unpar

• Bekerja di Fakultas Hukum Unpar sejak 1 Febuari -1986 sompni scknrang.

• 1992 - 1995 Kepala Pusat 5tudi Hukum

.. 1995 -1997 Koordinator Bagian Hukum dan masyarakat

• 1997 - 2000 Kepala UPT Perpustakaan

~ 2000- 5ekretaris ProgrClm Magister dan Doktor I1mu Hukum

Riwayat Organisasi

• 1986 - 1989 Pengurus Perhuki cabang Bandung

• 1993 -1996 Pengurus Perhuki cabang Bandung

• 1996 - Wakil Ketua Perhuki cabang Bandung Pengajaran

.. Mengajar di 51 dan 53 Unpar

• Mengajar di 5ekolah Ting9i IImu Administrasi LAN .. Mengajar di S1 Universitas Kristen Maranatha

Penelitian dan penulisan

• Melakukan beberapa Penelitian Hukum baik normatif mau pun sosiologis, dan aktif menulis artikel di surat kabar dan majalah hukum dalam dan luar negeri.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dalam kaitan ini Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan

Selain itu, definisi perkawinan juga bisa dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yakni Undang- undang Republik Indonesia nomor 1

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa hukum perkawinan dalam masyarakat di Indonesia, bukan hanya persoalan sah dan tidaknya suatu perkawinan menurut agama dan

data sekunder, digunakan untuk menganalisis berbagai peraturan perundang- undangan dibidang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), perlindungan perempuan, buku-buku yang

Pencatatan perkawinan dalam pelaksanannya diatur dalam Bab II pasal 2 PP No. 9 tahun 1975, yaitu pencatatan perkawinan dari mereka melangsungkannya menurut Agama Islam dilakukan

Meskipun masalah perkawinan telah diatur secara baik di dalam agama yang diimplentasikan dalam KHI maupun peraturan perundang- undangan yang berlaku di Indonesia,

Perkawinan yang sah harus dicatat menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku hal ini diatur di dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Sekali lagi, menurut pendapat peneliti cara penyelesaian kasus kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga seperti yang terdapat pada ketentuan peraturan