• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA BADAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM RANGKA PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI SUMATERA BARAT ARTIKEL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "UPAYA BADAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM RANGKA PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI SUMATERA BARAT ARTIKEL"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA BADAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM RANGKA

PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI SUMATERA BARAT

ARTIKEL

Oleh:

RIDHO AFRIANEDY NPM. 1310018412025

(2)

UPAYA BADAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM RANGKA PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI SUMATERA BARAT

Ridho Afrianedy, Sofyan Mukhtar, Uning Pratimaratri

Program Pascasarjana, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Bung Hatta e-mail:afrianedy@yahoo.com,pratimaratri2003@yahoo.com

Abstrak

(3)

EFFORTS TO EMPOWER WOMEN BODIES IN ORDER TO ELIMINATION OF VIOLENCE IN HOUSEHOLD IN WEST SUMATRA

Ridho Afrianedy, Sofyan Mukhtar, Uning Pratimaratri Program Master of Law, Bung Hatta University Graduate Program

e-mail:afrianedy@yahoo.com, pratimaratri2003@yahoo.com ABSTRACT

Based on West Sumatra Governor Regulation No. 93 Year 2009, the Women's Empowerment Agency of West Sumatra province has a fundamental duty and function, including providing protection of women from domestic violence (domestic violence). Cases of domestic violence in West Sumatra in 2012 based on data from the Women's Empowerment in 2012 as many as 225 cases in 2013 increased dramatically as many as 373 cases. This has become a serious problem in implementing protection programs for women. The formulation of the problem: (1) What's Empowerment Agency's efforts for the elimination of domestic violence in West Sumatra? 2. What are the obstacles of Women Empowerment in the context of the elimination of domestic violence in West Sumatra ?. This study using sociological juridical approach. Data used include primary data and secondary data. Data were collected by interview and document study. Data were analyzed qualitatively. Results of the study: (1) Empowerment Agency of West Sumatra has made efforts to eliminate domestic violence, to empower women economically to avoid poverty. Economic factors are the dominant factors triggering violence. Then the socialization and cooperation with relevant agencies. (2) Barriers in eradicating domestic violence is still lack of involvement of NGOs and the business community through corporate social responsibility in the empowerment of women, and victims of domestic violence tend to be closed so difficult to unfold, as well as community participation in the elimination of domestic violence is also low.

Keywords: Violence, Household, Empowerment, Women.

A. Pendahuluan

Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan bahwa pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas

pembantuan. Pasal 18A ayat (1) menjelaskan bahwa hubungan wewenang

antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,

diatur dengan undang-undang dengan memerhatikan kekhususan dan keragaman daerah.

Kebijakan Pemerintah Pusat dalam bidang hukum untuk mengatasi pelanggaran hak asasi dan kekerasan dalam rumah tangga telah mensahkan Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sebagai tindak lanjut

(4)

Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sehingga dalam tataran praktis baik di tingkat pemerintah pusat yaitu Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Anak ada koordinasi serta kerjasama dengan pemerintah daerah dalam memberikan perlindungan hukum bagi perempuan dan anak.

Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 18 ayat (6) dan Pasal 18A ayat (1)

Undang-Undang Dasar Negara Indonesia serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Sumatera Barat telah mensahkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis Daerah Provinsi Sumatera Barat. Dari Peraturan Daerah ini lahirlah Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi Sumatera Barat, yang mana sebelumnya berbentuk Biro

Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Barat.

Keberadaan dan eksistensi Badan Pemberdayaan Perempuan Provinsi Sumatera Barat semakin kokoh dengan disahkannya Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 93 Tahun 2009 tentang Rincian Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi Sumatera Barat, dan selanjutnya disusul dengan Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor

62 Tahun 2010 tentang Uraian Jabatan Pada Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi Sumatera Barat.

(5)

Pemberdayaan Perempuan mempunyai fungsi sebagai berikut:

1. Perumusan kebijakan teknis di bidang pemberdayaan perempuan dan keluarga berencana.

2. Pelayanan penunjang

penyelenggaraan pemerintahan provinsi di bidang pemberdayaan perempuan dan keluarga berencana. 3. Pemberian dukungan atas

penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang pemberdayaan perempuan dan keluarga berencana. 4. Pelaksanaan tugas lain yang

diberikan oleh pimpinan.

Berdasarkan ketentuan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis Daerah Provinsi Sumatera Barat, susunan struktur organisasi Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana

Provinsi Sumatera Barat terdiri dari Kepala, Sekretariat dan 4 Bidang yaitu bidang Data dan Informasi, bidang Pengarusutamaan Gender, bidang Perlindungan Perempuan dan Anak, bidang Keluarga Berencana. Dan dari 4 bidang yang ada, penulis lebih menfokuskan penelitian pada bidang perlindungan perempuan.

Pada tahun 2013 telah disahkan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 5 Tahun 2013 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak, ini berarti 5 tahun

setelah dibentuknya Badan Pemberdayaan Perempuan dan 9 tahun sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan di wilayah Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2012 berdasarkan data dari Badan Pemberdayaan Perempuan yang disampaikan oleh Gubernur Sumbar dan dimuat beritanya dalam media online (www.kabarpadang.com) pada tahun 2012

sebanyak 225 kasus, pada tahun 2013 meningkat drastis sebanyak 373 kasus. Hal ini menjadi masalah serius bagi pemerintahan daerah Provinsi Sumatera melalui Badan Pemberdayaan Perempuan Sumatera Barat dalam melaksanakan program perlindungan bagi perempuan dari tindakan kekerasan dengan indikator kinerja yaitu menurunnya tingkat kekerasan terhadap perempuan.

(6)

saudara kandung baik laki-laki maupun perempuan.

Rumah tangga sebagai lembaga terkecil dalam masyarakat merupakan pondasi dasar dalam mewujudkan masyarakat yang aman dan harmonis. Sehingga tidak mengherankan banyak pihak mengatakan rumah tangga merupakan awal menuju bangsa yang madani. Maka dalam membentuk rumah tangga yang harmonis dimulai dengan mencari pasangan (suami atau istri) baik pria maupun wanita untuk

mewujudkan keluarga (rumah tangga) yang kekal bahagia dan kekal sebagaimana termuat dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dalam konteks ini, penulis akan berupaya untuk membahas tentang upaya Badan Pemberdayaan Perempuan Dalam Penghapusan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) di Sumatera Barat.

B. Rumusan Permasalahan.

1. Bagaimana upaya Badan Pemberdayaan Perempuan dalam rangka penghapusan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) di Sumatera Barat?

2. Hambatan-hambatan apa saja yang ditemui oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dalam rangka

penghapusan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) di Sumatera Barat?

C. Metode Penelitian. 1. Metode Pendekatan.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah metode pendekatan yang yuridis empiris. Data yang diperoleh berpedoman pada segi-segi yuridis juga berpedoman pada segi-segi-segi-segi empiris yang digunakan sebagai alat bantu. Pendekatan yuridis mempergunakan sumber

data sekunder, digunakan untuk menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan dibidang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), perlindungan perempuan, buku-buku yang berkaitan dengan perlindungan perempuan, peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan Badan pemberdayaan Perempuan serta artikel-artikel yang mempunyai korelasi dan relevan dengan permasalahan yang akan diteliti, sedangkan pendekatan empiris mempergunakan sumber data primer, untuk menganalisis hukum yang dilihat dalam praktik masyarakat Sumatera Barat dan peran Badan Pemberdayaan Perempuan serta keterlibatan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dalam rangka penghapusan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).

(7)

Disini penulis dalam melakukan penelitian lebih mengedepankan penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Dikatakan deskriptif, karena penelitian ini diharapkan mampu memberi gambaran rinci, sistematis dan menyeluruh mengenai segala hal yang berhubungan dengan Badan Pemberdayaan Perempuan dalam rangka penghapusan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Istilah analisis mengandung makna menghubungkan, membandingkan dan memberi makna terhadap peran Badan

Pemberdayaan Perempuan dalam rangka penghapusan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) di Sumatera Barat.

3. Lokasi/Wilayah Penelitian.

Untuk melakukan suatu penelitian tentunya diperlukan wilayah tertentu sebagai lokasi untuk diteliti. Dalam penelitian ini ditentukan Provinsi Sumatera Barat sebagai wilayah penelitian, dengan pertimbangan bahwa Sumatera Barat merupakan provinsi identik dengan masyarakat minangkabau yang kuat akar budaya, agama serta adatnya dan perempuan mempunyai posisi dan kedudukan tersendiri yang lebih dikenal dengan sebutanbundo kanduang.

4. Jenis Data.

Jenis data yang penulis dapat bersumber pada dua hal yaitu:

a. Data Primer, yaitu suatu data yang didapatkan dari hasil penelitian lapangan yang diperoleh secara langsung dari narasumber, yang digunakan meliputi Hasil wawancara terhadap informan:

a) Drs. Ifrah, M. Pd, Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Sumatera Barat.

b) Eri Widiastuti, S. Sos, Kasubid Perlindungan

Perempuan Badan

Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi Sumatera Barat. c) Kompol Evi Maria, SH,

Kanit II Subdit IV PPA Reskrimum Polda Sumatera Barat.

d) Fitri Ermita, Kanit PPA Polres Padang.

e) Siswatmono Radiantoro, SH, Humas Pengadilan Negeri Padang.

(8)

g) Dr. Rika Susanti, Sp. F, Kepala SMF Forensik RSUP DR. M. Djamil Padang. h) Rahmi Meri Yenti, S. Sos,

Koordinator Divisi Pendampingan LSM Nurani Perempuan Padang.

b. Data Sekunder, yaitu suatu data yang didapatkan dari hasil penelitian pustaka di tempat penelitian, sumber data sekunder penulis sebagai berikut:

1. Database Badan

Pemberdayaan Perempuan Sumatera Barat.

2. Database Laporan

Pengaduan ke Kepolisian Resor Padang.

3. Database laporan perkara pidana KDRT di Pengadilan Negeri Padang.

4. Database laporan perkara perceraian karena KDRT di Pengadilan Agama Padang. 5. Database LSM Nurani

Perempuan Kota Padang. 6. Database laporan permintaan

visum et repertum di Rumah Sakit M. Djamil Padang.

5. Metode dan Alat Pengumpulan Data.

Metode yang penulis gunakan dalam mengumpulkan data sebagai berikut:

a. Wawancara, sangat berperan dalam pengumpulan data primer di lapangan, karena metode ini langsung berhubungan dengan informan dengan teknik tatap muka.

b. Studi dokumen, penulis mengumpulkan data yang bersumber dari laporan teknis

Badan Pemberdayaan

Perempuan, laporan data LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat),

koran, majalah yang

memberitakan tentang Sumatera Barat yang berkaitan dengan tindakan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).

Alat yang digunakan dalam pegumpulan data ini adalah tape recorder yang berfungsi untuk merekam dari awal wawancara dengan informan hingga selesai, kemudian kamera untuk menfoto data-data yang dianggap penting dan berhubungan dengan judul tesis, biasanya data tabel.

6. Pengolahan Data dan Analisis Data.

(9)

penelitian ini dilakukan secara kualitatif yaitu dari data yang diperoleh kemudian disusun secara sistimatis kemudian dianalisa secara kualitatif untuk mencapai kejelasan terhadap masalah yang akan dibahas. Analisis data kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptis analisis yaitu apa yang dinyatakan oleh informan secara tertulis atau lisan.

A. Upaya Badan Pemberdayaan

Perempuan Dalam Rangka

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Di Sumatera Barat.

Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi Sumatera pada awalnya berbentuk Biro dibawah Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Barat, kemudian berbentuk Badan berdasarkan amanat Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis Daerah Provinsi Sumatera Barat.

Perubahan bentuk dari biro ke badan merupakan tuntutan organisasi serta meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan, maka harus dikembangkan menjadi sebuah SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) Provinsi Sumatera

Barat. (Wawancara dengan Ifrah, Kabid. Perlindungan Perempuan dan Anak Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Prov. Sumbar).

Peningkatan terjadinya kasus KDRT disebabkan oleh beberapa faktor yang menjadi akar permasalahan (Wawancara dengan Eri Widiastuti, Kasubbid. Perlindungan Perempuan Badan Pemberdayaan

Perempuan dan Keluarga Berencana Prov.

Sumbar), yaitu:

1. Media komunikasi yang tidak terkontrol dalam menampilkan

tayangan kekerasan secara vulgar sehingga merusak moral dan tatanan

rumah tangga. Gambaran kekerasan yang tampil di media massa terutama televisi setiap harinya akan membuat pandangan dan persepsi bahwa kekerasan itu suatu hal yang biasa terjadi dan bisa dimaklumi. Pandangan ini tentu membuat terjadinya kekerasan itu semakin meningkat. 2. Kurangnya pendidikan agama di

(10)

berujung pada tindakan kekerasan salah satu anggota keluarga pada anggota keluarga lainnya. Padahal ajaran agama melarang tindakan aniaya dan zalim pada orang lain. 3. Faktor kemiskinan. Tuntutan hidup

secara ekonomi dari waktu ke waktu terus tinggi, hal ini akan mempengaruhi hubungan antar anggota keluarga, terutama antara suami dan istri termasuk anak, apalagi semua anggota keluarga bergantung

pada satu orang sebagai pencari nafkah yaitu suami, apabila salah satu pihak meminta sesuatu yang bernilai uang yang mana suami tidak bisa memenuhinya dan permintaan itu terus menerus diajukan, maka suami berpotensi menjadi marah dan berujung pada tindakan kekerasan, apalagi kalau suami istri tersebut mempunyai anak yang banyak sehingga tuntutan nafkah juga semakin besar.

4. Faktor tingkat pendidikan dan status sosial yang rendah. Pendidikan seseorang yang rendah pada awalnya disebabkan permasalahan kemiskinan. Sehingga sikap dan pola pandang dalam menyikapi setiap permasalahan dan pertengkaran yang terjadi rumah

tangganya tidak melihat sisi kedepannya akan berdampak buruk bagi kelangsungan rumah tangganya apalagi pertengkaran yang disertai adanya kekerasan fisik, karena seringkali terjadinya kekerasan fisik didahului kekerasan verbal berupa kata-kata cacian, umpatan, hinaan dan kata-kata kasar lainnya.

Badan pemberdayaan Perempuan berfungsi untuk pembinaan, pengendalian dan perlindungan, namun untuk penanganan

kasus diselenggarakan oleh P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak), oleh karena itu apabila ada korban KDRT datang langsung ke Badan Pemberdayaan Perempuan maka Badan Pemberdayaan Perempuan melimpahkannya ke P2TP2A dan Badan Pemberdayaan perempuan akan memonitor kasus tersebut. (Wawancara dengan Ifrah, Kabid. Perlindungan Perempuan dan Anak Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Prov. Sumbar).

(11)

1. Secara yuridis, Badan Pemberdayaan Perempuan Provinsi Sumatera Barat telah berhasil dalam pensahan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 5 Tahun 2013 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak oleh DPRD Provinsi Sumatera Barat. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2013 menjadi dasar hukum dalam melakukan penindakan kepada pelaku serta memberikan perlindungan hukum bagi korban kekerasan

terhadap perempuan termasuk dalam kasus KDRT di wilayah Provinsi Sumatera Barat.

2. Badan Pemberdayaan Perempuan telah menjalin kerjasama dengan FORKOMPIDA (Forum Komunikasi Pimpinan Daerah) termasuk pihak kepolisian dan pengadilan dalam bidang perlindungan hukum terhadap perempuan dari tindakan kekerasan. 3. Badan Pemberdayaan Perempuan

melalui Gubernur Sumatera Barat telah membentuk forum bersama untuk perlindungan perempuan dengan 10 provinsi lainnya di Pulau Sumatera. Forum ini sebagai koordinator antar provinsi untuk penanganan kasus-kasus antar provinsi. Dan setiap tahun

dilaksanakan rapat koordinasi tingkat gubernur.

4. Penguatan kelembagaan dalam rangka perlindungan terhadap perempuan dari tindakan kekerasan dengan membentuk P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak) dibawah naungan provinsi dan setiap kota dan kabupaten di Sumatera Barat telah dibentuk P2TP2A. Sehingga P2TP2A bisa menjalin koordinasi dengan pihak

kepolisian terhadap setiap kasus kekerasan yang terjadi termasuk KDRT dan pendataannya selalu dilaporkan ke Badan Pemberdayaan Perempuan.

5. Melibatkan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dalam rangka perlindungan perempuan dan anak dari tindakan kekerasan termasuk KDRT, diantaranya dengan LSM Nurani Perempuan dan LSM lainnya. 6. Penguatan koordinasi antara P2TP2A

(12)

7. Mengadakan beberapa kegiatan dan sosialisasi kepada wali nagari sebagai pemerintahan terendah mengenai kekerasan termasuk KDRT serta sosialisasi pada setiap ada pertemuan dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama. Diharapkan dengan sosialisasi tersebut masyarakat semakin tahu mengenai hak-hak korban dan kemana mereka akan melapor jika terjadi tindakan kekerasan serta penyelesaiannya baik melalui proses

mediasi maupun jalur hukum di kepolisian dan pengadilan.

8. Memberdayakan perempuan yang hanya menggantungkan nafkah kehidupannya pada suaminya sebagai pencari nafkah dengan mengadakan pelatihan, keterampilan dan pengenalan pada dunia usaha untuk peningkatan kualitas kehidupan, diantaranya keterampilan menjahit, pelatihan ESQ dan lain-lain.

9. Menguatkan kerjasama kemitraan dengan beberapa instansi untuk mengadakan beberapa kegiatan, diantaranya dengan Dinas Kelautan dan Perikanan dalam bentuk program kegiatan untuk perempuan di daerah-daerah pesisir, istri-istri nelayan dalam pengelolaan hasil laut, dengan

Dinas Kehutanan dalam bentuk program pembudayaan jamur tiram, dengan Dinas Pertanian dalam bentuk budidaya tanaman bunga untuk perempuan pencari nafkah karena janda atau suami tidak mampu dan perempuan sebagai kepala keluarga, dengan SKPD lainnya Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Perkebunan untuk meningkatkan produktifitas perempuan dan mengentaskan kemiskinan, dan

membentuk Nagari Prima bertujuan agar perempuan sebagai motor penggerak.

10. Mengadakan pelatihan SDM dalam bidang pelayanan dan pendampingan korban kekerasan termasuk KDRT, pelatihan advokasi bagi wali nagari dan tim penggerak PKK di Nagari serta sosialisasi KDRT untuk pasangan pra nikah.

Pada tahun 2015, ada beberapa kegiatan yang telah dilakukan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dalam rangka memberdayakan perempuan agar terhindar dari kemiskinan sebagai faktor utama terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, yaitu:

(13)

keluarga, kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 7 8 April 2015 dan diikuti oleh 30 orang peserta. Para peserta merupakan perempuan yang juga sebagai kepala rumah tangga, baik karena di tinggal mati oleh suaminya maupun akibat perceraian, sehingga secara sosiologis status mereka menjadi kepala rumah tangga yang harus membiayai hidup pribadi,

anak-anak serta keluarga lainnya yang tinggal satu rumah dengan mereka.

2. Pelatihan keterampilan bagi wanita penyandang disabilitas, kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 20 21 Mei 2015 dan diikuti oleh 30 orang peserta. Para peserta merupakan

perempuan penyandang

disabilitas yang sangat rentan dengan kemiskinan karena keterbatasan fisik, sehingga

memberdayakan mereka

diharapkan agar dapat meningkatkan keterampilan yang dimiliki dan bermanfaat bagi diri sendiri dan keluarga mereka demi kesejahteraan masa depan.

3. Pelatihan produktivitas ekonomi perempuan putus sekolah, kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 3 5 Juni 2015 dan diikuti oleh 36 orang peserta. Para peserta merupakan perempuan putus sekolah yang sangat rentan dengan kemiskinan, diharapkan kegiatan ini dapat membuat peserta tidak tergantung dengan suami atau ayah mereka sebagai kepala

rumah tangga dari sisi ekonomi bahkan diharapkan peserta dapat membantu perekonomian keluarga dan terhindar dari kekerasan fisik, psikis dan penelantaran rumah tangga karena faktor kemiskinan dan ketidakberdayaan mereka dari sisi ekonomi.

(14)

ini diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup keluarga yang mana suami sebagai kepala rumah tangga bekerja sebagai nelayan, dan penghasilannya sangat tergantung dari kondisi dan cuaca di laut yang tidak menentu, kadang-kadang pernah sehari atau beberapa hari tidak menangkap ikan dilaut karena faktor cuaca buruk, maka peran

istri yang bukan saja mengurusi rumah tangga akan tetapi juga mempunyai keterampilan dan keahlian yang dapat menambah penghasilan/nafkah dari suaminya demi kesejahteraan keluarga.

5. Pengembangan dan pembinaan nagari model Perempuan Indonesia Maju Mandiri (PRIMA), kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 10 11 Juli 2015 bertempat di 3 kabupaten yaitu Kabupaten Darmasraya, Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Kegiatan ini

diharapkan dapat

memberdayakan perempuan

sebagai pelopor dan motor penggerak dalam suatu nagari baik dari sisi pendidikan, ekonomi, politik dan lainnya. Pemerintah Provinsi Daerah Sumatera Barat telah mengeluarkan beberapa kebijakan dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak serta mendukung kinerja Badan Pemberdayaan Perempuan yaitu:

1. Peraturan Derah (Perda) Nomor 5 Tahun 2013 tentang

Perlindungan Perempuan dan Anak.

2. Nota Kesepakatan antara Gubernur Sumatera Barat dengan Kapolda Sumatera Barat, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Barat, Kepala Kanwil Kemnkum dan HAM Sumatera Barat, dan Kepala Kanwil Kementerian Agama Sumatera Barat tentang Percepatan Pelaksanaan dan Pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Layanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Nomor:

120-5-GSB-2013, Nomor:

(15)

B/1121/N3/E/VI/2013, Nomor: W3/566/HK/VI/2013, Nomor: W3-02.HA.01.01/2013, Nomor: KW.03/1-C/833/2013 tanggal 12 Juni 2013.

3. MoU Gubernur se Sumatera Nomor:

050/Ekonomi/Bappeda/2012 tentang Penanganan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan khususnya kekerasan dalam bentuk perdagangan orang.

4. Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor: 260-1021-2013 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Percepatan Penerapan SPM Bidang Layanan bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.

5. Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor: 260-105-2013 tentang Perubahan atas Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor: 260-303-2010 tentang Pembentukan Pengurus Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Limapapeh Rumah Nan Gadang periode 2010-2015.

6. Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor: 260-27-2011 tentang Pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan

Penanganan TPPO dan

Eksploitasi Seksual Anak (ESA). 7. Instruksi Gubernur Sumatera

Barat Nomor: 8/INST-2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Anak.

8. Keputusan Gubernur Nomor

260-824-2013 tentang

Pembentukan Forum Anak Sumatera Barat.

9. Keputusan Gubernur Nomor: 260-683-2013 tentang Gugus

Tugas Pengembangan

Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA).

10. Surat Edaran Nomor 472/407/VIII/Bppr&KB/2013 tentang Kepemilikan Akta Kelahiran Bebas Bea.

11. Peraturan Gubernur Provinsi Sumatera Barat Nomor 77 Tahun 2014 tentang Rencana Aksi Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak.

(16)

Pelayanan Penanganan Pengaduan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak. 13. Surat Edaran Gubernur Nomor:

463/489/IX/PPA/Bppr&KB/2013 tentang Penyediaan Pojok Asi bagi Perusahaan-perusahaan. 14. Penyediaan 127 Panti Asuhan di

Kab/Kota.

15. Pengembangan Badan

Penasehatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4)

oleh Kanwil Departemen Agama Sumatera Barat.

16. Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sumatera Barat.

17. Pendirian rumah aman di P2TP2A Provinsi dan Kab/Kota. 18. Pendirian Pusat Krisis Terpadu

(PKT), Pusat Pelayanan Terpadu di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sumatera Barat.

19. Penyusunan Pedoman Rujukan Korban Kekerasan Terhadap Anak untuk Petugas Kesehatan oleh Dinas Kesehatan.

20. Penyusunan Pedoman

Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan

di Tingkat Pelayanan Dasar oleh Kementerian Kesehatan.

21. Surat Perjanjian Kerjasama BPPKB dengan RSUP M.

DJAMIL Padang Nomor

463.4/497/BPPr&KB/2014/Nom or HK.05.01/I/909.A/2014 tentang Pembebasan Biaya Visum Et Repertum Untuk Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak.

22. Peraturan Gubernur Nomor 77

Tahun 2006 tentang Larangan Pornografi Pornoaksi dan Perbuatan Tuna Susila.

23. Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 460-527-2015 tentang Pembentukan Tim Pertimbangan Pengangkatan Anak Daerah Provinsi Sumatera Barat.

24. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.

(17)

bentuk pencegahan dan pemberdayaan perempuan pasca terjadinya kekerasan yang dialaminya. hal ini sejalan dengan hukum responsif yang digagas oleh tokoh sosiologi hukum Philippe Nonet-Philip Selznick. Selama ini produk hukum fokus kepada pelaku tindak pidana kekerasan dan mengenyampingkan korban.

Keberadaan Badan Pemberdayaan Perempuan merupakan tuntutan dan kebutuhan masyarakat pada saat sekarang ini. Aspirasi masyarakat tersebut bertujuan

untuk memberikan perlindungan kepada perempuan dari tindakan kekerasan. Dan hal ini tidak menutup peluang dari peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah lainnya dalam memberikan perlindungan kepada perempuan. Sehingga terpenuhilah ciri-ciri dari produk hukum responsif itu sendiri sebagaimana dikemukakan oleh Mahfud MD:

1. Proses pembuatannya partisipatif. 2. Muatannya aspiratif.

3. Rincian isinya limitatif.

Hukum responsif yang berorientasi pada perlindungan hukum yang dijalankan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan menunjukan pemerintah daerah tanggap terhadap terjadinya tindakan kekerasan terhadap perempuan dalam ruang lingkup rumah tangga. Walaupun Badan

Pemberdayaan Perempuan bukan lembaga penegak hukum akan tetapi mempunyai kontribusi dalam meningkat perlindungan terhadap perempuan dari kekerasan.

Teori hukum responsif tergambar dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Selama ini produk hukum mengenai kekerasan fokus pada penindakan pada pelaku dari sisi hukuman pidananya yang diperberat. Selain itu, jenis kekerasan dalam rumah tangga tidak

terbatas pada kekerasan fisik, akan tetapi juga kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

B. Hambatan-Hambatan Badan Pemberdayaan Perempuan Dalam Rangka Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Di Sumatera Barat.

(18)

1. Masih minimnya keterlibatan LSM dan perusahaan melalui CSR (corporate social responsibility) dalam pemberian bantuan untuk kegiatan dan sosialisasi untuk pengentasan kemiskinan bagi perempuan disabilitas, perempuan sebagai kepala keluarga dan perempuan yang suaminya tidak mampu mencari nafkah serta biaya tes DNA bagi korban kekerasan seksual, tidak ada bantuan permodalan bagi

korban kekerasan dan belum tersedianya sarana dan prasarana pendukung seperti rumah singgah dan lain-lain. Selain adanya anggaran dari APBN dan APBD, bantuan dari pihak lain baik LSM dan perusahaan melalui CSR masih dibutuhkan. Hal ini didasari faktor kemiskinan merupakan akar permasalahan terjadinya KDRT. Suami sebagai satu-satunya pencari nafkah akan membuat perempuan bergantung pada suaminya dan rentan terjadinya kekerasan dengan dalih suami merasa dibutuhkan oleh istrinya dan anak-anaknya.

2. Masih kurang optimalnya P2TP2A dalam menanggulangi kasus pengaduan korban KDRT, apakah karena SDM dan personel petugas

yang kurang atau pendekatan dalam penyelesaian kasus yang belum maksimal serta koordinasi yang belum optimal dengan pihak terkait lainnya dalam rangka penghapusan KDRT. 3. Masih kurang terbukanya korban

dalam mengungkapkan kasus KDRT yang dialaminya karena masih menganggap itu merupakan aib keluarga. Dan kesadaran masyarakat yang masih rendah dalam mengungkap kasus KDRT dan lebih

berupaya menutup kasus KDRT yang terjadi apakah disebabkan oleh pandangan dan persepsi bahwa itu merupakan masalah masing-masing keluarga dan mereka tidak mau ikut campur dan terlibat. Hal ini secara tidak langsung menghambat upaya Badan Pemberdayaan Perempuan dalam rangka penghapusan KDRT. PENUTUP

Simpulan

(19)

perlindungan hukum terhadap perempuan dari tindakan kekerasan termasuk KDRT. Selain itu, dengan menjalin kerjasama dengan instansi lain dan dunia usaha dalam mengadakan beberapa program dan kegiatan pemberdayaan perempuan. Namun berdasarkan data dari Polres dan Polda tingkat kekerasan dalam rumah tangga semakin meningkat, hal ini bukan berarti Badan Pemberdayaan Perempuan tidak maksimal dalam

memberikan perlindungan, akan tetapi bentuk kekerasan KDRT meningkat karena KDRT tidak hanya kekerasan fisik saja, akan tetapi juga kekerasan seksual, kekerasan psikis dan penelantaran rumah tangga berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, sehingga laporan pengaduan korban KDRT ke polres, polda dan dilanjutkan ke pengadilan sebagiannya didominasi kekerasan non fisik yaitu penelantaran rumah tangga, dalam bentuk suami sebagai kepala rumah tangga tidak melaksanakan kewajibannya dalam memberikan nafkah kepada anggota keluarganya dalam ruang lingkup rumah tangga.

2. Hambatan Badan Pemberdayaan Perempuan dalam memberikan perlindungan dari KDRT serta memberdayakan perempuan agar terhindar dari kemiskinan terbentur dengan tidak sebandingnya jumlah kasus yang semakin meningkat serta anggaran untuk program dan kegiatan pemberdayaan perempuan itu sendiri. Selain itu masih belum optimalnya P2TP2A dalam penanganan pengaduan korban KDRT apakah dikarenakan

SDM atau personel petugas yang kurang atau lainnya. kemudian kurang terbukanya korban KDRT dalam mengungkap kasus KDRT yang dialaminya karena menganggap kejadian itu merupakan aib keluarga. Lalu kesadaran masyarakat yang masih minim dengan menganggap ini merupakan urusan masing-masing keluarga.

Rekomendasi

Adapun rekomendasi solusi dari masalah yang ditemui dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(20)

dianggarkan dalam APBD, apalagi dengan meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan termasuk KDRT, ini merupakan hambatan Badan Pemberdayaan Perempuan dalam penghapusan KDRT, karena upaya perlindungan ini tidak hanya dibebankan kepada Badan Pemberdayaan Perempuan saja, akan tetapi juga membutuhkan kerjasama semua pihak. maka peranserta dunia usaha seperti perusahaan-perusahaan

melalui CSR (corporate social responsibility) sangat dibutuhkan agar upaya penghapusan KDRT di Sumatera Barat lebih optimal.

2. Badan Pemberdayaan Perempuan diharapkan dapat menguatkan kerjasama dan koordinasi yang telah terjalin sebelumnya dengan instansi lainnya seperti SKPD terkait, instansi penegak hukum dan LSM agar upaya penghapusan KDRT lebih maksimal karena kerjasama semua pihak merupakan pintu utama dalam mewujudkan penghapusan KDRT di Sumatera Barat.

DAFTAR PUSTAKA

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh perubahan bunyi fonem konsonan /k/, /t/,/b/ dan /p/ kepada bunyi hentian glotis /ʔ/ pada posisi akhir kata juga merupakan aspek yang banyak digunakan oleh guru-guru

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol rambut jagung ( Zea mays L.) memiliki efek untuk menurunkan kadar gula darah

Acara ini didukung oleh Stikes Pemkab Jombang, Poltekkes RS dr Soepraoen Malang, Stikes Hang Tuah Surabaya, Stikes Kendedes Malang, Universitas Muhammadiyah

[r]

Sedangkan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi: tenaga kerja; koperasi dan usaha kecil dan menengah;

Sistem Bursa Usaha Santri dan Alumni memilikitiga entitas luar yang berhubungan dengan sistem yaitu pengguna umum, anggota dan administrator.Rancangan kerja sistem

Intisari--- Bengkel bubut adalah salah satu unit usaha jasa yang bergerak dalam bidang otomotif dan berkembang dengan baik. Sebagian besar pengusaha bengkel bubut masih

peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul : “ Meningkatkan Kemampuan naturalis anak melalui pemanfaatan lingkungan alam sekitar “. B.