• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan dan Tasawuf: Penafsiran Gender Dalam Kajian Sufisme

N/A
N/A
Serambi Aljunaidiyah

Academic year: 2024

Membagikan "Perempuan dan Tasawuf: Penafsiran Gender Dalam Kajian Sufisme "

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Perempuan dan Tasawuf:

Penafsiran Gender Dalam Kajian Sufisme

Abidatun Nur’aini ainiyaabdul@gmail.com Andi Nur Muwafiqah Takwa

andifika010@gmail.com

Abstrak

Tulisan ini membahas tentang penafsiran gender dalam kajian sufisme dengan pembahasan kesetaraan gender dalam naskah-naskah sufisme yang dimana banyak naskah sufisme yang cenderung di dominasi oleh laki-laki.

Dalam naskah sufisme menuai pro dan kontra, ada yang berasumsi bahwa tasawwuf adalah dunianya laki-laki. Dibuktikan dengan banyaknya temuan naskah atau karya tasawuf yang ada selama ini yang mengindikasikan bahwa tasawwuf adalah dunianya laki-laki. Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan jenis penelitian kepustakaan yang mengambil data-data primer maupun skunder yang bersumber dari data kepustakaan seperti buku-buku, jurnal penelitian terbaru maupun prosiding. Tahap selanjutnya data kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis isi. Untuk mengkaji tentang penafsiran gender dalam kajian sufisme. Hasil dari penelitian ini adalah tasawuf terbebas dari unsur-unsur feminim maupun maskulin, dan tidak ada yang lebih superioritas diantara keduanya. Konstruksi gender dalam tasawuf tidak terletak pada jenis kelamin sang sufi namun lebih pada kadar feminim dan maskulin di kandungan kejiwaannya yang kemudian terimplikasikan dalam sikap dan perbuatannya. Penelitian ini merekomendasikan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan upaya pengembangan konsep kesetaraan gender dalam pemikiran sufi kontemporer, termasuk menganalisis terhadap karya-karya penulis sufi masa kini yang menyoroti isu-isu gender serta upaya dalam komunitas sufi untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam praktik spiritual mereka.

Kata Kunci: Kesetaraan, Gender, Sufisme, Tasawuf.

Abstract

This article discusses the interpretation of gender in the study of Sufism by

discussing gender equality in Sufism texts, where many Sufism texts tend to be

dominated by men. In Sufism texts there are pros and cons, some assume that

Sufism is the world of men. This is proven by the many discoveries of Sufism

manuscripts or works that exist so far which indicate that Sufism is the world of

men. This type of research is qualitative with a type of library research that takes

(2)

2 | Perempuan dan Tasawuf: Penafsiran Gender dalam Kajian Sufisme

primary and secondary data sourced from library data such as books, the latest research journals and proceedings. The next stage is that the data is then analyzed using the content analysis method. To examine the interpretation of gender in the study of Sufism. The results of this research are that Sufism is free from feminine and masculine elements, and there is no superiority between the two. The construction of gender in Sufism does not lie in the Sufi's gender but rather in the levels of femininity and masculinity in his mental content which is then implied in his attitudes and actions. This research recommends that future researchers make efforts to develop the concept of gender equality in contemporary Sufi thought, including analyzing the works of contemporary Sufi writers who highlight gender issues as well as efforts within the Sufi community to fight for gender equality in their spiritual practices.

صخللما

اذه شقاني ةشقانم للاخ نم ةيفوصلا ةسارد في يعتماجالا عونلا يرسفت لاقلما

،ةيفوصلا صوصنلا في ينسنلجا ينب ةاواسلما

ضعبلا ضترفيو ،تايبلسو تايبايج ا كانه ةيفوصلا صوصنلا في .لاجرلا ةنيمه لى ا ةيفوصلا صوصنلا نم ديدعلا ليتم ثيح نآلا تىح ةدوجولما ةيفوصلا تافلؤلما و أ تاطوطخملل ةديدعلا تافاشتكالا هتبثت ام اذهو .لاجرلا لماع هي ةيفوصلا ن أ ذخ أت تيلا تابتكلما ثابح أ نم عون عم اًيعون ثحبلا نم عونلا اذه برتعي .لاجرلا لماع هي ةيفوصلا ن أ لى ا يرشت تيل او

ارج لاو ةيثحبلا تلالمجا ثدح أو بتكلا لثم ةبتكلما تناايب اهردصم ةيوناثلاو ةيلو لا تناايبلا ن أ هي ةيلاتلا لةحرلما .تاء

اذه ئجاتن نمو .ةيفوصلا ةسارد في سنلجا يرسفت ةسارد .ىوتلمحا ليلتح ةقيرط مادخت سبا تناايبلا ليلتح لكذ دعب تمي سنج في نكمي ل ةيفوصلا في ردنلجا ءانب ن ا .مانهيب ةيلضف أ لو ،ركذلماو ثنؤلما نيصرنعلا نم ةيلاخ ةيفوصلا ن أ ثحبلا لب ،فيوصلا ثحبلا اذه صيويو .لهاعف أو هفقاوم في لكذ دعب نمضتي يلذا ليقعلا هاوتمح في ةروكلذاو ةثون لا تياوت سم في

لماع أ ليلتح لكذ في ابم ،صراعلما فيوصلا ركفلا في ينسنلجا ينب ةاواسلما موهفم ريوطتل دوجه لذبب ينيلبقت سلما ينثحابلا ءوضلا نوطلسي نيلذا نيصراعلما ينيفوصلا باتكلا

لاضنلل فيوصلا عتملمجا لخاد دوهلجا لكذكو يعتماجالا عونلا يااضق لىع

ةيحورلا متهاسرامم في ينسنلجا ينب ةاواسلما لج أ نم

(3)

Pendahuluan

Aspek kehidupan manusia itu tidak terlepas dari perubahan besar di setiap era kehidupan. Banyak sekali dampak positif dan dampak negatif yang tidak dapat dihindarkan. Permasalahan dan dinamika ini semakin kompleks salah satunya tentang kajian isu gender yang berangkat dari kasus diskriminasi dan pelecehan seksual terhadap status perempuan dan laki-laki.

Dalam kajian Sufisme pada dasarnya adalah bebas gender, dengan kata lain Sufisme tidak mengenal maskulinitas dan femininitas. Sehingga tidak ada yang lebih superioritas diantara keduanya karena sufisme adalah aliran yang berdiri sendiri.

Sufisme tidak terikat dan terbelenggu oleh identitas jenis kelamin dan unsur-unsur maskulin maupun feminim. Dalam naskah sufisme menuai pro dan kontra, ada yang berasumsi bahwa tasawwuf adalah dunianya laki-laki. Dibuktikan dengan banyaknya temuan naskah atau karya tasawuf yang ada selama ini yang mengindikasikan bahwa tasawwuf adalah dunianya laki-laki. Hal ini sejalan dengan argumentasi Sururin yang menegaskan bahwa naskah sufisme memang tidak banyak membahas tentang tokoh sufi Perempuan dan praktek spiritualitasnya. 1 Namun dalam beberapa kajian literatur hingga Al-Qur’an, praktek spiritualitas perempuan justru banyak dijadikan sebagai teladan orang masa kini contohnya, Rabiah Al-Adawiyah yang merupakan tokoh sufi Perempuan Irak, Maryam sebagai ibunda dari Nabi Isa AS dan Sitti Hajar sebagai ibunda dari Nabi Ismail AS. 2

Ilmu Tasawuf merupakan salah satu ilmu keislaman yang paling kuno termasuk Ilmu Fiqh, Ilmu Kalam (Teologi) dan Filsafat Islam. Sejak abad kedua hijriyah, keempat ilmu ini telah muncul dan masih berkembang hingga sekarang.3 Khusus Ilmu Tasawuf Tokoh-Tokoh Pendiri Pertamanya Adalah Dzu Al-Nun Al-Mishri (W.246/859), Al-Harits Al-Muhasibi (165-243/781-857), Al-Junayd Al-Baghdadi (W.298/910). Dalam ilmu tasawuf pelakunya disebut sufi, gelar sufi pertama kali disandang oleh Abu Hasyim Usman Ibn Syariq (W.160/776) dari kalangan sunni di Kufah, Irak. Sementara itu ada pendapat lain yang mengatakan bahwa orang pertama yang menyandang gelar sufi ialah ‘Abdak Al-Shufi (W.210/825) dari kalangan Syi’i.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan jenis penelitian kepustakaan yang mengambil data-data primer maupun skunder yang bersumber dari data kepustakaan seperti buku-buku, jurnal penelitian terbaru maupun prosiding. Tahap selanjutnya data kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis isi. Untuk mengkaji tentang penafsiran gender dalam kajian sufisme.

1 Sururin, “Perempuan Dalam Lintasan Sejarah Tasawwuf”. Jurnal Ulmuna. Vol. XIV No.2 Desember 2010, hal.301-302

2 Achmad Faesoll, “Perempuan dan Tasawwuf: Menakar Bias Gender dalam Kajian Sufisme” Jurnal Al- Hikmah IAIN Jember, vol.19 Hal. 66

3 Prof Dr. Yunasril Ali, M.A, “Studi Tasawuf” Jakarta, PT.QAF MEDIA KREATIVA CETAKAN 1 Agustus 2023, Hal.7

(4)

4 | Perempuan dan Tasawuf: Penafsiran Gender dalam Kajian Sufisme Pembahasan

A. Konsep Kesetaraan Gender 1) Definisi Kesetaraan Gender

Kesetaraan gender merujuk pada konsep bahwa semua individu, tanpa memandang jenis kelamin mereka, memiliki hak, tanggung jawab, dan peluang yang sama dalam segala aspek kehidupan. Ini mencakup kesetaraan dalam bidang pekerjaan, pendidikan, kesehatan, partisipasi politik, dan berbagai bidang lainnya. Prinsip kesetaraan gender bertujuan untuk menghilangkan diskriminasi berbasis jenis kelamin dan menciptakan lingkungan di mana baik perempuan maupun laki-laki memiliki akses yang sama terhadap sumber daya, layanan, dan peluang. Kesetaraan gender juga mengadvokasi pengakuan dan penghargaan terhadap peran, kontribusi, dan hak asasi manusia tanpa memandang jenis kelamin.

Awal munculnya kesetaraan gender disebabkan adanya ketidakadilan dan diskriminasi yang memandang gender sebagai tolak ukur peran dalam masyarakat, Kehadiran kesetaraan gender sangatlah penting bagi kaum perempuan yang bertujuan untuk menyuarakan perjuangan nasib kaum perempuan dan solusi untuk melakukan kesempatan bagi perempuan melakukan emansipasi dan berhenti melanggengengkan system patriarki yang selama ini dijalankan masyarakat, dengan adanya gerakan emansipasi, perempuan secara canggih mengubah sistem social dan budaya tanpa menghilangkan harkat dan martabat seorang laki-laki4

Sufisme, sebagai dimensi mistis dalam Islam, memiliki ciri khasnya sendiri dalam menangani konsep kesetaraan gender. Meskipun fokus utama sufisme adalah pada pencarian rohaniah dan persatuan dengan Tuhan, terdapat elemen-elemen yang menunjukkan pandangan positif terhadap kesetaraan gender dalam beberapa tradisi sufisme. Namun, perlu diingat bahwa pemahaman dan praktik sufisme dapat bervariasi di antara tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok sufis.

Berikut adalah beberapa aspek konsep kesetaraan gender dalam sufisme:

a) Cinta Ilahi Tanpa Diskriminasi:

Beberapa sufis menekankan bahwa cinta ilahi (mahabbah) dan kasih sayang (rahmah) Tuhan tidak memandang jenis kelamin atau status sosial.

Pencarian cinta Tuhan dan kedekatan rohaniah dianggap sebagai jalan yang terbuka bagi semua individu, tanpa memandang perbedaan gender. Konsep

"cinta ilahi tanpa diskriminasi" merujuk pada pemahaman bahwa kasih sayang atau cinta terhadap Tuhan (mahabbah) dalam konteks spiritualitas tidak dibatasi oleh faktor-faktor dunia, seperti ras, suku, kelas sosial, atau gender. Dalam konteks sufisme atau dimensi mistis Islam, cinta ilahi

4 M Taufik , Hasnani , Suhartina “Persepsi Masyarakat Terhadap Kesetaraan Gender Dalam Keluarga”, SOSIOLOGIA : Jurnal Agama dan Masyarakat, Hal.51

(5)

dianggap sebagai bentuk cinta yang murni dan tidak terikat oleh tolak ukur dunia materi.

b) Keterlibatan Perempuan dalam Sufisme:

Ada riwayat sufisme yang mencatat peran dan kontribusi perempuan dalam tradisi sufisme. Beberapa tokoh Sufis perempuan, seperti Rabia al- Adawiyya, dikenal karena kedalaman spiritual mereka dan kontribusi mereka dalam pengembangan ajaran sufisme. Keterlibatan perempuan dalam sufisme adalah aspek yang penting namun sering kali terabaikan dalam sejarah dan diskusi tentang sufisme. Meskipun sebagian besar tradisi sufisme di masa lalu cenderung didominasi oleh figur-figur laki-laki, ada sejumlah perempuan yang memainkan peran penting dalam perkembangan dan penyebaran ajaran sufisme.

c) Penolakan terhadap Kesombongan Gender:

Beberapa sufis menekankan pentingnya menolak kesombongan gender atau pandangan superioritas laki-laki terhadap perempuan. Mereka mendorong kesederhanaan dan penolakan terhadap norma-norma sosial yang membedakan antara peran laki-laki dan perempuan. Penolakan terhadap kesombongan gender dalam konteks sufisme mencerminkan upaya untuk mengatasi norma-norma sosial dan budaya yang memberikan preferensi atau nilai lebih kepada satu jenis kelamin daripada yang lain.

Pemahaman ini mempromosikan kesetaraan dan mengajak untuk menilai individu berdasarkan ketulusan rohaniah dan pencarian kebenaran, bukan berdasarkan perbedaan gender.

d) Kesamaan di Hadapan Tuhan:

Konsep kesetaraan dalam sufisme mencakup ide bahwa di hadapan Tuhan, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki nilai spiritual. Pencarian persatuan dengan Tuhan tidak dibatasi oleh jenis kelamin, dan setiap individu dihargai atas ketulusan dan kesungguhannya dalam mencapai kebenaran. Konsep "kesamaan di hadapan Tuhan"

mencerminkan keyakinan bahwa di hadapan Tuhan, semua individu memiliki nilai yang sama. Pemahaman ini menolak ide bahwa perbedaan- perbedaan seperti suku, ras, agama, atau gender harus menjadi dasar penilaian nilai seseorang.

e) Pendidikan dan Pembelajaran:

Beberapa tokoh sufis menekankan pentingnya pendidikan dan pembelajaran bagi perempuan. Mereka mendukung hak perempuan untuk mendapatkan pengetahuan dan mendalami ajaran sufisme sebagai sarana untuk pengembangan spiritual. Pendidikan dan pembelajaran dalam konteks kesetaraan gender merupakan upaya untuk memastikan bahwa semua individu, tanpa memandang jenis kelamin mereka, memiliki akses yang sama terhadap pendidikan, peluang, dan sumber daya.

(6)

6 | Perempuan dan Tasawuf: Penafsiran Gender dalam Kajian Sufisme 2) Ayat-ayat yang berkaitan dengan Kesetaraan Gender

Dalam Al-Qur’an, terdapat ayat-ayat atau prinsip-prinsip yang dapat diartikan sebagai mendukung kesetaraan gender. Namun, interpretasi terhadap ayat-ayat tersebut dapat bervariasi dan tergantung pada konteks budaya dan tradisi.

Berikut beberapa contoh ayat atau prinsip yang sering dikutip terkait kesetaraan gender.

1) (Q.S. Al-Hujurat [49]: 13)

"Wahai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki- laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal-mengenal." (Q.S. Al-Hujurat [49]: 13) Pemahaman terhadap ayat ini dalam konteks kesetaraan gender dapat mencakup beberapa aspek:

➢ Penciptaan Laki-Laki dan Perempuan:

Ayat ini menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari laki- laki dan perempuan. Pemahaman ini menegaskan kesetaraan kedua jenis kelamin dalam penciptaan manusia.

➢ Kemuliaan di Sisi Allah:

Ayat ini menegaskan bahwa keutamaan atau kemuliaan seseorang di sisi Allah tidak bergantung pada jenis kelamin, ras, atau suku bangsa. Kemuliaan sejati diperoleh melalui ketakwaan dan kepatuhan kepada Allah.

➢ Kebangsaan dan Bersuku-Suku:

Allah menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku- suku agar mereka saling mengenal satu sama lain. Ini menyoroti keberagaman antarindividu dan kelompok, tanpa merendahkan atau mendiskriminasi satu kelompok tertentu.

➢ Kesetaraan di Mata Allah:

Pemahaman utama adalah bahwa Allah tidak memberikan keutamaan atau memandang tinggi seseorang berdasarkan faktor gender atau latar belakang etnis. Kesetaraan di mata Allah lebih berkaitan dengan ketakwaan dan amal shaleh.

Dalam konteks kesetaraan gender, ayat ini menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki nilai yang setara di hadapan Allah. Faktor penentu kemuliaan dan keutamaan adalah ketakwaan dan perbuatan baik, bukan gender atau latar belakang sosial. Oleh karena itu, ayat ini dapat diartikan sebagai dasar untuk mempromosikan kesetaraan dan menghargai peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.

2) (Q.S. An-Nahl [16]: 97)

"Siapa yang melakukan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan

(7)

yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."

Pemahaman ayat ini dalam konteks kesetaraan gender mencakup beberapa aspek:

➢ Amal Shaleh Tidak Terbatas Gender:

Ayat ini menegaskan bahwa pahala dari amal shaleh tidak terbatas oleh jenis kelamin. Baik laki-laki maupun perempuan yang melaksanakan amal shaleh dengan keimanan akan mendapatkan kehidupan yang baik dan pahala yang lebih baik dari Allah.

➢ Ketidakdiskriminan Berdasarkan Gender:

Ayat ini menegaskan prinsip kesetaraan dalam hal amal shaleh. Tidak ada pembatasan atau diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam mendapatkan kebaikan atau pahala dari Allah.

➢ Peran dan Kontribusi Baik Laki-Laki maupun Perempuan:

Dengan menyebutkan baik laki-laki maupun perempuan, ayat ini memberikan penghargaan terhadap peran dan kontribusi yang dapat diberikan oleh kedua jenis kelamin dalam mengerjakan amal shaleh.

➢ Pentingnya Iman:

Selain amal shaleh, iman juga ditekankan dalam ayat ini.

Kedua elemen ini dianggap sebagai faktor penting dalam mendapatkan kehidupan yang baik dan pahala yang lebih baik.

Dalam konteks kesetaraan gender, ayat ini menekankan bahwa keberhasilan dan pahala spiritual tidak bergantung pada jenis kelamin, melainkan pada iman dan amal shaleh. Hal ini menggarisbawahi bahwa laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab dan peluang yang sama dalam mencapai kebaikan dan mendapatkan pahala dari Allah. Pemahaman ini sejalan dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam ajaran Islam.

B. Konsep Sufisme

1) Definisi Sufisme

Sebelum memasuki kajian lebih dalam tentang Sufisme, kita akan memulai dengan mengenal nama ilmunya. Nama yang biasa dipakai untuk ilmu ini ialah tasawuf, pelakunya disebut Sufi. Sufi itu bukan pengkaji ilmu tasawuf melainkan pengamal atau aktivis tasawuf.5 Tasawuf berasal dari bahasa Arab “tashowwafa – yatashowwafu – tashowwuf” yang

mengandung makna (menjadi) berbulu yang

banyak, yakni menjadi seorang sufi atau yang menyerupainya dengan ciri khas

pakaiannya terbuat dari bulu domba/wol. Walaupun pada prakteknya tidak

(8)

8 | Perempuan dan Tasawuf: Penafsiran Gender dalam Kajian Sufisme

semua ahli sufi pakaiannya menggunakan wol. Menurut sebagian pendapat, menyatakan bahwa para sufi diberi nama sufi karena kesucian hati (shafa) mereka dan kebersihan tindakan mereka. Di sisi yang lain menyebutkan bahwa seseorang disebut sufi karena mereka berada dibaris terdepan (shaff) di hadapan Allah. Bahkan ada juga yang mengambil dari istilah

ashab al-Shuffah, yaitu

para sahabat Nabi SAW yang tinggal di kamar/serambi-serambi masjid.

6

Di Barat, tasawuf biasa dikenal juga dengan sufism atau Islamic Mysticism yang identik dengan Islamic Spirituality atau Islamic Esoterism. Masing-masing nama tersebut sesungguhnya menggambarkan aspek-aspek tertentu dari tasawuf. Ilmu tasawuf merupakan ilmu yang menekankan pengalaman mistis, keintiman dengan tuhan, dan pencarian kebijaksanaan spiritual. Berikut nama- nama lain yang biasa digunakan untuk ilmu tasawuf: Ilmu Batin, Ilmu Hati, Ilmu Hakikat, Ilmu Makrifat, Ilmu Tarekat, Ilmu al-Asrar (Ilmu Rahasia), Ilmu al- Ahwal (Kondisi/Keadaaan), Ilmu Laduni, dan ‘Irfan.

Dengan demikian, tasawuf atau sufisme adalah suatu istilah yang banyak dipergunakan untuk mistisisme dalam Islam dengan tujuan inti untuk memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan. Dalam hal ini, pokok-pokok ajarannya tersirat dari Nabi Muhammad SAW yang didiskusikan dengan para sahabatnya tentang apa-apa yang diperolehnya dari Malaikat Jibril berkenaan dengan pokok-pokok ajaran Islam yakni: iman, islam, dan ihsan. Ketiga sendi inilah yang kemudian diimplementasikan dalam pelaksanaan tasawuf. (ibid)

Secara esensi, ilmu tasawuf memiliki empat unsur yang terkandung di dalamnya.

Yakni metafisika, psikologi, estetika, dan etika. (ibid)

1. Metafisika, yaitu hal-hal yang di luar alam dunia atau bisa juga dikatakan sebagai ilmu ghoib. Di dalam Ilmu Tasawuf banyakdibicarakan tentang masalah-masalah keimanan tentang unsur-unsur akhirat, dan cinta seorang sufi terhadap Tuhannya. Psikologi, yaitu masalah yang berhubungan dengan jiwa.

2. Psikologi, dalam pandangan tasawuf sangat berbeda dengan psikologi modern. Psikologi modern ditujukan untuk menyelidiki manusia bagi orang lain, yakni jiwa orang lain yang diselidikinya. Sedangkan psikologi dalam tasawuf memfokuskan penyelidikan terhadap diri sendiri, yakni diarahkan terhadap penyadaran diri sendiri dan menyadarikelemahan dan kekurangan dirinya untuk kemudian memperbaiki menuju kesempurnaan nilai pribadi yang mulya.

3. Estetika, yaitu ilmu keindahan yang menimbulkan seni. Untuk meresapkan seni dalam diri, haruslah ada keindahan dalam diri sendiri. Sedangkan puncak keindahan itu adalah cinta. Jalan yang ditempuh untuk mencapai keindahan menurut ajaran tasawuf adalah tafakur, merenung hikmah-hikmah ciptaan Allah.

Dengan begitu akan tersentuh kebesaran Allah dengan banyak memuji dan berdzikirkehadirat-Nya. Oleh karena itu, dengan senantiasa bertafakur dan merenungkan segala ciptaan Allah, maka akan membuahkan pengenalan terhadap Allah (ma’rifat billah) yang merupakan kenikmatan bagi ahli sufi. Hal ini bersumber pada

mahabbah, rindu, ridlo melalui tafakkur, dan amal-amal

shalih.

6 Dr. H. Badrudin, M.Ag., “Pengantar ilmu tasawuf”, Penerbit A-Empat Serang, Cetakan 1 2015 hal. 2)

(9)

4. Etika, yaitu ilmu yang menyelidiki tentang baik dan buruk dengan melihat pada amaliah manusia. Dalam Ilmu Tasawuf banyak sekali mengandung unsur etika dan ajaran-ajaran akhlak (hablumminallah dan hablumminannas).

Menurut pemahaman Prof. Dr. H.M. Athoullah Ahmad, MA. bahwa objek pembicaraan Ilmu Tasawuf itu meliputi tentang akal dan

ma’rifat yang

kemudian membahas mengenai hati dan

riyadhah

(latihan dalam spiritual).

Adapun status Ilmu Tasawuf yaitu menuntun sesuai dengan petunjuk, dan membuang apa yang tidak sesuai dengan tuntunan yang berlaku. Kemudian sekuat tenaga menuju ke jalan Ilahi.

7

Tasawuf memberikan manfaat yang signifikan dalam kehidupan individu dengan menghadirkan pemahaman yang lebih dalam tentang spiritualitas dan nilai-nilai Islam. Melalui praktik-praktik seperti meditasi, dzikir, dan introspeksi, tasawuf membantu individu memperdalam hubungan mereka dengan Tuhan serta memperkaya pengalaman spiritual mereka. Ini menghasilkan peningkatan kualitas hidup dengan memberikan kedamaian batin, mengurangi stres, dan meningkatkan keseimbangan emosional. Selain itu, tasawuf memperkuat etika dan moralitas individu dengan mengajarkan nilai- nilai seperti kesederhanaan, kejujuran, dan kasih sayang kepada sesama, yang memungkinkan mereka untuk bertindak dengan lebih bijaksana dalam kehidupan sehari-hari serta membangun hubungan yang lebih baik dengan lingkungan sekitar. Dengan demikian, tasawuf bukan hanya menjadi sarana untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang agama, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan melalui pertumbuhan spiritual dan penguatan nilai-nilai moral.

8

2) Ayat-ayat Sufisme dalam Al-Qur’an

Tasawuf atau sufisme ialah proses mencari kedekatan spiritual dengan Allah melalui praktik-praktik spiritual, introspeksi diri, dan pencarian kebijaksanaan batin. Meskipun istilah "tasawuf" tidak secara langsung disebutkan dalam Al- Qur’an, namun banyak konsep dan prinsip dalam tasawuf yang terdapat di dalamnya. Salah satu konsep utama dalam tasawuf adalah kesadaran akan kehadiran Allah (Dzikr) yang menekankan pentingnya mengingat allah secara terus menerus. Al-Qur’an sering mengingatkan umat Islam untuk berzikir sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Nya dan mencapai ketenangan batin. Misalnya, dalam Surah Ar-Ra'd (13:28), Allah berfirman bahwa hati yang damai dan tenang hanya dapat dicapai melalui mengingat Nya.

Selain itu, tasawuf menekankan konsep tawakkal, yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah mengajarkan kepada umatnya untuk mempercayai sepenuhnya dan berserah kepada Nya dalam semua aspek kehidupan. Contohnya dapat ditemukan dalam Surah Al-

7M. Athoullah Ahmad, “Antara Ilmu Akhlak dan Tasawuf”, (Serang: Sengpho,2007), cet. I, h. 119

8Said Agil Husin Al-Munawar, “Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki”, Jakarta: Ciputat Press, 2003, cet. III, h. 375

(10)

10 | Perempuan dan Tasawuf: Penafsiran Gender dalam Kajian Sufisme

Baqarah (2:286), di mana umat Muslim diajarkan untuk tidak membebani diri mereka sendiri dengan beban yang tidak bisa mereka tanggung, dan untuk percaya bahwa Allah tidak membebani seseorang melebihi batas kemampuannya.

Selain itu, Al-Qur’an secara konsisten menegaskan pentingnya kesederhanaan, kerendahan hati, dan kasih sayang dalam kehidupan sehari-hari.

Tasawuf menekankan nilai-nilai ini sebagai bagian integral dari perjalanan spiritual menuju Allah. Contoh konsep ini dapat ditemukan dalam Surah Al- Baqarah (2:177), di mana Al-Quran menyebutkan bahwa kebaikan tidak hanya terletak dalam melakukan ibadah ritual tetapi juga dalam memberikan harta kepada orang-orang yang membutuhkan. Berbuat baik kepada orang tua, kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir yang membutuhkan, dan hamba sahaya. Dengan demikian, konsep-konsep ini dalam Al-Qur’an dapat membentuk dasar pemahaman tasawuf dan memberikan panduan bagi individu untuk mencapai kedekatan spiritual dengan Allah.

Berikut beberapa contoh ayat Al-Quran yang terkait dengan konsep-konsep yang penting dalam tasawuf:

1) Surah Al-Baqarah (2:152):

"Maka ingatlah kamu kepada-Ku, Aku akan ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku."

Ayat ini menyoroti pentingnya berzikir (mengingat Allah) dalam tasawuf.

Pengikut tasawuf meyakini bahwa dengan mengingat Allah secara terus- menerus, seseorang dapat mencapai kedekatan spiritual dengan-Nya.

2) Surah Ar-Ra'd (13:28):

"Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram."

Ayat ini menekankan bahwa hati yang damai dan tenang dapat diperoleh melalui mengingat Allah. Ini merupakan konsep yang sangat penting dalam praktik meditasi dan zikir dalam tasawuf.

3) Surah Ash-Shu'ara (26:88-89)

"Hanyalah kepada Dia engkau berserah. Dan (dengan menghadap kepada Allah) seluruh makhluk di langit dan di bumi telah berserah diri kepada-Nya, dengan senang hati atau terpaksa, dan kepada-Nya mereka akan dikembalikan."

Ayat ini menekankan konsep tawakkal (penyerahan diri sepenuhnya kepada

Allah) yang merupakan bagian penting dari praktik tasawuf. Pengikut tasawuf

mempraktikkan tawakkal dengan melepaskan kendali diri dan sepenuhnya

(11)

bergantung pada kehendak Allah.

Ini hanyalah beberapa contoh ayat Al-Quran yang terkait dengan prinsip- prinsip dan nilai-nilai yang ditekankan dalam tasawuf. Konsep-konsep seperti tawakkal, zikir, dan pengabdian kepada Allah sangat penting dalam praktik spiritual tasawuf, dan ayat-ayat semacam itu memberikan dasar bagi pemahaman dan praktik ini.

C. Pokok bahasan Kesetaraan Gender dalam Kajian Sufisme

Sufi perempuan dalam sejarahnya menunjukkan indikasi tidak sebanding dengan sufi laki-laki walaupun memang dalam beberapa karya akademis yang sempat menyoroti kiprah sufi perempuan, namun secara kuantitas masih jauh dari sufi laki- laki. Sebuah karya berjudul Hilyat Al-Aulia yang dikarang oleh Abu Nu’aim Al- Isfahami mencatat hanya ada 28 sufi perempuan dan 649 sufi laki-laki.

Abdurrahman Jami’ di salah satu karangannya berjudul Nafahat Al-Uns menulis ada 35 sufi perempuan dengan perbandingan sufi laki-laki berjumlah 564. Kemudian Abdul Wahab Al-Sha’rani dalam Tabaqot Al-Kubro mencatat ada 16 sufi perempuan dan 412 sufi laki-laki.

Karya lain yang menunjukkan proporsi pembahasan tidak ideal antara laki-laki dan perempuan adalah karya Abu Qasim Al-Qushayri. Naskah ini mewakili kajian- kajian akademis yang menciptakan bias gender. Dalam Al-Risalah Fi‘Ilm Al- Tasawwuf, Abu Qasim Al-Qushayri mengabadikan sebanyak delapan puluh tiga (83) sufi laki-laki. Namun anehnya dia tidak mencantumkan satu pun nama sufi perempuan. Pada karya-karya dari tokoh lainnya juga tidak menunjukkan hal signifikan. Superioritas dan dominasi sufi laki-laki atas sufi perempuan masih menguasai wacana sufisme. Ini bisa dibuktikan dari karya Abu Hasan Ali ibn Usman Al-Jullabi Al-Hujwiri, Fariduddin Attar dan Abu Hasan Al-Sirjani. Ketiga tokoh ini menampilkan ketidakseimbangan kuantitas pembahasan.9

Dari beberapa karya yang telah di ulas sebelumnya, hanya karya Ibnu Aljauzy dan al-sulami yang dianggap Istimewa dan cukup representatif karya Ibnu Al-Jauzy yang berjudul sifat Al-Safwa mampu mewakili jumlah sufi Perempuan sekitar seperempat dari keseluruhan nama dalam karya tersebut, Ibnu Jauzy menulis 240 nama sufi yang dimana 140 orang merupakan sufi perempuan, Adapun Al-Sulami menampilkan sosok Perempuan-perempuan yang disepanjang hidupnya menekuni ritual tasawuf yang sangat ketat ia menulis sebuha karya yang di terjemahkan kedalam Bahasa Indonesia berjudul sufi-sufi wanita: tradisi yang dicadari. Buku karya al-sulami ini tidak hanya menyingkap tabir kehidupan sufi perempuan yang selama ini terhalangi oleh karya-karya bias gender namun juga mampu mengungkap sehari-sehari bahwa kehidupan sehari-hari sufi perempuan yang selama ini tidak pernah muncul dalam literatur klasik.

Di Indonesia, nama-nama sufi Perempuan tidak banyak dijumpai hal ini disebabkan oleh minimnya atau bahkan tiadanya sumber tertulis untuk

9 Achmad Faesoll, “Perempuan dan Tasawwuf: Menakar Bias Gender dalam Kajian Sufisme” Jurnal Al- Hikmah IAIN Jember, vol.19 Hal. 71

(12)

12 | Perempuan dan Tasawuf: Penafsiran Gender dalam Kajian Sufisme

merekonstruksi Sejarah social intelektual ulama perempuan Indonesia. Adapun Perempuan yang dianggap wali atau yang menjadi sufi Perempuan adalah Fatimah Binti Maimun yang makamnya berada di Gresik jawa timur, dan banyak diziarahi oleh masyarakat sekitar.10

Gambaran situasi dari ditemukannya lembaran naskah sufisme masa lalu ini sepintas menimbulkan pesan adanya dominasi gender, sehingga Perempuan Nampak mengalami marginalisasi disetiap kajian naskah akademik. Kesan ini berangkat dari tumpukan lembaran sufisme yang memang lebih banyak membahas tentang kehidupan sufi laki-laki daripada sufi perempuan namun satu hal yang perlu diingat bahwa betapapun miskinnya catatan tentang sufi Perempuan, catatan- catatan tersebut tetap menawarkan bukti-bukti penting tentang eksistensi sufi-sufi perempuan.

Kesimpulan

Penafsiran tentang gender dalam konteks Sufisme sangatlah beragam. Meskipun banyak teks-teks klasik Sufi yang menekankan kesetaraan spiritual antara laki-laki dan perempuan, pencarian kesetaraan gender dalam Sufisme masih menjadi tantangan. Hal ini dapat tercermin dalam ketidaksetaraan akses terhadap posisi dan kekuasaan di dalam hierarki spiritual Sufi, di mana perempuan sering kali ditempatkan dalam posisi yang lebih rendah atau terpinggirkan seperti dalam kasus minimnya biografi sufi perempuan dalam naskah-naskah klasik yang ada.

Konstruksi gender dalam tasawuf tidak terletak pada jenis kelamin sang sufi namun lebih pada kadar feminim dan maskulin di kandungan kejiwaannya. Dengan demikian, tidak ada yang lebih superioritas antara maskulinitas dan feminitas.

Relasinya adalah setara berdasar dan akibat dari cinta.

10 Azyumardi Azra, “Biografi Sosial Intelektual Ulama Perempuan: Pemberdayaan historiografi, dalam pengantar buku Ulama Perempuan, (Jakarta: Gramedia, 2022)

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Faesoll. Perempuan dan Tasawwuf: Menakar Bias Gender dalam Kajian Sufisme” Jurnal Al-Hikmah IAIN Jember

Ahmad,M. Athoullah. Antara Ilmu Akhlak dan Tasawuf. (Serang:

Sengpho,2007) cet. I

Ali,Yunasril. Studi Tasawuf. Jakarta, PT.QAF MEDIA KREATIVA CETAKAN 1 Agustus 2023

Al-Munawar, Said Agil Husin. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, 2003, cet. III,

Azyumardi Azra. Biografi Sosial Intelektual Ulama Perempuan: Pemberdayaan historiografi, dalam pengantar buku Ulama Perempuan, (Jakarta:

Gramedia, 2022)

Badrudin. Pengantar ilmu tasawuf. Penerbit A-Empat Serang, Cetakan 1 2015 Faesoll, Achmad. Perempuan dan Tasawwuf: Menakar Bias Gender dalam Kajian Sufisme. Jurnal Al-Hikmah IAIN Jember

Sururin. Perempuan Dalam Lintasan Sejarah Tasawwuf. Jurnal Ulmuna. Vol.

XIV

Taufik, M. dkk. Persepsi Masyarakat Terhadap Kesetaraan Gender Dalam

Keluarga. SOSIOLOGIA : Jurnal Agama dan Masyarakat

Referensi

Dokumen terkait

Penulis sangat bersyukur karena telah menyelesaikan skripsi dengan baik, yang berjudul: “Aspek Pen didikan Kesetaraan Gender, Analisis Isi dalam Perspektif PKn

Penelitian mengenai Profesi penjaga parkir perempuan di daerah kota Yogyakarta sebagai kajian bias gender untuk meningkatkan kesetaraan gender dalam bidang ekonomi ini

Strategi komunikasi keluarga untuk meningkatkan kesetaraan gender anak perempuan di kawasan pesisir pantai merupakan konteks komunikasi antara orang tua dan anak dalam

Aktualisasi diri perempuan sebagai bekal dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, baik dalam ruang domestik maupun publik, pada tahap awal dapat diwujudkan

Dalam mengkaji tentang gender, seorang perempuan selalu menjadi titik permasalahan yang dipengaruhi oleh subjektifitas mufasir dan penafsiran dalam ayat

Dalam konteks itulah jika negara kita mau membangun pemerintahan yang maju setidaknya memperhatikan masalah secara khusus yang berkaitan dengan kesetaraan gender (World Bank,

Namun dalam hal pendidikan, para orang tua Gayo melakukan pola asuh dengan kesetaraan gender, hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa suku gayo

Manfaat yang dapat diambil oleh peserta pada saat sosialisasi gender adalah dapat meningkatkan pemahaman mereka mengenai kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan baik dalam