• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI BERBASIS AGROEKOSISTEM DI PULAU TIMOR

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan " PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI BERBASIS AGROEKOSISTEM DI PULAU TIMOR "

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI BERBASIS AGROEKOSISTEM DI PULAU TIMOR

Reproduction Performance of Bali Cattle Based on Agroecosystem in Timor Island

Fellyanus Habaora1), Asnath Maria Fuah2), Luki Abdullah3), Rudy Priyanto4), Ahmad Yani5), Bagus Priyo Purwanto6)

1) Mahasiswa Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Jl. Agatis, Babakan-Dramaga, Bogor, Jawa Barat, Indonesia

2,3,4,5,6) Dosen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Jl. Agatis, Babakan-Dramaga, Bogor, Jawa Barat, Indonesia

Email: habaorafhomas@yahoo.co.id

Submitted 4 September2019, Accepted 16 Oktober 2019 ABSTRAK

Penelitian berlokasi di Pulau Timor yang dilaksanakan bulan Januari-Desember 2018. Lokasi penelitian dipilih purposive untuk agroekosistem pasture, pertanian, perkebunan, dan hutan.

Penentuan responden 5-10% jumlah peternak masing-masing agroekosistem yang memiliki sapi Bali >10 ekor. Metode pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi untuk memperoleh data primer dan data sekunder. Kemudian dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan umur berahi dan umur kawin pertama sapi Bali betina agroekosistem pasture 1,3 tahun dan 1,9 tahun; agroekosistem perkebunan 1,3 tahun dan 2 tahun;

agroekosistem pertanian 1,4 tahun dan 1,7 tahun; dan agroekosistem hutan adalah 1,4 tahun dan 1,8 tahun. Kemudian umur sapi beranak pertama sapi betina di agroekosistem pertanian 2,8 tahun; agroekosistem pasture dan hutan 2,9 tahun; dan agroekosistem perkebunan 3 tahun.

Siklus berahi dan lama berahi sapi betina di agroekosistem pasture 27 hari dan 21,5 jam;

agroekosistem hutan 25 hari dan 26,8 jam; agroekosistem pertanian 24 hari dan 28 jam; dan agroekosistem perkebunan 24 hari dan 25,8 jam. Service per conception Sapi di agroekosistem perkebunan 2,2 kali; agroekosistem hutan 2,3 kali; agroekosistem pasture 2,4 kali; dan agroekosistem pertanian 2,6 kali. Periode kebuntingan sapi di agroekosistem perkebunan 9,5 bulan; agroekosistem pertanian 9,4 bulan; agroekosistem pasture 9,3 bulan; dan agroekosistem hutan 9,2 bulan. Calf crop ternak sapi di agroekosistem pasture 62,77%; agroekosistem hutan 54,74%; agroekosistem pertanian 51,41%; dan agroekosistem perkebunan 32,74%. Days open sapi di agroekosistem perkebunan 1,1 tahun; agroekosistem hutan 1 tahun; agroekosistem pertanian 9 bulan; dan agroekosistem pasture 8 bulan. Conception rate sapi di agroekosistem hutan 56%; agroekosistem pertanian 53,4%; agroekosistem pasture 50,3%; dan agroekosistem perkebunan 33,7%. Calving interval sapi di agroekosistem perkebunan 2,8 tahun;

agroekosistem pertanian 2,7 tahun; agroekosistem pasture 2,5 tahun; dan agroekosistem hutan 2,4 tahun. Laju peningkatan populasi ternak per tahun di agroekosistem hutan, yaitu 11,19%;

agroekosistem pasture 11,06%; agroekosistem pertanian 8,60%; dan agroekosistem perkebunan 7,44%.

Kata kunci: Performans reproduksi, sapi Bali, agroekosistem Pulau Timor.

(2)

ABSTRACT

The research is located on Timor Island, which was carried out in January-December 2018, which was chosen purposively for agroecosystems of pasture, agriculture, plantation, and forest. Determination of respondents 5-10% the number of farmers of each agroecosystem that has Bali cattle > 10 cattle. Data collection methods through observation, interviews and documentation to obtain primary data and secondary data. Then analyzed descriptively. The results showed age of first oestrus and age of first copulation of Bali cattle heifers at agroecosystem of pasture is 1,3 years and 1,9 years; plantation agroecosystem are 1,3 years and 2 years; agricultural agroecosystems are 1,4 years and 1,7 years; and forest agroecosystems are 1,4 years and 1,8 years. Then the age of the first partus heifers in agricultural agroecosystems is 2,8 year; agroecosystems of pasture and forest are 2,9 years; and plantation agroecosystems is 3 year. Oestrus cycle and oestrus timer for the cow in the agroecosystem of pasture is 27 days and 21,5 hours; forest agroecosystem is 25 days and 26,8 hours; agriculture agroecosystem is 24 days and 28 hours, and plantation agroecosystem is 24 days and 25,8 hours. Service per conception cattle in plantation agroecosystems is 2,2 times; forest agroecosystem is 2,3 times; pasture agroecosystem is 2,4 times; and agricultural agroecosystems is 2,6 times. Cattle conception period in plantation agroecosystem is 9,5- month; agriculture agroecosystem is 9,4 months; pasture agroecosystem is 9,3 months; and forest agroecosystem is 9,2 months. Calf crop for cattle in the pasture is 62,77%; forest agroecosystem is 54,74%; agroecosystem agriculture is 51,41%; and plantation agroecosystem is 32,74%. Days open cattle in plantation agroecosystem is a 1,1 year; forest agroecosystem is 1 year; agricultural agroecosystem is 9 months; and pasture agroecosystems is 8 month. Cattle conception rate in forest agroecosystem is 56%; agricultural agroecosystem is 53,4%; pasture agroecosystem is 50,3%; and plantation agroecosystem is 33,7%. Calving interval for cattle in plantation agroecosystem is 2,8 years; agricultural agroecosystem is 2,7 years; pasture agroecosystem is 2,5 year; and forest agroecosystems is 2,4 year. The natural increase in cattle population per year in forest agroecosystems is 11,19%; pasture agroecosystem is 11,06%;

agricultural agroecosystems is 8,60%; and plantation agroecosystems is 7,44%.

Keywords: Reproductive performance, Bali cattle, Timor Island agroecosystem

How to cite : Habaora, F., Fuah, A.M., Abdullah, L., Priyanto, R., Yani, A., & Purwanto, B.P. 2019.

Performans Reproduksi Sapi Bali Berbasis Agroekosistem Di Pulau Timor. TERNAK TROPIKA Journal of Tropical Animal Production Vol 20, No 2 (141-156)

(3)

PENDAHULUAN

Perkembangan populasi sapi potong di Indonesia rata-rata 2,9% per tahun sehingga dianggap memiliki produktivitas yang rendah. Hal ini menjadi penyebab pemerintah terus melakukan impor ternak maupun daging sapi untuk memenuhi produksi daging nasional yang 60%

kebutuhan daging nasional terkonsentrasi di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut dibutuhkan 750 ekor sapi per hari untuk dipotong yang pasok dari impor Australia, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Sapi Bali berkontribusi sekitar 26,92% terhadap pasokan ternak potong tersebut, dan salah satu wilayah pemasok sapi Bali tertinggi untuk dipotong adalah NTT (Ditjen PKH 2016).

Kuota ekspor sapi dari NTT antara 55.000-63.000 ekor per tahun sesuai Keputusan Gubernur NTT Nomor:

207/Kep/HK/2012 tentang Alokasi Kuota Pengeluaran Ternak Besar dari NTT.

Alokasi kuota ternak ini lebih rendah dibandingkan kuota sebelum tahun 2000-an yaitu 60.000-80.000 ekor per tahun.

Penurunan kuota ekspor sapi dimaksudkan mencegah terjadinya pengurasan ternak di NTT. Dampak penurunan kuota tersebut adalah terjadi peningkatan populasi selama 15 tahun terakhir dengan pertumbuhan sebesar 39%, yaitu dari 495.052 ekor pada tahun 2001 menjadi 899.577 ekor pada tahun 2015. Persentase tertinggi penyebaran populasi ternak sapi potong di propinsi NTT berada di Pulau Timor.

Kebijakan alokasi kuota ekspor ternak perlu dikaji lagi karena produktivitas sapi potong, terutama sapi Bali dari NTT masih relatif rendah disebabkan oleh beberapa alasan, diantaranya: (1) kematian pedet tinggi (35-40% per tahun); (2) kematian induk tinggi (>20% per tahun); (3) pemotongan betina produktif di RPH mencapai >60% dari total pemotongan sapi;

(4) keterbatasan pakan karena musim; (5) sistem pemeliharaan ternak tradisional

dengan input produksi rendah; (6) terjadinya endemik penyakit brucellosis dan antrax dengan prevalensi tinggi (14,57-40,76%) dalam kurun waktu 10 tahun terakhir; (7) pengawasan terhadap ekspor ternak masih lemah sehingga realisasi ekspor lebih tinggi dari kuota yang sudah ditetapkan; (8) terjadi penurunan bobot ekspor sapi Bali dari 450 kg/ekor pada tahun 1970-1980 menjadi 275 kg per ekor pada tahun 2015 (Lole et al.2013; Mahbubi 2015; Kleden et al.2015;

Kanahau et al.2015; Disnak NTT 2016;

Priyanto 2016).

Agroekosistem yang bervariasi sangat menentukan produktivitas ternak sapi Bali sesuai potensi masing-masing agroekosistem. Agroekosistem merupakan suatu hubungan timbal balik antara komponen-komponen pembentuk ekosistem (abiotik dan biotik) untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dengan mempertimbangkan aspek produktivitas, stabilitas, keberlanjutan dan pemerataan.

Agroekosistem berdasarkan tipe pemanfaatan lahan terdiri atas agroekosistem pasture, pertanian, perkebunan, dan hutan. Masing-masing dari agroekosistem tersebut memengaruhi input produksi peternakan sapi Bali.

Apabila dikelola secara baik berpotensi sebagai kekuatan untuk mendukung peningkatan produksi sapi Bali secara berkelanjutan. Aspek yang perlu dipertimbangkan dalam peningkatan produktivitas sapi Bali, adalah faktor reproduksi. Keberhasilan usaha budidaya sapi Bali sangat terkait erat dengan performan reproduksi dan tingkat mortalitas induk dan anak (Pohontu et al. 2018).

Performan reproduksi sapi Bali dapat dilihat dari berbagai parameter, diantaranya lama kebuntingan dan angka keberhasilan melahirkan yang di dalamnya mencakup service per conception, conception rate, calf crop, calving interval, dan lain sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian mengenai performan reproduksi sapi Bali di Pulau Timor.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

(4)

performan reproduksi sapi Bali yang diukur berdasarkan status reproduksi ternak pada setiap agroekosistem yang ada di Pulau Timor, yaitu agroekosistem pasture, pertanian, perkebunan, dan hutan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performan reproduksi sapi Bali dan faktor-faktor yang menyertainya sehingga dapat digunakan sebagai informasi, bahan masukan dan evaluasi bagi peternak dan Dinas Peternakan dalam rangka peningkatan performan reproduksi sapi Bali di NTT umumnya, dan Pulau Timor khususnya sebagai sentra produksi sapi Bali di NTT.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini dilakukan pada lokasi Pulau Timor, propinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia yang dilakukan secara purposive dan dilaksanakan bulan Januari sampai dengan Desember 2018. Lokasi penelitian dipilih secara purposive yang mewakili agroekosistem pasture berlokasi di Kabupaten Belu, Kabupaten Malaka, dan Kabupaten Timor Tengah Utara. Kabupaten Kupang dan Kota Kupang merupakan wilayah yang mewakili agroekosistem pertanian dan agroekosistem perkebunan, dan Kabupaten Timor Tengah Selatan mewakili agroekosistem hutan. Materi penelitian adalah data informasi peternak dimana penentuan responden adalah 5-10%

dari jumlah petani peternak pada masing- masing agroekosistem yang memiliki sapi Bali >10 ekor.

Berdasarkan teknik ini maka jumlah responden peternak untuk agroekosistem pasture sebanyak 127 responden, agroekosistem pertanian sebanyak 102 responden, agroekosistem perkebunan sebanyak 102 responden, dan agroekosistem hutan sebanyak 105 responden. Responden diwawancarai menggunakan daftar kuisioner yang telah disiapkan. Metode pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi.

Data yang diperoleh dari pengumpulan data ini adalah data primer dan data sekunder.

Variabel penelitian yang diukur adalah umur sapi berahi pertama, umur sapi betina kawin pertama, siklus berahi sapi, lama berahi sapi, service per conception, lama bunting sapi, umur sapi beranak pertama, days open, calving interval, conception rate, dan laju peningkatan populasi. Data hasil penelitian dicatat dan ditabulasi dengan menggunakan program excel, kemudian dianalisis menggunakan analisis deskriptif mengacu kepada Rasyad (2003) yang menyatakan bahwa analisis data deskriptif pada dasarnya adalah alat bantu statistik yang digunakan untuk memberikan gambaran/informasi mengenai karakteristik variabel penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengetahuan Status Reproduksi Sapi Bali Pengetahuan status reproduksi sapi Bali merupakan tanggapan para peternak sapi Bali terhadap status reproduksi ternak yang dilihat dari tingkat pengetahuan peternak, minat peternak dan penilaian peternak sapi terhadap manfaat informasi status reproduksi ternak sebagai suatu inovasi bagi mereka. Persepsi status reproduksi sapi Bali di agroekosistem Pulau Timor dapat dilihat pada Tabel 1.

Informasi tentang pengetahuan status reproduksi sapi Bali oleh peternak di empat agroekosistem Pulau Timor pada Tabel 1 menunjukkan bahwa peternak sapi Bali yang memiliki pengetahuan tentang status reproduksi sapi Bali tertinggi adalah peternak yang mendiami agroekosistem hutan dibandingkan peternak yang ada di agroekosistem perkebunan, pertanian dan pasture. Peternak di agroekosistem pasture merupakan peternak yang rendah dalam pengetahuan status reproduksi ternak sapi Bali dengan persentase 50,57% dan diikuti oleh peternak yang ada di agroekosistem pertanian, agroekosistem perkebunan, dan agroekosistem hutan. Pengetahuan peternak terhadap status reproduksi sapi Bali sangat mungkin dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan ternak, tingkat pendidikan, dan pengalaman dalam berternak.

(5)

Tabel 1. Persepsi status reproduksi sapi Bali di Pulau Timor Pengetahuan status reproduksi sapi Bali

Agroekosistem

Pasture Pertanian Perkebunan Hutan ...%...

Umur sapi berahi

Tahu 43,31 55,88 65,69 66,67

tidak tahu 56,69 44,12 34,31 33,33

Total 100,00 100 100,00 100,00

Umur sapi betina kawin pertama

Tahu 29,92 63,73 64,71 67,62

tidak tahu 70,08 36,27 35,29 32,38

Total 100,00 100,00 100,00 100,00

Siklus berahi sapi

Tahu 40,16 68,63 76,47 85,71

tidak tahu 59,84 31,37 23,53 14,29

Total 100,00 100,00 100,00 100,00

Pengetahuan lama berahi sapi

Tahu 30,71 59,80 70,59 68,57

tidak tahu 69,29 40,20 29,41 31,43

Total 100,00 100,00 100,00 100,00

Service per conception

Tahu 26,77 70,59 75,49 91,43

tidak tahu 73,23 29,41 24,51 8,57

Total 100,00 100,00 100,00 100,00

Periode kebuntingan sapi

Tahu 100,00 100,00 100,00 100

tidak tahu 0,00 0,00 0,00 0,00

Total 100,00 100,00 100,00 100

Umur sapi betina beranak pertama

Tahu 78,74 68,63 83,33 88,57

tidak tahu 21,26 31,37 16,67 11,43

Total 100,00 100,00 100,00 100,00

Conception rate

Tahu 32,28 67,65 85,29 88,57

tidak tahu 67,72 32,35 14,71 11,43

Total 100,00 100,00 100,00 100,00

Calving interval

Tahu 62,99 85,29 84,31 95,24

tidak tahu 37,01 14,71 15,69 4,76

Total 100,00 100,00 100,00 100,00

Rataan

Tahu 49,43 71,13 78,43 83,60

tidak tahu 50,57 28,87 21,57 16,40

Total 100,00 100,00 100,00 100,00

Manajemen pemeliharaan ternak memengaruhi intensitas interaksi diantara peternak dengan ternak sehingga

membentuk pengetahuan peternak seperti pengetahuan reproduksi, dan juga termasuk pengamatan terhadap aspek tatalaksana

(6)

peternakan seperti pencatatan, kebersihan ternak, pemanfaatan tenaga kerja, pemanfaatan kotoran sapi, dan pengTingkat pendidikan peternak memengaruhi ketrampilan, produktivitas dan pendapatan, perubahan pola pikir, dan laju penyerapan inovasi. Sedangkan pengalaman berternak merupakan peubah penting dalam menentukan keberhasilan peternak dalam pengembagan usaha ternak sapi Bali dan sekaligus upaya peningkatan pendapatan peternak karena peternak akan lebih cepat dalam berusaha dan dapat memperbaiki kekurangan di masa lalu (Jambie et al.2015, Sahab et al. 2015, Talibo et al. 2017, Riwukore dan Habaora, 2018).

Recording Ternak

Recording merupakan segala jenis kegiatan pencatatan seperti kegiatan identifikasi, pencatatan silsilah, pencatatan produksi dan reproduksi, pencatatan manajemen pemeliharaan maupun pencatatan kesehatan ternak dalam populasi sapi. Rekording ternak dapat didefenisikan sebagai proses pencatatan semua kegiatan dan kejadian yang dilakukan pada suatu usaha peternakan. Informasi tentang data rekording pada sapi Bali di empat agroekosistem Pulau Timor dapat dilihat pada Tabel 2.

Informasi tentang rekording ternak sapi Bali di empat agroekosistem Pulau Timor pada Tabel 2 menunjukkan bahwa sejumlah 66,93% peternak sapi Bali di agroekosistem pasture tidak melakukan rekording ternak. Kemudian sejumlah 56,19% peternak di agroekosistem hutan juga tidak melakukan rekording ternak.

Peternak yang memiliki persentase tertinggi untuk melakukan rekording ternak sapi Bali milik mereka adalah peternak di agroekosistem perkebunan (38,24%) dan peternak di agroekosistem pertanian (34,31%).

Aspek rekording sapi Bali yang umumnya dilakukan adalah rekording aspek produksi, aspek reproduksi, aspek kesehatan, dan aspek populasi. Berdasarkan aspek produksi, peternak sapi Bali di

agroekosistem pasture, pertanian dan hutan berorientasi pada rekording jenis kelamin ternak, sedangkan peternak di agroekosistem perkebunan berorientasi pada rekording berat badan ternak. Kemudian berdasarkan aspek reproduksi maka peternak pada agroekosistem pertanian, perkebunan dan hutan berorientasi pada rekording sapi lahir dengan persentase

>50% peternak yang melaksanakan rekording, tetapi hal yang sama juga terjadi diagroekosistem pasture dengan persentase 41,18%. Berdasarkan aspek kesehatan maka rekording ternak yang dilakukan oleh peternak di empat agroekosistem berorientasi pada rekording sapi mati.

Peternak di agroekosistem perkebunan tidak melakukan rekording tentang sapi berobat.

Sedangkan berdasarkan aspek populasi ternak maka peternak di agroekosistem pasture, pertanian dan perkebunan masih dianggap lemah dalam rekording ternak dari aspek populasi karena kurang dari 37,30%.

Hal ini berbeda dengan peternak yang berada di agroekosistem hutan dengan persentase peternak yang melakukan rekording aspek populasi tentang jumlah populasi sapi dengan persentase sebesar 55,70%. Kegunaan adanya rekording adalah dapat memberi informasi tentang ternaknya individu per individu, maupun secara keseluruhan. Catatan yang paling ideal adalah catatan yang bersifat sederhana, namun lengkap, teliti dan mudah dimengerti.

Manfaat rekording adalah untuk memfasilitasi manajemen breeding suatu usaha peternakan dengan menyediakan informasi kepada para pemulia tentang performans produksi dan reproduksi ternak;

mengorganisir pengambilan keputusan breeding di tingkat pusat melalui informasi total untuk performans produksi dari semua catatan ternak dan keunggulan genetiknya;

dan memberikan peluang perbaikan genetik untuk sifat produksi dan reproduksi yang dihasilkan. Informasi pada Tabel 2 tentang rekording ternak sapi Bali menunjukkan bahwa sebagian peternak sapi Bali yang

(7)

berada di empat agroekosistem Pulau Timor telah melakukan rekording. Peternak yang belum melakukan rekording diduga karena

pada dasarnya sebagian peternak enggan bahkan tidak menyukai melaksanakan rekording.

Tabel 2. Data rekording ternak sapi Bali di empat agroekosistem Pulau Timor Recording Ternak

Agroekosistem

Pasture Pertanian Perkebunan Hutan ...%...

Recording Ternak

(-). Catat 16,54 34,31 38,24 27,62

(-). Kadang-kadang 16,54 23,53 33,33 16,19

(-). Tidak Pernah 66,93 42,16 28,43 56,19

Total 100,00 100,00 100,00 100,00

Jenis recording Ternak (1). Aspek Produksi

(-). Berat lahir 10,64 4,84 4,72 7,84

(-). Berat badan 31,91 27,42 55,12 35,29

(-). Jenis kelamin 57,45 67,74 40,16 56,86

Total 100,00 100,00 100,00 100,00

(2). Aspek Reproduksi

(-). Sapi kawin 32,35 27,45 24,14 23,08

(-). Inseminasi 26,47 19,61 20,69 21,54

(-). Sapi lahir 41,18 52,94 55,17 55,38

Total 100,00 100,00 100,00 100,00

(3). Aspek Kesehatan

(-). Sapi mati 53,66 75,00 92,50 63,04

(-). Sapi sakit 24,39 20,00 7,50 19,57

(-). Sapi berobat 21,95 5,00 0,00 17,39

Total 100,00 100,00 100,00 100,00

(4). Aspek Populasi

(-). Jumlah sapi 36,56 36,31 37,30 55,70

(-). Sapi masuk 31,18 31,21 31,09 18,99

(-). Sapi keluar 32,26 32,48 31,61 25,31

Total 100,00 100,00 100,00 100,00

Hakim et al. (2010) menyatakan bahwa beberapa hambatan dalam pelaksanaan rekording ternak sapi di daerah tropis antara lain: (1) rendahnya dana untuk pelaksanaan program rekording; (2) jumlah sapi yang dipelihara setiap peternak sangat sedikit sehingga sulit dilakukan oleh organisasi secara rutin; (3) infrastruktur yang minim dan tidak standar (misalnya

jalan, jaringan komunikasi, dan organisasi peternak); (4) tidak ada insentif bagi peternak yang melakukan rekording; (5) imbalan yang tidak seimbang bagi peternak yang melakukan rekording dengan baik sehingga memiliki ternak yang bagus kualitasnya; (6) fasilitas untuk pengumpulan dan prosesing data yang sangat minim dan bahkan tidak tersedia; dan (7) sedikitnya

(8)

tenaga penyuluh dan pencatat di lapang yang tersedia dan memenuhi syarat.

Pengenalan Gejala Estrus atau Berahi Sapi Bali

Selama satu siklus estrus, hormon- hormon reproduksi saling berinteraksi untuk menampilkan perubahan fisiologis dan perubahan tingkah laku seekor hewan betina. Khusus pada fase estrus, hormon estrogen memegang peranan yang penting

bagi seekor hewan betina untuk dapat memperlihatkan tingkah laku berahi, ovulasi dan kebuntingan (Ramli et al. 2016).

Pengenalan peternak terhadap tingkah laku atau gejala ternak betina sedang mengalami berahi sangat penting diketahui oleh peternak sebagai proses pengidentifikasi pengaturan perkawinan ternak. Informasi tentang pengenalan gejala estrus atau berahi sapi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengenalan gejala estrus/berahi sapi di empat agroekosistem Pulau Timor Pengenalan Gejala Estrus/Berahi Sapi

Agroekosistem

Pasture Pertanian Perkebunan Hutan ...%...

Vulva membengkak, hangat dan

berwarna merah 71,65 74,51 100,00 94,29

Keluar lendir (cairan) dari vulva 81,89 60,78 97,06 86,67 Sapi menjadi gelisa dan menaiki sapi

lain/kandang 57,48 64,71 87,25 83,81

Apabila dinaiki pejantan atau sapi lain

akan diam 75,59 50,98 99,02 87,62

Nafsu makan turun sehingga produksi

turun sesaat 32,28 46,08 74,51 88,57

Rataan 63,78 59,41 91,57 88,19

Secara umum peternak sapi Bali yang berada di empat agroekosistem memahami gejala-gejala estrus/berahi pada sapi Bali.

Peternak yang berada di agroekosistem perkebunan memiliki persentase pengenalan gejala estrus yang lebih tinggi dibandingkan peternak yang berada di agroekosistem hutan, pasture, dan pertanian. Peternak di agroekosistem pasture mengidentifikasi gejala berahi pada sapi Bali betina apabila ada keluar lendir dari vulva, diam dinaiki pejantan atau sapi lain, dan apabila vulva membengkak, hangat dan berwarna merah.

Peternak pada agroekosistem pertanian mengidentifikasi ternak betina sedang berahi apabila vulva membengkak, hangat dan berwarna merah. Sedangkan peternak di agroekosistem perkebunan dan hutan lebih memahami gejala berahi pada sapi betina melalui gejala-gejala yang ditunjukkan oleh ternak seperti vulva membengkak, hangat dan berwarna merah; keluar lendir (cairan)

dari vulva; sapi menjadi gelisa dan menaiki sapi lain/kandang; apabila dinaiki pejantan atau sapi lain akan diam; dan nafsu makan turun sehingga produksi turun sesaat.

Sistem Perkawinan Sapi Bali

Salah satu indikator performans reproduksi ternak betina adalah keberhasilan kebuntingan, kaitannya dengan metode perkawinan yang terarah, melalui kawin alam maupun kawin inseminasi buatan. Sudirman (2016) menyatakan bahwa perkawinan secara alam diduga menghasilkan tingkat kebuntingan yang rendah karena berbagai alasan antara lain kurangnya kontrol terhadap manajemen estrus, ratio ternak jantan dan betina yang tidak seimbang, adanya beberapa ekor ternak betina yang tidak mampu untuk bunting dan lain-lain. Perkawinan dengan inseminasi buatan merupakan teknologi yang dimodifikasi diharapkan mempunyai peran besar dalam meningkatkan

(9)

keberhasilan kebuntingan. Informasi sistem perkawinan ternak sapi Bali di empat

agroekosistem Pulau Timor dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Sistem perkawinan ternak di empat agroekosistem Pulau Timor Sistem Perkawinan Ternak

Agroekosistem

Pasture Pertanian Perkebunan Hutan ...%...

Inseminasi 7,09 9,80 11,76 13,33

Kawin alam 92,91 90,20 88,24 86,67

Total 100,00 100,00 100,00 100,00

Informasi sistem perkawinan ternak di empat agroekosistem Pulau Timor menunjukkan bahwa peternak di empat agroekosistem mengawinkan ternak mereka dengan persentase tertinggi adalah sistem kawin alam. Sedangkan persentase peternak yang mengawinkan ternak mereka menggunakan sistem perkawinan inseminasi buatan tertinggi adalah peternak di agroekosistem hutan (13,33%), diikuti peternak di agroekosistem perkebunan (11,76%), peternak di agroekosistem pertanian (9,80%), dan peternak di agroekosistem pasture (7,09%). Hal ini menunjukkan bahwa sistem perkawinan ternak dengan sistem inseminasi buatan belum maksimal di adopsi oleh peternak di empat agroekosistem Pulau Timor.

Ediset dan Jaswandi (2017) menyatakan bahwa bioteknologi reproduksi inseminasi buatan akan diadopsi secara efektif oleh peternak jika dilakukan melalui program penyuluhan, untuk itu berhasil atau tidak berhasilnya kegiatan penyuluhan ditentukan oleh beberapa unsur, diantaranya adalah unsur penyuluhnya, unsur inovasi (pesan), unsur penerima (peternak sasaran) maupun unsur penerima (peternak sasaran) maupun unsur media dan metode penyuluhannya. Keberhasilan program penyuluhan dalam adopsi inovasi dipengaruhi juga oleh kondisi sosial ekonomi peternak dimana akan memengaruhi proses dan kecepatan peternak sasaran dalam mengadopsi inovasi dan secara tidak langsung juga akan

memberi kemudahan pada penyuluh dalam penerapan inovasi yang ditawarkannya.

Aspek Inseminasi Buatan

Inseminasi buatan merupakan suatu cara atau teknik penting untuk memperbaiki genetik pada ternak. Sudirman (2016) menjelaskan bahwa keuntungan utama inseminasi buatan adalah perbaikan genetik, mengontrol penyakit kelamin pada ternak (venereal diseases), adanya catatan perkawinan/inbreeding yang teliti dan menjaga kesehatan induk dari pejantan dalam satu kelompok. Namun demikian keberhasilan IB, tergantung pada ketrampilan inseminator, ternak betina yang diinseminasi benar-benar dalam keadaan estrus dan siap untuk menerima sperma.

Inseminasi buatan memungkinkan untuk menghasilkan lebih banyak keturunan dari masing-masing pejantan, dibandingkan kawin alam.

Informasi tentang aspek-aspek inseminasi buatan pada sapi Bali di empat agroekosistem Pulau Timor dapat dilihat pada Tabel 5. Aspek inseminasi buatan pada sapi Bali berdasarkan ketrampilan inseminator di empat agroekosistem Pulau Timor menyatakan bahwa inseminator yang bertugas di wilayah mereka memiliki ketrampilan yang relatif sempurna dengan persentase antara 64,29-88,89%. Kemudian sejumlah 11,11% peternak di agroekosistem pasture dan sejumlah 7,14% peternak di agroekosistem hutan menyatakan hasil inseminasi tidak memuaskan. Sedangkan 100% peternak yang berada pada agroekosistem pertanian menyatakan hasil

(10)

inseminasi cukup memuaskan. Sementara itu, sejumlah 75% peternak yang berada di agroekosistem perkebunan menyatakan hasil inseminasi yang dilakukan oleh inseminator adalah memuaskan.

Peternak yang berada di agroekosistem perkebunan (100%) dalam mengadakan inseminasi buatan pada ternaknya dilakukan dengan membayar.

Peternak yang berada di agroekosistem pasture, pengadaan inseminasi buatan pada ternaknya dilakukan dengan bagi hasil (11,11%) dan gratis (88,89%). Peternak yang berada di agroekosistem pertanian, pengadaan inseminasi buatan di ternaknya dilakukan dengan membayar (70%), bagi hasil (10%), gratis (10%), dan lainnya (10%).

Tabel 5. Aspek inseminasi buatan di empat agroekosistem Pulau Timor Aspek Inseminasi Buatan

Agroekosistem

Pasture Pertanian Perkebunan Hutan ...%...

Ketrampilan inseminator

Relatif sempurna 88,89 70,00 75,00 64,29

Ragu-ragu 11,11 30,00 25,00 35,71

Total 100,00 100,00 100,00 100,00

Biaya pelayanan inseminasi

Bagi hasil 11,11 10,00 0,00 35,71

Rp./pelayanan 0,00 70,00 100,00 35,72

Gratis 88,89 10,00 0,00 21,43

Lainnya 0,00 10,00 0,00 7,14

Total 100,00 100,00 100,00 100,00

Hasil inseminasi

Memuaskan 22,22 0,00 75,00 35,71

Cukup memuaskan 66,67 100,00 25,00 57,14

Tidak memuaskan 11,11 0,00 0,00 7,14

Total 100,00 100,00 100,00 100,00

Kendala pelaksanaan inseminasi buatan Peternak tidak ingin mengadopsi

teknologi 60,63 95,10 76,47 84,76

Kualitas semen sapi rendah 29,13 57,84 50,00 33,33

Sosialisasi IB rendah 40,94 71,57 48,04 57,14

Ketrampilan inseminator rendah 38,58 72,55 41,18 33,33 Kemampuan deteksi berahi rendah 54,33 58,82 57,84 49,52 Tatalaksana pemeliharaan

(kebiasaan sosial budaya) 70,08 61,76 83,33 88,57

Ekonomi peternak 45,67 84,31 67,65 54,29

Pelaksanaan IB rendah 49,61 59,80 61,76 68,57

Pengalaman inseminator 44,09 51,96 42,16 31,43

Lokasi sulit dijangkau inseminator 38,58 61,76 44,12 59,05

(11)

Sedangkan peternak yang berada di agroekosistem hutan, pelaksanaan inseminasi buatan di ternaknya dilakukan dengan membayar (35,72%), bagi hasil (35,71%), gratis (21,43%), dan lainnya (7,14%). Kendala pelaksanaan inseminasi buatan di empat agroekosistem Pulau Timor dengan persentase lebih dari 50% untuk peternak di agroekosistem pasture adalah peternak tidak ingin mengadopsi teknologi, kemampuan deteksi berahi rendah, dan tatalaksana pemeliharaan (kebiasaan sosial budaya).

Kemudian peternak di agroekosistem pertanian adalah peternak tidak ingin mengadopsi teknologi, kualitas semen rendah, sosialisasi IB rendah, ketrampilan inseminator rendah, tatalaksana pemeliharaan (kebiasaan sosial budaya), ekonomi peternak, pelaksanaan IB rendah, pengalaman inseminator, dan lokasi sulit dijangkau oleh inseminator. Sementara itu, kendala pada peternak di agroekosistem

perkebunan adalah peternak tidak ingin mengadopsi teknologi, kualitas semen rendah, kemampuan deteksi berahi rendah, tatalaksana pemeliharaan (kebiasaan sosial budaya), ekonomi peternak, dan pelaksanaan IB rendah. Sedangkan kendala pada peternak di agroekosistem hutan adalah peternak tidak ingin mengadopsi teknologi, sosialisasi IB rendah, tatalaksana pemeliharaan (kebiasaan sosial budaya), ekonomi peternak, pelaksanaan IB rendah, dan lokasi yang sulit dijangkau.

Status Reproduksi sapi Bali

Status reproduksi ternak terdiri atas umur sapi berahi pertama, umur sapi betina kawin pertama, siklus berahi, lama berahi, service per conception, lama bunting sapi, umur sapi beranak pertama, days open, calf crop, calving interval, conception rate, dan laju peningkatan populasi. Penilaian status reproduksi sapi Bali pada empat agroekosistem di Pulau Timor dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini.

Tabel 6. Status reproduksi sapi Bali di empat agroekosistem Pulau Timor

Status reproduksi sapi Bali Agroekosistem

Pasture Pertanian Perkebunan Hutan

umur sapi berahi pertama (tahun) 1,3 1,4 1,3 1,4

umur sapi betina kawin pertama (tahun) 1,9 1,7 2,0 1,8

siklus berahi sapi (hari) 26,7 24,0 23,8 24,8

Calf crop (%) 62,77 51,41 32,74 54,74

lama berahi sapi (jam) 21,5 28,0 25,8 26,8

Service per conception 2,4 2,6 2,2 2,3

lama bunting sapi (bulan) 9,3 9,4 9,5 9,2

umur sapi beranak pertama (tahun) 2,9 2,8 3,0 2,9

Days open (tahun) 0,8 0,9 1,1 1,0

Calving interval (tahun) 2,5 2,7 2,8 2,4

Conception rate (%) 50,3 53,4 33,7 56,0

laju peningkatan populasi (%) 11,06 8,60 7,44 11,19 Umur berahi sapi Bali betina di

agroekosistem pasture 1,3 tahun dan umur kawin pertama pada 1,9 tahun. Kemudian umur berahi sapi Bali betina di agroekosistem perkebunan 1,3 tahun dan umur kawin pertama 2 tahun. Sementara itu, umur berahi sapi betina di agroekosistem

pertanian 1,4 tahun dan umur kawin pertama 1,7 tahun. Sedangkan umur berahi sapi Bali betina di agroekosistem hutan adalah 1,4 tahun dan umur kawin pertama 1,8 tahun.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa umur berahi sapi Bali betina di empat agroekosistem lebih dari 1,1 tahun sehingga

(12)

memengaruhi lama waktu ternak betina dikawinkan dengan pejantan/diinseminasi.

Sapi Bali berahi pertama pada umur 1,1 tahun dan dikawinkan pertama pada umur 1,5 tahun (Iskandar 2011; Riwukore dan Habaora 2018).

Faktor pakan yang terbatas memengaruhi umur berahi ternak sehingga perbaikan manajemen pakan sangat dibutuhkan oleh ternak sapi betina yang ada di empat agroekosistem Pulau Timor.

Toelihere (1993) menyatakan bahwa pubertas dipengaruhi kondisi hewan (umur, bobot badan, ras dan genetik) dan lingkungan (suhu, musim dan iklim) serta ketersediaan pakan secara kuantitas dan kualitas. Umur pubertas lebih dini menguntungkan karena mengurangi masa tidak produktif dan memperpanjang siklus hidup produktif ternak. Sedang umur kawin pertama ternak betina muda tidak boleh dikawinkan sampai pertumbuhan badannya memungkin untuk suatu kebuntingan dan kelahiran normal karena dewasa kelamin terjadi sebelum dewasa tubuh tercapai.

Umur sapi beranak pertama sapi betina di agroekosistem pertanian lebih muda, yaitu 2,8 tahun dibandingkan agroekosistem pasture dan hutan (2,9 tahun), dan juga sapi betina di agroekosistem perkebunan yang mencapai 3 tahun ketika beranak pertama. Umur beranak pertama sapi betina di empat agroekosistem Pulau Timor yang lebih dari 2,8 tahun dipengaruhi oleh umur kawin pertama ternak yang biasanya di umur 1,7 tahun.

Siklus berahi dan lama berahi sapi betina di agroekosistem pasture 27 hari dengan lama berahi 21,5 jam. Siklus berahi sapi betina di agroekosistem hutan 25 hari dengan lama berahi 26,8 jam. Kemudian siklus berahi sapi betina di agroekosistem pertanian 24 hari dengan lama berahi 28 jam, dan siklus berahi sapi betina di agroekosistem perkebunan 24 hari dengan lama berahi 25,8 jam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa siklus berahi sapi betina di agroekosistem pertanian dan

perkebunan lebih pendek dibandingkan dengan siklus berahi sapi betina yang ada di agroekosistem hutan dan pasture.

Sedangkan lama berahi sapi Bali betina di empat agroekosistem Pulau Timor menunjukkan waktu yang lama sehingga sangat baik untuk peternak melakukan penjadwalan perkawinan ternak atau efektifitas sistem perkawinan ternak baik untuk yang kawin alam maupun kawin inseminasi. Siklus estrus ternak sapi rata- rata 21 hari atau pada kisaran 18-24 hari dengan lama estrus 18-19 jam (Winugroho dan Widiawati 2015; Riwukore dan Habaora 2018). Dikman et al. (2010) menyatakan untuk persentase kejadian berahi 43% pada waktu 00.00-06.00 WIB, kejadian berahi 25% pada waktu 18.00-00.00 WIB, kejadian berahi 22% pada waktu 06.00-12.00 WIB dan kejadian berahi 10% pada waktu 12.00- 18.00 WIB.

Sapi betina yang berada di agroekosistem perkebunan membutuhkan 2,2 kali untuk mencapai service per conception dibandingkan sapi yang berada di agroekosistem hutan (2,3 kali), agroekosistem pasture (2,4 kali) dan agroekosistem pertanian (2,6 kali).

Riwukore dan Habaora (2018) menyatakan bahwa nilai S/C dikatakan normal antara 1,6-2,0 dan idealnya seekor sapi betina yang harus mengalami kebuntingan setelah melakukan IB 1-2 kali selama proses perkawinan. Hal ini menunjukkan bahwa sapi Bali betina yang berada di empat agroekosistem Pulau Timor memiliki nilai kesuburan yang cukup rendah. Susilawati (2011) menyatakan bahwa faktor yang memengaruhi tingginya nilai S/C diantaranya adalah faktor nutrisi dari pakan yang diberikan. Kekurangan protein dalam ransum ternak betina dapat mengakibatkan berahi yang lemah, kawin berulang, kematian embrio dini dan aborsi embrio.

Tingginya nilai S/C disinyalir karena peternak terlambat dalam mendeteksi terjadinya berahi atau terlambat dalam mendeteksi terjadinya berahi atau terlambat dalam melaporkan terjadinya berahi kepada

(13)

inseminator, adanya kelainan pada alat reproduksi induk sapi, inseminator kurang terampil, fasilitas pelayanan inseminasi yang terbatas dan kurang lancarnya transportasi (Soeharsono et al. 2010;

Riwukore dan Habaora 2018). Faktor inbreeding dapat menjadi kendala karena sistem pemeliharaan yang tidak terkontrol.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sistem perkawinan alam merupakan sistem yang dilakukan oleh peternak di empat agroekosistem Pulau Timor dengan rentang persentase antara 86,67-92,91%. Perbaikan pakan dan manajemen reproduksi dapat menurunkan service per conception.

Pramono et al. (2010) melaporkan adanya perbaikan pakan dan manajemen reproduksi dapat menurunkan S/C dari 2,2 menjadi 1,75.

Sapi betina yang berada di agroekosistem perkebunan memiliki periode kebuntingan yang lebih lama, yaitu 9,5 bulan dibandingkan sapi betina yang ada di agroekosistem pertanian (9,4 bulan), agroekosistem pasture (9,3 bulan), dan agroekosistem hutan (9,2 bulan). Lama bunting sapi di empat agroekosistem ini masih pada kisaran normal lama kebuntingan sapi lokal di Indonesia, yaitu antara 9,5-9,7 bulan. Periode kebuntingan dipengaruhi jenis kelamin, bangsa sapi, keturunan, umur induk, musim kelahiran, kondisi lingkungan, manajemen pemeliharaan, pakan, genetik dan letak geografis (Prasojo et al.2010; Iskandar 2011; Riwukore dan Habaora 2018). Calf crop adalah persentase anak yang dilahirkan hidup dalam satu tahun dari seluruh induk yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai calf crop ternak sapi di agroekosistem pasture (62,77%) lebih tinggi dibandingkan ternak sapi di agroekosistem hutan (54,74%), agroekosistem pertanian (51,41%) dan agroekosistem perkebunan (32,74%). Perbedaan nilai calf crop ini dipengaruhi oleh waktu dan lama berahi ternak sapi betina pada masing-masing agroekosistem. Nilai calf crop dipengaruhi jumlah anak sekelahiran, persentase induk

yang melahirkan dalam total populasi induk, persentase kematian pada saat anak belum disapih, dan jarak beranak (Soeharsono et al.

2010; Setyono et al. 2014; Iskandar 2011, Riwukore dan Habaora 2018). Usaha meningkatkan calf crop sapi maka peternak harus tepat dalam memerhatikan waktu dan lama berahi, ketepatan saat kawin, nutrisi dan pengawasan penyakit.

Sapi betina yang ada di agroekosistem perkebunan menunjukkan days open yang lebih lama, yaitu 1,1 tahun dibandingkan dengan sapi betina yang ada di agroekosistem hutan (1 tahun), agroekosistem pertanian (9 bulan), dan agroekosistem pasture (8 bulan). Hasil penelitian ini menunjukkan nilai DO sapi Bali di empat agroekosistem sangat panjang.

Ihsan (2010) menyatakan bahwa DO ideal adalah 85-115 hari. Sedangkan panjang DO sapi di Indonesia antara 116,09-149,32 hari (Atabany et al.2011; Nuryadi dan Wahjuningsih 2011; Setyono et al. 2014).

Nilai DO yang panjang untuk sapi Bali yang ada di empat agroekosistem Pulau Timor disebabkan oleh manajemen reproduksi yang masih rendah, pakan yang terbatas, dan faktor lingkungan. Novacovic et al. (2011) menyatakan bahwa nilai DO yang panjang dipengaruhi oleh deteksi berahi lambat dan salah, kurangnya bobot badan, dan pengaruh lingkungan.

Sapi betina di agroekosistem hutan memiliki nilai conception rate lebih tinggi, yaitu 56% dibandingkan sapi betina yang ada di agroekosistem pertanian (53,4%), agroekosistem pasture (50,3%), dan agroekosistem perkebunan (33,7%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai conception rate sapi Bali di agroekosistem perkebunan sangat rendah. Nilai CR sapi yang baik antara 60-70% dan dapat dimaklumi nilai CR untuk sapi potong di Indonesia karena faktor kondisi alam, manajemen dan distribusi ternak yang menyebar sudah dianggap baik jika nilai CR sebesar 45-50% (Fanani et al.2013;

Riwukore dan Habaora 2018). Nilai CR yang rendah di agroekosistem perkebunan

(14)

karena memiliki nilai S/C yang besar dan kesuburan pejantan maupun betina yang rendah meskipun telah memiliki inseminator dengan kategori sangat memuaskan. Afiati et al. (2013) menyatakan bahwa kombinasi tingkat kesuburan ternak (kesuburan pejantan, betina dan teknik inseminasi) memengaruhi 80% terhadap nilai kebuntingan sebesar 64-70%.

Manajemen reproduksi dan seleksi ternak merupakan strategi dalam meningkatkan nilai CR sapi di empat agroekosistem Pulau Timor, terutama di agroekosistem perkebunan.

Sapi-sapi betina yang ada di agroekosistem perkebunan memiliki nilai calving interval lebih panjang, yaitu (2,8 tahun) dibandingkan sapi betina yang ada di agroekosistem pertanian (2,7 tahun), agroekosistem pasture (2,5 tahun) dan agroekosistem hutan (2,4 tahun). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa calving interval sapi di empat agroekosistem di Pulau Timor sangat panjang. Setyono et al.

(2014) menyatakan bahwa calving interval ideal untuk sapi adalah 365 hari (12 bulan) dimana 9 bulan untuk bunting dan 3 bulan untuk menyusui. Calving interval sapi di Indonesia antara 1,12-1,17 tahun (Soeharsono et al.2010; Setyono et al.2014;

Riwukore dan Habaora 2018). Sistem perkawinan alam dan pemeliharaan yang masih tradisional menjadi penyebab nilai CI yang panjang. Lutfi et al. (2011) menyatakan bahwa nilai CI secara nyata dipengaruhi kelompok pejantan dan lokasi, musim kelahiran yang berhubungan dengan ketersediaan pakan.

Pedet yang terlalu lama disusukan induknya dengan pakan yang terbatas nutrisi akan menyebabkan post partum etrus (berahi pasca melahirkan) menjadi terlambat dan calving interval menjadi panjang sehingga peternak merugi.

Persentase laju peningkatan populasi ternak per tahun lebih tinggi pada ternak sapi Bali di agroekosistem hutan, yaitu 11,19%

dibandingkan ternak sapi Bali di agroekosistem pasture (11,06%),

agroekosistem pertanian (8,60%), dan agroekosistem perkebunan (7,44%).

Persentase laju peningkatan populasi sapi betina di empat agroekosistem dipengaruhi oleh status reproduksi ternak. Dengan demikian status reproduksi sapi di agroekosistem hutan dan agroekosistem pasture cenderung lebih baik dibandingkan dengan status reproduksi sapi pada agroekosistem pertanian dan perkebunan.

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternak sapi Bali pada masing-masing agroekosistem di Pulau Timor yang meliputi agroekosistem pasture, pertanian, perkebunan, dan hutan memiliki performa reproduksi yang rendah.

Hal ini disebabkan karena (1) usia ternak sapi Bali saat dikawinkan dengan pejantan/inseminasi pada saat ternak betina telah mencapi umur 1,7 tahun sehingga memengaruhi usia beranak pertama dari sapi betina menjadi panjang, yaitu lebih dari 2,8 tahun; (2) siklus berahi yang panjang; (3) kesuburan betina yang rendah sehingga menyebabkan nilai service per conception menjadi tinggi meskipun memiliki nilai calf crop yang cukup baik untuk daerah tropis kering; (4) nilai days open yang panjang; (5) persentase conception rate betina yang rendah; (6) calving interval yang panjang.

Keadaan ini pun menyebabkan laju peningkatan populasi ternak sapi Bali di masing-masing agroekosistem di Pulau Timor cukup rendah, yaitu di bawah 11,2%

per tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Afiati, F., Herdis, & Said, S. (2013).

Pembibitan Ternak Dengan Iseminasi Buatan. Jakarta: Penebar Swadaya.

Atabany, A., Purwanto, B. P., Toharmat, T.,

& Anggraeni, A. (2011). Hubungan masa kosong dengan produktivitas pada sapi perah friesian holstein di Baturraden, Indonesia. Media Peternakan, 34(2), 77–82. https://doi.

org/10.5398/medpet.2011.34.2.77

(15)

Dikman, D., Affandy, L., & Ratnawati, D.

(2010). Petunjuk Teknis Perbaikan Teknologi Reproduksi Sapi Potong Induk. Grati-Pasuruan: Loka penelitian sapi potong.

Disnak NTT. (2016). Laporan Tahunan.

Kupang: Pemprov NTT.

Ditjen PKH. (2016). Kebijakan Pemerintah Terkait Logistik Peternakan.

Ediset, E., & Jaswandi, J. (2017). Metode penyuluhan dalam adopsi inovasi inseminasi buatan (Ib) pada usaha peternakan sapi di Kabupaten Dharmasraya. JURNAL PETERNAKAN, 14(1), 1. https://doi.org/10.24014/jupet.v 14i1.3395

Fanani, S., Subagyo, Y. B. P., & Lutojo.

(2013). Kinerja reproduksi sapi perah peranakan friesian holstein (PFH) di Kecamatan Pudak, Kabupaten Ponorogo. Tropical Animal Husbandry, 2(1), 21–27. https://doi.org/http://dx.

doi.org/10.1016/j.physio.2015.03.169 Hakim, L., Ciptadi, G., & Nurgiartiningsih, V. M. (2010). Database recording models of Indonesian local beef cattle performance. TERNAK TROPIKA Journal of Tropical Animal Production, 11(2), 61–73.

Ihsan, M. (2010). Indek fertilitas sapi PO dan persilangannya dengan Limousin.

TERNAK TROPIKA Journal of Tropical Animal Production, 11(2), 82–87.

Iskandar. (2011). Performan reproduksi sapi PO pada dataran rendah dan dataran tinggi di provinsi jambi. Jurnal Ilmiah ILmu-Ilmu Peternakan, XIV(1), 51–61.

Jambie, L., Indrayani, T., Pribadi, &

Hidayati, N. (2015). Development potential of beef cattle at Central Katingan Subdistrict, Katingan District, Central Kalimantan. Media Sains, 8(1), 59–68.

Kanahau, D., Pohan, A., & Nullik, J. (2015).

Zoonosis disease in East Nusa Tenggara. In National Workshop on Zoonosis Diseases (pp. 328–333).

Kleden, M. M., Ratu, M. R., & Randu, M.

D. (2015). Kapasitas tampung hijauan

pakan dalam areal perkebunan kopi dan padang rumput alam di Kabupaten Flores Timur Nusa Tenggara Timur.

ZOOTEC, 35(2), 340. https://doi.org/

10.35792/zot.35.2.2015.9274

Lolea, U. R., Hartoyo, S., Kuntjoro, &

Rusastra, I. W. (2013). Analysis of regional distribution capacity and priorities for improving beef cattle population in east nusa tenggara province. Media Peternakan, 36(1), 70–78. https://doi.org/10.5398/medpe t.2013.36.1.70

Luthfi, M., Anggraeny, Y., & Purwanto.

(2011). Perbedaan performan reproduksi sapi PO dan Brahman Cross di berbagai lokasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. In Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Loka Penelitian Sapi Potong. Grati-Pasuruan.

Mahbubi, A. (2015). Development program of Madura as an Island of Cattle:

Sustainable supply chain management perspective. Jurnal Agriekonomika, 3(2), 94–105.

Novakovic, Z., Sretenovic, L., Aleksic, S., Petrovic, M., Pantelic, V., & Ostojic- Andric, D. (2011). Age at first conception of high yielding cows.

Journal Biotechnology in Animal Husbandry, 27(3), 1043–1050.

Nuryadi, & Wahjuningsih, S. (2011).

Penampilan reproduksi sapi peranakan ongole dan peranakan limousin di Kabupaten Malang.

TERNAK TROPIKA Journal of Tropical Animal Production, 12(1), 76–81.

Pohontu, A., Lomboan, A., Paath, J. F., &

Rimbing, S. C. (2017). Penampilan reproduksi ternak sapi potong di Kecamatan Bintauna Kabupaten Bolaang Mongondow Utara.

ZOOTEC, 38(1), 102. https://doi.org/

10.35792/zot.38.1.2018.18537

Pramono, D., Subiharta, Utomo, B., Prawirodigdo, S., Heriyanti, I., &

Mujiyono. (2010). Pendampingan

(16)

Program Swasembada Daging Sapi di Kabupaten Kebumen. In Laporan Pengkajian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah.

Prasojo, G., Arifiantini, I., & Mohamad, K.

(2010). Korelasi antara lama kebuntingan, bobot lahir dan jenis kelamin pedet hasil inseminasi buatan pada sapi bali. Jurnal Veteriner, 11(1).

Priyanto, D. (2017). Strategi pengembalian wilayah Nusa Tenggara Timur sebagai sumber ternak sapi potong. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, 35(4), 167. https://doi.org/

10.21082/jp3.v35n4.2016.p167-178 Ramli, M., Siregar, T. N., Thasmi, C. N.,

Dasrul, D., Wahyuni, S., & Sayuti, A.

(2016). Relation between Estrous Intensity and Estradiol Concentration on Local Cattle during Insemination.

Jurnal Medika Veterinaria, 10(1), 27.

https://doi.org/10.21157/j.med.vet..v1 0i1.4032

Rasyad, R. (2003). Metode statistik deskriptif untuk umum. Jakarta:

Grasindo.

Sahab, A., Darusman, D., & Muladno, M.

(2016). Penguatan pengelolaan taman nasional gunung halimun salak melalui pemberdayaan masyarakat berbasis pengembangan peternakan ruminansia. risalah kebijakan pertanian dan lingkungan: Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian Dan Lingkungan, 2(2), 87. https://doi.

org/10.20957/jkebijakan.v2i2.10969 Setyono, A. W., Isnaini, N., &

Wahjuningsih, S. (2014). Performan reproduksi sapi persilangan di wilayah Tanggunggunung Kabupaten Tulungagung. TERNAK TROPIKA Journal of Tropical Animal Production, 15(1), 1–8.

Soeharsono, Saptati, R., & Diwyanto, K.

(2010). Penggemukan Sapi Lokal Hasil Inseminasi Buatan Dan Sapi Bakalan Impor Dengan Menggunakan Bahan Pakan Lokal. In Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner (pp. 115–122). Bogor:

Pustlitbangnak.

Sudirman. (2016). Pengaruh metode perkawinan terhadap keberhasilan kebuntingan sapi Donggala di Kabupaten Sigi. Jurnal Mitra Sains, 4(3), 22–27.

Suprianto, & Djuliansah, D. (2016). The increasing of productivity and cow farmers income by artificial insemination: Case study at District of Tasikmalaya. Jurnal Mimbar Agribisnis, 1(3), 211–226.

Susilawati, T. (2011). Tingkat keberhasilan inseminasi buatan dengan kualitas dan deposisi semen yang berbeda pada sapi peranakan Ongole. TERNAK TROPIKA Journal of Tropical Animal Production, 12(2), 15–24.

Talibo, R., Sondakh, B. F., Sajow, A. A., &

Lainawa, J. (2017). Analisis persepsi petani peternak sapi potong terhadap peran penyuluh di Kecamatan Sangkub Kabupaten Bolaang mongondow utara. ZOOTEC, 37(2), 513. https://doi.org/10.35792/zot.37.2 .2017.16910

Toelihere, M. (1993). Inseminasi Buatan Pada Ternak. Bandung: Angkasa Press.

Winugroho, M., Widiawati, Y., & Marjati, S. (2015). Probiotik bioplus. In 500 Teknologi inovasi pertanian. Jakarta:

IAARD Press.

Referensi

Dokumen terkait

Hal penelitian menunjukkan bahwa; 1 persepsi peternak tentang kebijakan pemerintah dalam pemberian vaksin Penyakit Mulut dan Kuku PMK pada sapi perah di Kabupaten Banyumas mayoritas

Prevention services targeted at high-risk groups have been intensified since 2003 with support from the Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria.1 In Mongolia,