HUKUM PERIKATAN
Rachmatika Lestari, S.H., M.H.
13 Sept 2021
1 Nov 2021UNDANG – UNDANG SEBAGAI SUMBER PERIKATAN
A. Pendahuluan : Perikatan yang Lahir Karena Undang-undang.
• Ketentuan tentang perikatan yang dilahirkan dari undang-undang diatur dalam Buku Ketiga Bab III KUH Perdata, dalam Pasal 1352 sampai dengan Pasal 1380, selain juga mendasarkan pada ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata yang menyatakan “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”.
• Hal ini bermakna bahwa hubungan hukum yang terjadi dalam lapangan harta kekayaan dapat terjadi setiap saat, baik itu dikarenakan kehendak dari para pihak, maupun tanpa dikehendaki oleh para pihak dikarenakan, suatu peristiwa, hubungan antara para pihak maupun suatu keadaan dapat berubah menjadi hubungan hukum, baik dikehendaki ataupun tidak dikehendaki oleh para pihak, dan oleh undang-undang hubungan/keadaan ataupun peristiwa tersebut diberikan kewajiban atau prestasi untuk dipenuhi.
• Perikatan yang lahir dari undang-undang secara prinsipil berbeda dengan perikatan yang lahir karena perjanjian. Ketentuan tentangnya diatur dalam Bab III Buku III Kitab Undang- Undang Hukum Perdata tentang Perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang- undang.
• Ketentuan awal tentang perikatan yang lahir dari undang-undang dimulai pada Pasal 1352 yang menyatakan, ”Perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang timbul dari undang-undang saja atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang”.
• Selanjutnya, dalam Pasal 1353 dinyatakan bahwa ”Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum”.
• Untuk memahami keberadaan hukum perikatan khususnya yang lahir karena undang- undang beserta penjabarannya dapat dimulai dengan memahami skematika berikut:
• Perikatan yang lahir dari (semata-mata) undang-undang, termasuk di dalamnya peristiwa hukum seperti kematian seseorang yang melahirkan kewajiban bagi ahli warisnya untuk memenuhi kewajiban pihak yang meninggal (pewaris) kepada para kreditornya, atau contoh lain dapat disampaikan, adalah adanya keadaan hukum seperti Putusan atas Kepailitan.
Pernyataan pailit akan melahirkan keadaan dimana pihak yang dinyatakan pailit kehilangan hak untuk mengurus harta kekayaannya yang termasuk harta pailit, dan harta tersebut akan disita untuk kepentingan umum dan akan dipergunakan untuk melunasi seluruh kewajibannya kepada para kreditor sesuai dengan ketentuan.
• Selain contoh sebagaimana tersebut di atas, suatu perikatan yang lahir semata-mata karena undang-undang juga mengatur tentang kewajiban orang tua untuk memberikan perlindungan bagi anak sejak dilahirkannya, termasuk merawat, mendidik dan memberikan penghidupan yang layak, sebagaimana diatur dalam Pasal 104 KUH Perdata yang berbunyi :
”suami dan istri dengan mengikatkan diri dalam suatu perkawinan, dan hanya karena itupun, terikatlah mereka dalam suatu perjanjian bertimbal balik, akan memelihara dan mendidik sekalian anak mereka”.
• Pasal 625 KUH Perdata juga memberikan pengaturan tentang Perikatan yang lahir (semata-mata) karena undang-undang. Pasal 625 berbunyi :
”antara pemilik-pemilik pekarangan yang satu sama lain bertetanggaan,
adalah berlaku beberapa hak dan kewajiban, baik yang berpangkal
pada letak pekarangan mereka karena alam, maupun yang berdasar
karena Undang-undang”.
• B. Perikatan yang Lahir Karena Undang-undang Sebagai Akibat Perbuatan Manusia yang Halal (Tidak Melanggar Hukum)
1. Pengurusan Kepentingan Orang Lain tanpa Perintah (Zaakwarneming)
• Ketentuan selanjutnya yang memberikan pengaturan tentang Perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang adalah tentang Pengurusan Kepentingan Orang Lain tanpa Perintah atau yang dikenal dengan istilah Zaakwarneming.
• Zaakwarneeming diatur dalam Pasal 1354 sampai dengan 1358 KUH Perdata.
• Pasal 1354 KUH Perdata menyatakan:
• “Jika seorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain, dengan atau tanpa pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu,
• Ia harus memikul segala kewajiban yang harus dipikulnya, seandainya ia dikuasakan dengan suatu pemberian kuasa yang dinyatakan dengan tegas”.
•
Berdasarkan rumusan pasal di atas maka pemahaman terhadap zaakwaarneeming dapat ditelaah dengan melihat unsur-unsurnya yaitu:
a. bahwa zaakwaarneming adalah suatu perbuatan hukum berupa pengurusan kepentingan pihak atau orang lain;
•
Pada unsur pertama ini perlu diperhatikan bahwa zaakwaarneming merupakan suatu perbuatan hukum, yaitu sesuatu yang dilakukan dengan memberikan atau membawa akibat dalam lapangan hukum harta kekayaan.
•
Selain itu, yang perlu juga diperhatikan adalah bahwa zaakwaarneming
berhubungan dengan kepentingan pihak atau orang lain, sehingga pelaksanaan
dari pengurusan tersebt haruslah sejalan dan sesuai dengan “hasil akhir” dari
pengurusan yang dikehendaki atau memang diharapkan oleh dominus atau
orang yang diurus kepentingannya tersebut.
• Pasal 1357 KUH Perdata menyatakan bahwa “Pihak-pihak yang kepentingan-kepentingannya diwakili oleh seorang lain dengan baik, diwajibkan memenuhi perikatan-perikatan, yang
diperbuat oleh wakil itu atas namanya, memberikan ganti rugi kepada wakil itu tentang segala perikatan yang secara perseorangan dibuatnya, dan mengganti segala pengeluaran yang
berfaedah atau perlu”.
• Maknanya, pasal ini telah dengan tegas menyatakan jika kepentingan tersebut telah dilaksanakan dengan baik, maka dominus berkewajiban untuk mengganti segala pengeluaran yang dikeluarkan oleh gestor.
• Di samping itu, ketentuan Pasal 1356 ayat (1) menyatakan bahwa: “Ia diwajibkan dalam hal
melakukan pengurusan tersebut, memenuhi kewajiban-kewajiban seorang bapak rumah yang baik”.
• Maknanya adalah seorang gestor tersebut harus memelihara, merawat, mempergunakan serta memperlakukan suatu kebendaan yang bukan miliknya seolah-olah kebendaan tersebut adalah miliknya.
• b. bahwa zaakwaarneming dilakukan dengan sukarela oleh gestor;
• Pernyataan sukarela di sini dimaksudkan bahwa pekerjaan pengurusan ”kepentingan” dominus oleh gestor dilakukan tanpa maksud atau tujuan tertentu dalam lapangan harta kekayaan.
• Dasar hukumnya dari ketentuan ini dapat dilihat pada Pasal 1358 yang menyatakan: ”Pihak yang telah mewakili urusan orang lain dengan tiada mendapat perintah, tidak berhak atas sesuatu upah”.
• Maknanya, ketentuan pasal ini menegaskan bahwa gestor tidak diberikan hak untuk menuntut adanya suatu pembayaran atas pengurusan kepentingan dominus yang telah dilakukannya.
• c. bahwa zaakwaarneming dilakukan tanpa adanya perintah (kuasa atau kewenangan) yang diberikan oleh pihak yang kepentingannya diurus;
• unsur ketiga dari zaakwarneming ini, yaitu zaakwaarneming dilakukan tanpa adanya perintah (kuasa atau kewenangan) yang diberikan oleh pihak yang kepentingannya diurus untuk membedakan dengan dengan perbuatan hukum ”Pemberian Kuasa” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1792 KUH Perdata.
• Dalam pemberian kuasa, si penerima kuasa harus memikul segala kewajiban yang harus dipikulnya
dengan adanya suatu pemberian kuasa dan dinyatakan dengan tegas. (Lihat lebih lanjut ketentuan Pasal 1354 ayat (2) KUH Perdata).
d. bahwa zaakwaarneming dilakukan dengan atau tanpa sepengetahuan dari orang yang kepentingannya diurus;
• masih sejalan dengan pengertian dari unsur ketiga, bahwa zaakwaarneming berbeda
dengan Pemberian Kuasa (Lastgeving) dikarena dalam pemberian kuasa harus dinyatakan dengan tegas, sedangkan zaakwaarneming dilakukan oleh gestor tanpa perintah dari
dominus serta zaakwaarneming dilakukan dengan atau tanpa sepengetahuan dari dominus.
• Walaupun demikian, tidaklah berarti pada saat gestor melaksanakan kepentingan dominus, dominus mutlak tidak mengetahuinya. Dapat saja terjadi, bahwa seorang
dominus pada saat gestor hendak melakukan kepentingan dominus, telah diketahui oleh gestor dan gestor telah mendapat persetujuannya.
• Walaupun demikian, penawaran untuk melakukan pengurusan kepentingan tidak pernah lahir dari dominus.
• e. bahwa pihak yang melakukan pengurusan (gestor) dengan dilakukannya pengurusan berkewajiban untuk menyelesaikan pengurusan tersebut hingga selesai atau pihak yang diurus kepentingannya tersebut (dominus) dapat
mengerjakan sendiri kepentingannya tersebut.
• Hal ini merupakan unsur terakhir dari zaakwaarneming yang menunjukkan tentang pertanggung jawaban perdata dari suatu bentuk pengurusan yang telah dimulai oleh gestor.
• Seorang yang telah mengikatkan dirinya untuk mengurus kepentingan orang
lain (dominus) diwajibkan untuk menyelesaikan pengurusan tersebut, kecuali
dalam hal dominus telah dapat mengerjakan sendiri pengurusan tersebut dan
telah mengambil oper pengurusan yang telah dikerjakan oleh gestor tersebut.
• Sebagai suatu perikatan, zaakwaarneming berakhir dalam hal:
a) Diselesaikannya pengurusan kepentingan dominus yang telah dilaksanakan oleh gestor;
b) Diserahkannya pekerjaan pengurusan kepentingan dominus yang telah
dilaksanakan tetapi belum selesai kepada dominus (atau ahli warisnya
dalam hal dominus telah meninggal), yang disertai dengan laporan dan
perhitungan mengenai perikatan yang telah dibuat atau dilaksanakan
serta biaya-biaya yang telah dikeluarkan yang perlu dan berfaedah bagi
pengurusan kepentingan dominus yang baik.
• 2. Pembayaran Tak Terutang.
• Pembayaran tak terutang merupakan salah satu perikatan yang lahir akibat perbuatan manusia yang halal atau tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan dan ketertiban umum.
• Dasar hukum pengaturannya dapat kita lihat pada ketentuan Pasal 1359 KUH Perdata sampai Pasal 1365 KUH Perdata.
• Pasal 1359 KUH Perdata menyatakan bahwa: ”Tiap-tiap pembayaran memperkirakan adanya suatu
utang; apa yang telah dibayarkan dengan tidak diwajibkan, dapat dituntut kembali. Terhadap perikatan- perikatan bebas, yang secara sukarela telah dipenuhi, tak dapat dilakukan penuntutan kembali”.
• Berdasarkan rumusan Pasal 1359 ini dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan pembayaran yang tidak terutang adalah suatu pembayaran yang dilakukan oleh seseorang atau pihak tertentu kepada seseorang lain atau pihak tertentu lainnya, yang didasarkan pada suatu asumsi atau anggapan bahwa orang atau pihak yang disebut pertama sekali tersebut (yang membayar), memiliki utang atau kewajiban atau prestasi atau perikatan yang harus dipenuhi olehnya kepada orang lain atau pihak yang disebutkan belakangan ini, meskipun sesungguhnya utang atau kewajiban atau prestasi atau perikatan mana pada dasarnya tidak pernah ada sejak awal, ataupun karena suatu sebab tertentu telah hapus, sehingga sesungguhnya utang atau kewajiban atau prestasi atau perikatan tersebut sudah tidak ada lagi.
• Penjabaran lebih lanjut tentang Ketentuan Pasal 1359 dapat dilihat pada Pasal 1360 dan 1361 KUH Perdata.
• Pasal 1360 KUH Perdata menyatakan, ”Barang siapa secara khilaf atau dengan mengetahuinya, telah menerima sesuatu yang tak harus dibayarkan padanya, diwajibkan mengembalikan
barang yang tak harus dibayarkan itu kepada orang dari siapa ia telah menerimanya”.
• Sedangkan ketentuan Pasal 1361 KUH Perdata menyatakan bahwa ”Jika seorang yang secara khilaf mengira bahwa ia berutang membayar suatu utang, maka ia adalah berhak menuntut kembali dari kreditor apa yang telah dibayarkannya”.
• Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa pembayaran tak terutang dapat berbentuk:
a) karena kesalahan pihak pembayar;
b) karena kesalahan pihak yang dibayar;
c) karena kesalahan objek pembayaran.
• 3. Perikatan Wajar/alamiah (Natuurlijke Verbintennis)
• Suatu perikatan baik yang dibuat karena adanya kesepakatan kehendak dari para pihak maupun semata-mata dikarenakan adanya pengaturan dalam perundang-undangan, akan membawa kewajiban pemenuhan serta tanggung jawab atas prestasi. Hal mana pemenuhan prestasi ini dikenal dengan istilah schuld, yang disandingkan dengan haftung, yaitu kewajiban debitur untuk menyerahkan segala kebendaannya (bergerak maupun tidak bergerak) untuk dijadikan
tanggungan atas pelunasan utangnya (lihat lebih lanjut ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata).
• Berkaitan dengan perikatan wajar sendiri oleh Gunawan Widjaya dan Kartini Muljadi dalam bukunya Perikatan yang Lahir dari Undang-undang (2003: 51-52), disebut sebagai suatu
perikatan yang prestasinya ada pada pihak debitor tetapi tidak dapat dituntut pelaksanaannya oleh kreditor, yang jika kita kaitkan atau hubungkan dengan penjelasan di atas terhadap kedua unsur perikatan yaitu schuld dan haftung, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan perikatan wajar alamiah adalah perikatan yang memiliki unsur schuld pada sisi debitur tetapi tidak memiliki unsur haftung pada sisi kreditur
•
Ketentuan Pasal 1359 ayat (2) KUH Perdata memberikan pengaturan atas Perikatan Wajar/alamiah yang berbunyi: ”Terhadap perikatan-perikatan bebas (natuurlijke
verbintennis), yang secara sukarela telah dipenuhi, tidak dapat dilakukanpenuntutan kembali”.
•
Dapat dikatakan juga bahwa pemenuhan terhadap suatu perikatan oleh seorang debitor dalam suatu perjanjian yang tidak memiliki causa yang halal adalah
pemenuhan terhadap suatu perikatan wajar/alamiah, dan terhadap pemenuhan
tersebut debitur tidak dapat menuntut kembali. Hal ini berarti, dalam suatu perikatan wajar, syarat sah objektif nya yang berupa adanya suatu causa yang halal dalam suatu perjanjian telah tidak dipenuhi, dan ketika pihak debitur memenuhi perikatan tersebut maka perikatan tadi disebut perikatan wajar/alamiah dan si debitur tidak
diperkenankan untuk menuntut kembali atas pemenuhan perikatan tersebut.
• C. Perbuatan Melawan Hukum
• Memperhatikan skematika yang telah disajikan pada halaman sebelumnya, maka dapat kita ketahui bahwa suatu Perbuatan Melawan Hukum yang diistilahkan sebagai Onrechtmatigee Daad adalah merupakan suatu bentuk perikatan yang lahir dari Undang-undang disebabkan oleh perbuatan manusia yang melanggar hukum.
• Pengaturan tentang Perbuatan Melawan Hukum terdapat dalam Pasal 1365 dan 1366 KUH Perdata yang selengkapnya berbunyi:
• Pasal 1365 : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut”.
• Selanjutnya, Pasal 1366 menyatakan: “Setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kekurang hati-hatian”.
• Gunawan Widjaya dan Kartini Muljadi (2003: 82) berusaha menarik unsur dari suatu Perbuatan Melawan Hukum, sebagai berikut:
1. adanya suatu perbuatan melawan hukum;
2. yang mana perbuatan tersebut menyebabkan timbulnya kerugian bagi orang lain;
3. adanya kesalahan maupun kelalaian dan kekurang hati-hatian dalam perbuatan melawan hukum tersebut.
• Ketentuan yang mengatur tentang Perbuatan Melawan Hukum sebagai suatu
perikatan ini dapat kita telaah dari pasal–pasal berikut yang satu dengan lainnya
mempunyai korelasi yaitu, Pasal 1233, Pasal 1352, Pasal 1353 dan Pasal 1234
KUH Perdata. (Lihat dan pelajari lebih lanjut ketentuan-ketentuan tersebut)
• Memperhatikan rumusan yang tercantum dalam Pasal 1365 KUH Perdata tersebut maka dapat dijabarkan bahwa suatu perbuatan melawan hukum adalah suatu perikatan yang prestasinya berbentuk tidak berbuat sesuatu, dan dikarenakan dengan melakukan
tindakan tersebut saja maka telah dianggap salah di mata hukum. Lebih lanjut, apabila perbuatan yang dilarang tersebut telah dilakukan dan mengakibatkan timbulnya
kerugian atas orang lain, maka bagi yang melakukan diwajibkan untuk memberikan ganti rugi. Selain juga bahwa suatu perbuatan melawan hukum dapat terjadi tidak hanya dengan dilakukannya perbuatan yang dilarang tetapi juga, apabila suatu perbuatan tersebut dilakukan dengan tidak hati-hati ataupun adanya kelalaian.
• Selain dua pasal tersebut di atas yaitu Pasal 1365 dan 1366 KUH Perdata yang
memberikan pengaturan umum tentang Perbuatan Melawan Hukum, ketentuan lebih lanjut sampai dengan Pasal 1380 memberikan penjabaran tentang Perbuatan Melawan Hukum.
• Perbuatan Melawan Hukum dalam arti luas sebagaimana juga yang dijabarkan dalam
Pasal 1236, 1239, 1240 dan 1242 KUH Perdata adalah meliputi segala bentuk wanprestasi terhadap setiap bentuk perikatan atau kewajiban yang dibebankan dalam setiap
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
• Penting juga untuk dicatat bahwa kata hukum dalam konteks Perbuatan Melawan Hukum tidak haya menjabarkan suatu ketentuan perundang-undangan yang tertulis tetapi juga pada suatu kepatutan dan kesusilaan.
• Telah disampaikan sebelumnya bahwa suatu Perbuatan Melawan Hukum adalah
merupakan suatu perikatan yang lahir karena undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia akan melahirkan kewajiban dalam lapangan harta kekayaan. Kewajiban
sebagaimana dimaksud di atas adalah dalam rangka pemenuhan atas kerugian yang
timbul dan diderita oleh orang/pihak yang terkena Perbuatan Melawan Hukum tersebut.
• Berkaitan dengan kerugian ini, Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan bahwa ”Segala kebendaan debitor, baik yang bergerak maupun tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan baru ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.
Maknanya, bahwa suatu perbuatan melawan hukum pun akan
melahirkan kewajiban untuk memberikan penggantian, apakah dalam
bentuk biaya, rugi maupun bunga.
KESIMPULAN
1. Bahwa perikatan diartikan sebagai suatu hubungan hukum diantara para pihak di bidang kekayaan. Kata hukum yang bersanding dengan hubungan menunjukkan adanya
konsekuensi yuridis dalam suatu hubungan yang bersifat timbal balik di antara para pihak yang mengikatkan dirinya.
2. Ketentuan hukum perdata menyatakan bahwa perikatan sebagai hubungan hukum dapat dilahirkan oleh adanya perjanjian yang dibuat oleh para pihak dengan mendasarkan pada salah satunya asas konsensualisme dan memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Perikatan juga dapat dilahirkan karena undang-undang.
3. Perikatan yang lahir karena undang-undang ada yang semata-mata ditetapkan oleh
undang-undang seperti, kewajiban orang tua untuk memelihara anak, kewajiban dalam pekarangan berdampingan, kewajiban pemenuhan utang dalam hal dinyatakan pailit serta kewajiban ahli waris untuk melunasi segala kewajiban pewaris terhadap pihak lain.
4. Selain perikatan yang lahir semata-mata karena undang-undang, perikatan juga lahir dari atau akibat perbuatan manusia yang dibedakan antara perbuatan manusia yang tidak melanggar hukum dan perbuatan manusia yang melanggar hukum
(onrechtmatige daad).
5. Perikatan yang lahir dari perbuatan manusia yang tidak melanggar hukum berupa:
a) pengurusan kepentingan orang lain (zaakwaarneming), b) pembayaran tak terutang, dan
c) Perikatan Alami/Wajar (Natuurlijke Verbintennis).
6. Perikatan yang lahir karena adanya perbuatan manusia yang melanggar hukum,
mewajibkan orang yang karena perbuatannya tersebut telah menimbulkan kerugian bagi orang lain untuk memberikan ganti rugi. Perbuatan ini dapat terjadi baik karena kelalaian ataupun kekurang hati-hatian. Pada dasarnya perikatan akibat perbuatan manusia yang melanggar hukum ini terjadi karena tidak dipenuhinya prestasi dari suatu perikatan yang berbentuk ”untuk tidak melakukan sesuatu”.
• ***