• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Perkawinan Beda Agama di Indonesia; Perspektif Yuridis, Agama-agama dan Hak Asasi Manusia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of Perkawinan Beda Agama di Indonesia; Perspektif Yuridis, Agama-agama dan Hak Asasi Manusia"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Perkawinan Beda Agama di Indonesia; Perspektif Yuridis, Agama-agama dan Hak Asasi Manusia

Interfaith Marriage in Indonesia; Juridical Perspective, Religions and Human Rights

Candra Refan Daus Universitas Nurul Jadid, Indonesia E-mail: candrarefandaus@gmail.com

Ismail Marzuki

Universitas Nurul Jadid, Indonesia E-mail: ismail.mz2805@gmail.com

ABSTRACT

Interfaith marriage is a phenomenon that has become a polemic in Indonesia to date.

The implementation of interfaith marriages in Indonesia has become a discourse in various juridical, religious and human rights perspectives. This study aims to describe the practice of interfaith marriage in Indonesia from various juridical, religious and human rights perspectives.

This research is a type of qualitative research that describes juridical views, religions and human rights towards the practice of interfaith marriage in Indonesia. This research is also a type of library research with the primary data source being juridical documents dealing with interfaith marriages in Indonesia, religious documents in Indonesia governing interfaith marriages in Indonesia and also human rights documents. This research is also supported by secondary data sources, other research results and other related documents. Methods of data collection carried out through documentation. The results of this study indicate that a juridical perspective covering the Marriage Law, religious law, and human rights tends to prohibit the implementation of interfaith marriages. Interfaith marriages can have implications for the validity of the marriage itself and the status of its offspring.

Keywords: Interfaith Marriage, Juridicalism, Religions, Human Rights

ABSTRAK

Perkawinan beda agama merupakan salah satu fenomena yang menjadi polemik di Indonesia hingga saat ini. Pelaksanaan perkawinan beda agama di Indonesia menjadi diskursus dalam berbagai perspektif yuridis, agama-agama dan juga Hak Asasi Manusia. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan praktik perkawinan beda agama di Indonesia dalam berbagai perspektif yuridis, agama-agama dan Hak Asasi Manusia. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang mendeskripsikan pandangan yuridis, agama-agama dan Hak Asasi Manusia terhadap praktik pernikahan beda agama di Indonesia. Penelitian ini juga berjenis penelitian Pustaka (library research) dengan sumber data primer dokumen-dokumen yuridis yang mengantur tentang pernikahan beda agama di Indonesia, dokumen agama-agama di Indonesia yang mengatur tentang pernikahan beda agama di Indonesia dan juga dokumen Hak Asasi Manusia. Penelitian ini juga di dukung sumber data sekunder, dokumen lain hasil penelitian dan lainnya yang terkait. Metode pengumpulan data dilaksanakan melalui dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perspektif yuridis meliputi Undang- Undang Perkawinan, hukum agama-agama, dan hak asasi manusia cenderung melarang

(2)

pelaksanaan perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama dapat berimplikasi terhadap keabsahan perkawinan itu sendiri dan status keturunannya.

Kata Kunci: Perkawinan Beda Agama, Yuridis, Agama-agama, Hak Asasi Manusia

PENDAHULUAN

Pernikahan beda Agama di Indonesia menjadi diskursus dalam berbagai perspektif. Aspek yuridis memiliki perspektif sendiri terhadap praktik pernikahan beda agama di Indonesia. Selain itu, agama-agama di Indonesia juga memiliki perspektif yang berbeda-beda. Demikian juga perspektif Hak Asasi Manusia. Penelitian ini berkontribusi bagi masyarakat Indonesia dalam memberikan wawasan berkaitan perspektif yuridis, agama-agama dan Hak Asasi Manusia terhadap praktik pernikahan beda agama di Indonesia.

Indonesia adalah negara dengan multi suku, bahasa, budaya, serta agama.

Kondisi keberagaman ini dapat menciptakan terbentuknya hubungan sosial antar kelompok masyarakat yang majemuk hingga berujung pada perkawinan, diantaranya adalah perkawinan antar agama.1 Praktik pernikahan beda agama ini melahirkan berbagai pandangan baik secara yuridis, agama dan juga Hak Asasi Manusia.

Pedoman tentang perkawinan yang berlaku untuk masyarakat Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan juga termasuk perbuatan hukum yang diakui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 28 B ayat (1) sebagai hak asasi bagi seluruh masyarakat Indonesia.2 Bagi warga Negara Indonesia, peraturan tersebut merupakan sebuah peraturan yang bernilai positif dari sudut pandang yuridis formal. Undang-undang perkawinan ini, tidak hanya memuat asas- asas, tetapi juga terdapat pedoman hukum yang dijadikan arahan dan diberlakukan untuk semua warga negara Indonesia.3

1 Tengku Erwinsyahbana, “Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama dan Problematika Yuridisnya,” Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum 3, no. 1 (2 Juli 2019): 97–114, https://doi.org/10.24246/jrh.2018.v3.i1.p97-114.

2 Made Widya Sekarbuana, Ida Ayu Putu Widiawati, dan I Wayan Arthanaya, “Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia,” Jurnal Preferensi Hukum 2, no. 1 (19 Maret 2021): 16–21, https://doi.org/10.22225/jph.2.1.3044.16-21.

3 Nur Asiah, “Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Perkawinan Dan Hukum Islam,” Samudera Keadilan: Jurnal Hukum 2, no. 1 (2 Desember 2018): 204–14.

(3)

Fenomena perkawinan seperti perkawinan beda agama ternyata tidak dijelaskan secara langsung oleh Undang-Undang Perkawinan (UUP) seperti dalam pasal 2 ayat (1) UUP yang menjelaskan tentang keabsahan perkawinan jika dilakukan menurut aturan hukum dari masing-masing agama dan kepercayaan. Fenomena seperti ini yang akhirnya mencuat polemik serta pemikiran pro dan kontra. Terlebih lagi hak asasi manusia merupakan apsek sosial yang diakui dunia. Indonesia juga telah memberikan dasar hukum atas keistimewaan tersebut dalam Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Terdapat pula pasal 29 dalam undang-undang tersebut yang menyebutkan tentang kebebasan bagi semua lapisan masyarakat dalam beragama dan beribadah sesuai keyakinannya tersendiri.

Sulitnya pelaksanaan perkawinan beda agama di Indonesia menjadikan perkawinan beda agama sebagai suatu paradoks dan menuai kontroversi dalam usulan memeluk agama dalam status perkawinan. Akibatnya, kedua calon mempelai beda agama akan kesulitan tehadap upayanya dalam memperbarui status hubungannya menjadi perkawinan yang sah, sehingga salah satu pihak perlu memilih antara agama dirinya atau agama pasangannya. Di samping itu, kebebasan dalam beragama sudah menjadi jaminan yang diberikan oleh negara. Hal ini yang kemudian dianggap deskriminatif karena terdapatnya penafian terhadap perkawinan beda agama sebab sudah keluar berdasarkan prinsip Hak Asasi Manusia.4

Masalah perkawinan di Indonesia secara keseluruhan sudah mendapatkan konsepsi aturan hukum, yakni Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Dalam sudut pandang Hak Asasi Manusia setiap warga negara memiliki hak preogatif untuk melangsungkan perkawinan apabila sudah mencapai usia cakap untuk membangun hubungan keluarga. Di samping itu, tugas negara adalah mencatat, menerbitkan akta perkawinan dan memberikan perlindungan. Akan tetapi realitanya negara kurang menyadari mengenai perkawinan beda agama, berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang tidak memberi penetapan terhadap perkawinan beda agama secara pasti. Larangan perkawinan beda agama lantas dikritisi lebih lanjut

4 Sekarbuana, Widiawati, dan Arthanaya, “Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia.”

(4)

karena tidak sesuai dengan instrumen hukum berbentuk Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Di sisi lain dalam ajaran Hak Asasi Manusia yang diusung oleh Barat menjelaskan bahwa seseorang tidak boleh dibedakan hanya kerena latar belakang agamanya, terlebih untuk melangsungkan perkawinan.5

Kasus perkawinan beda agama pernah terjadi di Surabaya pada 26 April 2022 lalu. Permohonan perkawinan beda agama ini dilakukan oleh kedua belah pihak yang telah melangsungkan perkawinan beda agama dan berkedudukan di Surabaya.

Permohonan mereka ditetapkan oleh Imam Supriyadi selaku hakim tunggal di Pengadilan Negeri Surabaya. Dinas Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan (Dispendukcapil) Surabaya menerbitkan Surat Nikah Beda Agama setelah melalui beberapa tahapan proses. Menurut Agung, sebagai juru bicara Pengadilan Negeri Surabaya. Ia menjelaskan, keduanya menikah menurut keyakinan agama masing- masing, yakni menurut rukun Islam dan Kristen. Namun, saat hendak mendaftarkan pernikahannya di Kantor Catatan Sipil dan Kependudukan Kota Surabaya, mereka ditolak dengan alasan pasangan itu berbeda keyakinan. Selain itu, pejabat Dispendukcapil Surabaya disarankan untuk meminta penetapan dari Pengadilan Negeri tempat para pemohon berdomisili secara sah. “Dalam konteks itulah mereka mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Surabaya,” kata Agung. Hakim tunggal Imam Supriyadi yang menangani kasus ini mengacu pada Pasal 21 (3) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bersama dengan Pasal 35 Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 terkait pengelolaan kependudukan. Selanjutnya, pada tanggal 26 April 2022, Pengadilan Negeri Surabaya memutuskan mengabulkan gugatan para pemohon.

Pertama, memperbolehkan pelamar untuk mendaftarkan perkawinan beda agama di hadapan petugas Kantor Catatan Sipil dan Kependudukan Surabaya. Kedua, meminta petugas Catatan Sipil dan Kependudukan Surabaya untuk mencatatkan perkawinan beda agama. Pemohon masuk ke buku nikah dan segera menerbitkan akta nikah.

"Hakim Imam Supriyadi tidak melihat adanya larangan perkawinan beda agama menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-undang

5 Istiqomah dan Nanda Chairunissa, “Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islam Dan Hak Asasi Manusia,” Jurnal Berkala Fakultas Hukum Universitas Bung Karno 1, no. 1 (1 Juni 2022), https://www.ejurnal.ubk.ac.id/index.php/iusfacti/article/view/239/180.

(5)

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain itu, pembentukan rumah tangga dengan mempertahankan keyakinan agamanya masing-masing merupakan hak asasi para pemohon," ucap Agung.6

Berdasarkan fenomena kasus perkawinan beda agama di atas, berbagai problematika diskursus pernikahan beda agama di Indonesia yang melahirkan berbagai perspektif, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan praktik perkawinan beda agama di Indonesia dalam berbagai perspektif yuridis, agama-agama dan Hak Asasi Manusia.

Perspektif yuridis diharapkan memberikan wawasan berkaitan status yuridis pernikahan beda agama di Indonesia. Perspektif agama-agama juga diharapkan menjadi pedoman bagi para pemeluk agama dalam melaksanakan praktik pernikahan beda agama.

Sementara itu, perspektif Hak Asasi Manusia memberikan wawasan terhadap praktik pernikahan beda agama di Indonesia yang merupakan negara dengan multi agama.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang mendeskripsikan pandangan yuridis, agama-agama dan Hak Asasi Manusia terhadap praktik pernikahan beda agama di Indonesia. Penelitian ini juga berjenis penelitian pustaka (

library research

) dengan sumber data primer dokumen-dokumen yuridis yang mengatur tentang pernikahan beda agama di Indonesia, dokumen agama-agama di Indonesia yang mengatur tentang pernikahan beda agama di Indonesia dan juga dokumen Hak Asasi Manusia. Penelitian ini juga di dukung sumber data sekunder, dokumen lain hasil penelitian dan lainnya yang terkait. Metode pengumpulan data dilaksanakan melalui dokumentasi. Penilitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yakni mengkaji perundangan-undangan, buku, jurnal, artikel dan bahan hukum lainnya yang berlandasan pada objek penelitian ini. Adapun tahapan analisa dalam penelitian ini dimulai dengan mengumpulkan data kualitatif, kemudian dilanjutkan dengan menguraikan data yang telah dikumpulkan untuk menjawab tujuan penelitian.

6 liputan6.com, “Kasus Pernikahan Beda Agama di Surabaya, Ini Keputusan Pengadilan Negeri,”

Situs Berita, Liputan 6 (blog), 22 Juni 2022,

https://www.liputan6.com/jatim/read/4992362/kasus-pernikahan-beda-agama-di-surabaya-ini- keputusan-pengadilan-negeri.

(6)

PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

Suatu hubungan lahir dan batin yang terikat pada seorang wanita dan seorang pria dengan tujuan membangun rumah tangga yang penuh dengan kebahagiaan dengan berlandaskan iman kepada Allah merupakan definisi dari perkawinan yang tertuang dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dari definisi tersebut kemudian terbentuklah lima komponen dalam suatu perkawinan, yaitu (1) Ikatan suami dan istri yang didasarkan pada iman kepada Allah; (2) Membangun rumah tangga yang sakinah, mawadah, warahmah; (3) Ikatan yang menegaskan status suami dan istri; (4) Ikatan yang terjadi antara seorang pria dengan wanita; (5) Adanya ikatan lahir dan batin. Oleh karena itu kemudian dapat disimpulkan bahwa perkawinan ialah suatu ikatan yang dapat dikatakan suci karena tidak dapat melupakan ajaran agama yang menjadi kepercayaan suami dan istri. Diantara tujuan dalam pernikahan diantaranya ialah untuk membangun keluarga yang bahagia, harmonis, damai, dan aman bagi seluruh anggota keluarga termasuk suami dan istri. Untuk itu kemudian dipahami bahwa tujuan dari hidup bersama dalam ikatan pernikahan tidak hanya untuk melakukan hubungan seksual semata.7

Ditetapkannya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan resmi mencabut Pasal 11 ayat (2) RUU Perkawinan 1973 yang menyebutkan bahwa perbedaan agama bukan termasuk halangan perkawinan. UU No.

1 Tahun 1974 memberikan pengertian mengenai perkawinan antara dua warga negara Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlawanan, disebabkan ketidaksamaan status warga negara dan salah seorang diantaranya merupakan warga negara Indonesia (Pasal 57). Perkawinan yang terjadi karena perbedaan status kewarganegaraan merupakan hal yang ada dibalik pasal tersebut. Hal ini menegaskan jika tidak terdapat pemaparan mengenai perkawinan dengan perbedaan Agama, sehingga dapat disimpulkan bahwasannya pernikahan dengan latar belakang Agama yang berbeda kemudian tidak termasuk dalam label perkawinan campuran. Pasal 2

7 Fitria Agustin, “Kedudukan Anak dari Perkawinan Berbeda Agama menurut Hukum Perkawinan Indonesia,” Ajudikasi: Jurnal Ilmu Hukum 2, no. 1 (20 Juli 2018): 43, https://doi.org/10.30656/ajudikasi.v2i1.574.

(7)

ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang diselenggarakan mengikuti aturan yang sudah ditetapkan agama dan kepercayaan masing-masing, kemudian diteruskan Pasal 2 ayat (2) menyebutkan syarat kumulatif pengesahan perkawinan di Indonesia adalah dengan mencatatkan perkawinan sesuai perturan perundang-undangan yang berlaku.

Kedua paparan dalam pasal itu menjelaskan tentang perkawinan tercover dalam UU No. 1 Tahun 1974. Namun, pada pasal 2 ayat (1) berisi tentang penjelasan bahwa status sebuah perkawinan dikatakan sah jika dilaksanakan sesuai dengan aturan dan agama masing-masing. Kemudian, dijelaskan juga dengan lahirnya pernyataan pada pasal tersebut kemudian disimpulkan bahwa tidak ada perkawinan yang tidak sesuai dengan masing-masing kepercayaannya tidak bisa terjadi, hal ini sesuai dengan aturan dalam UUD 1945.8 Pasal 8 F Undang-Undang Perkawinan juga memberi pernyataan terkait hal ini bahwasanya setiap orang yang mempunyai hubungan dilarang melangsungkan perkawinan jika hubungannya tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan agama, peraturan perundang-undangan, atau peraturan lain yang berlaku. Pasal ini menciptakan pemahaman yang berbeda disebabkan beragamnya penafsiran mengenai perkawinan beda agama yang terjadi.9

Fenomena perkawinan beda menjadi salah satu permasalahan hukum yang berkepanjangan tanpa ditemukannya solusi yang jelas dan tuntas. Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang dijadikan dasar hukum dalam menangani kasus perkawinan, akan tetapi dalam pelaksanannya masih terdapat kekurangan. Diantaranya seperti perkawinan beda agama yang sampai saat ini belum diatur dengan tegas dalam undang-undang, Sementara pada kenyataannya kondisi masyarakat Indonesia menganut lebih dari satu agama diantaranya yaitu: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu Buddha, dan Konghucu.10

8 Annisaa Firdayanti Surotenojo, “Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Ditijau Dari Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Islam,” Lex Privatum 6, no. 8 (Oktober 2018): 192–202.

9 Raphon Fajar Rhr, “Keabsahan Perkawinan Warga Negara Indonesia Yang Berbeda Agama (Analisis Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dengan Pasal 35 Huruf A Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006),” CORE, 2013, 1–20.

10 Andi Syamsulbahri dan Adama Mh, “Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Al-Syakhshiyyah Jurnal Hukum

(8)

Seluruh aturan yang tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan kemudian dihapus secara resmi dengan adanya pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974. Hal ini dikarenakan UU No. 1 Tahun 1974 dinyatakan tidak tegas perihal sistem yang diberlakukan, contoh kasusnya ialah perihal perkawinan beda agama yang belum ada dalam UU sampai detik ini. Dalam UU hanya dipaparkan perihal aturan perkawinan campuran, yakni berbeda kewarganegaraan. Pasal yang menyinggung soal perkawinan beda agama ialah pasal 2 ayat satu dan ayat dua. Paparan yang menjelaskan mengenai kategori sah dan tidaknya status suatu perkawinan merupakan intisari dari pasal 2 ayat 1 dengan melandaskan pada norma dari masing-masing mempelai.

Kemudian yang memaparkan bahwa setiap agama memiliki ketentuan umum mewajibkan seluruh perkawinan yang terjadi harus tercatat ialah intisari dari ayat 2.

Terkait pengaturan perkawinan di Indonesia yang menjadi problematika di masyarakat, hukum memberikan kepercayaan penuh kepada setiap agama di Indonesia untuk berperan penting dalam menyikapi perkawinan beda agama. Dengan demikian berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 didaptati bahwa pelaksanaan perkawinan tidak boleh dilakukan oleh pasangan beda agama demi mengantisipasi adanya penyelewengan agama dan hambatan-hambatan yang kemungkinan terjadi, kecuali pada akhirnya salah satu pihak memilih mengikuti agama pasangannya, maka sejak saat itulah perkawinannya bisa dicatatkan dalam pencatatan perkawinan sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan.11

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/ 2014 Tentang Perkawinan Beda Agama. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi melakukan verifikasi kesesuaian UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) terhadap Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2) , Pasal 28I ayat (1) dan (2), Pasal 28J ayat (2) , dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang pertama terkait jaminan kebebasan memeluk agama bagi tiap-tiap penduduk dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan Pembukaan UUD 1945 tentang

Keluarga Islam dan Kemanusiaan 2, no. 1 (25 Juli 2020): 75–85, https://doi.org/10.35673/as- hki.v2i1.895.

11 Andi Syamsulbahri dan Adama Mh, “Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Al-Syakhshiyyah Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Kemanusiaan 2, no. 1 (25 Juli 2020): 75–85, https://doi.org/10.35673/as- hki.v2i1.895.

(9)

prinsip Ketuhanan da hubungan perkawinan. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa setiap warga negara tidak dapat dipisahkan dari agama dalam segala tindakannya. Termasuk diantaranya tindakan warga negara adalah perkawinan.

Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa perkawinan merupakan hak konstitusional yang harus dilindungi dan dihormati oleh negara. Hak konstisional yang dimaksud meliputi kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain. Untuk menghindari perselisihan terkait hak-hak konstitusional tersebut, negara membutuhkan aturan untuk penegakannya.

Pertimbangan Mahkamah Konstusi selanjutnya, mengenai pernyataan para pihak tentanng terdapatnya pelanggaran hak perundang-undangan terkait pelangsungan perkawinan dan membangun keluarga secara sah dalam pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi menyikapi hal ini dengan menegaskan bahwa setiap warga negara harus menaati semua aturan yang sudah ditetapkan oleh Undang-Undang. Penegasan ini bertujuan untuk mewujudkan sikap toleransi dan pengakuan atas hak dan kebebasan orang lain, juga untuk menciptakan keadilan sesuai pertimbangan etika dan norma- norma di masyarakat. Semua ini membantu terealisasinya pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi meninjau terkait adanya dugaan pelanggaran hak. Dalam kaitan ini, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa Undang- Undang Perkawinan mampu mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut dan menyesuaikan dengan seluruh realitas masyarakat. Mengenai pendapat Mahkamah Konstitusi tentang pihak-pihak yang merasa dirugikan karena ditemukan unsur paksaan dalam Pasal 2 ayat (2) yang memaksa setiap warga negara dalam konteks perkawianan untuk berpedoman hukum agamanya masing-masing. Menanggapi hal ini, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permasalahan terkait perkawinan sudah diatur oleh hukum Indonesia. Oleh karena itu, semua hal yang berhubungan dengan perkawinan harus dipatuhi dan tidak menentang peraturan perundang-undangan.

Tujuan dari adanya aturan mengenai perkawinan ialah agar dapat membantu Negara terkait hak dan kewajibannya, hal tersebut ditegaskan oleh pihak mahkamah konstitusi. Selanjutnya, membangun rumah tangga yang bahagia tidak hanya ketika di dunia akan tetapi sampai akhirat merupakan tujuan lanjutan dari adanya peraturan

(10)

yang secara tegas tercatat dalam UU perkawinan. Mahkamah Konstitusi kembali menaggapi dugaan tentang adanya pelanggaran perundang-undangan dalam hak menjalankan agama dan hak kebebasan beragama. Hal ini disebabkan bercampur aduknya pelaksanaan ajaran agama dan administrasi, sehingga interprestasi agama tentang perkawinan terdikte oleh negara. Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kehidupan beragama dan bernegara harus berkiblat pada UUD 1945 dan Pancasila.

Mahkamah Konstitusi memandang agama sebagai landasan dari sekumpulan individu yang meiliki kesamaan spiritual menjadi komunitas. Dalam hal ini negara memiliki peran dalan memberikan pedoman dan perlindungan bagi warga negaranya dalam membangun keluarga dan melangsungkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

Lain daripada itu, Mahkamah Konstitusi kembali menegaskan bahwa aspek spiritual dan aspek sosial juga perlu diperhatikan dalam perkawinan. Sedangkan pencatatan perkawianan merupakan kewenangan negara dan pengesahannya menjadi kewenangan masing-masing agama.

Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Maria Farida Idrati selaku Hakim Mahkamah Konstitusi. Maria berpendapat bahwa orang yang tatat beragama cenderung lebih sulit untuk berpindah dari agama yang diimaninya. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Pasal 27 ayat (1), Pasal 29 UUD 1945, Pasal 28E, dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Maria menambahkan, sudah sepatutnya negara memberikan solusi yang jelas untuk masyarakat yang terpaksa melakukan perkawinan beda agama. Hal ini ditujukan untuk menjamin dan melindungi hak asasi dan hak perundang-undangan.

Maria mengakui bahwa pasal 2 ayat (1) memang memiliki dampak ketidakpatuhan masyarakat terhadap undang-undang disebabkan permasalahan antar agama hingga penyelundupan hukum. Menurut Maria, penyelesaian sengketa perkawinan beda agama dengan menambahkan “sepanjang tafsir hukum dan keyakinan agama diserahkan kepada masing-masing calon mempelai” dalam pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Penambahan frasa ini justru menimbulkan ketidakpastian dan multitafsir.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014 diterbitkan. Putusan tersebut dibacakan dalam sidang paripurna Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 18 Juni 2015 oleh delapan hakim Mahkamah Konstitusi. Dalam kesimpulannya, Mahkamah Konstitusi

(11)

memutuskan menolak seluruh permohonan perkawinan beda agama. Mahkamah Konstitusi menilai permohonan itu tidak memiliki dasar hukum.12

PERKAWINAN ANTAR AGAMA PERSPEKTIF YURISPRUDENSI

Yurisprudensi merupakan suatu keputusan hakim yang ditetapkan secara mandiri sebagai bentuk strategi dalam menyelesaikan suatu kasus yang di kuasakan kepada dirinya. A. Ridwan Halim memaparkan bahwa yurisprudensi adalah sebuah hal yang menjadi keputusan hakim atas terjadinya suatu kasus yang dalam UU belum dirumuskan aturannya. Sehingga, hal ini akan menjadi kiblat dalam menyelesaikan kasus serupa oleh hakim yang lain.

Perkawinan yang terjadi dengan melibatkan orang Indonesia yang menganut aturan serta hukum yang berbeda merupakan definisi dari perkawinan campuran sebagaimana tertuang dalam pasal 1

Reglement op de Gemengde Huwelijken

(GHR).

Mengenai pernyataan tersebut kemudian muncul tiga kubu mengenai pelaksanaan GHR tersebut, kubu yang pertama menyatakan bahwa perkawinan antar agama dan juga antar tempat sudah diatur dalam GHR, kubu kedua menyatakan bahwa dalam GHR tidak memuat aturan mengenai perkawinan antar agama maupun antar tempat, kemudian kubu yang terakhir menyatakan bahwa GHR hanya mengeluarkan aturan mengenai perkawinan antar agama akan tetapi tidak mengeluarkan aturan perkawinan antar tempat.13

Pasal 7 ayat (2) GHR dan Pasal 6 ayat (1) GHR kemudian menjadi UU yang tetap diberlakukan karena belum dalam UU Perkawinan secara spesifik. Hal ini didasarkan pada bunyi pasal 66 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa sejauh sudah tertuang dalam UU ini dinyatakan tidak berlaku. UU ini sementara diakui sah untuk dipergunakan, dengan tujuan menghindari kekosongan hukum. Dalam yurispridensi telah tercantum tentang status sahnya perkawinan antar agama, akan tetapi hal ini tidak bisa berlaku untuk masyarakat Islam. Hal ini dibuktikan dengan suatu ikatan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan selebriti Indonesia yakni Jamal Mirdad yang beragama Islam dan calon Istrinya Lidya Kandou yang beragama Kristen. Salah satu

12 Danu Aris Setiyanto, “Perkawinan Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/ Puu-Xii/2014 Dalam Persperktif Ham,” Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam 9, no. 1 (1 Maret 2017): 13, https://doi.org/10.14421/ahwal.2016.09102.

13 Muhammad Solikhuddin, “Polemik Pernikahan Beda Agama dalam Tinjauan Hukum Profetik,”

Tafáqquh: Jurnal Penelitian Dan Kajian Keislaman 2, no. 2 (Desember 2014): 16–35.

(12)

upaya keduanya ialah mencoba mencatat perkawinannya di KUA, akan tetapi upaya tersebut tidak dapat diterima oleh pihak KUA. Upaya selanjutnya mereka mencoba mencatatkannya ke Kantor Catatan Sipil (KCS). Namun upaya mereka tidak berhenti di situ, mereka mencoba mengajukan permohonan perkawinan beda agama ke pengadilan, saat itu hakim Endang Sri Kawuryan mengabulkan permohonan mereka untuk melangsungkan perkawinan, perkawinan mereka berlangsung di KCS Jakarta Pusat pasca mendapat izin dari pengadilan.

Melihat dari contoh kasus perkawinan beda agama yang dilakukan Jamal Midad dan Lidya Kandou maka perkawinan beda agama diperbolehkan sesuai dasar hukum Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan: “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang- undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (

Regeling op de gemengde Huwelijken

S. 1898 No. 158), dan peraturan- peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang- undang ini, dinyatakan tidak berlaku”. Oleh karena itu arti dari kalimat terkahir yang berbunyi “perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku” adalah selama belum ada Undang-Undang Perkawinan yang mengatur mengenai hal ini, maka undang-undang sebelumnya dinyatakan tetap berlaku. Dengan demikian, dengan mempertimbangkan undang-undang sebelumnya, Pasal 7 GHR dalam kasus ini masih dapat diterima. Selain itu, dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No 1400 K/Pdt/1986, pada 20 Januari 1989, memutuskan bahwa perkawinan beda agama diperbolehkan di KCS hanya setelah memberikan kewenangan untuk mencatatkan perkawinan beda agama.14

PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF AGAMA-AGAMA DI INDONESIA 1. Perspektif Agama Islam

Tuhan menciptakan semua makhluknya berpasang-pasangan karena pada hakikatnya manusia tidak dapat hidup sendirian yang merupakan definisi dari manusia

14 Z Zulfadhli dan M Muksalmina, “Legalitas Hukum Perkawinan Beda Agama Di Indonesia,”

Jurnal Inovasi Penelitian 2, no. 6 (November 2019): 12, https://doi.org/10.47492/jip.v2i6.1014.

(13)

sebagai makhluk sosial, yakni manusia sejatinya tidak mampu hidup secara individu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa peran dan bantuan orang lain.15 Setiap makhluk hidup pasti membutuhkan pekawinan tak terkecuali manusia, hewan, dan juga tumbuhan. Perkawinan merupakan tradisi untuk kelangsungan hidup manusia yang memiliki aturan yang menyesuaikan perkembangan peradaban manusia.16 Manusia diciptakan Tuhan dengan memberinya hawa nafsu dilengkapi dengan akal yang keduanya tidak dimiliki oleh makhluk lain, hewan hanya memiliki nafsu dan malaikat hanya mempunyai akal. Sebagai makhluk yang berakal tentunya terdapat tatanan dalam kehidupan manusia berupa aturan hukum yang mempunyai tujuan guna mengatur perilaku manusia dalam menerepkan tata tertib, menjaga keadilan, juga meminimalisir terjadinya kekacauan di lingkungan masyarakat.17

Perkawinan memiliki makna sama dengan pernikahan dalam Agama islam, yaitu suatu ijab qabul yang tertuang dalam aturan syariat Islam dengan tujuan mengesahkan hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan menjadi suami dan istri. Dasar dari pernyataan tersebut terdapat dalam kalam Allah surah Ar- Rum ayat ke-21 yang artinya,

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu paasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

(QS. Ar- Rum: 21).18

Al-Qur’an menjadi pedoman yang paling utama dalam ajaran Islam untuk mengatur segala perbuatan hukum, termasuk diantaranya adalah perkawinan. Dalam sudut pandang Islam perkawinan dinilai sebagai sesuatu yang sakral karena melibatkan Tuhan dalam perjanjiannya yang disebut akad ijab qabul. Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa adapun hal yang ada dalam perintah Presiden RI Tahun 1991 yakni Soeharto yang kemudian ditulis di tiga buku, diantaranya ialah kewarisan, perkawinan dan perwakafan. Pada pasal 2 menjelaskan bahwa perkawinan atau

15 Akhmad Munawar, “Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif Yang Berlaku di Indonesia,”

Al-Adl : Jurnal Hukum 7, no. 13 (Juni 2015): 21–31.

16 Novita Lestari, “Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia,” Jurnal Ilmiah Mizani 4, no. 1 (2017): 43–52.

17 Munawar, “Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif Yang Berlaku di Indonesia.”

18 Mega Meirina, “Hukum Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam” 2 (2023).

(14)

pernikahan merupakan

mitssaqan ghalidzan

yaitu perjanjian yang sesungguhnya dalam menunaikan perintah Allah dan bagi yang menepatinya bernilai ibadah.19

Indonesia adalah bangsa dengan penduduk yang menganut beragam agama.

Perbedaan agama inilah yang menciptakan hubungan sosial antara setiap orang dengan bermacam-macam agama. Dari hubungan sosial seperti ini terkadang berujung pada hubungan yang diharamkan jaran Islam seperti perkawinan beda agama, karena bertentangan dengan ajaran Islam yakni dalam QS. Al-Baqarah ayat 221 yang artinya:

“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman”.

Menurut pandangan Islam, kehidupan dari keluarga pasangan beda agama tidak akan menciptakan kesempurnaan dan dapat menimbulkan berbagai kesulitan yang hanya dirasakan oleh pelaku perkawinan beda agama dalam rumah tangganya seperti: pelaksanan ibadah, pembinaan tradisi keagamaan, adab memulai aktivitas dan lain-lain.20 Sebagian besar ulama saat ini berpendapat bahwa pernikahan tidak sah hukumnya apabila seorang muslimah menikah dengan pria nonmuslim. Dalam kitab al- Muhadzdzab juz II halaman 44 menyebutkan bahwa Yahudi dan Nasrani saat ini sudah mengalami perubahan yang mengakibatkan tidak disahkannya perkawinan antara lelaki muslim dengan wanita ahli kitab. Dari pernyataan tersebut menegaskan bahwa hukum pria muslim menikahi wanita ahli kitab, yakni Yahudi dan Nasrani adalah haram karena agama mereka sepertihalnya seorang muslim yang murtad dan sudah termasuk adalam agama yang batil.21

2. Perspektif Agama Kristen Protestan

Setiap agama memiliki perbedaan dalam menanggapi berbagai fenomena dan peristiwa yang terjadi, demikian juga pada konteks perkawinan beda agama. Di mana Agama Kristen Protestan tidak mengahalangi pemeluknya untuk melangsungkan

19 Muhammad Ilham, “Nikah Beda Agama dalam Kajian Hukum Islam dan Tatanan Hukum Nasional,” TAQNIN: Jurnal Syariah dan Hukum 2, no. 1 (24 Juni 2020), https://doi.org/10.30821/taqnin.v2i1.7513.

20 Nur Cahaya, “Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam,” Hukum Islam 18, no.

2 (1 Agustus 2019): 141, https://doi.org/10.24014/hi.v18i2.4973.

21 Abd Razak Musahib, “Kajian Pernikahan Bedah Agama Menurut Hukum Islam,” Jurnal Inovasi Penelitian 1, no. 11 (April 2021): 6, https://doi.org/10.47492/jip.v1i11.476.

(15)

perkawinan beda agama, sebagaimana pemberlakuan hukum di Indonesia.22 Menurut Kristen Protestan perkawinan pada dasarnya ialah penyatuan pria dan wanita berdasarkan kodratnya sebagai manusia untuk meneruskan keturunannya. Pada umumnya Gereja ini menolak perkawinan beda agama, kecuali dalam keadaan yang mendesak, barulah gereja memberikan izin, asalkan memenuhi persyaratan tertentu.

Adapun syarat dan ketentuan dari masing-masing Gereja Prostestan tidak selalu sama.23

Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (MPL- PGI) tahun 1989 merilis pernyataan bahwa perkawinan beda agama menjadi kewenangan intitusi pemerintah untuk mencatat dan mengsahkan perkawinan melalui kantor catatan sipil. Artinya gereja wajib mengukuhkan dan memberkati perkawinan yang sudah sahkan secara hukum terlebih dahulu. Akan tetapi dalam pelaksanaanya, pemeberkatan nikah di gereja digelar sebelum pencatatan sipil. Fakta dilapangan gereja-gereja di Indonesia memiliki sudut padang yang bervariasi mengenai perkawinan beda agama, diantaranya sebagai berikut;

pertama

, gereja yang setuju terhadap perkawinan beda agama akan merekomendasikan terlebih dahulu kepada calon pasangan untuk melakukan pernikahan secara sipil tanpa perlu pindah agama.

Setelah dianggap sah secara hukum, kemudian di akhir acara dilaksanakan disiplin gereja dan pemberkatan perkawinan untuk kedua mempelai.

Kedua

, gereja memberkati dan merestui perkawinan beda agama dilaksanakan di gereja, dengan ketentuan pasangan non kristen berkenan untuk menaati semua aturan dan memeluk Agama Kristen. Beberapa gereja Kristen juga ada yang tidak menekankan untuk pindah agama, tetapi harus mendapatkan persetujuan dari pemuka agama asal untuk diizinkan melangsungkan pernikahan di gereja.

Ketiga

, gereja menolak perkawinan beda agama dan tidak akan pernah menghendaki perkawinan beda agama diatur dalam agama mereka. Bahkan sampai ada orang Kristen yang dikeluarkan dari anggota jemaat gereja karena menikah dengan pasangan beda agama. Selain tiga sudut pandang di atas, pasangan juga harus memenuhi persyaratan untuk melangsungkan

22 Rifki Rufaida dan Erfaniah Zuhriyah, “Perkawinan Beda Agama Dalam Sistem Perundang- Undangan” 7 (2022).

23 Imam Wahyujati, “Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia,” ’Aainul Haq: Jurnal Hukum Keluarga Islam 1, no. 2 (27 Juni 2022): 49–63.

(16)

pernikahan di gereja. Persyaratan yang diberikan biasanya terdiri dari surat baptis, formulir pemberkatan, peneguhan sidi dari masing-masing pihak, dan surat keterangan keikutsertaan bimbingan pra-nikah dari gereja setempat.24

3. Perspektif Agama Katolik

Pada dasarnya perkawinan dalam hukum Gereja Katolik ialah hak semua orang yang secara usia sudah dianggap dewasa. Pria dan wanita yang sudah dewasa tidak mempunyai halangan untuk menikah. Asalkan kedua memepelai bebas untuk saling mencintai tanpa adanya ancaman, ketakutan, dan tekanan. Terdapat 3 jenis hukum perkawinan menurut Gereja Katolik. Pertama, pasangan yang dibaptis menjadi Katolik keduaya disebut sakramen perkawinan. Kedua, sakramen perkawinan antara orang Katolik dengan orang Kristen yaitu prinsip di mana keduanya dibaptis dalam perkawinan secara Katolik oleh pastor atau diakon yang diistilahkan dengan sebutan

mixta religio

(perkawinan beda gereja). Hukum dari perkawinan beda gereja ini sah, akan tetapi harus memperoleh izin dari pihak pengurus gereja, uskup atau delegasi. Di Semerang izin ini diperoleh dari Romo Vikep. Ketiga,

Disparitas Cultus

atau halangan dalam perkawinan beda agama disebabkan salah satu pihak pasangan belum dibatis.

Diantaranya yang belum dibaptis seperti Islam, Hindu, Buddha, Konghucu bahkan Ateis.25

Agama Katolik tidak mengesahan perkawinan beda agama karena masih dianggap halangan, kecuali mendapat dispensasi sesuai Kanon 1086 §2 yang berbunyi

“Dari halangan itu (beda agama) janganlah diberikan dispensasi, kecuali, telah dipenuhi syarat-syarat yang disebut dalam kanon 1125 dan 1126”. Dalam kanon ini menyebutkan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi untuk dibolehkannya melangsungkan perkawinan beda agama, sebagaimana sudah disebutkan dalam kanon 1125 dan 1126. Adapun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:

Pertama

, Kanon 85 menegaskan bahwa hanya undang-undang yang murni bersifat gerejawi yang memberi izin dispensasi. Jadi, peraturan mengenai dispensasi perkawinan beda agama merupakan kewenangan otoritas gereja. Dispensasi adalah

24 Irma Esther, “3 Hukum Nikah Beda Agama Menurut Kristen Protestan,” Organisasi Keagamaan, TuhanYesus.org (blog), 17 November 2017, https://tuhanyesus.org/hukum-nikah- beda-agama-menurut-kristen.

25 Siti Nur Fatoni dan Iu Rusliana, “Pernikahan Beda Agama Menurut Tokoh Lintas Agama di Kota Bandung,” Varia Hukum 1, no. 1 (2019): 95–114.

(17)

kelonggaran yang diberikan otoritas gereja setelah melalui banyak pertimbangan terhadap syarat-syarat yang sudah diberikan.

Kedua

, pihak Katolik meminta dispensasi perkawinan beda agama dengan penuh kerendahan hati melalui pastor paroki.

Ketiga

, dispensasi perkawinan beda agama diberikan oleh otoritas gereja yakni uskup diosesan, administrator apostolik, administrator diosesan, vikaris episkopal, atau vikaris jenderal (kanon 479 §1-2 dan kanon 1078 §1). Alasan yang dapat diterima dalam pemberian dispensasi adalah alasan yang logis dan rasional (kanon 90 §1).

Menurut perspektif John P. Beal, alasan wajar dan masuk akal yang dapat diterima dalam pemberian dipensasi perkawinan beda agama yaitu dengan adanya janji untuk bertanggung jawab dalam memimpin keluarganya, mendidik anak-anaknya sesuai iman Katolik, dan tidak akan meninggalkan kewajiban-kewajiban Katolik. Poin pentingnya adalah selama alasan dispensasi tidak berdampak negatif pada kegiatan spiritual Katolik maka permohonan dispensasi dapat diterima dalam artian tidak melakukan pemalsuan dan penipuan kebenaran karena mengakibatkan tidak sahnya reskrip dispensasi.26

Dalam Agama Katolik perkawinan beda agama dapat dicacatkan, jika pihak non Katolik berkenan mematuhi aturan-aturan perkawinan Gereja Katolik supaya perkawinannya memperoleh pengakuan, pengesahan, dan pencatatan di Kantor Catatan Sipil. Mematuhi hukum Katolik bukan berarti beralih keyakinan atau pindah agama menjadi Katolik. Akan tetapi hanya bersifat kesepakatan untuk mematuhi protokol upacara perkawinan Gereja Katolik, sebab tidak pernah ada paksaan untuk berpindah keyakinan menjadi Katolik sekalipun itu pihak dari pasangan yang bukan Katolik tidak dipaksa berpindah agama agar perkawinannya dapat diakui dan disahkan.

Gereja Katolik memaklumi akan adanya perbedaan agama, hal ini dibuktikan dalam Kitab Hukum Kanonik melalui perturan beda agama yang termuat di dalamnya.

Pemberlakuan Kitab Hukum Kanonik tidak hanya diterapkan di Gereja Indonesia, melainkan bersifat universal.27

26 Postinus Gulo, “Dispensasi Gereja Katolik dalam Perkawinan Beda Agama (2),” Situs Berita Agama, Katolikana (blog), 8 Juni 2020, https://www.katolikana.com/2020/06/08/dispensasi- hukum-gereja-katolik-dalam-perkawinan-beda-agama-2/.

27 Matias Meindra Kwardhana, Dominikus Rato, dan Emi Zulaika, “PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANGPERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM KANONIK,” 1974.

(18)

4. Perspektif Agama Agama Hindu

Setiap agama pada prinsipnya mempunyai perbedaan dalam menyikapi berbagai fenomena yang terjadi, demikian pada fenomena perkawinan beda agama, Agama Hindu mengambil sikap untuk melarang perkawinan beda agama.28 Aturan ini sudah disebutkan dalam Kitab Manawa Dharmasastra, buku ke-III (Tritiyo ‘dhyayah) pasal 27 yang berbunyi:

“Acchadya carcayitwa ca, sruti sila wate swayam, ahuya danam kanyaya, brahma dharmah prakirtitah”

Artinya: Penyerahan seorang gadis yang sudah dirias dan sudah memberikan jamuan (permata) kepada sang ahli Weda yang baik perangainya didatangkan (oleh ayah si gadis) dinamakan cara Brahmana Wiwaha.29

Tafsiran dari pasal tersebut adalah gadis yang sudah dirias yaitu gadis yang berbudi luhur, berpendidikan dan taat beragama agar bisa menciptakan keluarga yang tentram dan bahagia. Dan maksud dari memberikan jamuan kepada sang ahli Weda adalah sebelum pasangan tersebut melanjutkan hubungannya ke jenjang perkawinan harus terlebih dahulu mengormati orang tua yaitu dengan meminta izin atas perkawinan kepada orang tua mereka dihadapan ahli Weda (Wiku). Jika perkawinannya beda agama maka pihak pasangan non-Hindu harus mengikuti upacara sudhi wadani terlebih dahulu sebelum upacara ritual pawiwahan (perkawinan).

Upacara sudhi wadani adalah upacara pegesahan status seseorang menjadi Hindu dari agama yang dianut sebelumnya, tanpa adanya keterpaksaan.30

Perkawinan beda agama tidak disahkan dalam Agama Hindu sebagaimana uraian di atas, Jadi jika pasangan beda agama ingin disahkan pekawinannya secara Hindu maka pihak non-Hindu harus pindah menjadi Hindu terlebih dahulu melalui upacara sudhi wadani yang dilakukan sebelum upacara pawiwahan, dipimpin oleh seorang pandhita dengan mengahdirkan tiga saksi atau trisaksi yakni: Bhuta Saksi, Manusia Saksi, dan Dewa Saksi. Dalam pelaksanaanya terdapat syarat-syarat yang

28 Jane Marlen Makalew, “AKIBAT HUKUM DARI PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA,”

LEX PRIVATUM 1, no. 2 (2013): 132–44.

29 Mutiarany Mutiarany Dan Dsk Putu Ayu Leni Agustini, “Sudhi Wadani Dalam Perkawinan Hukum Adat Bali,” Justice Voice 1, No. 2 (5 Januari 2023): 81–90, Https://Doi.Org/10.37893/Jv.V1i2.193.

30 Makalew, “AKIBAT HUKUM DARI PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA.”

(19)

harus terpenuhi, diantaranya (1) Membuat surat pernyataan bahwa dirinya sukarela bersedia menganut agama Hindu, tanpa adanya keterpaksaan dan tekanan dari pihak lain; (2) Membuat surat permohonan kepada Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) yang berwenang; (3) Menyelesaikan administrasi yang berupa suat permohonan untuk sudhi wadani, pas foto, dan fotokopi KTP. Selain persyaratan administrasi juga terdapat persyaratan untuk melaksanakan upacara sudhi wadani antara lain yaitu: (1) Prayascita; (2) Pejati; (3) Air suci; (4) Dupa/api; (5) Sesajen Byakala dan sesajen pelengkap lainnya. Berikut merupakan tahapan-tahapan dalam upacara sudhi wadani:

1) Menyertakan surat pernyataan masuk Agama Hindu dalam pengajuan surat permohonan kepada PHDI sesuai administrasi di atas; 2) PHDI mengutus salah satu rohaniwan untuk memimpin upacara sudhi wadani berdasarkan surat permohonan; 3) Pelaksanaan upacara sudhi wadani dilakukan sesuai tanggal yang telah ditetapkan sebeumnya, yang digelar di kediaman pasangan yang beragama Hindu lebih dulu; 4) Upacara sudhi wadani menghadirkan masayarakat sekitar untuk dijadikan saksi; 5) Diakhir prosesi upacara sudhi wadani, salah satu jajaran PHDI sebagai perwakilan memberikan beberapa nasehat dasar Agama Hindu. Kemudian sesi penanda tanganan setelah prosesi sudhi wadani berakhir.31

5. Perspektif Agama Buddha

Dalam ajaran Budhha, perkawinan bukanlah lembaran baru kehidupan dan tidak ada paksaan untuk menikah bagi pemeluknya. Meskipun demikian, pada kenyataannya menurut sebagian besar masyarakat perkawinan merupakan bagian dari pola hidup untuk membentuk keluarga, meruskan keturunan dan kebutuhan biologis lainnya. Agama Buddha tidak menghalangi pemeluknya untuk menjalin hubungan dengan pasangan beda agama dalam ikatan perkawinan. Menurut Bikkhu Uttamo dalam ceramahnya, perkawinan dapat menciptakan rasa saling menghargai dan memahami perbedaan juga tidak saling mementingkan diri sendiri atas keluarganya.

Dapat diasumsikan dari pemaparan yang sudah dijelaskan bahwa Buddha tidak melarang perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama dapat dilangsungkan selama pasangan tersebut mampu mematuhi aturan prosesi perkawinan Buddhis, sesuai putusan yurisprudensi Mahkamah Agung yang sebelumnya pernah mengabulkan

31 Ni Nyoman Rahmawati, “PENGESAHAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PERSFEKTIF HUKUM HINDU,” Belom Bahadat 8, no. 1 (30 Juni 2019), https://doi.org/10.33363/bb.v8i1.341.

(20)

permohonan perkawinan beda agama. Oleh karena itu, dari sini dapat disimpulkan bahwa dalam Agama Buddha perkawinan beda agama sah untuk dilakukan dan bisa dicatatkan di Kantor Catatan Sipil selaku instansi pencatat perkawinan.32

6. Perspektif Agama Konghucu

Perkawinan beda agama pada dasarnya dalam ajaran Khonghucu tidak diperbolehkan. Candra Setiawan selaku mantan ketua umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) mengatakan bahwa upacara pengukuhan perawinan hanya bisa dilakukan bagi mereka yang beragama Khonghucu.

Agama Khonghucu tidak dapat mengukuhkan perkawinan jika salah satu pasangan tidak mengimani ajaran Khonghucu karena dalam upacara pengkuhan perkawinannya terdapat sumpah untuk mengakui Khonghucu sebagai kepercayaannya.

MATAKIN berpendapat bahwa upacara pengukuhan perkawinan hanya bisa dilakukan jika kedua pihak beragama Khonghucu. Maka dari itu, pihak pasangan yang berbeda agama tidak dapat mengkiuti upacara pengkuhan perkawinan. Meskipun demikian, perkawinan beda agama tetap bisa dilakukan karena ajaran Khonghucu tidak sepenuhnya menghalangai perkawinan beda agama. Khonghucu memandang perbedaan suku, bangsa, budaya, sosial bahkan agama tidak menjadi penghalang untuk dilangsungkannnya perkawinan. Sealin itu, ajaran Khonghucu tidak pernah memaksa pemeluk agama lain utuk menganut agama Khonghucu.33

Menurut Wakil Ketua Umum MATAKIN, Uung Sedana, penganut Khonghucu tetap bisa mengikuti upacara pengukuhan meskipun menikah dengan pasangan beda agama. Mereka mengabulkan permintaan perkawinan beda agama. Namun tidak dapat mencatatatkan perkawinan dan memberikan surat pemberkatan. Surat akan dikeluarkan ketika pihak pasangan yang berbeda agama berpindah keyakinan menjadi Khonghucu.34

32 Sukhema Dewi, “Pandangan Pernikahan Beda Agama dalam Buddhis dan Penerapan Hukum Indonesia,” Situs Berita Agama, Buddhazine.com (blog), 15 Desember 2017, https://buddhazine.com/pandangan-pernikahan-beda-agama-dalam-buddhis-dan-penerapan- hukum-indonesia/.

33 Laily Dwi Setiarini, “Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia” 19, no. 85 (2021).

34 Taslim HM Yasin, “Toleransi Beragama Perspektif Islam dan Kong Hu Cu,” Abrahamic Religions: Jurnal Studi Agama-Agama 1, no. 1 (27 April 2021): 41, https://doi.org/10.22373/arj.v1i1.9442.

(21)

PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPSEKTIF HAK ASASI MANUSIA

Indonesia sebagai negara dengan berbagai suku, adat, bahasa, budaya dan agama tidak berarti ada batasan dalam interaksi sosial karena manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial pasti membutuhkan orang lain. Diantara kebutuhan tersebut adalah kebutuhan untuk memiliki pasangan dan terus memiliki anak setelah menikah.

Sebelum menikah, laki-laki dan perempuan perlu benar-benar memahami makna perkawinan sebagaimana yang tertuang dalam UU No. Pada tanggal 1 Januari 1974. Di dalamnya disebutkan bahwa hubungan yang memiliki sebuah tujuan yakni membangun keluarga, rumah tangga yang sakina, mawadah, warahmah atau bahagia dengan menjadikan iman kepada Tuhan sebagai pedomannya, dan dijalin oleh seorang pria dan wanita dengan status suami dan istri merupakan definisi dari perkawinan. Dari pengertian tersebut kemudian dapat diambil kesimpulan bahwasannya perkawinan merupakan kemantapan yang ada dalam diri seorang wanita dan pria untuk melangsungkan kehidupan secara bersama degan ikatan lahir dan juga batin.35

Kedudukan hak asasi manusia di Indonesia menjadi sangat penting sejak diamandemenkannya Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini diketahui karena peraturan terkait hak asasi manusia semakin meluas. Di sisi lain terdapat Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang prinsip dasarnya adalah hak-hak toleransi Indonesia terhadap hak asasi manusia. Bagian Kedua tentang Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan dalam Pasal 10 sebagai berikut: (1) Melaui sebuah perkawinan yang sah, maka setiap individu berhak untuk dapat meneruskan keturunan dan membangun keluarga, (2) Sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang bahwa suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila pihak mempelai yang menghendaki, artinya tanpa ada paksaan.

Ayat pertama berisi tentang hak setiap warga tentang memiliki keturunan dan membangun keluarga dapat diperoleh dengan melangsungkan perkawinan yang sah.

Ayat kedua berisi tentang hak individu yang memiliki kebebasan dalam melaksanakan

35 Sekarbuana, Widiawati, dan Arthanaya, “Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia.”

(22)

perkawinan, artinya tanpa ada sebuah paksaan maupun tekanan, hal ini merupakan bagian dari paraturan yang tercantum dalam Undang-Undang.36

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian dan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Indonesia melarang praktik perkawinan beda agama. Meskipun sebelumnya telah ada ketentuan undang-undang yang mengatur perkawinan campuran atau Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR), akan tetapi saat ini perkawinan beda agama bukan lagi termasuk dalam perkawinan campuran, sejak ditetapkannya pada 2 Januari 1974 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan resmi mencabut Pasal 11 ayat (2) RUU Perkawinan 1973 yang menyebutkan bahwa perbedaan agama bukan termasuk halangan perkawinan. Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang diselenggarakan mengikuti aturan yang sudah ditetapkan agama dan kepercayaan masing-masing. Perkawinan beda agama menurut Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya menyatakan menolak permohonan perkawinan beda agama untuk seluruhnya. Perspektif Yurisprudensi pernikahan beda agama diperbolehkan di KCS hanya setelah memberikan kewenangan untuk mencatatkan perkawinan beda agama selama belum ada Undang-Undang Perkawinan yang mengatur mengenai hal ini, maka undang-undang sebelumnya dinyatakan tetap berlaku.

Perspektif Agama Islam memandang bahwa pernikahan tidak sah hukumnya apabila seorang muslimah menikah dengan pria nonmuslim. Perspektif Agama Kristen tentang perkawinan beda terbagai kedalam tiga kategori, yaitu pro artinya setuju terhadap perkawinan beda agama akan merekomendasikan terlebih dahulu kepada calon pasangan untuk melakukan pernikahan secara sipil tanpa perlu pindah agama, kemudian kontra ringan yang artinya gereja memberkati dan merestui perkawinan beda agama dilaksanakan di gereja, dengan ketentuan pasangan non kristen berkenan untuk menaati semua aturan dan memeluk Agama Kristen, dan kontra berat yang artinya gereja menolak perkawinan beda agama dan tidak akan pernah menghendaki perkawinan beda agama diatur dalam agama mereka. Menurut pandangan Agama

36 Alfian Yusuf, Irit Suseno, dan Endang Prasetyawati, “Perkawinan Beda Agama Dalam Prespektif Hak Asasi Manusia,” Jurnal Akrab Juara 6, no. 1 (Februari 2021): 68–83.

(23)

Katolik perkawinan beda agama tidak dapat disahkan, karena masih dianggap halangan, kecuali mendapat dispensasi sesuai Kanon 1086 yang berbunyi “Dari halangan itu (beda agama) janganlah diberikan dispensasi, kecuali, telah dipenuhi syarat-syarat yang disebut dalam kanon 1125 dan 1126”. Pandangan Agama Hindu tidak mengesahkan perihal perkawinan beda Agama. Jika pasangan beda agama ingin disahkan pekawinannya secara Hindu maka pihak non-Hindu harus pindah menjadi Hindu terlebih dahulu melalui upacara sudhi wadani yang dilakukan sebelum upacara pawiwahan. Sedangkan menurut pandangan Agama Buddha perkawinan beda agama sah untuk dilakukan dan bisa dicatatkan di Kantor Catatan Sipil selaku instansi pencatat perkawinan. Agama Konghucu mengabulkan permintaan perkawinan beda agama. Namun tidak dapat mencatatatkan perkawinan dan memberikan surat pemberkatan. Sementara itu perspektif HAM memperbolehkan praktik perkawinan beda agama berlandaskan Pasal 28B ayat 1 tentang hak berkeluarga dan pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Bagian Kelima tentang Hak Kebebasan Pribadi.

DAFTAR PUSTAKA

Agustin, Fitria. “Kedudukan Anak dari Perkawinan Berbeda Agama menurut Hukum Perkawinan Indonesia.”

Ajudikasi : Jurnal Ilmu Hukum

2, no. 1 (20 Juli 2018):

43. https://doi.org/10.30656/ajudikasi.v2i1.574.

Asiah, Nur. “Kajian Hukum Terhadap Perkawinan Beda Agama Menurut Undang- Undang Perkawinan dan Hukum Islam.”

Samudera Keadilan: Jurnal Hukum

2, no. 1 (2 Desember 2018): 204–14.

Cahaya, Nur. “Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam.”

Hukum Islam

18, no. 2 (1 Agustus 2019): 141. https://doi.org/10.24014/hi.v18i2.4973.

Dewi, Sukhema. “Pandangan Pernikahan Beda Agama dalam Buddhis dan Penerapan Hukum Indonesia.” Situs Berita Agama.

Buddhazine.com

(blog), 15 Desember 2017. https://buddhazine.com/pandangan-pernikahan-beda-agama-dalam- buddhis-dan-penerapan-hukum-indonesia/.

Erwinsyahbana, Tengku. “Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama dan Problematika Yuridisnya.”

Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum

3, no. 1 (2 Juli 2019): 97–114.

https://doi.org/10.24246/jrh.2018.v3.i1.p97-114.

Esther, Irma. “3 Hukum Nikah Beda Agama Menurut Kristen Protestan.” Organisasi Keagamaan.

TuhanYesus.org

(blog), 17 November 2017.

https://tuhanyesus.org/hukum-nikah-beda-agama-menurut-kristen.

(24)

Fatoni, Siti Nur, dan Iu Rusliana. “Pernikahan Beda Agama Menurut Tokoh Lintas Agama di Kota Bandung.”

Varia Hukum

1, no. 1 (2019): 95–114.

Gulo, Postinus. “Dispensasi Gereja Katolik dalam Perkawinan Beda Agama (2).” Situs Berita Agama.

Katolikana

(blog), 8 Juni 2020.

https://www.katolikana.com/2020/06/08/dispensasi-hukum-gereja-katolik- dalam-perkawinan-beda-agama-2/.

HM Yasin, Taslim. “Toleransi Beragama Perspektif Islam dan Kong Hu Cu.”

Abrahamic Religions: Jurnal Studi Agama-Agama

1, no. 1 (27 April 2021): 41.

https://doi.org/10.22373/arj.v1i1.9442.

Ilham, Muhammad. “Nikah Beda Agama dalam Kajian Hukum Islam dan Tatanan Hukum Nasional.”

TAQNIN: Jurnal Syariah dan Hukum

2, no. 1 (24 Juni 2020).

https://doi.org/10.30821/taqnin.v2i1.7513.

Istiqomah, dan Nanda Chairunissa. “Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia.”

Jurnal Berkala Fakultas Hukum Universitas Bung Karno

1, no. 1 (1 Juni 2022).

https://www.ejurnal.ubk.ac.id/index.php/iusfacti/article/view/239/180.

Kwardhana, Matias Meindra, Dominikus Rato, dan Emi Zulaika. “Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Kanonik,” 1974.

Lestari, Novita. “Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia.”

Jurnal Ilmiah Mizani

4, no. 1 (2017): 43–52.

liputan6.com. “Kasus Pernikahan Beda Agama di Surabaya, Ini Keputusan Pengadilan Negeri.” Situs Berita.

Liputan 6

(blog), 22 Juni 2022.

https://www.liputan6.com/jatim/read/4992362/kasus-pernikahan-beda-agama- di-surabaya-ini-keputusan-pengadilan-negeri.

Makalew, Jane Marlen. “Akibat Hukum Dari Perkawinan Beda Agama di Indonesia.”

Lex Privatum

1, no. 2 (2013): 132–44.

Meirina, Mega. “Hukum Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam”

2 (2023).

Munawar, Akhmad. “Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif Yang Berlaku di Indonesia.”

Al-Adl : Jurnal Hukum

7, no. 13 (Juni 2015): 21–31.

Musahib, Abd Razak. “Kajian Pernikahan Bedah Agama Menurut Hukum Islam.”

Jurnal Inovasi Penelitian

1, no. 11 (April 2021): 6.

https://doi.org/10.47492/jip.v1i11.476.

Mutiarany, Mutiarany, dan Dsk Putu Ayu Leni Agustini. “Sudhi Wadani Dalam Perkawinan Hukum Adat Bali.”

Justice Voice

1, no. 2 (5 Januari 2023): 81–90.

https://doi.org/10.37893/jv.v1i2.193.

Rahmawati, Ni Nyoman. “Pengesahan Perkawinan Beda Agama Dalam Persfektif Hukum Hindu.”

Belom Bahadat

8, no. 1 (30 Juni 2019).

https://doi.org/10.33363/bb.v8i1.341.

(25)

Rhr, Raphon Fajar. “Keabsahan Perkawinan Warga Negara Indonesia Yang Berbeda Agama (Analisis Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dengan Pasal 35 Huruf A Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006).”

CORE

, 2013, 1–20.

Rufaida, Rifki, dan Erfaniah Zuhriyah. “Perkawinan Beda Agama Dalam Sistem Perundang-Undangan” 7 (2022).

Sekarbuana, Made Widya, Ida Ayu Putu Widiawati, dan I Wayan Arthanaya.

“Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia.”

Jurnal Preferensi Hukum

2, no. 1 (19 Maret 2021): 16–21.

https://doi.org/10.22225/jph.2.1.3044.16-21.

Setiarini, Laily Dwi. “Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia” 19, no. 85 (2021).

Setiyanto, Danu Aris. “Perkawinan Beda Agama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/ Puu-Xii/2014 Dalam Persperktif Ham.”

Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam

9, no. 1 (1 Maret 2017): 13.

https://doi.org/10.14421/ahwal.2016.09102.

Solikhuddin, Muhammad. “Polemik Pernikahan Beda Agama dalam Tinjauan Hukum Profetik.”

Tafáqquh: Jurnal Penelitian Dan Kajian Keislaman

2, no. 2 (Desember 2014): 16–35.

Surotenojo, Annisaa Firdayanti. “Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Ditijau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Hukum Islam.”

Lex Privatum

6, no. 8 (Oktober 2018): 192–202.

Syamsulbahri, Andi, dan Adama Mh. “Akibat Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.”

Al-Syakhshiyyah Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Kemanusiaan

2, no. 1 (25 Juli 2020): 75–85.

https://doi.org/10.35673/as-hki.v2i1.895.

Wahyujati, Imam. “Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia.”

’Aainul Haq:

Jurnal Hukum Keluarga Islam

1, no. 2 (27 Juni 2022): 49–63.

Yusuf, Alfian, Irit Suseno, dan Endang Prasetyawati. “Perkawinan Beda Agama Dalam Prespektif Hak Asasi Manusia.”

Jurnal Akrab Juara

6, no. 1 (Februari 2021): 68–

83.

Zulfadhli, Z, dan M Muksalmina. “Legalitas Hukum Perkawinan Beda Agama di Indonesia.”

Jurnal Inovasi Penelitian

2, no. 6 (November 2019): 12.

https://doi.org/10.47492/jip.v2i6.1014.

Referensi

Dokumen terkait

Pencatatan Perkawinan Beda Agama menurut hukum positif di Indonesia Menurut Pasal 2 UU Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan