PERKEMBANGAN TASAWUF DAN KONTRIBUSINYA DI INDONESIA
Oleh :
Dr. Suherman, M.Ag,
Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Medan ABSTRAK
Tasawuf adalah sebuah pandangan tentang dunia yang berpusat pada Dia (Tuhan) saja dan tidak tenggelam pada yang bukan Dia. Tasawuf adalah pandangan tentang hakikat suatu realitas yang dalam filsafat, tergolong ilmu tentang hakikat (ontologi). Hakikat tidak sekedar mengkaji dan memahami apa adanya tetapi mengkaji dan memahami ada apa di balik apa adanya. Istilah tasawuf memang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi lebih berdasarkan rumusan dan ajaran para guru yang tidak bertentangan dengan sumber hukum Islam yang utama. Pertumbuhan dan perkembangan tasawuf di Nusantara dimotori oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, dua tokoh sufi yang datang dari pulau Andalas (Sumatera) pada abad ke 17 M. Pada realitas pengamalannya tasawuf termasuk di Indonesia tergolong pada 2 macam yaitu tasawuf falsafi dan tasawuf akhlaki. Tasawuf falsafi yang dimotori oleh Ibn Araby kaya akan ide-ide pemahaman tentang Tuhan dan tasawuf akhlaki lebih menekankan amal ibadah dan akhlakulkarimah dalam mendekatkan diri pada Tuhan. Tasawuf akhlaki lebih mengalami perkembangan pesat dibuktikan dengan semakin banyaknya masyarakat yang mengikutinya. Kontribusinya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara jelas sekali. Pertama ketekunan dan keyakinan terhadap tarekat telah membentuk jiwa yang kuat dan istiqomah dalam melawan maksiat termasuk melawan penjajah hingga Indonesia merdeka berdaulat.. Selanjutnya pendekatan akhlak mulia sebagai usaha untuk mendekati Allah Swt. (tasawuf akhlaki) juga telah banyak melahirkan insan yang juga berobah baik akhlaknya.
Kata Kunci: Tasawuf, Tarekat, Indonesia dan akhlaknya mulia A. Pendahuluan
Islam sufistik dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan Islam serta khazanah intelektual Islam di Nusantara merupakan salah satu wacana yang masih menarik untuk dibincangkan. Hal ini tidak hanya disebabkan awal masuknya Islam ke Indonesia -sebagaimana
‘disepakati’ para ahli sejarah- bernuansa tasawuf. Namun juga dikarenakan adanya luka-luka sejarah dalam perkembangan Islam di negeri gemah ripah loh jinawi ini yang terkait langsung dengan issu Islam esoteris.
Eksekusi mati terhadap Syekh Siti Jenar pada abad ke 15 M
di Jawa oleh Wali Songo, pembunuhan terhadap para penganut paham wahdah al-wujud di Serambi Mekah -Aceh- atas fatwa qadhi kesultanan yang waktu itu dijabat Al- Raniri, adalah luka yang akan tetap meninggalkan codet dalam lembaran sejarah Islam di Indonesia.
Selanjutnya, budaya masyarakat Nusantara yang amat kental dengan dunia mistik -terutama sejak masuknya Hindu dan Budha dari India- merupakan faktor yang tidak bisa dikesampingkan yang membuat semakin menariknya wacana ini.
Tulisan ini berusaha memaparkan secara lugas tentang pertumbuhan dan perkembangan tasawuf di Indonesia khususnya.
Selanjutnya akan menguraikan sejauhmana kontribusi atau peranannya di Nusantara khususnya di Indonesia.
B. Pembahasan
1. Tasawuf dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah
Sebagian orang masih banyak yang mengatakan bahwa tasawuf tidak ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah, oleh karena itu tasawuf dianggap bid’ah. Memang benar,kita tidak akan menemukan satupun kata tashawwuf dalam Al-Qur’an dan demikian juga halnya dalam hadits.
“Karena istilah tasawuf baru muncul kira-kira 50-60 tahun setelah Rasulullah Saw. wafat”. Berbeda dengan Kang Jalal, R.A. Nicholson berpendapat bahwa terma tasawuf baru dikenal pada akhir abad kedua hijriyah. Pada saat itu pengertiannya
sudah mengacu pada suatu ajaran mengenai cara-cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat mungkin. Ajaran itu antara lain berisi tentang anjuran kepada para pengikut sufisme agar mempertebal rasa takwa kepada Allah SWT, berzikir dan mengingat- Nya setiap saat, berupaya untuk membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan dunia sehingga tidak diperbudak harta dan tahta, memperbanyak membaca Al- Qur’an dan shalat serta mau mendermakan rezeki kepada yang lebih membutuhkan.
Asal-usul kata tasawuf sampai sekarang masih banyak diperdebatkan orang. Ada yang mengatakan bahwa tashawwuf berasal dari kata shuf, yang berarti bulu domba. Ada juga yang berpendapat bahwa kata tashawwuf berasal dari kata ahlash-shuffah, yakni kelompok sahabat sangat miskin yang hijrah ke Madinah.
Mereka tidak punyai tempat tinggal.
Oleh karenanya Rasulullah menempatkan mereka di beranda masjid. Kaum orientalis berpendapat bahwa istilah tashawwuf berasal dari bahasa mereka, yakni teosofos (teosophia), Teo berarti Tuhan dan sophia berarti kebijaksanaan. Jadi tasawuf berarti kebijaksanaan yang dihubungkan dengan Tuhan (al- hikmah al-ilahiyah) Kemudian para ulama Islam mengambil kata itu dan menyesuaikannya dengan lidah Arab sehingga menjadi tashawwuf (tasawuf).
Dalam perkembangan berikutnya, kata tersebut mengandung makna baru. Tasawuf sering dikaitkan dengan tiga pengertian sebagai berikut:
Pertama, tasawuf, sering dipahami sebagai akhlak atau adab yang harus dijalankan manusia ketika mau mendekat kepada Allah.
Ada yang lebih tegas lagi mengatakan bahwa tasawuf adalah akhlak yang baik. Kalau definisi ini disepakati, maka semua orang barangkali sepakat bahwa ajaran Al- Qur’an dan sunnah mengajarkan tasawuf. Artinya Nabi SAW datang untuk mengajarkan tasawuf, dan mengajak kita semua untuk menjadi sufi. Karena salah satu misi kerasulannya adalah untuk memperbaiki akhlak masyarakat.
Kedua, tasawuf juga diartikan sebagai cara untuk mencapai ma’rifat, untuk mencapat pengetahuan. Pengetahuan bukan saja diperoleh melalui belajar atau lewat penalaran saja. Ada pengetahuan yang langsung diberikan oleh Allah yang disebut ilmu laduni. Mungkin, asalnya diambil dari kalimat min ladunka rahmah (rahmat dari sisimu). Jadi ada ilmu khusus yang tidak diperoleh melalui pengamatan empiris, belajar atau penelitian, melainkan diberikan langsung oleh Allah kepada orang yang dikehendaki. Allah memiliki cara untuk mengajari kita tidak melalui makhluk-Nya. Tetapi ilmu itu diberikan secara langsung dari Allah, yang sering disebut ilham atau
isyraq yang berarti iluminasi atau pencerahan.
Ketiga, tasawuf juga dianggap sebagai ilmu yang berkenaan dengan pandangan tentang realitas. Ada sebuah ayat dalam Al- Qur’an yang terjemahannya kurang lebih demikian :
“Ke mana pun kamu menghadap, disitulah wajah Allah”
(Q 2:115).
Secara zhahir ayat ini mengandung makna tentang konsep tauhid yaitu tidak ada sesuatupun di dunia ini selain Allah. Hanya saja sekarang ini kemana pun kita memalingkan wajah yang kita lihat adalah bermacam-macam makhluk.
Kita tidak melihat wajah Allah.
Lantas kalau begitu apakah ayat Al- Qur’an yang salah ? Tentu tidak.
Kata para sufi, hal itu karena pandangan kita saja yang tertutup, akibatnya kita tidak bisa melihat wajah Allah. Para sufi berpendapat bahwa mereka sudah ada pada keadaan ketika memandang realitas ini semuanya melebur, yang ada hanya Allah, sementara selain Allah itu hilang. Artinya seorang sufi pada suatu keadaan ketika ia meniadakan segala-galanya, sehingga yang ada hanya Allah Swt.
Dari uraian di atas dapat difahami bahwa tasawuf adalah sebuah pandangan tentang dunia yang berpusat pada Dia (Tuhan) saja dan tidak tenggelam pada yang bukan Dia. Tasawuf adalah pandangan tentang hakikat suatu realitas. Dalam filsafat, ilmu tentang hakikat disebut ontologi. Hakikat
tidak sekedar mengkaji dan memahami apa adanya tetapi mengkaji dan memahami ada apa di balik apa adanya. Jadi tasawuf adalah sejenis mazhab ontologi.
Sekali lagi meskipun istilah tasawuf tidak ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maknanya seperti yang dirumuskan dalam tiga hal di atas ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
2. Pembagian Tasawuf
Secara aplikatif tasawuf terbagi kepada dua bagian yaitu tasawuf falsafi dan tasawuf akhlaki.
Pertama; tasawuf falsafi adalah permasalahan tasawuf yang sangat rumit dan ditekuni oleh orang-orang khawas saja. Dalam tasawuf falsafi ditemukan berbagai istilah yang rumit seperti wihdatul wujud, hulul, ittihad, fana, baqa, syathat, dan sebagainya. Tasawuf falsafi memasukkan ke dalam ajaran- ajarannya unsur-unsur filosofis dari luar Islam dan mengungkapkan ajaran-ajarannya dengan memakai istilah-istilah filosofis dan simbol- simbol khusus yang sulit dipahami oleh orang banyak. Tasawuf tipe trakhir ini disebut “Tasawuf filosofis” (al-tashawwuf al-falsafi) atau “tasawuf semi-filosofis” (al- tashawuf syibh al-falsafi), dan kadang kala disebut “tasawuf teosofis” (al-tashawwuf al-tiyushufi).
Sedangkan tasawuf akhlaki adalah aplikasi tasawuf dalam akhlak mukmin yang terpancar dari bathinnya sehingga berpengaruh kepada seluruh tingkah lakunya.
Tasawuf akhlaki menuntut keikhlasan yang murni semata-mata
karena Allah. Sikap jiwa dididik agar memandang segala sesuatunya karena Allah dan akan kembali kepada Allah. Memandang sesuatu karena Allah akan timbul kecintaan yang mendalam kepada-Nya. Cinta kepada Ilahi yang mendalam juga dimanifestasikan dalam cinta kepada makhluk-Nya, baik kepada sesama manusia maupun alam semesta. Atas dasar cinta itulah terjadi komunikasi yang harmonis antara Allah, manusia dan alam semesta. Inilah kawasan tasawuf akhlaki dalam kehidupan Muslim. Tasawuf akhlaki memagari dirinya dengan Al-Qur’an dan sunah dan menjauhi penyimpangan- penyimpangan yang menuju kepada kesesatan dan kekafiran. Tasawuf tipe ini disebut “Tasawuf Suni” (al- tashawwuf al-Sunni).
3. Perkembangan Tasawuf di Nusantara
Wacana tasawuf khususnya tasawuf falsafi di Nusantara dimotori oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, dua tokoh sufi yang datang dari pulau Andalas (Sumatera) pada abad ke 17 M.
Sekalipun pada abad ke 15 sebelumnya telah terjadi peristiwa tragis berupa eksekusi mati terhadap Syekh Siti Jenar atas fatwa dari Wali Songo, karena ajarannya dipandang menganut doktrin sufistik yang bersifat bid’ah berupa pengakuan akan kesatuan wujud manusia dengan wujud Tuhan, Zat Yang Maha Mutlak. Namun sejauh ini penulis belum menemukan literatur yang menjelaskan apakah paham yang dianut Syekh Siti Jenar adalah
wahdatulwujud yang berasal dari Ibnu Arabi lewat ‘jaringan ulama’
sebagaimana dimaksud Azra dalam bukunya tersebut. Terlebih lagi terlalu sedikit literatur yang menjelaskan keberadaan sosok Syekh Siti Jenar dalam khazanah keislaman di Nusantara. Paling tidak menurut Alwi Shihab, kehadiran Syekh Siti Jenar dengan ajaran dan syahahat-nya yang dipandang sesat, dapat dijadikan sebagai tahap pertama perkembangan tasawuf falsafi di Indonesia. Alwi menamakannya sebagai tahap perkenalan. Pembunuhan terhadap Syekh Siti Jenar agaknya telah meredupkan cahaya perkembangan tasawuf falsafi di Indonesia dalam waktu yang lama, sampai kemudian munculnya Hamzah dan Syamsuddin di Sumatera.
Hamzah Fansuri adalah keturunan Melayu yang dilahirkan di Fansur -nama lain dari Barus-. Para peneliti tidak menemukan bukti yang valid kapan sebenarnya Hamzah lahir. Dia diperkirakan hidup pada akhir abad ke 16 dan awal abad ke 17, yakni pada masa sebelum dan selama pemerintahan Sultan ‘Ala al- Din Ri’ayat Syah (berkuasa 977- 1011H/1589-1602M). Hamzah diperkirakan meninggal sebelum tahun 1016H/1607M. Hamzah memulai pendidikannya di Barus, kota kelahirannya yang pada waktu itu menjadi pusat perdagangan, karena saat itu Aceh berada dalam kemajuan di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda dan Iskandar Tsani. Kwalitas pendidikan yang
cukup baik di Aceh menjadikan Hamzah dapat mempelajari ilmu- ilmu agama seperti ; fiqh, tauhid, akhlak, tasawuf, dan juga ilmu umum seperti ; kesustraan, sejarah dan logika. Selesai mengikuti pendidikan di tanah kelahirannya, Hamzah kemudian melanjutkan pendidikan ke Timur Tengah, khususnya Persia dan Arab.
Sehingga dia dapat menguasai bahasa Arab dan Persia, mungkin juga bahasa Urdu. Dalam hal tasawuf falsafi diperkirakan Hamzah mempelajari dari Iraqi, murid Sadr al-Din al-Qunawi, murid kesayangan Ibnu Arabi.
Sekembalinya dari
perantauan menuntut ilmu, Hamzah mengajarkan agama di Aceh melalui lembaga pendidikan “Dayah”
(pesantren) di Oboh Simpang-Kanan, yang merupakan cabang dari Dayah Simpang-Kiri yang diasuh oleh kakaknya Syekh Ali Fansuri, ayah dari Abdr Rauf al-Sinkli. Hamzah ternyata tidak hanya beraktifitas sebagai guru, namun juga rajin menulis. Tetapi sangat disayangkan karya-karya Hamzah tersebut tidak lagi ditemukan karena telah dimusnahkan oleh ‘lawan-lawannya’
yang menentang paham wujudiyah yang dikembangkan oleh Hamzah.
Pemikiran Hamzah tentang ajaran wujudiyah terdapat dalam karyanya Zinat al-Wahidin, yang terdiri dari tujuh bab. Dalam karyanya tersebut Hamzah menjelaskan bahwa penampakan Tuhan tidak terjadi begitu saja atau secara langsung, tapi melalui tahap tertentu, sehingga
keesaan dan kemurnian Tuhan tidak tercampuri dengan makhluk.
Ajaran wujudiyah Hamzah ini kemudian dikembangkan oleh muridnya Syamsuddin Sumatrani.
Kebanyakan peneliti berpendapat, hubungan mereka adalah guru- murid. Abdul Azis juga membenarkan pendapat A. Hasymy bahwa hubungan Hamzah dengan Syamsuddin sebagai murid dan khalifah, karena menurutnya telah dijumpai dua karya Syamsuddin yang merupakan ulasan atau syarah terhadap pengajaran Hamzah yaitu : Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol. Terdapat banyak informasi tentang potret pribadi syeikh di antaranya : Hikayat Aceh, Adat Aceh, Bustan al-Salathin dan informasi dari pengembara dan peneliti asing. Dari informasi tersebut dijelaskan bahwa Syamsuddin lahir kira-kira 1589 dan wafat 24 Februari 1630 berdasarkan informasi Deny Lombard. Syaikh banyak melahirkan karya bermutu seperti : Jawhar al-Haqaiq, Risalah Tubayyin Mulahazah, Nur al- Daqaiq, Thariq al-Shalikin, I’raj al- Iman dan karya lainnya. Syamsuddin menguasai beberapa bahasa, tapi karya-karyanya kebanyakan ditulis dalam bahasa Melayu dan Arab.
Pengajaran Syamsuddin tentang Tuhan dengan corak paham wujudiyyah dikenal juga dengan pengajaran tentang “martabat tujuh”, yaitu tentang satu wujud dengan tujuh martabatnya. Pengajarannya tentang ini agaknya sama dengan yang diajarkan al-Burhanpuri, yang
diduga kuat sebagai orang pertama yang membagi martabat wujud itu kepada tujuh kategori. Ketujuh martabat tersebut adalah : martabat ahadiyyah, martabat wahdah, martabat wahidiyyah, martabat alam arwah, martabat alam mitsal, martabat alam ajsam dan martabat alam insan. Paham martabat tujuh inilah yang membedakan antara Syamsuddin Sumatrani dengan gurunya Hamzah Fansuri, yang mana dalam ajaran Hamzah tidak ditemukan pengajaran ini. Tetapi keduanya sangat menekankan pemahaman tauhid yang murni, bahwa Tuhan tidak boleh disamakan atau dicampurkan dengan unsur alam, dikenal dalam pengajaran Hamzah Fansuri la ta’ayyun.
Sedangkan dalam pengajaran Syamsuddin dikenal dengan aniyat Allah, yang merupakan kejelasan dari ajaran al-Burhanpuri untuk tidak mencampur-adukkan martabat ketuhanan dengan martabat kemakhlukan. Kedua tokoh dengan ajaran yang saling melengkapi ini bagaimanapun juga telah mengajarkan dan secara sempurna tentang tasawuf falsafi yang kemudian diikuti oleh banyak pengikutnya di Nusantara dan Indonesia.
Tasawuf akhlaki adalah aplikasi tasawuf dalam akhlak mukmin yang terpancar dari bathinnya sehingga berpengaruh kepada seluruh tingkah lakunya.
Tasawuf akhlaki menuntut keikhlasan yang murni semata-mata karena Allah. Sikap jiwa dididik agar
memandang segala sesuatunya karena Allah dan akan kembali kepada Allah. Memandang sesuatu karena Allah akan timbul kecintaan yang mendalam kepada-Nya. Cinta kepada Ilahi yang mendalam juga dimanifestasikan dalam cinta kepada makhluk-Nya, baik kepada sesama manusia maupun alam semesta. Atas dasar cinta itulah terjadi komunikasi yang harmonis antara Allah, manusia dan alam semesta. Inilah kawasan tasawuf akhlaki dalam kehidupan Muslim. Tasawuf akhlaki memagari dirinya dengan Al-Qur’an dan sunah dan menjauhi penyimpangan- penyimpangan yang menuju kepada kesesatan dan kekafiran. Tasawuf tipe ini disebut “Tasawuf Suni” (al- tashawwuf al-Sunni).
Bila tasawuf sunni (akhlaki) memperoleh bentuk yang final di tangan Imam Al-Gazali, maka tasawuf falsafi mencapai ‘puncak’
kesempurnaan dalam pengajaran Ibn Arabi, seorang sufi yang juga datang dari Andalusia. Pengetahuan Ibnu Arabi yang amat kaya dalam bidang keislaman dan lapangan filsafat, membuatnya mampu menghasilkan karya yang demikian banyak, di antaranya al-Futuhad al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam. Boleh dikatakan hampir semua pengajaran, praktek dan ide-ide yang berkembang di kalangan sufi pada masa itu mampu diliput dan kemudian diberinya penjelasan yang amat memadai.
Dibanding dengan tasawuf sunni, tasawuf falsafi lebih kaya dengan ide-ide dan pikiran-pikiran
tentang Tuhan dan alam metafisik.
Ide-ide yang oleh para sufinya dipandang tidak bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah, termasuk dalam hal ini ungkapan syahadat-nya. Sementara tasawuf sunni tidak mementingkan ide-ide dan pikiran spekulatif dalam tataran falsafah. Para sufi sunni sudah merasa cukup dengan pemahaman akidah pokok yang diajarkan dalam ilmu tauhid. Persoalan qadim-nya alam, kehidupan akhirat yang bersifat ruhani tidak terdapat dalam kajian tasawuf sunni, karena dipandang tidak benar, menyalahi apa yang diajarkan para mutakallimin.
4. Kontribusi Tasawuf di Indonesia
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia terkait erat dengan tasawuf. Peranan para sufi dalam dakwah Islam di Indonesia telah menyita secara kumulaatif menegaskan signifikansi peranan tersebut. Bukti paling sederhana dari signifikansi ini adalah kenyataan bahwa hampir semua ulama terkemuka periode awal Islam di Indonesia – Hamzah Fansuri, Syams al-Din al-Sumatrani, Nuruddin al- Raniri, ‘Abd al-Ra’-f al- Sinkili, Muhammad Yusuf aal- Maqassari, dan lain-lain adalah para sufi. Konsekuensinya, tasawuf menjadi salah satu tradisi intelektuaal yang berkembang pesat di Indonesia sejak masa awal. Masih pada penghujung abad ke-16 dan paroh pertama abad ke-17, Hamzah Fansuri (w. sekitar 1590) dan Al-
Sumatrani (w. 1630) telah mengembangkan pemikiran tasawuf falsafi berkembang terus dan membentuk tarekat-tarekat yang memungkinkannya berperan lebih mengakar, massal dan terorganisasi.
Tasawuf bisa disebut sebagai upaya taqarrub kepada Allah dengan terutama menggunakan intuisi dan daya-daya emosional spiritual yang dimiliki manusia. Pada periode yang paling awal upaya semasam ini terutama ditempuh oleh mereka yang kemudian dikenal sebagai para zuhdah. Serangkaian pemikiran kemudian tumbuh diseputar kecenderungan ini. Yang paling relevan dalam pembahasan saat ini adalah pemunculan tarekat. Sebagai sebuah metode, tarekat bisa dianut dan diamalkan secara individual, dan inilah yang nampaknya terjadi pada masa-masa awal hingga kira-kira abad ke-5/11. Tetapi dengan bertambahnya jumlah orang yang mengikuti metode (tarekat) tertentu, maka secara perlahaan terjadilah transformasi tarekaat dari sekedar metode menjadi organisasi, sepanjang abad ke-6/12 dan sesudahnya. Trimingham menyimpulkan evolusi tarekat hingga menjadi organisasi, dengan membaginya ke dalam tiga tahapan :
Tahapan pertama, ketika tasawuf masih sangat sederhana.
Para guru dan murid hidup sebagaimana orang biasa dengan beberapa aturan yang juga sederhana, hingga kemudian munculnya fenomena pemondokan sufi yang disebut dengan khanqah. Tahapan
kedua, adalah ketika pengajaran yang berkesinambungan sudah membentuk ilsilah tariqah”, Ajaran dan metode-metode kolektif yang mulai ditransmisikan secara teratur membentuk tarekat yang terorganisasi dengan tradisi yang mulai membaku. Tahap kedua ini berlangsung sekitar abad ke6/12 hingga penghujung abad ke-8/14.
Tahapan ketiga, sejak abad ke-9/15 adalah ketika tasawuf yang terorganisasi menjadi gerakan massal membentuk aliran-aliran dan sub-sub kelompok (ta’ifah).
Dalam konteks
perkembangan tarekat sebagaimana disebut di atas, Islam mengalami penyebaran besar-besaran di Indonesia setelah tarekat mencapai fase ketiga dari perkembangnnya.
Akhir abad ke-16 hingga paroh pertama abad ke-17 biasanya dianggap sebagai era yang sangat penting dalam pembentukan tradisi tasawuf di Indonesia. Dua tokoh utama, Hamzah Fans-ri (w + 1590) dan muridnya. Syams al-Din al- Sumatrani (w. 1630) merupakan tokoh dominan era ini. Hamzah Fansuri biasa dianggap sebagai pelopor sastra sufi Melayu, sebab sebelumnya dunia Melayu tidak mengenal karya-karya sufi yang bisa disebut sebagai karya Melayu asli.
Puisi-puisi mistis karya Hamzah Fans-ri indikatif terhadap afiliasinya kepada sebuah tarekat.
Tetapi kelihatannya hal ini tidak didukung oleh bukti langsung, sehingga tidak mungkin menghasilkan kesimpulan final.
Bahkan Bruinessen, seorang otoritas kajian tasawuf di Indonesia, tetap tidak konklusif tentang hal ini.
Sementara ia memastikan penyebaran ilmu (ajaran ?) ‘Abd al- Qadir al-Jilani ke Indonesia dan sempat menempatkan Hamzah Fans- ri sebagai “orang Indonesia pertama yang kita ketahui secara pasti menganut tarekat Qadiriyah,”
Bruinessen juga bertanya : “Apa sebetulnya ‘ilmu Abdul Qadir Jilani’
yang diajarkan di Aceh dan Jawa ?
Apakah kita boleh
mengidentikkannya dengan tarekat Qadiriyah, ataukah ilmu yang dimaksudkan hanya sejenis ilmu kekebalan? Pertanyaan itu sendiri kelihatannya tidak dijawab dengan pasti, dan dengan demikian menimbulkan keraguaan kita terhadap ungkapannya yang pertama.
Ajaran tasawuf yang paling menonjol dari Hamzah Fans-ri dan Syams aal-din aal-S-matrani berporos pada pemikiran wahdat aal- wuj-d/wuj-diyyah yang kemudian dielaborasi dalam konsepsi martabat tujuh yang ekspressi finalnya dapat dilihat dalam Kitab al-Harakat karya al-Sumatrani. Dari sudut pemikiran, martabat tujuh agaknya bersumber dari kita Tuhfat al-Mursalah ila R-h aal-Nabi yang merupakan karya Muhammad Fadhl Aallah al- Burhanpuri dari India. Al- Burhanpuri sendiri bisa disebut sekedar menyederhanakan ajaran al- insan al-kamil dari sufi ‘Abd al- Karim Al-Jili (w. 1408), yang pada gilirannya adalah merupakan
penafsiran atas pemikiran-pemikiran Muhy al-din Ibn ‘Arabi (w. 1240).
Meskipun ajaran martabat tujuh tidak diperkenalkan sebagai tarekat tingkatan-tingkatan tersebut bisa melahirkan kesan yang mirip dengan tahapan-tahapan yang umum terdapat pada tarekat. Hal yang sama juga benar tentang karya Syams al- Din al-Sumatrani yang lain yaitu Tanbih al-Tullab li Ma’rifat Malik al-Wahhab yang antara lain berisi petunjuk pelaksanaan zikir. Di sini diperkenalkan berbagai jenis dan tingkatan zikir dalam format yang tidak jauh berbeda dengan apa yang terdapat dalam tarekat-tarekat.
Sementara Al-Burhanpuri diketahui sebagai penganut tarekat Syattariyah, karya-karya Syams al- Din al-Sumatrani tidak memberi petunjuk apakah ia menganut tarekat ini, atau tarekat yang lainnya. Tetapi menarik untuk dicatat Syattariyah menjadi sangat populer di kalangan orang Indonesia yang kembali dari Arabia, tidak lama setelah wafatnya Syams al-Din al-Sumatrani. Tanpa adanya petunjuk tentang hubungan antara Syams al-Din al-S-maatrani dengan tarekat, maka alur argumentasi ini tidak mungkin diselesaikan, paling tidak untuk sementara. Yang bisa dinyatakan adalah bahwa tarekat Syattariyah menjadi populer, meskipun tidak diketahui pasti hubungannya dengan Syams al-Din al-Sumatrani.
Fenomena lain yang menonjol dalam perbincangan tarekat di Indonesia adalah adanya reaksi negatif terhadap ajaran-ajaran
Hamzah Fans-ri dan Syams al-Din al-Sumatrani. Reaksi ini dipersonifikasikan oleh Nuruddin al- Raniri (w. 1666) yang menjadi sangat populer terutama karena kontroversinya dengan murid-murid Syamsuddin al-Sumatrani. Nur al- Din al-Raniri menuduh mereka sebagai penganut panteisme yang sesat. Begitupun, analisis terhadap ajaran-ajarannya menunjukkan bahwa Nur al-Din al-Raniri menganut faham wahdat al-wujud dalam versi yang lebih moderat. Ia menganut tarekat Rifa’iyah melalui silsilah dari Gujarat, kampung halamannya. Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya dengan Nur al- Din al-Raniri, tetapi tarekat ini masih meluas di Aceh hingga abad ke-19.
Tidak tertutup kemungkinan (malah kemungkinannya lebih besar) bahwa keberadaan tarekat ini adalah hasil penyebaran pada masa sesudah Nur al-Din al-Raniri. Dari aspek jalur transmisi, hingga Nur al-Din al- Raniri, tarekat masuk ke Indonesia dari Timur Tengah via India. Para era selanjutnya, jalur transmisi yang dominan adalah para ulama Jawi yang ada di Hijaz.
Salah satu hal yang menarik dari fenomena penyebaran tarekat ke Indonesia adalah bahwa kebanyakan penyebar awal yang langsung diinisiasi di Hijaz atau tempat lain tidak hanya menganut satu tarekat, tetapi beberapa tarekat sekaligus, kemudian memilih salah satu tarekat yang terutama disebarluaskan di Indonesia. Lalu, dalam perkembangan selanjutnya,
kecenderungan yang lebih dominan adalah penganutan satu tarekat secara terbatas. Trend ini tampaknya memberikan sumbangan besar bagi berkurangnya sifat individualisme tarekat sebagai doktrin dan metode, serta terhadap proses transformasi tarekat menjadi organisasi. dan dengan terbentuknya organisasi- organisasi tarekat, maka tasawuf mendapatkan ekspressi bagi dimensi sosialnya, dan mengubahnya menjadi sebuah gerakan berbasis massal.
a. Kontribusi dalam Perjuangan di Indonesia
Ketika tasawuf telah melembaga menjadi organisasi tarekat, akhinya tarekat memiliki pertambahan jumlah penganut yang sangat cepat, meskipun ini hampir selalu berarti penganut awam. Bagi tarekat sebagai sebuah organisasi pertambahan ini tentulah merupakan hal yang positif dalam artian semakin membesarnya organisasi. Untuk kasus Indonesia, meskipun sebagai sebuah lembaga dan metode tarekat sudah mulai menyebar sejak abad ke- 16, tarekat sebagai organisasi baru mulai kelihatan pada penghujung abad ke-18 dan menjadi fenomena pada abad berikutnya. Dengan menjadi organisasi, maka tarekat memiliki jaringan yang bisa sangat luas, sesuai dengan tingkat penyebaran tarekat dimaksud.
Sebagai sebuah organisasi tarekat
juga mengembangkan
kecenderungan untuk secara sengaja mengirim perwakilan (khalifah, badal) ke daerah-daerah tertentu. Di sisi lain, dengan semakin banyaknya
penganut awam dalam tarekat (dan ini adalah konsekwensi logis dari pertumbuhannya sebagai organsiasi), maka tumbuh pulalah kecenderungan
‘kepengikutan’ total kepada para pemimpin tarekat. Dan ini, meskipun mungkin sering dianggap sebagai kemandegan pengembangan konseptual, tetapi justru mendukung kemudahan mobilisasi massal pada saat yang dibutuhkan.
Tarekat dalam artian organisasi seperti inilah yang kemudian ‘berperan’ aktif dalam berbagai peristiwa sejarah Indonesia, khususnya dalam protes-protes menentang penjajah. Kita bisa mencatat peranan yang dimainkan oleh para pengikut tarekat Sammaniyah dalam menentang usaha pendudukan kota Palembang oleh kekuatan Belanda pada 1819, atau perlawanan di Kalimantan Selatan pada 1860-an. Dalam pemberontakan Banten (1888) yang sangat terkenal, terdapat indikasi kuat keterlibatan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, khususnya dalam penyediaan jaringan mobilisasi massa. Tarekat yang sama juga berperan dalam pertentangan Muslim-Hindu di Lombok pada tahun 1891. Ketika Belanda memberlakukan pajak baru atas komoditi tembakau di Sumatera Barat, masyarakat juga bangkit melawan, dan dalam perlawanan ini terlibat intens tarekat Syattariyah. Di Sumatera Utara khususnya Langkat juga didapati informasi bahwa Tuan Guru Syeikh Abdul Wahab Rokan pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah
dituduh Belanda membanntu rakyat Aceh melawan penjajah Belanda.
b. Kontribusi dalam Pembentukan akhlak Masyarakat
Tarikat menurut Abdullah Ujong Rimba adalah cara atau kaifiyat mengerjakan sesuatu amalan untuk mencapai satu tujuan. Cara atau kaifiyat dimaksud adalah cara sebagaimana yang telah diformulasikan dan ditata sedemikian rupa oleh sufi-sufi besar dan guru- guru tarikat sendiri yang sudah demikian banyak jumlahnya. Namun, semua kelompok tarikat yang berkembang tersebut mengamalkan tiga ajaran dasar yang sama sebagaimana disinggung di atas yaitu takhallī, taḥallī dan tajallī. Salah satu tarikat terbesar yang berkembang hingga sekarang adalah Tarikat Naqsyabandiyah. Salah satu Pusat Pengembangannya terdapat di desa Babussalam Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Aliran tarikat ini menurut Rimba tergolong tarikat sufiyah yang cara mengerjakan amal ibadahnya tanpa begitu terikat dengan Alqur’an dan Alḥadiṡ, tetapi menurut ajaran yaug diformulasi oleh guru sufi atau guru tarikat yang mengajarkannya. Sebagai pembentukan dari tasawuf akhlaki dan ‘amali, maka pengamalan ajaran tarikat ini menggunakan pendekatan akhlak dan amalan tertentu yaitu zikir dan doa. Pengamalan ajaran tersebut bertujuan untuk mencapai hakikat atau kasyaf sehingga semakin dekat dengan Allah.
Pelaksanaan amalannya sendiri harus di bawah binbingan dan kontrol
seorang guru atau mursyid. Oleh karena dibimbing dan dipimpin oleh guru mursyid untuk menempuh jalan dalam mencapai hakikat, maka tarikat ini dinamakan juga dengan tarikat suluk. Sedangkan pengikut tarikat yang melakukan suluk adalah beramal ibadah sepanjang malam untuk menemukan hakikat dan mendekatkan diri kepada Allah disebut dengan sālik. Ketika mengikuti suluk 10 hari aktifitas para salik harus mengikuti aturan yang disebut adab. Yaitu mengosongkan jiwa dari semua dosa dengan cara istighfar dan bertaubat, membatasi bicara dan memperbanyak zikir minimal 5000 kali, hanya mengkonsumsi nasi dan sayuran dan melatih diri dengan akhlak-akhlak mulia yang bersamaan dengan memperbanyak zikir. Dengan mengamalkan ajaran tarikat melalui suluk inilah, maka seseorang dengan sendirinya menjadi peribadi yang saleh dan berakhlak mulia. Perbuatan yang demikian itu dilakukan dengan sengaja, sadar, pilihan sendiri dan bukan karena paksaan. Sehingga hasil perubahan akhlaknya lebih permanen karena dikerjakan oleh orang yang sadar apalagi dewasa.
Dalam kehidupan modern yang serba sibuk mencari materi, tasawuf juga bisa dikembangkan ke arah yang konstruktif, baik yang menyangkut kehidupan peribadi maupun sosial. Sebab, cepat atau lambat manusia akan terkena penyakit alienasi (keterasingan) karena proses globalisasi dan modernisasi yang begitu cepat.
Orang butuh pedoman hidup yang bersifat spiritual dan mendalam untuk menjaga integritas keperibadiannya. Pedoman tersebut terdapat dalam ilmu tasawuf dan diamalkan dalam bertarekat yang memberikan pemahaman mendalam tentang seluruh ibadah yang dilakukan. Pemahaman yang baik tentang semua ibadah yang diamalkan akan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dengan demikian ibadah yang dilakukan dalam bertasawuf ternyata erat hubungannya dengan akhlak. Artinya bahwa ibadah-ibadah yang dibiasakan dalam tasawuf erat hubungannya dengan pendidikan akhlak. Maka dapat dikatakan seseorang yang memahami tasawuf, mengamalkannya dan menempuhna dalam bertarekat dan suluk tentulah akan terbentuk akhlaknya yang lebih baik. Bukti perubahan ini terlihat pada lapisan masyarakat yang menjadi pengikut tarekat dan mengikuti suluk mengalami peningkatan akhlaknya seperti zuhud, sabar, ikhlas dan optimis dalam kehidupan sehari-hari.
C. Penutup
Penyebaran Islam di Indonesia secara massal, khususnya sejak abad ke-16, diwarnai oleh peranan para sufi, termasuk Hamzah Fansuri dan Sulaiman al-Sumatrani yang membawa ajaran tasawuf.
Melalui para sufi ini kemudian tarekat berkembang dan ditransfer ke Indonesia, semula melalui India,
namun belakangan cenderung secara langsung dari Hijaz. Dari para guru sufi yang langsung diinisiasi di Timur Tengah ini, tarekat kemudian mengalami penyebaran melalui murid-murid mereka, ke seluruh daerah Indonesia. Hal ini berlangsung hingga abad ke-18.
Beriringan dengan menyebarnya ajaran tarekat sebagai doktrin dan metode taqarrub kepada Tuhan yang terjadi pula transformasi tarekat menjadi organisasi berbasis massal.
Ini ditandai dengan semakin bertambahnya pengikut awam ke dalam setiap tarekat, dan dengan demikian terbentuk satu jaringan yang semakin luas. Konsekuensi paling signifikaan dari fenomena ini adalah dimungkinkannya mobilisasi massal, sebagaimana sering terlihat dalam sejarah perlawanan terhadap Belanda, pada abad ke-19 dan 20.
Pertumbuhan dan perkembangan tasawuf selanjutnya menyebabkan tumbuh suburnya tarekat di Indonesia merupakan salah satu
variabel penting yang
menyemarakkan aktivitas keagamaan di Nusantara terutama dalam perlawanan menyerang dan mengusir penjajah hingga merebut kemerdekaan. Perkembangan tarekat hingga kini telah melembaga (organisasi) dan dikikuti oleh mobilisasi massa dimana-mana.
Pengajaran tarekat yang merupakan pengamalan tasawuf akhlaki ini dilakukan dengan pendekatan akhlak mulia dan akhirnya berhasil membentuk kepribadian setiap
pengikutnya menjadi pribadi yang berakhlak mulia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hawash, Perkembangan Tasawuf dan Tokoh - Tokohnya di Nusantara, ( Surabaya: Al-Ikhlash, 1980 ) A.J. Alberry, Pasang Surut Aliran
Tasawuf. Diterjemahkan oleh Bambang Herawan, ( Bandung: Mizan, 1985) Asari , Hasan (Ed), Antologi Kajian Islam, ( Bandung: Citapustaka, 2004) Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, ( Bandung:Mizan, 1994)
Azhari Noer, Kautsar, Ibn al-Arabi, Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, ( Jakarta:
Paramadina, 1996)
Braginsky, V.I, Yang Indah, Berfaedah dan Kamal : Sejarah Sastera Melayu Dalam Abad 7-19, terj. Hersri Setiawan, ( Jakarta: INIS, 1998 )
Daulay , Haidar Putra, Dinamika Pendidikan Islam,(Bandung:
Citapustaka Media, 2004 ) Endress, Gerhard, An Introduction to
Islam, terj. Carole Hillenbrand, ( Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1988 )
Kautsar, Azhari Noer, Tasawuf Perenial: Kearifan Kritis Kaum Sufi, ( Jakarta:
Serambi, 2003)
Nicholson R.A., Fi al-Tashawwuf al- Islamy wa Tarikhihi (Cairo:
Lajnah al-Ta’lif wa aal – Nasyr, 1969)
Rahman, Fazlur, Islam, ( Chicago:
The University of Chicago Press, 1979 )
Rosyidi, Dakwah Sufistik Kang Jalal, ( Jakarta: Paramadina: 2004 ) Schimmel, Annemarie, Mystical
Dimensions of Islam, ( Chapel Hill: The University of North carolina Press, 1995
Sukardi (ed), Kuliah-Kuliah Tasawuf, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000)
Trimingham, J. Spencer, The Sufi Olders in Islam, ( London:
Oxford University Press, 1973 )
Van Bruinessen, Martin, Kitab Kuning: Psantren dan Tarekat, ( Bandung: Mizan, 1995 )
WWW. Sejarah Tasawuf Falsafi, Diakses tangal 30 Maret 2010
Yusuf Musa, Muhammad, Falsafat al-Akhlak fi al-Islam, ( Kairo:
Mu’assat al-khaniji, 1963)