bahwa pengaturan UU P2SK yang mengatur bahwa penyidik Otoritas Jasa Keuangan merupakan satu-satunya penyidik dalam tindak pidana sektor jasa keuangan, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 8 Angka 21 Ayat (5) Pasal 49, menghalangi hak konstitusional PEMOHON I untuk menerima upaya hukum lainnya melalui penegakan hukum.Tindak pidana di bidang jasa keuangan pada kepolisian Indonesia adalah pelaporan terhadap seseorang yang bertanggung jawab karena melalaikan dan/atau tidak memenuhi kewenangannya. OJK (dalam hal ini pengurus OJK) dengan tidak menunjuk pengelola yang sah dan menetapkan penggunaan pengelola yang sah. bahwa pengaturan UU P2SK yang mengatur bahwa penyidik Otoritas Jasa Keuangan merupakan satu-satunya penyidik dalam tindak pidana sektor jasa keuangan, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 8 Angka 21 Ayat (5) Pasal 49, menghalangi hak konstitusional PEMOHON II untuk menerima upaya hukum lainnya melalui tindak pidana penegakan hukum sektor jasa keuangan di kepolisian. bahwa pengaturan UU P2SK yang mengatur bahwa penyidik Otoritas Jasa Keuangan merupakan satu-satunya penyidik dalam tindak pidana sektor jasa keuangan, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 8 Angka 21 Ayat (5) Pasal 49, menghalangi hak konstitusional PEMOHON III untuk menerima upaya hukum lainnya melalui tindak pidana penegakan hukum sektor jasa keuangan di kepolisian.
Sedangkan pengaturan UU P2SK yang menjadikan Penyidik Otoritas Jasa Keuangan sebagai satu-satunya penyidik di sektor pidana jasa keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 8 Nomor 21 Pasal 49 ayat (5), menghalangi hak konstitusional PEMOHON IV terhadap orang lain untuk menempuh upaya hukum melalui penegakan hukum berarti tindak pidana di bidang jasa keuangan di lingkungan Kepolisian.
Umum
Penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan. Hal ini mengakibatkan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak lagi berwenang bertugas di Lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan seperti yang selama ini dilakukan (sebelum adanya P2SK). Bertindak). Implikasi dari penggunaan kata “hanya” adalah penyidik dari luar OJK tidak diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Pasal 37D ayat (10): Penyidikan tindak pidana perbankan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 67A ayat (10): Penyidikan tindak pidana Perbankan Syariah hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 101 ayat (1): Penyidikan tindak pidana di bidang pasar modal hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 72A ayat (10): Penyidikan tindak pidana perasuransian hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan. Dalam hal ini, lembaga yang mendukung penegakan hukum terhadap tindak pidana di sektor keuangan adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana disyaratkan oleh undang-undang. Bahwa Mahkamah Konstitusi memutuskan konstitusionalitas kewenangan OJK mengusut tindak pidana sektor jasa keuangan.
Kewenangan Penyidikan Tunggal OJK Bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
4 Tahun 2023 tentang Pembinaan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), disebutkan: “Penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan”. Dengan menggunakan frasa “hanya dapat” berarti “Penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan”. Dengan ketentuan “Dalam melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Namun memberikan pembatasan (larangan) terhadap institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Sedangkan istilah “koordinasi” terdapat dalam Pasal 8 ayat (21), Pasal 49 ayat (6) UU P2SK dan lebih jelas dimaknai pada bagian Penjelasan Pasal 49 ayat (6) yang berbunyi: “Jika merupakan bagian dari pidana terpadu sistem peradilan, Otoritas Jasa Keuangan harus menegaskan kewenangannya dengan tetap mengutamakan fungsi koordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia.” Namun hal ini tidak mengurangi makna dari ketentuan Pasal 8 ayat (21), Pasal 49 ayat (5) UU P2SK yang tetap membatasi kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam menghilangkan kerugian keuangan. sektor jasa. Bahwa penulisan Pasal 8 Angka 21 Pasal 49 ayat (6) UU P2SK yang mengacu pada ayat (5) diawali dengan kalimat “Pada waktu melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dilanjutkan dengan kalimat “Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia.” Hal ini akan mempengaruhi pembedaan antara pengertian istilah “koordinat” dan “koordinasi”. Sedangkan ketentuan Pasal 8, Angka 21, Pasal 49 ayat (5), UU P2SK yang menghapuskan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan, memutusnya. Mahkamah Konstitusi dengan Baik.
Sedangkan Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga negara yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan Nomor 21 Tahun 2011. Dengan demikian, keberadaan OJK yang berada di luar struktur kekuasaan eksekutif tidak tepat jika diberikan kewenangan utama untuk mengusut tindak pidana di sektor keuangan. Atas dasar itu, keberadaan undang-undang yang menghilangkan kewenangan kepolisian untuk melakukan penyidikan dan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan bertentangan dengan asas pembatasan kekuasaan.
Kewenangan Penyidikan Tunggal OJK Bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
Sedangkan jika digabungkan, kepastian hukum dalam KBBI dimaknai sebagai instrumen hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara (https://kbbi.kemdikbud.go.id). Bahwa makna kepastian hukum dari sudut pandang hukum positif terdapat pada penjelasan pasal 3 angka 1 undang-undang no. Dalam penjelasannya, asas kepastian hukum diartikan sebagai asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, hukum, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.
Penyelenggara Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah berpedoman pada asas-asas penyelenggaraan pemerintahan negara, yang terdiri atas: kepastian hukum”. Penjelasan Pasal 58 huruf a menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “kepastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan ketentuan pokok peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara. Sedangkan pandangan doktrinal para ahli hukum mengenai konsep kepastian hukum merupakan suatu konsep yang menghendaki bahwa tujuan hukum yang berlaku bagi setiap orang harus jelas dan dihormati.
Menurut Mahkamah Konstitusi, kepastian hukum jika dikaitkan dengan konteks norma hukum berarti harus dihindari adanya rumusan norma hukum yang tidak dapat diukur secara obyektif, yang pelaksanaannya membuka peluang bagi pejabat publik dan pihak lain untuk bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain. . rakyat (lihat Putusan Mahkamah Konstitusi 1/PUU-XI/2003). Jadi, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hukum positif, pandangan doktrinal dan melalui pengertian Mahkamah Konstitusi dalam putusannya, frasa kepastian hukum yang adil mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:. i) Kepastian hukum sebagai bentuk pembatasan penyelenggaraan pemerintahan dengan mengutamakan peraturan perundang-undangan sebagai acuan; ii) Kepastian hukum dalam suatu peraturan (norm surety) yang menekankan bahwa suatu peraturan tidaklah bermasalah, baik dalam konteks norma yang kabur maupun norma yang bertentangan, dan tidak ada istilah hukum yang dapat ditafsirkan berbeda dan diterjemahkan sedemikian rupa. kewenangan (sewenang-wenang) sesuai dengan keinginan pemerintah atau penguasa; iii) Kepastian hukum menekankan pada kejelasan skenario perilaku yang bersifat umum dan mengikat seluruh anggota masyarakat, termasuk akibat hukumnya; Dan. iv) Kepastian hukum merupakan jaminan bahwa hukum dapat dilaksanakan, dan bahwa hukum melindungi dan menjaga keseimbangan kepentingan pihak-pihak yang diatur. Sedangkan keberadaan pasal 8 angka 21 pasal 49 ayat (5) UU P2SK yang menghilangkan peran Polri dalam pelaksanaan kewenangan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan bertentangan dengan Polri. bertindak.
- Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) diatur dalam Bab XII Pasal 30 UUD 1945;
 - Kepolisian Negara;
 - Otoritas Jasa Keuangan
 
Berdasarkan ketentuan pasal 30 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan: “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat dan hukum. ." Setelah itu, alinea keempat batang tubuh UUD 1945 dituangkan dalam bentuk perwujudan lembaga negara yang diberi tugas dan wewenang menjalankan fungsi pelindung, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 yang mengaturnya. 11. Bahwa berlakunya ketentuan Pasal a qua dalam UU P2SK yang mengubah ketentuan OJK sebagai penyidik tunggal dalam menangani tindak pidana di sektor jasa keuangan, bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (4). UUD 1945 karena Polri adalah sebuah institusi.
12. Bahwa berlakunya ketentuan Pasal a qua dalam UU P2SK yang mengubah ketentuan OJK sebagai penyidik tunggal dalam menangani tindak pidana di sektor jasa keuangan, bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (4). UUD 1945 karena meskipun lembaga OJK merupakan lembaga independen, namun independensi tidak diartikan siapa yang dapat menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya dengan sebebas-bebasnya. 16. Bahwa ketentuan pasal a qua dalam UU LP2SK yang mengatur OJK sebagai satu-satunya lembaga penyidik sektor jasa keuangan dan memperluas makna penyidikan, tidak berarti OJK bersifat independen dan dapat berdiri sendiri sebagai lembaga yang independen. bukan merupakan lembaga penyidik, melainkan harus berkoordinasi dan berada di bawah pengawasan Polri sebagai penyidik utama, diatur dalam Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945, Pasal 13 dan 14 UU No. 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian dan Pasal 6 Ayat (1). dari Undang-Undang Acara Pidana. 17. Bahwa ketentuan Pasal a qua ayat 49 UU P2SK yang mengatur Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diberikan kewenangan khusus sebagai satu-satunya lembaga yang dapat.
Kedua, pola penyidikan oleh lembaga pendukung negara (auxiliary state body) dalam kebijakan legislatif menunjukkan bahwa kewenangan penyidikan tetap diberikan kepada kepolisian di samping penyidikan yang dilakukan oleh lembaga negara pendukung (auxiliary state body) yang bersangkutan. Jellinek terbagi menjadi dua, yaitu lembaga negara langsung (mittelbare organ) dan lembaga negara tidak langsung (unmittelbare organ). Lembaga negara langsung (mittelable body) adalah lembaga negara yang ada dalam Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang Dasar.
Bahwa lembaga negara tidak langsung (immediate body) dapat diartikan sebagai lembaga negara yang tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Otoritas Pengawas Keuangan Denmark (OJK) telah diberi wewenang oleh undang-undang untuk menyelidiki tindak pidana di bidang keuangan.
Bahwa jika ditempatkan dalam kerangka sistem peradilan pidana yang terpadu, maka harus ada keterpaduan antara penyidik tindak pidana lain dengan penyidik kepolisian. Bahwa penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan bukan merupakan kewenangan independen penyidik ZJK, apalagi kewenangan tunggal penyidik ZJK. Putusan Mahkamah Konstitusi a quo menegaskan bahwa Kepolisian berperan sebagai penyidik utama tindak pidana sektor jasa keuangan.
Kata “terkoordinasi” dalam putusan tersebut menunjukkan bahwa penyidik OJK tidak dapat melakukan penyidikan sendiri terhadap tindak pidana di bidang keuangan. Ketentuan UU P2SK yang mengatur kewenangan penyidikan tindak pidana sektor jasa keuangan hanya dilakukan oleh penyidik OJK merupakan norma yang bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XVI/2018; Penyidikan tindak pidana di bidang keuangan dapat dilakukan bersama-sama dengan penyidik lain, termasuk dalam hal ini penyidik kepolisian.
Berdasarkan perbandingan kedua negara (Inggris dan Australia) dan kawasan Uni Eropa, terlihat bahwa kebijakan penyidikan tindak pidana di bidang keuangan (financial crimes) merupakan tindak pidana yang penyidikannya dilakukan oleh lembaga yang berbeda. . Kebijakan di kedua negara dan Uni Eropa menegaskan bahwa penanggulangan tindak pidana di sektor keuangan tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga saja, namun dapat dilakukan bersama-sama dengan lembaga terkait lainnya, termasuk penyidik kepolisian. Penyidik tindak pidana asal tidak terbatas pada enam (enam) lembaga yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan untuk melakukan penyidikan, sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana.