Jurnal Mercatoria
Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/mercatoria Dikirim: 22 April 2023; Ditinjau: 21 Mei 2023; Diterima: 16 Juni 2023
Penentuan Status Korban Pemerkosaan Guna Melakukan Aborsi Pasca Pengesahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023
Status Determination of Rape Victims to Perform Legal Abortion Post Approval of Statute 1/2023
Tsabitha Afnan Putri Wahyudhi & Beniharmoni Harefa
Fakultas Hukum, Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’ Jakarta, Indonesia
*Coresponding Email: [email protected] Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mencari penentuan kapan seseorang dapat dikatakan sebagai korban kekerasan seksual penyebab kehamilan dalam konteks korban menginginkan prosedur aborsi sesuai ketentuan Pasal 463 Ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023. Penentuan ini ditetapkan agar janin tidak melewati batas waktu umur 14 minggu. Masalah difokuskan pada seharusnya penentuan kapan seseorang dapat dikatakan sebagai korban kekerasan seksual penyebab kehamilan dalam konteks korban menginginkan prosedur aborsi sesuai ketentuan Pasal 463 Ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 di masa mendatang. Guna mendekati masalah ini dipergunakan acuan teori keadilan hukum dari John Rawles dan Aristoteles. Data-data dikumpulkan melalui cara kepustakaan dan dianalisis secara kualitatif. Kajian ini menyimpulkan bahwa pihak yang berwenang menentukan kapan seseorang dapat melakukan aborsi legal adalah penyidik dan penentuan status sebagai korban pemerkosaan adalah saat penyidikan. Hal ini disimpulkan berasarkan Undang-undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindakan Pidana Kekerasan Seksual dan Peraturan Kapolri (Perkap) No. 6 tahun 2019 berisi tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Kata Kunci: Aborsi; Pemerkosaan; Penentuan Status; Penyidikan; Penegakan Hukum.
Abstract
This article or writing aims to find a determination when someone can be said to be a victim of sexual violence that causes pregnancy in the context of the victim wanting an abortion procedure according to the provisions of Article 463 Paragraph (2) of Law Number 1 of 2023. This determination is determined so that the fetus does not exceed the age limit of 14 weeks. The problem is focused on determining when someone can be said to be a victim of sexual violence that causes pregnancy in the context of the victim wanting an abortion procedure according to the provisions of Article 463 Paragraph (2) of Law Number 1 of 2023 in the future. In order to approach this problem, the legal justice theory of John Rawles and Aristotle is used as a reference. The data were collected through literature and analyzed qualitatively. This study concludes that the party authorized to determine when a person can have a legal abortion is the investigator and determining the status of a rape victim is during the investigation. This was concluded based on Statute no.
12 of 2022 concerning Criminal Acts of Sexual Violence and Regulation of the Chief of Police (Perkap) No. 6 of 2019 contains the Investigation of Criminal Acts.
Keywords: Abortion; Rape; Status Determination; Investigation; Law enforcement.
How to Cite: Wahyudhi, T.A.P. & Harefa, B. (2023). Penentuan Status Korban Pemerkosaan Guna Melakukan Aborsi Pasca Pengesahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023. Jurnal Mercatoria, 14 (1):
63-70
64 PENDAHULUAN
Abortus provocatus merupakan Bahasa Latin dari aborsi yang dipakai dalam kalangan hukum dan kedokteran yang berarti “penghentian atau pengeluaran hasil kehamilan dari rahim sebelum waktunya” (Kusmaryanto, 2002:
203). Secara resmi, Aborsi didefinisikan sebagai pengguguran kandungan (KBBI, 2016). “Pengguguran kandungan yaitu proses pengeluaran hasil konsepsi, atau dapat diartikan pertemuan sel telur dan sel sperma, yang terjadi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan” (Fauziyah, 2020).
Dalam hal ini, ‘pengeluaran’ yang dimaksud diartikan sebagai pengeluaran secara sengaja dengan campur tangan manusia, baik secara mekanik, menggunakan obat, atau dengan cara lainnya (Juita, dkk., 2010).
Persepsi masyarakat Indonesia memandang aborsi sebagai suatu tindak pembunuhan atau tindak pidana, sehingga dalam pelaksanaannya masih menjadi suatu perdebatan.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengenal tindak pidana dengan istilah Strafbaarfeit, sedangkan dalam kepustakaan menggunakan istilah delik.
Perumusan undang-undang menggunakan istilah peristiwa pidana, perbuatan pidana atau tindak pidana” (Ilyas, dkk., 2012).”
Beberapa istilah tersebut memiliki arti yang sama, yaitu perbuatan yang menimbulkan suatu sanksi. Jadi, tindak pidana merupakan tindakan yang memenuhi rumusan undang-undang yang bersifat melawan hukum dan dilakukan
oleh orang yang dapat
dipertanggungjawabkan” (Najih, dkk., 2014).
Aborsi sebagai tindak pidana diatur dalam:”
1. Pasal 75 Ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang berbunyi:” “Setiap orang dilarang melakukan aborsi”.
2. Pasal 463 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang
berbunyi:” “Setiap perempuan yang melakukan aborsi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun”.
Berdasarkan ketentuan yang tercantum pada Pasal 346, 347 dan 348 A Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan tentang Hukum Pidana (1918), Aborsi “yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan tersebut merupakan abortus provocatus criminalis, yang” meliputi perbuatan-perbuatan menggugurkan kandungan dan membunuh kandungan. Menurut Setyowati (2002), Abortus provocatus criminalis adalah suatu kelahiran sebelum waktunya seorang bayi dapat hidup sendiri di luar kandungan dan dicapai melalui tindakan-tindakan yang tidak legal dan/atau tidak berdasarkan indikasi medis.” Namun, tidak semua tindakan aborsi merupakan tindakan ilegal di Indonesia. Ada beberapa kasus khusus di mana tindakan aborsi boleh dilakukan, seperti merupakan korban pemerkosaan, sebagaimana telah dicantumkan dalam Pasal 463 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 75 Ayat (2) Undang-undang 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.]
Tindakan aborsi yang dilakukan oleh korban tindak pidana kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan disebutkan dalam:”
1. Pasal 75 Ayat (2B) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang berbunyi”“Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.”
2. Pasal 31 Ayat (1B) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, yang berbunyi “Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan kehamilan akibat perkosaan”
3. [Pasal 463 Ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang berbunyi “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal perempuan merupakan Korban Tindak Pidana perkosaan atau Tindak Pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan yang umur kehamilannya tidak melebihi 14 (empat belas) minggu […]”
“Dalam penjelasan “pasal 463 Ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023” atau KUHP Baru, yang dimaksud dengan”
“Tindak Pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan”, “antara lain pemaksaan pelacuran, eksploitasi seksual, dan/atau perbudakan seksual.”
Disebutkan dalam “Pasal 31 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan Penjelasan Pasal 463 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023,”
bahwa pada kasus kehamilan akibat perkosaan, aborsi hanya dapat dilakukan:
apabila terdapat bukti antara lain usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, serta adanya keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan, oleh seorang ahli dalam bidang kesehatan seperti dokter, bidan, atau apoteker, dan ketika usia janin tidak lebih dari 14 minggu yang. “Pembuktian dalam kasus ini dilakukan dengan merujuk Pasal 473 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023,”
“Setiap orang yang dengan Kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya, dipidana karena melakukan perkosaan.”
Dari pasal tersebut, “dapat disimpulkan bahwa penentu suatu tindakan persetubuhan dapat dikatakan sebagai pemerkosaan adalah adanya unsur pemaksaan dengan kekerasan/ancaman kekerasan.” Pembuktian ada tidaknya
unsur pemaksaan dengan
kekerasan/ancaman kekerasan
berpedoman “kepada alat-alat bukti, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, alat bukti surat, alat bukti petunjuk, dan keterangan terdakwa yang telah dijelaskan di dalam Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.” Dengan minimal dua alat bukti, dengan salah satunya merupakan keterangan ahli dan/atau visum et repertum yang menyatakan adanya dugaan pemerkosaan, barulah dapat dibuktikan benar tidaknya terjadi tindak pidana pemerkosaan.
Pembuktian ini “merupakan hal yang penting dalam proses pemeriksaan perkara pidana di pengadilan. Pembuktian adalah cara paling utama hakim untuk menemukan suatu kebenaran dalam suatu perkara (yang mana kebenaran materiil merupakan tujuan dilakukannya Acara Pidana) dan untuk menentukan benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan.”
“Tindak pidana perkosaan
merupakan tindak pidana yang sangat sulit dalam proses pembuktian. Hal ini dikarenakan pemerkosaan merupakan kejahatan di mana seringkali hanya terdapat korban dan pelaku, sehingga menyulitkan proses pembuktian karena tiadanya saksi kecuali korban” (Huda, 2017). Proses pembuktian yang tidak mudah akan berpengaruh kepada lama waktu yang diperlukan untuk mencapai suatu putusan hakim yang menyatakan benar tidak terjadinya suatu tindak pidana kekerasan seksual penyebab kehamilan.
Hal ini tentu saja menghambat pemberian hak aborsi kepada korban pemerkosaan, di mana aborsi hanya dapat dilakukan ketika usia janin tidak lebih dari 14 minggu. Jika batas waktu itu terlewatkan, maka aborsi yang dilakukan menjadi abortus provocatus criminalis.
Penelitian Huda (2017) membahas tentang pembuktian pemerkosaan, pertimbangan hakim dalam penanganan kasus kekerasan seksual, serta penerobosan asas Unus Testis Nullus Testis
66 jika visum et repertum dalam kasus pemerkosaan membuktikan benar adanya terjadi pemerkosaan terhadap korban.
Pembahasan ini menjadi salah satu penyokong penelitian Penulis yang akan membahas banyak terkait pembuktian pemerkosaan dan penentuan status korban dalam konteks melakukan aborsi secara legal. Pembeda penelitian Penulis dengan literatur ini adalah Penulis akan membahas tentang penentuan kapan seseorang dapat dikatakan sebagai korban kekerasan seksual penyebab kehamilan dalam konteks korban menginginkan prosedur aborsi sesuai ketentuan Pasal 463 Ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023, tidak hanya mekanisme pembuktian pemerkosaan di pengadilan.
Fokus dalam penelitian ini adalah mencari penentuan kapan seseorang dapat dikatakan sebagai korban kekerasan seksual penyebab kehamilan dalam konteks korban menginginkan prosedur aborsi sesuai ketentuan “Pasal 463 Ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023.”
Penentuan ini ditetapkan agar janin tidak melewati batas waktu umur 14 minggu.
Penelitian ini bermaksud memberikan keadilan dan memprioritaskan hak hukum bagi korban kekerasan seksual penyebab kehamilan yang menginginkan prosedur aborsi.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah yuridis normatif yang dilakukan dengan meneelah teori, konsep, asas hukum, serta peraturan perundang- undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan undang- undang (statute approach) yaitu dengan mempelajari kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dan Undang-undang Dasar atau antara regulasi dan undang-undang. Hasil penelaahan tersebut dijadikan suatu argumen untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi.
Lalu, Penulis menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach) karena memberikan sudut pandang dari aspek latar belakang konsep hukum dan/atau nilai dalam penormaan dalam menganalisis solusi permasalahan dalam suatu penelitian hukum.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam istilah hukum, Saputra (2023) menyatakan bahwa abortus provocatus merupakan pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum waktunya (sebelum lahir alamiah).” Tanpa adanya alasan hukum pemaaf, semua tindakan aborsi termasuk abortus provocatus criminalis. “Tindak kejahatan pengguguran kandungan dapat diartikan sebagai pembunuhan berencana, di mana pada ada kandungan (urucht) atau bayi (kidn) yang hidup lalu dimatikan. Hal ini menyebabkan tindak pidana aborsi dikategorikan ke dalam BUKU II KUHP (sebelum KUHP perubahan) tentang kejahatan terhadap nyawa orang (Romli, 2011: 157 – 164).”
Pada hakekatnya, aborsi merupakan perbuatan perenggutan nyawa orang lain, dalam konteks ini adalah janin dalam kandungan. Perbuatan tersebut adalah perbuatan ilegal sebab anak dalam kandungan berhak dilindungi haknya untuk hidup, mempertahankan dan meningkatkan derajat kehidupannya (Fidawaty, 2017: 107 – 130).
Hak-hak ini dijamin “Pasal 53 Ayat (1) Undang- undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia” yang menyatakan bahwa
“Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya”.
Di sisi lain, aborsi merupakan salah satu prosedur yang menyinggung kesehatan reproduksi seorang wanita yang telah dijamin oleh “Pasal 49 Ayat (3) Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi “Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.”
Di Indonesia, “tindakan aborsi dilarang menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Pasal 299, 346, 347, 348, dan 349 yang menyatakan bahwa aborsi merupakan perbuatan kejahatan yang dapat dipidana.””
Namun, “Pasal 75 Ayat (2) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014” tentang Kesehatan Reproduksi menyatakan bahwa aborsi dapat dilakukan jika berindikasi kedaruratan medis yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin dan kehamilan yang diakibatkan oleh perkosaan.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana pun menegaskan kembali mengenai pembolehan aborsi dalam situasi khusus, yakni indikasi kedaruratan medis dan kehamilan yang disebabkan oleh tindak pidana pemerkosaan.”
Pembolehan aborsi ini sejalan dengan Hukum Acara Pidana Indonesia yang menganut teori due process of law. Due process of law dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai proses hukum yang adil. Menurut Tahir dkk. (2010), proses hukum yang adil tidak sekadar penerapan hukum atau Peraturan Perundang-undangan (yang dirumuskan adil) secara formal, namun mengandung jaminan hak atas kemerdekaan dari seorang warga negara.”
Mekanisme aborsi secara legal tidak dijelaskan di dalam “Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana,” namun disimpulkan dari Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Penjelasan aborsi akibat pemerkosaan sesuai dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014”
merupakan penjelasan-penjelasan teknis tentang apa yang akan dilakukan dalam prosedur aborsi legal. Tidak ada ketentuan kapan dan bagaimana seseorang dapat dikabulkan permohonan aborsinya. Untuk membuktikan bahwa seseorang merupakan korban tindak pidana kekerasan seksual, maka perlu ditilik kembali definisi korban dan kekerasan seksual secara hukum. “Definisi
korban disebutkan dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang berbunyi “Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan dari oleh suatu tindak pidana”.
Maka, “seseorang dapat dikatakan sebagai korban jika ia mengalami suatu kerugian, baik secara penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana yang terjadi kepadanya.” “Sedangkan, kekerasan seksual atau dalam konteks penelitian ini pemerkosaan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang- undang Hukum Pidana Pasal 473 Ayat (1) adalah “Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya…”.
Kata “kunci ‘dengan kekerasan atau ancaman kekerasan’ merupakan rujukan penentu terjadi atau tidak terjadinya suatu tindak pidana pemerkosaan. Pemerkosaan merupakan suatu tindak kejahatan yang ditentukan oleh ada atau tidaknya izin atau consent dari semua pihak yang bersangkutan.
Tidak adanya izin dari salah satu pihak mengakibatkan adanya kekerasan dan/atau ancaman untuk memaksa partisipasi.” Maka dari itu, kekerasan merupakan pelengkap dari bentuk kejahatan pemerkosaan (Ismail, dkk., 2022).
Pemerkosaan “sendiri merupakan suatu tindakan kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah tindakan-tindakan seksual secara paksa yang dapat diakukan secara fisik maupun verbal dan disertai dengan paksaan.
Paksaan dapat berupa tekanan dan intimidasi secara fisik maupun psikis. Kekerasan seksual tidak hanya dapat terjadi secara langsung/fisik, namun juga dapat terjadi secara verbal bahkan melalui media sosial” (Anisa, dkk., 2020). Hal ini disebutkan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang menyatakan ada dua jenis kekerasan seksual, yakni pelecehan seksual non-fisik dan pelecehan seksual fisik.
68 Niko, dkk. (2020) berpendapat bahwa tindakan perkosaan tidak semata-mata disebabkan oleh nafsu, namun juga disebabkan akibat adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban. Terjadi- tidaknya suatu tindak pidana kekerasan seksual ditentukan dari:
1. “Maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, yang disimpulkan dari "Pasal 5 dan 6 Ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual;”
2. “Maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan, yang disimpulkan dari Pasal 6 Ayat (2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan/atau”
3. “Menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, yang disimpulkan dari Pasal 6 Ayat (3) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.”
Walau motif merupakan hal pembeda dari jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual yang telah disebutkan, motif tidak dirumuskan secara eksplisit dalam pedoman pemidanaan, namun dalam aplikasi hukum motif dapat digunakan untuk “membuktikan adanya unsur sifat melawan hukum yang membuktikan kesengajaan.” Sasongko (2014) menyatakan bahwa “motif dilakukannya tindak pidana juga dapat digunakan sebagai faktor yang memberatkan atau meringankan. Dalam tindak pidana kekerasan seksual, motif sangatlah berpengaruh dalam pembuktian penentuan jenis kekerasan seksual yang terjadi dan penanganan pidananya.”
Alat bukti kasus tindak pidana perkosaan sangat diperlukan untuk meyakinkan penyidik, penuntut umum, dan hakim. Hiariej (2012) menyatakan bahwa teori pembuktian hukum acara pidana menganut sebuah asas tentang saksi, yakni asas Unus Testis Nullus Testis yang berarti satu saksi bukanlah saksi (untuk membuktikan suatu tindak pidana dibutuhkan saksi berjumlah minimal dua orang). Pasal 184 KUHAP juga menyebutkan bahwa bukti yang cukup berarti adanya minimal dua alat bukti.
Maka, selain keterangan saksi dibutuhkan pula alat-alat bukti lain seperti keterangan ahli dan surat visum et repertum.
Dalam “konteks korban pemerkosaan ingin melakukan aborsi kehamilan akibat perkosaan, pembuktian dapat merujuk kepada Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, yang berbunyi:”
(1) “Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.”
(2) “Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan: usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.”
Dapat disimpulkan bahwa keterangan dokter untuk membuktikan usia kehamilan menjadi poin utama. “Hal tersebut menjadi penentu karena aborsi hanya boleh dilakukan jika janin dalam kandungan berumur kurang dari 14 minggu, merujuk kembali kepada Pasal 463 Ayat (2) Undang- undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana.”
Pemenuhan hak aborsi ini harus diutamakan karena merupakan hak korban kekerasan seksual sesuai dengan “Pasal 66 Ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang berbunyi “Korban berhak atas Penanganan, Pelindungan, dan Pemulihan sejak terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual.”
Aborsi ini merupakan hak penanganan mengacu kepada teori keadilan korektif Aristoteles dalam Nur Fadhilah (2020), “yang menghendaki adanya pemulihan keadaan seperti semula
untuk menyeimbangkan
ketidakseimbangan karena ketidakadilan.
Konsep ini memulihkan kerugian dan kerusakan yang korban tanggung, dalam hal ini adalah janin yang ia kandung. Maka dari itu, pembolehan aborsi haruslah dilakukan sebelum janin dalam kandungan berumur 14 minggu.
Berdasarkan [Pasal 9 Ayat (1) Peraturan KAPOLRI Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, penentuan ada-tidaknya tindak pidana dilakukan setelah Gelar Perkara.” Gelar perkara atau dapat disebut aanwijzing dalam Bangkut (2019) “dijelaskan sebagai suatu tindakan pergelaran proses penyidikan suatu kasus yang dilakukan oleh penyidik untuk merunutkan kronologi kejadian pidana sebelum kasus tersebut diajukan ke Jaksa Penuntut Umum. Gelar perkara dilakukan jika penyelidikan suatu tindak pidana sudah cukup terkumpul bukti untuk menyatakan bahwa adanya suatu tindak pidana yang terjadi.]
Jika penyidik telah meyakini bahwa memang benar adanya suatu tindak pidana pemerkosaan yang terjadi berdasarkan bukti-bukti yang telah dijelaskan, maka tim Penyidik mengeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan.
Hal ini merupakan lampu hijau bagi korban untuk melakukan aborsi selama janin dalam kandungan belum berumur 14
minggu karena ia telah terbukti sebagai korban pemerkosaan.
SIMPULAN
Penentuan status korban suatu tindak pidana pemerkosaan dilakukan setelah bukti-bukti dalam penyelidikan cukup untuk melanjutkan ke tingkat penyidikan. Kewenangan pemberian legalitas seseorang melakukan aborsi jatuh kepada Penyidik dalam proses Penyidikan.
Pemberian legalitas tersebut dilakukan bersamaan dengan keluarnya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan, dengan syarat janin yang dikandung tidak melebihi usia 14 minggu.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pembimbing Tugas Akhir Penulis, Dr. Beniharmoni Harefa, S.H., LL.M., yang menjadi mentor dalam pengerjaan artikel ini.
Terimakasih sebesar-besarnya kepada kepada MJ dan Blondie yang menjadi alasan pengerjaan artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anisa, A., & Santoso, M. B. (2020). Penanganan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Dalam Situasi Bencana. Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, 7(1), 208-212
Fauziyah, R. (2020). Aborsi dalam Kontroversi Para Fuqaha. Al Maqashidi, 3(1), 24-34.
Fidawaty, L. (2017). Aborsi dalam Perspektif Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam (Analisis terhadap Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi). Al- 'Adalah, 14(1), 107-130.
Hiariej, E. O. (2012). Teori dan Hukum Pembuktian.
Jakarta: Erlangga. Saputra, D. A. (2023).
“Kesesuaian Hukum Positif dan Fatwa MUI Terhadap Putusan Nomor 5/Pid. Sus.
Anak/2018/Pn Mbn Tentang Tindak Pidana Aborsi Oleh Korban Perkosaan Dibawah Umur” (Bachelor's Thesis, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Huda, M. N. (2017). Pentingnya Alat Bukti dalam
Pembuktian Minim Saksi. VOICE JUSTISIA:
Jurnal Hukum dan Keadilan, 1(2), 95-107.
70 Ilyas, A., & Mustamin, M. (2012). Asas-Asas Hukum
Pidana: Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan: Disertai Teori-Teori Pengantar dan Beberapa Komentar. Kerjasama Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP- Indonesia.
Ismail, A. N., & Arbani, T. S. (2022). Tinjauan Kriminologi Terhadap Pemerkosaan Akibat Perilaku Seks Bebas di Kalangan Remaja.
Alauddin Law Development Journal, 4(1), 237-248
Juita, S. R., & Heryanti, B. R. (2010) Perlindungan Hukum Pidana Pada Korban Perkosaan Yang Melakukan Abortus Provocatus. Jurnal Dinamika Sosial Budaya, 12(2), 142 – 158.
KBBI Daring. (2016). Aborsi. Diambil 27 Januari
2023, dari
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/aborsi Kusmaryanto, C. B. (2002). Kontroversi Aborsi.
Grasindo: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Najih, M., Soimin. (2014). Pengantar Hukum Indonesia, Sejarah, Konsep Tata Hukum dan
Politik Hukum Indonesia. Malang: Setara Press.
Niko, N., & Rahmawan, A. D. (2020). Supremasi Patriarki: Reaksi Masyarakat Indonesia dalam Menyikapi Narasi Seksualitas dan Perkosaan Kasus Reynhard Sinaga. Jurnal Analisa Sosiologi, 9(1), 137-152.
Nur Fadhilah, M. H. (2020). Peer Review Keadilan:
Dari Plato Hingga Hukum Progresif. IAIN Tulungagung Press: Tulungagung.
Romli, D. (2011). Aborsi Dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam (Suatu Kajian Komparatif). Al-'Adalah, 10(2), 157-164.
Sasongko, S. A. (2014). Motivasi dalam Kasus Pemerkosaan (Perspektif Gender).
MUWAZAH: Jurnal Kajian Gender, 6(2).
Setyowati, S. (2002). Masalah Abortus Kriminalis di Indonesia dan Hubungannya dengan Keluarga Berencana Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: tp.
Tahir, H., & Sabriantina, T. (2010). Proses Hukum Yang Adil dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. LaksBang Pressindo.