PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dan perbedaan penyebab atau cara pelaku tindak pidana korupsi dalam rangka markup pengadaan barang dan jasa negara. Larangan persekongkolan tender diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang pedoman pemesanan barang dan jasa. Dalam pemesanan barang dan jasa, dengan memperhatikan keberadaan ULP, maka tugas pokok dan wewenangnya adalah sebagai berikut: 74.
Ferdinand Ritonga telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembelian barang dan jasa dari PT. Apabila hakim mengalihkan Pasal 18, maka pelaku tidak akan jera untuk melakukan tindak pidana korupsi peningkatan pengadaan barang dan jasa. Kebijakan pidana terhadap tanggung jawab dengan penambahan panitia pengadaan barang dan jasa dan analisis keputusan.
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Hakim merujuk pada tuntutan JPU yakni UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi pada pasal 2 dan 3 ayat 45. Hakim merujuk pada tuntutan JPU yakni UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi pada pasal 2 dan 3 ayat 51. Artinya, tujuan hukum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi belum tercapai.
Faktor internal terjadinya tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa pada proyek pemerintah dapat dilihat dari persekongkolan yang dilakukan panitia terhadap panitia.
Manfaat Penelitian
Keaslian Penelitian
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana korupsi khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana pengadaan barang dan jasa. A. Sesuai dengan judul yang diajukan, Pertanggungjawaban Pidana Komisi Pengadaan Barang dan Jasa atas Kenaikan Harga pada Proyek Pemerintah (Analisis Putusan.
Kerangka Teori Dan Konsep
Metode Penelitian
- Spesifikasi penelitian
- Metode pendekatan
- Lokasi penelitian
- Alat pengumpulan data
- Prosedur pengambilan dan pengumpulan data
- Analisis data
Penelitian deskriptif adalah penelitian hukum yang menguraikan, mengkaji, menjelaskan dan menganalisis suatu perbuatan hukum. Ediwarman35 menjelaskan bahwa penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu kaidah hukum, asas-asas hukum, serta doktrin-doktrin hukum untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang dimaksud. Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu kaidah hukum, asas-asas hukum dan doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi.
36 Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Kajian Singkat) Rajawali Press, Bandung: 1995, hlm. 13-14.
ATURAN HUKUM TERKAIT PELAKU TINDAK PIDANA
Undang-UndangNomor 31 Tahun 1999jo. Undang-undangNomor
- AturanTindakPidanaKorupsiDalamPengadaanBarang Dan
- Kelemahan Undang-undangNomor31Tahun 1999 jo
Tahun 2010
- Aturan hukum pengadaan barang dan jasa terkait mark-up . 52
FAKTOR TERJADINYA MARK-UP TERHADAP BARANG
Faktor Internal
- Persekongkolan dalam Pengadaan Barang dan Jasa
- Perencanaan Terhadap Pengadaan Barang Dan Jasa Pada Proyek
- Dorongan Politik
Namun demikian, ruang lingkup Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa tidak hanya dapat mencakup kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga mencakup kegiatan yang dilakukan oleh pihak swasta. Oleh karena itu wajib dilakukan pengawasan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengadaan barang dan jasa di lingkungannya masing-masing, baik pengguna barang dan jasa maupun panitia/pejabat pengadaan. Penyelenggaraan pengadaan barang/jasa oleh penyedia barang/jasa terdiri dari Pengguna Anggaran (PA) atau Kuasa Pengguna Anggaran (BPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Unit Layanan Pengadaan (ULP) atau Pejabat Pengadaan, dan panitia/pejabat penerima hasil kerja.
Sedangkan organisasi pengadaan barang/jasa untuk pengadaan melalui swakelola terdiri dari PA/KPA, PPK, Panitia/Pejabat yang menerima hasil pekerjaan. Ada beberapa pembahasan tentang pekerjaan Panitia/Pejabat Penerima Pekerjaan (PPHP), hal ini dikarenakan lingkup tugas PPHP dalam pengadaan barang dan jasa secara teknis memiliki referensi yang sangat terbatas. Demikian berdasarkan informasi harga dari PT SIEMENS INDONESIA, pada tanggal 7 Mei 2007 Panitia Pengadaan Barang/Jasa Tahun Anggaran 2007 PT.
INV/07/BIKEU/PROD/PLTGU/001 tanggal 13 Maret 2007 dan kontrak karya nomor: 120.PJ/61/KITSU/2007 tanggal 7 Juni 2007 tentang pembelian tabung api PLTU GT-12 dan Saksi ROBERT MANYUZAR selaku Ketua Panitia Pengadaan tidak melakukan kajian mendalam terhadap ruang lingkup pengadaan barang dan jasa yang akan dilakukan di sesuai dengan PT. Pola penyimpangan pembentukan panitia pengadaan barang dan jasa, secara umum pada tahap pembentukan panitia pengadaan, kelompok pengadaan barang dan jasa ditemukan sedikitnya 4 jenis penyimpangan, yaitu:81 81 Mengenai pola penyimpangan dalam pembentukan panitia pengadaan: . http://www.tarungnews.com/nasional/1937/pola-kecurangan-pada-dinding-pengadaan-barang-dan-jasa-.html.
Dalam hal ini sebaiknya pengawas yang ditunjuk dalam pengadaan barang dan jasa dapat menindaklanjuti hasil setiap pemeriksaan dengan proses hukum untuk menghindari kesalahan yang berulang. Akses melalui Internet: http://www.tarungnews.com/nasional/1937/pola-raking-pada-dinding-pengadaan-barang-dan-jasa-.html.
Faktor Eksternal
- Aspek Organisasi/Institusi
- Aspek Masyarakat
- Aspek Penegak hukum dan Peraturan Perundang-undangan . 84
Berdasarkan dua ungkapan asing tersebut, maka konsep kebijakan hukum pidana dapat juga disebut sebagai kebijakan hukum pidana. Dengan demikian, kebijakan hukum pidana dapat diartikan sebagai cara bertindak atau kebijakan negara (pemerintah) untuk menggunakan hukum pidana guna mencapai tujuan tertentu, khususnya dalam kaitannya dengan penanggulangan kejahatan. Salah satu upaya untuk dapat menanggulangi kejahatan antara lain melalui kebijakan peradilan pidana atau criminal justice policy.
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum pidana dan politik kriminal. Politik hukum pidana berarti upaya mewujudkan pada suatu saat dan untuk masa yang akan datang peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi. Politik hukum pidana juga diartikan sebagai kebijakan menyeleksi atau mengkriminalkan dan mendekriminalisasi suatu perbuatan.
Penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat (melalui peraturan perundang-undangan) pada hakekatnya merupakan bagian dari tindakan politik. Operasionalisasi kebijakan hukum pidana dengan sarana pidana (penal) dapat diwujudkan melalui proses yang terdiri dari tiga tahapan, yaitu: 109. Kebijakan hukum pidana terkait dengan masalah kriminalisasi, yaitu perbuatan mana yang merupakan kejahatan dan pemidanaan, masing-masing sanksi apa yang harus dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana tersebut.
Penegakan total, yaitu sejauh mana tuntutan pidana sebagaimana didefinisikan oleh hukum pidana substantif. Penerapan hukum pidana merupakan suatu sistem sosial, dalam arti pendefinisian suatu kejahatan juga harus mempertimbangkan perbedaan cara pandang yang ada dalam masyarakat. Jadi, operasionalisasi kebijakan peradilan pidana (penal policy) melalui beberapa tahapan, yaitu tahapan formulasi (kebijakan legislatif), tahapan penerapan (kebijakan peradilan, kebijakan yudisial) dan tahapan penegakan (enforcement/administrative policy).
Peraturan hukum terkait dengan UU No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana dikenakan dalam Pasal 55(1) Ayat 1 KUHP.
Kebijakan Penal
Kebijakan Non Penal
Bahwa perbuatan terdakwa telah ditentukan dan diancam dengan pasal 3 juncto pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 55 (1) ayat 1 KUHP. Bahwa terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan pokok yaitu melanggar Pasal 2(1) juncto Pasal 18 UU No: 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan UU No: 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55(1)(1) KUHP, tuntutan tambahan yaitu atas pelanggaran Pasal 3 juncto Pasal 18 UU No: 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 juncto ayat (1) pertama Pasal 55 KUHP, dan tuntutan yang lebih subsider yaitu pelanggaran Pasal 9 UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah menjadi UU No. 20 RI Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. PLN (Persero) KTSBU dan bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Dirjen selaku atasan/pengurus terdakwa, maka ketentuan Pasal 2(1) UU No: 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No: 20 Tahun 2001 yang secara umum mengatur perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan korupsi.
Bahwa Majelis Hakim kemudian mempertimbangkan Dakwaan Subsider yaitu Terdakwa didakwa melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor: 20 Tahun 2001 Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 Republik Tahun 2001 tentang Undang-Undang 19 Tentang Republik Indonesia. penetapan tindak pidana korupsi Jo. Bahwa Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bentuk orang lain adalah sebagai berikut: atau keuntungan orang lain adalah: korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau fasilitas yang ada padanya sebagai akibat perbuatannya posisi atau posisi. Sedangkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo.
Menyatakan terdakwa FERDINAND RITONGA yang terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi. Untuk menganalisis peningkatan pembelian barang dan jasa tindak pidana korupsi dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 95/Pid.Sus.K/2013/PN Mdn, dilakukan dengan menegakkan norma hukum yang berlaku tentang kerugian keuangan negara yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Mengenai unsur Pasal 2 ayat
Karena majelis hakim dalam menjatuhkan putusan hanya mengejar penjatuhan pidana badan (penjara) dibandingkan dengan pemulihan kerugian keuangan negara yang dapat diupayakan sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan mengenai tindak pidana korupsi dimuat dalam Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Ayat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001.
Analisis Kasus
- Posisi kasus
- Analisis kasus Putusan Nomor 95/Pid.Sus.K/2013/PN Mdn . 124
Kesimpulan
Dari uraian tesis ini dapat ditarik beberapa kesimpulan yang merupakan perpaduan konsep atau sistem penelitian yang merupakan kajian yang komprehensif dan terpadu. Kaidah hukum yang berkaitan dengan mark-up dalam Pasal 66 Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Perubahan atas Nomor 54 Tahun 2010. Terdapat dua faktor yang menyebabkan terjadinya mark-up barang dan jasa pada proyek-proyek pemerintah, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor eksternal dalam melakukan tindak pidana terkait pengadaan barang yang merugikan keuangan negara antara lain aspek organisasi, karena tidak adanya keteladanan pemimpin, pemimpin yang baik akan menjadi panutan bagi anggotanya, Belum ada budaya kelembagaan/organisasi yang baik, Sistem akuntabilitas di badan pemerintahan kurang memadai, aspek kemasyarakatan dan aspek peraturan perundang-undangan, sehingga kami memberikan manfaat dan pengaturan dalam penegakan hukum dan pengaturan. Kebijakan hukum pidana dengan sarana pidana (pidana) dapat dilakukan melalui suatu proses yang terdiri dari tiga fase, antara lain kebijakan formulasi/legislatif yaitu fase formulasi/komposisi hukum pidana, kebijakan aplikatif/yudisial yaitu fase penerapan hukum pidana, kebijakan administratif/eksekutif yaitu fase implementasi hukum pidana. Penjatuhan pidana penjara terhadap Ferdinan Ritonga yang divonis 8 (delapan) tahun penjara dan denda sebesar Rp.
ratus juta rupiah), menurut hemat penulis kurang efektif dalam penerapan hukum karena minimnya pengenaan denda yang mengakibatkan tidak adanya penggantian kerugian keuangan negara yang terjadi dalam kasus ini.
Saran
Keamanan dan perlindungan masyarakat, agar terdakwa dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya dengan ancaman seberat-beratnya dan hukuman setinggi-tingginya yang dijatuhkan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Dapat diakses di Internet http://www.lawanpost.com/read/phase-activities-adapting-goods-dan-jasa-government/178/.