• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA ASUH ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK AUTIS DI SKH YPPA KECAMATAN PADANG TIMUR

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "POLA ASUH ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK AUTIS DI SKH YPPA KECAMATAN PADANG TIMUR "

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

POLA ASUH ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK AUTIS DI SKH YPPA KECAMATAN PADANG TIMUR

KOTA PADANG

ARTIKEL

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (Strata 1)

ADEK RUSBANDI 11070197

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP) PGRI SUMATERA BARAT

PADANG

2016

(2)

HALAM PENGESAHAN ARTIKEL

Pola Asuh Orang Tua Yang Memiliki Anak Autis Di Skh Yppa Kecamatan Padang Timur

Kota Padang

Nama : Adek Rusbandi

NPM : 11070197

Progaram Sudi : Pendidikan Sosiologi

Jurusan : Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Institusi : Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Sumatera Barat

Artikel ini telah disetujui oleh dosen pembimbing skripsi, untuk diserahkan ke Prodi Pendidikan Sosiologi.

Padang, Agustus 2016

Pembimbing I Pembimbing II

(Dra. Fachrina, M.Si) (Inoki Ulma Tiara, S.Sos,M.Pd)

(3)

POLA ASUH ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK AUTIS DI SKH YPPA KECAMATAN PADANG TIMUR

KOTA PADANG

Adek Rusbandi

1

Fachrina,

2

Inoki Ulma Tiara

3

Program Studi Pendidikan Sosiologi STKIP PGRI Sumatera Barat

ABSTRACT

Parenting is a human action to perform maintenance, supervision, guidance and cultivation of values and norms, and the outpouring of affection. Parenting between normal children and children with autism is different parents who have children with autism should select appropriate parenting for their children, many parents are less to understand the way care for children with autism. Increasingly comprehended parents on parenting those with autism will make these children suffer and do not have the ability to develop themselves, based on the observation of the above makes the writer interested to do research with the title "Parenting Parents of Autistic Children SKH YPPA Eastern District of Andalas Padang City.

The theory used in this research is the theory of social action by Max Weber. This study used a qualitative approach and descriptive. Informant is selection technique by purposive sampling with the number of informants as many as 14 people. Data used primary data and secondary data. Methods of data collection in this study should be non participant observation and in-depth interviews and document study. Should be analyzes unit group. Analysis of the data used should be interactive data analysis model (Miles dan Huberman).

From the results of research can be concluded that parenting parents who have children with autism there are two: (1) parenting authoritative and (2) parenting democracy. Besides the constraints faced by parents in caring for children with autism, there are three: (1) the parents lack knowledge about children with autism, (2) husband who participate less in caring for children with autism and (3) other family members cannot receive state children with autism.

Keyword: Parenting, Parent, Autistic Children PENDAHULUAN

Setiap manusia menginginkan pernikahan untuk melanjutkan keturunannya. Ketika satu manusia sudah melakukan pernikahan manusia tersebut sudah membentuk ikatan yang disebut dengan keluarga. Keluarga ini dibentuk melalui proses pernikahan yang dilakukan manusia tersebut. Keluarga merupakan suatu kelompok primer yang paling penting dalam masyarakat. Keberadaan masyarakat sangat diwarnai oleh masing-masing keluarga dalam mempertahankan dan membangun dirinya. Keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dan masing-masing anggota merasa adanya pertautan bathin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling mempertahankan, dan saling menyerahkan diri (Suhendi dan Wahyu, 2000:12).

Ada tiga pokok fungsi kelurga yang sulit diubah dan digantikan orang lain, yaitu:

(1) Fungsi biologis berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan seksual suami istri.

Kelurga ialah lembaga pokok yang secara absah memberikan ruang bagi pengaturan dan pengorganisasian kepuasan seksual. (2) Fungsi sosialisasi anak menunjukkan peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak. (3) Fungsi afektif merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia ialah kebutuhan kasih sayang atau rasa dicintai (Wahyu, 2007: 76-79).

Dalam menjalankan fungsi-fungsi keluarga, sangatlah dibutuhkan peranan dari orang tua sebagai orang terdekat dengan anak-anaknya terutama ibu merupakan orang yang pertama dikejar oleh anak-anak, perhatian, pengharapan, dan kasih sayang.

Dimana ibu merupakan orang yang pertama dikenal oleh anaknya artinya ibulah yang memenuhi kebutuhannya sehari-hari

(4)

sehingga anak-anak selalu menginginkan ibunya senantiasa ada untuk dirinya (Sobur dalam Yanti, 2014: 2).

Orang tua dapat memilih pola asuh yang tepat dan ideal bagi anaknya. Dimana pola asuh orang tua yang salah akan berdampak buruk bagi perkembangan jiwa anak. Dari hal itu maka orang tua sangat diharapkan untuk dapat menerapkan pola asuh yang bijaksana atau dapat menerapkan pola asuh yang setidak-tidaknya tidak membawa kehancuran atau dapat merusak jiwa dan watak seorang anak. Dimana pola asuh yang ideal bagi anak yaitu suatu pola asuh yang terbukti dengan hasil keakraban, kemesraan, dan kekeluargaan antar anggota keluarga, terutama anak-anak dengan para orang tua, sehingga menghasilkan pola asuh yang sesuai dengan harapan semua pihak (Gunarsa, 1995:38).

Melalui pola asuh tersebut yang diberikan orang tua kepada anaknya, maka setiap orang tua tersebut pasti mengharapkan anaknya menjadi orang yang berkepribadian baik, sikap, mental yang sehat serta akhlak yang terpuji. Tetapi harapan itu tidak selalu dapat terwujud. Kenyataannya bahwa anak yang dimiliki tidaklah sama dengan anak- anak lain pada umumnya merupakan salah satu hal yang haruslah diterima apa adanya.

Namun tidak semua orang tua beruntung memiliki anak, ada mereka yang divonis tidak bisa memiliki anak dan ada juga mereka yang memiliki anak tetapi tidak normal atau tidak sama dengan anak-anak lainnya. Hal itu dikarenakan alam masa perkembangannya anak tersebut mengalami gangguan. Salah satu gangguan tersebut adalah autis. Menurut Safaria, autisme adalah ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditujukan dengan penguasaan bahasa yang tertunda, ekolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan didalam lingkungan (Safaria dalam Wahyuni, 2011:

2-3).

Sebagai manusia normal yang memiliki perasaan dan pikiran, setiap orang tua yang memiliki buah hati pastilah menginginkan yang terbaik untuk anaknya.

Kasih sayang, perhatian, pendidikan fasilitas

dan hal-hal lainnya tentu adalah yang terbaik yang bisa diberikan untuk si anak, bagaimana dengan orang tua yang dikaruniai anak dengan berbagai keterbatasan seperti anak autisme, bagi sebagian besar orang tua yang memiliki anak autisme, hal tersebut tidaklah mudah. Butuh proses untuk dapat menerima keadaan atau kondisi anak, yang bisa dikatakan tidak seperti anak normal lainnya.

Orang tua pada dasarnya harus tahu bagaimana pola asuh untuk anak-anak mereka yang tepat baik itu anak yang normal maupun yang menyandang penyakit autis. Adapun pola asuh anak normal lebih mudah dibandingkan dengan yang menyandang autis karena orang tua yang memiliki anak normal akan menerapkan pola asuh demokrasi kepada anak nya, orang tua hanya memantau kegiatan anaknya tersebut jika anaknya melakukan kesalahan barulah orang tua berperan penting dalam menegur dan memberikan penjelasan agar anak tersebut mengerti terhadap kesalahan yang ia lakukan. Berbeda dengan anak autis, Adapun pola asuh yang tepat dan ideal pada anak penyandang autis tentu mengharapkan pola asuh yang sesuai dengan pola asuh yang ideal. Dimana anak autis ini berbeda dengan anak-anak yang normal pada umumnya, serta setiap anak berhak mendapatkan pola asuh yang baik dan benar, tidak hanya anak yang normal, anak autis juga memerlukan pola asuh yang cukup kompleks dan relevan terhadap permasalahan yang dimiliki. Oleh karena itu tidak semua anak autis memiliki karakteristik dan kebutuhan yang sama.

Anak penderita autis akan lebih mendapatkan pola asuh yang lebih ekstra.

Orang tua yang memiliki anak autis harus tahu anak mereka menyandang autis yang seperti apa. Untuk anak autis sendiri harus mendapatkan penjagaan yang lebih ketat lagi dari orang tua, kemudian anak tersebut harus diberikan pengetahuan tentang lingkungan tempat tinggal mereka. Idealnya anak-anak autis ini harus mendapatkan pola asuh yang otoriter, pola asuh otoriter ini mempunyai peraturan yang kaku dan orang tua memaksakan kehendak pada anaknya.

(5)

Di Kota Padang terdapat suatu lembaga yang menampung dan membina anak-anak penderita autis yaitu, SKh YPPA yang merupakan suatu tempat yang menampung penyandang autis untuk dapat menjadi pribadi dan individu yang utuh dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya. Pelayanan terapi terpadu yang pada akhirnya membawa anak agar dapat hidup mandiri dalam masyarakat dilingkungannya setidaknya bagi dirinya sendiri dan keluarga. Berdasarkan visi misi dari Skh YPPA anak autis yang mereka bina sebanyak 56 anak dan dengan tenaga pendidik sebanyak 19 orang.

Berdasarkan observasi awal tentang pola asuh salah satu orang tua yang memiliki anak autis peneliti melihat bahwa pada pagi hari orang tersebut memandikan dan memberi sarapan kepada anaknya tersebut.

Pada siang hari jika ketika anak autis tersebut pulang sekolah anak ini tidak dibiarkan untuk keluar rumah. Orang tua yang memiliki anak autis biasanya memiliki rumah yang berpagar sehingga apabila anak tersebut keluar dari pagar orang akan memaksa anak tersebut untuk masuk kedalam rumah. Pengasuhan anak autis ini tidak lepas dari pengawasan orang tuanya.

Tidak semua orang tua yang memiliki anak autis memiliki kesabaran dalam mengasuh anak tersebut, karena diantara orang tua anak autis tersebut ada yang bekerja dan ada yang hanya menjadi IRT. Orang tua yang memiliki anak autis menganggap anaknya tidak memiliki kemampuan apa-apa sehingga banyak diantara mereka mengalami kesulitan dalam mengasuh anak tersebut.

Semakin tidak pahamnya orang tua terhadap pola asuh anak mereka yang menyandang penyakit autis ini akan membuat anak tersebut menderita dan tidak

memiliki kemampuan untuk

mengembangkan diri mereka.

JENIS DATA DAN METODE

Penelitian ini dilakukan selama bulan Juni 2016. Lokasi penelitian ini adalah Di Skh YPPA Kecamatan Padang Timur Kota Padang. Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan penelitian kualitatif dan tipe penelitian ini adalah deskritif.

Metode pemilihan informan dalam penelitian ini adalah dengan cara purposive

sampling (Afrizal, 2008: 101). Adapun jumlah informan dalam penelitian ini adalah 14 orang. Dalam penelitian ini, penelitian menggunakan data primer dan sekunder.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara. Model analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis data Miles dan Huberman.

HASIL PENELITIAN

1. Latar Belakang Keluarga Informan

a. Keluarga Informan I

Ibu NR 45 tahun adalah ibu rumah tangga, ibu NR tinggal di Komplek Jalan Utama, ibu Rita memiliki 4 orang anak salah satu anak ibu NR bernama Aldian Nozarianda Alfath kelas III (tiga) di SKH YPPA. Anak dari ibu NR ini tidak bisa merangsang stimulus dengan baik yang membuat dia sulit untuk menerima arahan yang diberikan oleh orang lain. Sejak kecil aldian tidak bisa merasakan rasa sakit, ketika jatuh dia hanya akan diam dan tidak akan menangis. Penyakit autis yang dialami oleh aldian ini membuat dia tidak bisa memakan makan yang begitu keras sehingga makanan yang ia makan harus dihaluskan terlebih dahulu. Dia juga harus mendapatkan bantuan dari orang lain untuk memakan makanan tersebut sehingga aldian harus mendapatkan pengawasan yang ketat dari orang tua nya terutama sang ibu.

b. Keluarga Informan II

Ibu EL 50 tahun yang tinggal di jalan Delima no. 486 Indarung sebagai karyawan swasta. Ibu EL memiliki 3 orang anak dan anak terkhir dari mereka mengalami ngangguan autis dengan nama anak Alfadri Arif kelas IV. Anak Ibu EL menderita penyakit autis sejak usia 5 tahun ia mengalami gangguan pervasif Developmental Disorder sehingga alfadri mengalami gangguan pada keterampilan verbal dan non-verbal yang membuatnya sulit untuk berkomunikasi. Selain itu ia juga mengalami gangguan pencernaan, gangguan pencernaan yang dialami oleh Alfadri membuat perkembangannya terhambat, terlebih dia hanya bisa melakukan kegiatan dengan bantuan orang lain pada awal

(6)

penyakitnya. Anak dari Ibu EL ini dimasukkan kesekolah khusus untuk anak penyandang autis untuk diajarkan bagaimana ia harus membentuk dirinya. Alfadri tidak memiliki kemampuan untuk mengartikan bahasa tubuh atau bahasa isyarat yang dilemparkan atau diberikan oleh orang lain.

sehingga untuk mengajarkan nya harus dengan kesabaran yang ekstra..

c. Keluarga Informan III

Pacaran adalah hubungan antara dua Informan yang ketiga wawancara dengan Ibu HN yang tinggal di komplek TNI-AL H.agussalim Siteba sebagai PNS dengan nama anak Andika Prasetya Irfansyah kelas I. Suami ibu HN bekerja sebagai TNI, mereka memiliki 3 orang anak.

Anak terakhir dari Ibu HN mengalami gangguan autistic disorder dimana ia tidak memiliki kemampuan berbicara dan bergantung pada komunikasi non-verbal, kondisi ini mengkibatkan anak menarik diri ekstrim terhadap lingkungan sosialnya dan bersikap acuh tak acuh. Seperti yang dialami oleh Andika ia hanya berkomunikasi dengan orang tuanya saja dan tidak mau bergaul dengan orang lain, hal ini membuat perkembangan dan pertumbuhannya terhambat karena ia tidak menunjukan kasih sayang dan kemauan untuk berkomunikasi.

d. Keluarga Informan IV

Ibu RN sebagai pedagang yang tinggal di jalan Marapalam Indah 6, ia memiliki anak 5 orang anak yang salah satunya menyandang autis dengan nama Aqeel Putra Natian kelas II yang juga disekolahkan di SKH YPPA. Aqeel mengalami gangguan Childhood Disintegrative Disorder gejala ini muncul ketika ia berusia 4 tahun, pada dua tahun awal perkembangan Aqeel nampak normal yang kemudian terjadi regresi mendadak dalam komunikasi, bahasa, sosial dan keterampilan motorik. Ia menjadi kehilangan semua keterampilan yang diperoleh sebelumnya dan mulai menarik diri dari lingkungan sosial.

Pada awalnya Aqeel sudah mampu berjalan sendiri, berbicara, dan melakukan kegiatan-kegiatan lainnya. Tetapi memasuki usia 4 tahun awalnya ia terjatuh ketika

bermain, Aqeel mulai mengalami kesulitan untuk berjalan dan mulai sulit untuk mengucapkan bahasa-bahasa (berbicara), hal ini membuat orang tuanya khawatir dan memeriksakan penyakit anaknya dan ia pun didiagnosa mengalami penyakit autis.Orang tua Aqeel tidak pernah berputus asa untuk mengobati Aqeel, ia memasukkan anaknya ke sekolah khusus anak autis, disana Aqeel mendapatkan terapi dan disana ia juga diberikan pelajaran-pelajaran untuk melihat kemampuan apa yang ia miliki sehingga kemampuan itu bisa dikembangkan.

e. Keluarga Informan V

Ibu RS yang bertempat tinggal di Ampang yang memiliki suami bernama RM sebagai seorang buruh dengan penghasilan 2 juta perbulan. Mereka memiliki satu orang anak dengan nama anak Daud Ahmad Alif kelas V dengan nama penyakit gangguan autistik. Daud memiliki masalah interaksi sosial, berkomunikasi, dan permainan imaginasi, penyakit ini ia derita sejak usia 2 tahun. Daud tidak mampu berkomunikasi dengan orang disekitarnya dan sulit untuk berinteraksi. Penyandang penyakit seperti Daud ini akan sering berimaginasi dan suka membayang-bayangkan sesuatu. Misalnya, ketika ia bermain dengan mainan pesawat terbang, ia akan merasa berada di dalam pesawat tersebut dan merasa menerbangkan pesawat tersebut. Anak dengan penyakit gangguan autistik ini memiliki daya khayal yang tinggi, sehingga apa saja yang ia lihat akan ia khayalkan.

f. Keluarga Informan VI

Ibu DV yang bertempat tinggal di kompleks Jala Utama Lubek, suami ibu DV bernama Andri yang bekerja sebagai karyawan swasta dengan penghasilan 8 juta perbulan yang memiliki 2 orang anak, salah satu anak mereka mengalami gangguan autis dengan mana anak Deva Ariska kelas VI dengan gangguan sindrom rett. Ibu DV merupakan karyawan swasta juga, yang mempunyai pengasuh untuk anaknya.

Sehari-harinya Deva diasuh oleh pengasuhnya dari memberikan makan, memandikan sampai mengantar pergi sekolah merupakan tugas pengasuhnya, ibu DV hanya memperhatikan apakah polah asuh yang diterapkan oleh pengasuhnya itu

(7)

benar atau tidak artinya disini ibu DV hanya memantau anaknya, hal ini ia lakukan karena ia bekerja dan hanya memiliki waktu malam hari untuk anaknya.

Sindrom rett ini terjadi hanya pada anak perempuan dimana awalnya Deva tumbuh dengan normal pada usia 1 hingga 4 tahun terjadi perubahan pola komunikasi dengan pengulangan gerakan tangan dan pergantian gerakan tangan, melambatnya pertumbuhan kepala. Sindrom rett terjadi akibat kelainan genetik yang mempengaruhi cara otak berkembang, Deva pada awalnya tumbuh dengan normal hingga usia 18 bulan tetapi seiring berjalnnya waktu fungsi motorik untuk menggunakan tangan, berbicara, berjalan, dan mengunyah bahkan bernafas tidak normal. Selain itu gerakan tangan selalu dilakukan berulang-ulang seperti meremas-remas dan berulang kali memasukkan tangan kedalam mulut.

2. Pola Asuh Orang Tua yang Memiliki Anak Autis

Menurut Harlock, Hardy dan Heyes (Ihromi, 2004:344-440) yang mengemukakan tiga pola asuh yang dibedakan oleh orang tua dalam mendidik anak-anaknya yaitu pola asuh otoriter, pola asuh permisif, dan pola asuh demokratis, dari beberapa macam pola asuh tersebut secara garis besar dapat dijelaskan bahwa perbedaan dalam pola asuh dapat terjadi karena setiap orang tua memiliki sikap yang berbeda yang akan mempengaruhi mereka dalam menghadapi anak-anaknya. Beberapa orang tua menggunakan pola asuh otoriter dan juga menggunakan pola asuh demokrasi.

a. Pola asuh otoriter

Pola asuh otoriter merupakan pola asuh yang menggunakan peraturan yang kaku, dimana orang tua memaksakan kehendak pada anaknya, menyebabkan anak menjadi tertekan dan tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Karena orang tua yang selalu menentukan segala sesuatu pada anak.

Beberapa orang tua yang memiliki anak yang di sekolahkan di SKH YPPA menerapkan pola asuh otoriter. Selain orang tua (ibu) anak-anak autis yang disekolah kan di SKH YPPA ini juga ada yang memiliki

pengasuh masing-masing selain itu ada juga yang diasuh oleh nenek mereka ini dikarenakan ada diantara mereka orang tua yang bekerja. Pola asuh yang otoriter ini membuat anak mengikuti kehendak orang tuanya, setiap tindakan yang dilakukan oleh anak autis ini diatur oleh orang tuanya, seperti jam istirahat, jam makan, jam bermain. Ini dilakukan oleh orang tua tersebut agar anak mereka lebih terarah dalam melakukan kegiatan sehari-harinya.

b. Pola Asuh Demokrasi

Dari wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun memiliki anak yang menyandang penyakit autis ada sebagian dariorang tua yang tidak begitu memaksa kan kehendaknya kepada anaknya, ia masih menginginkan anaknya tetap berkembang sesuai dengan yang dinginkan anak tersebut meskipun masih dalam pengawasan dari orang tua. Disini pola asuh demokrasi masih mereka terapkan, orang tua hanya memberikan arahan dan arahan tersebut yang diterima oleh anaknya, hal seperti ini tidak membuat anak merasa takut dengan apa yang ia lakukan. Pola asuh demokrasi membuat perkembangan anak lebih terlihat dari sebagian orang tua yang memiliki anak autis.

3. Kendala-kendala Yang Dihadapi Orang Tua dalam Mengasuh Anak Autis

Kendala merupakan hambatan yang dialami oleh seseorang dalam menghadapi masalah yang terjadi dalam hidupnya.

Kendala ini bisa menyebabkan tidak terjalannya dengan baik tujuan yang diharapkan oleh seseorang tersebut. Sama seperti orang tua dari anak autis, mereka harus menjalani terapi-terapi untuk anak- anak mereka agar penyakit yang diderita oleh anak tersebut tidak menghalangi anak autis tersebut dalam berkembang untuk melanjutkan hidup mereka. Karena anak autis tidak akan bisa sembuh seperti anak normal, tetapi jika orang tua bisa menerapkan pola asuh yang tepat anak-anak tersebut bisa diberikan arahan untuk melakukan kegiatan-kegiatan sehari-hari mereka. Untuk menjalankan tugas tersebut

(8)

orang tua dari anak autis ini mengalami kendala-kendala sebagai berikut :

a. Orang Tua Kurang Punya Pengetahuan Tentang Anak Autis

Dalam mengasuh anak autis ini seorang ibu harus memiliki pengetahuan yang baik dalam mengasuh mendidik dan memperlakukan si anak dalam kehidupan sehari-hari. Jika pengetahuan yang dimiliki si ibu dalam mengasuh anak autis baik maka kesulitan yang dialami ibu akan bisa diatasi.

Tetapi pada kenyataannya hasil penelitian yang ditemui banyak terdapat orang tua yang kurang paham dalam mengasuh anaknya.

Jika orang tua tidak memiliki pengetahuan dalam mengasuh anak autis maka akan terjadi perbedaan pandangan antara suami- istri tentang penanganan anak, kecemburuan kakak/adik anak autis yang merasa kurang diperhatikan dibanding saudaranya yang autis adalah problem yang biasa ditemui dalam keluarga tersebut dan juga perlu ada penanganan khusus agar tidak menjadi masalah besar dikemudian hari.

Sebagai orang tua yang memiliki anak autis yang mengalami kesulitan dalam berinterksi dengan anak mereka. Sering apa yang diinginkan oleh anak mereka tidak dapat mereka pahami karena anak-anak tersebut hanya bisa berteriak jika keinginannya tidak dapat dilakukan oleh orang tuanya. Dengan adanya kondisi seperti ini membuat para suami dan keluarga sering salah paham.

b. Suami Kurang Berpartisipasi dalam Mengasuh Anak autis

Sebagai keluarga inti ayah dan ibu harus sama-sama berpartisipasa dalam mengasuh, mendidik dan mengawasi anaknya apalagi keluarga tersebut memiliki anak yang menyandang penyakit autis, jika ayah tidak ikut dalam mengasuh anak ia tidak akan mengetahui perkembangan dari ananya tersebut. Tantangan menjadi orang tua anak autis juga tidak kalah hebatnya.

Berbagai penyakit yang umumnya menyertai anak autis seperti: epilepsi, alergi makanan, gangguan sistem pencernaan, problem tidur, juga sangat menguras tenaga. Saat anak autis yang masih berumur 1,5-2,5 tahun ia seringkali bangun jam 2 malam, dan main

sampai pagi, setelah itu seringkali dia kuat melek sampai siang. Akibatnya dia tidur siang cukup lama, dan sulit untuk tidur pada malam hari.

Selain penyakit-penyakit tersebut, anak autis pada umumnya juga memiliki sensory integration disorder (SID). Hal-hal yang biasa untuk orang pada umumnya bisa menjadi hal yang menyakitkan, membingungkan bagi anak autistik.

Contohnya: bunyi tetesan air keran bagi kita tidak akan mengganggu, namun bagi sebagian anak autis dengan SID ini akan sangat menyakitkan bagi pendengarannya, mereka akan berteriak-teriak sambil menutup telinganya. Kemudian tantrum yang sering dilontarkan anak autis saat keinginannya tidak dimengerti. Rasa lelah saat orang tua mengasuh anak autisnya bisa mempengaruhi kejiwaaan orang tua. Karena itu memiliki “Me Time” untuk orang tua yang mengasuh anak autisnya sangat dianjurkan. Dengan ketidakikutan dalam mengasuh anak maka seorang ayah tidak akan paham bagaimana mengatasi masalah yang dialami anaknya.

c. Anggota Keluarga Lain Tidak Bisa Menerima Keadan Anak autis

Anggota keluarga merupakan kekuatan dalam sebuah keluarga, seberat apapun masalah yang ada dalam keluarga tersebut jika anggota keluarganya saling menguatkan dan memberikan dukungan maka masalah yang sedang dihadapi tersebut akan terasa ringan termasuk dukungan dalam menerima keadaan anggota keluarga mereka yang mengalami sakit autis begitu pula sebaliknya jika anggota keluarga tidak saling mendukung maka masalah yang rumit akan semakin rumit, hal ini dialami oleh keluarga yang memiliki anak autis. Karena tidak semua anggota keluarganya bisa menerima kehadiran anak autis tersebut ditengah-tengah keluarga mereka.

Dalam menghadapi keluarga besar dan masyarakat, tidak sedikit ditemukan bahwa ibu memiliki masalah dengan keluarga. Ibu dituduh sebagai penyebab hadirnya keturunan dengan gangguan autsitik karena dalam riwayat keluarga suami tidak ditemukan anak berkebutuhan khusus. Hal lainnya adalah rasa malu dan

(9)

tertekan terhadap lingkungan sekitarnya, sehingga ibu menyembunyikan anaknya dari lingkungan masyarakat sekitar. Pada sisi yang lain, perlakukan masyarakat (sekolah dan tetangga) yang tidak tepat membuat keluarga memiliki beban yang lebih berat.

Perlakuan yang diskriminatif dan stigma negatif tentu menambah stres yang tinggi bagi keluarga.

KESIMPULAN

Pola asuh merupakan tindakan manusia dalam melakukan perawatan, pengawasan, bimbingan dan penanaman nilai dan norma serta curahan kasih sayang.

Anak autis adalah anak yang mengalami

ngangguan pertumbuhan dan

perkembangan, ada banyak macam anak autis sehingga memiliki pola asuh yang berbeda-beda. Pola asuh antara anak normal dan anak autis sangat berbeda bahkan orang tua yang memiliki anak autis pun sering mengalami kendala-kendala dalam memberikan perawatan, bimbingan dan pengawasan terhadap anaknya. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan informan di lapangan yang dilengkapi dengan data-data tertulis, skripsi yang relevan dengan penelitian ini maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. pola asuh orang tua yang memiliki anak autis di SKH YPPA Kecamatan Padang Timur Kota Padang memiliki dua cara dalam mengasuh anak mereka, cara tersebut adalah (a) Pola asuh otoriter, dan (b) Pola asuh demokrasi

2. kendala-kendala yang dihadapi orang tua dalam mengasuh anak autis, orang tua yang memiliki anak autis merasakan kendala-kendala sebagai berikut, (a) Orang tua yang kurang punya pengetahuan tentang anak autis, (b) Suami yang kurang berpartisipasi dalam mengasuh anak autis, dan yang (c) anggota keluarga lain tidak bisa menerima keadaan anak autis.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Afrizal. 2008. Pengantar Metode Pemikiran Kualitatif. Padang: Laboratorium Sosiologi. FISIP. Universitas Andalas.

Gunarsa, D Singgih. 1995. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.

Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Sobur, Alex. 1991. Komunikasi Orang Tua dan Anak. Bandug: Angkasa.

Suhendi, H.Hendi dan Rahmadani Wahyu.

2000. Pengantar Studi Sosiologi Keluarga.. Bandung: Cv Pustaka Setia.

Wahyu, Ramdani. 2007. Ilmu Sosial Dasar.

Bandung: PustakaSetia.

Wahyuni, Sri. 2011. Penyesuaian Diri Orang Tua Terhadap Perilaku Anak Autisme Di Dusun Samirono, Catur Tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta. Yogyakarta: Skripsi.

S1. Program Studi Pendidikan Sosiologi UNY.

Referensi

Dokumen terkait

adalah usaha yang dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling dalam mengatasi suatu kegiatan yang mengarah kepada taraf yang lebih baik untuk mencapai tujuan