• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi Emisi Karbon di Lahan Gambut Tropis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Potensi Emisi Karbon di Lahan Gambut Tropis"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Wahida Annisa1*dan Dedi Nursyamsi2

1Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (BALITTRA)

2Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP)

*Email: annisa_balittra@yahoo.com

ABSTRAK

Tanah gambut terbentuk akibat proses genangan terus menerus. Kondisi kurangnya oksigen mengakibatkan proses dekomposisi lebih lambat dibandingkan dengan proses pengendapan. Lahan gambut adalah penyimpan karbon dalam jumlah yang sangat besar, tetapi jika tidak dikelola dengan baik dan bijaksana, gambut akan menjadi sumber terbesar emisi. Karbon yang terkandung dalam tanah gambut sifatnya tidak stabil dan dalam bentuk bahan organik. Ketika hutan alam terbuka dan dikeringkan, karbon yang tersimpan akan mudah membusuk dan menghasilkan CO2 yang rentan terhadap kebakaran. Besarnya karbon yang hilang mencapai 13.101 t C ha-l tahun-1 atau setara 48.081 t CO2 ha-1 tahun-l. Hasil penelitian pada lahan gambut yang terdrainase menunjukkan bahwa ada korelasi positif sangat nyata antara kehilangan karbon dengan subsiden dan tinggi muka air tanah dengan nilai R2=0.84. Pengelolaan muka air (water level) yang tepat menjadi penting untuk mempertahankan kualitas gambut melalui pengaturan kedalaman muka air gambut sesuai dengan kebutuhan perakaran. Kedalaman muka air tanah di lahan gambut dipengaruhi oleh tinggi muka air (TMA) di saluran drainase. Emisi tanah gambut dapat ditekan jika gambut dalam kondisi jenuh atau kedalaman muka air tanahnya sedikit berfluktuasi dekat permukaan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan korelasi positif antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO2

Kata kunci: tanah gambut, emisi karbon, kebakaran, pengelolaan air

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara keempat setelah Kanada, Uni Soviet dan Amerika Serikat yang memiliki lahan gambut. Sekitar 29 juta ha dari total seluruh luasan gambut di dunia ditemukan di daerah tropis. Wetland (2004) melaporkan bahwa luas lahan gambut di Indonesia sebesar 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8% dari luas daratan negara Indonesia. Kementerian Pertanian sebagai wali data tanah (termasuk lahan gambut) tahun 2011 melakukan pemutakhiran data spasial lahan gambut yang diterbitkan Wetland International (Wahyunto et al. 2004-2005) yang dilaporkan Ritung et al (2011) bahwa luasan gambut di Indonesia sekitar 14.9 juta hektar.

Gambut mempunyai karakteristik yang unik dan memiliki fungsi yang beragam seperti pengatur tata air, pengendali banjir serta sebagai habitat (tempat hidup) aneka ragam jenis makhluk hidup maupun sebagai gudang penyimpan karbon sehingga berperan

20

(2)

sebagai pengendali kestabilan iklim global (Kementerian Lingkungan Hidup, 2012). Maas (2003) mengatakan bahwa kesuburan gambut lebih ditentukan oleh keadaan lingkungannya dan yang relatif subur gambut pada daerah cekungan (topogen) dan pantai.

Reklamasi dan praktik budidaya tanaman di lahan gambut dapat mengakibatkan perubahan watak gambut yang meliputi sifat-sifat tanah gambut dan fungsinya dalam proses alihragam (transformasi) dan alihtempat (translokasi) bahan dan energy dalam suatu ekosistem gambut. Salah satu contoh reklamasi yang dilakukan pemerintah yaitu pembukaan lahan gambut secara besar-besaran dalam periode yang singkat serta tanpa mengindahkan kaidah-kaidah perencanaan mengakibatkan rusaknya lahan gambut hingga menjadi bongkor atau bersifat kering tak balik (irreversible drying).

Hutan gambut merupakan mesin penangkap karbon melalui proses fotosintesa dan melepasnya melalui proses respirasi. Karbon yang disimpan di lahan gambut jauh lebih tinggi dibandingkan tanah mineral. Besarnya karbon dalam tanah gambut adalah dua kali lipat jumlah karbon yang tersimpan di dunia atau paling sedikit 550 Gigaton karbon dalam lapisan tanah organiknya. Hal tersebut menjadi indikator tingginya potensi ekosistem gambut ini menyumbang emisi gas rumah kaca, jika salah dalam pengelolaannya sehingga terdekomposisi atau terbakar.

Agus dan Subiksa. (2008) melaporkan bahwa besarnya karbon yang disimpan oleh hutan gambut tropis di atas permukaan mencapai 150-200 t/ha dan 300-6000 t/ha di bawah permukaan. Sedangkan besarnya karbon yang disimpan di lahan gambut di Indonesia sekitar 46 GT atau sekitar 8-14% dari seluruh C yang ada di lahan gambut dunia (Maltby dan Immirizi, 1993; Murdiyarso dan Suryadiputra, 2004) yang terkonsentarsi khususnya di Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah. Hasil penelitian ICCTF (2014) menunjukkan bahwa besarnya cadangan karbon pada tanah (below ground carbon stock) pada 5 lokasi lahan gambut tropika di Indonesia yaitu: (1) Papua dengan penggunaan lahan Hutan Sagu sebesar 338.29 t/ha; (2) Kalteng dengan penggunaan lahan Karet+Nenas sebesar 3613.56 t/ha; (3) Kalbar dengan penggunaan lahan tanaman semusim sebesar 2055.14 t/ha; (4) Riau dengan penggunaan lahan Kelapa sawit+nenas sebesar 2929.82 t/ha; (5) Jambi dengan penggunaan lahan Kelapa sawit+nenas sebesar 1451.11 t/ha.

Besarnya cadangan karbon dengan ekosistemnya yang sangat rapuh memerlukan pengelolaan dengan baik agar kehilangan karbon dalam bentuk CO2 ke atmosfir dapat ditekan. Karbon di lahan gambut tersimpan di atas dan di bawah permukaan tanah terdiri atas biomassa dan nekromas, sedangkan karbon di bawah permukaan tersimpan dalam bentuk gambut, akar tanaman dan mikrobia (Dariah et al., 2011). Pada kondisi aerob jumlah karbon yang dilepaskan lebih cepat dibandingkan yang ditambat karena aktivitas jasad renik optimal pada kondisi ini. Sedangkan pada kondisi anaerob (jenuh air) penambatan (sekuestrasi) karbon berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan

(3)

dekomposisi. Pada kondisi alami simpanan karbon pada lahan gambut relatif stabil, namun jika kondisi alami tersebut terganggu, maka akan terjadi percepatan proses pelapukan (dekomposisi), sehingga karbon yang tersimpan di dalam lahan gambut akan teremisi membentuk gas rumah kaca (GRK) terutama gas CO2, sebagai dampak dari dilakukannya proses drainase yang selalu menyertai proses penggunaan lahan gambut.

Kondisi jenuh air membuat proses dekomposisi terhambat sehingga gambut berperan sebagai penyerap karbon dan nitrogen, namun ketika lahan gambut direklamasi, pembuatan saluran drainase berakibat pada penurunan tinggi muka air tanah yang menyebabkan terurainya sebagian bahan organik tanah menjadi karbondioksida.

Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa kehilangan karbon dan nitrogen dari tanah gambut tidak hanya berkaitan dengan pemanasan global tetapi juga dengan subsiden (Furukawa et al., 2005). Besarnya karbon yang hilang mencapai 13.101 t C ha-l tahun-1 atau setara 48.081 t CO2 ha-1 tahun-l. Perubahan kondisi oksidatif menjadi kondisi anaerob mengakibatkan terdekomposisinya material gambut lebih cepat pada lapisan di atas muka air tanah, sehingga karbon yang terlepas meningkat. Maswar et al, (2011) melaporkan bahwa terdapat korelasi positif sangat nyata antara kehilangan karbon dengan subsiden dan tinggi muka air tanah yang ditunjukkan dengan nilai R2=0.84. Hal ini menunjukkan bahwa subsiden pada penggunaan lahan gambut yang didrainase lebih dominan terjadi akibat proses oksidasi atau mineralisasi bahan organik gambut. Besarnya jumlah karbon rata-rata yang hilang dari oksidasi gambut secara hayati adalah sebesar 4,5 t C/ha/tahun dari kebakaran gambut dan 7,9 t C/ha/tahun dari pembukaan hutan (Hooijer et al. 2014).

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan tentang karakteristik gambut tropik dan potensinya sebagai penambat (sekuestrasi) karbon serta sumber emisi CO2.

Ekosistem dan Karakteristik Gambut

Rieley et al. (1996) mengatakan bahwa pembentukan gambut di wilayah tropika bermula dari adanya genangan di daerah rawa, danau maupun cekungan yang didukung oleh curah hujan yang tinggi sehingga proses pencucian basa-basa dan pemasaman tanah berlangsung intensif diikut dengan penurunan aktivitas jasad renik perombak bahan organik. Di wilayah non tropika, gambut terbentuk karena di dukung oleh suhu dingin dan kondisi jenuh air, sehingga proses perombakan berlangsung lambat (Mitsch dan Gosselink, 2000). Puncak kubah gambut merupakan tempat tertinggi dan paling tebal di dalam suatu ekosistem gambut mencapai lebih dari 10 meter. Gambut non tropik berasal dari sisa-sisa rerumputan dan tumbuhan lunak yang berbeda dengan gambut tropik yang berasal dari batang, cabang dan akar tumbuhan berkayu (Rieley, 1992 dalam Kurnain,2005). Gambut yang terbentuk di daerah cekungan yang terisi oleh limpasan air sungai yang membawa bahan erosi dari hulunya, sehingga timbunan gambut bercampur dengan bahan mineral disebut gambut topogen yang biasanya relatif lebih subur. Gambut

(4)

yang terbentuk hanya karena pengaruh air hujan dan tidak ada pengkayaan mineral disebut gambut ombrogen dengan tingkat kesuburan yang lebih rendah. Di dalam satu Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) ada interaksi secara dinamis antara tanggul, sungai, rawa dan kubah gambut dimana lingkungan biofisik, unsur kimia dan organisme saling mempengaruhi membentuk keseimbangan (Gambar 1).

Sumber: Maas, 2015

Gambar 1. Ilustrasi kesatuan Hidrologis Gambut (KHG)

KLHK (2015) mengatakan bahwa KHG harus diperlakukan sebagai satu kesatuan pengelolaan ekosistem gambut yang tidak boleh dipisahkan oleh batas administrasi karena mempertahankan kubah gambut sangat penting agar sumber air terpenuhi sepanjang tahun serta terhindar dari banjir dan kekeringan. Berdasarkan PP No. 71 Tahun 2014 bahwa zonasi pemanfaatan lahan gambut berdasarkan satuan hidrologi, yaitu (1) adanya zona konservasi (conservation zone) di kubah sebagai tandon (cadangan) air dan (2) pengaturan muka air tanah pada zona pemanfaatan (development zone) melalui drainase terkontrol serta (3) zona penyangga. Beragamnya proses dan lingkungan pembentukan lahan gambut, menyebabkan kondisi masing-masing lahan gambut berbeda sehingga perlu manajemen spesifik disetiap daerah.

Sungai

Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) Lahan kering

Horizontal 3->60 km

Vertical 1-19 m Kubah lindung

(5)

Pada kondisi oksidatif gambut akan mulai terdegradasi, yang terjadi apabila muka air tanah turun salah satunya akibat pembuatan saluran drainase. Sedangkan kekurangan nutrisi/hara menyebabkan gambut tersebut mempunyai nilai redoks <200 mV. Gambut tropis dikelompokkan menjadi dua tipe gambut berdasarkan faktor hidro-topografi yaitu:

gambut topogen dan gambut ombrogen. Gambut topogen terbentuk pada cekungan yang tergenangi atau terjenuhi air tanah dangkal atau pasang surut air sungai dan laut, sedang gambut ombrogen terbentuk di atas gambut topogen atau daratan yang tergenangi atau terjenuhi air hujan (Diemont et al., 1992; Notohadiprawiro,1996; dalam Kurnain, 2005).

Tingkat kesuburan gambut beragam dipengaruhi oleh lingkungan fisiknya meliputi (1) ketebalannya yang berhubungan dengan ketinggian tempat, topografi, kematangannya;

(2) tata airnya yang berhubungan dengan tipe luapan, mintakat (zone) air tawar/payau, jeluk muka air tanah, reklamasi atau sistem tata air dan (3) penyusun substratum yaitu marine/pasir. Gambut tebal kesuburannya kurang dan umumnya berada dipuncak (kubah) gambut dan mentah /fibrik (Noor dan Sarwani, 2014). Karakteristik kimia lahan gambut tropis sangat ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut.

Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya <5% (Agus dan Subiksa, 2008). Secara alamiah tingkat kesuburan tanah gambut rendah karena kandungan unsur haranya rendah serta asam-asam organiknya tinggi yang sebagian bersifat racun.

Kandungan bahan organik tanah gambut tropis adalah >90% dengan kandungan N total tinggi, sehingga rasio C/N nya tinggi. Kandungan nitrogen tanah gambut tropis di beberapa darah di Indonesia berkisar 0.3 dan 2.1%, di Malaysia berkisar 0.9-1.7% dan di brunei berkisar 0.3-2.2%. Dari kisaran tersebut hanya <1% N-mineral yang tersediakan bagi tumbuhan karena nisbah C/N yang tinggi berkisar antara 25 sampai 50 (Dohong, 1999; Ahmad-Shah et al., 1992; Jali, 1999; dalam Kurnain, 2005). Hal ini didukung data hasil analisa tanah gambut tropis sebangau di Kalimantan Tengah bahwa kandungan C organik berkisar dari 55 sampai 57% dengan kandungan N total berkisar 1.3 sampai 1.6 dengan nisbah C/N berkisar 34.63 sampai 42.80 (Annisa, 2015). Salampak (1999) dan Sabiham (2001) melaporkan bahwa kandungan N tanah gambut oligotropik bervariasi menurut tingkat kematangan. Gambut yang lebih matang mempunyai kandungan N yang lebih tinggi. Nisbah C/N tanah mempengaruhi terhadap pola mineralisasi-immobilisasi nitrogen tanah. Rendahnya nisbah C/N bahan organik akan meningkatkan proses mineralisasi dalam tanah, namun konsep nisbah C/N yang mempengaruhi proses mineralisasi-immobilisasi tidak dapat diberlakukan umum pada kondisi lapangan, dikarenakan keragaman fraksi organik yang sulit dirombak oleh organisme tanah, sehingga kandungan lignin bahan organik cukup memiliki peranan terhadap kecepatan proses mineralisasi tanah, dimana semakin tinggi kandungan lignin bahan organik tersebut makin besar jumlah N bahan organik yang tidak dilepaskan (Handayanto et al. 1995).

(6)

Gambut di Indonesia memiliki kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan gambut yang berada di daerah berikim sedang karena terbentuk dari pohon- pohonan. Polak (1975) melaporkan bahwa gambut yang ada di Sumatera dan Kalimantan umumnya didominasi oleh bahan kayu-kayuan. Oleh karena itu komposisi bahan organiknya sebagian besar adalah lignin yang umumnya melebihi 60% dari bahan kering, sedangkan kandungan komponen lainnya seperti selulosa, hemiselulosa, dan protein umumnya tidak melebihi 11% (Tabel 1). Lignin yang mengalami proses degradasi dalam keadaan anaerob akan terurai menjadi senyawa humat dan asam-asam fenolat. Asam fenolat dan derivatnya bersifat racun yang menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat (Rachim, 1995).

Tanah Gambut di Indonesia tergolong ke dalam tingkat kesuburan oligotropik dengan kadar abu yang rendah <1%, contohnya tanah gambut dari Sebangau, Kalimantan Tengah memiliki tingkat kesuburan oligotropik dengan kadar abu sebesar 1.60%. Lebih tingginya kadar abu >1% menunjukkan bahwa tanah gambut di wilayah tersebut pernah mengalami kebakaran. Hal ini sejalan dengan yang dilaporkan Kurnain (2001) bahwa kadar abu dalam tanah gambut oligotropik umumnya <1%, kecuali pada tanah yang mengalami kebakaran memiliki kadar abu berkisar 2-4%.

Tabel 1. Komposisi gambut tropika

Komponen gambut larut dalam:

Asal gambut

Sumatera Kalimantan

% Bahan Kering Hemiselulosa

Selulosa Lignin Protein

1.95 10.61 63.99 4.41

1.95 3.61 73.67

3.85 Sumber : Polak (1975)

Lahan Gambut dan Emisi Karbon

Pengelolaan gambut mempunyai pengaruh yang besar terhadap keseimbangan karbon pada ekosistem gambut. Oksidasi gambut dapat terjadi bila ada penurunan muka air tanah yang akan mempercepat proses dekomposisi aerobik karena terdapatnya oksigen pada lapisan gambut. Dekomposisi gambut bersama respirasi akar tanaman berkontribusi terhadap emisi karbon. Kontribusi respirasi akar terhadap emisi CO2 sebesar 27 – 63 % (Berglund et al., 2011). Kuzyakov et al. (2010) mengatakan bahwa lima sumber emisi karbondioksida dari tanah yaitu: (1) proses respirasi dasar; (2) dekomposisi residu bahan organik segar oleh mikrobia, (3) respirasi mikrobia dari tanaman yang mati; (4) respirasi rhizomikrobia; (5) respirasi akar (autotropic respiration) yang dapat dikompensasi dengan penambatan CO2 melalui fotosintesis dan dari aktivitas bakteri metanogenesis yang

(7)

menghasilkan CH4. Besarnya emisi CO2 yang dilepaskan pada berbagai ekosistem tergantung pada faktor biotik abiotik.

Aktivitas alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian seperti pembuatan saluran drainase dapat menyebabkan penurunan muka air tanah dan subsiden. Perubahan penggunaan lahan juga menyebabkan terjadinya penurunan cadangan karbon akibat sebagian karbon yang terdapat dalam bahan gambut terbakar atau terdekomposisi. Kondisi muka air tanah yang dangkal menyebabkan lingkungan tanah menjadi anaerobik dan proses dekomposisi menurun, sebaliknya jika muka air tanah dalam akan meningkatkan kondisi aerobik dan proses dekomposisi meningkat. Menurut Jauhianen et al.tahun ? dalam Rieley et al. (2006) bahwa besarnya emisi karbon dari permukaan lahan gambut terdegradasi dan dari lahan pertanian gambut terlantar di Kalimantan Tengah pada empat tipe penggunaan lahan yaitu: (1) hutan gambut tidak terdrainase sebesar 38.9 t C)/ha/tahun; (2) hutan gambut yang terpengaruh drainase sebesar 40 t/ha/tahun; (3) hutan gambut sekunder bekas tebang pilih sebesar 34 t/ha/tahun; (4) lahan pertanian berdrainase tidak dikelola sebesar 19.3 t/ha/tahun. Salah satu pendekatan yang perlu dipertimbangkan adalah memperlambat terjadinya oksidasi pada tanah gambut dengan kehati-hatian dalam membuat saluran drainase. Woosten et al. (2006) mengatakan bahwa intervensi manusia di lahan gambut berdampak besar terhadap hidrologi gambut karena mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi lahan yang cepat, kecuali apabila pengelolaan air yang diimplementasikan tepat.

Emisi CO2 dari lahan gambut selain akibat percepatan proses dekomposisi bahan organik (heterotrophic respiration) juga disebabkan akibat terbakarnya lahan gambut (Dariah et al., 2011). Hal ini mengakibatkan berubahnya fungsi gambut yang awalnya sebagai penampung karbon (carbon sink) menjadi sumber karbon (carbon source) ke atmosfer. Kandungan karbon di lahan gambut tropis cukup besar berkisar dari 81.79-91.9 Gt C dan sangat rentan terhadap perubahan iklim maupun aktivitas manusia (Page et al., 2011). Domain et al. (2014) melaporkan bahwa beberapa lahan gambut di Kalimantan mengalami kehilangan karbon yang cukup besar karena meningkatnya intensitas Elnino dan perubahan tinggi muka air di akhir masa halosen.

Peristiwa Elnino dalam beberapa tahun terakhir berakibat pada terjadinya kebakaran yang parah dengan bertambahnya luasan lahan gambut. Dampak terbakarnya gambut terhadap keseimbangan karbon secara regional dan global adalah meningkatnya emisi karbon melalui pembakaran dan dekomposisi gambut secara oksidatif. Berdasarkan hasil beberapa penelitian bahwa besarnya Emisi karbon dari dekomposisi oksidatif di lahan gambut dapat dihitung dengan menggunakan kecepatan subsiden yang dikombinasi dengan data bulk density gambut serta kandungan karbonnya.

Fungsi gambut sebagai penyimpan karbon (carbon pool) terletak pada tiga komponen pokok yaitu: (1) biomassa, (2) bahan organik yang sudah mati dan (3) bahan

(8)

organik tanah. Cadangan karbon merupakan kandungan karbon tersimpan baik itu pada permukaan tanah maupun dalam tanah. Karbon di lahan gambut yang tersimpan di atas permukaan tanah berupa biomassa dan nekromass, sedangkan di bawah permukaan tanah tersimpan dalam akar tumbuhan yang diameternya kurang dari 2 mm, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan (a) meningkatkan pertumbuhan biomasa hutan secara alami, (b) menambah cadangan kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi pemanenan kayu, dan (c) mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh (Sedjo dan Salomon, 1988).

Dampak Reklamasi Lahan Terhadap Emisi Karbon

Lahan gambut memiliki peran hidrologis yang penting karena secara alami berfungsi sebagai cadangan (reservoir) air dengan kapasitas yang besar, sehingga dapat mengatur air pada musim hujan dan musim kemarau. Pendayagunaan lahan gambut selama ini belum berdasar atas zonasi satuan hidrologis. Mempertahankan kubah gambut sangat penting agar sumber air terpenuhi sepanjang tahun dan terhindar dari banjir dan kekeringan. Satuan hidrologis hendaknya menjadi dasar peruntukan lahan baik sebagai zona konservasi (kubah), zona penyangga maupun zona pemanfaatan. Llahan gambut yang dipengaruhi oleh aliran (pelimpasan) air sungai, pengaturan tata airnya mengikuti aliran air dan apabila aliran air tidak masuk pada musim kemarau maka pemanfaatan bloking kanal perlu diterapkan untuk menjaga muka air tanah. Sedangkan pada lahan gambut yang tidak dipengaruhi oleh aliran (pelimpasan) air sungai melalui sungai berkubah maka konservasi kubah secara proporsional harus diterapkan.

Dampak konversi hutan ini baru terasa apabila diikuti dengan degradasi tanah dan hilangnya vegetasi, serta berkurangnya proses fotosintesis akibat beralihnya fungsi lahan menjadi lahan pemukiman. Konversi ini mempengaruhi unit hidrologi hutan rawa gambut karena pada saat pohon ditebang, akan terjadi subsidensi sehingga tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak akan dapat lagi menyerap air. Subsidensi menyebabkan depresi permukaan gambut yang berpotensi menimbulkan genangan. Hasil penelitian enunjukkan bahwa besarnya emisi karbon dari lahan pertanian berdrainase yang tidak dikelola sebesar 19.28 t C/ha/tahun (Jauhiainen et al., 2004. dalam Agus dan Subiksa. 2008). Lebih tingginya emisi karbondioksida (CO2) dibandingkan emisi metana (CH4) dari lahan pertanian di lahan gambut karena rendahnya pasokan bahan organik segar yang siap terdekomposisi secara anaerob. Metana merupakan salah satu gas rumah kaca yang muncul pada kondisi tanah sulfat masam yang reduktif akibat penggenangan dan penambahan bahan organik. Bakteri metanogen sebagai penghasil CH4 hidup pada kondisi anaerob dengan potensial redoks <-200 mV (Minamikawa dan Sakai, 2006). Besarnya emisi CH4 dari lahan pertanian yang berdrainase tidak dikelola hanya 0.001 t/ha/tahun.

(9)

Pada saat tanah gambut yang didominasi oleh dahan, ranting, batang tersebut mengalami subsidensi ini menyebabkan bakteri pembusuk akan hidup di tanah gambut.

Setelah bakteri pembusuk bekerja mendekomposisi gambut yang terdiri dari dahan, ranting dan pohon mengakibatkan teremisinya CO2 didalam bagian pohon tersebut ke udara yang akan menciptakan green house effect. Lebih panjangnya musim kering serta muncul titik api merupakan dampak dari perubahan iklim global.

Kebakaran lahan gambut mempunyai ciri tersendiri berbeda dengan kebakaran di lahan mineral karena api tidak berada di atas permukaan yang pemadamannya relatif lebih mudah untuk dikelola tetapi api membakar bahan organik pembentuk gambut melalui pori pori gambut secara tidak menyala (smoldering) sehingga yang terlihat kepermukaan hanya kumpalan asap putih. Dengan karekteristik ini maka pemadaman api akan sangat sulit karena harus dilakukan dari dalam gambut itu sendiri dan dari atas karena penyebaran api di lahan gambut berada di bawah permukaan (ground fire) bisa secara horizontal dan vertikal ke atas. Kebakaran lahan gambut tidak hanya ditentukan oleh faktor iklim atau cuaca, tapi lebih pada multi-faktor yang berupa interaksi antar faktor iklim, kondisi biofisik lahan gambut, sejarah kebakaran, status kepemilikan, keberadaan konflik, budaya dan aturan yang mendukung (Maas, 2015). Maas (2016) mengatakan bahwa kebakaran hanya dapat dihindari apabila gambut cukup basah dan air harus tersimpan di tempat yang lebih tinggi sama fungsinya sebagai air irigasi dengan pembuatan bendungan atau dam, dalam hal ini adalah kubah gambut (peat dome).

PENUTUP

Pengelolaan lahan gambut harus sejalan dengan nilai lingkungan terkait dengan fungsi gambut sebagai penyimpan karbon (carbon pool) maupun tandon air (reservoir).

Pengelolaan muka air (water level) yang tepat menjadi penting untuk mempertahankan kualitas gambut melalui pengaturan kedalaman muka air gambut sesuai dengan kebutuhan perakaran. Cadangan dan siklus karbon akan berubah akibat kegiatan konversi hutan dengan besaran karbon yang hilang mencapai 13.101 t C ha-l tahun-1 atau setara 48.081 t CO2 ha-1 tahun-l.

DAFTAR PUSTAKA

Agus F, dan I. G M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF).

Dariah, A., Erni Susanti., F. Agus. 2011. Simanan Karbon dan Emisi CO2 Di Lahan Gambut. Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Penelitian Tanah. p. 56- 72

(10)

Berglund Ö, Berglund K. 2011. Influence of Water Table Level and Soil Properties on Emissions of Greenhouse Gases from Cultivated Peat Soil. Soil Biology &

Biochemistry. 43:923-931.

Hooijer A, S. Page, J.G. Canadell, M. Silvius, J. Kwadijk, H. Wosten and J. Jauhiainen.

2010. Current and future CO2 emissions from drained peatlands in Southeast Asia.

Biogeosciences, 7: 1505–1514. Doi: 10.5194/bg-7-1505-2010.

Hooijer, A.S. Page, P. Navratil, R. Vernimmen, M. Van der Vat, K. Tansey, K. Konecny, F. Siegert, U. Ballhorn and N. Mawdsley. 2014. Carbon emissions from drained and degraded peatland in Indonesia and emission factors for measurement, reporting and verification (MRV) of peatland greenhouse gas emissions-a summary of KFCP research results for practitioners. IAFCP, Jakarta, Indonesia.

Kementerian Lingkungan Hidup. 2012. Strategi Nasional. Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan di Indonesia. Deputi Bidang pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim. 50 halaman

Kurnain, A. 2005. Dampak Kegiatan Pertanian dan Kebakaran Pada Gambut Ombrogen.

Disertasi Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta

Maas, A. 2003. Peluang dan Konsekuensi Pemanfaatan Lahan Rawa Pada Masa Mendatang. Pidato pengukuhan Guru besar pada Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta. 19 Juli 2003

Maas, A. 2015 a. Pengelolaan Ekosistem Gambut Berkelanjutan. Disampaikan pada Seminar Nasional Peringatan Satu Tahun Tohor, Riau.

Maas, A. 2015 b. Jastifikasi Ilmiah Batasan untuk Verifikasi Batas Maksimal Tinggi Muka Air Gambut yang Ideal untuk Mendukung Kelestarian Ekologi. Makalah Workshop Pengelolaan Gambut Lestari Indonesia di Bogor, 9 Juli 2015.

Maas, A. 2015 c. Kebijakan dan Tata-Kelola Lahan Gambut Berbasis Satuan Hidrologis untuk Mencegah Kebakaran. Koran Jakarta, 25 September 2015

Maas, A. 2016. Pengelolaan Lahan Gambut Dalam Perspektif Antisipasi Bencana Kebakaran Lahan. Keynote Speaker dalam: SIGIM (Seminar Nasional Teknologi, Sains dan Multidisiplin). Universitas Nahdatul Ulama (UNU) Kalimantan Barat.

Pontianak, 20 Oktober 2016

Maltby, E. and CP Immirzi 1993. Carbon dynamic on peatlands and other wetlands soils regional and global perspective. Chemosphere 27(6): 999-1023.

Maswar., D. Haridjaja., A. Sabiham. m.Van Noordwijk. 2011. Kehilangan Karbon Pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan Gambut Tropika Yang Di Drainase. Jurnal tanah dan Iklim N0.34

Maswar dan F.Agus. 2014. Cadangan Karbon dan Laju Subsiden Pada Beberapa Cadangan karbon Dan Laju Subsiden Pada Beberapa Jenis Penggunaan Lahan dan Lokasi Lahan Gambut Tropika. Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Penelitian Tanah. Bab 25. p333-344

Mitsch. W.J & J.G. Gosselink. 2000. Wetlands. Edisi ke-3. John Wiley & Sons. Inc. New York. 920 halaman

(11)

Murdiyarso, D dan I.N.N. Suryadiputra. 2003. Paket Informasi Praktis: Climat Change Forest and Peatlands in Indonesia. Wetland International Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada. Bogor

Minamikawa, K., N. Sakai. 2006. The effect of water management based on soil redox potential on methane emission from two kinds of paddy soils in Japan. Agric.

Ecosyst. Environ. 107: 397-407.

Noor dan Muhrizal Sarwani. 2014. Pertanian di lahan Gambut: Masa Lalu, Kini dan Esok.

Climate change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International. P.

291-295

Page, S E., Siegert F, Rieley JO, Boehm HDV, Jaya A, Limin SH. 2002. The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. Nature.

420(202):61-65.

Polak, B. 1975. Charcter and occurrence of peat deposits in the Malaysian tropics. In G.J.

Barstra and W.A. Casparie (Eds). Modern Quaternary Research in Southeast Asia Balkema, Rotterdam

Rieley, J.O., A.A. Ahmad-shah & M.A. Brady. 1996. The extent and nature of tropical pat swamps. Dalam: E. Maltby, C.P. Immirzi & R.J. Safford (eds). Tropical Lowland Peatlands of Southeast Asia. Proceedings of a Workshop on Integrated Planning and Management of Tropical Lowland Peatlands. IUCN. Gland, Switzerland. Hal 17-53

Salampak. 1999. Peningkatan produktivitas Tanah Gambut yang Disawahkan dengan Pemberian Bahan Amelioran Tanah Mineral Berkadar Besi Tinggi. Disertasi Program Passca Sarjana, IPBWösten JHM, Ritzema HP. 2001. Land and Water Management Options for Peatland Developement in Sarawak, Malaysia.

International Peat Journal. 11(201):59-66.

Wösten JHM, Clymans E, Page SE, Rieley JO, Limin SH. 2008. Peat–water Interrelationships in A Tropical Peatland Ecosystem in Southeast Asia. Catena.

73:212–224.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Dampak Penggunaan Pestisida dan Pengelolaan Air terhadap Kualitas Lingkungan dan Emisi Karbon di Lahan Gambut yang

Hal ini berarti bahwa pada tanah gambut yang ditumbuhi semak belukar, cadangan karbon dengan referensi ketebalan 200 cm dipengaruhi oleh jarak dari saluran drainase,

Emisi karbon dioksida pada studi ini dinilai dapat digunakan dalam melakukan perhitungan emisi karbon pada suatu wilayah yang ditanamani kelapa sawit pada lahan

Luas hutan gambut yang ditebang setiap tahunnya dan luas lahan yang digunakan untuk berbagai sistem pertanian akan menentukan jumlah emisi tahunan dari lahan gambut.. Data

Pada lahan gambut yang dikategorikan masih belum terusik, langkah langkah konservasi dapat dilakukan, lahan gambut yang sudah direklamasi perlu direstorasi atau dimanfaatkan

(2011) menunjukkan bahwa cadangan karbon pada gambut mencapai 8 hingga 20 kali karbon pada vegetasi hutan. Kemampuan bentang lahan dalam membentuk tanah gambut merupakan

Telah dilakukan penelitian tentang cadangan karbon tanah gambut pada lahan yang telah direklamasi yang terdiri dari lahan perkebunan kelapa sawit dan lahan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui emisi karbon dioksida (CO2) pada lahan gambut yang dijadikan perkebunan kelapa sawit yang ditumpangsari dengan