• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Problematika Keputusan Tata Usaha Negara Yang Bersifat Fiktif Positif Setelah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "View of Problematika Keputusan Tata Usaha Negara Yang Bersifat Fiktif Positif Setelah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

532 DOI: https://doi org/10 21776/ub arenahukum 2023 01602 5 Indonesia

https://arenahukum.ub.ac.id/index.php/arena

PROBLEMATIKA KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA YANG BERSIFAT FIKTIF POSITIF SETELAH UNDANG-UNDANG

NOMOR 11 TAHUN 2020

Bagus Oktafian Abrianto, Xavier Nugraha, Julienna Hartono, Indah Permatasari Kosuma

Universitas Airlangga Jalan Airlangga No. 4-6 Surabaya

Email: [email protected]

Disubmit: 22-12-2021 | Direview: 15-07-2022 | Diterima: 14-12-2022 Abstract

This doctrinal research aims to analyze the development of legal consequences and legal protection related to the Government's omission on applications to state administrative officials.

Until the enactment of the Job Creation Act, there were 3 (three) different legal norms regarding the legal consequences of the Government's omission on applications to state administrative officials, namely fictitious rejection, in the State Administrative Court Law, fictitious approval followed up with applications, in the Government Administration Act, and fictitious approval without being followed up with an application, in the Job Creation Act. Based on the principle that the new law overrides the old law, the applicable legal consequences are as regulated in the Job Creation Act. Then, legal protection related to the Government's omission on applications to state administrative officials are the imposition of administrative sanctions, submitting applications for the determination of fictitious approval of state administrative decisions to the Administrative Court, filing claims based on government actions disputes, or submitting reports to the Ombudsman.

Key words: Fictitious approval; Fictitious rejection; State administrative decision

Abstrak

Penelitian hukum doktriner ini bertujuan untuk menganalisa perkembangan akibat hukum dan perlindungan hukum terkait sikap diam Pemerintah terhadap permohonan kepada pejabat tata usaha negara. Sampai diundangkannya Undang-Undang Cipta Kerja, terdapat 3 (tiga) norma hukum yang berbeda mengenai akibat hukum sikap diam Pemerintah terhadap permohonan kepada pejabat tata usaha negara, yaitu fiktif negatif, dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, fiktif positif ditindaklanjuti dengan permohonan, yang diatur dalam Undang- Undang Administrasi Pemerintahan, dan fiktif positif tanpa ditindaklanjuti dengan permohonan, yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Berdasarkan asas bahwa hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama, maka akibat hukum yang berlaku adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Kemudian perlindungan hukum terkait sikap diam Pemerintah terhadap permohonan kepada pejabat tata usaha negara antara lain: penjatuhan sanksi administrasi, pengajuan permohonan penetapan KTUN fiktif positif ke PTUN, pengajuan gugatan sengketa tindakan pemerintahan, atau pengajuan laporan ke Ombudsman.

Kata kunci: Fiktif negatif; Fiktif positif; KTUN

(2)

Pendahuluan

Kehadiran Peradilan Administrasi merupakan conditio sine quo non bagi pemenuhan status dan legitimasi negara hukum.1 P. de Haan merujuk pendapat van Donner menyatakan “Bestuur als functie—dat wil zeggen het besturen—is de uitoefening van bestuurstaak. In de worden van Donner; ‘de ambtelijke behartiging van openbare belangen door de openbare dienst’. Onder het (openbaar) bestuur als orgaan wonder al die organen uit de overheidsorganasatie samengevat die belast zijn met de uitoefening van de bestuurstaak.2 (Pemerintahan sebagai fungsi—yakni aktivitas memerintah—adalah melaksanakan tugas- tugas pemerintahan. Menurut istilah van Donner; ‘penyelenggaraan kepentingan umum oleh dinas publik’. Pemerintahan (umum) sebagai organ adalah kumpulan organ-organ dari organisasi pemerintahan yang dibebani dengan pelaksanaan tugas pemerintahan.) Dari ungkapan P. de Haan tersebut, dapat dipahami bahwa administrasi negara yang dilaksanakan oleh pemerintah sejatinya bertujuan untuk menyejahterakan masyarakatnya. Namun, ada kalanya dalam melaksanakan tindakan administrasi tersebut, pemerintah berbuat sewenang-wenang, sehingga sebagai bentuk perlindungan hukum preventif (in casu:

1 Enrico Simanjuntak, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara: Transformasi dan Refleksi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), hlm. 1.

2 P. de Haan, et.al, Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstaat deel 1, (Deventer: Kluwer, 1986), hlm. 6

3 Marzul Afiyanto et al., “Analisis Pengujian Keputusan Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) di Pengadilan Tata Usaha Negara: Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 79/Pk/

Tun/2013”, Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia, Vol.6, No.2, (2021): 1723.

4 Enrico Simanjuntak, Op.cit., hlm. 30.

5 Xavier Nugraha, Luisa Srihandayani, Kexia Goutama, “Analisis Skuter Listrik Sebagai Kendaraan Di Indonesia: Sebuah Tinjauan Hukum Normatif”, Simbur Cahaya Vol. 7, No.2, (2020): 131.

mencegah adanya kesewenang-wenangan pemerintah) dan perlindungan hukum represif (in casu: pasca adanya kesewenang-wenangan pemerintah bagi masyarakat), maka dibentuk pengadilan administrasi melalui pengadilan tata usaha negara.3 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa administrasi negara dan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) ini saling berkaitan, bagaikan sekeping uang logam dengan dua sisi. Sinergisitas antara administrasi negara dan PTUN ini, sejatinya juga diungkapan oleh Jean-Marc Sauvé, wakil President Conseil D’Etat tahun 2006-2018 bahwa:4 “…just as the tomahawak is made for war and the calumet for peace, administration is made for citizens and the court for litigants.

(sama seperti tomahawak dibuat untuk perang dan calumet untuk perdamaian, administrasi dibuat untuk warga negara dan pengadilan untuk pihak yang berperkara).

Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Indonesia pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Seiring dengan perkembangan kebutuhan hukum oleh masyarakat dan negara, sebagaimana adagium hukum klasik, yaitu het recht hink achter de feiten aan5, maka UU 5/1986 telah mengalami perubahan sebanyak dua kali yaitu UU 9/2004

(3)

sebagai perubahan pertama dan UU 51/2009 sebagai perubahan kedua tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN). Adapun kompetensi absolut dari PTUN ini berdasarkan Pasal 47 jo. Pasal 1 angka 10 UU PTUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan ketentuan Pasal 47 jo. Pasal 1 angka 10 UU PTUN tersebut, dapat dipahami bahwa salah satu kompetensi absolut dari PTUN adalah terkait dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).

Apabila dimaknai secara an sicht, maka seolah- olah pemerintah bertindak aktif (commission) untuk mengeluarkan KTUN itu. Namun, ternyata terdapat KTUN yang dikeluarkan karena pemerintah tidak melakukan apa-apa atau bersifat pasif (omission). Adapun KTUN yang dikeluarkan karena pemerintah bersifat pasif ini dapat dilihat di dalam Pasal 3 ayat (1) UU PTUN, yang mengatur bahwa: “(1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara” Dari ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa tidak adanya tanggapan dari pejabat tata usaha negara atas permohonan yang diajukan oleh masyarakat

6 Enrico Simanjuntak, “Perkara Fiktif Positif dan Permasalahan Hukumnya”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol.6, (2017): 383.

dikualifikasikan sebagai KTUN, sehingga merupakan kompetensi absolut dari PTUN.

Di dalam Pasal 3 ayat (2) UU PTUN diatur bahwa: “Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.”

Tidak adanya respon dari pejabat tata usaha negara terhadap permohonan masyarakat yang berakibat permohonan tersebut dianggap ditolak ini, dikenal juga dengan fiktif negatif.6 KTUN fiktif negatif yang notabene merupakan konsekuensi yuridis dari tidak adanya tanggapan oleh pejabat tata usaha negara terkait permohonan yang diajukan oleh masyarakat tersebut tentunya juga merupakan kompetensi absolut dari PTUN.

Beberapa contoh gugatan yang diajukan oleh masyarakat terkait dengan adanya KTUN fiktif negatif, yaitu:

1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 531K/

TUN/2014 atas nama Hj. Uti Raguwati, Ir. Feni Utari, Ir. Arya Achmad Bharata melawan Walikota Singkawang.

2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 404K/

TUN/2015 atas nama Wahyudi Slamet, Sri Wahyuni, Triwahyu Hariati, Endah Wahyuningsih, Eko Hariadi Waluyo Jati, Wahyu Arie Sumadijo, S.E., Wahyu Widhijono, Wahyu Arie Sumadijo, S.E.,

(4)

Wahyu Adi Wicaksono, dan Wahyuning Anijati melawan Lurah Kedungdoro Kecamatan Tegalsari Kota Surabaya dan Mulyatiningsih.

Seiring dengan berjalannya waktu, dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menggunakan wewenangnya dengan harapan dan tujuan menciptakan pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat (citizen friendly), maka dibentuk Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP). Melalui UUAP, terjadi perubahan politik hukum administrasi menjadi citizen friendly. Hal demikian dapat dilihat di dalam penjelasan umum UUAP, bahwa:

“Begitu luasnya cakupan tugas Administrasi Pemerintahan sehingga diperlukan peraturan yang dapat mengarahkan penyelenggaraan Pemerintahan menjadi lebih sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat (citizen friendly), guna memberikan landasan dan pedoman bagi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menjalankan tugas penyelenggaraan pemerintahan.” Penjelasan umum tersebut hendak menyampaikan pesan tentang adanya reformasi birokrasi, dari yang semula lebih menonjolkan faktor otoritas, menjadi menonjolkan faktor pelayanan yang ramah berdasarkan asas “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”7

7 Harun, Nuria Siswi Enggrani, Galang Taufani, Hukum Administrasi Negara di Era Citizen Friendly, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2018), hlm. 13.

8 Ni Komang Ayu Artini et al., “Penyelesaian Permohonan Fiktif Positif untuk Mendapatkan Keputusan di Pengadilan Tata Usaha Negara”, Jurnal Analogi Hukum Vol.1, No.2, (2019): 267.

Adapun salah satu manifestasi dari perubahan politik hukum administrasi di Indonesia menjadi citizen friendly ini, dapat dilihat di dalam Pasal 53 ayat (3) UUAP yang mengatur bahwa:” Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.” Dari Pasal 53 ayat (3) UUAP dapat dipahami bahwa yang dulunya “diam berarti menolak”, maka berubah menjadi “diam berarti setuju” atau bisa disebut juga fiktif positif.

Terkait KTUN fiktif positif di dalam UUAP ini, meskipun maknanya “diam berarti setuju”, namun bukan berarti serta merta KTUN tersebut dianggap berlaku. Berdasarkan Pasal 53 ayat (4) UUAP, pemohon yang permohonannya telah dianggap dikabulkan (KTUN fiktif positif) harus mengajukan permohonan ke PTUN guna memperoleh putusan yang memerintahkan pejabat TUN yang bersangkutan untuk menerbitkan Keputusan dan/atau Tindakan yang diminta.8 Prosedur hukum acara mengenai permohonan fiktif positif secara detail, diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan (PERMA 8/2017). Dengan demikian, secara interpretasi

(5)

a contrario, dapat dipahami bahwa apabila permohonan yang dianggap dikabulkan tersebut tidak diajukan permohonan ke PTUN, maka permohonan tersebut dapat dikatakan belum dikabulkan.

Dalam perkembangannya, untuk meningkatkan ease of doing business dan meningkatkan iklim investasi di Indonesia, legislator membentuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) yang mengubah berbagai peraturan perundang-undangan yang ada9, karena karakteristiknya yang merupakan omnibus law. Adapun salah satu undang-undang yang diubah adalah UUAP. Salah satu substansi dari UUAP yang diubah melalui Pasal 175 angka 6 UUCK adalah Pasal 53 UUAP, yaitu:

(1) Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/

atau Tindakan diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

(2) Jika ketentuan peraturan perundang- undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan.

(3) Dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan

9 Hari Agus Santoso, “Efektifitas Undang-Undang Cipta Kerja Terhadap Peningkatan Investasi”, Jurnal Hukum Positum Vol.6, No.2, (2021): 254.

dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan Keputusan dan/atau Tindakan sebagai Keputusan atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.

(4) Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)’, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/

atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.

Berdasarkan ketentuan Pasal 175 angka 6 UUCK tersebut, dapat dipahami bahwa terdapat perubahan prosedur penerbitan KTUN fiktif positif sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UUAP. Jika sebelumnya, terhadap KTUN fiktif positif yang tidak ditindaklanjuti secara sukarela oleh pejabat, masyarakat dapat mengajukan permohonan ke PTUN agar PTUN memerintahkan si pejabat menerbitkan keputusan yang dimohonkan; sementara sesudah diundangkannya UUCK, si pejabat wajib secara langsung menerbitkan KTUN fiktif positif yang dimohonkan tersebut tanpa perlu menunggu Putusan PTUN. Prosedur penerbitan dan bentuk KTUN fiktif positif oleh pejabat pemerintahan pasca UUAP tersebut akan diatur dalam Peraturan Presiden.

Seharusnya berdasarkan Pasal 185 UUCK

(6)

peraturan pelaksana dari UUCK, termasuk Peraturan Presiden yang mengatur mekanisme penetapan KTUN atau tindakan yang fiktif positif, wajib ditetapkan tiga bulan sejak UUCK diundangkan. UUCK diundangkan pada tanggal 2 November 2020 sehingga peraturan pelaksananya harus dibuat paling lambat tiga bulan setelahnya yakni tanggal 2 Februari 2021. Namun sampai tulisan ini dibuat, aturan pelaksana tersebut belum diundangkan. Terlebih pada 23 November 2021 telah ada putusan Mahkaman Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 mengenai Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mana dalam amar putusan angka 7 menyebutkan “Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja”. Putusan ini menegaskan bahwa aturan turunan dari UUCK untuk setidaknya 2 (dua) tahun ke depan tidak akan ada atau ditangguhkan yang menyebabkan terjadinya kekosongan aturan.

Belum adanya pengaturan atau masih kosongnya aturan (leemten het recht) sejatinya menimbulkan berbagai problematika, misal terkait akibat hukum terhadap pejabat dan upaya hukum bagi pemohon ketika pejabat

10 Fadjar Ramdhani Setyawan, Sudarsono, Yuliati, “Teori Ajaran Cita Hukum (Idee Das Recht) Di Dalam Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Di Indonesia”, Jurnal Hukum dan Syariah De Jure Vol.13, No.1, (2021): 127.

tidak menetapkan KTUN dan/atau melakukan tindakan dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja, serta mekanisme penerbitan KTUN fiktif positif pasca UUCK.

Adanya berbagai masalah ini menimbulkan problematika hukum yang menurut penulis bertentangan ajaran cita hukum (idee des recht).10 Hukum yang ada harusnya mampu menciptakan secara proporsional, antara kepastian hukum (rechtssicherkeit), keadilan (gerechtigkeit), dan kemanfaatan (zweckmäßigkeit) jadi tidak dapat terwujud dengan adanya kekosongan hukum terkait Peraturan Presiden mengenai fiktif positif ini.

Dengan latar belakang tersebut, maka artikel ini akan menganalisis perkembangan akibat hukum dan problematika terkait sikap diam (omission) pemerintah terhadap permohonan KTUN.

Adapun rumusan masalah di dalam artikel ini adalah pertama bagaimana perkembangan akibat hukum sikap diam (omission) pemerintah terhadap permohonan kepada pejabat tata usaha negara? Kedua bagaimana perlindungan hukum terkait sikap diam (omission) pemerintah terhadap permohonan kepada pejabat tata usaha negara.

Adapun tujuan dari artikel ini adalah pertama menganalisis perkembangan akibat hukum sikap diam (omission) pemerintah terhadap permohonan kepada pejabat tata usaha negara dan kedua menganalisis perlindungan hukum terkait sikap diam (omission) pemerintah

(7)

terhadap permohonan kepada pejabat tata usaha negara.

Untuk memastikan adanya kebaruan (novelty), maka akan diuraikan beberapa artikel yang serupa dengan artikel ini dan diuraikan perbedaannya.

1. Artikel dari Azza Azka Norra dengan judul:

“Pertentangan Norma Fiktif Negatif Dan Fiktif Positif Serta Kontekstualisasinya Menurut Undangundang Administrasi Pemerintahan”, yang diterbitkan di Jurnal Hukum Peratun, Vol. 3, No. 2, 2020. Pada artikel tersebut fokus pembahasannya adalah implementasi keputusan fiktif negatif dan keputusan fiktif positif setelah berlakunya UUAP, sementara di dalam artikel ini fokus pembahasannya setelah berlakunya UUCK.

2. Artikel dari Mailinda Eka Yuniza dan Melodia Puji Inggarwati yang berjudul:

“Peluang dan Tantangan Penerapan Keputusan Fiktif Positif Setelah Undang- Undang Cipta Kerja Diundangkan” yang diterbitkan di Jurnal de Jure, Vol. 13, No. 2, 2021. Pada artikel tersebut fokus pembahasannya memang menganalisis terkait fiktif positif setelah berlakunya UUCK, namun di dalam artikel tersebut hanya menguraikan secara deskriptif di dalam UUCK dan solusi yang disarankan adalah dengan membentuk lembaga lain untuk menggantikan peran PTUN dalam memutuskan berlakunya suatu keputusan fiktif positif pada konstruksi ius constituendum, sementara

di dalam artikel ini terdapat beberapa perbedaan: 1) di dalam artikel initidak hanya menguraikan pengaturan secara deskriptif di dalam UUCK, namun juga aturan yang berkaitan, seperti Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2021; 2) di dalam artikel diuraikan beberapa putusan hakim dan pertimbangannya dalam menyikapi adanya permohonan fiktif positif ; dan 3) di dalam artikel ini diuraikan upaya hukum yang dapat dilakukan ketika permohonan fiktif positif tersebut tidak dihiraukan oleh pemerintah.

Pembahasan

A. Perkembangan Akibat Hukum Sikap Diam (Omission) Pemerintah Terhadap Permohonan Kepada Pejabat Tata Usaha Negara

1. Akibat hukum sikap diam (omission) pemerintah terhadap permohonan KTUN kepada pejabat tata usaha negara dalam UU PTUN

Kompetensi absolut dari PTUN adalah memeriksa sengketa yang timbul sebagai akibat diterbitkannya KTUN. Unsur-unsur KTUN yang terkandung dalam Pasal 1 angka 9 UU PTUN adalah sebagai berikut:

a. Penetapan tertulis

b. Oleh badan atau pejabat tata usaha negara c. Tindakan hukum tata usaha negara d. Konkrit, individual

e. Final

(8)

f. Akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Dalam perkembangannya, definisi KTUN diperluas dengan diberlakukannya UUAP.11 Ketentuan Pasal 87 UUAP telah memperluas definisi dari KTUN, tidak hanya dimaknai sebagai unsur-unsur KTUN dalam Pasal 1 angka 9 UU PTUN tersebut di atas, namun harus dimaknai sebagai:12

a. Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual.13

b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya

c. Berdasarkan ketentuan perundang- undangan dan AUPB

d. Bersifat final dalam arti lebih luas14

e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum

f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.

Selain perluasan, terdapat pula beberapa KTUN yang dikecualikan dari kompetensi absolut PTUN (vide. Pasal 2 jo. Pasal 49 UU PTUN):

a. KTUN yang merupakan perbuatan

11 Vincent Suriadinata, “Asas Presumptio Iustae Causa Dalam KTUN: Penundaan Pelaksanaan KTUN oleh Hakim Peradilan Umum”, Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 2, (April 2018): 141.

12 Bagus Oktafian Abrianto et al., “Perkembangan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum oleh Pemerintah Pasca Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014”, Jurnal Negara Hukum Vol.11, No.1, (Juni 2020):55.

13 Tindakan faktual merupakan tindakan pemerintah yang ditujukan untuk tidak menimbulkan suatu akibat hukum.

14 Dalam penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan “final dalam arti luas” adalah mencakup keputusan yang diambil oleh Atasan Pejabat yang berwenang.

15 Azza Azka Norra, “Pertentangan Norma Fiktif Negatif dan Fiktif Positif Serta Kontekstualisasinya Menurut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan”, Jurnal Hukum Peratun Vol.3, No.2, (Agustus 2020): 144.

16 Dola Riza, “Hakikat KTUN Menurut Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara Vs Undang-Undang Administrasi Pemerintahan”, Soumatera Law Review, Vol. 2, No. 2, (November 2019): 216.

hukum perdata

b. KTUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum

c. KTUN yang masih memerlukan persetujuan

d. KTUN yang bersifat hukum pidana e. KTUN yang dikeluarkan atas dasar hasil

pemeriksaan badan peradilan.

f. KTUN mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia

g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.

h. KTUN yang dikeluarkan dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, keadaan luar biasa yang membahayakan, atau keadaan mendesak untuk kepentingan umum.

Apabila pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan yang merupakan kewajibannya (sikap diam), maka hal tersebut juga termasuk KTUN (vide. Pasal 3 ayat (1) UU PTUN).

Akibat hukum sikap diam (omission) terhadap permohonan KTUN diatur pada Pasal 3 ayat (2) UU PTUN, yaitu permohonan tersebut dianggap ditolak.15 Pasal tersebut mengandung konsep fiktif negatif.16 Kata

(9)

“fiktif” menunjukkan bahwa objek KTUN sebenarnya tidak berwujud.17Kemudian istilah

“negatif” menunjukkan bahwa permohonan KTUN dianggap ditolak.18

Beberapa contoh gugatan yang diajukan oleh masyarakat terkait dengan adanya KTUN fiktif negatif, yaitu:

1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 531K/

TUN/2014 atas nama Hj. Uti Raguwati, Ir. Feni Utari, Ir. Arya Achmad Bharata melawan Walikota Singkawang.

Objek sengketa dalam gugatan ini adalah keputusan fiktif negatif berupa sikap diam Walikota Singkawang terhadap surat permohonan perbaikan kesalahan prinsip dalam Surat Perjanjian Kesepakatan Bersama (SPKB) Nomor 600/367/PU-MB/B Nomor 01/

KTGL/IX/2005 antara H. Koestarto dengan Ir.

Suib Abdul Hamid selaku Pejabat Tata Usaha Negara. Hakim pemeriksa perkara menolak permohonan kasasi karena objek yang disengketakan berupa KTUN fiktif negatif tersebut, dikeluarkan dalam rangka perbuatan hukum perdata, yang tidak termasuk KTUN, (vide. Pasal 2 huruf a UU PTUN) sehingga bukan merupakan kompetensi PTUN untuk memeriksanya.

2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 404K/

TUN/2015 atas nama Wahyudi Slamet, Sri Wahyuni, Triwahyu Hariati, Endah Wahyuningsih, Eko Hariadi Waluyo Jati, Wahyu Arie Sumadijo, S.E., Wahyu Widhijono, Wahyu Arie Sumadijo, S.E.,

17 Budiamin Rodding, “Keputusan Fiktif Negatif Dan Fiktif Positif Dalam Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik”, Tanjungpura Law Journal, Vol. 1, (Januari 2017): 30.

18 Ibid.

Wahyu Adi Wicaksono, dan Wahyuning Anijati melawan Lurah Kedungdoro Kecamatan Tegalsari Kota Surabaya dan Mulyatiningsih.

Objek sengketa dalam gugatan ini adalah keputusan fiktif negatif berupa sikap diam Lurah Kedungdoro Kecamatan Tegalsari Kota Surabaya terhadap Surat Permohonan Penandatanganan Pengukuran Tanda Batas Tanah yang dikirim pada tanggal 17 Juni 2013 dan telah diterima oleh Staf Lurah yang bersangkutan pada tanggal 19 Juni 2013.

Hakim menolak permohonan kasasi karena tindakan Lurah tersebut sudah tepat. Lurah Kedungdoro menolak Surat Permohonan Penandatanganan Pengukuran Tanda Batas Tanah karena objek tanah yang bersangkutan tumpang tindih dengan hak subjek hukum lain.

2. Akibat hukum sikap diam (omission) pemerintah terhadap permohonan KTUN kepada pejabat tata usaha negara dalam UUAP

Dalam rangka peningkatan kualitas penyelenggara pemerintahan, maka dibentuklah UUAP. Dengan diberlakukannya UUAP ini diharapkan terjadi perubahan yang mendasar tentang administrasi pemerintahan, yang semula cenderung lebih dominan faktor otoritas formal dari sebuah kekuasaan, berubah ke arah administrasi pemerintahan yang ramah dengan berdasarkan pada kemampuan memenuhi harapan dan kebutuhan masyarakat

(10)

(citizen friendly).19

Salah satu wujud citizen friendly dalam hukum administrasi di Indonesia dapat dilihat dalam Pasal 53 ayat (3) UUAP yang menyatakan bahwa apabila dalam batas waktu sebagaimana diatur pada ayat (2), Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan.

Dalam hal ini dapat dimaknai bahwa yang dulunya “diam berarti menolak” atau disebut juga fiktif negatif, berubah menjadi “diam berarti setuju” atau disebut juga fiktif positif.20

Perubahan fiktif negatif menjadi fiktif positif ini ditujukan untuk mengoptimalkan basis pelayanan masyarakat dan pelaksanaan pemerintah berdasarkan AUPB. Ratio legis dari perubahan fiktif negatif menjadi fiktif positif yaitu bahwa tindakan pengabaian dari pemerintah merupakan kesalahan dari pemerintah itu sendiri, sehingga tidak boleh merugikan masyarakat. Oleh karena itu, sikap diam pemerintah justru membawa akibat hukum diterimanya permohonan yang diajukan oleh masyarakat. Begitu besarnya pengaruh dari perubahan fiktif negatif menjadi fiktif positif ini, bahkan oleh Enrico Simanjuntak menyebutkan fiktif positif ini membawa ledakan besar (big bang) dalam

19 Ibid.

20 Ahmad, “Konsep Fiktif Positif: Penerapannya di Pengadilan Tata Usaha Negara”, Jurnal Hukum Replik Vol.5, No.2, (September 2017):148.

21 Simanjuntak, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara: Transformasi dan Refleksi Op.cit., hlm. 144.

22 Erlin Triartha Yuliani, “Perbandingan antara Konsep Fiktif Negatif dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dengan Fiktif Positif dalam Undang-Undang No 30 Tahun 2004 tentang Administrasi Pemerintaan dan Permasalahannya”, University of Bengkulu Law Journal Vol.5, No.1, (April 2020):8.

23 Aldwin Rahardian Megantara, Catatan Kritis Omnibus Law UU Cipta Kerja dalam Sudut Pandang Hukum Administrasi Pemerintahan, (Yogyakarta: Deepublish, 202), hlm.84.

konfigurasi hukum acara PTUN.21

Berdasarkan pemaparan diatas, ternyata tampak, bahwa saat ini terdapat antinomi norma, dimana ada dua undang-undang, yang objek aturan hukumnya sama, tapi dengan pengaturan yang berbeda; yaitu mengenai akibat hukum sikap diam pejabat TUN terhadap permohonan KTUN/tindakan pemerintahan. UU PTUN mengatur akibat hukumnya berupa fiktif negatif, sedangkan UUAP mengatur akibat hukumnya berupa fiktif positif.22

Solusi antinomi norma adalah dengan menggunakan asas preferensi. Asas preferensi yang digunakan adalah lex posterior derogat legi priori, yang berarti hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama.23 Hal yang sama telah ditegaskan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (SEMA 1/2017), dimana huruf e angka 4 dari SEMA tersebut mengatur bahwa berdasarkan asas preferensi, yang berlaku adalah ketentuan Pasal 53 UUAP sebagaimana diubah dengan UUCK, yang menganut fiktif positif, sedangkan ketentuan Pasal 3 UU PTUN, yang menganut fiktif negatif, harus

(11)

dianggap tidak dapat diberlakukan karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

KTUN fiktif positif tidak serta merta berlaku, akan tetapi terlebih dahulu mengajukan permohonan ke PTUN.24 Berdasarkan Pasal 53 ayat (4) UUAP, Permohonan KTUN atau tindakan pemerintahan yang fiktif positif masih membutuhkan tindak lanjut berupa pengajuan permohonan ke PTUN agar mendapat putusan yang memerintahkan pejabat untuk menerbitkan keputusan dan/

atau tindakan yang diminta.

Mekanisme permohonan penerbitan KTUN fiktif positif diatur dalam PERMA 8/2017. Pasal 1 angka 1 PERMA 8/2017 mengatur bahwa pihak yang berkepentingan wajib mengajukan permohonan guna mendapatkan KTUN dan/atau tindakan yang permohonannya dianggap dikabulkan karena lewat waktu. Mekanisme permohonan KTUN fiktif positif adalah sebagai berikut:

a. Pengajuan permohonan (Pasal 2-4 PERMA 8/2017)

- Tenggat waktu mengajukan permohonan adalah 90 hari kalender sejak batas waktu pejabat TUN menetapkan KTUN atau melakukan tindakan sesuai peraturan perundang- undangan.

- Permohonan diajukan ke PTUN yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan termohon.

b. Panitera memeriksa kelengkapan

24 Yodi Martono Wahyunadi, “Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Konteks Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 5, No. 1, (Maret 2016): 144.

administrasi dan alat bukti (Pasal 4 PERMA 8/2017)

c. Panitera mencatat dalam buku register perkara dan menyampaikan berkas perkara ke Ketua Pengadilan (Pasal 7-8 PERMA 8/2017)

d. Ketua Pengadilan menetapkan majelis dan jadwal sidang (Pasal 8 PERMA 8/2017)

e. Pemanggilan para pihak (Pasal 9 PERMA 8/2017)

f. Majelis memeriksa permohonan (Pasal 8-11 PERMA 8/2017)

- Majelis memeriksa permohonan dengan tahapan:1) pemeriksaan pokok permohonan, 2) pemeriksaan tanggapan, 3) pemeriksaan bukti - Majelis wajib memutus permohonan

paling lama 21 hari sejak permohonan didaftarkan

- Amar putusan

● Permohonan tidak dapat diterima jika tidak memenuhi syarat formal

● Mengabulkan permohonan dan mewajibkan pejabat TUN untuk menetapkan KTUN atau melakukan tindakan

● Menolak permohonan jika alasan permohonan tidak beralasan hukum

● Menyatakan permohonan gugur jika pemohon tidak hadir 2x berturut dalam sidang pertama

(12)

dan kedua tanpa alasan yang sah atau pemohon tidak serius

- Putusan pengadilan atas penerimaan permohonan untuk mendapat KTUN atau tindakan pemerintah bersifat final dan mengikat

Sejak diundangkannya UUCK, terdapat perubahan dalam mekanisme perolehan KTUN fiktif positif. UUCK menghapus norma kewajiban mengajukan permohonan guna memperoleh KTUN atau tindakan yang fiktif positif. Dengan demikian, secara a contrario, bahwa pemohon tidak perlu mengajukan permohonan guna memperoleh KTUN yang dikabulkan karena lewat waktu, namun pejabat TUN yang bersangkutan wajib langsung menerbitkan KTUN tersebut.25

UUCK mengatur bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum akan diatur dalam Peraturan Presiden (vide. Pasal 175 angka 6 UUCK).

Sayangnya sampai tulisan ini dibuat, dimana hampir setahun sejak diundangkannya UUCK, peraturan presiden ini belum juga diundangkan.

Berdasarkan argumen diatas, maka terdapat 3 (tiga) norma hukum yang berbeda mengenai permohonan KTUN yang lewat waktu: 1) fiktif negatif, sebagaimana diatur dalam UU PTUN, 2) fiktif positif yang ditindaklanjuti

25 Sudarsono dan Rabbenstain Izroel, “Perihal Keputusan Fiktif (Yang Belum) Positif”, https://www.

hukumonline.com/berita/baca/lt611c8f5460c2a/perihal-keputusan-fiktif-yang-belum-positif/?page=4, diakses pada tanggal 13 Oktober 2021.

26 Dian Utami Mas Bakar dan Audyna Mayasari Muin, “Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Berdasarkan Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan”, The Juris, Vol. 2, No. 2, (Desember 2018): 123.

27 Desy Wulandari, “Pengujian Keputusan Fiktif Positif di Pengadilan Tata Usaha Negara”, Lex Renaissance,

dengan permohonan, sebagaimana diatur dalam UUAP, dan 3) fiktif positif tanpa perlu ditindaklanjuti dengan permohonan, sebagaimana diatur dalam UUCK. Adapun perkembangan akibat hukum tersebut dapat digambarkan dengan diagram berikut:

Gambar 1. Diagram Perkembangan Permohonan KTUN

sekarang 1986

2014

2020

UUAP FIKTIF POSITIF DENGAN PERMOHONAN

UUCK FIKTIF POSITIF TANPA

PERMOHONAN UU PTUN FIKTIF NEGATIF

B. Perlindungan Hukum Terkait Sikap Diam (Omission) Pemerintah Terhadap Permohonan Kepada Pejabat Tata Usaha Negara

KTUN merupakan wujud tindakan hukum pemerintahan.26 Untuk melakukan tindakan hukum tersebut, pejabat pemerintah wajib memiliki dasar wewenang yang dijadikan tolok ukur dari keabsahan suatu tindakan pemerintah.27 Dengan kata lain dalam

(13)

sebuah jabatan melekat wewenang yang wajib digunakan dalam rangka pelayanan masyarakat. Namun ada kalanya wewenang tersebut tidak digunakan sebagaimana mestinya. Hal itu disebut tindakan penyalahgunaan kewenangan.

Tindakan penyalahgunaan kewenangan merupakan pelanggaran terhadap AUPB yang diatur dalam Pasal 10 huruf (e) UU AP.

Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa:

Yang dimaksud dengan “asas tidak menyalahgunakan kewenangan”

adalah asas yang mewajibkan setiap Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau tidak mencampuradukkan kewenangan.

Dari definisi di atas, maka secara a contrario, penyalahgunaan kewenangan adalah tindakan pejabat pemerintahan yang menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau orang lain, tidak sesuai dengan tujuan pemberian kewenangan, menyalahgunakan dan/atau mencampuradukkan kewenangan.

Selain terkait adanya penyalahgunaan wewenang, hal baru yang harus diperhatikan oleh pejabat pemerintahan terkait KTUN yang ada setelah lahirnya UU AP adalah ketika terdapat pengabaian pejabat pemerintahan terhadap permohonan KTUN warga

Vol. 5, No. 1, (Januari 2020): 39.

28 Devi Yulida, Kartika Widya Utama, dan Xavier Nugraha, “Verifikasi Manual Manifestasi Asas Kecermatan Sebagai Batu Uji Terhadap Keputuan Tata Usaha Negara”, USM Law Review, Vol. 5, No. 1, (Mei 2022): 38.

masyarakat. Hal ini adalah konsekuensi yuridis dari adanya paradigma baru pemerintahan setelah adanya UU AP yaitu paradigma citizen friendly.28 Paradigma ini bermakna bahwa pemerintah harus secara aktif memberikan pelayanan kepada masyrakat yang notabene salah satu manifestasinya adalah segera memberikan respon terhadap permohonan KTUN yang diajukan. Dengan demikian, ketika KTUN yang diajukan tersebut “tidak dihiraukan” oleh pejabat pemerintah, maka hal ini dianggap bertentangan dengan paradigma citizen friendly tersebut.

Agar pejabat pemerintah tidak mengabaikan permohonan KTUN, maka dibuatlah mekanisme perlindungan hukum bagi. Oleh karena itu, undang-undang memberi perlindungan hukum berupa fiktif positif terhadap permohonan KTUN yang tidak diterbitkan sampai melewati jangka waktu.

Namun terkait fiktif positif setelah UUCK, terdapat beberapa problematika, antara lain:

a. Akibat hukum terhadap pejabat pemerintahan yang tidak menerbitkan KTUN/tindakan pemerintahan yang fiktif positif

b. Upaya hukum yang dapat dilakukan masyarakat agar dapat memperoleh KTUN/tindakan pemerintahan yang fiktif positif

c. Konstruksi hukum mekanisme perolehan KTUN/tindakan pemerintahan yang fiktif positif dalam Peraturan Presiden

(14)

Permasalahan KTUN fiktif positif perlu di cari solusinya agar tercipta perlindungan hukum yang kokoh untuk masyarakat terhadap tindakan pengabaian oleh pejabat. Terhadap tiga masalah di atas, akan di uraikan masing- masing solusinya:

1. Akibat hukum terhadap pejabat pemerintahan yang tidak menerbitkan KTUN/tindakan pemerintahan yang fiktif positif

R. Soeroso memberi definisi akibat hukum sebagai hasil dari suatu perbuatan hukum.

Adapun perbuatan hukum adalah perbuatan subjek hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban.29 Perbuatan hukum yang dimaksud adalah perbuatan pejabat pemerintahan yang tidak menerbitkan KTUN/tindakan pemerintahan yang fiktif positif.

Akibat hukum terhadap pejabat pemerintahan yang tidak menerbitkan KTUN fiktif positif diatur dalam Pasal 80 ayat (2) UUAP, dimana jika pejabat pemerintah melanggar pasal 53 ayat (2) dan/atau 53 ayat (6) UUAP akan dikenai sanksi administrasi sedang. Sanksi administrasi sedang antara lain:

a. pembayaran uang paksa dan/atau ganti rugi;

b. pemberhentian sementara dengan memperoleh hak-hak jabatan; atau

c. pemberhentian sementara tanpa

29 Sovia Hassanah, “Arti Perbuatan Hukum, Bukan Perbuatan Hukum, dan Akibat Hukum, https://www.

hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5ceb4f8ac3137/arti-perbuatan- hukum--bukan-perbuatan-hukum- dan-akibat-hukum/, diakses pada tanggal 7 Desember 2020 dikutip dari R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm.291.

memperoleh hak-hak jabatan, (vide. Pasal 81 ayat (2) UUAP)

Namun UUCK menghapus ketentuan Pasal 53 ayat (6) UUAP sehingga sanksi adminsitrasi sedang sebagaimana disebutkan di atas, hanya dapat dijatuhkan terhadap pejabat pemerintahan yang tidak menetapkan KTUN dan/atau melakukan tindakan dalam waktu 5 (lima) hari setelah permohonan diterima secara lengkap, atau dalam batas waktu yang ditentukan peraturan perundang- undangan terkait.

Tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pejabat Pemerintahan (PP Sanksi Admin). Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) PP Sanksi Admin, laporan mengenai tindakan pejabat yang tidak menetapkan KTUN dan/atau melakukan tindakan pemerintahan sampai batas waktu diajukan kepada atasan pejabat. Kemudian terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan internal oleh aparat pengawasan intern pemerintah (vide.

Pasal 24 PP Sanksi Admin). Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) jo. Pasal 39 (1) PP Sanksi Admin, hasil pemeriksaan tersebut dijadikan pertimbangan bagi atasan pejabat dalam mengenakan sanksi administratif. Dengan diaturnya sanksi administratif, diharapkan pejabat negara lebih bertanggungjawab dalam melaksanakan wewenang yang diberikan

(15)

kepadanya sesuai ketentuan perundang- undangan demi memberikan pelayanan yang optimal untuk masyarakat.

2. Upaya hukum yang dapat dilakukan masyarakat agar dapat memperoleh KTUN/tindakan pemerintahan yang fiktif positif

Pasca diundangkannya UUCK, norma kewajiban mengajukan permohonan guna memperoleh KTUN fiktif positif telah dihapus.

Hal ini juga ditegaskan di dalam Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2021 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan huruf E Rumusan Hukum Kamar Tata Usaha Negara angka 2, bahwa: “Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, permohonan fiktif positif sudah tidak lagi menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara.” Selain itu, peraturan presiden yang seharusnya mengatur mengenai bentuk penetapan KTUN dan/atau tindakan yang fiktif positif seharusnya tidak akan terbit setidak-tidaknya 2 tahun pasca Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 (in casu: 25 November 2023) atau ketika UUCK telah direvisi.

Dalam Putusan MK Nomor 91/

PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa UUCK tidak memenuhi ketentuan dalam UUD NRI 1945, sehingga harus dinyatakan cacat secara formil. Dalam rangka untuk menghindari adanya ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan dampak lain yang ditimbulkan, maka

UUCK dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat. Ratio legis MK menyatakan UUCK inkonsitusional secara bersyarat adalah untuk menyeimbangkan antara syarat formil pembentukan UU yang harus dipenuhi demi mencapai UU yang memenuhi unsur kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.

UUCK masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun dihitung sejak putusan MK tersebut diucapkan (25/11/2021). Apabila dalam kurun waktu 2 (dua) tahun tidak dilakukan perbaikan tata cara dalam pembentukan UUCK, maka UUCK dinyatakan inkonstitusional secara permanen dan UU yang dicabut atau diubah oleh UUCK dianggap berlaku kembali.

Selain itu, MK juga menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, dan tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UUCK. Dengan adanya Putusan MK tersebut, maka konstruksi hukum terkait mekanisme perolehan KTUN/tindakan pemerintahan yang fiktif positif baru dapat direalisasikan jika UUCK diperbaiki oleh pembentuk UU dalam kurung waktu 2 tahun sejak putusan MK. Dengan demikian, terdapat kekosongan hukum mengenai mekanisme perolehan KTUN/tindakan pemerintahan yang fiktif positif.

Kekosongan hukum ini menyebabkan kerancuan putusan hakim terkait permohonan penetapan KTUN yang fiktif positif; di satu sisi ada pengadilan yang masih menerima permohonan, namun di sisi lain juga ada

(16)

hakim yang menyatakan permohonan tidak dapat diterima.30 Beberapa putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan penetapan KTUN yang fiktif positif antara lain:

a. Putusan No 7/P/FP/2021/PTUN.Sby antara Suharno (Pemohon) melawan Kepala Desa Manyarsidomukti (Termohon)

Objek permohonan adalah permohonan KTUN fiktif positif berupa Surat Keterangan Riwayat Tanah. Hakim pemeriksa perkara mengabulkan permohonan dengan menggunakan Pasal 53 UUAP sebagai dasar kewenangan. Dalam pertimbangannya hakim menyatakan:

Menimbang, bahwa dari uraian tersebut diatas, maka terlihat bahwa tindakan Badan dan/

atau Pejabat Pemerintahan yaitu Termohon/ KEPALA DESA MANYARSIDOMUKTI yang mendiamkan saja atau tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan apapun terhadap permohonan Pemohon tersebut tidak dapat dibenarkan dan bertentangan dengan Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;

b. Putusan No 18/P/FP/2021/PTUN-SBY antara Masruroh (Pemohon) melawan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Gresik (Termohon)

Objek permohonan adalah KTUN fiktif positif berupa Surat Pemisahan Bidang Tanah.

Hakim pemeriksa perkara mengabulkan permohonan. Dasar kewenangan yang

30 Mailinda Eka Yuniza dan Melodia Puji Inggrawati, “Peluang dan Tantangan Penerapan Keputusan Fiktif Positif Setelah Undang-Undang Cipta Kerja Diundangkan”, Jurnal de Jure Vol.12, No.2, (Oktober 2021):11.

digunakan adalah UUAP dan PERMA 8/2017.

Dalam pertimbangannya hakim menyatakan:

Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 8 tahun 2017 Tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan Dan/

Atau Tindakan Badan Atau Pejabat Pemerintahan, Putusan Pengadilan atas penerimaan permohonan untuk mendapatkan Keputusan dan/

atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan bersifat final dan mengikat;

Hakim pemeriksa perkara dalam dua putusan di atas menggunakan UUAP sebagai dasar kewenangannya, padahal eksistensinya telah diubah dengan UUCK. Selain itu, hakim pemeriksa perkara No. 18/P/FP/2021/

PTUN-SBY secara tersurat menyatakan dirinya memberlakukan PERMA 8/2017 sebagai dasar kewenangan untuk memeriksa permohonan KTUN fiktif positif. Terhadap dua putusan di atas, terdapat beberapa putusan yang berpendapat sebaliknya, yaitu:

a. Putusan No 02/P/FP/2021/PTUN.

JPR antara PT Putri Mahakam Lestari (Pemohon) melawan Kelompok Kerja Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Paket Pekerjaan Satuan Kerja Balai Pengelola Transportasi Darat Wilayah XXV Provinsi Papua, Papua Barat Pada Biro Layanan Pengadaan Dan Pengelolaan Barang Milik Negara Sekretariat Jenderal Kementerian Perhubungan (Termohon)

(17)

Pemohon mengajukan permohonan penetapan KTUN fiktif positif berupa penetapan pemenang tender. Namun hakim pemeriksa perkara menyatakan permohonan tidak dapat diterima karena PTUN tidak memiliki kewenangan absolut. Dalam pertimbangannya hakim menyatakan:

Bahwa sejak disahkannya Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada 2 November 2020, kewajiban Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memutus permohonan untuk memperoleh putusan atas penerimaan permohonan guna mendapatkan keputusan dan/

atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan telah dihapuskan sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 53 diatas; dengan demikian Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang untuk memeriksa, memutus dan mengadili permohonan guna mendapatkan keputusan dan/atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan yang diajukan pemohon;

Hakim pemeriksa perkara menyatakan bahwa UUCK telah mencabut kewenangan PTUN untuk memeriksa permohonan penetapan KTUN fiktif positif. Selain itu, Pemohon dalam positanya menggunakan PERMA 8/2017 sebagai dasar kompetensi absolut PTUN dalam memeriksa permohonan. Terhadap dalil ini, hakim pemeriksa perkara berpendapat:

…dengan memperhatikan eksistensi dari Peraturan Mahkamah Agung tentang Fiktif Positif bahwa benar masih berlaku dan belum dicabut oleh badan atau lembaga yang berwenang, namun dalam kenyataannya sebagaimana termaktub dalam

klausul ‘Menimbang” Peraturan Mahkamah Agung tentang Fiktif Positif disebutkan Pasal 53 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebelum perubahan, …dasar terbentuknya Peraturan Mahkamah Agung tentang Fiktif Positif, telah diubah berdasarkan ketentuan Pasal 175 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, sehingga ketentuan Peraturan Mahkamah Agung tentang Fiktif Positif tidak dapat digunakan menjadi dasar kewenangan untuk memeriksa, memutus dan mengadili permohonan Pemohon dalam perkara a quo guna mendapatkan keputusan dan/atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan yang dimohonkan;

Hakim pemeriksa perkara berpendapat bahwa PERMA 8/2017 tidak dapat diberlakukan lagi, karena Pasal 53 UUAP, yang merupakan dasar terbentuknya PERMA tersebut telah diubah.

b. Putusan No 2/P/FP/2021/PTUN.PLG antara Ahmad Musa, dkk (Pemohon) melawan Kepala Desa Pangkalan Damai (Termohon)

Objek permohonan ini adalah penetapan KTUN fiktif positif berupa Surat Pengakuan Hak (SPH). Sama seperti putusan sebelumya, Hakim menyatakan permohonan tidak dapat diterima karena PTUN tidak memiliki kompetensi absolut untuk memeriksa permohonan penetapan KTUN fiktif positif.

Dalam pertimbangannya hakim pemeriksa perkara menyatakan:

Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 175 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang

(18)

Cipta Kerja seperti diuraikan di atas yang pada pokoknya merubah substansi atau muatan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan khususnya pada ayat-ayat yang merupakan dasar kewenangan Pengadilan, maka Pengadilan berkesimpulan bahwa Pengadilan secara absolut tidak lagi memiliki kompetensi atau kewenangan untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa permohonan fiktif positif in casu sengketa a quo;

Hakim pemeriksa perkara pada dua putusan di atas secara tegas menyatakan bahwa dengan diundangkannya UUCK, PTUN tidak lagi berwenang memeriksa permohonan KTUN fiktif positif. Bahkan hakim pemeriksa perkara No. 02/P/FP/2021/PTUN.JPR menjelaskan bahwa PERMA 8/2017 sudah tidak relevan untuk digunakan, mengingat peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dibentuknya PERMA tersebut, yaitu UUAP, telah diubah dengan UUCK.

Dari uraian di atas, maka kekosongan hukum mengenai mekanisme perolehan KTUN fiktif positif sejak diundangkannya UUCK menyebabkan inkonsistensi putusan pengadilan perihal kewenangan absolut PTUN dalam memerika permohonan KTUN fiktif positif. Hal tersebut justru akan merugikan masyarakat yang mencari kepastian hukum mengenai KTUN yang dimohonkan. Oleh karena itu, penulis berpendapat terdapat dua solusi alternatif agar masyarakat dapat memperoleh KTUN yang dimohonkan,

yaitu melalui gugatan sengketa tindakan pemerintahan atau mengajukan laporan ke Ombudsman:

Gugatan sengketa tindakan pemerintahan Sengketa tindakan pemerintahan diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan/Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige overheidsdaad) (selanjutnya disebut PERMA 2/2019). Berdasarkan Pasal 2 PERMA 2/2019, PTUN berwenang mengadili sengketa tindakan pemerintah setelah menempuh upaya administratif. Adapun yang dimaksud sengketa tindakan pemerintah adalah sengketa di bidang admnistrasi pemerintahan antara warga masyarakat dengan penyelenggara negara sebagai akibat dilakukan atau tidak dilakukannya perbuatan konkrit dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan (vide. Pasal 1 angka 1 jo Pasal 1angka 3 PERMA 2/2019). Adapun berdasarkan Pasal 3(1) UU PTUN, jika pejabat tidak mengeluarkan keputusan, maka tindakan tersebut disamakan dengan KTUN.

KTUN sendiri adalah tindakan pemerintah yang bersifat konkret, individual, dan final (vide. Pasal 1 angka 3 KTUN). Sehingga, pengabaian permohonan KTUN atau tindakan pemerintahan oleh pejabat termasuk sengketa tindakan pemerintahan dan dapat digugat melalui PTUN.

Pasal 3 PERMA 2/2019 mengatur alasan pengajuan sengketa tindakan pemerintahan,

(19)

yaitu jika tindakan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan AUPB. Jika dikaitkan dengan pengabaian permohonan KTUN/tindakan pemerintahan, maka:

a. Tindakan tersebut melanggar Pasal 53 UUAP sebagaimana diubah dengan Pasal 175 angka 6 UUCK

b. Melanggar AUPB berupa asas kepastian hukum dan asas pelayanan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UUAP

Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) PERMA 2/2019, beberapa petitum yang dapat diajukan antara lain mewajibkan pejabat pemerintahan untuk: a) melakukan tindakan pemerintahan, b) tidak melakukan tindakan pemerintahan, dan c) menghentikan tindakan pemerintahan.

Dengan demikian melalui gugatan sengketa tindakan pemerintahan, masyarakat dapat memohonkan petitum supaya pejabat pemerintahan yang bersangkutan menerbitkan KTUN atau melakukan tindakan pemerintahan yang dimohonkan.

PERMA 2/2019 ini juga memberikan kepastian pelaksanaan putusan, dimana jika 90 hari setelah putusan dijatuhkan, pejabat pemerintah yang bersangkutan tidak melaksanakannya, maka Penggugat dapat mengajukan permohonan pada Ketua Pengadilan agar Pengadilan memerintahkan Tergugat untuk melaksanakan putusan.

b. Pengajuan Laporan ke Ombudsman Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang

Ombudsman Republik Indonesia (UU Ombudsman) mengatur bahwa Ombudsman adalah:

Lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Tugas utama Ombudsman adalah memeriksa laporan maladministrasi dalam pelayanan publik (vide. pasal 7 UU Ombudsman). Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU Ombudsman, maladministrasi adalah:

Perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum (penebalan oleh penulis) dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/

atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.

Jika pejabat tidak segera menerbitkan KTUN fiktif positif, maka tindakan tersebut merupakan pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

(20)

Sehingga pemohon yang dirugikan dapat mengajukan laporan kepada Ombudsman (vide. Pasal 23 ayat (1) UU Ombudsman)

Prosedur pemeriksaan dugaan maladministrasi kepada Ombudsman diawali dengan penyampaian laporan oleh WNI dan penduduk Indonesia (vide. Pasal 23 ayat (1) UU Ombudsman). Kemudian Ombusdman akan melakukan pemeriksaan substantif; apakah berwenang atau tidak berwenang (Pasal 26 UU Ombudsman). Jika Ombudsman berwenang, maka Ombudsman dapat memanggil Terlapor, saksi, atau ahli, meminta penjelasan tertulis dari Terlapor dan melakukan pemeriksaan lapangan (Pasal 28 UU Ombudsman). Bila berdasarkan pemeriksaan Ombudsman terbukti adanya maladministrasi, maka Ombudsman akan memberikan rekomendasi yang terdiri atas:

a. uraian tentang Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman;

b. uraian tentang hasil pemeriksaan;

c. bentuk Maladministrasi yang telah terjadi; dan

d. kesimpulan dan pendapat Ombudsman mengenai hal-hal yang perlu dilaksanakan Terlapor dan atasan Terlapor. (Pasal 37 UU Ombudsman)

Rekomendasi Ombudsman sangat bervariasi bergantung objek laporannya.

Misalnya dalam Rekomendasi Ombusman Nomor 0004/REK/ 0801.2013/PBP.38/

IV/2015, walikota Jakarta Barat terbukti melakukan maladministrasi berupa pengabaian laporan masyarakat mengenai

penyalahgunaan izin usaha. Rekomendasi Ombudsman antara lain: 1) menginstruksikan Walikota Jakarta Barat agar melakukan penertiban usaha yang melanggar izin, dan 2) menginstruksikan Inspektur Provinsi DKI Jakarta agar memberikan sanksi pelanggaran disiplin terhadap Walikota Jakarta Barat.

Dengan demikian, melalui laporan ke Ombudsman, masyarakat dapat memohon agar Ombudsman menginstruksikan supaya pejabat pemerintahan yang bersangkutan menerbitkan KTUN atau melakukan tindakan pemerintahan yang dimohonkan.

Atas rekomendasi Ombudsman, dalam waktu 60 hari sejak rekomendasi diterima, atasan terlapor wajib menyampaikan laporan pelaksanaan rekomendasi.

Bila tidak melaksanakan rekomendasi sebagaimana mestinya, maka Ombudsman dapat mempublikasikan atasan terlapor dan menyampaikan laporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. (Pasal 38 Ombudsman).

Berdasarkan outputnya, kiranya pengajuan sengketa tindakan pemerintahan akan lebih menjamin perolehan KTUN daripada pengajuan laporan kepada Ombudsman, karena output gugatan sengketa tindakan pemerintahan adalah putusan pengadilan yang memiliki kekuatan eksekutorial, sedangkan output laporan Ombudsman hanya sebatas rekomendasi kepada atasan pejabat. Bagaimanapun, dua solusi alternatif di atas kiranya dapat menjamin perolehan KTUN warga masyarakat sembari menunggu

(21)

kejelasan mengenai mekanisme pengajuan permohonan KTUN fiktif positif.

3. Konstruksi hukum terkait mekanisme perolehan KTUN/

tindakan pemerintahan yang fiktif positif dalam Peraturan Presiden KTUN/tindakan pemerintahan yang fiktif positif, tidak serta merta berarti KTUN/

tindakan tersebut dianggap telah diterbitkan/

dilakukan. Permohonan tersebut harus ditindaklanjuti dengan penetapan yang mekanismenya akan diatur dalam Peraturan Presiden (vide. Pasal 175 angka 6 UUCK jo. Pasal 53 ayat (5) UUAP). Peraturan pelaksana termasuk Peraturan Presiden tersebut wajib ditetapkan 3 (tiga) bulan sejak UUCK diundangkan (vide Pasal 185 UUCK).

Namun faktanya setelah UUCK diundangkan belum ada peraturan presiden yang mengatur terkait mekanisme perolehan KTUN/tindakan pemerintahan yang fiktif positif. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kekosongan hukum terkait mekanisme perolehan KTUN/tindakan pemerintahan yang fiktif positif.

Penulis akan membuat suatu konstruksi hukum sebagai ius constituendum mengenai mekanisme penetapan KTUN atau tindakan yang fiktif positif. Adapun penetapan sebagai tindaklanjut atas permohonan tersebut sebaiknya dilakukan melalui sistem elektronik.31 Dalam hal jangka waktu sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 175 angka 6 ayat (1) atau ayat (2) UUCK telah

31 Aldwin Rahardian Megantara, Op.cit., hlm. 88.

32 Ibid.

terlampaui, maka pemohon dapat memasukkan data dan mengunggah permohonannya yang disertai dengan tanda terima ke dalam sistem elektronik dan secara otomatis sistem akan menerbitkan penetapan yang berisi:32

a. Apabila yang dimohonkan adalah keputusan, maka sistem akan menerbitkan keputusan yang diminta;

b. Apabila yang dimohonkan adalah tindakan pemerintah, maka sistem akan menerbitkan keputusan yang berisi tindakan faktual yang diminta dan memerintahkan kepada pejabat yang bersangkutan untuk melaksanakan sistem yang diminta.

Pengaturan ius constituendum di atas diharapkan akan memudahkan masyarakat dalam memperoleh KTUN karena sistem elektronik akan secara otomatis menerbitkan keputusan yang dimohonkan.

Dengan demikian masyarakat dapat segera menggunakan KTUN tersebut. Masyarakat tidak perlu lagi melalui proses peradilan yang memakan waktu untuk memperoleh KTUN fiktif positif. Namun yang menjadi kendala dalam sistem elektronik ini adalah apabila yang dimohonkan berupa tindakan dari pejabat yang bersangkutan, dan kemudian pejabat tersebut tidak melaksanakan penetapan yang diterbitkan melalui sistem elektronik. Solusi terhadap hal tersebut tiada lain adalah dengan mengajukan gugatan sengketa tindakan pemerintah dan/atau mengajukan laporan ke Ombudsman sebagaimana telah dijabarkan

(22)

dalam pembahasan sebelumnya.

Simpulan

Dengan menganalisa bahan hukum, diperoleh kesimpulan berupa:

1. Sampai saat ini, terdapat 3 (tiga) norma hukum yang berbeda mengenai akibat hukum sikap diam Pemerintah terhadap permohonan kepada pejabat tata usaha negara: 1) fiktif negatif, sebagaimana diatur dalam UU PTUN, 2) fiktif positif yang ditindaklanjuti dengan permohonan, sebagaimana diatur dalam UUAP, dan 3) fiktif positif tanpa perlu ditindaklanjuti dengan permohonan, sebagaimana diatur dalam UUCK. Berdasarkan asas lex posterior derogat legi priori, maka yang berlaku adalah fiktif positif tanpa perlu ditindak lanjuti dengan permohonan.

Namun sayangnya, sampai tulisan ini

dibuat, masih terdapat kekosongan hukum mengenai mekanisme penerbitan KTUN yang fiktif positif pasca diundangkannya UUCK.

2. Perlindungan hukum terkait sikap diam Pemerintah terhadap permohonan kepada pejabat tata usaha negara antara lain: penjatuhan sanksi administrasi, pengajuan permohonan penetapan KTUN fiktif positif ke PTUN, pengajuan gugatan sengketa tindakan pemerintahan, atau pengajuan laporan ke Ombudsman.

Adapun cara yang paling efektif agar memperoleh KTUN yang fiktif positif adalah dengan mengajukan gugatan sengketa tindakan pemerintahan, karena produk hukumnya berupa putusan pengadilan yang memiliki kekuatan eksekutorial.

DAFTAR PUSTAKA Buku

Haan, P. de, et.al. Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstaat. deel 1. Deventer: Kluwer, 1986.

Harun, Nuria Siswi Enggrani, Galang Taufani. Hukum Administrasi Negara di Era Citizen Friendly. Surakarta:

Muhammadiyah University Press, 2018.

Megantara, Aldwin Rahardian. Catatan Kritis Omnibus Law UU Cipta Kerja dalam Sudut Pandang Hukum Administrasi Pemerintahan. Yogyakarta: Deepublish,

2021.

Simanjuntak, Enrico. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara: Transformasi dan Refleksi. Jakarta: Sinar Grafika, 2018.

Jurnal

Abrianto, Bagus Oktafian, et .al.

“Perkembangan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum oleh Pemerintah Pasca Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014”. Jurnal Negara Hukum Vol.11, No.1, (Juni 2020).

Afiyanto, Marzul, et al. “Analisis Pengujian Keputusan Penganugerahan Gelar

(23)

Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) di Pengadilan Tata Usaha Negara:

Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 79/Pk/Tun/2013”. Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia, Vol.6, No.2, (Desember 2021)

Ahmad. “Konsep Fiktif Positif: Penerapannya di Pengadilan Tata Usaha Negara”, Jurnal Hukum Replik Vol.5, No.2, (September 2017).

Artini, Ni Komang Ayu et al. “Penyelesaian Permohonan Fiktif Positif untuk Mendapatkan Keputusan di Pengadilan Tata Usaha Negara”. Jurnal Analogi Hukum Vol.1, No.2, (2019).

Bakar, Dian Utami Mas, dan Audyna Mayasari Muin. “Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara Berdasarkan Undang-Undang Tentang Administrasi Pemerintahan”. The Juris, Vol. 2, No. 2, (Desember 2018).

Norra, Azza Azka. “Pertentangan Norma Fiktif Negatif dan Fiktif Positif Serta Kontekstualisasinya Menurut Undang- Undang Administrasi Pemerintahan”.

Jurnal Hukum Peratun Vol.3, No.2, (Agustus 2020).

Nugraha, Xavier, Luisa Srihandayani, Kexia Goutama. “Analisis Skuter Listrik Sebagai Kendaraan Di Indonesia:

Sebuah Tinjauan Hukum Normatif”,.

Simbur Cahaya Vol. 7, No.2, (Desember 2020).

Riza, Dola. “Hakikat KTUN Menurut Undang- Undang Peradilan Tata Usaha Negara

Vs Undang-Undang Administrasi Pemerintahan”. Soumatera Law Review, Vol. 2, No. 2, (November 2019).

Rodding, Budiamin. “Keputusan Fiktif Negatif Dan Fiktif Positif Dalam Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik”. Tanjungpura Law Journal, Vol. 1, (Januari 2017).

Santoso, Hari Agus. “Efektifitas Undang- Undang Cipta Kerja Terhadap Peningkatan Investasi”. Jurnal Hukum Positum Vol.6, No.2, (2021).

Setyawan, Fadjar Ramdhani, Sudarsono, Yuliati. “Teori Ajaran Cita Hukum (Idee Das Recht) Di Dalam Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional Di Indonesia”. Jurnal Hukum dan Syariah De Jure Vol.13, No.1, (2021).

Simanjuntak, Enrico. “Perkara Fiktif Positif dan Permasalahan Hukumnya”. Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol.6, (2017).

Suriadinata, Vincent. “Asas Presumptio Iustae Causa Dalam KTUN: Penundaan Pelaksanaan KTUN oleh Hakim Peradilan Umum”. Refleksi Hukum:

Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 2, (April 2018).

Wahyunadi, Yodi Martono. “Kompetensi Absolut Pengadilan Tata Usaha Negara Dalam Konteks Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan”. Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 5, No. 1, (Maret 2016).

Wulandari, Desy. “Pengujian Keputusan

(24)

Fiktif Positif di Pengadilan Tata Usaha Negara”. Lex Renaissance, Vol. 5, No.

1, (Januari 2020).

Yuliani, Erlin Triartha. “Perbandingan antara Konsep Fiktif Negatif dalam Undang- Undang No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dengan Fiktif Positif dalam Undang-Undang No 30 Tahun 2004 tentang Administrasi Pemerintaan dan Permasalahannya”.

University of Bengkulu Law Journal Vol.5, No.1, (April 2020).

Yulida, Devi, Kartika Widya Utama, dan Xavier Nugraha. “Verifikasi Manual Manifestasi Asas Kecermatan Sebagai Batu Uji Terhadap Keputuan Tata Usaha Negara”. USM Law Review, Vol.

5, No. 1, (Mei 2022).

Yuniza, Mailinda Eka dan Melodia Puji Inggrawati. “Peluang dan Tantangan Penerapan Keputusan Fiktif Positif Setelah Undang-Undang Cipta Kerja Diundangkan”. Jurnal de Jure Vol.12, No.2, (Oktober 2021).

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor

30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pejabat Pemerintahan.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/

atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan/

Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige overheidsdaad).

Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakukan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/

PUU-XVIII/2020.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 531K/TUN/2014.

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 404K/TUN/2015.

(25)

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura No 02/P/FP/2021/PTUN.JPR Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara

Surabaya Nomor 18/P/FP/2021/

PTUN-SBY.

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya Nomor 7/P/FP/2021/PTUN.

Sby.

Naskah Internet

Hassanah, Sovia. “Arti Perbuatan Hukum, Bukan Perbuatan Hukum, dan Akibat Hukum, https://www.

hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/

lt5ceb4f8ac3137/arti-perbuatan- hukum--bukan-perbuatan-hukum-dan- akibat-hukum/, diakses pada tanggal 7 Desember 2020.

Sudarsono dan Rabbenstain Izroel, “Perihal Keputusan Fiktif (Yang Belum) Positif”. https://www.hukumonline.

com/berita/baca/lt611c8f5460c2a/

perihal-keputusan-fiktif-yang-belum- positif/?page=4, diakses pada tanggal 13 Oktober 2021.

Gambar

Gambar 1. Diagram Perkembangan  Permohonan KTUN

Referensi

Dokumen terkait

Untuk dapat diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara harus berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau

Rekapitulasi Keadaan Perkara Tingkat Pertama Pengadilan Tata Usaha Negara Ambon yang terdaftar pada tahun 2020 berjumlah : 32 perkara yang terdiri dari 29

Dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dikecualikan dari objek

Dan merujuk dari Direktori Putusan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia, untuk Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta juga terdapat satu buah putusan pengadilan

Namun, sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pengaturan penataan ruang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Pengaruh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja terhadap kewenangan pemerintah daerah dalam hal tata ruang yakni wewenang pemerintah daerah provinsi

Hadirnya Undang-Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan khususnya dengan adanya Pasal 53 yang mengatur mengenai Objek sengketa tata usaha

Keputusan tata usaha negara menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 pada Pasal 1 angka 3 berbunyi “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan