Analisis Permasalahan Electostatic Precipitator (ESP) PLTU Jawa Tengah 2 Adipala Menggunakan metode FMEA
TUGAS AKHIR SKRIPSI
Ditulis untuk memenuhi Sebagian persyaratan guna mendapatkan gelar Sarjana Teknik
Program Studi Teknik Elektro
Oleh:
Alfian Fajar Anggoro NIM. 20538144013
PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2024
LEMBAR PERSETUJUAN
Proposal dengan Judul:
Analisis Permasalahan Electrostatic Precipitator (ESP) PLTU Jawa Tengah 2 Adipala Menggunakan Metode FMEA.
Disusun oleh:
Alfian Fajar Anggoro NIM. 20538144013
Telah layak dan disetujui oleh Dosen Pembimbing untuk dilanjutkan menjadi Proposal Tugas Akhir Skripsi bagi yang
bersangkutan.
Yogyakarta, Mei 2024 Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dr. phil. Ir. Muhamad Ali, M.T., IPU., ASEAN Eng.
NIP. 197411272000031005
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Pada era industri modern saat ini, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi salah satu sumber utama dalam memenuhi kebutuhan listrik global. PLTU Jawa Tengah 2 Adipala merupakan salah satu pembangkit listrik yang mengandalkan proses pembakaran batu bara sebagai sumber utama untuk menghasilkan energi listrik.
Menurut (Afrian & Ervianto, 2015) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) merupakan pembangkit listrik terpopuler di Indonesia dikarenakan masih melimpahnya sumber daya batubara, minyak bumi, dan gas bumi. Meskipun demikian, batu bara merupakan jenis yang paling banyak didistribusikan dan volume nya masih jauh lebih besar dibandingkan minyak atau gas alam serta batubara mempunyai harga yang lebih murah.
Pencemaran udara adalah salah satu jenis pencemaran yang dikategorikan sebagai pencemaran yang sangat berbahaya dan memiliki dampak yang cukup besar (Afrian &
Ervianto, 2015). Hal ini dikarenakan partikel dari polusi ini sangat kecil. Dikarenakan PLTU banyak memakai batu bara sebagai bahan utama penghasil energi listrik tentu saja bisa menjadi sumber pencemaran udara apabila sisa pembakaran batu bara tidak dikelola dengan baik. Hasil limbah tersebut sangat tidak baik untuk lingkungan dan Kesehatan karena mengandung oxides of silicon, iron, calcium, alumunium, dan sulphur. Menurut (Pradipta, 2022) Batu bara memiliki dampak yang buruk bagi Kesehatan yaitu pencemaran udara. Pencemaran udara ini bisa berakibat merusak Kesehatan manusia antara lain terganggunya saluran pernafasan, kanker, jantung, hipertensi, dan gangguan pada sistem reproduksi.
Proses Pembakaran batu bara menjadi energi listrik menghasilkan limbah , limbah yang dihasilkan terbagi menjadi 2 jenis yaitu bottom ash dan fly ash. Oleh karena itu hasil sisa pembakaran batu bara harus dikelola dengan baik agar tidak membahayakan lingkungan hidup serta memenuhi peraturan mengenai pencemaran udara. Untuk mencegah polusi udara yang dihasilkan PLTU sangat penting untuk mempertimbangkan perlindungan lingkungan sekitar, dikarenakan boiler yang membakar batu bara menghasilkan abu, antara lain fly ash dan bottom ash. Abu yang tersisa setelah pembakaran batu batu terdiri dari partikel-partikel kecil yang biasanya berukuran kurang lebih 10m (Afrian & Ervianto, 2015) . Abu terbang yang dihasilkan dari pembakaran batu bara biasanya dilepaskan ke udara sebagai sumber polusi udara yang tidak terkendali, maka dari itu PLTU mempunyai alat yang mampu mengatasi masalah polusi udara buruk yaitu dengan menggunakan alat yang bernama Electrostatic System Precipitator (ESP) yang sudah sesuai dengan (Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.15 tahun 2019).
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mempunyai teknologi atau peralatan untuk menangani isu pencemaran udara yaitu menggunakan Electrostatic Precipitaor (ESP). Kinerja Electrostatic Precipitator sangat dibutuhkan sebagai system pengendalian emisi gas buang boiler. Electrostatic Precipitator (ESP) adalah salah satu perangkat penting dalam sistem PLTU dengan proses pembentukan medan magnet listrik yang berfungsi untuk mengendalikan emisi partikulat yang dihasilkan selama proses pembakaran atau sebuah teknologi untuk menangkap abu sisa pembakaran batubara.
Meskipun Electrostatic Precipitator (ESP) telah terbukti sebagai teknologi yang efektif dalam mengurangi emisi partikulat, namun keberhasilannya tergantung pada
berbagai faktor, termasuk operasi yang tepat, pemeliharaan yang baik, dan pemahaman mendalam mengenai potensi kegagalan yang mungkin terjadi. Masalah yang terjadi pada Electrostatic Precipitator di PLTU Jawa Tengah 2 Adipala sangat mempengaruhi kinerja produksi energi listrik. Jika Electrostatic Precipitator berhenti beroperasi atau mengalami kegagalan banyak hal yang mungkin terjadi seperti peningkatan emisi polutan karena Electrostatic Precipitator bertanggung jawab untuk menghilangkan partikel-partikel polutan dari gas buang seperti debu dan asap tanpa Electrostatic Precipitator yang berfungsi maka polutan dapat terlepas bebas ke udara dan menimbulkan polusi udara.
Permasalahan yang sering dialami pada Electrostatic Precipitator PLTU Jawa Tengah 2 Adipala adalah sering terjadinya short circuit, undervoltage, serta masalah pada motor rapping. Short circuit atau hubung singkat yang disebabkan emmiting yang terputus kemudian mengenai pada bagian collecting plate. Selain short circuit, under voltage pada trafo rectifier sering yang juga dialami pada Electrostatic Precipitator hal ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain dikarenakan faktor cuaca yang diakibatkan karena turunnya air hujan mengakibatkan terjadinya kelembaban pada suatu komponen salah satunya yaitu line busbar yang berdampak terjadinya undervoltage, atau dikarenakan karena menumpuknya debu pada hopper. Adapun pada motor rapping sering mengalami kerusakan yang berdampak hummer tidak bisa bekerja, hal ini disebabkan karena terjadinya penempelan debu yang semakin bertambah sehingga coron arus yang dialirkan tidak maksimal.
Masalah Electrostatic Precipitator akan berdampak buruk bagi operasi pembangkit, karena jika polusi udara meningkat maka akan melanggar peraturan lingkungan, hal itu dapat menganggu operasi industri secara keseluruhan, baik dari segi reputasi, kepatuhan peraturan, atau penurunan produktivitas. Analisis menggunakan
metode Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) merupakan metode sistematis yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengurangi risiko kegagalan dalam suatu system atau proses. Analisis kegagalan tersebut dilakukan agar dapat mengetahui masalah apa yang terjadi sehingga Electrostatic Precipitator mengalami suatu permasalahan. Menurut (Andiyanto et al., 2017) . konteks ini, Analisis Mode dan Efek Kegagalan (Failure Mode and Effect Analysis/FMEA) adalah sebuah metode yang telah terbukti efektif dalam mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengelola potensi kegagalan,serta efek dari kegagalan tersebut terhadap operasi dan kinerja keseluruhan dari PLTU.
Penelitian ini memiliki urgensi yang tinggi mengingat keandalan operasional PLTU sangat krusial dalam memastikan pasokan energi listrik secara kontinu dan keberlanjutan. Dengan pemahaman yang lebih baik terhadap potensi kegagalan Electrosatic Precipitator atau ESP melalui analisis FMEA,dapat dilakukan langkah- langkah perbaikan proaktif dan pengembangan strategi pemeliharaan yang lebih efektif.
Hal ini tidak hanya akan meningkatkan kinerja operasional PLTU Jawa Tengah 2 Adipala, tetapi juga akan mengurangi risiko potensial terhadap lingkungan dan Kesehatan masyarakat sekitar.
Berdasarkan latar belakang diatas dengan adanya permasalahan yang terjadi pada Electrostatic Precipitator, penulis berminat melakukan penelitian dengan judul
“Analisis permasalahan Electrostatic Precipitator PLTU Jawa Tengah 2 Adipala Menggunakan metode FMEA”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka identifikasi masalah yang dijadikan bahan penelitian yaitu sebagai berikut:
1. PLTU merupakan pembangkit terbanyak di dunia sehingga mempunyai dampak pencemaran udara.
2. Sering terjadinya gangguan peralatan yang terdapat pada Electrostatic Precipitator yang berdampak besar pada kinerja operasioanal PLTU.
3. Sering terjadinya penurunan kinerja pada Electrostatic Precipitator yang dikarenakan suatu komponen pada Electrostatic Precipitator tidak berfungsi secara optimal yang memiliki dampak bagi industri.
4. Sering terjadinya pemeliharaan yang tidak terencana atau Maintenance Outage yang disebabkan adanya permasalahan pada Electrostatic Precipitator yang harus segera diperbaiki.
C. Batasan Masalah
Penelitian ini memiliki Batasan masalah sebagai berikut:
1. Pembahasan mengenai Electrostatic Precipitator (ESP) dan komponen- komponennya. Meskipun PLTU Jawa Tengah 2 Adipala memiliki banyak system lainya, metode FMEA ini hanya akan mempertimbangkan kegagalan yang berkaitan langsung dengan Electrostatic Precipitator.
2. Pembahasan mengenai kegagalan yang memiliki dampak signifikan terhadap kinerja Electrostatic Precipitator atau yang paling sering terjadi.
3. Pembahasan mengenai Tindakan Pemeliharaan preventif atau Preventive Maintenance yang rutin dilakukan pada Electrostatic Precipitator. ini termasuk
pemeliharaan rutin,inspeksi,atau penggantian komponen tertentu yang dapat mempengaruhi keandalan dan kinerja Electrostatic Precipitator.
4. Analisis FMEA dapat dibatasi pada periode waktu tertentu,misalnya tahun terakhir untuk memungkinkan fokus pada kegagalan yang paling relevan dan aktual.
5. Mempertimbangkan terhadap lingkungan operasional seperti cuaca ekstrem atau kehadiran kontaminan khusus dalam gas buang.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas, rumusan masalah untuk analisis kegagalan pada Electrostatic Precipitator (ESP) di PLTU Jawa Tengah 2 Adipala menggunakan metode FMEA dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana penanganan yang tepat untuk mengatasi pencemaran pada PLTU ? 2. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya gangguan peralatan pada
Electrostatic Precipitator dan apa akibatnya bagi operasional PLTU ?
3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya penurunan kinerja pada Electrostatic Precipitator ?
4. Bagaimana inovasi pemeliharaan agar dapat mengatasi permasalahan yang terjadi dan Electrostatic Precipitator dapat bekerja secara optimal?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diata, tujuan penelitian analisis menggunakan metode FMEA (Failure Mode and Effects Analysis) pada Electrostatic Precipitator (ESP) di PLTU Jawa Tengah 2 Adipala sebagai berikut :
1. Mengetahui tindakan apa saja yang dilakukan PLTU untuk mencegah terjadinya pencemaran.
2. Mengetahui tingkat dampak yang terjadi atas gangguan peralatan pada Electrostatic Precipitator dari hasil metode failure mode and effect analysis.
3. Mengevaluasi dampak dari penurunan kinerja pada system Electrostatic Precipitator yang didapatkan dari hasil failure mode and effect analysis.
4. Merancang tindakan pencegahan untuk mengurangi risiko kegagalan pada Electrostatic Precipitator.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian analisis menggunakan metode FMEA (Failure Mode and Effects Analysis) pada Electrostatic Precipitator (ESP) di PLTU Jawa Tengah 2 Adipala dapat memberikan sejumlah manfaat yang signifikan, antara lain:
1. Dengan menganalisis berbagai mode kegagalan yang mungkin terjadi pada Electrostatic Precipitator (ESP), penelitian ini dapat membantu dalam mengidentifikasi resiko kegagalan.
2. Dengan mengetahui dan mengatasi penyebab permasalahan pada Electrostatic Precipitator (ESP), maka dapat meningkatkan kinerja operasional pada PLTU Jawa Tengah 2 Adipala.
3. Dengan menganalisis dan mengidentifikasi permasalahan pada Electrostatic Precipitator (ESP) dapat mengurangi biaya yang terkait dengan perawatan yang tidak terencana atau perbaikan darurat.
4. Mengurangi polusi udara akibat debu hasil pembakaran batubara yang keluar pada cerobong asap.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini berisikan pembahasan tentang kajian pustaka yang berkaitan dengan analisis permasalahan electrostatic precipitator PLTU Jawa Tengah 2 menggunakan metode FMEA. Kajian Pustaka terdiri dari (A) Kajian Teori, (B) Hasil penelitian yang telah dilakukan sebagai sumber yang relevan dan referensi untuk mendukung penelitian ini, (C) kerangka berfikir bagaimana permasalahan pada penelitian ini memiliki korelasi atau hubungan dengan variabel-variabel yang terkait, (D) pertanyaan penelitian dan/atau hipotesis yang menegaskan rumusan masalah.
A. Kajian Teori
1. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
Pembangkit Listrik yang dikenal dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tenaga Uap (PLTU) merupakan sebuah pembangkit yang
memanfaatkan energi panas yang kemudian diubah menjadi uap yang
nantinya digunakan untuk memutar turbin dan menggerakkan generator untuk mengkonversi energi kinetik menjadi energi listrik. PLTU pada umumnya menggunakan bahan bakar primer seperti batubara, gas, bbm, dan bahan bakar primer lainnya. (Oloni Togu Simanjuntak, 2015). Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menggunakan bahan bakar batu bara sebagai bahan bakar utama, serta menggunakan bahan bakar minya bakar serta MFO untuk start up awal pengoperasian.
Pembangkit listrik merupakan proses perubahan bentuk satu energi ke bentuk energi lain dimana sebagai produknya berupa energi listrik. PLTU mengubah energi kimia dari bahan bakar menjadi energi panas yang ditransfer ke air pengisi. (Ahmad
Yani, 2018).PLTU Jawa Tengah 2 Adipala mempunyai proses produksi atau siklus kerja yang detail dan terperinci untuk menghasilkan suatu energi listrik. Prinsip dari PLTU secara sederhana yaitu air yang dipompa ke boiler, didalam boiler kemudian air akan diubah menjadi brentuk uap panas. Uap panas yang bertekanan akan dialirkan ke turbin, kemudian uap tersebut dipakai sebagai energi pemutar turbin untuk mendapatkan energi mekanikdari putaran turbin (Murti, Manuaba, & Arjana, 2020). Turbin ini seporos dengan generator yang berfunsi mengonversi energi mekanis menjadi energy listrik. Setelah itu, listrik yang dihasilkan disalurkan melalui sistem transmisi untuk memenuhi kebutuhan listrik di wilayah Jawa Tengah - Bali. Proses ini menciptakan beberapa siklus kerja PLTU seperti dibawah ini :
Gambar 2. 1 Siklus kerja PLTU Jawa Tengah 2 Adipala
A1.1 Peralatan dan bahan yang diperlukan untuk mewujudkan produk energi listrik yang diharapkan
Untuk bisa menjalankan proses produksi PLTU memiliki peralatan dan bahan yang saling terkait dan mendukung agar bisa mewujudkan suatu energi listrik bisa dihasilkan. Semua peralatan dan bahan ini menjadi satu kesatuan siklus PLTU dimana masing-masing dari sistem utama terdiri dari beberapa plant. Plant terdiri dari beberapa peralatan yang berfungsi dan bekerja bersama agar bisa beroperasi.
Sistem utama pada PLTU Jawa Tengah 2 Adipala ada 3 yaitu main system,Balance Of Plant dan Auxiliary System:
1) Unit ( Main System) a. Electric Generator
Generator listrik merupakan mesin pengubah energi mekanik menjadi energi listik (Indriani et al., 2019). Generator PLTU Adipala menggunakan tipe QF SN- 660-2 (Two Poles 660MW Water-Hydrogen Coolied Turbo-Generator) dimana bagian sisi dalam coil stator generator di dinginkan secara langsung menggunakan air yang disebut dengan GSCW System. Sedangkan untuk coilrotor dan corestator didinginkan langsung menggunakan hidrogen (H2).
b. Transformator
Transformator adalah suatu alat listrik yang dapat memindahkan dan mengubah energi listrik dari satu atau lebih rangkaian listrik yang lain melalui suatu gandengan magnet dan berdasarkan prinsip induksi-elektromagnet (Waro
& Heriandriawan, 2024). Pada PLTU Adipala sendiri terdapat 2 jenis transformer yaitu Generator Transformers dan Power Transformer.
c. Steam Generator
Steam Generator (Boiler) atau ketel uap adalah bejana ertutup dimana panas pembakaran dialirkan ke air sampai terbentuk air panas atau steam (Santia et al., 2019). Steam Generator merupakan suatu peralatan yang digunakan untuk menghasilkan uap pada tekanan, temperatur, kapasitas dan kualitas tertentu sesuai dengan spesifikasi yang diberikan. Uap yang dihasilkan melalui proses perpindahan panas di dalam ruang bakar (furnace) dari hasil pembakaran batubara. PLTU Adipala1×660MW merupakan Boiler Super Critical dengan tipe B&WB-2069/25.40-M.
d. Steam Turbine
PLTU Adipala dengan tipe 660MW Super Critical Condensing Reheat Steam Turbine merupakan siklus pemanasan ulang dimana uap berekspansi di turbin bertekanan tinggi (HP Turbine) hingga turun mencapai tekanan menengah. Uap keluaran dari HP turbine dialirkan ke boiler untuk dipanaskan kembali di re-heater sampai pada tekanan konstan hingga suhunya mendekati sama dengan suhu superheat. Dari re-heater uap dialirkan ke turbin tekanan menengah (IP Turbine), uap yang mengalami penurunan pressuresetelah berekspansi di IP Turbine di alirkan ke LP Turbine dan selanjutnya uap di buang ke kondensor.
e. Open Cooling Water System
Open Cooling Water System (Circulating Water System) adalah sistem yang berfungsi mendinginkan minyak pelumas pendingin turbin yang saat suhu tinggi dapat menyebabkan shut down pada pembangkit (Rinanto et al., 2019).
Open Cooling Water System ini menggunakan Circulating Water Pump untuk mengalirkan air laut ke Circulating Water System sebagai penukar panas.
f. Close Cycle Cooling Water (CCCW)
Close Cycle Cooling Water System (CCCW System) merupakan siklus yang menggunakan air secara berulang-ulang untuk mendinginkan suatu peralatan (Nusantara, 2021). Close Cycle Cooling Water System (CCCW System) adalah sistem air pendingin putaran tertutup yang mana merupakan air pendingin kedua pada PLTU. Close Cycle Cooling Water System menggunakan Close Cycle Cooling Water Pump (CCCW Pump) untuk mengalirkan air demin dari Expantion tank yang melewati lebih dulu alat penyerap panas (Heat
Exchanger) untuk diturunkan suhunya, kemudian dialirkan ke beberapa cooler sebagai pendingin fluida (oil, air dan gas/udara).
g. Condesater Water System
Condensate Water System adalah siklus air pada PLTU dari hot well sampai dengan daerator (Suwarti et al., 2017). Sistem air kondensat, dimana uap keluaran (Exhaust) LP Turbine mengalir ke ruang condenser bertekanan negative (vacuum). Uap yang mengalami penurunan temperatur akan terjadi perubahan fasa uap menjadi fasa air (kondensasi) dan ditampung di Hotwell.
Air Condensate dari Hotwell kemudian di pompa dan dialirkan menggunakan Condensate Extraction Pump (CEP).
h. Feed Water System
Feed Water System merupakan salah satu sistem penunjang dari boiler yang berfungsi menyuplai secara terus-menerus high pressure boiler feed water ke header of economizer (Saputra et al., 2016). Dimana air condensate yang ditampung di Deaerator dipanaskan lebih dulu dengan cara di kabutkan untuk dihilangkan kandungan udara dan gas-gas yang terlarut pada air condensate.
Air pengisi boiler ini di alirkan dengan pompa bertekanan tinggi yaitu Boiler Feed Water Pump.
2) Balance Of Plant (Common System)
Gambar. Balance of Plant Sumber:L.Barucca et,al (2021)
a. Desalination Plant
Desalination plant adalah suatu peralatan yang berfungsi mengolah air laut menjadi air tawar.
b. Wash Water Treatment Plant
Wash water treatment plant merupakan pengolahan air limbah yang dihasilkan oleh PLTU tujuannya untuk mengurangi dampak negatif ke lingkungan dari limbah tersebut.
c. Demineralization Plant
Demineralization Plant berfungsi untuk menghilangkan mineral-mineral yang terdapat dalam air. Proses demineralisasi ini bertujuan untuk mencegah terbentuknya endapan mineral yang dapat merusak sistem perpipaan pada PLTU.
d. Condensate Polishing Plant
Condensate polishing plantpada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) adalah sistem yang dirancang untuk membersihkan air kondensat sebelum masuk ke dalam ketel uap. Tujuannya adalah untuk menghilangkan kontaminan seperti ion-ion yang dapat merusak ketel dan peralatan sistem uap.
Dengan menjaga kualitas air kondensat, condensate polishing plant membantu meningkatkan efisiensi operasional PLTU dan memperpanjang umur pakai peralatan.
e. Chlorination Plant
Chlorination plant digunakan untuk melakukan proses klorinasi, yaitu penambahan klorin ke dalam air atau zat lain untuk tujuan sterilisasi atau pemurnian. Chlorination plant mungkin digunakan untuk memastikan kebersihan air dalam sistem pendingin atau proses tertentu. Klorinasi dapat membantu mengendalikan pertumbuhan mikro organisme dan mencegah korosi dalam sistem perpipaan.
3) Auxiliary System
a. Coal Handling System
Coal handling system merupakan sistem untuk menangani pengelolaan batubara mulai dari pembongkaran batubara dari kapal/tongkang (unloading area) di jetty (terminal khusus), penyimpanan di stock area ataupun pengisian ke bunker (power plant) yang digunakan untuk pembakaran di boiler (Tampubolon, 2014). Sistem ini melibatkan berbagai komponen seperti conveyor belt, crusher, bunker silo, dan peralatan lainnya yang berfungsi
untuk menyediakan, menghancurkan, menyimpan, dan mentransportasikan batubara sesuai kebutuhan PLTU.
b. Ash Handling System
Ash handling systemmerupakan peralatan bantu dari sebuah PLTU berbahan bakar batubara untuk menangani abu sisa hasil pembakaran yang kemudian menyalurkannya ketempat pembuangan akhir atau Ash Valley (Anggy, 2021).
Sistem ini mencakup pengumpulan, transportasi, penyimpanan, dan pengelolaan abu sisa pembakaran. Ash handling systempenting untuk menjaga kebersihan dan efisiensi operasional PLTU serta mengelola limbah abu dengan cara yang sesuai dengan standar lingkungan.
c. Auxiliary Boiler
Auxiliary boiler adalah ketel bantu yang biasanya digunakan dalam industri atau pembangkit listrik sebagai sumber panas tambahan. Fungsi utamanya adalah menyediakan uap atau panas tambahan ketika diperlukan, seperti dalam situasi di mana ketel utama tidak dapat memenuhi kebutuhan pemanasan atau uap secara optimal. Auxiliary boiler sering digunakan sebagai cadangan atau untuk memastikan ketersediaan energi termal yang konsisten dalam berbagai kondisi operasional.
d. Supply oil System
Supply Oil System pada dasarnya adalah sistem yang menyediakan dan mendistribusikan minyak ke berbagai komponen dalam suatu mesin atau peralatan. Ini melibatkan pompa minyak, pipa-pipa, filter, dan perangkat pengatur tekanan untuk memastikan bahwa pelumas disalurkan secara efisien ke bagian-bagian yang memerlukan dalam mesin atau sistem tertentu. Sistem
ini krusial untuk menjaga pelumasan yang optimal dan kinerja mesin atau peralatan tersebut.
e. Hydrogen Plant
Hydrogen plantadalah peralatan untuk proses produksi hydrogen.Hydrogen yang dihasilkan dari hydrogen plant digunakan untuk menyuplai kebutuhan unit PLTU Adipala.
2. Electrostatic Precipitator
Electrostatic precipitator (ESP) adalah alat yang digunakan sebagai alat penangkapan abu (Ash collection) di industri yang digunakan untuk mengurangi pencamaran udara yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara (Afrian &
Ervianto, 2015). Pada dasarnya Electrostatic Precipitator (ESP) ada 3 sistem utama yang bekerja. Pertama proses ionisasi abu yang terkandung dalam gas buang,selanjutnya proses collection abu yang telah terionisasi dan terakhir proses rapping abu yang menempel pada collecting plate agar jatuh ke area hopper (Winarno, 2020).
Prinsip kerja electrostatic precipitator didasarkan atas partikel bermuatan listrik yang dilewatkan dalam suatu medan elektrostatik. Sistem filter terdiri dari dua buah elektroda yaitu discharge electrode (-) yang berupa steel wire dan collecting plate electrode (+) yang berupa steel plate. Discharge electrode berfungsi untuk memberi muatan pada partikel debu sehingga terbentuk ion debu negatif. Collecting plate berfungsi untuk menarik partikel bermuatan dan mengumpulkannya, sehingga partikel debu dalam gas akan terakumulasi pada elektroda ini. Bersamaan proses akumualsi ini partikel debu akan mengalami netralisasi di plate elektroda. Prinsip kerja Electrostatic Precipitator dibagi dalam tiga langkah, yaitu proses pelepasan
elektron (electron discharge), proses pemuatan partikel debu (particle charging), proses pengumpulan partikel debu (precipitating) (Indrati, 2007). Teknik yang digunakan adalah dengan menjebak partikel halus dengan menggunakan listrik bertegangan tinggi. Berdasarkan teori, potensial tinggi merupakan suatu keadaan dimana daerah tersebut terdapat banyak elektron, sedangkan potensial rendah merupakan suatu keadaan dimana di daerah tersebut terdapat sedikit elektron. Hal ini sesuai dengan prinsip aliran listrik yaitu listrik mengalir dari potensial tinggi ke potensial rendah (banyak proton sedikit elektron).
Gambar 2.2 Electrostatic Precipitator
Gambar 2.3 Electrostatic Precipitator
Gambar Overview Electrostatic Precipitator. Sumber:Randra Agustio
Gambar Presentase Penangkapan debu pada ESP. Sumber: Randra Agustio
Prinsip kerja yang utama dari sistem Electrostatic Precipitator yaitu pembentukan Medan Listrik. Pada pembentukan medan listrik terdapat beberapa proses, proses pembentuka medan listrik :
1. Terdapat dua jenis electrode,yaitu discharge electrode yang bermuatan negatif (- ) dan collector plate yang bermuatan positif (+) .
2. Discharge electrode diletakkan diantara collector plate pada jarak tertentu.
3. Discharge electrode diberi listrik arus searah (DC) oleh trafo rectifier dengan muatan minus, pada level tegangan antara 40-80 kV DC (sumber listrik awalnya adalah 380volt AC, kemudian dinaikkan oleh transformer menjadi sekitar 40-80 kV dan dirubah menjadi listrik DC oleh rectifier, diambil hanya potensial negatifnya saja).
4. Collector plate ditanahkan (grounding) agar bermuatan positif.
5. Dengan demikian,pada saat discharge electrode diberi arus DC, maka medan listrik terbentuk pada ruang yang berisi tirai-tirai electrodetersebut dan partikel debu akan menempel pada pelat-pelat tersebut, gas bersih kemudian bergerak menuju cerobong asap.
Gambar Prinsip kerja ESP. Sumber: Ari Yudha et al., (2019)
B. Komponen Electrostatic Precipitator (ESP)
Ada beberapa komponen yang dibutuhkan agar Electrostatic Precipitator dapat menangkap abu hasil pembakaran dengan baik.
1) Transformator Rectifier
Transformator Rectifier berfungsi mencatu daya sehingga ESP bisa bekerja.
Tegangan input: 380 Volt AC,kemudian dinaikkan menjadi tegangan output: 40- 70 kV dan diubah menjadi tegangan DC negatif yang akan dihubungkan discharge electrode (collecting plate). Transformator Rectifier diletakkan dalam satu tangki dan terendam minyak pendingin trafo, sehingga dinamakan transformator rectifier.
Gambar 3. 1 Trafo Rectifier
2) Collecting Plate
Collecting Plate merupakan pelat baja yang dipasang sejajar berfungsi sebagai penangkap abu. Collecting Plate merupakan tempat berkumpulnya abu bermuatan negatif sebelum jatuh ke hopper. Jarak antara Collecting plate pada sebuah ESP di design cukup dekat yaitu 305-406mm, tebalnya antara1.2-2.5mm .
Gambar 3. 2 Collecting Plate 3) Discharge Electrode (Emmiting)
Gambar 3. 3 Discharge Electrode
Discharge Electrode berfungsi sebagai pemberi kontribusi arus yang diberikan kepada abu dari boiler yang belum bermuatan, yang selanjutnya d itangkap oleh Collecting Plate. Discharge Electrode terhubung dengan sumber tegangan DC tinggi hingga berpencar menciptakan korona listrik. Discharge Electrode berguna untuk mencharging abu sehingga abu menjadi bermuatan negatif.
Discharge Electrode dipasang pada tiap tengah-tengah Collecting Plate dengan jarak 152-203mm, tergantung jarak antara Collecting Plate yang digunakan , untuk mencegah short circuit, maka Discharge Electrode harus dipasang insulasi
yang memastikan Discharge Electrode dengan casing dan Collecting Plate yang bermuatan netral.
4) Motor Rapping
Motor Rapping berfungsi untuk memukul atau merapping Collecting Plate secara periodik agar abu yang menempel pada Collecting Plate dapat jatuh ke hopper.
Gambar 3. 4 Motor Rapping
5) Gas Distribution system
Efisiensi Electrostatic Precipitator(ESP) sangat tergantung dengan distribusi aliran gas buang boiler yang melintasinya. Semakin merata pendistribusian gas buang tersebut ke seluruh kolom Collecting Plate dan Discharge Electode maka akan semakin tinggi angka efisiensi Electrostatic Precipitator (ESP) . oleh karena iru dipasang sebuah sistem vane atau sudu pada sisimasuk gas buang ke Electrostatic Precipitator (ESP) agar gas tersebut dapat lebih merata di distribusikan ke setiap kolom.
Gambar 3. 5 Gas Distribution System
3. Metode Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
Menurut (Villacourt Mario, 1992) Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) adalah pendekatan sistematik yang menerapkan suatu metode pembelajaran untuk membantu proses pemikiran yang digunakan oleh engineers untuk mengidentifikasi mode kegagalan potensial dan efeknya.
FMEA merupakan teknik evaluasi tingkat keandalan dari sebuah sistem untuk menentukan efek dari kegagalan dari sistem tersebut. Kegagalan digolongkan berdasarkan dampak yang diberikan terhadap kesuksesan suatu misi dari sebuah sistem.
Tujuan dari FMEA adalah untuk menentukan tingkat risiko dari setiap jenis kegagalan sehingga dapat diambil keputusan apakah perlu diambil suatu tindakan atau tidak. FMEA ini juga digunakan untuk menekan kerugian yang timbul karena kegagalan proses prod uksi maupun kegagalan produk sewaktu digunakan (Hasbullah et al., 2017). Identifikasi kegagalan potensial dilakukan dengan cara pemberian nilai atau skor masing-masing moda kegagalan berdasarkan atas tingkat kejadian (occurrence), tingkat keparahan (severity) dan tingkat deteksi (detection) (Stamatis, 1995). Dari penilaian ini ditelaah pula sebab (cause) dan bentuk pengendaliannya (control). Hasil akhir dari Metode FMEA adalah Risk Priority Number (RPN), merupakan indikator penting untuk menentukan tindakan korektif yang tepat untuk setiap mode kegagalan. RPN digunakan untuk memperkirakan risikonya (Tang et al., 2018).
• Tingkat kejadian (occurance) adalah kemungkinan bahwa penyebab tersebut akan terjadi dan menghasilkan bentuk kegagalan selama masa penggunaan produk. Occurance merupakan nilai rating yang disesuaikan dengan frekuensi yang diperkirakan dan atau angka kumulatif dari kegagalan yang dapat terjadi (Stamatis, 1995).
Tingkat keparahan (severity) adalah penilaian terhadap keseriusan dari efek yang ditimbulkan. Dalam arti setiap kegagalan yang timbul akan dinilai seberapa besarkah tingkat keseriusannya. Terdapat hubungan secara langsung antara efek dan severity. Sebagai contoh, apabila efek yang terjadi adalah efek yang kritis maka nilai severitypun akan tinggi. Dengan demikian, apabila efek yang terjadi bukan merupakan efek yang kritis, maka nilai severity pun akan sangat rendah (Stamatis, 1995). Nilai detection diasosiasikan dengan pengendalian saat ini. Detection adalah pengukuran terhadap kemampuan mengendalikan atau mengontrol kegagalan yang dapat terjadi (Stamatis, 1995).
• Tingkat detection yaitu menentukan sebuah kontrol proses yang akan mendeteksi secara spesifik akar penyebab dari kegagalan. Detection adalah sebuah pengukuran untuk mengendalikan kegagalan yang dapat terjadi (Ayunisa Rachman et al., 2016). Seberapa jauh penyebab kegagalan dapat di deteksi.terdiri dari rating dari 1-10, semakin sulit mendeteksi penyebab kegagalan yang terjadi makin tinggi nilai rating yang di berikan (M.
Audriyan et al., 2018). Beberapa perusahaan merasa kesulitan dalam menentukan peringkat deteksi. Oleh karena itu, mereka tidak menggunakan deteksi (D) dalam penghitungan RPN untuk menghindari argumen mengenai peringkat deteksi (Hartwell, 2017).
• Setelah penerapan langkah-langkah dengan menggunakan metode FMEA (Failure Mode and Effect Analysis). Selanjutnya akan menghitung nilai masing-masing RPN dimana RPN merupakan hasil perkalian severity (S).
occurrence (O), dan detection (D), dimana persamaan matematisnya dapat dinyatakan sebagai berikut: RPN= (S) x (O) x (D) (Ayunisa Rachman et al., 2016). RPN adalah penilaian numerik terhadap tingkat prioritas risiko suatu mode kegagalan/penyebab kegagalan dalam analisis FMEA. Ini membantu
tim/individu yang bertanggung jawab memprioritaskan risiko dan memutuskan tindakan perbaikan (Hartwell, 2017).
Gambar 4. Diagram Pembentukan Resiko
Menurut (Company, 2004) manfaat dari melakukan Proses FMEA meliputi: mengidentifikasi fungsi proses dan persyaratan, mengidentifikasi produk dan proses potensial terkait Mode Kegagalan, menilai dampak dari potensi kegagalan pada pelanggan dan mengidentifikasi penyebab potensial manufaktur atau proses perakitan dan mengidentifikasi variabel proses sebagai fokus kontrol untuk terjadinya pengurangan atau deteksi kondisi kegagalan (Hasbullah et al., 2017).
Siklus FMEA. Gambar: Wikipedia
Tahapan dari penilaian menggunakan FMEA adalah sebagai berikut:
1. Menentukan suatu komponen atau peralatan yang akan dianalisis.
2. Identifikasi jenis-jenis kegagalan (failure mode).
3. Identifikasi sistem dan elemen sistem serta kegagalan dan efeknya (effect of failure ).
4. Identifikasi faktor-faktor penyebab kegagalan (cause of failure).
5. Menentukan tingkat keparahan efek dari suatu kegagalan (severity).
6. Menentukan frekuensi kemungkinan risiko terjadi (occurence).
7. Menentukan tingkat Deteksi yang telah dilakukan dalam mencegah risiko (Detection).
8. Menghitung Risk Priority Number (RPN) yang menyatakan tingkat risiko dari suatu kegagalan. Angka RPN berkisar antara 1 – 1000, semakin tinggi angka RPN maka semakin tinggi risiko suatu potensi kegagalan terhadap sistem, desain, proses maupun pelayanan. RPN = Severity x Occurrence x Detection.
KLASIFIKASI LEVEL RESIKO BERDASARKAN RPN RPN Calculation Level
<20 Very Low
<80 Low
<120 Medium
<200 High
>200 Very High
Angka ini digunakan sebagai panduan untuk mengtahui masalah yang paling serius dengan indikasi angka yang paling tinggi yang memerlukan prioritas penanganan serius (M. Audriyan et al., 2018).
9. Memberikan rekomendasi tindakan yang dapat diterapkan untuk mengurangi tingkat risiko kegagalan.
Menurut (Hanif et al., 2015) kegagalan digolongkan berdasarkan dampak yang diberikan terhadap kesuksesan suatu misi dari sebuah sistem. Secara umum, Failure Modes and Effect Analysis didefinisikan sebagai sebuah teknik yang mengidentifikasi tiga hal, yaitu :
1. Penyebab kegagalan yang potensial dari sistem, desain produk, dan proses selama siklus hidupnya.
2. Efek dari kegagalan tersebut.
3. Tingkat kekritisan efek kegagalan terhadap fungsi sistem, desain produk, dan proses.
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian ini mengutip dari berbagai jurnal dan buku sebagai sumber referensi yang bertujuan untuk mendukung penelitian. Terdapat beberapa sumber referensi yang relevan dengan penelitian ini, seperti penelitian yang dilakukan oleh (Zakaria et al., 2020) dengan judul “Electrostatic Precipitator Failure Analysis Using FMEA Method on Steam Turbine Electricity Generation (PLTU Banten 2 - Indonesia)” melakukan penelitian yang sama yaitu menganalisis kegagalan Electrostatic Precipitator menggunakan metode FMEA dan rencana aksi perbaikan menggunakan metode 5W+1H. Dengan mendapatkan nilai RPN yang diperoleh dari Tingkat Keparahan x Kejadian x Deteksi, dimana tingkat keparahannya adalah peringatan akan kegagalan fungsi mesin, kejadian adalah frekuensi kerusakan yang terjadi, dan deteksi adalah sejauh mana kegagalan di deteksi. Metode tersebut mampu mendapatkan tingkat kegagalan yang paling dominan yaitu pada abu transporter A ke esp B dengan nilai RPN 729. Dari hasil tersebut langsung dilakukan perencanaan perbaikan pada masalah yang di prioritaskan.
(Hasbullah et al., 2017) dengan judul “Analisi Kegagalan proses insulasi pada produksi Automotive Wires (AW) dengan metode Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) pada PT. JLC”melakukan analisis menggunakan metode FMEA melalui tiga aspek S=Severity,O=Occurance,D=Detection pada proses insulasi produk Automotive Wire. Metode tersebut mampu mendapatkan beberapa jenis kegagalan potensial pada Automtoive Wires pada proses insulasi dan memperoleh nilai RPN untuk mengetahui masalah yang paling serius dengan indikasi angka yang paling tinggi yang memerlukan prioritas penanganan serius.
Penelitian yang dilakukan oleh (Winarno, 2020) dengan judul “Analisis Kinerja Electrostatic Precipitator (ESP) Berdasarkan Pembagian Besarnya Arus Transformator di PT. PJB UBJOM PLTU Paiton” melakukan analisis kinerja electrostatic precipitator berdasarkan pembagian besarnya arus pada transformator menggunakan metode penyusunan RCPS (Root Cause Problem Solving) untuk mencari akar permasalahan secara mendalam kemudian dilanjutkan dengan menggunakan metode ide generation untuk mendapatkan point-point task, kemudian pada tahap terakhir yaitu menggunakan Focus Group Discussion (FGD) yaitu metode untuk menentukan matriks prioritas utuk memastikan pemilihan ide-ide yang didapatkan.. Penelitian menggunakan metode yang berbeda dan Dataset diperoleh dengan mengukur besarnya nilai arus sekunder pada trafo esp . Tahap pengujian diperoleh hasil penurunan efisiensi esp karena adanya gangguan pada beberapa transformator. Hasil perbandingan didapatkan setelah pengumpulan data kuat arus esp yaitu dengan perhitungan besar kuat medan listrik pada esp dan perhitungan besar kecepatan migrasi partikel dan efisiensi pengumpulan partikel Electrostatic Precipitator (Winarno, 2020).
Jurnal dengan judul “Analisis Penyebab Kerusakan Hot Rooler Table dengan menggunakan metode Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) yang dibuat oleh (Anthony, 2018) membuat penelitian analisis penyebab kerusakan hot rooler table dengan metode Failure Mode And Effect (FMEA). Analisis ini dilakukan karena sering terjadinya kerusakan pada peralatan hot roller table adalah 96,571%, Oleh karena itu peneliti menganalisis mengenai akar penyebab masalah tersebut serta pencarian solusi terbaik untuk memperbaiki masalah yang ada dengan penerapan metode Failure Mode and Effect Analysis (FMEA). Dari Analisa FMEA tersebut, didapat dua komponen yang mempunyai nilai RPN sangat tinggi yang di kategorikan sebagai potential severity yaitu bearing yang pertama dengan nilai RPN sebesar 392 dan yang kedua adalah seal ring dengan nilai RPN sebesar 294. Kedua komponen tersebut menjadi prioritas utama perbaikan pada bagian unit furnace section mill terutama untuk aspek mesin dan manusia. Hasil dasil Failure Mode And Effect Analisys (FMEA) diatas menunjukkan bahwa terdapat 7 mode kegagalan dari 7 item yang ada pada mesin hot roller table. 7 mode kegagalannya yaitu kebocoran pada body rotary coupling, sulitnya bongkar pasang pada saat pengecekan, getaran langsung ke bagian body, kebocoran fluida, putaran rotary coupling macet, grease cepat kering dan habis dan roll tidak ada saluran penghantar fluida. Dari 7 mode kegagalan, didapat dua komponen yang memiliki nilai RPN terbesar yang di kategorikan potential severity dan menjadi rank pertama yaitu Bearing dengan nilai RPN sebesar 392 dan yang kedua seal ring dengan nilai RPN sebesar 294, maka dari itu perlu dilakukan perbaikan untuk menghindari kegagalan pada dua komponen tersebut dengan menggunakan metode fishbone (Anthony, 2018).
Jurnal dengan judul “Analisis Risiko Aktivitas Pekerjaan Karyawan Perusahaan Ritel Dengan Metode FMEA dan Diagram Fishbone” yang dibuat oleh (Pontororing
& Andika, 2019) membuat penelitian mengenai analisis risiko aktivitas pekerjaan karyawan pada sebuah perusahaan ritel menggunakan metode fmea. Analisis ini dilakukan untuk memaksimalkan keefektifan dan keefisienan para karyawan yang sedang bekerja seperti human error yang sering terjadi yang dapat menganggu proses distribusi. Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah dengan menggunakan metode failure modes and effect analysis untuk menentukan presentasi resiko tertinggi hingga terendah, setelah didapatkan nilai RPN Langkah selanjutnya adalah menganalisis akar permasalahan yang menggunakan diagram fishbone. Hasil yang didapat pada penelitian ini dan analisis ini didapatkan bahwa terdapat 14 risiko yang ada pada seluruh bagian dalam divisi Y. Pada bagian sales& e-Commerce dan bagian merchandise memiliki 4 risiko yang mungkin dapat terjadi, dan pada bagian warehouse dan marketing communication memiliki 3 risiko. Terdapat empat penyebab keterlambatan pengiriman produk ke customer, yaitu environment dengan 1 sub-penyebab, employees dengan 3 sub-penyebab, process dan equipment &
material memiliki 2 sub penyebab.
Tabel 1. Perbandingan Penelitian Relevan Nomor 1 dan 2 dengan Penelitian ini.
No Judul dan Penulis Penelitian Terdahulu
Persamaan dan Perbedaan
1.
“Electrostatic Precipitator Failure Analysis Using FMEA Method on Steam Turbine Electricity Generation (PLTU Banten 2 - Indonesia)”
yang dibuat oleh Tatan Zakaria, Wawan Gunawan, dan Ahmad Faisal
Penelitian tersebut melakukan analisis kegagalan pada
Electrostatic Precipitaaiot (ESP) menggunakan metode FMEA yang setelah root cause di temukan dan nilai RPN sudah didapatkan kemudian langsung dilakukan tindakan perbaikan yang menggunakan metode analisis 5W + 1H
Kesamaan dengan penelitian tersebut yaitu masih dalam konteks yang sama yaitu melakukan analisis pada Electrostatic Precipitator (ESP) analisis menggunakan metode FMEA Perbedaannya terletak pada perlakuan atau Tindakan setelah
menganalisis 2. “ANALISIS
KEGAGALAN PROSES INSULASI PADA
Penelitian tersebut melakukan analisis kegagalan proses insulasi pada produksi
Terdapat kesamaan dalam metode yang digunakan yaitu metode FMEA akan
PRODUKSI
AUTOMOTIVE WIRES (AW) DENGAN
METODE FAILURE MODE AND EFFECT ANALYSIS (FMEA) PADA PT JLC”oleh Hasbullah Hasbullah, Muhammad holil, dan Dwi Aji Santoso.
Automotive Wire (AW) menggunakan metode FMEA, melalui penilaian kuantitatif dengan kriteria tiga aspek yaitu Tingkat kemungkinan frekuensi terjadi kegagalan
(O=Occurence), Tingkat resiko akibat kegagalan (S=Severity) dan Tingkat kemungkinan bisa dideteksi (D=Detection.
Didapatkan bahwa pada potential Failure Mode “Warna terlalu muda / terlalu tua
daripada standar” memiliki nilai RPN tertinggi pertama
dibandingkan lainnya, yaitu 200.
Kemudian pada “marking tercetak tidak jelas” memiliki nilai RPN tertinggi kedua, yaitu 150. Hal itu artinya perlu mendapat perhatian serius untuk prioritas utama perbaikan. RPN terendah diduduki oleh
“Gulungan/kemasan kabel tidak rapi”dengan nilai RPN 24.
tetapi terdapat perbedaan dalam analisis kegagalan yang dilakukan yaitu menganalisis kegagalan proses insulasi pada produksi Automtive Wires (AW).
Tabel 2. Perbandingan Penelitian Relevan Nomor 3 dan 4 dengan Penelitian ini.
No Judul dan Penulis Penelitian Terdahulu Persamaan dan Perbedaan
3.
“Analisis Kinerja Electrostatic Precipitator (ESP) Berdasarkan Pembagian Besarnya Arus Transformator di PT. PJB UBJOM PLTU Paiton” oleh Winarno.
Penelitian tersebut
melakukan analisis kinerja ESP berdasarkan pembagian arus pada trafo rectifier menggunakan metode penyusunan RCPS (Root Cause Problem Solving), ide generation, dan FGD (Focus Group Discussion).
Terdapat kesamaan dalam analisis kinerja ESP dan salah satu cara yang digunakan adalah dengan mengukur besar arus pada trafo esp. Perbedaan dengan penelitian tersebut yaitu metode yang digunakan
berbeda dengan penelitian ini.
4.
“ANALISIS PENYEBAB
KERUSAKAN HOT ROOLER TABLE DENGAN
MENGGUNAKAN METODE FAILURE MODE AND EFFECT ANALYSIS (FMEA)”
yang dibuat oleh Muhammad Bob Anthony.
Melakukan analisa
kerusakan pada rooler table dengan penerapan metode Failure Mode and Effect Analysis (FMEA).
Memiliki kesamaan pada salah satu metode yang digunakan yaitu metode FMEA.
Perbedaannya terletak pada jenis komponen yang dianalisis.
Tabel 3. Perbandingan Penelitian Relevan Nomor 5 dengan Penelitian ini.
No Judul dan Penulis Penelitian Terdahulu Persamaan dan Perbedaan
5.
“Analisis Risiko Aktivitas Pekerjaan Karyawan Perusahaan Ritel Dengan Metode FMEA dan Diagram Fishbone” oleh Pretty Princess Pontororing dan Aditya Andika
Penelitian tersebut melakukan analisis risiko aktivitas pekerjaan karyawan pada sebuah perusahaan ritel menggunakan metode FMEA yang dilanjutkan dengan membuat diagram fishbone untuk
mengidentifikasikan penyebab potensial atau penyebab actual masalah kerja.
Terdapat kesamaan dalam metode yang digunkana yaitu metode FMEA akan tetapi terdapat perbedaan dalam analisis kegagalan atau permasalahan yang dilakukan yaitu menganalisis Electrostatic Precipitator dengan
menganalisis pekerjaan karyawan perusahaan ritel.
C. Kerangka Pikir
Penggunaan Electrostatic Precipitator (ESP) dalam proses produksi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi komponen penting yang tidak bisa dihilangkan selama proses produksi. Electrostatic Precipitator (ESP) menjadi komponen vital karena sebagai pengolahan abu sisa pembakaran batubara setelah melewati boiler.
Mengatasi masalah yang terjadi selama ESP bekerja sangat diperlukan agar tingkat pencemaran udara berkurang sehingga proses produksi energi listrik dapat berjalan dengan baik dan lancar. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kinerja dan efisiensi dari Electrostatic Precipitator (ESP) yaitu dengan menganalisa berbagai permasalahan dan kegagalan yang terjadi pada ESP. menganalisa permasalahan dan kegagalan pada ESP memungkinkan untuk membuat ESP bekerja secara optimal dan menghindari resiko berhenti nya produksi energi listrik pada PLTU Jawa Tengah 2 Adipala.
Menggunakan Metode Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) diusulkan dalam penelitian ini. Langkah awal yang diperlukan yaitu mengumpulkan data yang didapat
dari PLTU Jawa Tengah 2 Adipala yang kemudian data yang telah didapatkan diolah menggunakan Metode FMEA dengan hasil yang akhir yaitu Risk Priority Number (RPN) yang merupakan indicator penting untuk menentukan Tindakan korektif yang tepat untuk setiap permasalahan atau kegagalan. Penelitian ini menggunakan satu metode yaitu metode FMEA untuk mendapatkan nilai Risk Priority Number (RPN) yang didapat dari perkalian antara Occurrence (O), Severity (S), dan Detection (D).
Gambar Konsep Kerangka Pikir
D. Pertanyaan Penelitian atau Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dapat diketahui pertanyaan pada penelitian ini yang akan dicari jawabannya melalui penelitian.
1. Bagaimana agar permasalahan pencemaran pada PLTU bisa diatasi ?
2. Bagaimana penerapan Failure Mode and Effect Analysis dalam mengestimasi terjadinya gangguan pada Electrostatic Precipitator?
3. Bagaimana tingkat keparahan dari dampak yang terjadi pada Electrostatic Precipitator dari hasil metode Failure Mode and Effect Analysis yang diperoleh dari pengumpulan data di PLTU Jawa Tengah 2 Adipala ?
4. Bagaimana Langkah yang tepat setelah diperoleh hasil yang didapatkan pada analisis permasalahan Electrostatic Precipitator (ESP) menggunakan metode FMEA ?
BAB III
METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menganalisis permasalahan pada komponen electrostatic precipitator atau ESP di PLTU Jawa Tengah 2 menggunakan metode Failure Mode and Effect Analysis. Analisis permasalahan yang dilakukan yaitu dengan menggunakan metode peninjauan langsung ke lokasi penelitian untuk mendapatkan data yang ingin digunakan, berupa data-data mengenai peralatan dan permasalahan yang ingin diteliti yang nantinya akan diolah untuk menentukan tingkat resiko kegagalan dan efek dari kegagalan dengan hasil akhir adalah mendapatkan Risk Priority Number (RPN) yang berfungsi untuk menentukan Tindakan korektif yang tepat atas setiap permasalahan. Penentuan Risk Priority Number (RPN) sangat berkaitan erat dengan parameter Severity (S), Occurance (C), dan Detection (D). Maka dari itu penelititan ini merupakan jenis penelitian kuantitatif.
Hal ini sesuai yang dinyatakan oleh (Sugiyono, 2011) data kuantitatif merupakan metode penelitian yang didasarkan pada data konkrit (positivistic), data penelitian berbentuk angka-angka yang akan diukur menggunakan statistik sebagai alat uji penghitungan, berkaitan dengan masalah yang diteliti untuk menghasilkan suatu kesimpulan.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di PLTU Jawa Tengah 2 Adipala. Area Sawah/Ladang, Bunton, Kecamatan Adiapala, Cilacap, Jawa Tengah. Objek dari penelitian ini adalah Electrostatic Precipitator (ESP) dengan tegangan elektroda 72kV DC dan arus 3A yang mampu mengefiesiensi penangkapan abu 99.5%. Penelitian ini menggunakan data yang diperoleh penulis selama Praktik Industri yang dilaksanakan pada tanggal 01 November 2023 sampai 31 Januari 2024. Akan tetapi penulis berkesempatan melakukan wawancara dan konsultasi hingga bulan Juni 2024.
Selama Praktik Industri berlangsung penulis berkesempatan untuk membuat data yang berkaitan dengan tugas akhir yaitu berupa data-data yang terdapat pada electrostatic precipitator yang bertujuan agar bisa melakukan analisis permasalahan yang terjadi pada electrostatic precipitator. Penelitian ini menggunakan sebagian data hasil laporan Praktik Industri penulis sendiri dengan judul “Electrostatic Precipitator (ESP) pada system fly ash handling di PLTU Jawa Tengah 2 Adipala” untuk dikembangkan menjadi Tugas Akhir Skripsi oleh penulis. Terkait perizinan penggunaan data yang digunakan telah terlampir pada bagian lampiran Tugas Akhir Skripsi ini.
C. Prosedur dan Tahapan Penelitian
Gambar Diagram Alur Penelitian
1. Studi Literatur
Sebuah studi literatur merupakan kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data Pustaka, membaca dan mencatat, serta mengolah bahan penelitian. Pengertian lain tentang studi literatur merupakan cara mencari referensi teori yang relevan dengan kasus atau permasalahan yang ditemukan.
Referensi ini dapat diperoleh dari jurnal, buku, artikel, laporan penelitian, dan situs internet. Studi literatur memiliki output yaitu terkoleksinya referensi yang relevan dengan perumusan masalah (Pilendia, 2020).
Studi literatur yang mendukung penelitian ini meliputi :
a. Spesifikasi komponen electrostatic precipitator di PLTU Jawa Tengah 2 Adipala.
b. Masalah yang sering terjadi pada electrostatic precipitator
c. Penggunakan metode FMEA dalam melakukan analisis suatu permasalahan.
2. Identifikasi Komponen ESP
Electrostatic Precipitator merupakan komponen yang akan kita analisis untuk mendapatkan hasil untuk melakukan pengembangan Tindakan perbaikan.
Maka dari itu electrostatic precipitator harus kita identifikasi agar mengetahui spesifikasi, serta memahami bagaimana electrostatic precipitator bekerja dan bagaimana komponen-komponen tersebut dapat bekerja untuk mengumpulkan partikel-partikel yang terdapat dalam gas buang. Dengan demikian maka dapat melakukan Analisa dalam pengoptimalan kinerja electrostatic precipitator agar tetap efektif selama beroperasi.
Gambar Spesifikasi ESP
3. Identifikasi Mode Kegagalan (Failure Mode)
Tahap Mode kegagalan atau failure mode merupakan tahap awal untuk mengetahui kondisi di mana suatu sistem atau komponen tidak berfungsi sesuai dengan yang diharapkan. Identifikasi mode kegagalan penting untuk mencegah kerusakan yang lebih besar dan memastikan keandalan sistem. Tahapan ini merupakan tahap awal untuk melakukan analisis, d engan mengetahui mode kegagalan, kita dapat merencanakan tindakan perbaikan atau pencegahan yang tepat untuk mengurangi risiko kegagalan yang lebih besar pada suatu komponen atau alat di masa yang akan datang.
Gambar Temuan Ketidaksesuaian dalam ESP
Pada gambar diatas terdapat temuan ketidaksesuaian pada sistem ESP pada saat teknisi melakukan Tindakan preventive maintenance. Temuan tersebut menjadi data identifikasi mode kegagalan yang selanjutnya akan diolah menjadi suatu hasil nilai perhitungan Risk Priority Number (RPN) menggunakan metode Failure Mode Effect and Analysis (FMEA). Hasil RPN digunakan untuk mendapatkan hasil potensi resiko dan tingkat keparahan untuk melakukan tindakan perbaikan atau perawatan dengan segera untuk mencegah kegagalan sistem yang lebih parah.
4. Penilaian Potensial Dampak (Severity)
Tahap pertama dalam dalam metode Failure Mode Effect and Analysis (FMEA) adalah penentuan penilaian potensial dampak atau severity. Severity atau potensial dampak merupakan parameter untuk mengukur tingkat bahaya
pada suatu komponen. Parameter S dapat dilihat pada Tabel 1 dengan memperhatikan kriteria dan tingkatnya.
Tingkat Bahaya Kriteria Tingkat
Sangat Berbahaya Sekali
Kegagalan menyebabkan kerusakan kecelakaan besar secara tiba-tiba dan membahayakan keselamatan kerja
10 Sangat Berbahaya Kegagalan menyebabkan kerusakan kecelakaan
besar secara tiba-tiba dan membahayakan namun ada peringatan atau pendeteksian dini
9 Sangat Tinggi Kegagalan komponen mengakibatkan mesin
mati dan kehilangan fungsi utamanya
8 Tinggi Kegagalan komponen mengakibatkan mesin
masih beroperasi
7 Menengah Kegagalan komponen mengakibatkan kinerja
sistem menurun drastis namun masih dapat beroperasi
6 Rendah Kegagalan komponen mengakibatkan kinerja
sistem menurun secara bertahap dengan mesin masih dapat beroperasi
5 Sangat Rendah Kegagalan komponen mengakibatkan pengaruh
kecil pada kinerja sistem dengan mesin masih berjalan sempurna
4 Kecil Komponen mengalami kinerja menurun namun
sistem dan mesin masih berjalan
3 Sangat Kecil Komponen dipandang buruk namun kinerja
komponen masih baik dan sistem serta mesin masih berjalan sempurna
2
Tidak ada Tidak ada pengaruh 1
Tabel Tingkat Keparahan (S)
5. Penentuan Tingkat Kejadian (Occurance)
Tahap selanjutnya dalam penerapan metode FMEA adalah penentuan tingkat kejadian atau occurance. Occurance (O) merupakan parameter yang berfungsi untuk mengukur tingkat seberapa banyak kejadian kegagalan pada komponen electrostatic precipitator. Parameter Occurance (O) dapat ditunujukkan pada Tabel 2 dengan memperhatikan beberapa kriteria dan tingkat hasilnya.
Tingkat Terjadi Jumlah Kejadian Tingkat Sangat sering terjadi
hingga kerusakan tidak bisa dihindari
Hampir setiap saat terjadi dalam waktu kurang dari 1-2 kali operasi.
10
Sangat sering terjadi Sangat tinggi terjadi dalam waktu kurang dari 3-4 kali operasi
9
Sering terjadi (1) Tinggi terjadi dalam waktu kurang dari 5-8 kali operasi
8
Sering terjadi (2) Cukup tinggi dalam waktu kurang dari 9-20 kali operasi
7
Jarang terjadi (1) Menengah terjadi dalam waktu kurang dari 21- 80 kali
6
Jarang terjadi (2) Rendah terjadi dalam waktu kurang 81-400 kali operasi
5
Jarang terjadi (3) Jarang terjadi dalam waktu kurang dari 401- 2000 kali operasi
4
Sangat jarang terjadi (1)
Sangat jarang dalam waktu kurang dari 2001- 15000 kali operasi
3
Sangat jarang terjadi (2)
Hampir tidak pernah dalam waktu lebih dari 15001 kali operasi
2
Tidak pernah terjadi Tidak pernah terjadi 1
Tabel 2. Tingkat Kejadian (O)
6. Pengenalan Kemampuan Deteksi (Detection)
Tahap ketiga dalam melakukan Analisa menggunakan metode FMEA adalah melakukan pengenalan kemampuan pendeteksian atau detection. Pengenalan kemampuan deteksi merupakan parameter yang berfungsi untuk mengatur kemampuan dalam mendeteksi kejadian kegagalan dalam suatu kejadian yang terjadi. Parameter detection (D) dapat ditunjukkan dalam tabel 3 dengan memperhatikan kriteria dan tingkatannya.
Deteksi Kriteria Tingkat
Mustahil untuk terdeteksi
Tidak akan terdeteksi akan adanya penyebab potensi kegagalan selanjutnya
10
Sangat sulit terdeteksi
Sangat sulit untuk mengontrol perubahan untuk mendeteksi penyebab potensi dan jenis
kegagalan selanjutnya
9
Sulit untuk terdeteksi
Sulit untuk mengontrol perubahan untuk mendeteksi penyebab potensi dan jenis kegagalan selanjutnya
8
Untuk terdeteksi sangat rendah
Sangat rendah untuk mendeteksi penyebab potensi dan jenis kegagalan selanjutnya
7
Untuk terdeteksi renda h
Renda h untuk mendeteksi penyebab potensi da n jenis kega ga la n sela njutnya
6
Untuk terdeteksi seda ng
Ha mpir tida k muda h untuk mendeteksi penyeba b potensi da n jenis kega ga la n sela njutnya
5
Untuk terdeteksi menenga h ke a ta s
Ha mpir muda h untuk mendeteksi penyeba b potensi da n jenis kega ga la n sela njutnya
4
Muda h terdeteksi Muda h terkontrol untuk mendeteksi penyeba b potensi da n jenis kega ga la n sela njutnya
3
Sa nga t muda h untuk terdeteksi
Sa nga t muda h terkontrol untuk mendeteksi penyebab potensi da n jenis kega ga la n sela njutnya
2
Deteksi da pa t dila kuka n denga n meliha t sa ja
Da pa t diduga a ka n seringnya terja di menga kiba tkan deteksi pa da potensi penyeba b da n kejadia n
1
Tabel 3 Detection (D)
7. Perhitungan Nilai Risk Priority Number (RPN)
Akhir tahapan dalam melakukan analisis menggunakan metode FMEA adalah mendapatkan nilai Risk Priority Number (RPN). Nilai Risk Priority Number (RPN) akan digunakan dalam analisis risiko untuk menilai tingkat risiko suatu kejadian atau potensi kegagalan. Risk Priority Number (RPN) dihitung dengan mengalikan tiga faktor yang saling terkait, yaitu Severity (keparahan), Occurrence (kejadian), dan Detection (deteksi). Rumus perhitungan nilai Risk Priority Number adalah RPN = Severity x Occurrence x Detection. Nilai RPN menjadi dasar dalam melakukan tindakan perbaikan, semakin tinggi nilai RPN maka semakin tinggi tingkat resiko yang dimiliki.
Matriks penilaian dari parameter RPN dapat ditunjukan pada tabel 4.
Komponen S O D RPN
Komponen 1 𝑋11 𝑋11 𝑋11 𝑅𝑃𝑁1
Komponen 2 𝑋21 𝑋22 𝑋21 𝑅𝑃𝑁2
Komponen 3 𝑋31 𝑋32 𝑋31 𝑅𝑃𝑁3
Komponen 4 𝑋41 𝑋42 𝑋41 𝑅𝑃𝑁4
Komponen 5 𝑋51 𝑋52 𝑋51 𝑅𝑃𝑁5
Komponen 6 𝑋61 𝑋62 𝑋61 𝑅𝑃𝑁6
Tabel 4 Perhitungan Nilai RPN
8. Pengembangan Tindakan Perbaikan (Action Plan)
Langkah selanjutnya adalah mengembangkan tindakan perbaikan atau action plan untuk mengurangi resiko yang di identifikasi. Nilai Risk Priority Number (RPN) yang didapatkan menjadi dasar dalam melakukan tindakan perbaikan.
Tindakan perbaikan atau action plan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu : 1) Tindakan Pemeliharaan Preventive atau Preventive Maintenance 2) Tindakan Pemeliharaan korektif atau Corrective Maintenance 3) Tindakan Pemeliharaan prediktif atau Predictive Maintenance
Dalam pengembangan tindak perbaikan atau action plan tergantung kepada hasil dari RPN, Penentuan tindakan perbaikan dengan RPN dapat diklasifikasikan seperti pada tabel 5.
Rank Tindakan Perbaikan Kriteria
1 Pemeliharaan Prediktif RPN>300
2 Pemeliharaan Preventif 200<RPN<300
3 Pemeliharaan Korektif RPN<200
Tabel 5 Pemilihan kriteria untuk tindakan perbaikan
9. Implementasi dan Pemantauan
Agar permasalahan diatas terlaksana dengan baik, maka tahap terakhir yaitu implementasi dan pemantauan. Ketika tindakan pengembangan atau action plan telah dilakukan, maka tahap pemantauan dan implementasi ini sangat penting.
Implementasi sendiri adalah proses melaksanakan rencana sehingga suatu konsep menjadi kenyataan. Sehingga setelah kita mendapatkan nilai pemilihan kriteria perbaikan maka ditahap ini melakukan yang sudah diperoleh dalam data klasifikasi tindakan perbaikan. Setelah dilaksanakan tindakan perbaikan maka Langkah yang tidak kalah penting yaitu pemantauan. Pemantauan adalah kegiatan mengamati perkembangan pelaksanaan rencana pembangunan, mengidentifikasi atau mengukur pengaruh dari kegiatan yang sedang berjalan (on going).
D. Teknik Pengumpulan Data
Menggunakan beberapa Teknik metode pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis sebagai berikut:
1. Pengamatan
Metode pengamatan yang dilakukan dalam penelitian ini berupa observasi secara langsung. Data yang diperlukan sebagai data penelitian dilakukan observasi secara langsung seperti data permasalahan yang terdapat pada electrostatic precipitator dalam kurun waktu 3 bulan. Digunakannya metode ini agar dapat diketahui data secara rinci dan akurat melalui pengamatan secara langsung (Fatmawati, 2013).
2. Wawancara
Menurut Sugiyono (2016:317) wawancara digunakan sebagai Teknik pengumpulan data untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam.
Metode wawancara yang digunakan dalam penelitian ini berupa tanya jawab peneliti dengan teknisi yang berada pada PLTU Jawa Tengah 2 Adipala yang tepatnya berada pada unit energi primer. Melalui wawancara ini peneliti mengetahui lebih dalam mengenai kinerja electrostatic precipitator dan permasalahan yang terjadi.
3. Pengujian
Metode pengujian yang digunakan dalam penelitian ini berupa hasil pengukuran melalui sistem pemantauan (Abdillah & Herawati, 2018). Sistem pemantauan dalam kasus ini berupa rekaman data pada sistem monitoring data maximo pada service request yang terekam seperti deskripsi permasalahan, detail permasalahan, status alat, lokasi, dll Pengambilan data diperoleh saat electrostatic precipitator beroperasi dan data maximo akan secara otomatis terekam datanya melalui aplikasi serta berdasarkan laporan teknisi pada saat melakukan preventive maintenance.
4. Dokumentasi
Metode dokumentasi serupa dengan metode pengamatan langsung tetapi data yang diambil berupa dokume