SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Fakultas Syariah dan Hukum
MUHAMMAD AS’AD ARIFIN NIM. 11820112941
PROGRAM S 1
HUKUM KELUARGA (AHWAL SYAKHSHIYYAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU 1444 H/2022 M
i
Muhammad As’ad Arifin, (2022): Prosedur Penetapan Wali Nikah Bagi Anak Hasil Zina pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kota Pekanbaru dalam Perspektif Hukum Islam
Penelitian ini dilatar belakangi oleh anak yang terlahir karena kehamilan sebelum nikah tetapi dilahirkan dalam pernikahan yang sah, Jika anak yang terlahir dari perkawinan tersebut adalah seorang perempuan maka masalahnya adalah siapa yang berhak nantinya menjadi wali nikah. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana prosedur penetapan wali nikah dan pelaksanaan akad nikah menggunakan wali hakim bagi anak hasil zina yang statusnya masih dirahasiakan kepada pihak keluarga besar dan bagaimana analisis hukum Islam terhadap penetapan wali nikah bagi anak hasil zina. Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui bagaimana prosedur menentukan bahwa seseorang itu terlahir karena hamil sebelum nikah serta mengetahui pelaksanaan akad nikah yang menggunakan wali hakim bagi anak hasil zina yang statusnya masih dirahasiakan kepada pihak kelurga dan Untuk mengetahui bagaimana analisis hukum Islam terhadap penetapan wali nikah bagi anak hasil zina.
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research). Adapun yang menjadi informan penelitian adalah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) dan Penghulu dari 3 (tiga) Kecamatan yaitu KUA Kec. Tampan, KUA Kec. Bukit Raya dan KUA Kec. Sail. Sedangkan metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah observasi, wawancara dan dokumentasi, kemudian dianalisa dengan teknik analisis data deskriptif kualitatif.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Hasil penelitian ini adalah pendapat Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) dan Penghulu terhadap penatapan wali nikah bagi calon pengantin perempuan yang terlahir karena hamil sebelum nikah. Apabila anak tersebut anak yang lahir karena kehamilan diluar nikah atau disebabkan hubungan badan sebelum pernikahan yang sah (zina), maka wali nikah nya adalah wali hakim. Dalam fikih, jumhur ulama sepakat bahwa anak luar nikah tidak mendapat hak waris dari ayahnya biologisnya, karena tidak adanya status nasab yang sah diantara mereka. Adapun dalam perwalian bagi calon pemgantin perempuan yang terlahir karena hamil sebelum nikah bukanlah bapak biologisnya dan bapa biologisnya tidak memiliki hak wali bagi anaknya karena tidak adanya status nasab yang sah dan apabila terjadi perselisihan maka wali bagi perempuan itu adalah wali hakim
Kata kunci : Wali nikah, Hamil Sebelum Nikah, Wali hakim
ii Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah dalam meraih kesuksesan dunia dan akhirat, semoga dengan senantiasa bershalawat dan menjalankan sunnahnya kita mendapatkan syafa‟atnya, Aamiin. sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “PROSEDUR PENETAPAN WALI NIKAH BAGI ANAK HASIL ZINA PADA KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) KOTA PEKANBARU DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM”.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program sarjana (S1) pada Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Keluarga Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menyelesaikan penyusunan penelitian ini sebaik-baiknya, namun penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Hal ini dikarenakan oleh kemampuan dan cakrawala berfikir penulis sendiri. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan penelitian ini.
Skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orang tua tercinta khususnya (Almarhum) Drs. H. Mas’adi dan Ermiati yang tidak pernah
iii
maupun non materi dalam pembuatan skripsi ini beserta nasehat-nasehat yang selalu memotivasi penulis.
Penulis juga menyadari tanpa bantuan, bimbingan, saran dan fasilitas dari berbagai pihak, penelitian skripsi ini tidak dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada:
1. Untuk kedua orang tua tercinta Alm. Drs. H. Mas‟adi dan Ermiata beserta kedua adik kandung saya, M. Badruddin Assa‟idy dan Siti Tazkiyatus Sa‟adah yang selalu memberikan dukungan materil dan moril berupa kasih sayang dan mendoakan penulis tiada henti-hentinya demi kesuksesan penulis menyelesaikan studi S-1 ini.
2. Bapak Prof. Dr. Hairunnas, M. Ag, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau beserta Ibuk Prof. Dr. Hj. Helmiati, M. Ag sebagai Wakil Rektor I, Bapak Dr. H. Mas‟ud Zein, M.Pd sebagai Wakil Rektor II, dan Bapak Edi Erwan, S.Pt., M.Sc., Ph.D sebagai Wakil Rektor III Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
3. Bapak Dr. Zulkifli, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum beserta Bapak Dr. H. Erman, M. Ag sebagai Wakil Dekan I, Bapak Dr. H.
Mawardi, S. Ag., M.Si sebagai Wakil Dekan II, dan Ibu Dr. Hj. Sofia Hardani, M.Ag sebagai Wakil Dekan III Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sultan Syariaf Kasim Riau.
4. Bapak Dr. H. Akmal Abdul Munir., Lc., MA. Selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum, beserta Bapak Ahmad Fauzi,
iv
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
5. Bapak Dr. H. Akmal Abdul Munir., Lc., MA. Dan Bapak Hairul Amri., M.Ag. Selaku pembimbing skripsi saya, yang telah meluangkan waktunya ditengah-tengah kesibukannya, dengan ikhlas dan sabar memberikan motivasi dan arahan hingga penyelesaian skripsi ini.
6. Bapak Drs, Zainal Arifin, M.A. Selaku Dosen Penasehat Akademis saya.
Terima kasih atas semua waktu, bimbingan, dan pengarahan serta nasehat yang telah banyak bapak berikan dengan ikhlas dan sabar dari semester awal hinggah akhir.
7. Seluruh Bapak dan Ibu dosen pengampu mata kuliah pada program studi Hukum Keluarga yang telah mendidik dan membantu penulis dalam menyelesaikan perkuliahan di UIN Suska Riau Fakultas Syariah dan Hukum, sekaligus Civitas Akademik Fakultas Syariah dan Hukum yang telah menyediakan waktu pelayanannya untuk penulis yang sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Kepada Ibu Hj. Rasdanelis, M.Hum sebagai Kepala Perpustakaan UIN Suska Riau beserta Staf yang telah melayani Mahasiswa/i untuk meminjam buku ataupun belajar lansung di perpustakaan UIN Suska Riau.
9. Terimakasih Kepada Kantor Urusan Agama Pekanbaru yaitu (Kantor Urusan Agama Kecamatan Tampan, Kantor Urusan Agama Kecamatan Bukit Raya, dan Kantor Urusan Agama Kecamatan Sail) yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian mengenai “Prosedur Penetapan Wali Nikah Bagi Calon Pengantin Perempuan Yang Terlahir Karena Hamil Sebelum Nikah
v Pekanbaru”.
10. Terimakasih kepada sahabat-sahabat saya yang menjadi orang-orang berjasa dalam perkuliahan saya.
11. Terima kasih kepada Keluarga Kelas Hukum Keluarga C.18 dan terima kasih kepada semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang selama empat tahun ini banyak sekali dukungan dari kalian yang tak mungkin saya balas dengan apapun.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas semua bantuan dan kebaikan yang telah kalian berikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembacanya. Aamiin yaa rabbal „aalamiin.
Pekanbaru, Oktober 2022 Penulis
vi PERSETUJUAN PEMBIMBING SURAT PERNYATAAN
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Batasan Masalah ... 9
C. Rumusan Masalah ... 9
D. Tujuan Penelitian ... 9
E. Manfaat Penelitian ... 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 11
A. Kerangka Teoritis ... 11
1. Pengertian Wali Nikah ... 11
2. Dasar Hukum Wali Nikah ... 13
3. Macam-macam Wali Dalam Pernikahan... 15
4. Syarat-syarat Wali Nikah ... 22
5. Asal Usul Anak ... 23
6. Kawin Hamil ... 26
B. Penelitian Terdahulu ... 28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 32
A. Jenis Penelitian ... 32
B. Lokasi Penelitian ... 33
C. Subjek dan Objek Penelitian ... 33
D. Populasi dan Sampel ... 34
E. Sumber Data ... 35
F. Teknik Pengumpulan Data ... 36
G. Teknik Analisis Data ... 37
H. Teknik Penulisan ... 37
vii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39
A. Gambaran Umum Kantor Urusan Agama (KUA) ... 39
1. Sejarah Kantor Urusan Agama (KUA) ... 39
2. Tugas dan Fungsi Kantor Urusan Agama (KUA) ... 41
3. Profil Kantor Urusan Agama Kec. Tampan ... 42
4. Profil Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Bukit Raya ... 43
5. Profil Kantor Urusan Agama (KUA) Kec. Sail ... 45
6. Data Kasus Pernikahan bagi Pengantin Perempuan yang Terlahir Karena Hamil Sebelum Nikah... 48
B. Pembahasan ... 48
1. Prosedur penetapan wali nikah dan pelaksanaan akad nikah menggunakan wali hakim bagi anak hasil zina yang statusnya masih dirahasiakan kepada pihak keluarga besar ... 48
2. Analisis hukum Islam terhadap penetapan wali nikah bagi calon pengantin perempuan yang terlahir karena hamil sebelum nikah . 59 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 65
A. Kesimpulan ... 65
B. Saran ... 66
DAFTAR PUSTAKA ... 68
A. Buku ... 68
B. Jurnal/Skripsi/Tesis/Laporan... 70
C. Kamus/Al-Qur‟an ... 71
D. Peraturan Perundang-Undangan... 71
E. Website ... 71
LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 72
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT telah menciptakan laki-laki dan perempuan sehingga mereka dapat berhubungan satu sama lain, sehingga mencintai, menghasilkan keturunan, serta hidup dalam kedamaian sesuai dengan perintah Allah SWT dan petunjuk Rasul-Nya.1
Pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan mendirikan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU No. 1 Tahun 1974 pasal 1) dengan demikian dapat dikatakan dan dipahami bahwa perkawinan bukan sekedar penyaluran naluri seks belaka, melainkan juga perintah agama dan bernilai ibadah agar pihak-pihak yang melangsungkan pernikahan terpelihara ketakwaannya.2
Pernikahan merupakan perkara yang Allah Syari‟atkan dan halalkan melalui lisan para Rasul-Nya, di dalamnya terdapat manfaat duniawi dan ukhrawi. Dan Allah mengaruniai menusia dengan menjadikan bagi mereka pasangan-pasangan dari diri mereka. Allah berfirman:3
1 Abdul Rahman, Perkawinan Dalam Syari‟at Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), cet. ke-II, hlm. 1
2 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2012), cet. ke-V, hlm. 32
3 Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, Ensiklopedi Adap Islam Menurut al-Qur‟an dan as-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari, (Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi‟i, 2017), cet. ke-IV, hlm.
450
Artinya : “Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah”.4 (QS. An- Nahl: 72)
Salah satu dari asas dan prinsip dari Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing– masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. Dengan perkataan lain tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera maka Undang–Undang menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasan tertentu serta harus dilakukan di depan pengadilan.5
Salah satu yang dilindungi demi kemaslahatan manusia adalah memelihara keturunan, untuk ini Islam mengatur pernikahan dan mengharamkan zina, bagaimana cara-cara pernikahan itu dilakukan dengan rukun serta syarat-syarat yang harus dipenuhi.
4 Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung:
Penerbit Diponegoro, 2014), cet. ke-I, hlm. 219
5 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), cet.
ke-I, hlm. 20
Pasangan suami istri yang akan melangsungkan pernikahan harus diperhatikan rukun dan syarat yang melihat padanya atau prosedur-prosedur akad nikah baik ketentuan dalam hukum Islam maupun ketentuan resmi lainnya yang diberlakukan dalam kehidupan masyarakat Indonesia berupa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam khususnya bagi umat Islam Indonesia yang dimaksud dalam isntruksi presiden Nomor 1 Tahun 1991. Salah satunya adalah keberadaan wali. Wali dalam perkawinan adalah orang yang bertanggung jawab atas perkawinan yang dilaksanakan dibawah perwaliannya. Wali merupakan orang yang mengakadkan nikah itu menjadi sah. Nikah yang tanpa wali adalah tidak sah. Karena setiap wali bermaksud memberikan bimbingan dan kemaslahatan terhadap orang yang berada dibawah perwaliannya.
Di Indonesia kedudukan wali nikah sangatlah penting, karena Indonesia menganut pendapat Mazhab Syafi‟i yang mengatakan bahwa tidak mungkin terjadi perkawinan tanpa adanya wali. Hukum yang berlaku di Indonesia telah mengakui, bahwa wali merupakan salah satu rukun dalam aqad nikah. Sehingga perkawinan yang dilakukan tanpa walinya hukumnya tidak sah. Hal tersebut ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 19: “Wali nikah dalam perkawinan adalah rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkan”.6
Adapun dalam Hukum Islam, ulama berbeda pendapat tentang status wali dalam perkawinan. Namun, mayoritas ulama berpendapat wali adalah
6 Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam tentang Wali Nikah
syarat sahnya perkawinan dan bahwa perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri serta tidak pula ia diperbolehkan untuk menikahkan orang lain.
Perkawinan tidak sah dengan lafadz yang diucapkan oleh calon mempelai laki-laki tanpa kehadiran wali nikah, karena wali merupakan syarat sahnya akad nikah dan pihak yang boleh mengadakan akad.7
Para ahli fiqih sebagaimana dikutip Kamal Muchtar, telah mengklasifikasikan wali nikah menjadi beberapa bagian: pertama, ditinjau dari sifat kewaliannya terbagi menjadi wali naṣab (wali yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan pihak wanita) dan wali hakim. Kedua, ditinjau dari keberadaannya terbagi menjadi wali aqrab (dekat) dan wali ab‟ad (jauh).
Ketiga, ditinjau dari kekuasaannya terbagi menjadi wali mujbir dan wali gairu mujbir.8 Dan lebih singkatnya urutan wali adalah: (1) Ayah seterusnya ke atas;
(2) Saudara laki-laki ke bawah; dan (3) Saudara laki-laki ayah ke bawah.
Salah satu persoalan perkawinan wanita hamil adalah bagaimana kedudukan anak di hadapan hukum. Anak adalah keturunan kedua sebagai hasil dari hubungan antara pria dan wanita. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 42 yaitu: ”Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.9 Hal senada juga diungkapkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 99 yaitu:” Anak sah adalah (a) anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, (b) hasil
7 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid III, terj. Abu Aulia dan Abu Syauqina, (Jakarta:
Republika Penerbit, 2017), cet. ke-I, hlm. 379
8 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), cet. ke-III, hlm. 101
9 Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut”.10
Penetapan asal-usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan nasab antara anak dengan ayahnya. Kendatipun pada hakikatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus menjadi ayahnya, namun hukum Islam memberikan ketentuan lain.
Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah, biasa disebut dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah dan ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.11
Di tengah perbedaan antara fikih dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang selaras dengan Kompilasi Hukum Islam dalam penentuan status hukum anak akibat kehamilan di luar perkawinan kedua orang tuanya, maka akan timbul pertanyaan apakah anak tersebut sah atau tidak bagi kedua orang tuanya? Dan bagaimanakah Kantor Urusan Agama (KUA) menentukan siapa wali nikahnya bagi calon pengantin perempuan? Hal inilah yang menjadi pertanyaan penting, apakah memilih pendapat fikih atau Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang didukung oleh Kompilasi Hukum Islam. Seorang penghulu tidak boleh menganggap mudah masalah tersebut. Tidak boleh sewenang-
10 Pasal 99 Bab XIV Kompilasi Hukum Islam tentang Pemeliharaan Anak.
11 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), cet. ke-I, hlm. 276
wenang dalam mengambil keputusan, karena hal tersebut menyebabkan sah atau tidaknya perkawinan anak perempuan akibat kehamilan di luar perkawinan kedua orang tuanya dan hal itu akan memberi dampak bagi generasi penerusnya.
Permasalahan yang timbul akibat dari perkawinan yang telah didahului kehamilan mempelai wanita di antaranya adalah ketika anak yang dikandungnya itu telah lahir dan berjenis kelamin perempuan, anak perempuan tersebut akan tumbuh menjadi gadis dewasa dan siap untuk melangsungkan perkawinan. Maka penentuan wali nikah bagi anak perempuan akibat kehamilan di luar perkawinan merupakan salah satu problem yang menjadi dampak dari kehamilan di luar perkawinan itu sendiri.
Dalam pasal 42 UU. No 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Hal senada juga diungkapkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 99 yaitu: ”anak yang sah adalah (a) anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, (b) hasil pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut”. Ketentuan tentang anak sah dalam UU No. 01 Tahun 1974 dan KHI pada dasarnya sama. Hanya saja dalam KHI diperluas ketentuan tentang pengaruh teknologi bayi tabung.12
Ketentuan tersebut menarik untuk dikaji karena rumusan seperti itu mempunyai dua arti. Pertama, anak sah adalah anak yang lahir dalam perkawinan yang sah. Artinya, apabila anak dilahirkan dalam perkawinan
12 Jazuni, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Haniya Press, 2006), cet. ke-I, hlm. 189
yang sah, maka dia adalah anak sah pasangan suami isteri yang melahirkannya. Dengan demikian, anak yang dilahirkan setelah dilangsungkannya perkawinan pasangan tersebut, termasuk anak sah, tanpa ada batasan waktu minimal usia perkawinan. Kedua, anak sah adalah anak yang lahir sebagai akibat perkawinan yang sah. Artinya, anak tersebut lahir sebagai akibat hubungan suami isteri yang dilakukan dalam ikatan perkawinan yang sah.13
Para ulama fikih sepakat bahwa batas minimal usia kehamilan adalah 6 bulan, dihitung dari saat akad nikah dilangsungkan. Dengan demikian, anak yang lahir kurang dari enam bulan setelah akad kedua orang tuanya disebut anak di luar nikah. Menurut hukum Islam seorang anak perempuan yang lahir seperti ini akan menimbulkan permasalahan antara lain bagaimana hubungan antara ayah dalam hal nasab, kepada siapa anak tersebut dinasabkan, siapa yang wajib memberi nafkah, dan dari mana anak tersebut akan menerima warisan. Kemudian siapa yang berhak menjadi wali anak perempuan tersebut ketika hendak menikah, wali nasab atau wali hakim.
Di dalam kehidupan masyarakat, tidak sedikit jumlah perkawinan yang telah didahului oleh perzinaan, artinya ketika dilakukan akad nikah, mempelai wanita dalam pernikahan tersebut sudah dalam keadaan mengandung anak dari mempelai laki-laki yang menghamilinya. Apabila anak yang dilahirkan tersebuat adalah perempuan maka disinilah akan timbul masalah yang serius.
Dan hal yang sangat memprihatinkan yaitu ketika orang tua ataupun pihak
13 Ibid., hlm. 190.
keluarga menyembunyikan kejadian ini dari anak atau calon pengantin perempuan dan pihak Kantor Urusan Agama (KUA) tersebut.
Dalam administrasi pencatatan nikah, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) atau penghulu berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan dan verifikasi dokumen calon suami, istri dan wali nikahnya. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendapatkan kebenaran formil maupun materil calon pengantin dan wali nikahnya. Dari proses pemeriksaan ini dapat diketahui apakah rencana pernikahan bisa dilanjukan pada tahap pernikahan atau tidak, siapa yanag akan menjadi wali nikahnya, kapan pernikahan akan dilaksanakan dan di mana.
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, penulis ingin mengetahui sejauh mana pemeriksaan dan penerapan dalam menentukan wali nikah bagi calon pengantin perempuan yang terlahir karena sebelum nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) tersebut. Dalam hal menentukan wali nikah dalam pernikahan bagi perempuan yang terlahir karena hamil sebelum nikah, apa upaya yang dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) dalam Kecamatan Kota Pekanbaru untuk menentukan bahwa seseorang itu terlahir karena hamil sebelum nikah . Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut dan menyusunnya ke dalam skripsi yang berjudul:
Prosedur Penetapan Wali Nikah Bagi Anak Hasil Zina pada Kantor Urusan Agama (KUA) Kota Pekanbaru dalam Perspektif Hukum Islam
B. Batasan Masalah
Untuk lebih terarahnya penulisan skripsi ini dan agar tidak terjadi penyimpangan yang jauh dari pokok permasalahan, maka dibatasi penelitian ini terkait prosedur penentuan wali nikah bagi calon pengantin perempuan yang terlahir karena hamil sebelum nikah dan pelaksanaan akad nikah bagi calon pengantin perempuan yang terlahir karena hamil sebelum nikah yang statusnya masih dirahasiakan oleh pihak keluarga dari masyarakat umum pada 3 (tiga) Kantor Urusan Agama (KUA) yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tampan, Bukit Raya dan Sail.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian permasalahan di atas maka pokok permasalahan dalam proposal penelitian ini dapat di rumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana prosedur penetapan wali nikah dan pelaksanaan akad nikah menggunakan wali hakim bagi anak hasil zina yang statusnya masih dirahasiakan kepada pihak keluarga besar?
2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap penetapan wali nikah bagi anak hasil zina?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana prosedur menentukan bahwa seseorang itu terlahir karena hamil sebelum nikah dan untuk mengetahui pelaksanaan
akad nikah yang menggunakan wali hakim bagi anak hasil zina yang statusnya masih dirahasiakan kepada pihak kelurga.
2. Untuk mengetahui bagaimana analisis hukum Islam terhadap penetapan wali nikahbagi anak hasil zina.
E. Manfaat Penelitian
Pengkajian dari permasalahan ini diharapkan mempunyai nilai manfaat baik bagi pembaca terlebih lagi bagi penulis sendiri, baik secara teoritis maupun secara praktis. Adapun manfaat penelitian ini, yaitu:
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, masukan, informasi baik secara langsung maupun tidak langsung serta pemahaman, adanya sumbangan pemikiran dan pengetahun. Secara teoritis, diharapkan dapat menambah khasanah ilmu Hukum Keluarga.
2. Bagi lembaga, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan acuan dalam menjalankan proses pernikahan yang sah menurut Islam mengenai konsep menentukan wali nikah bagi calon pengantin perempuan yang terlahir karena sebelum nikah di Kantor Urusan Agama (KUA).
3. Sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal al-Syakhshiyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
11 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoritis
1. Pengertian Wali Nikah
Wali dalam pernikahan adalah yang menjadi pihak pertama dalam aqad nikah, karena yang mempunyai wewenang menikahkan mempelai perempuan, atau yang melakukan ijab. Sedang mempelai laki-laki akan menjadi pihak kedua, atau yang melakukan qabul.
Wali dalam pernikahan menempati urutan yang ketiga dalam urutan rukun nikah. Wali secara etimologi ialah dekat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata wali didefinisikan dengan; Pengasuh pengantin wanita pada waktu menikah (yaitu melakukan janji nikah dengan pengantin pria)14 . Sedangkan menurut Kamal Mukhtar dalam bukunya, azas-azas Hukum Islam tentang Perkawinan, mengatakan bahwa wali secara bahasa dapat berarti “wilayah, yang berarti;
Penguasaaan dan Perlindungan.15
Adapun pengertian wali secara terminologi, para ulama memberikan definisi yang berbeda-beda, namun apabila dicermati dari beberapa definisi itu mengarah pada satu titik kesimpulan yang saling menguatkan. Untuk lebih jelasnya, di antara definisi-definisi itu adalah:
14 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1999), cet. ke-X, hlm. 1124
15 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), cet. ke-I, hlm. 92
a. Menurut Abdul Majid, wali adalah kekuatan syariat yang membuat pemiliknya dapat melaksanakan sebuah akad dan segala tindak lanjutnya, tanpa harus meminta izin dari pihak lain, baik akad itu untuk dirinya sendiri atau orang lain, baik dalam hal urusan umum seperti tanggungan hakim, maupun dalam urusan yang khusus seperti orang tua terhadap anaknya.16
b. Menurut Prof. Dr. Amir Syarifuddin, wali dalam perkawinan itu adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.17
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan para ulama di atas, dapat dipahami bahwa yang dikatakan wali adalah seseorang yang mempunyai kekuatan hukum untuk menikahkan seorang perempuan yang berada di bawah perwaliannya, yang dapat menentukan sah atau tidaknya pernikahan. Atau seseorang yang mempunyai kekuasaan, sehingga bisa bertindak menikahkan perempuan yang berada di bawah perwaliannya.
16 Zaiyad Zubaidi, “Perpindahan Wali Nasab Kepada Wali Hakim (Analisis Terhadap Sebab-Sebab „Adhal Wali Pada KUA Kecamatan Syiah Kuala Kota Banda Aceh)”, El- Usrah:Jurnal Hukum Keluarga, Vol. I, No. 1 2018, hlm. 4.
17 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. ke-I, hlm. 69
Keberadaannya menjadi rukun dalam pernikahan yang akan dilaksanakan.
2. Dasar Hukum Wali nikah
Mengenai wali yang melaksanakan akad nikah, masih terdapat banyak perbedaan pendapat. Oleh karena itu, penulis bermaksud untuk mengemukakan beberapa dalil dan hukum yang berkenaan dengan masalah wali nikah.
Allah SWT berfirman:
…
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya”.(QS. Al-Baqarah : 232)18
Asbabun nuzul ayat ini adalah berdasarkan suatu riwayat dari Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Hadits tersebut dishahihkan oleh Tirmidzi bahwa Ma‟qil bin Yasar menikahkan saudara perempuannya dengan seorang laki-laki Muslim pada masa Rasulullah SAW. Kemudian hiduplah ia dengan suaminya itu, lalu ia menceraikannya dengan talak satu, dan ia tidak merujuknya kembali hingga wanita itu menyelesaikan iddahnya. Tetapi laki-laki itu ternyata masih mencintainya dan si wanita pun masih mencintai bekas suaminya. Maka laki-laki itu melamarnya kembali. Ma‟qil pun berkata kepadanya: Hai orang celaka, aku
18 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, (Jakarta Timur: Pustaka Al- Kautsar, 2017), cet. Ke-3, hlm. 37.
menghormatimu dan menikahkan mu dengan saudara perempuanku, tapi engkau malah menceraikan dia. Demi Allah dia tidak akan kukembalikan kepadamu untuk selamanya hingga akhir hayatmu, maka turunlah ayat tersebut (QS. Al-Baqarah: 232). Setelah Ma‟qil bin Yasar mendengar ayat itu, maka dia pun berkata: “Aku mendengar dan mentaati Rabbku”.
Setelah itu Ma‟qil bin Yasar memanggil laki-laki tersebut seraya berkata:
“Aku nikahkan engkau kembali dan aku hormati engkau”.19
Eksistensi tentang wali dalam suatu pernikahan menurut ulama mazhab Syafi‟i dan Hanbali adalah suatu keharusan dalam pernikahan.
Dasar persoalan ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a.
meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda,
ْيَدِهاَشَو ٍِّّلَوِب َّلَِإ َحاَكِن َلَ َلاَق َمَّلَسَو هْيَلَع َُّللَّا ىَّلَص َِّللَّا َلوُسَر َّنَأ َةَشِئاَع ْنَع ) نابح نبا هاور ( ٍّلْدَع
Artinya: “Dari „Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu‟alaihi wasallam bersabda: “Tidak (sah) pernikahan, kecuali dengan kehadiran seorang wali dan dua orang saksi yang adil”. (HR. Ibnu Hibban)20
Dalam Kompilasi Hukum Islam, wali nikah merupakan rukun dari perkawinan. Sebagaimana tercantumkan dalam pasal 19: “wali nikah
19 Abdullah bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, Penerjemah: M. Abdul Ghoffar, (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi‟I, 2004), hlm. 465
20 Amir Alaiddin Ali, Shahih Ibnu Hibban, (Bairut-Libanon: Dar al-Fikr, 1996), cet. ke-1, jilid 4, hlm. 310
dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.21
3. Macam-macam Wali Dalam Pernikahan a. Wali Nasab
Wali nasab adalah wali yang hak perwaliannya didasarkan karena adanya hubungan darah. Apabila wali nikah yang berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah, atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu, atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.22
Kompilasi Hukum Islam (KHI) memerinci tentang wali nasab dalam Pasal 21, berikut akan di kutip dibawah ini:23
1) Wali nasab ini terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan,kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erattidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
a) Golongan pertama adalah kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
21 Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam tentang Wali Nikah
22 Taqiyudin Abu Bakar, Kifayatul al-Akhyar, juz II, (Surabaya: Bina Iman, 1995), cet.
ke-I, hlm. 49
23 Pasal 21 Kompilasi Hukum Islam tentang Wali Nikah
b) Golongan kedua adalah kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dari keturunan laki- laki mereka.
c) Golongan ketiga adalah kelompok kerabat paman, yakni saudaralakilaki ayah, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-lakimereka.
d) Golongan keempat adalah kelompok saudara laki-laki kandungkakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.
2) Apabila dalam suatu kelompok wali nikah mereka, terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali nikah, maka yang paling berhak menjadi wali adalah yang lebih dekat derajat kekerabatannyadengan calon mempelai wanita.
3) Apabila dalam suatu kelompok sama derajat kekerabatannya, makayang berhak menjadi wali nikah adalah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
4) Apabila dalam suatu kelompok derajat kekerabatannya sama, yaitu sama-sama berhak menjadi wali nikah, maka lebih mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat menjadi wali.
Wali nikah menurut Imam Syafi‟i yaitu sebagai berikut:
1) Ayah kandung
2) Kakek (dari garis ayah) dan seterusnya ke atas dalam garis laki- laki
3) Saudara laki-laki sekandung 4) Saudara laki-laki seayah
5) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung 6) Anak laki-laki saudara laki-laki yang seayah
7) Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung 8) Anak laki-laki dari anak laki-laki seayah
9) Saudara laki-laki ayah kandung
10) Saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah) 11) Anak laki-laki paman sekandung
12) Anak laki-laki paman seayah 13) Saudara laki-laki kakek sekandung
14) Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung 15) Anak laki-laki saudara laki-laki kakek seayah
Pasal 22 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah, atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, atau sudahuzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.24
24 Pasal 22 Kompilasi Hukum Islam tentang Wali Nikah
Selanjutnya wali nasab dibagi menjadi dua, yaitu wali aqrab (dekat) dan wali ab‟ad (jauh). Adapun berpindahan wali aqrab kepada wali ab‟ad adalah dengan ketentuan sebagai berikut :
1) Apabila wali aqrab-nya non muslim 2) Apabila wali aqrab-nya fasik
3) Apabila wali aqrab-nya belum dewasa 4) Apabila wali aqrab-nya gila
5) Apabila wali aqrab-nya bisu atau tuli.
b. Wali Hakim
Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 23 KHI:25
1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirinya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan.
2) Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut
Dan yang berhak menjadi wali hakim dalam hal ini KHI menjelaskan pada pasal 1 huruf b bahwa:26 “Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah”.
25 Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam tentang Wali Nikah
26 Pasal 1 Kompilasi Hukum Islam tentang Ketentuan Umum
KHI memang tidak menyebutkan siapa yang ditunjuk oleh Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali hakim, namun sebelum KHI lahir, telah ada Peraturan Menteri Agama yang menjelaskan hal ini.
Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 4 Peraturan Menteri Agama No.2 Tahun 1987:27
1) Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku Pegawai Pencatat Nikah ditunjuk menjadi wali hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan mempelai wanita sebagai dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini.
2) Apabila Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi Urusan Agama Islam Kabupaten atau Kotamadya diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk wakil atau pembantu Pegawai Pencatat Nikah untuk sementara menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya.
Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. Lebih rinci adanya wali hakim apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:
1) Tidak ada wali nasab
2) Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab atau wali ab‟ad.
27 Pasal 4 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Tentang Wali Hakim
3) Wali aqrab goib atau pergi dalam perjalanan sejauh kurang lebih 92.5 km atau dua hari perjalanan.
4) Wali aqrab dipenjara dan tidak bias ditemui.
5) Wali aqrabnya adol.
6) Wali aqrabnya berbelit-belit (mempersulit) 7) Wali aqrabya sedang iqram.
8) Wali aqrabnya sendiri yang akan menikah.
9) Wanita yang akan dinikahkan gila tetapi sudah dewasa wali mujbir tidak ada.28
c. Wali Tahkim
Wali tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon istri. Wali tahkim terjadi apabila:
1) Wali nasab tidak ada.
2) Wali nasab gaib, atau bepergian sejauh dua hari perjalanan, serta tidak ada wakilnya di situ.
3) Tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah.
Hal serupa juga sesuai dengan pendapat al-Qurtubi yang dikutip Sayyid Sabiq yang mengatakan: jika perempuan tinggal di tempat yang tidak ada penguasa dan tidak pula mempunyai wali, maka ia serahkan perwaliannya pada tetangga yang dipercayainya untuk menikahkannya. Karena menikah merupakan suatu kebutuhan.29
28 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015), cet. ke-2, hal. 68
29 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz II, (Beirut: Dar Fikr, 1995), cet. ke-III, hlm. 205
d. Wali mujbir
Wali mujbir adalah wali yang berhak menikahkan perempuan yang diwalikan diantara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka lebih dahulu. Dan berlaku juga bagi orang yang diwalikan tanpa melihat ridho atau tidaknya pihak yang berada dibawah perwaliannya.30
Adapun yang dimaksud dengan wali mujbir adalah hak seseorang (ayah keatas) untuk menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuan yang bersangkutan, dengan adanya syarat-syarat tertentu:
1) Tidak ada permusuhan antara wali dengan perempuan, yang ia sendiri menjadi walinya (calon pengantin perempuan)
2) Calon suaminya sekufu dengan calon istrinya, atau ayah lebih tingggi
3) Calon suami sanggup membayar mahar pada saat dilangsungkan akad nikah.
Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka hak ijbar gugur, ijbar tidak harus diartikan sebagai paksaan melainkan diartikan sebagai pengarahan.
e. Wali adhol
Wali adhal adalah wali yang enggan menikahkan wanita yang sudah baligh dengan pria yang sekufu. Apabila terjadi seperti itu, maka perwalian langsung berpindah kepada wali hakim. Bukan
30 M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1999), cet. Ke-2, hlm. 101
kepada wali ab‟ad, karena adhol adalah zalim, sedangkan yang menghilangkan sesuatu yang zalim adalah hakim. Lain halnya kalau adhol-nya karena sebab nyata yang dibenarkan oleh syara‟, maka tidak disebut adhol, seperti wanita yang menikah dengan pria yang tidak kufu, atau menikah maharnya dibawah mitsli, atau wanita yang dipinang oleh pria lain yang lebih pantas (kufu) dari peminang pertama.31
4. Syarat-syarat Wali Nikah
Seseorang dapat bertindak menjadi wali apabila memenuhi syarat- syarat yang telah ditentukan dalam hukum Islam, dan para ulama ada yang sepakat dan ada yang berbeda pendapat dalam masalah syaratsyarat yang harus dipenuhi seorang wali. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi ada enam, yaitu sebagai berikut:
a. Beragama Islam
Antara wali dan orang yang dibawah perwaliannya disyaratkan harus sama-sama beragama Islam, apabila yang akan nikah beragama Islam disyaratkan walinya juga seorang muslim dan tidah boleh orang kafir menjadi walinya.
b. Laki-laki
Syarat ini merupakan syarat yang ditetapkan oleh jumhur ulama yakni ulama Safi‟iyah, Malikiyah, dan Hambali. Mengenai syarat laki-laki
31 Al Hamdani, Risalah nikah, hukum perkawinan Islam dilampiri Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2011), hal. 121.
ulama Syafi‟iyah berpendapat wanita tidak boleh menjadi wali bagi orang lain dan tidak boleh wanita mengawinkan dirinya sendiri.
c. Baligh
Baligh yaitu orang tersebut sudah pernah bermimpi junub /ihtilam (keluar air mani), atau ia sudah berumur sekurang-kurangnya 15 tahun.
d. Berakal
Orang gila dan anak-anak tidak sah menjadi wali, karena orang yang tidak berakal pasti tidak akan mampu melakukannya dan tidak dapat mewakili orang lain, sehingga orang lain lebih berhak menerima perwalian tersebut baik orang yang tidak berakal itu karena keberadaannya yang masih kanak-kanak atau karena hilang ingatan atau karena faktor lanjut usia.32
5. Asal Usul Anak
Anak adalah suatu hal yang istimewa dan idaman bagi sepasang suami istri yang telah menikah, anak ini pastilah mempunyai seorang ibu.
Namun, terkadang masyarakat masih mempermasalahkan dan mempertanyakan keabsahan seoang anak tersebut. Apakah anak itu benar-benar keturunan dari mereka atau tidak. Tentunya untuk membuktikan permasalahan-pemasalahan tersebut bukanlah hal yang sulit. Karena pastinya mereka mempunyai ibu, akan tetapi untuk membuktikan nasab ke ayahnya tentu bukanlah hal yang mudah.
32Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh al-Usrah al-Muslimah, diterjemahkan M. Abdul Ghofur, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), cet. ke-3, hlm. 59
Penetapan asal usul anak merupakan dasar untuk menunjukkan adanya hubungan nasab dengan ayahnya. Dan dari penetapan itulah akan menentukan kedudukan anak, yang menyangkut hubungan yang lainnya, seperti waris, nafkah anak dan lain-lain. Maka penetapan nasab merupakan salah satu hak seorang anak yang terpenting dan merupakan sesuatu yang banyak memberikan dampak terhadap kepribadian dan masa depan anak.
Nasab pun dipahami sebagai pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai salah satu akibat dari pernikahan yang sah.
Ulama fiqih mengatakan yakni nasab merupakan salah satu pondasi yang kokoh dalam membina suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat antar pribadi berdasarkan kesatuan darah.33
Pembuktian yang dilakukan secara lisan telah bergeser pada pembuktian secara otentik, dalam hal Pembuktian asal usul anak telah diatur Sedemikian rupa dalam Undang-Undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 dalam Pasal 55, yang berbunyi:
a. Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
b. Bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya yang tersebut dalam Ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan
33 Andi Syamsu Alam-M. Fauzan, Hukum pengangkatan anak perspektif Islam, (Jakarta:
Pena Media, 2008), hlm. 175
penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.
c. Atas dasar ketetapan Pengadilan Agama yang tersebut dalam Ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Akta kelahiran menurut Stbl. 1920 No. 751 jo. Stbl 1927 No. 564 dibuat oleh kantor Catatan Sipil yang ada pada setiap daerah tingkat II Kabupaten atau kota Madya di seluruh Indonesia. Bukti asalusul anak ini dibuat dalam bentuk surat kelahiran yang dikeluarkan oleh kelurahan atau desa.34
Menurut Abdullah Ali Husein Tujuan adanya pengakuan anak dalam hukum Islam adalah demi kemaslahatan anak yang diakui, sekaligus sebagai antisipasi datangnya mudarat yang lebih besar di masa depan anak nantinya, menyembunyikan aib karena anak tersebut terlahir di luar kawin orang tuanya dan rasa tanggung jawab sosial. Sedangkan menurut hukum perdata barat pengakuan anak dapat dilakaukan oleh seseorang yang merupakan kebutuhan hukum bagi pasangan yang hidup bersama tanpa nikah.35
34 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 234
35 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. Ke 1, hlm. 76
Mengenai pengakuan anak, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor: 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan diatur dalam pasal 49, yang berbunyi36:
a. Pengakuan anak wajib dilaporkan oleh orang tua pada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal sesudak pengakuan anak oleh ayah dan disetujui oleh ibu dari anak yang bersangkutan.
b. Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi orang tua yang agamanya tidak membenarkan pengakuan anak yang lahir di luar hubungan perkawinan yang sah.
c. Berdasarkan laporan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Pengakuan Anak dan menerbitkan Kutipan Akta Pengkuan Anak.
6. Kawin Hamil
Kawin hamil adalah seorang wanita yang hamil sebelum melansungkan akad nikah, kemudian dinikahi oleh pria yang menghamilinya.37 Dengan kalimat yang lain, Perkawinan wanita hamil merupakan perkawinan yang didahului dengan adanya sebab perzinaan yang mengakibatkan kehamilan di luar perkawinan yang sah.
36 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang adminstrasi kependudukan.
37 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), Cet.
Ke 1, hlm. 45
Mengenai pengaturan perkawinan wanita hamil di KHI diatur dalam BAB tersendiri yaitu BAB VIII khususnya Pasal 53 ayat (1), (2), dan (3).
Sebagai berikut:38
a. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
b. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
c. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Dengan demikian mengenai perkawinan wanita hamil di luar nikah ditetapkan oleh KHI, bahwa wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya dan dapat ditafsirkan pula kata “dapat”
bahwa wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan laki-laki lain yang tidak menghamilinya. Berarti perkawinan wanita hamil di luar nikah boleh dilakukan baik dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun laki-laki lain yang tidak menghamilinya yang ingin bertanggungjawab terhadap wanita tersebut, karena bisa jadi kehamilan itu bukan atas dasar perbuatan zina melainkan pemerkosaan terhadapnya yang dilakukan oleh laki-laki yang tidak jelas keberadaannya dengan tujuan untuk menjaga aib wanita hamil tersebut.
Perkawinan disyariatkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia dunia akhirat di bawah
38 Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam Tentang Kawin Hamil
naungan cinta kasih dan ridho Allah. Akan tetapi terlihat sekarang ini sebagian manusia banyak menyalahgunakan syariat perkawinan tersebut, dengan menodai makna dan faedah sebuah perkawinan yang suci yaitu dengan cara melakukan hubungan intim sebelum adanya ijab dan kabul yang sah baik menurut agama maupun Undang-undang Negara.
B. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu berfungsi sebagai alat pembanding bagi peneliti dalam sebuah penelitian yang akan atau sedang dilakukan. Dengan melihat penelitian terdahulu, maka peneliti dapat melihat kelebihan dan kekurangan berbagai teori yang digunakan penulis lain dalam penelitiannya. Selain hal tersebut, dengan adanya penelitian terdahulu, dapat terlihat perbedaan substansial yang membedakan antara satu penelitian dengan penelitian lain.
Dalam rangka mengetahui dan memperjelas bahwa penelitian ini memiliki perbedaan yang sangat substansial dengan hasil penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan tema penentuan wali nikah bagi calon pengantin perempuan yang terlahir karena sebelum menikah, maka perlu kiranya peneliti mengkaji dan menelaah hasil penelitian terdahulu secara seksama, di antaranya ialah:
Penelitian Inayatul Baroroh yang berjudul: “Studi Analisis Terhadap Pelaksanaan Perkawinan dengan Wali Hakim Dikarenakan Pengantin Wanita Lahir Kurang dan 6 Bulan Setelah Perkawinan Orang Tuanya (Studi Kasus di KUA Kecamatan Talung Kabupaten Klaten)”. Penelitian tersebut menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa pelaksanaan wali hakim di KUA
Kecamatan Talung Kabupaten Klaten sudah sesuai dengan syariat Islam dan sesuai dengan Undang-Undang, penelitian skripsi ini hanya sampai pada pelaksanaan wali hakim secara umum, apa penyebab masyarakat mengajukan pernikahan dengan wali hakim, bagaimana peran KUA dalam menghadapi pengajuan wali hakim dari masyarakat dan bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, ditinjau dari perspektif beberapa pendapat ulama.
Penelitian ini belum membahas penentuan wali bagi anak perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan di KUA setempat dan menganalisisnya dari Undang- Undang Perkawinan dan KHI.39
Penelitian Andhika Rahman Nugraha Jurusan Hukum Keluarga Islam Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga, telah menulis skripsi berjudul “Pelaksanaan Penentuan Wali Nikah Bagi Perempuan Yang Lahir Kurang Dari Enam Bulan (Studi Kasus di KUA Kec. Banjarsari Kota Surakarta)” penelitian ini berfokus kepada penentuan wali nikah terhadap perempuan yang lahir kurang dari enam bulan. Adapun penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, di KUA Kecamatan Banjarsari tidak mempunyai dasar hukum yang kuat, karena tidak ada undang-undang yang mengatur tentang penentuan wali nikah bagi perempuan yang akan menikah dan kelahirannya kurang dari 6 bulan. Dan sampai saat ini Kementerian Agama juga belum memberikan petunjuk tentang masalah penentuan wali bagi anak perempuan yang lahir kurang dari
39 Inayatul Baroroh, “Studi Analisis Terhadap Pelaksanaan Perkawinan dengan Wali Hakim Dikarenakan Pengantin Wanita Lahir Kurang dai 6 Bulan Setelah Perkawinan Orang Tuanya (Studi Kasus di KUA Kecamatan Talung Kabupaten Klaten)” (Semarang: Skripsi Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo: tidak diterbitkan, 2009), hlm. 76
6 bulan. Kemudian dasar hukum yang digunakan oleh KUA Kecamatan Banjarsari dalam pelaksanaan penentuan wali nikah bagi perempuan yang lahir kurang dari 6 bulan, adalah menggunakan dasar hukum Fiqih Munakahat yang mengambil dasar hukum dari kitab al-Muhadzdzab Juz II Halaman 130.40
Penelitian Ma‟muroh Jurusan Akhwal Al-Syakhsiyyah Fakultas Syari‟ah IAIN Purwokerto, telah menulis skripsi berjudul “Penentuan Wali Nikah Bagi Anak Perempuan Dari Hasil Luar Nikah (Studi Kasus di KUA Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara)” penelitian ini berfokus kepada penentuan wali nikah bagi anak perempuan yang dilahirkan di luar perkawinan. Dari penenlitian ini dapat disimpulkan bahwa penentuan wali nikah bagi perempuan dari hasil luar nikah oleh Kepala KUA Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara diawali meneliti berkas-berkas atau data dari calon mempelai perempuan tersebut, yaitu bila calon mempelai perempuan adalah anak pertama lalu perlu dipertanyakan tanggal kelahiran anak perempuan itu dengan akad nikah walinya atau bapak biologisnya.
Kemudian, metode yang digunakan KUA Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara, dengan merujuk pada Kompilasi Hukum Islam dan Surat Dirjen Bimas dan Urusan Haji No. D/ED/PW.01/03/1992 tentang “Ketentuan Adam Wali Nikah” yang berdasarkan kitab al-Muhazzab sebagai dasar.
Terlepas dari itu, cara yang dilakukan Kepala Kepala Kantor Urusan Agama
40 Andhika Rahman Nugraha, “Pelaksanaan Penentuan Wali Nikah Bagi Perempuan Yang Lahir Kurang Dari Enam Bulan (Studi Kasus di KUA Kec. Banjarsari Kota Surakarta)”, Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Syari‟ah IAIN Salatiga, Salatiga, 2018, hlm. 109
(KUA) Susukan dengan mendahulukan musyawarah dengan cara pihak sudah tepat, karena ia lebih mengutamakan kesadaran hati nurani dari para pihak, tanpa memaksa dalam menetapkan status wali nikah tersebut.41
Berdasarkan atas kajian pustaka yang telah penulis kemukakan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kajian atau penelitian yang penulis lakukan berbeda dengan karya ilmiah atau skripsi yang telah dipaparkan di atas. Penelitian ini lebih memfokuskan permasalahan pada prosedur penentuan wali nikah bagi calon pengantin perempuan yang terlahir karena hamil sebelum nikah dan pelaksanaan akad nikah bagi calon pengantin perempuan yang terlahir karena hamil sebelum nikah yang statusnya masih dirahasiakan oleh pihak keluarga dari masyarakat umum. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian yang sudah ada.
41 Ma‟muroh, “Penentuan Wali Nikah Bagi Anak Perempuan Dari Hasil Luar Nikah (Studi Kasus di KUA Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara)”, Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Syari‟ah IAIN Purwokerto, Purwokerto, 2017, hlm. 16
32 BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah suatu cara memecahkan masalah ataupun cara mengembangkan ilmu pengetahuan dengan menggunakan metode ilmiah. Metode yang memiliki arti cara, yang merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara kerja untuk memahami suatu objek yang di teliti. Sedangkan penelitian berarti suatu proses pengumpulan dan analisis data.42
Dan ada beberapa aspek yang harus ada dalam menentukan metodologi penelitian sebagai berikut:
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian lapangan (field research), sebuah penelitian yang sumber data dan proses penelitiannya dilakukan dengan meninjau langsung ke lokasi yang di teliti.43 Penelitian ini berdasarkan pada objek penelitian melalui observasi dan wawancara yang dilakukan kepada Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) dan Penghulu di Kantor Urusan Agama (KUA) dalam Kecamatan Kota Pekanbaru guna mendapatkan data primer.
42 Effendi Jonaedi dan Jhonny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum (Depok: Prenadamedia Group, 2018), hlm. 22
43 Musfiqon, Panduan Lengkap Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Prestasi Public Publisher, 2012), hal 56
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian agar memperoleh data yang diinginkan.44 Lokasi dalam penelitian ini dilakukan di tiga tempat Kantor Urusan Agama (KUA) dalam Kecamatan Kota Pekanbaru, yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tampan yang beralamat di Jl Rajawali Sakti II No. 41 Simpang Baru Kota Pekanbaru, Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bukit Raya yang beralamat di Jl.
Air Dingin Ujung Simpang Tiga Kota Pekanbaru dan Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Sail yang beralamat di Jl. Kapten Fadilla Gg. SMU Handayani Kec. Sail Kota Pekanbaru.
C. Subjek dan Objek Penelitian
Yang di maksud dengan subjek penelitian adalah orang, tempat, atau benda yang di amati dalam rangka pembubutan sebagai sasaran. Subjek dalam penelitian ini adalah Kepala Kantor Urusan Agama atau Pegawai Pencatat Nikah dan Penghulu yang ada di Kantor Urusan Agama dalam Kecamatan Kota Pekanbaru.
Sedangkan objek penelitian adalah hal yang menjadi sasaran penelitian atau berupa himpunan elemen yang dapat berupa orang, organisasi, atau barang yang akan di teliti agar pokok persoalan yang hendak di teliti bisa mendapatkan data secara lebih terarah. Sedangkan objek dalam penelitian ini
44 Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Prakteknya, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), hal. 53
adalah penerapan prosedur dalam menentukan bahwa seseorang itu terlahir akibat hamil sebelum nikah oleh Kepala Kantor Urusan Agama atau Pegawai Pencatat Nikah dan Penghulu di Kantor Urusan Agama yang berada di Kota Pekanbaru.
D. Populasi dan Sampel 1. Populasi
Populasi penelitian adalah keseluruhan (universum) dari objek/subjek penelitian yang dapat berupa manusia, gejala, peristiwa, sikap hidup dan sebagainya. Sehingga subjek/ objek ini dapat menjadi sumber data penelitian yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya45. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 78 orang yang terdiri dari 12 orang Kepala Kantor Urusan Agama / Pegawai Pencatat Nikah, 23 orang Penghulu, dan 43 orang Staf Jabatan Fungsional Umum Administrasi Nikah pada 12 Kantor Urusan Agama yang berada di Kota Pekanbaru.
2. Sampel
Sedangkan sampel pada penelitian ini yang terdiri dari Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) dan satu Penghulu dari setiap Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tampan, Bukit Raya dan Sail, dengan teknik Proportionate Stratified Random Sampling yaitu teknik pengambilan
45 Syofian Siregar, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Kencana, 2013), h.30.
sampel yang dilakukan apabila populasi mempunyai anggota/unsur yang tidak homogen dan berstrata secara proporsional. Suatu organisasi yang mempunyai pegawai dari latar belakang pendidikan yang berstrata, maka populasi pegawai itu berstrata.
E. Sumber Data
Dalam penelitian ini ada beberapa sumber data yaitu:
1. Data Primer, yaitu data yang di peroleh langsung dari sumbernya, baik melalui wawancara, observasi, maupun dalam bentuk dokumentasi yang berhubungan dengan masalah peneliti. Suatu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama. Adapun dalam data primer menggunakan wawancara langsung kepada Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) dan Penghulu di Kantor Urusan Agama (KUA) yang telah ditetapkan sebagai sampel dalam penelitian ini.
2. Data Sekunder, yaitu data yang di peroleh melalui studi dokumen literature yaitu tafsir, syarah, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, tesis, skripsi, jurnal dan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia.
3. Data Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, dan website.
F. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif lebih banyak menggunakan teknik observasi, wawancara, dan metode dokumentasi.46
1. Teknik Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang di lakukan dengan cara pengamatan secara langsung terhadap kejadian kejadian yang di temukan di lapangan.47
2. Teknik Wawancara
Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui tatap muka dan Tanya jawab langsung antara pengumpul data maupun terhadap narasumber atau sumber data. Namun dengan kemajuan teknologi saat ini, proses wawancara dapat di lakukan juga tanpa tatap muka yaitu melalui media telekomunikasi.
Adapun jenis wawancara yang di gunakan dalam penelitian ini yaitu wawancara semi berstruktur (semistructure interview) yakni meliputi membuat sebuah pedoman sebelum melakukan wawancara, akan tetapi perdoman tersebut tidak bersifat aktif agar peneliti menemukan permasalahan secara lebih terbuka dan meluas tetapi tetap berpegang pada pokok permasalahan yang di inginkan.48
46 Afifuddin dan Beni Ahmad Saebani, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:
Alfabeta, 2014), cet. ke-I, hlm. 131
47 Ibal Hasan, Pokok Pokok Metodologi Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), cet.
ke-II, hlm.186
48 Haris Hardiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), cet. ke-I, hlm. 121
3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah pengumpulan data dimana peneliti menyelidiki, mengkaji dan menganalisis untuk memperoleh data dan informasi yang sesuai dengan pokok permasalahan peneliti.
G. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Metode yang peneliti gunakan adalah dengan cara menganalisis, menggambarkan, dan meringkas berbagai kondisi, situasi dan berbagai data yang di kumpulkan berupa hasil wawancara atau pengamatan mengenai masalah yang di teliti di lapangan. 49
H. Teknik Penulisan
Setelah data terkumpul dan valid, maka penulis akan mengolah data dengan menggunakan metode sebagai berikut:
1. Deduktif ini dimulai dengan teori dan diakhiri dengan fenomena atau hal khusus, dari pengetahuan yang bersifat umum itu barulah kita menilai kejadian kejadian yang bersifat khusus. Sehingga mendapatkan hasil yang akurat, teratur, dan tersusun rapi dalam bentuk tulisan sebagaimana yang diharapkan penulis.50
2. Deskriptif, yaitu mengumpulkan data dan keterangan kemudian di analisa hingga disusun sebagaimana yang di kehendaki dalam penelitian ini.
49 I Made Wartha, Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi, (Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2006), cet. ke-I, hlm. 155
50 A. Muri Yusuf, Metode 99 Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2014), hlm. 17-18.