Representasi Sufistik Suku Sasak dalam Novel Sanggarguri Karya Lalu Agus Fathurrahman pada Era Digital
Rozali Jauhari Alfanani Universitas Mataram [email protected]
abstrak
Manusia telah berada pada suatu era yang disebut dengan era digital. Manusia pun seolah tidak dapat terlepas dari situasi dan kondisi yang melibatkan unsur digital. Permasalahannya, seringkali manusia tidak mampu beradaptasi secara optimal dengan kemajuan zaman. Hal tersebut dapat disaksikan pada lunturnya nilai-nilai luhur dalam kearifan lokal yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Pun dengan suku Sasak yang mendiami Pulau Lombok. Masyarakat suku Sasak yang dikenal memiliki prinsip hidup yang lurus dan konsisten juga harus bisa beradaptasi dengan pesatnya kemajuan zaman dengan tetap memegang teguh nilai luhur mereka. Salah satu nilai tersebut yakni konsep sufistik yang telah menjadi pedoman bagi leluhur suku Sasak di Pulau Lombok. Oleh sebab itu, tujuan penelitian ini yaitu menggali representasi nilai-nilai sufistik yang dimiliki oleh suku Sasak yang tergambar dalam salah satu novel karya pengarang asli Sasak, Lalu Agus Fathurrahman. Penggalian nilai sufistik dalam novel tersebut dilakukan menggunakan metode observasi berupa wawancara dan studi kepustakaan. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, penelitian ini menghasilkan bahwa dalam novel Sanggarguri terwujud nilai-nilai sufistik suku Sasak melalui simbolisasi 10 jenis kembang yang terdapat di Pulau Lombok, terutama di Gunung Rinjani. 10 kembang tersebut menggambarkan tingkat karakteristik dan sifat masyarakat suku Sasak sehingga dapat dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan dari masa ke masa. Dengan demikian, masyarakat suku Sasak dapat merepresentasikan dirinya dan beradaptasi dengan pesatnya perkembangan era digital.
Kata kunci: sufistik, Sasak, Sanggarguri, era digital
Representation of Sasak Sufistic in the Novel Sanggarguri the Paper of Lalu Agus Fathurrahman on Digital Era
abstract
Human beings have been at an era known as the digital age and all situations can not be detached from digital items. The problem, often humans are not able to adapt optimally with the progress of the times, by example Sasak etnics. The Sasak community known to have the principle of the straight life and consistent should also be able to adapt to rapid advances by holding fast to keep their great value. One of those values i.e. the concept of sufistic who became a guide for ancestor Sasak in Lombok island.
Therefore, the purpose of the research is to dig up the representation of the values sufistic owned by the Sasak are reflected in one of the novels by the author of the native Sasak, Lalu Agus Fathurrahman.
Extracting the values sufistic in the novel is done using the method of observation in the form of interviews and the study of librarianship. In relation to the foregoing, this research resulted that in the novel Sanggarguri embodied the values sufistic Sasak through symbolizing the 10 kinds of displays are found on the Lombok island, especially on Mt. Rinjani. 10 flower describes the characteristics and nature of the community level Sasak so it can be used as guidance in living the life from time to time.
Keywords: sufistic, Sasak, Sanggarguri, the digital era
PENDAHULUAN
Dalam nuansa dan dinamika kesusastraan, prosa fiksi merupakan salah satu bentuk sastra yang bersifat imajinatif. Namun demikian, walaupun sebagai karya yang bersifat imajinatif terdapat pula keterkaitannya dengan berbagai masalah dan realitas sosial, baik sebagai visualisasi, internalisasi ruang, dan berbagai gagasan yang melingkupinya. Sebab, pada hakikatnya karya sastra dalam bentuk apapun merefleksikan tiga hal yakni (1) pemikiran atau ide pengarangnya; (2) fenomena kehidupan sosial dan budaya; dan (3) nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Hal tersebut terlihat seperti halnya dalam novel Sanggarguri (selanjutnya disingkat NSG) karya Lalu Agus Fathurrahman (selanjutnya disingkat LAF) yang merupakan salah satu novel bertema lokal yang kehadirannya sangat dibutuhkan di tengah perkembangan zaman. Secara garis besar, NSG memaparkan nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki suku Sasak. Selain itu, nilai kearifan lokal tersebut mengajarkan bagaimana masyarakat Sasak dapat mengambil hikmah yang luhur dari akar tradisi dan sejarah masa lalu nenek moyang mereka. Adapun tema besar yang terdapat dalam NSG yaitu berkaitan dengan dunia sufistik yang bercorak kedaerahan atau lokalitas masyarakat suku Sasak.
Adapun sebagai novel yang mengusung tema sufistik, maka tidak mengherankan jika kandungan cerita dalam novel tersebut sarat dengan berbagai simbol dan perlambang seperti nama-nama kembang yang menyimpan makna dan nilai sufistik. Sufistisisme yang dimunculkan terbalut dengan nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh suku Sasak dengan simbol beraneka tumbuhan khususnya kembang atau bunga. Kekuatan nilai sufistik, keindahan cerita dan gaya bahasanya, mampu mendobrak peradaban sastra lokal sehingga menjadi topik dan perbincangan yang hangat untuk selalu dibahas sebagai fenomena dalam realitas kehidupan yang pada hakikatnya mengandung problem yang berupa: sosio-kultural, politik, agama dan berbagai masalah yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Jika disadari, perkembangan masyarakat dewasa ini cenderung bergerak ke arah budaya modernisasi yang berpengaruh besar dalam kehidupan sebagai bangsa dan negara.
Di sisi lain, proses modernisasi yang terjadi di berbagai belahan dunia ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Dampak yang ditimbulkan yaitu adanya sikap pengagungan terhadap nilai-nilai yang bersifat materi dan meninggalkan unsur-unsur yang bersifat lokal dan spiritual. Kemajuan yang dicapai dalam bidang IPTEK telah
banyak membawa perubahan bagi masyarakat, terutama pada cara berpikir, bersikap, dan bertingkah laku dalam berbagai aspek kehidupan, seperti bidang sosial, ekonomi, politik, budaya bahkan agama.
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sebagian pihak juga dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakseimbangan antara aspek jasmani dan aspek rohani.
Hal tersebut terutama jika masyarakat tidak mampu untuk mengantisipasinya secara optimal.
Bahkan, ketidakseimbangan itu dapat dijumpai secara nyata di masyarakat yang sudah nyaman dengan peradaban teknologi modern, namun dalam menjalani kehidupan terjadi distorsi-distorsi nilai kemanusiaan serta dehumanisasi yang disebabkan oleh kapasitas intelektual, mental dan jiwa yang tidak siap untuk menjalani kehidupan modern. Ketidaksiapan masyarakat dalam mengantisipasi pesatnya perkembangan kehidupan modern, menyebabkan sebagaian besar manusia modern telah mengalami situasi dan kondisi kehilangan makna hidup, sehingga mengalami kebingungan dengan apa yang harus diperbuat dan tidak mampu memilih jalan hidup yang diinginkan.
Oleh sebab itu, kembali ke akar tradisi dengan memahami sejarah masa lalu serta nilai- nilai kearifan budaya lokal dalam masyarakat suku Sasak inilah yang coba dipaparkan dalam NSG oleh LAF. Selain karena di tengah langkanya karya sastra bergenre novel yang bercirikan sastra sufistik dengan ciri-ciri lokal, NSG hadir bertujuan menjadi oase di antara kegalauan dan keterasingan yang mulai dirasakan masyarakat suku Sasak akan tradisi dan budayanya akhir- akhir ini. Hal ini akan sangat relevan jika dihubungkan dengan perkembangan era digital yang tidak dapat dimungkiri lagi seperti saat ini.
Pada prinsipnya, karya sastra sebagai sebuah ciptaan, kreasi dari seorang pengarang yang dapat menciptakan dunia baru bagi perkembangan sastra umumnya, bersumber dari masyarakat sehingga tidak salah jika ada pendapat bahwa sastra dan tata nilai masyarakat merupakan dua fenomena yang saling melengkapi (Wellek dan Warren, 1995:29). Dalam hal ini, sastra tidak akan pernah ada tanpa masyarakat. Demikian juga melalui sastra, manusia akan dapat mengetahui nilai tertentu yang terdapat dalam kehidupannya.
Berbicara persoalan sastra dan kehidupan, bahwa sastra itu sendiri sangat erat hubungannya dengan filsafat dan atau agama (Nuriadi, 2016:137). Bahkan, sampai sekarang sastra masih berperan sebagai medan aktualisasi pemikiran-pemikiran filsafat atau agama.
Melihat adanya keterkaitan antara sastra dan agama, maka tidak mengherankan jika akhirnya
timbul suatu pandangan bahwa sastra sebenarnya mengungkapkan masalah kehidupan yang bersifat realita. Karya sastra seringkali dijadikan pengarang sebagai alternatif atau jalan lain ketika semua jalan telah tertutup. Dengan realitas sebagai sumbernya, sastra kemudian ditarik ke dalam ruang imajinasi melalui kontemplasi dan menggunakan bahasa sebagai media penyampaiannya kepada publik.
Setiap karya sastra berkembang sesuai dengan pengalaman dan pemikiran, yang diamini oleh lingkungan dan zamannya (Nuriadi, 2016:144). Seperti halnya agama, tidak hanya sekadar kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga merupakan pandangan dan pedoman hidup yang menjadi landasan pijak bagi kehidupan manusia secara keseluruhan. Agama menyangkut dimensi privat yang lebih berorientasi pada pola hubungan vertikal (hubungan dengan Tuhan) dan dimensi publik yang berorientasi pada hubungan horizontal (sosial).
Novel juga merupakan salah satu bentuk karya sastra yang memuat dimensi pelajaran dan pengalaman kualitas dari identifikasi sosial. Hal tersebut termasuk dalam memandang pola kehidupan baik di masa lalu maupun di masa yang akan datang. Novel pun banyak memberikan nuansa estetika dan semacam pencerahan bagi pembacanya. Selain itu, novel juga dapat melahirkan sebuah nilai identifikasi diri dan atau mengapresiasi tipologi dari proyeksi kultural yang berkembang.
Salah satu proyeksi kultural yang diwujudkan dalam suatu karya sastra berupa novel yaitu aspek kehidupan suku Sasak di Pulau Lombok. Secara ringkas, suku Sasak merupakan suku utama yang mendiami Pulau Lombok. Suku Sasak memiliki konsep kultural yang luas dan beragam sehingga dapat hidup berdampingan secara baik pula dengan suku-suku lainnya yang ada di Indonesia. Pada sisi nilai kearifan lokal, suku Sasak memiliki kekayaan nilai dan norma yang menjadi pedoman kehidupan masyarakat. Salah satu nilai tersebut yaitu aspek sufistik yang terwujud dalam berbagai bentuk, termasuk simbolisasi kembang (bunga). Bagi suku Sasak, kembang atau bunga memiliki makna yang luas terkait dengan konsep hidup dan kehidupan masyarakat di Pulau Lombok. Dengan demikian, simbolisasi kembang atau bunga tersebut menjadi salah satu bentuk representasi nilai sufistik pada masyarakat Sasak. Hal tersebutlah yang menjadi latar belakang dalam penelitian ini, yaitu bagaimana peran sufistik yang dituangkan dalam sebuah karya sastra ketika diaplikasikan dan dihadapkan dalam realitas kehidupan masyarakat di era digital. Sebab, bagaimanapun juga sastra akan selalu berkembang mengikuti arus zaman.
KAJIAN PUSTAKA DAN METODE
Dalam hal ini, sebagai suatu kajian ilmiah, penelitian ini tidak berdiri sendiri sehingga membutuhkan beberapa konsep yang dapat menjadi rujukan dan referensi penelitian. Referensi yang dimaksud terdiri dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti lainnya.
Kemudian, referensi penting lainnya yaitu berkaitan dengan teori yang digunakan dalam melakukan penelitian ini.
Penelitian pertama yang menjadi rujukan dalam penelitian ini yaitu yang dilakukan oleh Handayani (2016) dengan judul “Aspek Moral dalam Novel Biru karya Fira Basuki: Pendekatan Semiotik”. Hasil penelitian tersebut berdasarkan analisis semiotik terhadap novel Biru, menunjukan bahwa; (1) aspek agama sebagai penentram batin yaitu tindakan yang dilakukan untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan sang pencipta, (2) aspek kepedulian terhadap lingkungan yaitu suatu tindakan peduli terhadap pencemaran lingkungan, (3) aspek korupsi dan memperkaya diri yaitu tindakan yang dilakukan hanya karena alasan minimnya ekonomi, tetapi sudah merupakan suatu kebudayaan khususnya di Indonesia, (4) aspek perselingkuhan, alasan perselingkuhan adalah tidak ada kecocokan antara keduanya, (5) aspek pelecehan yaitu:
pelecehan terhadap perempuan yang tidak hanya terbatas pada gerakan fisik, tetapi sudah mengarah pada tindakan kriminal yaitu perkosaan.
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Imron (2013) juga menjadi rujukan penelitian ini dengan judul “Nilai Pendidikan Multikultural dalam Novel Burung-Burung Rantau.” Hasil penelitian tersebut yaitu terdapat wujud nilai pendidikan multikultural dalam novel Burung- Burung Rantau karya Y.B. Mangunwijaya. Adapun wujud yang dimaksud yaitu munculnya generasi muda pasca-Indonesia yang berorientasi pada multikulturalisme. Generasi pasca- Indonesia merupakan Burung-Burung Rantau yang bebas untuk menemukan dunianya sendiri sehingga cenderung generasi muda melepaskan diri dari nilai budaya dan tradisi etnisnya dengan alasan agar bebas berkreativitas. Multikulturalisme mencerminkan fenomena munculnya budaya lokal dan nasional, barat dan timur, serta multikulturalisme mampu menembus batas etnis, agama, kebangsaan, kasta dan gender.
Penelitian lainnya yang juga dijadikan rujukan dalam penelitian ini pernah dilakukan oleh Badrin (2011) dengan judul “Potret Perjuangan Tokoh Utama dan Nilai Didik dalam Novel Guru Dane Karya Salman Faris”. Adapun simpulan hasil penelitian tersebut yaitu (1) Novel Guru Dane terdiri atas beberapa unsur yang saling melengkapi, yakni tema, penokohan, latar,
amanat dan alur; (2) bentuk perjuangan tokoh utama untuk membangkitkan harga diri orang Sasak dengan menjunjung tinggi nilai pluraritas, humanitas dan kekuatan identititas yang dikelompokkan menjadi, (a) membangun kesadaran kognitif tentang kemanusiaan, (b) membangun kesadaran sosial, (c) meruntuhkan keangkuhan atau kebesaran yang bergantung kepada benda-benda mistik, (d) menanamkan kesadaran kelas, dan (e) menanamkan sifat kesatria sebagai orang Sasak.
Mencermati beberapa penelitian yang menjadi rujukan tersebut maka sebagai perbandingan, penelitian-penelitian tersebut memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dilakukan ini. Adapun beberapa persamaan yang dimaksud yaitu: 1) tiga penelitian sebelumnya dengan penelitian ini menggunakan novel sebagai objek kajiannya; 2) penelitian ketiga dengan penelitian ini sama-sama mengangkat konteks kehidupan suku Sasak sebagai bahan kajian; 3) penelitian pertama dengan penelitian ini sama-sama menggunakan teori semiotik sebagai alat kaji; dan 4) secara garis besar, metode yang digunakan dalam penelitian sebelumnya dengan penelitian ini sama, yaitu metode observasi dan studi kepustakaan.
Sementara itu, perbedaan antara penelitian-penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan ini terletak pada aspek kajiannya. Pada penelitian pertama, yang menjadi aspek kajiannya ialah aspek moral yang terdapat dalam novel. Kemudian, penelitian kedua mengkaji nilai pendidikan multikultural dalam novel. Selanjutnya, penelitian ketiga mengangkat perjuangan tokoh dan nilai pendidikan yang terdapat dalam novel. Adapun pada penelitian yang dilakukan ini yang menjadi aspek kajian yaitu konsep sufistik yang dimiliki oleh suku Sasak yang terdapat dalam suatu karya sastra berupa novel.
Selain itu, penelitian yang baik tentunya dilandasi oleh beberapa konsep teoretis yang menjadi pedoman atau referensi dalam pelaksanaannya. Adapun dalam penelitian ini, terdapat beberapa konsep teoretis yang menjadi referensi berdasarkan pendapat para ahli pada masing- masing konteks. Konsep-konsep teoretis yang dimaksud yaitu sufistik, suku Sasak, sufistik suku Sasak, novel Sanggarguri, era digital dan semiotik.
Asal mula pengertian sufistik yaitu Al-Tasawuf yang dapat dilihat dari dua segi yakni segi etimologis dan segi terminologis. Dari segi linguistik (etimologis), pandangan para ulama berbeda-beda mengenai makna kata tasawwuf. Secara etimologi, kata tasawuf atau sufistik (sufisme) berasal dari bahasa Arab (Tashawwafa-yatashawwafu-tashawwufan) yang berarti bulu
domba, barisan, jernih, dan masih banyak lagi arti lainnya menurut pendapat beberapa ulama (Mahjuddin, 2015:37).
Selain itu, sufistik berasal dari kata sufi (shufi)secara harfiah berakar dari tiga huruf Arab, yaitu shad, wawu, dan fa yang diartikan beraneka ragam, misalnya shafu berarti bersih, atau shafa juga berarti bersih (Suriadin, 2014:28). Ada pula suffah yang berarti sebuah kamar di samping masjid Rasulullah di Madinah yang tersedia untuk sahabat-sahabatnya yang miskin tetapi tebal imannya. Sufi juga dari bahasa Yunani, diambil dari kata sophos, yang artinya bijaksana (Afifuddin, 2013:17).
Namun demikian, dari banyaknya perdebatan di kalangan ahli agama dan ahli bahasa, makna tasawwuf yang paling dapat diterima adalah kata yang diidentikkan kepada orang yang selalu berpakaian dengan pakaian suph (wol) dari bulu domba. Makna ini didukung oleh kenyataan sejarah bahwa komunitas sufi pertama kali muncul dari Bashrah dan yang pertama kali membangun perkumpulan sufi adalah kelompok Abdul Wahid bin Zaid, pengikut Hasan Basri yang selalu memakai pakaian tersebut. Pada saat itu pula di Basrah terdapat perkembangan penganut yang sangat kuat tentang konsep-konsep Zuhud, Ubaddah, Khauf dan konsep-konsep lainnya (Harapandi, 2004:125-126).
Apapun asalnya, istilah tasawuf berarti orang-orang yang tertarik dan intens dengan pengetahuan-pengetahuan yang terkait dengan bathin seseorang. Dengan demikian, orang-orang tersebut mencari jalan atau praktik-praktik ke arah kesadaran dan pencerahan diri secara terus- menerus tanpa henti mengadakan muraqabah dan kontemplasi dalam mendekatkan dirinya kepada Allah Yang Maha Bijaksana (Harapandi, 2004:127).
Masih terkait dengan pengertian sufistik, seorang tokoh sufi yang lain yakni Syaikh Ibnu Ajiba (1809 M) menjelaskan bahwa sufistik adalah pengetahuan yang dipelajari seseorang agar agar dapat berlaku sesuai dengan kehendak Allah melalui penjernihan hati dan membuatnya senang terhadap perbuatan-perbuatan yang baik (Amin, 2014:197). Istilah sufi pun dimaksudkan sebagai satu kategori penyifatan dimensi esoteris ajaran Islam. Kata tasawuf terkait langsung dengan esoterisme atau dimensi dalam dan rahasia ajaran Islam itu sendiri (Jumantoro, 2005:208).
Pengertian lain dikemukakan oleh Al-Junaid yang menyatakan bahwa shufi sebagai sebuah istilah bermakna membersihkan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan
makhluk. Pembersihan tersebut dengan cara berjuang meninggalkan pengaruh nafsu, mendekati sifat-sifat suci spiritual, dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat (Supaat, 2010:181).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapatlah disimpulkan bahwa sufistik merupakan akar dari kata tasawuf yang berarti suatu pengetahuan yang mempelajari tentang bagaimana jalan bagi seorang muslim dalam upaya mendekatkan diri kepada sang Maha Pencipta, Allah SWT.
dengan mempergiat amalan-amalan berupa zikrullah, memperhalus mata hati dan nurani untuk selalu mengingat kebesaran Allah SWT, menghilangkan sifat hawa nafsu duniawi yang merusak keimanan, serta mensucikan hati dan pikiran dari sifat-sifat dan perilaku yang mengarah kepada perbuatan dosa.
Selanjutnya, suku Sasak merupakan suku bangsa yang mendiami Pulau Lombok dan menggunakan bahasa Sasak sebagai bahasa daerahnya dalam aktivitas sehari-hari. Suku Sasak tersebar di lima kabupaten dan kota yang ada di Pulau Lombok. Populasi terbesar suku Sasak terdapat di Kabupaten Lombok Tengah, kemudian Lombok Timur, Lombok Utara, Lombok Barat dan Kota Mataram. Dalam kehidupannya, masyarakat Sasak senantiasa menjunjung tinggi empat konsep yaitu persaudaraan, kesetaraan, kesederhanaan dan persatuan. Selain itu, suku Sasak sebagai bagian dari umat beragama juga mengedepankan nilai dan norma yang dilandasi oleh konsep beragama disertai dengan konsep tradisi budaya yang masih dipertahankan. Adapun kombinasi kehidupan beragama dengan situasi kebudayaan tersebut melahirkan salah satu konsep penting dalam kehidupan suku Sasak yang tergambar dalam lingkup sufistik.
Kemudian, sufistik suku Sasak merupakan konsep yang dimiliki masyarakat Sasak yang berlandaskan pada roh atau spirit tauhid. Spirit tauhid merupakan landasan atau azas dalam melahirkan konsep tentang cara berpikir, bersikap dan bertindak orang Sasak dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konsep kosmologis, dasar atau azas yang digunakan sebagai rujukan dalam memahami spirit tauhid ini adalah tasawuf Islam atau tasawuf akidah dan tasawuf falsafi (Fathurrahman, 2017:102).
Spirit untuk bangsa manapun adalah hal yang sangat penting bagi landasan atau azas dalam cara berpikir, bertindak, ataupun bersikap. Demikian pula dengan suku bangsa Sasak yang sangat meyakini bahwa spirit utama dalam prikehidupan sehari-hari adalah spirit tauhid. Spirit tauhid inilah yang melahirkan kesadaran tauhid. Kesadaran tauhid kemudian tergambar pada konsep kosmologis tauhid yang menyatakan bahwa segala sesuatu di alam raya ini asal usulnya bersumber dari Allah SWT. Allah yang Maha menetukan segala sesuatu yang terjadi di alam
raya ini. Pernyataan tentang konsep kosmologis tauhid ini disebut sebagai kausa prima atau sangkan paran dalam istilah tasawuf nusantara.
Keyakinan dan kesadaran tauhid inilah yang kemudian melahirkan kesadaran diri sebagai makhluk atau kesadaran sebagai panjak (hamba) dalam konsep sufistik Sasak. Kesadaran sebagai panjak tersebut yang kemudian berimplikasi menjadi akidah dalam prilaku antropologis kehidupan orang Sasak sehari-hari. Perilaku sebagai akidah yang tampak dalam kehidupan adalah sikap dalam memandang dan menghargai sesama makhluk ciptaan terdapat pola hubungan yang disebut dengan pola hubungan pengkosmos (Fathurrahman, 2017:104). Pola hubungan pengkosmos ini mengatur bagaimana hubungan manusia dengan makhluk-makhluk lain serta dengan semua unsur yang terdapat di alam seperti tanah, air, api, dan udara. Dengan pola hubungan pengkosmos seperti inilah, manusia Sasak memiliki pandangan bahwa semua makhluk Allah di bumi ini adalah ibarat satu keluarga dan sama-sama berstatus sebagai panjak Allah di muka bumi.
Penghidupan suku Sasak senantiasa bercermin pada tanah atau bumi. Tanah atau bumi bagi orang Sasak ibarat keluarga yang harus dihidupi. Jika tanah ditelantarkan dan tidak digarap maka tanah akan mati. Tapi jika tanah digarap dan dihidupi maka pada gilirannya tanah akan menghidupi manusia. Selain itu, bidang lain yang menjadi penghidupan orang Sasak adalah usaha berdagang. Dalam konsep sufistik Sasak usaha dagang ini lebih bersifat kepada membantu sesama atau nulung batur. Semua itu harus bermuara kepada hidup yang bermakna atau kebermaknaan. Hidup yang bermakna dapat dijalani dengan konsep Pemole dan Semaiq. Setiap diri orang Sasak senantiasa memuliakan tanah, memuliakan orang dan berprilaku dengan konsep Semaiq yakni sikap dan prilaku yang tidak berlebih-lebihan. Inilah yang dimaksud dengan cara hidup sufistik Sasak.
Konsep sufistik Sasak juga kaya dengan perlambang atau simbol (Yamin, 2014:93).
Contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah gunung. Gunung bagi orang Sasak adalah ceruk tertinggi di bumi yang bersentuhan langsung dengan benda langit sehingga disebut ‘tiang langit’.
Sebagai tiang langit tentunya dekat dengan bulan. Bulan dalam konsep orang Sasak merupakan perlambang dari insan kamil. Insan kamil itu seperti bulan yang tidak mengeluarkan cahaya tetapi mendapatkan cahaya dari sumber cahaya yaitu matahari. Oleh karena itu, masyarakat Sasak selalu berharap untuk mendapatkan cahaya dari sumber cahaya agar menjadi insan kamil atau dalam bahasa Qurannya; nurun ala nuri. Jadi, semua perlambang-perlambang atau simbol
itu semua kembali kepada konsep Sasak sebagai sebuah pemikiran tasawuf. Tasawuf Sasak telah ada sejak bangsa Sasak ada dan berangkat dari pemikiran kosmologis dan kesadaran Tauhid.
Jadi, esensi yang paling dasar dari kesadaran diri orang Sasak itu adalah kesadaran diri sebagai panjak atau makhluk. Kemudian yang harus dipahami dari kesadaran diri sebagai panjak ini adalah bahwa pengabdian hidup orang Sasak adalah untuk menemukan jalan kembali atau langan uleq. Usaha pencarian ini kemudian yang menjadi cara dan jalan hidup. Cara hidup orang Sasak dari pemikiran kosmologis ini melahirkan cara berpikir, cara berkata, cara bertindak dan cara bersikap. Tujuannya adalah untuk mencari dan menemukan jalan kembali yang disebut dalam konsep tasawuf Sasak sebagai Daya atau Daye. Daya dalam hal ini bermakna segala sesuatu yang melahirkan spirit. Dapat juga diartikan sebagai jantung atau kekuatan. Sehingga kita pernah mendengar bahwa kalau orang mati itu artinya dia sudah bedaya yakni kembali kepada yang memberi jantung atau memberi hidup.
Adapun objek penelitian ini yaitu novel Sanggarguri merupakan novel yang ditulis oleh pengarang asli Lombok (Sasak) bernama Lalu Agus Fathurrahman. Pengarang yang sekaligus salah satu tenaga kependidikan di Universitas Mataram (NTB) tersebut menyajikan novel Sanggarguri berdasarkan fenomena yang terjadi di tengah masyarakat, khususnya masyarakat suku Sasak terkait dengan hilangnya identitas dan nilai lokalitas yang disebabkan oleh pesatnya perkembangan zaman. Sanggarguri yang merupakan novel kebudayaan bercitarasa lokal tersebut berisi tentang nilai dan norma miliki suku Sasak yang disimbolkan dengan beberapa jenis kembang atau bunga.
Di Pulau Lombok, kembang atau bunga tersebut sebagian besar merupakan tumbuhan yang sudah langka dan keberadaannya hanya pada tempat tertentu, misalnya di Gunung Rinjani.
Namun demikian, secara garis besar novel yang ditulis sejak 2011 berdasarkan pengalaman kultural dan spiritual tersebut mencoba mengingatkan kembali masyarakat suku Sasak akan pedoman kehidupan yang harus mereka gunakan, baik sebagai penguat sistem tradisi dan agama yang dijalani sejak lama maupun untuk beradaptasi terhadap perkembangan era digital seperti saat ini.
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memang tidak dapat dimungkiri keberadaannya. Pun tidak boleh serta-merta menjadikannya kambing hitam terhadap aktivitas dan perilaku sebagian generasi bangsa yang melampaui batas dalam memanfaatkan perkembangan tersebut. Hal ini karena saat ini dunia telah memasuki sebuah era yang hampir di
dalam setiap aktivitas dan peristiwa yang ada selalu berkaitan dengan dunia digital (Effendi, 2017:145). Oleh sebab itulah mengapa pada akhirnya era yang sedang berlangsung saat ini disebut dengan era digital.
Era digital pun memiliki peranan ganda dalam menciptakan situasi dan kondisi peradaban manusia saat ini dan di masa depan (Wachid, 2013:40). Satu sisi, peran era digital dapat menjadi negatif jika manusia penggunanya abai terhadap ketentuan-ketentuan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga cenderung menjadi tidak terkontrol dan melampaui batas.
Namun di sisi lain, era digital menjadi satu anugerah tersendiri bagi masyarakat apabila pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut dimanfaatkan secara optimal pada aspek-aspek yang membawa kontribusi positif, baik secara personal maupun komunal.
Harapannya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut dapat memberi dampak positif bagi keberlangsungan peradaban manusia sehingga akan tercipta generasi-generasi yang membangun dunia dengan cara-cara yang baik dan bertanggung jawab.
Selanjutnya, teori semiotik menjadi landasan dalam melakukan penelitian ini. Teori semiotik merupakan perkembangan dari teori strukturalisme. Berdasarkan hal tersebut, maka untuk menganalisis karya sastra, selain berdasarkan strukturalisme, diperlukan juga analisis berdasarkan teori lain, yang identik dengan teori ini ialah teori semiotika. Strukturalisme dan semiotika sebagai dua teori yang identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada karya, sedangkan semiotika pada tanda (Simon, 2014:204). Dalam hal ini, untuk menemukan makna suatu karya, analisis strukturalisme mesti dilanjutkan dengan analisis semiotika. Secara definitif, menurut Cobley dan Janz (Ratna, 2011:97) semiotika berasal dari kata seme, bahasa Yunani yang berarti penafsir tanda. Literatur lain menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semion, yang berarti tanda. Dalam pengertian yang lebih luas sebagai teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda.
Semiotika (semiotics) didefinisikan oleh de Saussure sebagai ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Sementara itu, menurut Preminger (Jabrohim, 2003:68) semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial (masyarakat) dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Pendapat ini sejalan dengan Nurgiyantoro (2010:40) yang menyatakan makna yang ditentukan oleh konvensinya karya sastra merupakan tanda-tanda yang bermakna.Tanda mempunyai dua aspek
yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu yaitu artinya (Sunardi, 2012:71).
Adapun semiotik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah teori yang mempelajari, memeriksa, memikirkan, dan menguji tanda-tanda atau simbol yang yang terkandung dalam NSG yang dianggap mewakili sesuatu objek tentang kehidupan sufistik masyarakat Sasak secara representatif. Secara khusus, teori semiotika yang menjadi landas pikir penelitian ini ialah yang dikemukakan oleh Roland Barthes dengan konsep denotasi dan konotasinya.
Dalam hal ini, untuk memperoleh hasil penelitian yang optimal dibutuhkan beberapa metode. Penelitian yang dilakukan ini pun menggunakan beberapa metode yang terbagi dalam proses penyediaan atau pengumpulan data, kemudian penganalisisan data, dan penyajian data hasil penelitian (Siswantoro, 2015:11). Dalam hal penyediaan atau pengumpulan data, metode yang digunakan yaitu observasi dengan teknik wawancara terbuka dengan penulis novel Sanggarguri. Kemudian, dilengkapi dengan studi kepustakaan yang terkait dengan konsep- konsep yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Selanjutnya, pada tahap penganalisisan data menggunakan analisis deksriptif yang dilandasi oleh teori semiotika Barthes dengan mengkaji simbolisasi kembang atau bunga secara denotatif dan konotatif. Adapun tahap penyajian data hasil penelitian ini menggunakan metode informal atau dengan kata-kata dan kalimat naratif (Endraswara, 2003:59).
PEMBAHASAN
Novel Sanggarguri menyajikan simbolisasi kembang atau bunga sebagai analogi sifat dan sikap suku Sasak yang berlandakan nilai sufistik. Berikut ini merupakan hasil penelitian tentang simbolisasi tersebut beserta uraian hikmah sufi yang terkandung di dalamnya.
3.1 Kembang Gadung
Kembang Gadung atau bahasa latinnya Dioscorea hispida adalah tumbuhan melilit, umbinya memabukkan kalau dimakan langsung, tetapi jika direndam dahulu, racunnya hilang atau menjadi berkurang (KBBI, 2008:429). Dijadikannya Kembang Gadung sebagai simbol atau penanda dalam bab ini sangat terkait dengan pencitraan dari sosok tokoh Sanggarguri sebagai petanda. Kutipan berikut ini menunjukan pengembangan simbol Kembang Gadung menjadi sebuah makna.
“Namanya Kembang Gadung, tanaman yang umbinya di bawa oleh Sanggar Guri belasan tahun lalu lalu dari kampungnya. Dia menanamnya di tempat itu. Musim tertentu ia mati dan musim tertentu ia akan tumbuh tunasnya lagi dan berbunga seperti itu, saya tidak pernah merawatnya kecuali menyediakan tempat merambatnya. Anda beruntung bisa mengenalnya di sini. Paling tidak, tahu dan pernah melihat kembang gadung dan suatu saat Anda akan ingat hal itu”(NSG, 2014:17).
Secara umum, dalam kajian nilai-nilai sufistik Sasak, kembang mewakili unsur alam yang sarat dengan makna. Kembang adalah salah satu bagian tumbuhan. Tumbuhan adalah salah satu makhluk ciptaan Tuhan selain hewan dan manusia yang keberadaannya atau kehadirannya berkedudukan sama dengan makhluk Tuhan yang lain yakni sebagai makhluk atau panjak dalam istilah sufistik Sasak. Sebagai sesama makhluk atau panjak Neneq (baca: Tuhan), kehadiran kembang juga dalam rangka mengabdi, bertasbih dan memberikan i’tibar kepada makhluk lain khususnya manusia tentang nilai-nilai yang baik dalam kehidupan. Demikian pula halnya dengan kembang-kembang yang ada dalam NSG, semuanya merupakan pertanda dari suatu kandungan nilai sufistik yang diyakini atau dimiliki oleh orang Sasak.
Kembang Gadung menandakan sifat ilmu orang Sasak. Begitu juga saat mempelajari tasawuf Sasak yang mengambil sifat seperti Kembang Gadung. Sifat Kembang Gadung dalam mempelajari sufistik Sasak terkait dengan jenis pohon atau kembang yang sama sekali tidak menarik perhatian orang. Namun di sisi lain, ada orang yang mampu menikmati rupanya bahkan menikmati isinya sampai mabuk karena beracun. Jika Kembang Gadung atau Pohon Gadung ini mampu ditata sedemikian rupa sehingga terjadi komposisi yang apik maka penampilan Kembang Gadung akan mampu menarik perhatian. Seseorang yang mampu menikmati kehidupan layaknya Kembang Gadung dari sisi yang lain adalah seseorang yang sudah sampai pada tataran arif, yakni kemampuan untuk bisa memahami bahwa tidak ada sesuatupun makhluk di muka bumi ini yang diciptakan sia-sia oleh Allah SWT. Nilai sufistik yang harus dipedomani ialah bahwa suatu hal akan sangat bermanfaat apabila dilakukan dengan perencanaan dan penataan yang baik, sehingga setiap orang dapat melihatnya secara optimal sebagai sesuatu yang berguna dalam kehidupan.
3. 2 Kembang Rau
Secara denotatif, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), kembang merupakan kata benda yang bermakna sama dengan bunga, dipakai juga untuk menyebut berbagai macam bunga. Sementara itu, kata Rau (bahasa Sasak) bermakna ladang atau kehidupan. Dua kata yaitu
‘kembang’ dan ‘rau’ kemudian digabung menjadi Kembang Rau berubah makna menjadi makna yang lain. Dengan kata lain, dua kata itu menimbulkan makna baru yang disebut sebagai makna konotasi. Makna konotasi yang timbul dari Kembang Rau adalah kembangnya kehidupan atau kembangnya dunia. Maksudnya adalah amal perbuatan di dunia atau dalam kehidupan manusia.
Dalam NSG, Kembang Rau mencitrakan hakikat kembang sebagai suatu keindahan.
Kembang tetaplah kembang karena di mana pun tempatnya berada, seperti apapun bentuknya, apapun warnanya, dan seberapapun ukurannya, kembang tetaplah indah. Itulah hakikat kembang.
Kembang Rau atau kembang ladang, sesungguhnya adalah kembang itu sendiri. Kembang tumbuh dan hidup di mana-mana, sama seperti halnya dalam sufistik Sasak bahwa dalam kehidupan masyarakat senantiasa ada orang yang selalu memberikan manfaat serta memberi makna kesejukan di tempat ia berada. Orang dengan tipe Kembang Rau ini ada di mana-mana, baik di desa maupun di kota. Salah satu kutipan yang membuktikan hal tersebut adalah sebagai berikut.
“Saya memang seorang guru agama tetapi saya memberi makna tugas saya seperti berladang, jika lahannya tidak disiapkan dengan baik maka apa yang bisa ditanam?
Begitulah saya harus menjadi peladang 24 jam dalam sehari untuk menyiapkan lahan agar bibit pengetahuan yang saya tanam bisa melahirkan generasi yang memiliki dirinya sendiri”
(NSG, 2014:38).
Oleh karena itulah manusia diibaratkan seperti seorang peladang seperti seorang ‘guru agama’ di atas dunia ini. Dengan kata lain, hidup di dunia ini ibaratnya adalah bekerja untuk ladang akhirat. Jika ingin mempunyai banyak perbekalan untuk akhirat, rajin-rajinlah berladang.
Kerja apapun dan di mana pun ketika dilandasi oleh keyakinan bahwa dunia ini adalah ladang akhirat, maka apapun yang dilakukan bukan semata-mata untuk dunia, tetapi dapat menjadi kembang di akhirat. Kembang Rau juga simbol bagi pentingnya menjaga kemuliaan akhlak dan budi pekerti di mana pun manusia berada. Pentingnya memahami makna yang terpendam dalam simbol kembang Rau adalah sebagai jawaban atas dampak negatif yang ditimbulkan oleh perkembangan zaman dewasa ini.
3.3 Kembang Jempiring
Jempiring atau disebut juga dengan nama lain KacapiringGardenia augusta) adalah perdu tahunan dari suku kopi-kopian atau Rubiaceae. Bunganya berwarna putih dan sangat harum.
Tanaman ini juga dikenal dengan nama binomial Gardenia jasminoides yang berarti "seperti melati," walaupun tidak ada hubungannya dengan marga Jasminum (Melati). Bunga jempiring
ini sulit didapatkan dan hanya mampu berbunga pada saat-saat tertentu. Keunikan tanaman jempiring ini membuat tanaman dan kebun semakin indah. Bunga hanya muncul sekuntum di ujung-ujung tangkai, mempunyai 6 daun mahkota walaupun sebagian kultivar mempunyai bunga ganda (daun mahkota berlapis).
Dalam sufistik Sasak, Kembang Jempiring direfleksikan pada diri manusia yaitu bunganya yang putih bersih melambangkan kesucian atau kejernihan pikiran dan perbuatan yang jujur. Bunganya yang harum, memberi daya tarik pada setiap insan sebagai simbol kewibawaan.
Selain bunganya, daunnya yang berwarna hijau melambangkan kesejukan atau ketentraman hati.
Semua itu sebagai perlambang untuk menuntun agar manusia senantiasa mengusahakan sikap yang terbaik bagi diri sendiri, lingkungan dan orang lain
Selain itu, konsep sufistik Sasak menyatakan bahwa tingkat kepekaan seseorang akan terbangun dengan baik dari intensitasnya bangun pada sepertiga malam (tahajjud), terutama pada malam Senin dan malam Jumat. Pencarian sembilan pansek gumi berawal dari kembang malam.
Sembilan pansek gumi ini merupakan sembilan tonggak dalam tasawuf Sasak atau sembilan derajat yang menggambarkan kejadian insan kamil dari alam sirul sir, alam sir, alam ahdah, alam wahdah, alam wahidiyah, alam ahmad, alam muhammad, alam maustafa, dan alam mahmud (Fathurrahman, 2017:78). Kesembilan derajat dalam ilmu tasawuf Sasak ini nantinya akan berujung pada terbentuknya kesadaran kehambaan atau kesadaran panjak. Adapun kutipan yang memperkuat posisi Kembang Jempiring dalam kaidah sufistik Sasak pada NSG adalah sebagai berikut.
“Di tempat itu, sebuah visi terbuka tentang suasana langit yang tadi kita bicarakan. Dewi Anjani sang penjaga kosmos Sasak berduka, dan seakan minta tolong kepada orang yang dipilihnya. Dan .... itu kita. Malamnya saya mendapat sinyal melalui kembang malam (jempiring) untuk mencari siwaq pansek gumi (sembilan pasak bumi) yang sudah mulai condong dan diminta untuk menegakkan kembali. Sungguh kedua visi itu menjadi teka-teki yang harus kita pecahkan bersama” (NSG, 2014:44).
3.4 Kembang Ara
Kembang Ara dikenal memiliki kembang yang tersembunyi dan sulit ditemukan. Kalau ditemukan kembang pada Kembang Ara, maka seseorang seolah akan mendapatkan ketrimen (bahasa Sasak). Ketrimen dimaknai sebagai suatu karunia seperti mendapat lailatul qadar. Orang tidak banyak tahu tentang bunga pada Kembang Ara. Memang terdapat kembang pada Kembang Ara tetapi sering tersembunyi oleh bakal buahnya.
Secara sufistik Sasak, makna dari Kembang Ara ini adalah orang yang sudah tidak lagi memikirkan gaya dan penampilan dalam kehidupannya (sederhana dan apa adanya). Dengan kata lain, apa yang diperlihatkan bukan lagi sebagai suatu bentuk pencitraan, tetapi menunjukkan aslinya. Orang dengan sifat Kembang Ara tidak akan pernah menceritakan eksistensi dirinya atau tidak mencitrakan diri sebagai sesuatu yang baik atau sesuatu yang indah, tetapi orang sudah maklum dan mengerti dengan melihat atau menikmati amal-amal perbuatannya.
Jalanan sore saat petani pulang dari sawah dan ladang, beriringan dalam canda yang bersahutan. Laki-laki perempuan tampak riang, nikmat setelah seharian melepaskan diri pada hamparan tanah dan terpaan cuaca. Kehidupan yang indah dalam kebahagiaan yang sederhana. Perempuan menjunjung bakul berisi alat kerja, laki-laki memikul rumput oleh- oleh buat ternaknya di rumah. Anak-anak mereka pasti telah menanti di halaman rumah sambil bermain bersama teman sebaya. “Mereka adalah pohon-pohon ara yang tumbuh di pinggir-pinggir kali dan nyaris dilupakan.” Kata Bang Burhan membuka pembicaraan untuk mengusir penatnya” (NSG, 2014:65).
Dalam istilah sekarang, dapat juga dikatakan bahwa orang dengan sifat Kembang Ara tidak pernah tebar pesona dalam kehidupannya. Orang akan melihat dan merasakan kemanfaatan yang sudah ditebar dalam kehidupan bukan malah menceritakan sendiri hal-hal yang telah dilakukan. Dengan bahasa lain, sosok manusia dengan sifat Kembang Ara adalah sosok yang tidak pernah mengkampanyekan diri dan perbuatannya kepada orang lain. Semua rekam jejak berupa amal perbuatannya yang bermanfaat itulah yang akan membuat namanya senantiasa diingat dan dikenang orang lain sepanjang masa.
3.5 Kembang Laos
Kembang Laos bermakna sebagai orang yang mampu kembali terlahir sebagai orang yang fitrah dengan meninggalkan duniawi atau dalam pengertian lain ialah hidup secara zuhud.
Nilai-nilai sufistik bangsa Sasak sangat relevan dengan nilai sufi secara umum. Hal tersebut karena memang Sasak itu sendiri adalah sangat dekat dengan aspek tasawuf universal. Jadi, bagi mereka yang sudah mampu meninggalkan nafsu duniawi itulah yang disebut sebagai Kembang Laos.
Kembang Laos adalah juga perlambang dari penghormatan terhadap arwah nenek moyang dengan melakukan tradisi ziarah ke makam-makam yang dikeramatkan atau kemaliq.
Ada banyak banyak makam yang kemaliq di gumi Sasak (Pulau Lombok). Banyaknya makam yang dihormati oleh masyarakat Sasak yang tersebar di seluruh wilayah Pulau Lombok ini, baik yang teridentifikasi maupun tidak, merupakan gambaran karakteristik spiritualitas masyarakat
Sasak. Spiritualitas semacam itu masih tampak hingga saat ini dengan penghormatan para alim ulama dan pemimpin masyarakat di Pulau Lombok.
“Di tempat ini dulu hanya ada satu kuburan, pemiliknya seorang perantau yang disangsikan keberadaannya. Tempat ketinggian ini semula rata dengan dengan bibir sungai yang kita seberangi. Konon karomah pengembara menyebabkan dia semakin meninggi. Dia seorang pengembara agama Islam yang tidak diketahui asal-usulnya. Semula tidak diperdulikan tetapi ia terus menerus menanam benih-benih pohon kehidupan di sekitarnya. Pohon yang berdiri tegak dengan akar iman dan menjalankan nutrisi kehidupan melalui batang Islam dan memberikan contoh sifat dan sikap ihsan dengan manfaat yang banyak. Menjelang ajalnya ia berpesan: “jika kalian meragukan siapa saya, kelak kalau saya mati, makamkan saya di tengah sungai ini dan jika jika kuburanku ditenggelamkan air berarti saya bukan siapa-siapa, tetapi jika tanah kuburanku semakin tinggi, kutitipkan apa yang telah kutanam untuk dipelihara” (NSG, 2014:68).
Dalam konteks ilmiah, lengkuas, laos atau kelawas (Alpinia galanga) merupakan jenis tumbuhan umbi-umbian yang bisa hidup di daerah dataran tinggi maupun dataran rendah. Pada umumnya, masyarakat memanfaatkannya sebagai campuran bumbu masak dan pengobatan tradisional. Pemanfaatan lengkuas untuk masakan dengan cara mememarkan rimpang kemudian dicelupkan begitu saja ke dalam campuran masakan, sedangkan untuk pengobatan tradisional yang banyak digunakan adalah lengkuas merah Alpinia purpurata K Schum. Hal tersebut menunjukan bahwa Kembang Laos merupakan perlambang atau simbol untuk senantiasa menjadi bermanfaat dalam situasi dan kondisi apapun.
3.6 Kembang Serinata
Kembang Serinata merupakan kembang yang langka sehingga saat ini agak sulit ditemukan. Secara sosial, keberadaan kembang ini sebagai pertanda untuk mengingatkan kita akan kearifan nilai-nilai luhur masa lalu dari nenek moyang. Tidak ada pengetahuan yang terlepas dari hikmah yang kita dapatkan dari tradisi luhur masa lalu.
Dalam konsep sufistik Sasak, Kembang Serinata adalah kembang penuh hikmah dan kenangan. Serinata sebagai sebuah kembang senantiasa mengingatkan pada setiap orang bahwa semua peristiwa dalam hidup ini pasti ada hikmahnya. Hikmah terkadang baru disadari setelah mengingat akan kenangan pada suatu peristiwa yang telah berlalu. Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa sesungguhnya dalam hikmah terkandung kearifan tradisi. Kembang Serinata sebagai simbol hikmah memberikan pelajaran bahwa dalam hidup ini setiap orang jangan pernah melupakan sejarah pada masa lalu dan asal usulnya. Hal itu karena dari sanalah kearifan tradisi berasal. Tentang hal ini dijelaskan seperti dalam kutipan di bawah ini:
“Memasuki dusun ini serasa seperti pulang kampung, walaupun ini kali kedua saya mengunjunginya. Saya tiba-tiba teringat ketika melangkahkan kaki pertama memulai perantauan dari kampung saya di Dusun Tuban di belahan selatan. Berjanji pada tanah asal untuk kembali, seperti pernah berhutang bekal padanya. Namanya akan selalu menjadi teman, dalam susah ataupun senang. Dalam setiap langkah, dalam susah ataupun senang.
Mulailah melangkah dengan kaki kanan, berjalanlah terus tanpa menoleh. Bulatkan tekad untuk kembali dengan keberhasilan dan memberikan kebanggaan kepada tanah kelahiran.
Demikian nasehat orang tua saya dahulu ketika saya berangkat dari kampung, pesan ini tampak seperti pengajian para guru tua di kampung. Nasihat tua yang dianggap kuno tetapi tetap bermakna, seperti Kembang Serinata, tanaman kuno yang langka dan mulai dilupakan, tetapi bunganya tetap indah. Kembang kenangan anak-anak kampung yang mengupas buahnya dengan hati-hati untuk mengambil lapis biji yang kenyal seperti jelli”(NSG, 2014:86).
3.7 Kembang Kemuning
Terpilihnya Kembang Kemuning sebagai simbol yang menyiratkan makna sufisme Sasak karena ciri-ciri dan bentuk kembang ini memberikan pelajaran bagaimana seharusnya seorang muslim bergaul dengan muslim yang lain dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut dapat terlihat dalam kutipan di bawah ini:
“Pertemuan lingkaran Asah Makna sore itu, seakan kian menegaskan warna tradisi yang dijalani. Jalan yang lebih menekankan pada kepekaan nurani daripada pengetahuan. Jalan yang lebih mengutamakan silaturrahim dan saling mengapresiasi sebagai metode. Jalan yang berusaha memungut butiran-butiran hikmah dari perjalanan. Jalan yang sama sekali tidak menafikkan ilmu pengetahuan tetapi menempatkannya sekedar sebagai alat bantu. Para pejalan tradisi menyebutnya dengan jalan ilmu kembang kemuning. Kelompok pejalan tradisi seperti ini di mana-mana tidak pernah besar, tetapi juga tidak pernah mati (NSG, 2014:139).
Bunga atau Kembang Kemuning atau dalam bahasa latinnya Murraya paniculata L.
biasanya tumbuh liar di tepi hutan, semak belukar, pagar pembatas kebun atau ditanam sebagai tanaman hias di pekarangan rumah. Seperti bunga kenanga dan bunga melati, bunga kemuning juga sering digunakan sebagai obat tradisional. Bagian tanaman yang digunakan adalah daun, ranting dan akar. Kulit batang juga berkhasiat sebagai obat. Selain sebagai simbol nilai-nilai sufistik Sasak, dalam NSG juga dijelaskan dengan cukup detail bagaimana ciri-ciri dan bentuk kembang Kemuning, sehingga sangat pantas dijadikan sebagai simbol dalam kaidah sufistik Sasak. Berikut kutipan tentang deskripsi dari kembang kemuning yang menjadi penguat simbolisasi tersebut.
“Seperti pokok Kembang Kemuning. Batangnya perdu walaupun bisa membesar, tetapi tetap menjadi tanaman perdu. Karakter batangnya sangat keras. Bunganya kecil-kecil putih, sama sekali tidak menarik untuk dijadikan tanaman yang memperindah taman. Kalaulah ada yang memeliharanya, mungkin karena tampak unik batangnya, dan hanya dijadikan bonsai. Tapi jika berbunga, harumnya lembut, hanya bisa ditangkap oleh penciuman yang peka. Bahkan orang tak menyadari dari mana sumber keharuman itu. Demikianlah ilmu bagi pejalan
tradisi, tak perlu ditampakkan, tapi suaranya memberi sejuk dan nyaman bagi sekitar. Perdu batangnya indah, kecil tapi seakan pohon yang sempurna. Proporsional, batang ranting, daun bunga dan buahnya. Begitulah bangunan pribadi para pejalan tradisi. Walaupun kecil tapi sempurna. Serat-serat batangnya adalah catatan perjalanan hidup yang dijalaninya menghadapi musim. Orang tak akan tahu jika tidak membelahnya. Demikianlah perjalanan hidup para pejalan tradisi, menyimpan yang rahasia tetap rahasia” (NSG, 2014:139).
3.8 Kembang Purus
Kembang Purus merupakan pohon dengan batang perdu berduri. Masyarakat sudah mulai tidak mengenal lagi jenis pepohonan ini. Bunganya berwarna putih, ringan dan bisa diterbangkan. Biasanya tumbuh di antara batu-batu cadas, baik di tempat kering maupun tempat basah. Ada yang menyebutnya dengan kayu tegining ganang dan sering dimanfaatkan juga sebagai obat. Karakternya pohon purus ini sangat tidak menarik dan jarang didekati orang karena berduri.
Sufistik Sasak menangkap maknanya yakni dalam kehidupan sehari-hari kita sering takut atau bahkan menganggap remeh hanya karena melihat pada penampilan luar seseorang. Namun demikian, pelajaran yang dapat diambil dari kembang ini adalah bahwa dalam kehidupan terdapat orang-orang yang dianggap biasa, sederhana, tidak dihiraukan bahkan orang enggan dan takut untuk mendekati, namun di balik itu orang tidak tahu kelebihan dan keistimewaan atau manfaat yang dimiliki atau dikandung di dalamnya.
Pelajaran penting yang bisa diambil dari Kembang Purus ini adalah jangan melihat sulitnya atau jangan melihat rupanya tetapi marilah lebih teliti untuk melihat dan mencari sesuatu yang tersembunyi di balik penampilan seperti itu. Seperti pepatah yang umum diketahui yaitu jangan hanya melihat dari penampilan luar seseorang saja atau yang lebih universal ialah peribahasa yang berbunyi jangan melihat buku hanya dari sampulnya saja. Adapun tentang kayu atau Kembang Purus diuraikan seperti dalam kutipan di bawah ini:
“Lokaq, tahu kayuq Purus?” saya memulai dengan teka-teki tentang arah pembicaraan buat teman-teman.
“Di hutan banyak, tapi sulit ditanda orang”, jawab Lokaq.
“Cukup, jangan dibocorkan kepada Ustaz Amaq Miyar dan Amaq Ubi”
“Sebenarnya bukan sulit ditanda, tapi mungkin orang tidak mengenal tanda-tandanya” kata Amaq Ubi memancing Lokaq melanjutkan (NSG, 2014:166).
3.9 Kembang Tunjung
Kembang Tunjung berhubungan dengan kemampuan wirid seseorang yang dalam istilah Buddha dinamakan Prana. Orang-orang yang memiliki kemampuan wirid tinggi memiliki energi
seperti yang dimiliki oleh para leluhur kita dalam usaha mempertahankan keyakinan menghadapi tekanan penguasa. Sejalan dengan ajaran prana dalam agama Buddha, wirid sebenarnya adalah kemampuan untuk melatih dan mengontrol serta mengolah napas manusia untuk melahirkan energi positif. Energi positif tersebut nanti akan tersebar di semua bagian tubuh sehingga ada prana di kepala, prana di dada, prana di tangan, prana di pusar dan seterusnya. Kalau dalam beberapa istilah dikenal dengan maqam-maqam, semisal dalam praktek tarekat dikenal dengan istilah maqam latifatul qalbi, latifatul hafi, latifatul sir, yang kesemuanya merupakan teknik pengolahan napas untuk melahirkan energi positif serta melatih kepekaan rasa dan iman sehingga melahirkan atmosfir kebajikan. Adapun terkait dengan Kembang Tunjung NSG mendeskripsikan melalui kutipan berikut ini.
“Kembang Tunjung lambang pejalan tradisi, ia bebas bingkai agama dan semua agama bebas memberi makna Kembang Tunjung sebagai pengobatan spiritual. Secara fisik, Kembang Tunjung juga bisa menjadi obat banyak penyakit. Tunjung juga bisa menjadi obat mabuk alkohol, berbagai penyakit kulit, borok, tumor, diabet, kejang, sampai heat stroke. Akarnya bisa jadi obat TBC paru dan lain-lain, nanti tanya Ustaz Ahlul Bayan yang akrab dengan herbal” (NSG, 2014:221).
Selain itu, dengan tumbuh di lumpur sehingga batang dan daun terendam air, tumbuhan ini memekarkan bunganya di udara. Itulah Teratai atau Tunjung yang dianggap mewakili gambaran entitas yang bersemi di Bhur Loka (alam bawah), tumbuh di Bwah Loka (alam tengah) dan menghasilkan bungan nan indah di Swah Loka (alam atas). Bagi beberapa kalangan, tumbuhan ini dipandang mengoneksikan ‘Tri Loka’ sebagai satu kesatuan tempat hidup yang memberikan pesan, bahwasanya kemuliaan dalam bentuk bunga mekar nan cantik yang mencuat ke udara hanyalah bentuk ejawantah sebuah pertumbuhan yang berproses di lumpur yang kotor dan batangnya yang dari waktu ke waktu selalu terendam dalam dinginnya air. Apa yang dipertontonkan sebagai keindahan dalam bentuk bunga yang dapat dikagumi, dipuja-puji dan dinikmati banyak makhluk, hanyalah sari-sari lumpur kotor yang berproses bersama air dan sinar matahari selama bermasa-masa.
Dalam kaidah sufistik Sasak, Tunjung juga memberi manusia sebuah pelajaran, bahwa secara umum orang-orang biasa meletakkan perhatiannya pada hasil akhir. Orang-orang bisa dengan mudah dan cepat mengagumi keindahan bunga Tunjung yang demikian indahnya menyembul di permukaan air. Dengan pesona warna-warni ia segera menyihir hati manusia dari zaman ke zaman. Akan tetapi, hanya sedikit yang mau mengerti, bahwa untuk menghasilkan bunga secantik itu dibutuhkan proses panjang dan terutama ia yang cantik itu (bunga Tunjung)
tidaklah diturunkan dari surga, melainkan kecantikan itu asal mulanya dari lumpuran becek, jauh dari dasar air telaga (proses).
3.10 Sanggarguri
Sanggarguri merupakan judul novel, nama kembang sekaligus merupakan simbolisasi tujuan akhir dari perjalanan para anggota pejalan tradisi dalam NSG. Sanggarguri adalah perlambang dari keberadaan seseorang. Seseorang yang sesungguhnya ada tetapi sama sekali tidak dipedulikan. Walaupun sanggarguri ada di mana-mana tetapi kehadirannya atau keberadaannya tidak diperhitungkan. Sanggarguri juga melambangkan sikap kita dalam kehidupan sehari-hari yang terkadang melihat sesuatu atau keadaan orang lain yang aneh namun sesungguhnya menyimpan keistimewaan yang jarang diketahui. Selain sebagai simbol keitimewaan atau kelebihan yang dimiliki oleh orang lain, dapat pula disebut sebagai simbol perlindungan atau kekuatan.
Di lingkungan sekitar kita, Sanggarguri sering tumbuh di halaman, pematang, hutan, ladang, bahkan wilayah perkotaan. Hampir di semua tempat Sanggarguri ditemukan, namun keberadaannya yang banyak sering tidak dihiraukan walaupun memiliki keistimewaan. Tidak banyak orang yang tahu bahwa Sanggarguri merupakan tempat bergantung atau menambatkan hewan peliharaan seperti kuda atau sapi. Akarnya yang kuat adalah tempat berpegang atau mengikat. Akarnya yang kuat juga mampu menahan hempasan atau terjangan badai sekalipun.
Sebagai sebuah simbol dalam sufistik Sasak, Sanggarguri memberikan pelajaran bahwa dalam kehidupan bermasyarakat senantiasa hadir tokoh atau sosok tempat bertanya, tempat berlindung, dan memberikan nasihat-nasihat dan petunjuk jika masyarakat berada dalam kebingungan dan kesesatan. Pada saat dan kondisi itulah sosok ‘Sanggarguri’ akan hadir memberikan jalan dan penerangan. Pada akhirnya orang akan tersadar terhadap manfaat dan khasiat Sanggarguri pada saat-saat yang memang dibutuhkan. Itulah kelebihan dan keistimewaan yang sering terlupakan oleh masyarakat dari perlambang Sanggarguri.
Dalam dunia tasawuf, Sanggarguri adalah tingkatan terakhir dalam fase dunia pencarian jati diri. Tujuan dan cita-cita tertinggi yang menjadi dambaan seorang penekun tasawuf atau pejalan tradisi dalam tasawuf, yakni ketiadaan (fana). Tingkatan fana ini juga dikenal dengan istilah ma’rifatullah. Ini adalah suatu tingkatan ketika seorang hamba dalam keadaan menyatu dengan Tuhannya. Segala tindak tanduk, dalam bentuk pikiran, tindakan dan perbuatan seorang
hamba atau pejalan tradisi senantiasa didasarkan karena Allah (fana Lillah), dengan tujuan Allah (fana Billah), dan menyatu dengan Allah (fana Fillah).
Secara semiotik, Sanggarguri adalah perlambang dari dunia tasawuf, yakni adanya keberadaan waliyullah yang memayungi ummat. Sanggarguri ini secara lahiriah sesungguhnya adalah tanaman perdu atau semak-semak yang tumbuh di mana saja, tetapi keberadaannya tidak dihiraukan. Ia mempunyai keistimewaan sebagai tempat menambat. Artinya, secara semiotika Sanggarguri adalah tempat berpegang. Jika seseorang sudah mencapai derajat waliyullah, maka ia berperan untuk memayungi. Sebab, dalam kehidupan masyarakat senantiasa ada orang-orang tersembunyi yang sebenarnya punya keistimewaan untuk memayungi masyarakat.
SIMPULAN DAN SARAN
Sanggarguri sebagai sebuah karya sastra bernuansa lokal dan bercitarasa sufistik telah menjadi alat, media dan wadah dalam rangka membuka pikiran manusia tentang hakikat hidup dan kehidupannya. Sanggarguri, memberikan nilai tambah bagi pemahaman terhadap paradigma karya sastra yang mengangkat situasi dan kondisi lokal suatu masyarakat. Dalam hal lainnya, Sanggarguri mengantarkan pembaca karya sastra menuju alam sufi yang mengkombinasikan aspek sosial, kultural dan spiritual. Melalui simbolisasi kembang atau bunga yang dalam kaidah kehidupan masyarakat Sasak merupakan sebuah pengagungan, Sanggarguri memberikan beragam bentuk pembelajaran bagi masyarakat. Khususnya suku Sasak, Sanggarguri hadir sebagai ikhtiar bersama dalam rangka mengembalikan nilai-nilai luhur yang mulai pudar akibat kurang dapatnya masyarakat beradaptasi dengan pesatnya perkembangan era digital.
Nilai-nilai yang diperlambangkan melalui 10 jenis kembang di Pulau Lombok tersebut di antaranya saling menghormati, tidak meremehkan pihak lain, bersikap adil, teliti, bekerja sama dalam kebaikan, memberi manfaat dalam situasi dan kondisi apapun, hingga menjadi pegangan dan pengayom bagi masyarakat. Oleh sebab itu, simbolisasi yang dimaknai secara semiotik dan berdasarkan pada konsep sufistik Sasak tersebut harus menjadi pedoman bersama dalam menghadapi pesatnya perkembangan era digital yang telah memengaruhi berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep yang ditawarkan melalui hasil penelitian ini tentu bersifat universal dan bukan hanya untuk golongan atau kelompok tertentu. Hal tersebut sesuai dengan amanat Sanggarguri yaitu manusia mengajarkan kebaikan bukan untuk dirinya dan kelompoknya, tetapi kebaikan hakiki dan sejati harus menjangkau keseluruhan manusia dan
makhluk lainnya (NSG, 2014:212). Dengan demikian, nilai sufistik Sasak juga dapat menjadi pedoman bagi masyarakat lainnya di luar suku Sasak atau Pulau Lombok.
Referensi Pustaka
Afifuddin. 2013. Sufistik Sasak dalam Bingkai Sosio-kultural. Mataram: Galih Kemuning.
Amin, Syukur. 2014. Tasawuf Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Badrin, Ahmad. 2011. “Potret Perjuangan Tokoh Utama dan Nilai Didik dalam Novel Guru Dane Karya Salman Faris” (Tesis Pascasarjana Universitas Mataram). Mataram: Unram Press.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi III). Jakarta:
Pusat Bahasa.
Effendi, Rahmad. 2017. Manusia di Era Digital. Yogyakarta: Jalasutra.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi; Model Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Fathurrahman, Agus H.L. 2017. Kosmologi Sasak, Risalah Inen Paer. Mataram: Genius.
Handayani. 2016. “Aspek Moral dalam Novel Biru karya Fira Basuki: Pendekatan Semiotik”
(Tesis Pascasarjana Universitas Mataram). Mataram: Unram Press.
Harapandi, Dahri. 2004. Pemikiran Teologi Sufistik Syekh Abdul Qodir Jaelani. Jakarta: Wahyu Press.
Imron, Abdullah. 2013. “Nilai Pendidikan Multikultural dalam Novel Burung-Burung Rantau.”
(Tesis Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya). Surabaya: Unesa Media.
Jabrohim. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindata Graha Widy.
Jumantoro, Totok. 2005. Kamus Ilmu Tasawuf. Yogyakarta: Amzah.
Mahjuddin. 2015. Akhlak Tasawuf I. Jakarta: Kalam Mulia.
Nuriadi. 2016. Theory of Literature An Introduction. Mataram: Arga Puji Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta. UGM Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Simon, Sidhey B, dkk. 2014. Values Clarification of Semiology. New York: Hart Publising Companay. Inc.
Siswantoro. 2015. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Sunardi. 2012. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal Press.
Supaat, Lathief. 2010. Sastra Eksistensialisme Mistisme Religius. Lamongan: Pustaka Pujangga.
Suriadin, Alwi. 2014. Islam Sufistik, Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia.
Bandung: Mizan.
Wachid, Abdul B.S. 2013. Sastra Pencerahan di Era Modern. Yogyakarta: Centra Grafindo.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
Yamin, Mochammad. 2014. Paer, Konsep Deo-sosiokultural Sasak (Makalah pada Kongres Kebudayaan 2014). Jakarta: Kemdikbud.