• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rasio Decidendi dalam Putusan Hakim di Pengadilan Negeri Surabaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Rasio Decidendi dalam Putusan Hakim di Pengadilan Negeri Surabaya"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

40 BAB III

RATIO DECIDENDI KEPUTUSAN HAKIM DIDALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SURABAYA NOMOR 117/Pdt.Sus-

PHI/2020/PN.Sby

3.1. Pengertian, Jenis-Jenis, dan Asas-Asas Putusan Hakim

Putusan hakim/putusan pengadilan merupakan suatu putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan yang telah melewati seluruh rangkaian tahapan pemeriksaan pada sidang dipengadilan. Pengertian mengenai putusan hakim Soedikno Mertokusumo memberikan definisi dari putusan hakim sebagai pernyataan oleh pejabat yang memiliki kewenangan dalam mengakhiri/menyelesaikan suatu perkara atau sengketa yang diucapkan didalam persidangan. Ridwan Syahrini juga memberikan definisi mengenai putusan hakim, bahwa putusan hakim merupakan pernyataan yang dikeluarkan oleh hakim yang diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum untuk mengakhiri perkara.31

Menurut Nandang Sunandar didalam bukunya yang berjudul “Eksekusi Putusan Perdata” memberikan penjelasan mengenai pengertian dari putusan pengadilan sebagai hukum acara formil yang dilalui oleh para pihak dalam perkara perdata, selain itu Soeparmono menjabarkan pengertian dari putusan hakim yang menyebutkan bahwa putusan hakim merupakan suatu pernyataan dari hakim sebagai seorang pejabat yang memiliki wewenang untuk diucapkan dalam persidangan dengan tujuan untuk menyelesaikan perkara. Definisi dari putusan pengadilan juga terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

31 Filmon Mikson Polin, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Media Nusa Creative, Malang, 2021, h. 128

(2)

yang dimuat didalam pasal 1 yang menyebutkan putusan pengadilan merupakan suatu pernyataan dari hakim yang diucapkan didalam persidangan terbuka yang berupa pemidanaan, bebas maupun lepas dari segala tuntutan hukum menurut undang-undang ini.32

Putusan pengadilan atau putusan hakim pengaturannya terdapat didalam Pasal 185 HIR, Pasal 196 Rbg, dan Pasal 46-48 Rv. Jenis-jenis dari putusan tersebar didalam Pasal 46-48 Rv, Pasal 185 HIR, dan Pasal 196 Rbg yang meliputi putusan sela, putusan akhir, putusan yang ditinjau dari isi putusannya, dan putusan yang dilihat dari sifat putusannya. Putusan sela (putusan yang sifatnya hanya sementara) merupakan putusan yang bertujuan untuk mempermudah perkara yang akan dihadapi. Putusan sela diatur didalam Pasal 185 ayat (1) HIR ataupun didalam Pasal 48 Rv. Praktik penggunaan putusan sela didalam persidangan diucapkan oleh hakim secara terpisah sebelum diputuskannya putusan akhir. Putusan sela ditulis didalam berita acara persidangan, jika salah satu pihak mengajukan putusan sela maka hakim memberikan salinan otentik dari berita acara dan dibebankan untuk membayar perkara. Didalam putusan sela dikualifikasikan menjadi beberapa jenis dari putusan yang diantaranya adalah:

1. Putusan Preparatoir, merupakan putusan yang tidak memiliki suatu pengaruh terhadap pokok perkara maupun putusan akhir, contoh dari putusan ini adalah penggabungan antara dua perkara dengan tujuan untuk penundaan pemeriksaan saksi.

32 Nandang Sunandar, Eksekusi Putusan Perdata Proses Eksekusi Dalam Tatanan Teori Dan Praktik, Nuansa Cendekia, Bandung, 2021, h. 21 dan 22

(3)

2. Putusan Interlocutoir, merupakan putusan sela yang memiliki pengaruh terhadap putusan akhir dikarenakan alat bukti yang terdapat dipersidangan digunakan dalam pertimbangan dari putusan akhir, contoh dari putusan sela ini adalah putusan untuk mendengar saksi ahli, putusan pembebanan pihak, maupun putusan yang memerintahkan untuk membuktikan sesuatu.

3. Putusan Incidenteel, merupakan putusan sela yang berhubunga dengan peritiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa (berhubungan dengan insiden). Contoh dari putusan ini adalah kematian dari salah satu kuasa hukum dari pihak yang bersengketa maupun putusan yang mengizinkan seseorang untuk ikut didalam perkara vrijwaring, voeging, maupun tusschenkomst.

4. Putusan Provisioneel, merupakan putusan yang menjawab dari putusan provisional berdasarkan permintaan dari pihak yang bersangkutan untuk mendahului kepentingan dari salah satu pihak sebelum putusan akhir diputuskan oleh hakim. Contoh dari putusan ini adalah putusan mengenai gugatan istri tentang biaya penghidupan selama masih berlangsungnya pokok perkara sebelum putusan akhir.33

Selain dari putusan sela juga terdapat putusan akhir, putusan akhir merupakan suatu pernyataan yang diputus oleh hakim didalam persidangan yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu sengketa. H. Ridwan Syahrani mendefinisikan bahwa putusan akhir (eindvonnis) merupakan suatu putusan yang

33 Ibid, h. 27-30

(4)

mengakhiri perkara pada tingkat tertentu seperti tingkat pertama di Pengadilan Negeri, tingkat banding di Pengadilan Tinggi, dan tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Selain putusan akhir juga terdapat putusan yang dilihat dari sifat putusan.

Putusan yang dilihat dari sifat putusannya terdapat beberapa jenis antara lain:

1. Putusan Deklatoir, merupakan putusan yang diputus oleh hakim yang amarnya menyebutkan tentang penegasan mengenai kedudukan maupun keadaan yang sah berdasarkan hukum. Putusan ini tidak memerlukan upaya paksaan sebab sudah berkekuatan hukum dalam pelaksanaannya.

2. Putusan Constitutief, merupakan putusan yang diputus oleh hakim yang amar putusannya membuat suatu keadaan yang baru sehingga menimbulkan keadaan hukum baru.

3. Putusan Condemnatoir, merupakan putusan yang amar putusannya bersifat menghukum seperti mewajibkan untuk memenuhi prestasi dari pihak yang terhukum (prestasi yang dimaksud seperti berbuat, dan tidak berbuat).34

Selain jenis-jenis putusan yang dilihat dari sifat putusannya, terdapat jenis dari putusan yang dilihat dari isi putusan. Jenis-jenis putusan yang dilihat dari isi putusannya, antara lain:

1. Putusan Gugatan Gugur, putusan ini diberikan apabila penggugat tidak hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan secara patut dan sah,

34 Ibid, h. 31 dan 32

(5)

maka hakim memutuskan untuk menghukum penggugat untuk membayar perkara (Pasal 124 HIR).

2. Putusan Verstek, merupakan putusan yang diberikan oleh hakim apabila tergugat tidak hadir pada hari sidang yang telah ditentukan secara patut dan sah, maka hakim memberikan putusan ini (Pasal 125 ayat (1) HIR dan Pasal 78 Rv).

3. Putusan Contradictoir, merupakan putusan yang diberikan oleh hakim yang dilihat dari kehadiran para pihak saat dibacakan putusan diucapkan oleh hakim (Pasal 127 HIR dan Pasal 81 Rv).35

Hakim didalam memeriksa dan memutus perkara yang ada juga tidak lepas dari asas-asas didalam putusan pengadilan. Macam-macam dari asas-asas putusan pengadian, antara lain:

1. Berisi alasan yang jelas dan rinci

Asas ini memberikan pengertian bahwa pada setiap putusan yang dibuat oleh hakim harus berdasarkan pertimbangan yang yang jelas.

Alasan-alasan yang menjadi dasar dari pertimbangan hakim juga harus dirincikan didalam putusan dan alasan tersebut harus mengacu pada peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, hukum kebiasaan, maupun doktrin hukum. Asas ini terletak didalam Pasal 23 Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang memberikan penjelasan bahwa putusan pengadilan harus bermuatan alasan yang acuannya pada peraturan

35 Ibid, h. 33

(6)

perundang-undangan, yurisprudensi, atau doktrin hukum berdasarkan putusan yang diputus. Selain itu juga Pasal 178 ayat (1) HIR memberikan pengertian bahwa hakim secara ex officio diwajibkan untuk mencukupkan alasan hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak yang bersengketa.

2. Mengadili keseluruhan gugatan

Asas ini dijabarkan didalam Pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189 ayat (2) RBg, dan pada Pasal 50 Rv. Asas ini bertujuan untuk mewajibkan bagi hakim untuk memeriksa dan mengadili setiap perkara yang masuk dan tidak boleh hanya memeriksa sebagian (mengabaikan gugatan selebihnya).

3. Tidak boleh mengabulkan lebih tinggi dari tuntutan

Ketentuan dari suatu putusan tidak boleh lebih dari tuntutan, istilah didalam asas ini sering disebut sebagai ultra petitum. Asas ini terdapat didalam Pasal 178 ayat (3) HIR, Pasal 189 ayat (3) RBg, dan Pasal 50 Rv. Asas ini memberikan batasan hakim dalam memutus suatu perkara bahwa tidak boleh melebihi posita ataupun petitum suatu gugatan, jika melebihi posita ataupun petitum maka hakim dinilai telah melampaui batas wewenangnya (beyond the powers of his authority/ultra vires).

4. Disampaikan didepan publik

Asas ini memberikan pengertian bahwa suatu putusan harus diucapkan oleh hakim secara terbuka dimuka umum. Asas ini mengandung unsur keterbukaan sehingga setiap orang mendapatkan informasi (the

(7)

freedom of information) mengenai jalannya suatu kasus. Asas ini terdapat didalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang terletak pada Pasal 20.

5. Putusan harus tertulis

Asas ini menjelaskan bahwa suatu putusan harus dibuat secara tertulis, hal ini dimaksudkan bahwa putusan merupakan sebuah produk hukum yang akta otentik yang memiliki kekuatan yang mengikat bagi pihak yang bersengketa. Asas ini terdapat didalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 50 ayat (2) yang menyebutkan bahwa setiap putusan harus ditandatangani oleh ketua maupun hakim yang ikut bersidang.36

3.2. Konsep Pemutusan Hubungan Kerja Didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020

Pemutusan hubungan kerja ialah sengketa yang terjadi didalam hubungan industrial atau yang disebut dengan perselisihan hubungan industrial. Pemutusan hubungan kerja merupakan salah satu dari keempat macam perselisihan didalam hubungan industrial. Didalam naskah akademik dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 secara jelas membuat peraturan tersebut yang tujuan utamanya untuk memajukan sistem perekonomian di Indonesia yang didasarkan pada untuk mewujudkan visi negara Indonesia di tahun 2045 yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan PDB) sebesar 5,7% dan pertumbuhan perkapita sebesar 5%. Undang-Undang Cipta Kerja terdiri dari 15 Bab, 174 pasal,

36 Ibid, h. 24-27

(8)

79 undang-undang sektoral yang diubah, dan 1.244 pasal yang diubah dihapus maupun pasal yang ditambah. Menurut Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Airlangga Hartanto konsep dari Undang-Undang Cipta Kerja tersebut merupakan bentuk dari upaya pemerintah dalam reformasi regulasi dengan harapan supaya meningkatkan kualitas substansial dari hukum dikarenakan reformasi dari regulasi mempunyai sifat-sifat dasar yakni “to make better” maupun “return to a former good state” sehingga sistem omnibus law didalam Undang-Undang Cipta Kerja dapat menata sistem hukum di Indonesia menjadi lebih baik.37

Didalam Undang-Undang Cipta Kerja, substansi dari omnibus law pada peraturan tersebut memberikan materi muatan yang memiliki banyak kaitan eratnya dengan hak asasi manusia, kemudian apabila dicermati secara menyeluruh terdapat berbagai macam hak yang termasuk didalamnya seperti pemenuhan hak atas penghidupan yang layak didalam hubungan industrial, aspek lingkungan hidup yang sehat dan baik, permasalahan akses terhadap sumber daya alam, permasalahan mengenai penggusuran paksa, dan hak atas keadilan. Secara garis besar hak-hak tersebut termasuk kedalam rumpun ekonomi, sosial, dan budaya yang memberikan penekanan kepada pemerintah untuk mewujudkan pemenuhan, perlindungan, maupun penegakan hak asasi manusia. Aspek tersebut merupakan sebuah doktrin mengenai progressive realization menjadi titik ukur dari akses dan kualitas dengan dibentuknya suatu regulasi yang baru. Kondisi tersebut mendapat berbagai macam perhatian yang dimulai dari kalangan aktivis, akademisi, ahli,

37Agus Suntoro, Implementasi Pencapaian Secara Progresif Dalam Omnibus Law Cipta Kerja, Jurnal HAM, h. 2

(9)

maupun kelompok masyarakat yang ikut menyuarakan sebuah pertentangan terhadap sistem omnibus law didalam Undang-Undang Cipta Kerja.38

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengubah, menghapus, dan menambahkan pasal didalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Alasan dibentuknya Undang-Undang Cipta Kerja antara lain:

1. Untuk meningkatkan ekosistem dalam investasi dan kegiatan berusaha.

2. Untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada para pekerja.

3. Untuk memberikan kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan bagi koperasi dan UMK-M

4. Untuk meningkatkan inventasi pemerintah dan mempercepat proyek strategis nasional.

Selain itu didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 memiliki tujuan lain seperti penyempurnakan berbagai macam peraturan dengan cara yang efektif dan efisien sehingga tidak memerlukan waktu yang lama seperti mengubah peraturan dengan cara mengubahnya satu persatu. Undang-Undang Cipta Kerja juga hadir dalam rangka memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi pekerja yang khususnya mengenai perlindungan upah minimum, hubungan kerja dari alih daya, pemutusan hubungan kerja, perjanjian kerja waktu tertentu, dan perizinan tenaga kerja asing untuk kegiatan produksi barang dan jasa. Undang-Undang Cipta Kerja mempunyai tujuan khusus yakni untuk menciptakan lapangan

38 Ibid, h. 3

(10)

pekerjaan. Penciptaan lapangan kerja menurut penjelasan Undang-Undang Cipta Kerja sendiri setidaknya memuat mengenai pengaturan seperti penyederhanaan perizinan berusaha, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, pengadaan lahan, dan kawasan ekonomi.

Konsep pemutusan hubungan kerja didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 terdapat didalam Pasal 81 angka 37 sampai angka 61 yang mengubah, menghapus, dan menambah pasal didalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Beberapa ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja didalam Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang dihapus seperti didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Pasal 81 angka 50 sampai 61 yang kemudian pasal yang dihapus tersebut dipindah kedalam pasal 81 angka 42 yang menyisipkan satu pasal yakni Pasal 154A didalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menggabungkan alasan dilakukannya pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha didalam pasal tersebut.

Alasan dilakukannya pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha didalam Pasal 154A tersebut antara lain seperti perusahaan yang mengalami penggabungan, peleburan, perubahan status, perusahaan yang melakukan efisiensi, perusahaan yang tutup karena merugi, perusahaan tutup karena force majeur, perusahaan paitlit, perusahaan menunda pembayaran utang, permohonan pemutusan hubungan kerja oleh pekerja, terdapat putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, pekerja yang mengundurkan diri, pekerja yang mangkir dari pekerjaannya selama 5 hari atau lebih, pekerja yang melanggar peraturan perusahaan, perjanjian kerja, maupun perjanjian kerja bersama, pekerja

(11)

yang melakukan tindak pidana, pekerja yang pensiun, pekerja yang meninggal, dan pekerja yang sakit berkepanjangan (kecelakaan kerja).

Mekanisme dan tata cara dari pemutusan hubungan kerja didalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 yang mengubah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang awalnya diatur didalam Bab XII Undang-Undang Ketenagakerjaan yang kemudian dipindahkan kedalam peraturan pelaksana Undang-Undang Cipta Kerja. Besaran mengenai perhitungan hak yang diperoleh pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja juga tidak terdapat didalam Undang-Undang Cipta Kerja, tetapi diatur secara khusus pada peraturan pelaksana Undang-Undang Cipta Kerja sehingga konsep dari pemutusan hubungan kerja terdapat didalam peraturan pelaksana dari Undang-Undang Cipta Kerja.

3.3. Konsep Pemutusan Hubungan Kerja Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021

Pemutusan hubungan kerja secara konseptual diatur secara khusus didalam peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Peraturan perlaksana dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja. Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Didalam peraturan pelaksana ini terdapat sebuah ketentuan mengenai pengaturan yang berhubungan dengan pemutusan hubungan kerja seperti mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja, alasan dilakukannya pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha, besaran mengenai uang pesangon,

(12)

uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak berdasarkan alasan pemutusan hubungan kerjanya, hak yang diperoleh berdasarkan masa kerjanya.

Pengaturan mengenai pemutusan hubungan kerja didalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 terdapat didalam Bab V tentang pemutusan hubungan kerja. Didalam bab tersebut terbagi menjadi dua bagian yakni bagian mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja dan bagian hak akibat pemutusan hubungan kerja yang terdapat diantara Pasal 36 sampai Pasal 58. Tata cara mengenai pemutusan hubungan kerja sendiri terdapat didalam Pasal 36 sampai Pasal 39. Didalam tata cara pemutusan hubungan kerja pihak pengusaha harus melakukan pemutusan hubungan kerja berdasarkan alasan yang terdapat didalam Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 yang menyebutkan alasan dilakukannya pemutusan hubungan kerja, yang diantaranya adalah:

1. Perusahaan yang dilakukan peleburan, penggabungan, perubahan status.

2. Perusahaan yang melakukan efisiensi baik perusahaan yang dilakukan penutupan maupun yang tidak karena merugi.

3. Perusahaan yang tutup karena merugi selama 2 tahun atau lebih.

4. Perusahaan yang tutup karena keadaan memaksa (force majeure).

5. Perusahaan yang berada dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang.

6. Perusahaan pailit

7. Permohonan pemutusan hubungan kerja oleh pekerja

(13)

8. Putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial tentang pemutusan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja.

9. Pekerja yang mengundurkan diri

10. Pekerja yang mangkir dari pekerjaannya selama 5 hari berturut-turut atau lebih.

11. Pekerja yang melanggar ketentuan dari perjanjian kerja, peraturan perusahaan, maupun perjanjian kerja bersama.

12. Pekerja yang melakukan tindak pidana selama 6 bulan karena ditahan.

13. Pekerja yang sakit berkepanjangan atau kecelakaan saat bekerja selama 12 bulan lebih.

14. Pekerja yang memasuki usia pensiun 15. Pekerja yang meninggal

Alasan dari pemutusan tersebut dijadikan patokan dasar didalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 dalam hal melakukan perhitungan mengenai besaran hak yang diperoleh yang diakibatkan pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha. Dasar perhitungan tersebut terdapat didalam pasal 41 sampai Pasal 58.

Perhitungan tersebut jika dibandingkan antara Undang-Undang Ketenagakerjaan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 memiliki perbedaan. Dasar perhitungan mengenai besaran hak-hak yang diperoleh antara lain:

1. Perusahaan yang dilakukan peleburan, penggabungan, perubahan status, pekerja mendapat 1 kali pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.

(14)

2. Perusahaan yang mengalami pengambilalihan, maka pekerja memperoleh 1 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Namun apabila pekerja tidak bersedia untuk mengikuti syarat kerja yang baru maka pekerja memperoleh 0,5 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.

3. Perusahaan melakukan efisiensi karena merugi, maka pekerja mendapatkan 0,5 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Namun apabila perusahaan melakukan efisiensi agar tidak merugi, maka pekerja memperoleh 1 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.

4. Perusahaan yang tutup karena merugi selama 2 tahun atau lebih, maka pekerja memperoleh 0,5 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Namun apabila perusahaan tidak mengalami kerugian, maka pekerja mendapatkan 1 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.

5. Perusahaan yang tutup karena keadaan memaksa (force majeure), maka pekerja mendapatkan 0,5 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Namun jika perusahaan yang dalam keadaan memaksa tetapi tidak tutup, maka

(15)

pekerja memperoleh 0,75 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.

6. Perusahaan yang merugi karena berada dalam keadaan penundaan kewajiban membayar utang, maka pekerja memperoleh 0,5 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Namun apabila perusahaan tidak merugi yang sedang menunda membayar utang, maka pekerja memperoleh 1 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.

7. Perusahaan pailit, maka pekerja mendapatkan 0,5 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.

8. Permohonan pemutusan hubungan kerja oleh pekerja, maka pekerja memperoleh 1 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja,dan uang penggantian hak.

9. Putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila pengusaha tidak melakukan perbuatan Pasal 36 huruf g, maka pekerja memperoleh uang penggantian hak, dan uang pisah.

10. Pekerja yang mengundurkan diri, maka pekerja memperoleh uang penggantian hak dan uang pisah.

11. Pekerja yang mangkir dari pekerjaannya selama 5 hari berturut-turut atau lebih, maka pekerja mendapatkan uang penggantian hak dan uang pisah.

12. Pekerja yang melanggar ketentuan dari perjanjian kerja, peraturan perusahaan, maupun perjanjian kerja bersama yang sudah diberikan

(16)

surat peringatan pertama hingga ketiga secara berkala, maka pekerja memperoleh 0,5 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Namun apabila pekerja melakukan pelanggaran yang sifatnya mendesak, maka pekerja memperoleh uang penggantian hak dan uang pisah.

13. Pekerja yang melakukan tindak pidana sebagaimana pada Pasal 36 huruf l selama 6 bulan karena ditahan yang mengakibatkan kerugian bagi perusahaan, maka pekerja memperoleh uang penggantian hak dan uang pisah. Namun jika pekerja melakukan tindak pidana tetapi tidak membuat perusahaan rugi, maka pekerja memperoleh 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Namun apabila pengadilan memutus perkara pidana sebelum 6 bulan dan pekerja dinyatakan bersalah, maka pekerja memperoleh uang penggantian hak dan uang pisah.

14. Pekerja yang sakit berkepanjangan atau kecelakaan saat bekerja selama 12 bulan lebih, maka pekerja mendapatkan 2 kali pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak

15. Pekerja yang memasuki usia pensiun, maka pekerja memperoleh 1,75 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.

16. Pekerja yang meninggal, maka ahli waris dari pekerja mendapatkan 2 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.

(17)

3.4. Ratio Decidendi Putusan Hakim Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 117/Pdt.Sus-PHI/2020/PN.Sby

Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 117/Pdt.Sus- PHI/2020/PN.Sby didalam pertimbangan hukum memberikan penjelasan bahwa menimbang didalam gugatan penggugat (Kalpin Tarigan) mendalilkan beberapa hal pokok yang diantaranya:

1. Penggugat (Kalpin Tarigan) merupakan pekerja yang terhitung sejak 1 Desember 2014 yang menjabat sebagai Kepala Departemen PPIC (Production Planning and Inventory Control) dengan upah perbulan sebesar Rp.12.173.000 (dua belas juta seratus tujuh puluh tiga ribu rupiah)

2. Tanggal 19 Mei 2020 dan tanggal 4 Juni 2020, tergugat (pimpinan PT.

Wonokoyo Jaya Corporindo) meminta kepada penggugat (Kalpin Tarigan) untuk menundurkan diri dari jabatannya dikarenakan penggugat telah melanggar peraturan perusahaan dengan melakukan kesalahan besar yakng mengakibatkan kesalahan dalam rencana produksi, sebelum itu penggugat dalam hal membuat perancanaan terlebih dahulu meminta persetujuan dari tergugat.

3. Setelah pengunduran diri tersebut, kemudian pada tanggal 5 Juni 2020 penggugat dilarang bekerja oleh tergugat dan pada tanggal 8 Juni 2020 penggugat sudah tidak dianggap sebagai pekerja di PT. Wonokoyo Jaya Corporindo.

(18)

4. Tindakan yang dilakukan oleh tergugat merupakan tergolong kedalam klasifikasi unfair dismissal/pemutusan hubungan kerja yang tidak adil dan tidak diselesaikan melalui mekanisme peraturan ketenagakerjaan seperti yang terdapat didalam Pasal 151 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 sehingga hal tersebut yakni pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh tergugat seharusnya batal demi hukum seperti yang dimaksud dalam Pasal 151 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

5. Penggugat (Kalpin Tarigan) tidak pernah menerima surat peringatan dari Tergugat (pimpinan PT. Wonokoyo Jaya Corporindo) setelah adanya perselisihan tersebut yang menyebabkan tidak harmonisnya hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat sehingga sulit untuk dipulihkan seperti semula dan hubungan kerja dinyatakan telah usai.

Penggugat menuntut hak-haknya yang berupa 2 kali uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, upah selama diberhentikan dari pekerjaan terhitung mulai Juni 2019 dan tunjangan hari raya keagamaan (Kristen).

Selain dari adanya hal-hal pokok yang dikemukakan oleh penggugat (Kalpin Tarigan), lalu didalam pertimbangan hukum pada putusan tersebut terdapat hal- hal pokok yang diutarakan oleh tergugat, antara lain:

1. Pada tanggal 1 Desember 2014, penggugat berstatus sebagai masa orientasi, kemudian pada Maret 2015 sampai 29 Februari 2016 penggugat berstatus sebagai pegawai kontrak (perjanjian kerja waktu

(19)

tertentu/PKWT), lalu pada tanggal 1 Maret 2016 penggugat diangkat sebagai pegawai tetap (perjanjian kerja waktu tidak tertentu/PKWTT) 2. Kemudian pada tanggal 14 Mei 2020 penggugat membuat pakan jenis

broiler jenis BR 1 LP sejumlah 120 batch (480 ton) di unit 2, seharusnya penggugat membuat pakan jenis BR 1 LPuntuk diproduksi di unit 3 seperti yang terdapat di bagian Memorandum No. 092/FM- WJC/PDI/KDV/PPIC/III/2020.

3. Kesalahan produksi yang dibuat oleh penggugat yang mengakibatkan penurunan pada kualitas ayam petelur yang disebabkan oleh terkontaminasinya mesin pakan ayam breeder di unit 2 dan juga perusahaan mengalami kerugian dalam jumlah yang besar di bulan Mei-Juni 2020 dengan total kerugian mencapai Rp. 13.985.378.000 (tiga belas miliyar sembilan ratus juta tiga ratus tujuh puluh delapan ribu rupiah). Peraturan perusahaan PT. Wonokoyo Jaya Corporindo didalam Pasal 30 mengatur mengenai ganti kerugian apabila pekerja membuat kerugian maka harus mengganti kerugian tersebut.

4. Ketentuan dari Pasal 28 ayat (8) jo. Pasal 7 ayat 4 huruf d Peraturan Perusahaan PT. Wonokoyo Jaya Corporindo memberikan penjelasan mengenai perbuatan yang dilakukan oleh penggugat tergolong dalam kesalahan besar, maka untuk itu pimpinan PT. Wonokoyo Jaya Corporindo melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap penggugat (Kalpin Tarigan) pada 5 Juni 2019.

(20)

5. Dengan dilakukan pemutusan hubungan kerja oleh tergugat kepada penggugat, maka pada dasarnya penggugat tidak memiliki hak atas hak-haknya seperti uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak dan tergugat sudah tidak berwenang untuk memberikan upah beserta tunjangan hari raya keagamaan dari penggugat.

Hakim pengadilan hubungan industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya didalam Putusan Nomor 117/Pdt.Sus-PHI/2020/PN.Sby memberikan pertimbangan mengenai hal-hal pokok dari penggugat dan tergugat yang diantaranya:

1. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh tergugat kepada penggugat tertanggal 4 Juni 2020 adalah batal demi hukum dikarenakan belum adanya kesepakatan mengenai pengakhiran dari pemutusan hubungan kerja dan juga tidak adanya penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana terdapat didalam Pasal 151 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

2. Hakim memberikan pertimbangan yakni dengan melihat maupun mencermati surat gugatan dari penggugat dan jawaban dari tergugat maka hakim menyimpulkan bahwa hubungan kerja tersebut sudah tidak bisa dijalin lagi.

3. Penggugat terbukti telah melakukan pelanggaran pada peraturan perusahaan, dasar alasan pemutusan hubungan kerja karena telah

(21)

melanggar Pasal 7 ayat (4) jo. Pasal 28 ayat (8) huruf c Peraturan Perusahaan PT. Wonokoyo Jaya Corporindo jo. Pasal 161 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, sehingga hak yang diterima oleh penggugat berupa 1 kali uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur didalam Pasal 161 ayat (3).

4. Hakim pada pertimbangannya menyatakan putus hubungan kerja antara penggugat dan tergugat tertanggal pada 30 Juni 2020

5. Hakim memberikan perhitungan mengenai hak yang diperoleh bagi penggugat seperti uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang upah pokok dan tunjangan jabatan sebesar Rp.7.500.000 (tujuh juta lima ratus ribu) beserta masa kerja selama 4 tahun 3 bulan, maka berdasarkan Pasal 161 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang perhitungannya antara lain:

a. Uang pesangon yang diperoleh: 1 x 5 x Rp.7.500.000 = Rp.37.500.000

b. Uang penghargaan masa kerja yang diperoleh: 1 x 2 x Rp.7.500.000 = Rp.15.000.000

c. Uang penggantian hak yang diperoleh: 15% x Rp.52.500.000 = Rp.7.875.000

d. Total hak-hak keseluruhan yang diperoleh adalah Rp.60.375.000 (enam puluh juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah).

(22)

6. Tuntutan dari penggugat mengenai upah selama dilakukan pemutusan hubungan kerja oleh tergugat beserta uang tunjangan hari raya keagamaan Kristen tidak berdasarkan hukum dan ditolak oleh hakim.

7. Hakim menolak sita jaminan terhadap benda yang berupa tanah bangunan, beserta peralatan kantor milik tergugat karena tidak terdapat bukti bahwa tergugat sedang berusaha untuk mengalihkan maupun memindahkan benda tergugat kepada pihak lain.

8. Tuntutan penggugat mengenai uang paksa (dwangsom) dengan jumlah sebesar Rp.1.000.000 (satu juta rupiah) kepada tergugat tidak dikabulkan oleh hakim dikarenakan amar putusan ini memberikan penghukuman berupa pembayaran terhadap penggugat sebagaimana dijelaskan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 791 K/SIP/1972.

9. Hakim menolak tuntutan kerugian yang dialami oleh tergugat yakni sebesar Rp.13.985.378.000 (tiga belas miliyar sembilan ratus delapan puluh lima juta tiga ratus tujuh puluh delapan ribu rupiah) karena tuntutan tersebut bukan merupakan kewenangan dari pengadilan hubungan industrial yang terdapat didalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.

Amar putusan dari Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 117/Pdt.Sus-PHI/2020/PN.Sby memberikan sebuah putusan yang ditetapkan oleh hakim, antara lain:

1. Mengabulkan gugatan dari penggugat sebagian

(23)

2. Menyatakan putus hubungan kerja antara penggugat dan tergugat terhitung tanggal 30 Juni 2020

3. Menghukum tergugat untuk membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebesar Rp.60.375.000 (enam puluh juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) secara tunai

4. Menolak gugatan dari penggugat untuk selain dan selebihnya.

Referensi

Dokumen terkait

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas putusan Pengadilan Negeri Bandung tersebut tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dinyatakan batal demi

1) Telah terjadi perselisihan dan pertengkaran terus-menerus antara penggugat dengan tergugat yang tidak bisa didamaikan lagi sebagai yang dimaksud.. 2) Pihak

Bahwa Penggugat I, Penggugat II, Penggugat III dan Penggugat IV adalah ahli waris sah dari almarhum suami Penggugat I dan Tergugat dan untuk kepastian hukum dan rasa

Atas permasalahan yang kedua yakni implikasi hukum terhadap istri pertama adalah penggugat dan tergugat dapat kembali melanjutkan perkawinan mereka berdua agar

Atas permasalahan yang kedua yakni implikasi hukum terhadap istri pertama adalah penggugat dan tergugat dapat kembali melanjutkan perkawinan mereka berdua agar

Bahwa dari hasil perkawinan Penggugat dan Tergugat dikaruniai Seorang anak perempuan bernama Andi Amarlia Atifa Al-Zena, ( menurut kabar Tergugat telah mengganti namanya menjadi

Bahwa Penggugat telah melakukan berbagai upaya penagihan, Peringatan / Somasi maupun pendekatan secara kekeluargaan kepada Para Tergugat akan tetapi Para Tergugat tetap

Memberikan pernyataan “sah menurut hukum” serta melakukan pengikatan kepada kedua belah pihak mengenai perjanjian jual beli tertanggal 14 Oktober 1998 antara PENGGUGAT dengan TERGUGAT