Reformasi Administrasi
Dr. Abdul Kadir, M.Si.
Akhir-akhir ini tampak adanya pandangan yang mendua terhadap sosok dan cara kerja aparatur pemerintah di kebanyakan negara sedang berkembang. Pandangan pertama menganggap bahwa birokrasi pemerintah ibarat sebuah perahu besar yang dapat menyelamatkan seluruh warga masyarakat dari “bencana” banjir ekonomi maupun politik.
Pandangan ini didasarkan atas asumsi bahwa di dalam mengolah sumber daya yang dimiliki, organisasi ini mengerahkan para intelektual dari beragam latar belakang pendidikan, sehingga keberhasilannya lebih dapat terjamin.
Pada sisi lain, terdapat pandangan yang menganggap birokrasi pemerintah sering menunjukkan gejala yang kurang menyenangkan. Sering, bahkan hampir selalu, birokrasi pemerintah bertindak canggung, kurang terorganisir dan jelek koordinasinya, menyeleweng, otokratik, bahkan sering bertindak korup.
Bisa juga terjadi kedua pandangan yang secara diametral bertentangan satu sama lain itu sama-sama didasarkan pada pengamatan yang mendalam, dan evaluasi terhadap kondisi nyata aparatur pemerintah. Sudah barang tentu kritik dan ketidakpuasan yang berlebihan terhadap peran birokrasi dalam pembangunan sangatlah tidak adil.
Kalau terjadi kegagalan dalam usaha pembangunan, birokrasi dipandang sebagai biang keladinya. Kegagalan pembangunan, memang sebagian merupakan tanggung jawab birokrasi, namun bukanlah semuanya.
Bahkan di beberapa negara, kekurang-efisien- an administrasi tidak dianggap sebagai “dosa besar” terhadap ketidakmampuan pemerintah didalam memenuhi harapan pembangunan ataupun realisasi tujuan.
Ketidaksempurnaan administrasi ini tidak akan dipandang sebagai situasi yang suram, jika seandainya kondisi kesemrawutan administrasi ini tidak merebak ke seluruh pelosok negeri, baik pada aras regional maupun aras nasional.
Keadaan di negara-negara sedang berkembang sudah demikian tak memungkinkan untuk melakukan reformasi administrasi dengan baik. Daerah bekas jajahan diperintah dengan tangan besi dan kurang fleksibel.
Negara-negara yang baru memperoleh kemerdekaan di kawasan Asia dan Afrika, di dalam konteks yang agak berbeda juga di Amerika Latin, sangat menderita di bawah rezim yang otokratik dan yang berorientasi pada hukum dan ketertiban.
Kemerdekaan yang diperoleh negara- negara bekas jajahan tersebut, menyebabkan keberadaan administrasi asing sangat mengganggu cara kerja aparatur pemerintah.
Selain disebabkan oleh tak sesuainya administrasi asing dengan sistem administrasi lokal, membengkaknya tugas- tugas menyebabkan sistem administrasi kolonial tak mampu menyelesaikan persoalan yang muncul dalam masyarakat.
Semua perubahan dan tranformasi ini menyebabkan timbulnya pertentangan antara nilai lama dan baru, antara nilai yang tradisional dan yang modern. Tekanan dan pertentangan ini tidak hanya terbatas pada tubuh birokrasi, melainkan juga terjadi di kalangan masyarakat.
Kebutuhan akan perubahan dan adaptasi aparatur pemerintah sangatlah mendesak, walaupun masalah yang mengitarinya terlalu kompleks dan rumit. Sebagai konsekuensi logisnya, maka reformasi administrasi di negara sedang berkembang menjadi keharusan atau Conditio Sine Quanon, dan menjadi perhatian utama pemerintah negara sedang berkembang.
Istilah reformasi administrasi mengandung begitu banyak makna, mempunyai fungsi yang beragam, menimbulkan begitu banyak harapan, tetapi juga membawa
“pertengkaran” yang tak kunjung usai di kalangan praktisi, pemerhati, masyarakat dan kaum teoretisi.
Studi tentang reformasi administrasi terhambat oleh tiadanya definisi yang dapat diterima secara universal. Perbedaan pemakaian terhadap istilah ini telah menyebabkan kebingungan dan kesulitan baik di dalam menentukan parameter dalam penelitian maupun di dalam pengembangan teori.
Istilah reformasi administrasi digunakan untuk mendeskripsikan aktivitas yang sebenarnya jauh melampaui makna yang dikandungnya. Sebagai implikasinya maka setiap reformasi terhadap aparatur administrasi baik pada aras lokal maupun aras nasional, dipandang sebagai perubahan terencana.
Yehezkel Dror mengatakan bahwa reformasi administrasi adalah perubahan yang terencana terhadap aspek utama administrasi. Sedangkan Caiden (1969,p.69) mendefinisikan reformasi administrasi sebagai “The Artificial Inducement of Administrative Transformation Against Resistance “ (p.1).
Definisi dari Caiden ini mengandung beberapa implikasi :
a. Reformasi administrasi merupakan kegiatan yang dibuat oleh manusia (Manmade), tidak bersifat eksidental, otomatis maupun alamiah.
b. Reformasi administrasi merupakan suatu proses.
c. Resistensi beriringan dengan proses reformasi administrasi.
5 alat pengukur reformasi administrasi.
Kelima alat pengukur tersebut adalah : 1. Penekanan baru terhadap program.
2. Perubahan sikap dan perilaku masyarakat dan anggota birokrasi.
3. Perubahan gaya kepemimpinan yang mengarah kepada komunikasi terbuka dan manajemen partisipatif.
4. Penggunaan sumber daya yang lebih efisien dan,
5. Pengurangan penggunaan pendekatan legalistik.
Reformasi administrasi adalah suatu usaha sadar dan terencana untuk mengubah :
a) Struktur dan prosedur birokrasi (aspek
reorganisasi atau
institusional/kelembagaan).
b) Sikap dan perilaku birokrat (aspek perilaku), guna meningkatkan efektivitas organisasi atau terciptanya administrasi yang sehat dan menjamin tercapainya tujuan pembangunan nasional.
Terjadinya perubahan dalam tubuh birokrasi dan cara kerjanya, pasti sebagai akibat dari perubahan yang terjadi pada sistem yang lain. kecenderungan yang terjadi di kalangan ilmuwan administrasi negara dewasa ini adalah menolak hampiran prinsip umum terhadap reformasi administrasi dan menekankan pada pentingnya pelaksanaan reformasi administrasi yang harus mempertimbangkan banyak faktor.
Tiga tujuan internal reformasi administrasi meliputi :
1. Efisiensi administrasi, dalam arti penghematan uang, yang dapat dicapai melalui penyederhanaan formulir, perubahan prosedur, penghilangan duplikasi dan kegiatan organisasi metode yang lain.
2. Penghapusan kelemahan atau penyakit administrasi seperti korupsi, pilih kasih dan sistem taman dalam sistem politik dan lain- lain.
3. Pengenalan dan penggalakan sistem merit, pemrosesan data melalui sistem informasi yang otomatis, peningkatan penggunaan pengetahuan ilmiah dan lain-lain.
Tiga tujuan lain yang berkaitan dengan masyarakat adalah :
1. Menyesuaikan sistem administrasi terhadap meningkatnya keluhan masyarkat.
2. Mengubah pembagian pekerjaan antara sistem administrasi dan sistem politik, seperti misalnya meningkatkan otonomi profesional dari sistem administrasi dan meningkatkan pengaruhnya pada suatu kebijaksanaan.
3. Mengubah hubungan antara sistem administrasi dan penduduk, misalnya melalui relokasi pusat-pusat kekuasaan.
Empat pendekatan reformasi administrasi di negara sedang berkembang, yaitu :
1. Negara yang tidak menganut paham reformasi administrasi dan lebih menyukai status Quo.
2. Negara dengan pendekatan pragmatis murni terhadap reformasi administrasi.
Artinya melakukan pembaruan dengan ala kadarnya saja, serta tidak ada perangkat secara khusus institusional untuk mengimplementasikannya.
3. Negara-negara yang sangat keranjingan terhadap reformasi administrasi dan melengkapinya dengan seperangkat instrumen formal untuk isiannya dan evaluasinya.
4. Negara-negara yang telah mengalami pembaruan yang diperoleh dari luar.
Penyebab kegagalan reformasi administrasi ditemu kenali. Salah satu dari sekian banyak penyebab itu adalah penggunaan metode dan pendekatan yang sangat sempit. Pendekatan dan metode yang digunakan terlalu menekankan pada aspek perubahan struktural, metode dan teknik administrasi.
Reformasi administrasi diperkenalkan ke banyak negara sedang berkembang sebagai suatu akibat dari adanya perubahan dalam sistem politik, dan dalam batas-batas tertentu berkaitan dengan perubahan sistem hukum.
Penyelewengan administrasi yang terjadi di kebanyakan negara sedang berkembang dan yang secara luas telah diakui, belum mampu menyadarkan pimpinan politik negara yang bersangkutan untuk melakukan reformasi administrasi. Kondisi yang bertolak belakang ini, di satu pihak banyak terjadi penyelewengan dan kebobrokan administrasi dan di lain pihak tak ada usaha untuk mengintroduksi reformasi administrasi, tak hanya terjadi di negara sedang berkembang saja, tetapi juga terjadi di negara maju.
Para pemimpin politik dan pemerintahan di negara sedang berkembang pada umumnya hanya memberikan sedikit prioritas pada reformasi administrasi. Mereka lebih memprioritaskan pada program pembangunan substantif atau pada program konsolidasi dan pengamanan kekuasaan politik.
Para pemimpin politik dengan demikian, hanya akan melakukan reformasi kalau resiko mempertahankan situasi yang ada sangat besar, atau menurut pertimbangannya reformasi yang dilakukan akan mendatangkan keuntungan yang besar.
semakin ia menganggap penting reformasi administrasi, semakin besar desakan untuk melakukannya.
Kita bisa memaklumi keengganan para pemimpin politik untuk melakukan reformasi administrasi. Resiko yang harus di tanggung atau harga yang mesti dibayar untuk melakukan reformasi memang harus dipertimbangkan. Kebencian birokrasi terhadap reformasi administrasi memang banyak dijumpai, utamanya jika kelompok pemimpin dalam tubuh birokrasi menjadi sumber utama kekuasaan, atau kalau pemerintahan lemah dan stabilitas politik sangat rendah.
Dalam kenyataannya, kebanyakan usaha reformasi administrasi mengkosentrasikan pada aspek instrumental, walaupun sadar ataupun tidak sadar selalu dipengaruhi oleh norma-norma tertentu.