OLEH NEGARA YANG BERBASIS NILAI KEADILAN
Oleh :
FEBRIAN ALI, S.H. M.H.
NIM : 10302000369
DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor Dalam Bidang Ilmu Hukum Pada Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)
PROGRAM DOKTOR ( S3 ) ILMU HUKUM ( PDIH ) FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG ( UNISSULA ) SEMARANG
2023
iv
Saat ini terdapat regulasi perampasan barang sitaan yang tidak memberikan upaya keberatan dari pihak ketiga sebagai pemilik barang yang dirampas untuk negara. Kondisi ini juga dialami oleh penerima jaminan fidusia yang dirugikan karena obyek fidusia dirampas untuk negara berdasarkan putusan pengadilan dalam tindak pidana kehutanan, tindak pidana Mineral dan Batubara dan tindak pidana Minyak dan Gas.
Metode penelitian yang digunakan adalah social legal research, dengan menggunakan paradigma constructivism. Metode pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan konsep, pendekatan social legal research dan pendekatan perbandingan. Penelitian ini menggunakan jenis data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data primer melalui wawancara dan observasi, dan data sekunder dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Data yang terkumpul dilakukan analisis secara kualitatif. Teori hukum yang digunakan yaitu keadilan Pancasila, teori HAM, dan teori negara hukum sebagai grand theory, teori sistem hukum sebagai middle theory dan Teori kebebasan hakim dan Teori hukum progresif.Applied Theory
Hasil penelitian menemukan bahwa (1) Pengaturan status hukum barang yang dijaminkan dengan fidusia yang dirampas oleh negara belum berbasis keadilan, karena dalam pengaturan tersebut tidak adanya upaya keberatan yang dapat diajukan oleh penerima jaminan fidusia atau pihak ketiga yang beritikad baik terhadap obyek fidusia yang dirampas pengadilan. Selain itu dalam UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, bahwa tanggungjawab pemberi fidusia terhadap objek jaminan fidusia yaitu tetap mengikuti objek jaminan fidusia, dan penerima fidusia tidak menanggung kewajiban atas akibat tindakan atau kelalaian Pemberi Fidusia baik yang timbul dan hubungan kontraktual atau yang timbul dari perbuatan melanggar hukum sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. (2) Kelemahan substansi hukum yaitu tidak adanya upaya keberatan yang dapat diajukan oleh penerima jaminan fidusia atau pihak ketiga terhadap putusan perampasan.
Kelemahan struktur hukum yaitu adanya pandangan hakim yang berbeda terkait pengaturan perampasan barang sitaan yang tidak mengatur adanya upaya keberatan dari pemilik barang sitaan yang dirampas pengadilan. Kelemahan kultur hukum yaitu banyaknya hakim yang berfaham positivisme dan hanya mengutamakan aspek kepastian hukum dalam memeriksa dan mengadili perkara, sehingga tidak memberikan keadilan bagi pemilik barang sitaan yang dirampas berdasarkan UU. (3) Rekontruksi nilai keadilan dalam pengaturan perampasan yang berbasis nilai keadian Pancasila yaitu a) tidak bertentangan dengan nilai agama dan kepercayaan yang dianut individu warga Negara b) Perlindungan terhadap hak milik seseorang, c) pengaturan perampasan terhadap barang pihak ketiga yang menciptakan suasana kondusif dalam bangsa dan bernegara, d) terakomodasinya kesempatan pihak ketiga untuk memperjuangankan hak miliknya di pengadilan, dan e) pengaturan yang jelas, tidak diskriminatif dan adanya mekanisme keberatan pihak ketiga terhadap putusan perampasan barang pihak ketiga. Kemudian norma perampasan yang tidak berbasis keadilan dalam Pasal 46 ayat (2) KUHAP, Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan, Pasal 45 ayat (1) UU Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Pasal 104 ayat (2) UU Perikanan, Pasal 164 UU Mineral dan Batubara, Pasal 58 UU Minyak dan Gas Bumi, dan Pasal 91 KUHP perlu direkontruksi agar berbasis nilai keadilan.
Keyword: Perampasan, Fidusia, Keadilan
v
At present there is a regulation on confiscation of confiscated goods which does not provide any objections from third parties as owners of confiscated goods for the state. This condition is also experienced by recipients of fiduciary guarantees who are disadvantaged because fiduciary objects are confiscated for the state based on court decisions in forestry crimes, mineral and coal crimes and oil and gas crimes.
The research method used is social legal research, using the constructivism paradigm. The approach method used is the concept approach, social legal research approach and comparative approach. This research uses primary data and secondary data. Primary data collection techniques through interviews and observation, and secondary data collected through library research. The data collected was analyzed qualitatively. The legal theory used is Pancasila justice, human rights theory, and rule of law theory as the grand theory, legal system theory as the middle theory and the theory of freedom of judges and progressive legal theory. Applied Theory
The results of the study found that (1) The regulation of the legal status of goods guaranteed by fiduciary that were confiscated by the state was not based on justice, because in this arrangement there were no objections that could be submitted by recipients of fiduciary guarantees or third parties who had good faith against fiduciary objects that were confiscated by the court . In addition, in Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, it is stated that the responsibility of the fiduciary giver to the fiduciary guarantee object is to continue to follow the fiduciary guarantee object, and the fiduciary recipient is not liable for the consequences of the actions or omissions of the Fiduciary Giver, whether arising from contractual relations or arising from unlawful acts in connection with the use and transfer of objects that are the object of Fiduciary Guarantees. (2) The weakness of the legal substance is that there are no objections that can be submitted by the recipient of the fiduciary guarantee or a third party against the decision of confiscation. The weakness of the legal structure is that there are different views of judges regarding the arrangement for confiscation of confiscated goods which does not regulate the existence of objections from the owner of confiscated goods which the court confiscates. The weakness of the legal culture is that there are many judges who understand positivism and only prioritize aspects of legal certainty in examining and adjudicating cases, so that they do not provide justice for the owners of confiscated goods that are confiscated under the law. (3) Reconstruction of the value of justice in the regulation of appropriation based on the justice values of Pancasila, namely a) does not conflict with religious values and beliefs held by individual citizens b) Protection of one's property rights, c) arrangements for the confiscation of third party goods that create a conducive atmosphere in nation and state, d) accommodation for third party opportunities to fight for their property rights in court, and e) clear, non-discriminatory arrangements and the existence of a third party objection mechanism against the decision to confiscate third party goods. Then the deprivation norms that are not based on justice in Article 46 paragraph (2) of the Criminal Procedure Code, Article 78 paragraph (15) of the Forestry Law, Article 45 paragraph (1) of the Law on Prevention and Eradication of Forest Destruction, Article 104 paragraph (2) of the Fisheries Law, Article 164 of the Law Minerals and Coal, Article 58 of the Oil and Gas Law, and Article 91 of the Criminal Code need to be reconstructed so that they are based on the value of justice.
Keyword: Deprivation, Fiduciary, Justice
vi
Saat ini terdapat regulasi perampasan barang sitaan yang tidak memberikan upaya keberatan dari pihak ketiga sebagai pemilik barang yang dirampas untuk negara. Kondisi ini juga dialami oleh penerima jaminan fidusia yang dirugikan karena obyek fidusia dirampas untuk negara berdasarkan putusan pengadilan dalam tindak pidana kehutanan, tindak pidana Mineral dan Batubara dan tindak pidana Minyak dan Gas. Biarpun terdapat sebagian putusan pengadilan yang mengembalilkan kepada pihak ketiga seperti dalam putusan Pengadilan Negeri Muara Teweh Nomor : 59/Pid.B/2005/PN.Mtw. yang kemudian dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Palangka Raya Nomor : 61/PID.B/2005/PT.PR. Namun banyak putusan pengadilan yang merampas barang sitaan milik pihak ketiga.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Mengapa pengaturan status hukum barang yang dijaminkan dengan fidusia yang dirampas oleh negara belum berbasis keadilan ? Bagaimana kelemahan-kelemahan perampasan oleh negara terhadap barang yang dijaminkan dengan fidusia saat ini ? dan Bagaimana rekonstruksi pengaturan status hukum barang yang dijaminkan dengan fidusia yang dirampas oleh negara yang berbasis nilai keadilan ?
Metode penelitian yang digunakan adalah social legal research, dengan menggunakan paradigma constructivism. Metode pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan konsep, pendekatan social legal research dan pendekatan perbandingan. Penelitian ini menggunakan jenis data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data primer melalui wawancara dan observasi, dan data sekunder dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Data yang terkumpul dilakukan analisis secara kualitatif.
vii hakim dan Teori hukum progresif.Applied Theory
Hasil penelitian menemukan bahwa :
(1) Pengaturan status hukum barang yang dijaminkan dengan fidusia yang dirampas oleh negara belum berbasis keadilan, karena dalam pengaturan tersebut tidak adanya upaya keberatan yang dapat diajukan oleh penerima jaminan fidusia atau pihak ketiga yang beritikad baik terhadap obyek fidusia yang dirampas pengadilan. Selain itu dalam UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, bahwa tanggungjawab pemberi fidusia terhadap objek jaminan fidusia yaitu tetap mengikuti objek jaminan fidusia, dan penerima fidusia tidak menanggung kewajiban atas akibat tindakan atau kelalaian Pemberi Fidusia baik yang timbul dan hubungan kontraktual atau yang timbul dari perbuatan melanggar hukum sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
(2) Kelemahan substansi hukum yaitu tidak adanya upaya keberatan yang dapat diajukan oleh penerima jaminan fidusia atau pihak ketiga terhadap putusan perampasan. Kelemahan struktur hukum yaitu adanya pandangan hakim yang berbeda terkait pengaturan perampasan barang sitaan yang tidak mengatur adanya upaya keberatan dari pemilik barang sitaan yang dirampas pengadilan. Kelemahan kultur hukum yaitu banyaknya hakim yang berfaham positivisme dan hanya mengutamakan aspek kepastian hukum dalam memeriksa dan mengadili perkara, sehingga tidak memberikan keadilan bagi pemilik barang sitaan yang dirampas berdasarkan UU.
(3) Rekontruksi nilai keadilan dalam pengaturan perampasan yang berbasis nilai keadian Pancasila yaitu a) tidak bertentangan dengan nilai agama dan kepercayaan yang dianut individu warga Negara b) Perlindungan terhadap hak milik seseorang, c) pengaturan perampasan terhadap barang pihak ketiga yang menciptakan suasana kondusif dalam bangsa
viii
mekanisme keberatan pihak ketiga terhadap putusan perampasan barang pihak ketiga.
Kemudian norma perampasan yang tidak berbasis keadilan dalam Pasal 46 ayat (2) KUHAP, Pasal 78 ayat (15) UU Kehutanan, Pasal 45 ayat (1) UU Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Pasal 104 ayat (2) UU Perikanan, Pasal 164 UU Mineral dan Batubara, Pasal 58 UU Minyak dan Gas Bumi, dan Pasal 91 KUHP perlu direkontruksi agar berbasis nilai keadilan.
ix
At present there is a regulation on confiscation of confiscated goods which does not provide any objections from third parties as owners of confiscated goods for the state. This condition is also experienced by recipients of fiduciary guarantees who are disadvantaged because fiduciary objects are confiscated for the state based on court decisions in forestry crimes, mineral and coal crimes and oil and gas crimes. Even though there are some court decisions that return to third parties as in the decision of the Muara Teweh District Court Number:
59/Pid.B/2005/PN.Mtw. which was later strengthened by the Decision of the Palangka Raya High Court Number: 61/PID.B/2005/PT.PR. However, many court decisions seize confiscated goods belonging to third parties.
The formulation of the problem in this study is: Why is the regulation of the legal status of goods guaranteed by fiduciary confiscated by the state not based on justice? What are the weaknesses of state confiscation of goods guaranteed by fiduciary at this time? and How is the reconstruction of the regulation of the legal status of goods guaranteed by fiduciary confiscated by the state based on the value of justice?
The research method used is social legal research, using the constructivism paradigm. The approach method used is the concept approach, social legal research approach and comparative approach. This research uses primary data and secondary data. Primary data collection techniques through interviews and observation, and secondary data collected through library research. The data collected was analyzed qualitatively.
The legal theory used is Pancasila justice, human rights theory, and rule of law theory as the grand theory, legal system theory as the middle theory and the theory of freedom of judges and progressive legal theory. Applied Theory
The results of the study found that:
x
objections that can be submitted by recipients of fiduciary guarantees or third parties who have good faith against fiduciary objects that have been seized by the court. In addition, in Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees, it is stated that the responsibility of the fiduciary giver to the fiduciary guarantee object is to continue to follow the fiduciary guarantee object, and the fiduciary recipient is not liable for the consequences of the actions or omissions of the Fiduciary Giver, whether arising from contractual relations or arising from unlawful acts in connection with the use and transfer of objects that are the object of Fiduciary Guarantees.
(2)The weakness of the legal substance is that there are no objections that can be submitted by the recipient of the fiduciary guarantee or a third party against the decision of confiscation. The weakness of the legal structure is that there are different views of judges regarding the arrangement for confiscation of confiscated goods which does not regulate the existence of objections from the owner of confiscated goods which the court confiscates. The weakness of the legal culture is that there are many judges who understand positivism and only prioritize aspects of legal certainty in examining and adjudicating cases, so that they do not provide justice for the owners of confiscated goods that are confiscated under the law.
(3)Reconstruction of the value of justice in the regulation of appropriation based on the justice values of Pancasila, namely a) does not conflict with religious values and beliefs held by individual citizens b) Protection of one's property rights, c) arrangements for the confiscation of third party goods that create a conducive atmosphere in nation and state, d) accommodation for third party opportunities to fight for their property rights in court, and e) clear, non- discriminatory arrangements and the existence of a third party objection mechanism against the decision to confiscate third party goods. Then the deprivation norms that are not based on justice in Article 46 paragraph (2) of the Criminal Procedure Code, Article 78 paragraph (15)
xi
Minerals and Coal, Article 58 of the Oil and Gas Law, and Article 91 of the Criminal Code need to be reconstructed so that they are based on the value of justice.
xii
Alhamdulillah dan puji syukur yang sedalam-dalamnya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan karunia dan petunjukNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan disertasi dengan judul : “REKONSTRUKSI PENGATURAN STATUS HUKUM BARANG YANG DIJAMINKAN DENGAN FIDUSIA YANG DIRAMPAS OLEH NEGARA YANG BERBASIS NILAI KEADILAN” sesuai dengan target yang diharapkan.
Betapa pun penulis berusaha seteliti dan secermat mungkin dalam penulisan disertasi ini, namun sebagai manusia tidak luput dari kekeliruan. Kekurangan dan kelemahan dalam karya ini pastilah ada. Oleh karena itu atas segala kekurangan dan kelemahan serta kekeliruan penulisan dalam disertasi ini penulis mohon maaf.
Dalam kesempatan ini, di samping ungkapan rasa syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT, penulis juga mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1 Prof. Dr. H. Gunarto, S.H., S.E. Akt., M.Hum, selaku Rektor Universitas Islam Sultan Agung Semarang;
2 Dr. Bambang Tri Bawono, S.H.,MH. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang
3 Prof. Dr. Hj. Anis Masdurohatun, S.H., M.Hum, selaku Ketua Program Doktor Ilmu Hukum yang dengan semangat, sangat ramah dan murah senyum serta kedalaman ilmunya, kebesaran jiwanya telah memberikan kesempatan dan sekaligus membimbing serta selalu memberikan semangat dan mendorong penulis dalam menempuh pendidikan sekaligus menyusun Proposal Disertasi ini.
4 Prof. Dr. Hj. Sri Endah Wahyuningsih, SH. M.Hum selaku Co-Promotor yang telah memberikan bimbingan, arahan, koreksi dan dorongan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan disertasi ini;
5 Dr. Hj. Rahmida Erliyani, S.H., M.H, selaku Co-Promotor, yang dengan kesabaran, kelembutan dan semangat yang besar telah membantu penulis untuk pemecahan permasalahan sehingga tersusunnya Proposal Disertasi ini.
6 Para Penguji yang telah memberikan koreksi dan petunjuk serta arahan demi sempurnanya disertasi ini sebagai karya ilmiah yang dapat bermanfaat;
xiii
8 Staf administrasi dan rekan mahasiswa pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang dan siapa saja yang telah memberikan bantuannya, baik secara langsung maupun tidak langsung di saat penulis menyusun disertasi ini hingga selesai.
Akhirnya segala kritik dan saran demi perbaikan disertasi ini akan penulis terima demi kesempurnaan disertasi ini. Mudah-mudahan disertasi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum dan penegakan hukum di Indonesia. Aamiin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Semarang, Januari 2023 Penulis
FEBRIAN ALI, S.H. M.H.
NIM : 10302000369
xiv
JUDUL COVER DALAM ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ORIGINALITAS PENELITIAN ... iii
ABSTRAK ... iv
ABSTRACT ... v
RINGKASAN ... vi
SUMMARY ... ix
KATA PENGANTAR ... xii
DAFTAR ISI... xiv
BAB PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah ...1
B. Rumusan masalah ... 18
C. Tujuan penelitian ... 18
D. Kegunaan penelitian ...18
E. Kerangka konseptual ... 19
1. Pengertian Rekonstruksi… ... 19
2. Pengertian Barang ... 19
3. Pengertian Jaminan ... 21
4. Pengertian Fidusia ... 25
5. Pengertian Perampasan ... 28
6. Pengertian Keadilan ... 30
F. Kerangka teoritis ... 32
1. Teori Keadilan Pancasila (Grand Theory) ... 32
2. Teori Sistem Hukum (Middle Theory) ... 34
3. Teori Kebebasan Hakim (Applied Theory) ... 38
4. Teori Hukum Progresif (Applied Theory) ... 44
G. Kerangka pemikiran ... 50
H. Metode penelitian ...52
I. Orisinalitas penelitian ... 58
J. Sistematika penulisan...64
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Hukum Jaminan ... 66
B. Konsep Jaminan Fidusia ... 70
C. Konsep Perampasan Barang Sitaan ... 79
D. Konsep Harta dan Jaminan Utang dalam Islam ... 94
BAB III PENGATURAN STATUS HUKUM BARANG YANG DIJAMINKAN DENGAN FIDUSIA YANG DIRAMPAS OLEH NEGARA BELUM BERBASIS KEADILAN A. Pengaturan perampasan terhadap barang sitaan ... 103
B. Upaya keberatan terhadap putusan perampasan barang sitaan ... 128
C. Pengaturan perampasan obyek fidusia yang belum berbasis keadilan ... 136
xv
A. Kelemahan Substansi Hukum ... 156 B. Kelemahan Struktur Hukum ... 159 C. Kelemahan Kultur Hukum ...165
BAB V REKONSTRUKSI PENGATURAN STATUS HUKUM BARANG YANG DIJAMINKAN DENGAN FIDUSIA YANG DIRAMPAS OLEH NEGARA YANG BERBASIS NILAI KEADILAN
A. Pengaturan perampasan di negara Amerika Serikat dan Australia ... 178 B. Rekonstruksi Nilai Keadilan dalam pengaturan perampasan obyek fidusia 190 C. Rekonstruksi Norma dalam pengaturan perampasan obyek fidusia agar
berbasis Keadilan ... 233 BAB VI PENUTUP
A. Simpulan ... 242 B. Saran ... 243 C. Implikasi kajian ... 244 DAFTAR PUSTAKA
1 A. Latar Belakang Masalah
Secara umum daerah di luar pulau Jawa yang memiliki hutan yang luas, masyarakatnya masih mengidolakan hasil hutan, diantaranya berupa kayu untuk kepentingan mereka dalam memenuhi kepentingan ekonomi atau untuk mendirikan atau membangun tempat tinggal.
Apabila masa-masa dahulu masyarakat dapat mengambil hasil hutan tersebut dengan mudahnya, akan tetapi masa sekarang ini dengan adanya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, masyarakat ataupun pengusaha swasta tidak dapat dengan leluasa mengambilnya, baik itu untuk dipergunakan sendiri ataupun dijual kepada yang membutuhkannya.
Masyarakat saat sekarang ini mendapatkan kayu yang diinginkannya ada yang dengan cara melanggar hukum (illegal) yaitu dengan cara menebang hutan yang bukan miliknya, dan ada pula masyarakat yang membeli kayu-kayu yang sudah di olah dari sebuah bansaw, galangan kayu ataupun dalam bahasa daerah Banjar dikatakan wantilan.
Tindak pidana illegal logging adalah rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ke tempat pengolahan hingga kegiatan ekspor kayu yang tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang sehingga tidak sah atau bertentangan dengan
aturan hukum yang berlaku, oleh karena dipandang sebagai suatu perbuatan yang merusak hutan.1
Esensi yang penting dalam praktek illegal logging ini adalah perusakan hutan yang akan berdampak pada kerugian baik dari aspek ekonomi, ekologi maupun sosial budaya.
Oleh karena kegiatan itu tidak melalui proses perencanaan secara komprehensif, maka illegal logging mempunyai potensi merusak hutan yang kemudian berdampak pada perusakan lingkungan.2
Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, adalah merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan itu (penjelasan umum paragraf ke-18 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan). Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan menjadi enggan melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidananya berat.3
Ada tiga jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu pidana penjara, pidana denda dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana. Ketiga jenis pidana ini dapat dijatuhkan kepada pelaku secara kumulatif. Hal ini dapat dilihat dalam rumusan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Jenis pidana itu merupakan sanksi yang diberikan kepada pelaku yang melakukan kejahatan
1 IGM. Nurdjana (“et al”). 2005. Korupsi dan Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal. 15.
2 Ibid.
3 Ibid. hlm. 108-109.
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Uraian tentang ketentuan pidana dan sanksinya terhadap kegiatan illegal logging menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah sebagai berikut :
Pasal 50
(1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
(2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
(3) Setiap orang dilarang:
a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
b. merambah kawasan hutan;
c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan:
1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
d. membakar hutan;
e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang didalam kawasan
h. hutan, tanpa izin Menteri;
i. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan;
j. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang;
k. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang;
l. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
m.membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan
n. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
(4) Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi, diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 78
(1) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(3) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(4) Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).
(5) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(6) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g, diancam dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(7) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
(8) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(9) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(10) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(11) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf l, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(12) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(13) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran.
(14) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri- sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.
(15) Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara.
Biasanya unsur ataupun perbuatan yang terdapat dalam tindak pidana illegal logging antara lain adalah adanya kegiatan menebang kayu, mengangkut kayu, mengolah kayu dan lain sebagainya.
Dalam suatu tindak pidana illegal logging kebanyakan yang dijadikan barang bukti di Pengadilan adalah barang atau benda berupa kayu dan alat untuk mendapatkan kayu tersebut secara illegal atau pun suatu alat angkut dalam proses pengangkutan kayu yang tidak memiliki dokumen yang menyertainya. Alat angkut yang dimaksud berupa suatu media untuk mengangkut kayu-kayu tersebut, baik yang beroperasi di perairan ataupun di darat.
Barang bukti berhubungan dengan suatu tindak pidana yang dilakukan, sebelum ditetapkannya suatu benda sebagai barang bukti, maka terlebih dahulu benda-benda atau suatu barang tersebut dilakukan penyitaan agar nantinya dapat dipergunakan sebagai barang bukti dalam proses perkara di pengadilan apabila memenuhi persyaratan untuk dipergunakan sebagai barang bukti.
Mengenai penyitaan suatu benda atau barang dapat kita temui dalam Pasal 39 KUHP, yaitu :
(1) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah :
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
(2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).
Selanjutnya juga tercantum dalam Pasal 40 KUHP : “Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti.”
Sedangkan untuk mengangkut kayu-kayu tersebut diperlukan suatu alat transportasi baik alat transportasi darat maupun alat transportasi sungai/laut bagi wilayah yang hubungan antar daerahnya lebih banyak melalui air. Khusus mengenai alat transportasi atau sarana angkut yang mereka pergunakan untuk membawa kayu olahan tersebut, dalam pasal 78 ayat (15) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan : “Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-
alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara”.
Permasalahannya bahwa truk atau alat transportasi yang dijadikan alat angkut tersebut dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri banyak yang diikat dengan suatu perjanjian berdasarkan Jaminan Fidusia.
Dalam hal di atas tersebut, jangan dipandang dari sisi pidananya, akan tetapi dapat kita lihat dari aspek hukum perdatanya. Secara jelas ada unsur perjanjian di dalamnya, adanya perjanjian antara penyedia jasa alat angkut dengan pengguna jasa alat angkut tersebut yang harus dikaji sehingga dapat memberikan pemikiran.
Perjanjian yang dimaksud tersebut dapat berupa sewa menyewa dalam artian alat transportasi tersebut disewa oleh si pembawa/pemilik kayu, atau dapat berupa perjanjian sewa jasa, dimana si pemilik kayu membayar jasa seseorang yang memiliki alat angkut untuk mengantarkan barangnya ke suatu tempat yang dituju, atau bahkan alat transportasi tersebut secara nyata dikuasai oleh pemilik kayu akan tetapi dia mendapatkannya dengan cara perjanjian sewa beli ataupun dengan perjanjian pembiayaan lainnya yang secara hukum belum beralih hak kepemilikannya dari pihak yang menyewakan kepada seseorang itu.
Mengenai fidusia telah disebutkan di atas melalui Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan : “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasa pemilik benda”.
Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 menentukan bahwa : “Yang dimaksud dengan jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda bergerak khususnya
bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya”.
Mengingat adanya perjanjian fidusia terhadap benda sitaan dalam Ellegal Logging, maka terdapat beberapa putusan Pengadilan Negeri yang memutuskan bahwa barang bukti berupa truk atau alat angkut lainnya dikembalikan kepada penerima fidusia.
Sebagai contoh yang terjadi di Pengadilan Muara Teweh Kalimantan Tengah.
Di dalam Putusan Pengadilan Negeri Muara Teweh Nomor : 59/Pid.B/2005/PN.Mtw. yang kemudian dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Palangka Raya Nomor : 61/PID.B/2005/PT.PR. yang merupakan perkara tindak pidana illegal logging, khusus mengenai barang bukti berupa Truk yang dijadikan sebagai alat angkut di dalam amar putusannya terdapat Truk yang dikembalikan kepada Penerima Fidusia.
Untuk itu Putusan Pengadilan Negeri Muara Teweh Nomor : 59/Pid.B/2005/PN.Mtw. telah mempertimbangkan segala sesuatu berdasarkan fakta dan ketentuan hukum yang berlaku terhadap suatu tindak pidana, dan memisahkan antara kejadian hukum pidana dengan perbuatan-perbuatan ataupun unsur perdata yang terkait dengan suatu tindak pidana, namun dalam hal tersebut pihak yang merasa berhak atas barang bukti berupa truk langsung masuk kedalam proses persidangan pidana, yang seharusnya ditentukan dalam pemeriksaan perdata, sehingga nantinya di dalam putusan pidana termuat putusan perdata yang menyatakan kepemilikan barang bukti berupa truk tersebut dan tentunya akan dikembalikan kepada yang berhak dan tidaklah dirampas untuk negara.
Dimana dalam Putusan Pengadilan Negeri Muara TewehNomor 59/Pid.B/2005/
PN.Mtw. tersebut, terdakwa mempergunakan alat angkut berupa truk milik dari seorang debitur untuk mengangkut kayu secara illegal dan akhirnya alat angkut berupa truk tersebut dijadikan barang bukti di depan persidangan. Dalam proses persidangan terdapat adanya keberatan dari pihak Kreditur sebagai Penerima Fidusia dan menginginkan barang miliknya yang berupa Truk dikembalikan kepada kreditur atau Penerima Fidusia karena barang tersebut telah diikat dengan Jaminan Fidusia.
Sehubungan dengan banyaknya amar putusan yang mengembalikan alat angkut tersebut, maka keluar Surat Edaran Mahkamah Agung, Nomor : 01 Tahun 2008 tentang Petunjuk Penanganan Perkara Tindak Pidana Kehutanan, yang isinya menginstruksikan atau memerintahkan : Untuk setiap perkara yang berkenaan dengan Illegal Logging dalam amar putusan barang buktinya harus dirampas untuk Negara.
Dengan adanya Instruksi maupun Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut berimplikasi kepada setiap putusan-putusan Pengadilan yang mengadili perkara-perkara illegal logging, tanpa memandang atau mempertimbangkan alat angkut berupa truk tersebut ada atau tidaknya unsur lain yang mengikatnya ataupun mengenai kepemilikannya.
Hal tersebut berimbas salah satunya terhadap Putusan Pengadilan Negeri Kuala Kapuas Nomor : 95/Pid.B/2006/PN.K.Kp. yang merampas untuk negara barang bukti berupa Truk dan selanjutnya putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Namun beberapa bulan kemudian terdapat gugatan Perlawanan mengenai barang bukti berupa Truk tersebut yang selanjutnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Kuala Kapuas berdasarkan Putusan Nomor : 01/Pdt.Plw/2007/PN.K.Kp. yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Palangka Raya berdasarkan Putusan Nomor : 34/PDT.G/2007/PT.PR.
Dalam hal tersebut ada poin penting yang menjadi ditolaknya permohonan perlawanan tersebut selain pertimbangan-pertimbangan lain dalam putusan tersebut yaitu berdasarkan Petunjuk Mahkamah Agung tentang Tehnis Yudisial dan Manajemen Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2008 : “Apabila ada pihak ketiga yang mengajukan gugatan perdata terhadap barang bukti tersebut, maka barang tersebut tidak dapat diletakkan sita jaminan, karena barang tersebut telah menjadi milik negara.
Berlandaskan demikian dapat kita simpulkan bahwa sekarang ini putusan pengadilan yang berhubungan dengan tindak pidana illegal logging walaupun itu dalam barang bukti alat angkut yang diajukan dan diikat dengan Jaminan Fidusia, dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung, Nomor : 01 Tahun 2008 tentang Petunjuk Penanganan Perkara Tindak Pidana Kehutanan, Hakim tidak dapat berbuat banyak karena telah ditentukan aturan yang bersifat ke dalam di wilayah pengadilan.
Dengan demikian adanya Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyebutkan : “Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara”, menimbulkan problem baik secara teoritis, yuridis dan sosiologis
Problem secara filsafati, bahwa banyaknya putusan-putusan dari pengadilan yang dirasa tidak memenuhi keadilan terutama berkaitan dengan barang bukti tindak pidana illegal logging menyangkut hal alat angkut dalam tindak pidana illegal logging yang harus merampas seluruh alat angkut apapun.
Secara yuridis hak kepemilikan Penerima Fidusia yang diperoleh dari Perjanjian dengan Jaminan Fidusia tetap ada dan tidak hilang dengan dirampasnya objek Jaminan Fidusia tersebut oleh negara.
Adanya perbedaan penerapan hukum baik dari segi hukum pidana maupun hukum perdata haruslah dipisahkan dalam penerapannya, apabila terdapatnya suatu peristiwa atau adanya peristiwa yang berhubungan dengan perdata maka seharusnyalah terpisahkan, karena hal tersebut juga akan bertumpu pada rasa keadilan yang tercipta dalam masyarakat.
Meskipun Fidusia bukanlah hak milik murni, namun hak-hak kepemilikan yang melekat pada suatu barang atau obyek fidusia tidak dapat dilepaskan begitu saja, sehingga suatu obyek jaminan fidusia tidaklah diperkenankan secara hukum untuk diambil begitu saja atau dirampas secara sewenang-wenang.
Keadilan dalam cita hukum yang merupakan pergulatan kemanusiaan berevolusi mengikuti ritme zaman dan ruang, dari dahulu sampai sekarang tanpa henti dan akan terus berlanjut sampai manusia tidak beraktivitas lagi. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang terdiri atas roh dan jasad memiliki daya rasa dan daya pikir yang dua-duanya merupakan daya rohani, dimana rasa dapat berfungsi untuk mengendalikan keputusan- keputusan akal agar berjalan di atas nilai-nilai moral seperti kebaikan dan keburukan, karena yang dapat menentukan baik dan buruk adalah rasa.
Ungkapan keadilan sering kali dikatakan oleh masyarakat, karena berhubungan dengan proses penegakan hukum yang ternyata tidak mampu memberi kepuasan atau memenuhi rasa keadilan para pencari keadilan atau masyarakat pada umumnya.
Keberadaan Pengadilan seyogyanya adalah memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, sehingga aspek keadilan lebih ditonjolkan daripada kepastian hukum dalam memberikan putusan.
Selain itu Surat Edaran Mahkamah Agung, Nomor : 01 Tahun 2008 tentang Petunjuk Penanganan Perkara Tindak Pidana Kehutanan, berimplikasi terhadap kebebasan Hakim dalam memutuskan suatu perkara berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan maupun berlandaskan pada ketentuan hukum yang berlaku
Kemudian problem secara yuridisnya, adanya Pasal 78 ayat (15) Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan : “Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara”, menimbulkan terjadinya konflik norma dengan UU lain.
Pasal 39 ayat (1) KUHP menyebutkan : “Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan dapat dirampas.”
Dalam penjelasan Pasal 39 KUHP dari R. Soesilo menguraikan bahwa barang- barang yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dapat dirampas sepanjang barang tersebut adalah barang-barang milik terdakwa sedangkan apabila barang tersebut bukan milik terdakwa tidak boleh dirampas.
Di dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ditentukan : “Penerima Fidusia tidak menanggung kewajiban atas akibat tindakan atau kelalaian Pemberi Fidusia baik yang timbul dari hubungan kontraktual atau yang timbul dari melanggar hukum sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.”
Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tidak dapat dibebankan akibatnya kepada pihak lain yang tidak ada hubungannya atau sangkut pautnya dengan perbuatan yang terdakwa lakukan, maka pertanggungjawaban pidananyapun tidaklah dapat diberikan kepada orang lain (dalam hal ini si Penerima Fidusia).
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas barang bukti berupa truk yang telah diikat dengan Jaminan Fidusia di atas dapat dijadikan sebagai barang bukti namun tidaklah dapat barang bukti berupa truk tersebut dirampas oleh negara, karena kepemilikan sebenarnya bukanlah milik dari terdakwa yang melakukan tindak pidana illegal logging.
Selain itu pula barang bukti berupa Truk tersebut telah mempunyai Sertifikat Jaminan Fidusia yang artinya mempunyai nilai eksekutorial dan ini berhubungan dengan hak mendahului dari Penerima Fidusia sebagaimana diatur dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yaitu hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang dalam hal ini objeknya berupa truk yang menjadi jaminan dari perjanjian pokok yang berupa utang piutang.
Dari sisi lain dalam tindak pidana illegal logging tersebut menyangkut barang bukti alat angkut berupa truk adanya pula unsur perdata di dalamnya karena barang bukti yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana terikat dengan perjanjian Jaminan Fidusia sehingga dalam menangani suatu perkara ini haruslah terpisahkan antara pidana dengan perdata, karena akan berakibat kepada hak kepemilikan orang lain, jadi yang menjadi inti disini adalah apakah ada tidaknya suatu pihak yang mengakui atau menghaki kalau barang bukti tersebut adalah miliknya. Apalagi dengan adanya perjanjian, disinilah yang menjadi ranah hukum perdata.
Terkait perlindungan terhadap pihak ketiga yang beritikad baik, terdapat Putusan Mahkamah konstitusi Republik Indonesia Nomor : 021/PUU-III/2005 tanggal 1 Maret
2006 yang menyatakan bahwa kepemilikan yang diperoleh melalui Perjanjian Fidusia masih tetap terlindungi oleh berbagai ketentuan dalam Undang-Undang Fidusia, dan dengan demikian dalam menerapkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya pasal 78 ayat (15) beserta penjelasannya haruslah tetap merujuk kepada ketentuan dalam pasal 39 ayat (1) KUHP.
Salah satu penyebab maraknya kejahatan lingkungan yaitu belum adanya sinkronisasi, kesepakatan dan keselarasan dalam system peradilan pidana.4
Selain problem secara filsafati dan yuridis, terdapat pula problem sosiologis atas pemberlakukan Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan : “Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara”, yaitu Pengadilan Negeri yang dalam hal ini putusan tersebut diucapkan oleh Hakim yang umumnya sebagai corong undang-undang menerapkan pasal 78 ayat (15) dalam Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tersebut secara tegas, di sisi lain juga adanya Instruksi dari Mahkamah Agung yang menegaskan kalau apapun bentuk
4 Bambang Tri Bawono. dan Anis Mashdurohatun Penegakan Hukum Pidana di Bidang Illegal logging Bagi Kelestarian Lingkungan Hidup dan upaya Penanggulanngannya. Dalam Jurnal Hukum vol XXVI No 2 Agustus 2011
alat angkutnya selama mengenai dan berhubungan dengan tindak pidana illegal logging harus dirampas untuk negara.
Di sisi lain tidak menutup kemungkinan kalau alat transportasi yang menjadi barang bukti dalam perkara illegal logging dan telah dirampas untuk negara mengacu kepada putusan Pengadilan adalah milik pihak ketiga, yaitu pihak lain yang masih mempunyai hak kepemilikan barang tersebut dan dia tidak tahu menahu mengenai perbuatan pidana yang dilakukan oleh pengguna alat angkut tersebut.
Bagi pemilik alat angkut, seperti misalnya klotok yang berlayar di media air ataupun alat angkut yang lain, seperti Truck/Mobil yang berjalan di darat dan mereka hanya menyewa atau meminjam dari seseorang ikut dirampas untuk negara. Hal ini yang membuat pemilik alat angkut sebenarnya kebingungan karena mereka hanya sebagai penyedia jasa dan tidak tahu menahu tentang apa yang dilakukan oleh yang meminjam alat angkut mereka.
Disinilah kepentingan dari pihak kreditur atau Penerima Fidusia, apabila barang bukti yang berupa alat angkut truk tersebut dirampas untuk negara, maka Penerima Fidusia akan mengalami kerugian untuk kedua kalinya, oleh karena itu sangat wajar dan tepat apabila Penerima Fidusia berusaha mempertahankan barang yang dimilikinya berdasarkan jaminan fidusia tersebut.
Berdasarkan problem filsafati, yuridis dan sosiologis di atas, maka penelitian disertasi yang berjudul : “REKONSTRUKSI PENGATURAN STATUS HUKUM BARANG JAMINAN FIDUSIA YANG DIRAMPAS OLEH NEGARA DENGAN BERBASIS NILAI KEADILAN” layak untuk dianalisis lebih mendalam agar pengaturan perampasan berbasis nilai keadilan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka permasalahan yang ingin bahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Mengapa pengaturan status hukum barang yang dijaminkan dengan fidusia yang dirampas oleh negara belum berbasis keadilan ?
2. Bagaimana kelemahan-kelemahan perampasan oleh negara terhadap barang yang dijaminkan dengan fidusia saat ini ?
3. Bagaimana rekonstruksi pengaturan status hukum barang yang dijaminkan dengan fidusia yang dirampas oleh negara yang berbasis nilai keadilan ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :
1. Untuk menganalisis pengaturan status hukum barang yang dijaminkan dengan fidusia yang dirampas oleh negara yang belum berbasis keadilan.
2. Untuk menganalisis kelemahan-kelemahan perampasan oleh negara terhadap barang yang dijaminkan dengan fidusia saat ini
3. Untuk menemukan konsep baru status hukum barang yang dijaminkan dengan fidusia yang dirampas oleh negara yang berbasis nilai keadilan.
D. Kegunaan Penelitian
Secara teoritis penelitian ini diharapkan bermanfaat :
1 Bagi pembentuk Undang Undang yaitu DPR dan Pemerintah dalam penyempurnakan regulasi mengenai status hukum barang yang dijaminkan dengan fidusia yang dirampas oleh negara.
2 Bagi Kapolri, Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung dalam membuat peraturan pelaksana terkait status hukum barang yang dijaminkan dengan fidusia yang dirampas oleh negara.
Secara praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat :
1 Bagi penyidik, dan penuntut umum dalam menyikapi status hukum barang bukti yang dijaminkan dengan fidusia.
2 Bagi hakim dalam menyikapi status hukum barang sitaan yang dijaminkan dengan fidusia.
E. Kerangka Konseptual 1. Pengertian Rekonstruksi
Secara terminologi rekonstruksi memiliki berbagai macam pengertian.
Rekonstruksi memiliki arti bahwa “re”berarti pembaharuan sedangkan “ konstruksi ‟ memiliki arti suatu bentuk atau sistem.
B.N Marbun mendifinisikan rekonstruksi yaitu penyusunan atau penggambaran kembali dari bahan-bahan yang ada dan disusun kembali sebagaimana adanya atau kejadian semula.5 Sedangkan menurut Yusuf Qardhawi bahwa rekonstruksi itu mencakup tiga poin penting, yaitu pertama, memelihara inti bangunan asal dengan tetap menjaga watak dan karakteristiknya. kedua, memperbaiki hal-hal yang telah runtuh dan memperkuat kembali sendi-sendi yang telah lemah. ketiga, memasukkan beberapa pembaharuan tanpa mengubah watak dan karakteristik aslinya. Dari sini dapat dipahami bahwa pembaharuan bukanlah menampilkan sesuatu yang benar- benar baru, namun lebih tepatnya merekonstruksi kembali kemudian menerapkannya dengan realita saat ini.6
2. Pengertian Barang
Benda dalam arti ilmu pengetahuan hukum adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek hukum, yaitu sebagai lawan dari subjek hukum. Objek hukum ialah
5B.N. Marbun, . 1996. Kamus Politik Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. hlm.469
6Yusuf Qardhawi 2014. Problematika Rekonstruksi Ushul Fiqih. Al-Fiqh Al-Islâmî bayn Al-Ashâlah wa At-Tajdîd, Tasikmalaya
segala sesuatu yang berguna bagi subjek hukum dan yang dapat menjadi pokok (objek) suatu hubungan hukum, karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subjek hukum.
Pengertian benda secara yuridis menurut Pasal 499 B.W. adalah segala sesuatu yang dapat di haki atau menjadi objek hak milik.7
Undang-undang membagi benda-benda dalam beberapa macam : a) benda yang dapat diganti dan yang tak dapat diganti ;
b) benda yang dapat diperdagangkan dan yang tidak dapat diperdagangkan atau “di luar perdagangan” ;
c) benda yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi ; d) benda yang bergerak dan yang tak bergerak ;8
dari pembagian yang tersebut di atas, yang paling penting ialah pembagian “benda bergerak” dan “benda tak bergerak” sebab pembagian ini mempunyai akibat-akibat yang sangat penting dalam hukum.
Suatu hak kebendaan ialah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang. Ilmu hukum dan perundang-undangan telah lama membagi segala atas hak-hak kebendaan. Suatu hak kebendaan memberikan kekuasaan atas suatu benda, dapat dipertahankan terhadap tiap orang yang melanggar hak itu.9
Mengenai hak bezit untuk benda bergerak ada ketentuan dalam Pasal 1977 Ayat (1) BW yang menentukan, barangsiapa yang menguasai benda bergerak dianggaplah ia sebagai pemiliknya.10
7Titik Triwulan Tutik. 2010. Hukum Perdata dalam Hukum Nasonal. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Hlm. 142-143.
8 Subekti. 1994. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta : Intermasa. Hlm. 61.
9 Ibid. 62-63.
10 Titik Triwulan Tutik. Op. Cit. Hlm. 148.
Hak retentie adalah hak untuk menahan sesuatu benda, sampai suatu piutang yang bertalian dengan benda itu dilunasi. Hak retentie ini memiliki kemiripan dengan gadai, yaitu memberikan jaminan dan bersifat accesoir. Jadi ada tidaknya itu tergantung pada adanya utang piutang pokok dan ada pertaliannya dengan benda yang ditahan.11
Eigendom adalah hak yang paling sempurna atas suatu benda. Seorang yang mempunyai hak eigendom (milik) atas suatu benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu (menjual, menggadaikan, memberikan, bahkan merusak), asal saja ia tidak melanggar undang-undang atau hak orang lain.12
Hak kebendaan yang memberikan jaminan, yaitu hak yang memberi kepada yang berhak (kreditor) hak didahulukan untuk mengambil pelunasan dari hasil penjualan barang yang dibebani; misalnya, hak tanggungan atas tanah dan hak fidusia; sedangkan menurut KUH Perdata, misalnya hak gadai sebagai jaminan ialah benda bergerak, hipotek sebagai jaminan ialah benda-benda tetap, dan sebagainya.13
3. Pengertian Jaminan
Jaminan adalah suatu perikatan antara kreditur dengan debitur, dimana debitur memperjanjikan sejumlah hartanya untuk pelunasan utang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku apabila dalam waktu yang ditentukan terjadi kemacetan pembayaran utang si debitur.14
Pengertian tentang jaminan adalah rumusan atau definisi yang tegas tentang jaminan tidak ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.15 Sedangkan menurut Hartono Hadisaputro, jaminan dapat diartikan sebagai sesuatu
hlm 75.
11 Ibid. 158.
12 Subekti. Op. Cit. Hlm. 69.
13 Salim HS. 2001. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta : Sinar Grafika. Hal. 100.
14Gatot Supramono, 1996. Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan Yuridis. Jakarta : Djambatan.
15Soedikno Mertokusumo, 2007. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit di Indonesia, Jakarta : Bina Cipta Pers, hlm. 10
yang diberikan debitur kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.16
Jaminan adalah aset pihak peminjaman yang dijanjikan kepada pemberi pinjaman jika peminjam tidak dapat mengembalikan pinjaman tersebut. jaminan merupakan salah satu unsur dalam analisis pembiayaan.
Adapun kegunaan jaminan adalah untuk:
a. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapat pelunasan dari agunan apabila debitur melakukan janji, yaitu untuk membayar kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
b. Menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau sekurang-kurangnya untuk berbuat demikian dapat diperkecil.
c. Memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujuhi agar debitur dan atau pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.17
Kemudian sifat perjanjian jaminan dikontruksikan sebagai perjanjian yang bersifat accesoir, yaitu merupakan perjanjian yang dikaitkan dengan perjanjian pokok.
16Hartono Hadisaputro, 1984. Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Yogyakarta : Liberty, hlm. 20
17Rachmadi Usman, 2003. Aspek-Aspek hukum perbankan di Indonesia, Jakarta: Gremedia pustaka Utama, hlm.286.
Kedudukan perjanjian penjaminan yang dikontruksikan sebagai perjanjian accesoir itu menjamin kuatnya lembaga jaminan tersebut bagi pemberian kredit oleh kreditor.
Perjanjian jaminan sebagai perjanjian yang bersifat accesoir memperoleh akibat-akibat hukum, seperti:
a. Adanya perjanjian pokok;
b. Hapusnya tergantung pada perjanjian pokok;
c. Jika perjanjian pokok batal- ikut batal;
d. Ikut beralih dengan beralihnya perjanjian pokok;
e. Jika perutangan pokok beralih karena cessi, subrogasi maka ikut beralih juga tanpa adanya penyerahan khusus18
Dasar hukum dari hukum jaminan di Indonesia terdapat pada pasal 1131 KUH Perdata yang menyatakan bahwa:“ Segala kebendaan si berhutang baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yangsudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk perikatan perseorangan”
Adapun dalam pasal 1132 KUH Perdata dinyatakan kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
Dari rumusan Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada 2 macam bentuk jaminan yaitu :
a. Jaminan Umum.
18M. Bahsan, 2007. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta:Rajawali Pers, hlm. 28
Definisi dari jaminan umum adalah jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur yang menyangkut semua harta kekayaan debitur.19 Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa benda-benda jaminan tidak hanya diperuntukkan untuk kreditur tertentu, akan tetapi hasil dari penjualan benda yang menjadi jaminan akan dibagi secara seimbang untuk seluruh kreditur sesuai dengan jumlah hutang yang dimilik oleh debitur. Dalam jaminan umum ini tidak akan terjadi masalah jika hasil penjualan benda jaminan mencukupi seluruh hutang debitur kepada kreditur, akan tetapi jika hasil penjualan benda jaminan tidak mencukupi hutang debitur kepada kreditur maka hasil penjualan benda jaminan akan dibagi berdasarkan presentase piutang yang dimiliki oleh kreditur kepada debitur. Hal ini akan tetap menjadi masalah, karena hutang debitur tetap tidak dapat dibayar secara lunas sehingga akan menimbulkan kerugian terhadap kreditur. Jadi jaminan umum masih belum memberikan keamanan bagi kreditur untuk mendapatkan pelunasan atas piutangnya secara penuh. Untuk memberikan keamanan terhadap pelunasan hutang kepada debitur dibutuhkan suatu bentuk jaminan yang memberikan hak kepada kreditur untuk menjadi kreditur preferent yaitu kreditur yang harus didahulukan dalam pembayaran diantara kreditur-kreditur lainnya jika debitur melakukan wanprestasi.
Oleh karena itu dibentuklah bentuk jaminan lain, yaitu bentuk jaminan khusus.
Adapun ciri-ciri dari jaminan umum adalah:
1) Para kreditur mempunyai kedudukan yang sama atau seimbang, artinya tidak ada yang didahulukan dalam pemenuhan piutangnya dan disebut sebagai kreditur yang konkuren.
19Frieda Husni Hasbullah, 2005. Hukum Kebendaan Perdata, Hak-Hak Yang Memberikan Jaminan (jilid 2), Jakarta : Indo Hill-Co, hlm.8
2) Ditinjau dari sudut haknya, para kreditur konkuren mempunyai hak yang bersifat perorangan, yaitu hak yang hanya dapat dipertahankan terhadap orang-orang tertentu.
3) Jaminan umum timbul karena undang-undang, artinya antara para pihak tidak diperjanjikan terlebih dahulu. Dengan demikian para kreditur konkuren secara bersama-sama memperoleh jaminan umum berdasarkan undang-undang.
b). Jaminan Khusus
Bentuk jaminan khusus muncul sebagai usaha untuk mengatasi kelemahan yang ada pada bentuk jaminan umum. Dalam Pasal 1132 KUHPerdata terdapat kalimat yang berbunyi “kecuali diantara para kreditur ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”. Dengan adanya kalimat tersebut dalam Pasal 1132 KUHPerdata, terdapat kemungkinan diadakan perjanjian yang menyimpang dari pengaturan jaminan
Adapun untuk macam-macam jaminan, dapat dibedakan berdasarkan jenis benda yang menjadi obyek dari hak jaminan. Apabila yang menjadi obyek jaminan merupakan benda tidak bergerak, maka lembaga jaminannya dapat berbentuk hipotek dan hak tanggungan.Sedangkan jika yang menjadi obyek jaminan merupakan benda bergerak, maka lembaga jaminannya adalah gadai dan fidusia.
4. Pengertian Fidusia
Istilah fidusia berasal dari kata fides yang berarti kepercayaan. Dengan arti kepercayaan ini, maka hubungan hukum antara debitur (pemberi fidusia) dan kreditur (penerima fidusi) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan.
Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan, setelah dilunasi utangnya. Sebaliknya penerima fidusia
percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya.20
Sedangkan pengertian fidusia berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Untuk lebih memahami arti Fidusia, harus dikaitkan dengan istilah jaminan sehingga menjadi jaminan fidusia, adapun Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menegaskan : “Yang dimaksud dengan jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya”.
Perjanjian pemberian jaminan fidusia merupakan perjanjian yang dibuat antara pemberi fidusia dengan penerima fidusia, di mana pemberi fidusia menyerahkan jaminan berdasarkan kepercayaan kepada penerima fidusia, untuk jaminan suatu utang.
Biasanya, yang diserahkan oleh pemberi fidusia adalah berupa BPKB kendaraan bermotor yang menjadi objek perjanjian pembiayaan konsumen. BPKB inilah yang ditahan oleh penerima fidusia sampai dengan pemberi fidusia melunasi utang-utangnya pada pemberi fasilitas.21
20GunawanWidjaya dan Ahmad Yani, 2005. Jaminan Fidusia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm.
113
21 Salim HS. 2008. Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada. hlm 136.
Terdapat 2 (dua) pihak/subyek dalam Jaminan Fidusia yaitu :
a. Pemberi Fidusia, adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia; dan
b. Penerima Fidusia, adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia.
Terkait dengan obyek jaminan fidusia, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia,yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan, benda dalam dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor.22
Namun dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, yang dapat menjadi objek jaminan fidusia diatur dalam Pasal 1 ayat (4), Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, benda-benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah:
1 Benda yang dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum 2 Dapat berupa benda berwujud.
3 Benda berwujud termasuk piutang.
4 Benda bergerak.
5 Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan Hak Tanggungan ataupun hipotek.
6 Baik benda yang ada ataupun akan diperoleh kemudian.
7 Dapat atas satu satuan jens benda.
8 Dapat juga atas lebih dari satu satuan jenis benda.
9 Termasuk hasil dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia
22Salim HS. 2007. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
hlm 64