• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relasi Transendental dalam Ritual Seblang Suku Osing di Desa Bakungan dan Desa Olehsari

N/A
N/A
Laurentius Resa Setianto

Academic year: 2024

Membagikan " Relasi Transendental dalam Ritual Seblang Suku Osing di Desa Bakungan dan Desa Olehsari"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

RELASI TRANSENDENTAL DALAM RITUAL SEBLANG SUKU OSING DESA BAKUNGAN DAN DESA OLEHSARI

DOSEN PENGAMPU: RAYMUNDUS I MADE SUDHIARSA, Ph.D.

OLEH :

LAURENTIUS RESA SETIANTO (18028) YULIUS EDWARD INDRA DORIS (18024)

CHRYSTIAN LOUDRY MALAU (18056)

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT TEOLOGI WIDYA SASANA MALANG

2021

(2)

Abstrak

Ritual seblang adalah ritual tertua suku Osing yang dilakukan di dua desa di Kabupaten Banyuwangi yaitu desa Bakungan dan desa Olehsari. Ritual seblang adalah ritual yang memiliki unsur magis. Hal ini ditandai dengan relasi transendental yang terdapat dalam ritual seblang. Hampir seluruh bagian dalam ritual seblang memuat relasi antara manusia dengan makhluk-makhluk transenden. Berdasarkan teori komunikasi transendetal dari para ahli, ditemukan bahwa relasi yang terjadi antara manusia dan dengan makhluk transenden bukanlah relasi yang berkonotasi negatif. Ritual seblang justru menunjukan kebajikan dan nilai-nilai kebajikan yang berguna bagi kesatuan sosial di dalam masyarakat Osing. Keberadaan ritual seblang menampilkan proses sosialisasi nilai sekaligus relasi transendental antara pelaku ritual dengan makhluk gaib.

Metode dalam penelitian ini menggunaan metode analisis-deskriptif. Pendekatan yang dilakukan ialah memberi gambaran mengenai objek penelitian dan dikaji dengan teori- teori dari tokoh maupun karya tertentu. Sebagai sumbernya dalam penelitian ini akan didukung dengan menggunakan literatur-literatur kepustakaan baik dari jurnal maupun dari buku yang memuat ritual seblang.

Kata Kunci: Ritual seblang, Osing, Relasi Transendental, Komunikasi.

1. Latar Belakang

Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki keanekaragaman suku dan budaya. Terhitung ada beberapa suku di Jawa Timur yang tidak terdapat di provinsi-provinsi Jawa lainnya. Sebagai contohnya suku Madura, Tengger dan Osing. Keberadaan suku-suku dengan segala ciri khas kebudayaannya telah memberi kekayaan khazanah kebudayaan di Jawa Timur, secara khusus dalam hal dialog inter-budaya.

Salah satu suku yang turut ambil bagian dalam kekayaan khazanah budaya di Jawa Timur itu adalah suku Osing. Suku yang terdapat di ujung timur provinsi Jawa Timur tepatnya di Kabupaten Banyuwangi ini merupakan suku asli dari Banyuwangi yang biasanya disebut dengan Laros atau lare osing. Suku osing merupakan suku peninggalan Kerajaan Blambangan yang menganut aliran kepercayaan hindu.Kerajaan Blambangan merupakan kerajaan dengan corak hindu yang terakhir di pulau Jawa. Kata “Osing” memiliki arti “tidak”. Kata ini menjadi jawaban ketika masyarakat Banyuwangi mendapat pertanyaan apakah mereka orang Jawa atau orang Bali.

Jawaban “Osing” (tidak atas keduanya) menjadi jawaban atas pertanyaan itu.

Sekitar abad 12 Kerajaan Blambangan ditaklukan oleh Kerajaan Majapahit. Namun semenjak kesultanan Malaka mengalahkan Majapahit pada tahun 1478 M, Kerajaan Blambangan memsiahkan diri menjadi kerajaan sendiri. Akibat dari kekalahan itu banyak orang dari Kerajaan Majapahit melarikan diri ke lereng Bromo (Tengger), Blambangan (Osing) dan Bali. Tidak lama kemudian, pada tahun 1546-1764 Kerajaan Blambangan juga ditaklukan1. Ajaran Islam mulai

1 Evan Permana, Perancangan Film Dokumenter:Tribute to East Java Heritage, (Surabaya: Institut Teknologi Surabaya, 2009), hlm 1.

(3)

masuk ke dalam suku Osing dan menjadi aliran kepercayaan suku Osing. Masuknya Islam dalam komunitas suku Osing membuat mereka tidak lagi mengenal sistem kasta sebagaimana yang ada di Bali.

Suku Osing ini menempati beberapa daerah di Kabupaten Banyuwangi khususnya Banyuwangi bagian tengah dan selatan. Adapun, suku ini terpusat di beberapa kecamatan seperti Songgon, Rogojampi, Blimbingsari, Singojuruh, Kabat, Licin, Giri, Glagah, Kalipuro dan Sempu. Beberapa juga menempati daerah seperti Srono, Cluring, Gambiran dan Genteng. Suku ini kemudian bercampur dengan masyarakat non-Osing seperti pendatang dari Madura, Jawa Tengah, Yogyakarta dan berbagai daerah dari Jawa Timur. Masuknya para pendatang baru ini mempengaruhi bagaimana perkembangan kebudayaan suku Osing yang mulai redup. Hingga saat ini ada beberapa komunitas Osing yang masih bertahan seperti Komunitas Adat Kemiren, Komunitas Adat Mangir, Komunitas Adat Grogol, Komunitas Adat Cungking, Komunitas Adat Dukuh, Komunitas Adat Glagah, Komunitas Adat Andong, Komunitas Adat Mandaluka, Komunitas Adat Tambong, Komunitas Adat Asamalang, Komunitas Adat Bakungan, Komunitas Adat Olehsari, Komunitas Adat Macan Putih dan Komunitas Adat Aliyan.

Keberadaan komunitas-komunitas suku Osing tersebut telah meminimalisir punahnya suku Osing. Beberapa hal yang menjadi ciri khas dari komunitas-komunitas tersebut adalah 1) menggunakan bahasa Osing sebagai bahasa sehari-hari 2) memiliki sesepuh desa 3) komunitas yang cenderung homogen (perkawinan dilakukan dengan pasangan dari desa yang sama 4) masih memelihara adat suku Osing 5) memegang teguh aliran kepercayaan dari leluhur 5) bekerja di sektor pertanian dan pertukangan2. Di antara komunitas-komunitas tersebut, Komunitas Adat Kemiren menjadi komunitas adat yang paling kuat memelihara budaya Osing.

Kesenian sendiri berasal dari kata dasar seni dan merepresentasikan 5 hal3. Pertama, kesenian menggambarkan realitas alam dan tatanan sosial. Kedua, seni merepresentasikan karakteristik umum yang berkembang di masyarakat beserta dengan alamnya. Ketiga, seni juga merujuk pada karateristik universal dari alam dan manusia menurut . Keempat, seni juga merepresentasikan gambaran ideal terhadap sautu realitas dan alam pikir dari perspektif orang lain (seniman atau pengamat seni). Kelima, seni juga merepresentasikan bentuk ideal dari suatu hal yang sifatnya transendental. yang memiliki arti sebuah ungkapan atau ekspresi seputar keindahan maupun keluhuran dari manusia.

Sebagai suku yang memiliki komunitas adat, suku Osing memiliki beragam kesenian yang khas.Kesenian yang berkembang di kalangan Osing meliputi kesenian dalam adat istiadat, arsitektur, musik dan tari-tarian. Kesenian yang berkembang di kalangan masyarakat Osing tidak lepas dari keberadaan mereka sebagai pewaris tunggal kesenian Kerajaan Blambangan.

Kondisi masyarakat Osing yang bekerja dalam bidang pertanian semakin mendukung terpeliharanya aneka kesenian Kerajaan Blambangan. Dalam kenyataannya, masyarakat suku Osing sangat dekat dengan warisan leluhur yang menyangkut ranah indivividual maupun ranah sosial lewat berbagai kesenian yang ada. Keberadaan kesenian itu pada umumnya memiliki

2 Wiwin Indiarti, Kajian mengenai Desa Kemiren sebagai Penyangga Tradisi dan Kearifan Lokal Masyarakat Osing, (Banyuwangi: Lembaga Masyarakat Adat Osing, 2015) hlm, 141.

3Jakob, Sumardj, Filsafat Seni, (Bandung: Intitut Teknologi Bandung, 2000) hlm, 23.

(4)

makna rasa syukur atas hasil bumi dan tolak-balak terhadap berbagai hal-hal buruk. Beberapa kesenian yang berkembang di suku Osing adalah ritual Seblang, Kebo-keboan, Ider Bumi, Ndhog-ndhogan, Rebo Wekasan dan Gelar Pitu4 . Aneka kesenian tersebut adalah

Orang Using dikenal sebagai indigenous people pewaris Kerajaan Blambangan yang menghuni wilayah ujung timur Pulau Jawa. Sebagai masyarakat agraris, mereka lekat dengan pranata tradisional yang menjadi weluri atau wasiat nenek moyang, baik yang terkait dengan siklus hidup yang bersifat individual, maupun yang berhubungan dengan ranah sosial, seperti pranata ritualsakral bersih desa, yang pada umumnya berorientasi pada kesuburan dan tolak balak. Pranata ritual seperti Seblang, Kebo-keboan, Ider Bumi (Barong Kemiren), Ndhog- ndhogan, Rebo Wekasan, dan Gelar Pitu (lihat, Sutarto, 2003) merupakan contoh wasiat leluhur orang Using yang hingga zaman modern ini masih tetap eksis dan senantiasa diupayakan untuk dilaksanakan sesuai adat-istiadat Using. Dari beberapa ritual tersebut, menurut orang Using, ritual Seblang merupakan ritual yang diyakini tidak dapat ditinggalkan untuk menghindari munculnya “hal-hal yang tidak diinginkan” alias “musibah”.

2. Ritual Seblang

Salah satu bagian dari kesenian adalah adat istiadat. Dari segi kelengkapan, adat istiadat merupakan kesenian yang memiliki kekayaan kultural daripada kesenian bidang kesenian yang lain. Hal ini dikarenakan di dalam adat istiadat seringkali terdapat juga berbagai kesenian seperti tarian, nyanyian dan bidang-bidang kesenian lainnya. Dalam adat istiadat itu, bagian yang hampir selalu ada dalam setiap suku adalah ritual. Kata ritual sendiri memiliki akar kata ritus.

Ritual merujuk pada suatu kebiasaan dalam hal metode yang dimaksudkan untuk menjadikan ritus tersebut sebagai budaya yang sakral. Ritual memungkinkan terpeliharanya adat, sosial dan agama, karena ritual merupakan praksis hidup keagamaan5. Agama memiliki unsur kesakralan oleh karena keberadaan ritual. Tanpa ritual, agama kehilangan unsur kesakralannya.

Dalam hidup keagamaan, ritual mendapat posisi yang cukup vital. Ritual menduduki posisi yang cukup penting karena ritual memiliki peran utama dalam upacara kelahiran, pernikahan, kematian dan kebiasaan sehari-hari manusia sehingga menuntut ritual ini diperlakuan secara khusus 6. Sebagai sebuah ritus-kultis, ritual telah memungkinkan terjadinya kohesi sosial di dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan ritual mempertemukan rasa kesatuan di dalam masyarakat. Simbol-simbol keagamaaan dapat memperkuat rasa kesatuan di dalam kelompok keagamaan dan ritus-ritus keagamaan mewujudkan rasa kesatuan itu dengan membiarkan anggota-anggotanya berpartisipasi secara simbolis dengan kesatuan yang luas7. Ritual telah memberi motivasi kepada individu-individu demi kepentingan bersama dalam suatu kelompok keagamaan. Semuanya itu dapat terjadi karena ritual selalu disangkutpautkan dengan sesuatu hal yang sifanya ilahi atau transendental.

4 A. Sutarto, Etnografi masyarakat Osing (Jember: Universitas Negeri Jember, 2003), hlm 3.

5 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm 167.

6 Bustnaul Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm 95.

7 Bernard Raho, Agama dalam Perspektif Sosiologi (Jakarta: Obor, 2003), hlm 111.

(5)

Beragam makna yang terkandung dalam ritual tampaknya juga ditemukan dalam adat istiadat khas suku Osing yaitu Seblang. Kata ritual dengan demikian dapat disematkan dalam adat istiadat Seblang, sehingga bisa disebut dengan Ritual Seblang. Ritual ini merupakan salah satu warisan kebudayaan suku Osing paling tua karena mulai diadakan sejak tahun 1639. Ritual ini memiliki kemiripan dengan tari shangyang Bali, ada kemungkinan bahwa ritual ini mendapat pengaruh dari budaya Bali. Hal ini bisa dibenarkan, mengingat Banyuwangi sebagai tempat bermukimnya suku Osing berdekatan dengan pulau Bali.

Secara umum ritual Seblang merupakan ritual yang didominasi dengan kesenian tari yang memiliki sifat ritmis-magis. Sedangkan secara keseluruhan, ada beberapa tahap yang harus dilalui yaitu kejiman, rapat desa, pasang tarub dan genjot, sajenan, slametan, pembuatan omprok serta busana, tari Seblang, ider bumi, rebutan, siraman dan syukuran8. Ritual ini pun hanya diadakan di dua desa dengan tata cara yang berbeda. Dua desa itu meliputi Desa Olehsari dan Desa Bakungan. Perbedaan tata cara ritual Seblang dari kedua desa ini terletak pada waktu pelaksanaannya. Di Desa Olehsari, ritual Seblang diadakan sesudah perayaan Idul Fitri dan dilakukan selama tujuh hari. Sementara itu di Desa Bakungan, ritual Seblang diadakan sesudah perayaan Idul Adha dan dilakukan selama 1 hari.

3. Makna Ritual Seblang

Ritual Seblang merupakan upacara adat tertua dalam budaya Using, Banyuwangi.

Sakralitas Seblang didukung oleh penggunaan mantra beserta kekuatan gaib dari roh leluhur yang mbahureksa wilayah setempat. Upacara adat Seblang juga menjadi ajang bertemunya antara alam alus dan alam kasar, antara manusia dan dhanyang, antara mikrokosmos dan makrokosmos.9

Masyarakat Using mempercayai bahwa kata seblang merupakan gabungan dari kata

sebele” dan “ilang”. Hal itu mempunyai arti bahwa kesialannya bisa hilang. Selanjutnya, istilah itu disingkat menjadi “seblang”. Seblang sendiri berasal dari bahasa Using kuno yang mempunyai arti hilangnya segala permasalahan dan kesusahan.10

Sebagai sebuah ritual, terdapat kepercayaan bahwa ritual Seblang harus dilakukan dengan melibatkan berbagai komponen, di antaranya: tempat ritual, pondokan (tarub), payung agung, omprog, penari, sesajen, sinden, panjak (penabuh), dan pawang. Masing-masing komponen tersebut mengandung persyaratan khusus yang tidak boleh dilanggar, misalnya saja tentang jenis sesajen yang dipersembahkan, aturan penggunaan warna pakaian oleh para panjak, hingga urutan sekaligus pantangan bagi perias penari Seblang.

Dari sisi ritual, terdapat beberapa prosesi (praktik) yang harus dilakukan dalam rangkaian ritual Tarian Seblang. Prosesi ini diawali dari kerasukan sebagai penanda siapa penari dan waktu pelaksanaan ritual Seblang, dilanjutkan dengan prosesi selametan di Makam Buyut Ketut.

8 Heru S.P. Saputra, Wasiat Leluhur: Respons Orang Using terhadap Sakralitas dan Fungsi Sosial Ritual Seblang (Makara Hubs-Asia, 2014, 18.1: 53-65), hlm 54.

9 Heru S.P. Saputra, “Wasiat Leluhur: Respons Orang Using terhadap Sakralitas dan Fungsi Sosial Ritual Seblang”, Makara Hubs-Asia, 2014, 18(1): In Press, 53-65.

10 Almira Puspita Yashi, “Ritual Seblang Masyarakat Using di Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur”, Haluan Sastra Budaya, Volume 2, No. 1 Juni 2018, 1-18.

(6)

Setelah itu, dilaksanakan selametan di makam Buyut Cili, rumah perias dan pentas (panggung).

Prosesi dilanjutkan dengan pelaksanaan Tarian Seblang, kemudian dilaksanakan ritual ider bumi (mengelilingi desa). Prosesi ini ditutup dengan lungsuran.

Dengan demikian, ritual Tarian Seblang boleh dikatakan sebuah tradisi turun temurun yang dimaknai sebagai upaya menjaga keselamatan desa sekaligus sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seblang juga dimaknai sebagai wujud rasa hormat masyarakat Olehsari pada nenek moyang mereka. Makna dari ritual ini tergambar dari berbagai simbol dan praktik yang melengkapi rangkaian ritual. Makna ini dibagi secara turun temurun dari generasi sebelumnya kepada generasi berikutnya, sebagaimana dikemukakan ketua adat Olehsari bahwa meneruskan ritual Seblang menjadi tanggung jawab utamanya seperti yang telah diamanahkan oleh para pendahulu padanya.11

Dalam pelaksanaan ritual tarian Seblang, terdapat banyak makna yang ditampilkan dan Hadi Subagyo mengelompokkannya menjadi tiga bagian yakni: makna simbolik, makna ruang, dan makna rias.

4. Makna Ritual Seblang

4.1 Makna simbolis dalam Ritual Seblang

Dalam ritual Seblang, terdapat beberapa makna simbolis yang ditampilkan oleh gerak tari yang diperagakan. Setiap gerak tari atau pola gerak memiliki nama tersendiri yang diberikan oleh masyarakat setempat berdasarkan nama gendhing atau lagu, wujud geraknya, dan dasar tiruan gerak dalam kehidupan sehari-hari. Adapun nama-nama pola gerak dalam tarian Seblang adalah:

égol, sapon, céléng, mogok, dan deplang.12 Égol

Égol adalah salah satu pola gerak pinggul atau pangkal paha yang bergerak ke kanan atau ke kiri (mégol). Sekaran égol terdiri dari beberapa pola gerak dan masing-masing pola digerakkan oleh segmen-segmen tertentu. Segmen kepala dengan gerak déleg (geleng atau noleh), segmen tungkai dengan pola gerak mlampah (berjalan), dan segmen lengan dengan pola gerak ukelan, seblakan sampur, malangkerik, lémbéhan tangan, dan ayunan tangan (melambai- lambai). Dalam menjalankan gerakan ini, irama yang dipakai pada umumnya ialah irama cepat yang seirama dengan musiknya, yang mampu memberikan kesan lincah, sigrak, dan dinamis. Hal ini semakin terasa jika tabuhan kendang mengikuti gerak tari yang dilakukan oleh penari.

Sapon

Sapon adalah bentuk gerak yang menirukan gerak orang menyapu. Gerak ini telah diperhalus sehingga tampak indah dan ia menjadi gerak utama dalam tarian Seblang. Sapon dilakukan dengan pola gerak berjalan (mlampah) dengan kedua tangan memegang sampur dan badan tetap tegak atau sedikit membungkuk. Pola gerakannya ialah jika kaki kanan melangkah

11 Dinar Prihastutia, Yun Fitrahyati Laturrakhmi, “Sebuah Studi Tentang Komunikasi Ritual dalam Tarian Seblang Banyuwangi,” Jurnal Studi Budaya Nusantara - SBN All rights reserved 2018, 72-79.

12 Hadi Subagyo, “Bentuk dan Makna Simbolik Tari Seblang di Desa Olehsari Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur”. Greget, Vol. 2, No. 2, Desember 2003. 27-45.

(7)

maju, maka tangan kanan membuang sampur kanan, begitu pun sebaliknya. Gerakan ini dilakukan berulang-ulang dengan irama pelan, namun terkesan lincah dan trégél.

Gerakan sapon menirukan gerakan orang yang menyapu, sehingga gerakan ini bertujuan untuk membersihkan kotoran. Sebab mereka percaya bahwa kehidupan manusia tidak luput dari kesalahan, maka harus selalu dibersihkan walaupun tidak bersih semuanya, tetapi paling tidak kotorannya berkurang.

Céléng Mogok

Céléng Mogok dilakukan dengan berjalan mundur dan sikap badan membungkuk. Secara umum gerakan ini dilakukan dengan irama pelan dan terkesan lemah gemulai. Dinamakan Céléng Mogok karena gerakan ini menggambarkan tingkah laku binatang céléng yang sedang mogok atau bermalas-malasan. Gerakan ini bertujuan untuk mengajak masyarakat bahwa dalam kehidupan sehari-hari, mereka tidak boleh bermalas-malasan tetapi harus bekerja dengan keras dan semangat, sebab jika mereka bermalas-malasan, akan merugikan diri sendiri dan keluarga.

Dhaplang

Gerakan Dhaplang dilakukan dengan sangat sederhana yaitu dengan melangkah (mlampah) kecil-kecil disertai dengan sikap lengan dhaplang (menthang) yang disertai dengan deleg kepala ke kanan dan ke kiri. Pada mulanya gerakan ini dilakukan dengan irama lambat, namun semakin lama semakin cepat, dan diakhiri dengan keadaan histeris, dan kemudian penari jatuh (rubuh). Gerakan ini memiliki makna bahwa hidup manusia harus memiliki keseimbangan, antara yang lahir maupun yang batin, antara yang jahat maupun yang baik, antara yang merusak maupun yang membangun. Kendati manusia tidak bisa lepas dari kedua sisi ini, namun manusia harus berusaha untuk melakukan tindakan-tindakan yang diyakini baik dalam hidup bermasyarakat.

4.2 Makna ruang dalam ritual Seblang

Pada umumnya tarian dilakukan dengan gerakan dan untuk dapat bergerak, penari tentu membutuhkan ruang. Karena untuk melakukan aktivitas menari itu seperti berdiri, duduk, melangkah, merentang, dan sebagainya itu membutuhkan ruang. Ruang dalam tarian seblang dapat kita artikan sebagai tempat pertunjukkan atau tempat penyajiannya.

Tempat pertunjukkan tarian seblang pada mulanya tidak menggunakan panggung seperti sekarang ini. Dahulu, tarian ini dimainkan di kebun atau halaman rumah yang luas. Tarian ini langsung dimainkan di atas tanah atau lantai yang diberi alas tikar, dan hal ini menunjukkan bahwa antara penari dan penonton tidak ada jarak. Untuk menentukan batas antara penari dan penonton supaya acara berjalan dengan lancar dan tidak terganggu oleh penonton, hanya dibuat tanda batas menggunakan bambu yang diletakkan di atas tikar yang biasa disebut kalangan.

Pada saat pelaksanaan tarian ini, para penabuh duduk di tengah kalangan sebagai pusat penyajian tari, sedangkan para penari menari di ruang antara penabuh dan kalangan tersebut.

Untuk pesindén dan keluarga seblang, mereka duduk di dalam tarub yang berukuran 3x4m dan menghadap ke timur.

(8)

Sejak tahun 1980-an, lokasi pementasan tarian seblang dibuat permanen, yakni di tanah khas desa yang terletak di dusun Jagasari. Sejak tahun 1984, penyajian tari seblang mengalami perubahan, yakni dari kalangan ke bentuk panggung. Adapun perubahan ini atas dasar pertimbangan ada penari yang masih kecil dan agar penonton dapat menikmati tarian dengan jelas. Hal ini tentu memiliki kelebihan dan kekurangan, yakni penonton yang jauh dapat melihat dengan jelas, tetapi kesan keakraban antara pelaku tari dan penonton berkurang, karena ada jarak pemisah yakni panggung. Selain itu, adanya panggung juga membuat sajian tarian kurang leluasa. Namun bagi masyarakat Olehsari, perubahan ke dari kalangan ke panggung tidak membuat tarian itu berubah, karena formasi ruang penarinya tetap sama yakni melingkar. Hal ini dinilai penting karena pola lantai lingkaran hampir dilakukan pada setiap bagian gendhing pada tarian seblang. Pada setiap gendhing, penari berputar mengelilingi penabuh gamelan dua sampai tiga kali putaran.

Pola lingkaran di sini memiliki kandungan makna tersendiri bagi masyarakat Olehsari.

Bagi mereka lingkaran menunjukkan suatu yang bulat dan utuh, dalam arti suatu jalinan yang erat, tidak terputus. Bulat dan utuh ini bermaksud agar masyarakat tidak saling bertengkar dan bermusuhan karena hal itu akan merenggangkan persaudaraan dalam masyarakat. Hal ini memberi pesan supaya masyarakat selalu bertindak untuk menciptakan kerukunan, gotong royong, serta menjaga kesatuan dan keutuhan bagi masyarakat Olehsari sendiri.13

4.3 Makna rias dan busana dalam ritual Seblang

Penggunaan tata rias dan busana sangat penting dalam penyajian tarian, karena rias dan busana itu digunakan agar penampilan penari dapat mencapai atau menyerupai karakter tertentu.

Dalam tarian seblang, tata rias dan busana ini juga menampilkan keindahan dan keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh genre tari lain di Indonesia. Hal ini bisa diketahui dari bahan- bahan yang digunakan, bentuknya dan juga tata cara berbusana.

Bahan-bahan yang digunakan dalam rias seblang walaupun sudah dipengaruhi oleh bahan kosmetika modern, namun tetap menggunakan ramuan yang dibuat sendiri oleh perias. Bahan- bahan itu seperti lulur, penghitam alis, pemerah bibir dan pipi. Bahan-bahan ini sangat sederhana, walaupun sekarang diganti dengan yang lebih modern atau buatan pabrik, tetapi kesederhanaan itu tetap dipertahankan, karena kesederhanaan itu menyangkut dengan latar belakang masyarakat. Di sini para penari dirias agar menampilkan wajah yang bersih, cantik dan menarik bagi penonton.14

Tata busana untuk penari Seblang terdiri dari hiasan kepala (omprok), dan penutup tubuh yakni angkinan atau kembenan. Omprok terbuat dari anyaman bambu. daun pisang muda, dan aneka macam bunga yang terdapat di lingkungan desa Olehsari. Dalam memainkan tarian seblang, omprok yang dipakai harus selalu baru setiap hari agar kelihatan tetap segar.15 Hal ini

13 Hadi Subagyo, “Bentuk dan Makna Simbolik Tari Seblang di Desa Olehsari Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur”. Greget, Vol. 2, No. 2, Desember 2003. 27-45.

14 Hadi Subagyo, “Bentuk dan Makna Simbolik Tari Seblang di Desa Olehsari Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur”. Greget, Vol. 2, No. 2, Desember 2003. 27-45.

15 Ibid.

(9)

memiliki makna agar masyarakat Olehsari tetap sehat dan segar, sehingga rakyat tetap bugar dan bersemangat dalam menjalankan kewajiban dan tugas sehari-hari.

Untuk menutup tubuh, para penari menggunakan angkinan atau kembenan, yakni kain (séwék) pada tubuh bagian bawah dan angkin pada tubuh bagian atas, yakni untuk menutup payudara. Secara umum busana yang dipakai oleh para penari ialah satu lembar angkin, satu lembar kain, satu ikat pinggang, dan kaus kaki berwarna putih. Dalam pelaksanaan upacara, kain (séwék) harus selalu berganti setiap hari dan kain yang digunakan harus bersih.16 Hal ini didasari pada penilaian dan kepercayaan bahwa tarian seblang ini sakral dan suci, sehingga kain yang digunakan pun harus sakral dan suci. Hal ini juga dipercaya mampu membawa berkat bagi masyarakat yang di dalam siraman pada akhir upacara. Selain itu, hal ini juga mengingatkan masyarakat agar dalam menjalani hidup di dunia, mereka harus selalu menjauhkan dari hal-hal yang kotor.

5. Relasi Transendental dalam Ritual Seblang 5.1 Teori Relasi Transendental

Relasi Transendental merujuk pada dua kata yaitu “relasi” dan kata sifat “transendental”.

Kata “relasi” dalam KBBI merujuk pada suatu hubungan sementara itu kata “transendental”

merujuk pada kata transenden, ilahi, sesuatu yang sifatnya gaib. Beberapa teori dari para ahli juga mencoba untuk menjelaskan arti dari relasi transendental. Makna relasi transendental merujuk pada sebuah komunikasi dengan sesuatu yang sifatnya gaib, di dalamnya juga termasuk komunikasi dengan Tuhan. Gaib yang ditekankan di sini merujuk pada sifat-sifat kegaiban yaitu adikodrati, melebihi tataran inderawi dan duniawi17. Teori ini menunjukan bagaimana relasi transendental merujuk pada hubungan antara manusia dengan yang gaib, antara yang kasat mata dengan yang tak kasat mata, dan antara yang kodrati dengan yang adikodrati.

Relasi Transendental memiliki arti hubungan antara yang duniawi dengan yang ilahi.

Hubungan yang terjadi di sini tidak melulu hubungan antara dukun dengan makhluk-makhluk mistis seperti yang kerapkali beredar di kalangan masyarakat luas. Hubungan antara manusia dengan hal-hal transenden di sini lebih terarah pada hubungan yang positif. Kepercayaan manusia yang sedemikian dipengaruhi oleh keyakinan mengenai adanya kekuatan yang mengelilingi hidupnya, melebihi kekuatan dunia ini yang mempengaruhinya18.

Ritual yang dilangsungkan dalam sebuah kebudayaan tertentu merupakan bagian dari relasi transendental. Relasi transendental merupakan sebuah pola komunikasi dengan bentuk yang berbeda dengan pola komunikasi lainnya. Seperti contohnya komunikasi antar budaya, komunikasi antar individu komunikasi verbal dan non verbal, serta komunikasi dalam media massa. Perbedaan bentuk komunikasi dalam relasi transendental disebabkan oleh esensi dari relasi transendental sendiri yang merujuk pada komunikasi antara yang kodrati dan yang

16 Ibid.

17 Dedy Mulyana, Nuansa-Nuansa Komunikasi: Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer, Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini Publik Vol.20 No. 1, Juni 2016: 63-82 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hlm 49.

18 Antonius Atoshoki Gea dkk, Character Building III: Relasi dengan Tuhan, (Jakarta: Gramedia, 2004), hlm 7-8.

(10)

adikodrati. Bagian inilah yang perlu dikaji lebih mendalam agar dapat dipaparkan secara lebih komperehensif seputar pola bentuk komunikasi ini19.

Pendekatan dalam relasi transendental dapat dilakukan dengan teori fenomenologi transendental dari filsuf Jerman Edmund Husserl. Dalam pandangan Husserl perlu dilakukan sebuah pendekatan mengenai fakta dan esensi dalam fakta, antara yang real dengan tang tidak real20. Maka dari itu perlu dibangun sebuah penyatuan antara apa yang transenden dengan yang imanen, yang sesuai dengan gambaran orang. Pelaku ritual dengan demikian menempati peran penting karena merekalah yang mengalami bagaimana pengalaman menjalin relasi transendental tersebut. Husserl sendiri tidak menyangkal bahwa eksistensi objek adikodrati benar adanya meskipun pelaku ritual tidak melihatnya secara langsung.Sebaliknya ia menyebutkan bahwa objek yang transenden tersebut bisa memiliki wujud dan bisa juga tak berwujud. Maka dari itu kajian spekulatif-persepsif dari pihak manusia menentukan bagaimana penglihatan manusia terhadap objek sekalipun objek tersebut tidak tampak, sehingga relasi antara manusia dengan objek transenden bukanlah sesuatu yang mustahil. Fenomenologi transendental Husserl menekankan arti penting kesengajaan, yaitu proses internal dalam diri manusia yang berhubungan dengan objek tertentu, berwujud atau tidak21

5.2 Relasi Transendental dalam Ritual Seblang Desa Bakungan

Desa Bakungan dipercaya sebagai desa yang didirikan oleh orang-orang Bali. Sebelum menjadi sebuah desa, area desa Bakungan merupakan hutan belantara yang banyak ditumbuhi bunga Bakung. Bunga yang banyak ditemukan di kawasan hutan tersebut kemudian disematkan pada nama desa yaitu desa Bakungan. Sejurus dengan hal itu ritual Seblang mulai ikut masuk.

Ritual ini diadakan sesudah Hari Raya Idul Adha. Penari dalam ritual ini pun dipilih berdasarkan umur yaitu wanita yang sudah lanjut usia (kisaran 50 tahun ke atas). Penari dalam ritual seblang dipilih oleh para penatua atau sesepuh dari Desa Bakungan. Para sesepuh desa ini dipercaya memiliki kekuatan magis dan memiliki kemampuan untuk menjalin komunikasi dengan unsur- unsur gaib. Para sesepuh desa biasanya akan mendapat mimpi untuk menentukan siapakah yang akan menjadi penari dalam ritual seblang.

Di desa Bakungan, ritual seblang dimulai dengan ziarah yang dilakukan oleh para sesepuh desa kepada nenek moyang mereka Buyut Witri. Sembari mengucapkan mantra, para sesepuh desa mengambil air suci dari sumber mata air Watu Ulo yang letaknya di wilayah kabupaten Jember. Air suci tersebut kemudian dibagikan kepada warga desa dan dipercikan di setiap area desa. Para sesepuh desa juga menyiapkan beberapa sesajen yang terdiri dari ketan wingko, tumpeng, sabrang, kinangan, bunga, boneka yang terbuat dari tempurung kelapa (ninik thowok). Semua simbol-simbol tersebut dalam kepercayaan masyarakat Jawa memiliki makna kesuburan sedangkan boneka nini thowok dari serabut kelapa memiliki makna kejujuran.

19 Dedy Mulyana, Nuansa-Nuansa Komunikasi: Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer, Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini Publik Vol.20 No. 1, Juni 2016: 63-82 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hlm 50.

20 Engkus Kuswarno, Fenomenologi (Bandung: Widya Padjajaran, 2009), hlm 5.

21 Hardin, Komunikasi Transendental Pada Ritual Kapontasu dalam Sistem Perladangan Masyarakat Etnik Muna. Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini Publik, 2016, 20.1, hlm 68.

(11)

Sesudah melakukan ziarah ke makam leluhur dan membagi-bagikan air suci, prosesi ritual seblang berikutnya adalah slametan. Rumah-rumah masyarakat osing yang berhadapan memungkinkan diadakan slametan di depan rumah tepatnya di tengah jalan yang membelah pemukiman rumah desa Bakungan. Slametan merupakan pralambang dari rasa syukur atas panenan dan berkat yang masyarakat terima selama ini. Semua warga berkumpul di depan rumah dan menyajikan tumpeng berisikan ingkung, pecel dan daging ayam yang dicampur dengan kelapa. Hidangan untuk slametan itu kemudian didoakan oleh pemimpin ritual dengan mantra khusus berbahasa Osing. Secara umum doa-doa yang dilantunkan oleh pemimpin ritual seblang berisikan permohonan agar diberikan kesejahteraan dan kemakmuran. Pemimpin ritual seblang juga memasang kemenyan di setiap sudat area upacara seblang. Sementara itu masyarakat mendoakan ayat-ayat al-quran. Prosesi slametan diakhiri ketika pemimpin ritual membunyikan kentong.

Ritual seblang dilanjutkan dengan upacara ider bumi. Upacara ini diadakan waktu sore hari tepatnya sesudah maghrib. Listrik seluruh desa dipadamkan dan sebagai gantinya oncor atau obor digunakan sebagai pengganti alat penerangan. Dengan membawa obor tersebut seluruh warga Bakungan berkeliling desa sambal melafalkan ayat-ayat al-quran untuk menangkis masuknya roh jahat yang mengganggu jalannya ritual. Penari ritual seblang juga dipersiapkan dengan sudah berdandanan busana penari seblang dan riasan wajah berbahan atal sejenis batu halus yang memiliki warna kuning. Penari juga dipasangi mahkota berbahan kulit hewan dan bunga. Sembari berjalan penari membawa nyiru atau tampah yang terbuat dari bambu.

Tari seblang merupakan puncak dari ritual seblang. Tari ini dimulai dengan perempuan tau yang menutup mata penari seblang. Pada saat bersamaan dukun mulai membakar dupa dan membaca mantra-mantra yang dapat memanggil roh Buyut Kethut, Buyut Rasio, dan Byut Jalil.

Roh itu dikenal sebagai roh penjaga desa agar memberkahi pertunjukan seblang yang sedang dilangsungkan. Bila nyiru yang dipegang penari jatuh hal ini merupakan pertanda bahwa penari telah kesurupan atau kerasukan roh22. Lagu yang digunakan dalam tari seblang juga harus mendapat persetujuan dari sang penari yang telah kerasukan, Tanda bahwa penari menyetujui pemakaian lagu dalam tari ini adalah apabila penari melakukan tarian berlawanan arah jarum jam. Sementara itu apabila penari tidak menyetujui pengguanaan lagu tersebut ia akan memberikan aba-aba. Tari seblang ini diiringi dengan 11 lagu gending atau 12 almira puspita yashi. Gerakan tari Seblang sangat sederhana dan monoton, tetapi setiap gerakannya mempunyai makna dan simbol tertentu. Masyarakat menyakini bahwa gerakan tersebut mencerminkan makna kehidupan mereka di kemudian hari23.

Penari seblang juga diberi waktu istirahat. Sembari mengisi jeda istirahat tersebut, biasanya diadakan pertunjukan sabung ayam jantan dalam arena tersebut. Pertunjukan sabung ayam ini diadakan untuk mengenangkan kembali peristiwa perlawanan Kerajaan Blambangan melawan para penjajah.selain itu juga diadakan acara adol kembang yang merupakan kegiatan menjual bunga khususnya bunga dirma. Bunga ini merupakan bunga warna-warni yang

22 Almira Puspita Yashi, Ritual Seblang Masyarakat Using Di Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2019), hlm 10.

23 Ibid.,hlm 11

(12)

dipercaya mampu mendatangkan keberuntungan, memberi kemudahan jodoh, panenan melimpah dan rezeki yang bertambah. Bunga ini dijual oleh para gadis desa Bakungan.

Pada saat penari selesai beristirahat, biasanya tarian tidak dilakukan sendirian oleh sang penari melainkan juga melibatkan penonton sesuai dengan pilihan sang penari. Selendang atau sampur yang digunakan oleh penari biasanya dilemparkan kepada penonton dan penonton yang menjadi objek lemparan selendang harus ikut menari bersama sang penari. Tarian seblang akan berakhir apabila para pengiring memainkan gending dengan tempo yang cepat dan diimbangi dengan gerakan penari yang semakin cepat pula. Puncak tari seblang terjadi ketika penari terjatuh. Masyarakat percaya bahwa pada saat gending ini dilangsungkan, roh halus datang dan membersihkan desa dari hama dan hal buruk yang lain. Saat penari mulai sadar, ia mulai menjelaskan makna dan simbol gerakan tari yang dilakukannya24. Acara kemudian diakhiri dengan berebut sesajen atau gunungan berupa padi, sayuran dan buah-buahan.

Prosesi ritual seblang tersebut telah memberi gambaran bahwa dalam ritual tersebut ada relasi antara manusia atau perilaku ritual dengan objek transenden yang tidak bisa ditangkap secara inderawi. Para pelaku ritual berusaha mmberikan gambaran mengenai objek transenden lewat berbagai hal seperti mimpi, tarian, dan symbol-simbol dari setiap ritual yang ada. Relasi transendental yang terjadi dalam riual ini juga tidak menunjukan sisi negatif seperti pemahaman masyarakat luas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan alam gaib. Sebaliknya dalam ritual seblang ini ada beberapa kebajikan yang hendak ditujukan kepada masyarakat. Kebajikan itu mulai dari rasa syukur lewat slametan, mohon kesejahteraan dan kemanan dari segala pengaruh jahat.

Para pelaku ritual dalam ritual seblang ini bukan saja menerjemahkan apa yang menjadi kehendak dari para makhluk gaib. Lebih dari itu, keberadaan para pelaku ritual seblang berusaha melakukan sosialisasi sitem nilai yang terdapat dalam ritual seblang. Namun proses sosialisasi nilai ini bukan berarti ingin meniadakan unsur gaib dari ritual seblang dan menunjukan bahwa alam gaib hanyalah sebuah manifestasi dari nilai yang hendak disosialisasikan. Seperti yang ditekankan dalam teori fenomenologi Husserl bahwa relasi transendental tetap dipengaruhi oleh objek gaib dan juga interpretasi manusia.

5.3 Relasi Transendental dalam Ritual Seblang Desa Olehsari

Kemunculan ritual seblang di desa Olehsari tidak terlepas dari kesepakatan antara desa Olehsari dengan desa Kemiren. Jauh sebelum ritual seblang dilakukan di desa Olehsari, di desa Kemiren diadakan sebuah ritual seblang yang diperankan oleh Mbah Sapua sebagai penari. Pada saat penari seblang mengalami kerasukan, terjadi dialog dengan Eyang Buyut Tompo (pembuat seni Barong desa Kemiren) yang meminta agar ritual seblang diadakan di desa Ole-Olean atau desa Olehsari. Sementara itu, kesenian barong dipentaskan di desa Kemiren. Mulai pada saat itu, diputuskan bahwa desa Kemiren tidak boleh melaksanakan ritual seblang dan desa Olehsari tidak boleh melaksanakan ritual tari barong25.

24 Ibid., hlm 12

25 A. Sutarto, Sekilas tentang Masyarakat Osing, (Makalah Pembekalan Jelajah Budaya: Universitas Jember, 2006), hlm 5.

(13)

Ritual Seblang yang dilaksanakan di desa Olehsari secara umum memiliki kesamaaan dengan ritual seblang yang diadakan di desa Bakungan. Letak perbedaannya hanya terletak pada waktu pelaksanaannya. Jika ritual seblang di desa Bakungan dilaksanakan sesudah idulfitri, ritual seblang di desa Olehsari dilaksanakan pada saat 1 suro. Bila pementasan tari seblang tidak diadakan, ramalan memberi petunjuk akan timbul malapetaka bagi desa Olehsari26. Maka dari itu sesuai dengan permintaan dengan roh gaib, ritual seblang diadakan 4 hari sesudah Hari Raya Idul Fitri.Biasanya ritual ini dilaksanakan dari pukul 13.00 hingga pukul 16. 00. Ritual ini dilaksanakan selama 1 minggu penuh.

Cara melakukan pemilihan penari seblang di desa Olehsari sedikit berbeda dengan cara memilih penari seblang desa Bakungan. Baik di desa Olehsari maupun desa Bakungan orang yang memilih penari adalah sesepuh yang sedang dalam pengaruh roh gaib. Hanya saja penari yang dipilih tidak sama dengan yang di desa Bakungan, penari seblang biasanya dari gadis perawan yang merupakan keturunan dari penari seblang sebelumnya. Sesudah itu biasanya para penari dipasangi omprok atau semacam mahkota dari daun pisang. Secara urutan tari seblang memiliki kesamaan dengan yang dilakukan di desa Bakungan. Perbedaannya terletak pada penataan tempat dan penempatan upacara slametan yang diadakan di hari terakhir bukan di hari pertama.

Tari seblang sebagai puncak dari ritual seblang diadakan di area yang lapang. Pada tahap awal sama seperti ritual seblang di desa Bakungan diawali dengan pemanggilan roh dari alam gaib oleh dukun. Terdapat 5 dukun yang menangani ritual ini tiga laki-laki dan dua perempuan.

Panggung yang digunakan dalam ritual ini disebut dengan paying agung. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa-Bali, paying agung memiliki makna sebagai simbol kekuasaan27. Atap yang digunakan sebagai paying terbuat dari kain mori yang disangga dengan tinggi kurang lebih 3 meter. Pada tiang juga diberi hiasan berupa janur kuning, tebu dan daun kemuning. Di bawah paying tersebut berkumpul para pemain gamelan yang terdiri atas kendang, slenthem, gong dan saron dengan laras slendro. Gamelan itu di susun menghadap ke arah timur atau wetan. Hal ini mengusung makna bahwa wetan yang berasal dari kata wiwitan ingin menunjukan bahwa dari timur semuanya berasal.

Dari sisi penari, tarian dimula dengan gerakan memutar dan pada saat bersamaan diiringi dengan gending kembang dirmo. Sembari menari, diadakan juga adol kembang yaitu kegiatan menjual kembang yang telah dipasang dalam tusukan lidi.Tari ini dilangsungkan selama 4 hari dan pada hari berikutnya diadakan kegiatan ngibling yaitu saat dimana sang penari merasa kelelahan hingga akhirnya jatuh pingsan tepatnya ketika gending chondro dewi dibunyikan.

Sesaat kemudian penari mulai tersadar setelah gending kembali dibunyikan. Ritual seblang dilanjutkan dengan acara kirab keliling desa. Para penonton tari seblang berarak bersama penari mengelilingi desa menuju sumber mata air kali antogan dan makam Buyut Ketut. Prosesi mengelilingi desa berakhir di arena tari seblang. Prosesi mengelilingi desa memiliki makna perjalan hidup manusia bahwa pada dasarnya manusia hidup dalam peziarahan mulai dai lahir,

26 Ibid.,hlm 13.

27 P. A Wolbers., Maintaning Osing Identity Through Musical Performance: Seblang and Gandrung of Banyuwangi East Java Indonesia (Urbana: Illinois, 1992), hlm 97.

(14)

menikah dan mati. Pada hakekatnya manusia lahir dan pada akhirnya kembali kepada asalnya28. Ritual seblang desa Olehsari diakhiri dengan upacara slametan.

Secara umum ritual seblang di desa Olehsari memiliki kemiripan dengan ritual seblang di desa Bakungan. Sementara itu secara esensial, ritual seblang di desa Olehsari memiliki unsur komunikasi antara manusia dengan objek transenden. Bahkan bisa dibilang kemunculan ritual seblang di desa Olehsari merupakan hasil dialog antar makhluk gaib. Peran pelaku ritual seblang menentukan bagaimana proses relasi transendental yang ada. Para pelaku ritual seblang berusaha menyampaikan apa yang menjadi kehendak alam gaib sementara itu manusia memiliki kewajiban untuk melaksanakannya secara simbolik.

6. Penutup

Ritual seblang merupakan ritual yang diadakan di dua desa yaitu desa Bakungan dan desa Olehsari Kabupaten Banyuwangi. Sebagai ritual tertua di kalangan masyarakat Osing, ritual seblang menjadi ritual yang memiliki unsur relasi transendental antara manusia dengan makhluk gaib. Relasi ini bukan merujuk pada sebuah relasi yang mengandung konotasi negatif. Relasi transendental yang terjadi di sini adalah relasi yang positif. Ada beragam kebajikan dan nilai- nilai positif yang hendak dikenangkan kembali lewat ritual seblang. Ritual seblang menjadi salah satu wadah dalam melaksanakan suatu sosialisasi nilai dan pada saat yang sama juga hendak menampilkan relasi transendental antara manusia dengan makhluk transenden.

Daftar Pustaka

Agus, Bustnaul. Agama dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.

28 J. Weiss, Folk Psicology of the Javanese of Ponorogo, (New Heaven: Yale University, 1977), hlm 41.

(15)

Atoshoki Gea, Antonius dkk. Character Building III: Relasi dengan Tuhan. Jakarta: Gramedia, 2004.

Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Hardin. Komunikasi Transendental Pada Ritual Kapontasu dalam Sistem Perladangan Masyarakat Etnik Muna. Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini Publik, 2016, 20.1.

Indiarti, Wiwin. Kajian mengenai Desa Kemiren sebagai Penyangga Tradisi dan Kearifan Lokal Masyarakat Osing. Banyuwangi: Lembaga Masyarakat Adat Osing, 2015.

Kuswarno,Engkus. Fenomenologi. Bandung: Widya Padjajaran, 2009.

Mulyana, Dedy. Nuansa-Nuansa Komunikasi: Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat

Mulyana, Dedy. Nuansa-Nuansa Komunikasi: Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer. Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini Publik Vol.20 No. 1, Juni 2016: 63-82 Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.

Permana, Evan. Perancangan Film Dokumenter:Tribute to East Java Heritage. Surabaya:

Institut Teknologi Surabaya, 2009.

Prihastutia, Dinar. “Sebuah Studi Tentang Komunikasi Ritual dalam Tarian Seblang Banyuwangi,” Jurnal Studi Budaya Nusantara - SBN All rights reserved 2018, 72-79.

Puspita Yashi,Almira. “Ritual Seblang Masyarakat Using di Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur”.Haluan Sastra Budaya, Volume 2, No. 1 Juni 2018, 1-18.

Raho, Bernard. Agama dalam Perspektif Sosiologi. Jakarta: Obor, 2003.

Saputra, Heru S.P. Wasiat Leluhur: Respons Orang Using terhadap Sakralitas dan Fungsi Sosial Ritual Seblang. Makara Hubs-Asia, 2014, 18.1: 53-65.

Sumardi, Jakob. Filsafat Seni. Bandung: Intitut Teknologi Bandung, 2000.

Sutarto, A. Sekilas tentang Masyarakat Osing. Makalah Pembekalan Jelajah Budaya: Universitas Jember, 2006.

Sutarto, A. Etnografi masyarakat Osing. Jember: Universitas Negeri Jember, 2003.

Subagyo, Hadi. “Bentuk dan Makna Simbolik Tari Seblang di Desa Olehsari Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur”. Greget, Vol. 2, No. 2, Desember 2003. 27-45.

Wolbers, P. A. Maintaning Osing Identity Through Musical Performance: Seblang and Gandrung of Banyuwangi East Java Indonesia. Urbana: Illinois, 1992.

Weiss, J. Folk Psicology of the Javanese of Ponorogo. New Heaven: Yale University, 1977.

Referensi

Dokumen terkait

Inventarisasi Penggunaan Berbagai Pestisida Nabati Secara Tradisional Oleh Suku Osing Banyuwangi.. Prima Sari Arsian Dewi; 2010; 53 halaman; Fakultas Keguruan dan

Rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut: (1) Apakah makna dari perkawinan colong dalam suku adat osing Banyuwangi, (2) Bagaimana tata cara dalam melakukan

Penelitian dengan judul ”Desain Kurikulum Muatan Lokal sebagai Upaya Konservasi Pengetahuan Etnobotani Suku Osing di Kabupaten Banyuwangi” dilakukan dengan

Penelitian dengan judul ” Desain Kurikulum Muatan Lokal sebagai Upaya Konservasi Pengetahuan Etnobotani Suku Osing di Kabupaten Banyuwangi ” dilakukan dengan tujuan

Masyarakat Suku Osing di Desa Kemiren memiliki tata laksana atau rangkaian prosesi upacara pernikahan adat antara lain sebagai berikut: Pertama, Ngirim Doa yang

Tari Seblang; Sebuah Kajian Simbolik Tradisi Ritual Desa Olehsari sebagai Kearifan Lokal Suku

Masyarakat Desa Pematang Kuing yang mayoritasnya suku Jawa mereka memahami ritual ritual jamuan ladang adalah sebuah teradisi yang masih mengandung unsur Agama karena

Satu diantara masyarakat yang memiliki kearifan lokal dalam hal penggunaan tumbuhan sebagai obat antara lain adalah Suku Osing yang berasal dari Kabupaten Banyuwangi Provinsi